TAWADLU’ VS SOMBONG
بسم الله الرحمن الرحيم
Ada pepatah mengatakan, “Kuman diseberang lautan tampak, tetapi gajah dipelupuk mata tidak tampak”.
Atau kalau istilah seorang shahabat yang bernama Abu Hurairah radliyallahu anhu,
يُبْصِرُ أَحَدُكُمُ اْلقَذَاةَ فىِ عَيْنِ أَخِيْهِ وَ يَنْسىَ اْلجِذْلَ أَوِ اْلجِذْعَ فىِ عَيْنِ نَفْسِهِ
“Seseorang diantara kalian dapat melihat kotoran pada mata saudaranya
namun ia melupakan batang pohon besar yang berada di hadapan matanya”.
[Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad:
592, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Hibban dan Abu Nu’aim. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih Mauquf]. [1]
Demikian keadaan mayoritas manusia sekarang ini, segala kekurangan
dan cela orang lain meskipun kecil akan nampak jelas laksana gumpalan
awan hitam di hadapan seseorang di antara mereka. Namun cacat aibnya
yang menjulang tinggi atau besar menggunung bagaikan seonggok sampah
tiada bernilai baginya dan bahkan hilang lenyap di telan bumi seakan
tidak pernah ada.
Bila ada kerumunan orang yang sedang asyik memperbincangan keburukan
orang lain, ia segera bergabung untuk berperan serta di dalamnya.
Adakalanya ia sebagai pendengar saja tetapi adakalanya ia tenggelam di
dalam lautan ghibah tersebut sebagai pemasok berita buruknya. Ia larut
dan hanyut dalam kegembiraannya mendengar dan membicarakan aib dan
keburukan seorang muslim yang sedang dirobek-robek kehormatannya.
Diibaratkan, seorang peng-ghibah itu berusaha mendaki dan menaiki
pundak orang lain agar ia berada di atasnya. Dia tak peduli,
perbuatannya itu menyakiti dan melukai orang yang dinaiki itu. Pun
demikian si pengghibah, dia ingin keadaan dan martabatnya lebih mulia
dari orang lain. Maka tak segan ia menyakiti hati dan perasaan orang
yang dighibahinya itu dengan cara menceritakan segala aib dan kekurangan
orang tersebut kepada orang lain agar menjadi rendah di sisi mereka.
Boleh jadi kemuliaan si peng-ghibah itu terangkat di sisi manusia,
tetapi kelak pada hari kiamat Allah Subhanahu wa ta’ala akan merendahkan
dan menghinakannya di hadapan para makhluk dengan membeberkan segala
cela dan aibnya yang selama di dunia ini, ia rahasiakan dan sembunyikan
dari khalayak manusia.
Sudah menjadi sifat alami manusia, jika ada seseorang yang menjadi
lawannya mendapatkan suatu musibah berupa kehilangan kehormatan ataupun
harga diri, ia tentu merasa senang dan puas. Ia mengharapkan dengan
peristiwa itu kehormatannya menjadi naik dan populer. Sehingga
seringkali ia ikut andil dalam merusak kehormatan orang lain dan bahkan
tak jarang pula menjadi dalangnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum munafikin terutama pentolannya
yakni Abdullah bin Ubay bin Salul, ia sangat berambisi di dalam merusak
kemuliaan dan kehormatan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan
para shahabatnya radliyallahu anhum. Setiap ada kesempatan dan waktu ia
selalu melakukan makar dan tipu daya untuknya. Sampai suatu waktu dalam
satu peristiwa, Aisyah radliyallahu anha istri tercinta Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam kedapatan berjalan dengan Shofwan bin Muaththal
radliyallahu anhu karena suatu sebab, di saat perjalanan setelah perang
Bani al-Mushthaliq yang dikenal dengan kisah hadits ifki. [2]
Ia sangat berperan aktif dalam penyebaran fitnah itu meskipun hanya
dalam bentuk sindiran. Ia sangat berharap dengan kejadian itu kehormatan
dan kemuliaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang suami
menjadi ternoda dan rusak. Namun Allah Azza wa Jalla menjaga dan
melindungi kehormatan beliau, sampai Allah Jalla Jalaluhu menurunkan
beberapa ayat (11-18) dari surat an-Nur yang membersihkan berbagai
tuduhan keji yang dialamatkan kepada Aisyah radliyallahu anha.
Kebanyakan pengghibah mendambakan dengan perbuatannya itu, agar si
terghibah menjadi kehilangan harga diri dan kehormatannya. Sehingga
dengan itu, ia dapat menyombongkan dirinya di hadapan khalayak, bahwa
hanya ia yang lebih mulia dan layak dimuliakan oleh orang lain. Tatkala
tumbuh kesombongan dan keangkuhan di dalam hatinya, maka akan hilanglah
darinya sifat tawadlu (rendah hati kepada sesama makhluk) dan lenyap pula sifat khudlu’ (merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala).
Begitu pula, ketika ada dua orang yang sedang bertengkar, saling
memaki dan saling membuka aibnya masing-masing, iapun bergegas
menghampiri keduanya. Untuk mendengarkan pertengkaran keduanya sehingga
akhirnya ia merasa bahwa dirinya lebih baik dan lebih suci dari kedua
orang yang sedang bertengkar tersebut. Terkadang ia ikut andil di
dalamnya dengan berpura-pura sebagai penengah, padahal ia kerap
memprovokasi keduanya tanpa mereka sadari. Lalu ketika aib keduanya
telah terungkap di khalayak ramai, ia menjadi sombong karenanya seakan
dia-lah yang paling baik, paling suci dan paling layak untuk dimuliakan.
Hilanglah pula sifat tawadlu’nya pada manusia darinya.
Padahal sifat tawadlu ini adalah salah satu sifat mulia yang
diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa
sallam kepada setiap muslim untuk mencari, mendapatkan dan menghiasi
dirinya dengannya. Berbeda dengan sifat sombong dan tinggi hati yang
dilarang bagi siapapun, khususnya umat Islam dari memiliki dan bersifat
dengan sifat tersebut. Maka siapapun yang berperilaku sombong dan tinggi
hati maka kelak Allah Jalla wa Ala akan merendahkannya dan barangsiapa
yang rendah hati maka Dia akan meninggikannya.
عن عياض بن حمار رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ الله صلى
الله عليه و سلم : إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتىَّ
لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَ لاَ يَبْغِىَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Dari Iyadl bin Himar radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah telah
mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadlu sehingga seseorang tidak
bangga kepada yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya kepada
lainnya”. [HR Muslim: 2865, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 426,
Abu Dawud: 4895 dan Ibnu Majah: 4179, 4214. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih]. [3]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Sifat
tawadlu itu termasuk dari penyebab tersebarnya persamaan, keadilan dan
perbuatan baik di antara manusia. Sombong itu menghasilkan keangkuhan
yang dapat melahirkan perbuatan aniaya”. [4]
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَ مَا زَادَ اللهُ
رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَ مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ
رَفَعَهُ اللهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta,
Allah tidak akan menambahkan kepada seseorang dengan sebab meminta maaf
selain kemuliaan dan tidaklah seseorang itu tawadlu (rendah hati) karena
Allah, melainkan Allah akan meninggikan (derajat)nya”. [HR Muslim:
2588, at-Turmudziy: 2029, Ahmad: II/ 386 dan ad-Darimiy: I/ 396. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [5]
عن أنس رضي الله عنه قَالَ: كَانَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم نَاقَةٌ تُسَمَّى اْلعَضْبَاءَ لاَ تُسْبَقُ –قال حميد: أَوْ لاَ
تَكَادُ تُسْبَقُ- فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ عَلىَ قُعُوْدٍ فَسَبَقَهَا
فَشَقَّ ذَلِكَ عَلىَ اْلمـُسْلِمِيْنَ حَتىَّ عَرَفَهُ فَقَالَ: حَقٌّ
عَلىَ اللهِ أَن لاَ يَرْتَفِعَ شَيْءٌ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ وَضَعَهُ
Dari Anas radliyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mempunyai seekor unta yang bernama Adlba’ yang
tidak bisa dibalap. (Berkata Hamid, “Atau hampir-hampir tidak bisa
dibalap”). Datanglah seorang Arab badui di atas untanya, lalu ia
membalapnya. Hal tersebut menyusahkan kaum muslimin (yakni para shahabat
radliyallahu anhum), sampai Beliaupun mengetahuinya. Lalu Beliau
bersabda, “Hak bagi Allah bahwa tidaklah sesuatu itu terangkat tinggi di
dunia melainkan Allah akan merendahkannya”. [HR al-Bukhoriy: 2872 dan
an-Nasa’iy: VI/ 227. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [6]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, mengomentari hadits di atas,
“Terdapat penjelasan akan hinanya dunia bagi Allah, keharusan
meninggalkan kebanggaan dan keangkuhan, dorongan untuk tawadlu (rendah
hati) dan menanggalkan selendang kesombongan.
Terdapat penjelasan bahwa perkara-perkara dunia itu kurang, tiada
sempurna, karena tidaklah sesuatu itu terangkat tinggi padanya melainkan
akan menjadi rendah.
Terdapat penjelasan akan sifat tawadlunya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dan Beliau membersihkan jiwa para shahabatnya”. [7]
عن معاذ بن أنس الجهني أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَ هُوَ يَقْدِرُ
عَلَيْهِ دَعَاهُ اللهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ عَلىَ رُؤُوْسِ اْلخَلاَئِقِ
حَتىَّ يُخَيِّرَ مِنْ أَيِّ حُلَلِ اْلإِيمْاَنِ شَاءَ يَلْبَسُهَا
Dari Mu’adz bin Anas al-Juhniy, bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menanggalkan pakaian
(mewah) lantaran sifat tawadlu karena Allah, padahal ia mampu untuk
(membeli/ memakai)nya, Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di
hadapan sekalian pemimpin makhluk kemudian menyuruhnya untuk memilih
pakaian iman manapun yang ia kehendaki untuk dipakai”. [HR at-Turmudziy:
2481, Ahmad: III/ 439 dan al-Hakim: 7450. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: hasan].[8]
Demikian beberapa dalil dan penjelasannya yang menerangkan tentang
keutamaan tawadlu dan perintah untuk berhias diri dengannya. Juga
tentang bahaya sombong dan perintah untuk menanggalkannya. Dari sebab
itu, maka sarana yang dapat menghilangkan tawadlu dan melahirkan sifat
sombong itupun diharamkan pula. Sarana dan penghubungnya itu diantaranya
adalah ghibah atau bisa juga buhtan (fitnah).
Namun tak sedikit pula sebaliknya, sikap sombong dan tinggi hati
itulah yang melahirkan dan menumbuhkan perilaku ghibah atau buhtan.
Kesombongannya itu menjadikan seseorang tidak senang dan dengki kepada
kebahagiaan orang lain dan senang lagi puas dengan kesusahan orang lain.
Sehingga ia selalu mencari cara untuk menghilangkan kebahagiaan orang
lain dan menimpakan kesedihan dan kemalangan kepadanya. Di antaranya ia
selalu berusaha untuk meruntuhkan dan merusak kehormatan dan harga diri
orang tersebut, dan berusaha untuk menutupi berbagai kebaikannya dari
khalayak di sekitarnya. Maka dari sebab itu, ia selalu gigih dan
berjuang keras mengghibah dan memfitnahnya untuk tujuannya tersebut.
Padahal kesombongan itu hanya akan mendatangkan kesengsaraan dan
kehancuran di dunia dan akhirat kelak. Orang berbuat sombong lagi angkuh
itu tidak akan masuk ke dalam surga, meskipun kesombongannya itu sangat
kecil, dan tempat yang paling layak baginya adalah neraka Jahannam,
sebagai balasan baginya atas kesombongannya. Hal ini sebagaimana
dalil-dalil berikut,
أَلَيْسَ فِى جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمـــُتَكَبِّرِينَ
Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?. [QS. Az-Zumar/ 39: 60].
ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى اْلمـــُتَكَبِّرِينَ
(Dikatakan kepada mereka), “Masuklah kalian melalui pintu-pintu
neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka Itulah
seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong “. [QS Ghofir/ 40:
76, lihat juga QS. Az-Zumar/ 39: 72].
عن حارثة بن وهب الخزاعي عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم
قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ
مُسْتَكْبِرٍ
Dari Haritsah bin Wahb al-Khuza’iy dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Maukah kukabarkan kepada kalian tentang ahli neraka,
yakni setiap orang yang kasar, kejam lagi sombong”. [HR al-Bukhoriy:
4918, 6071, 6657, Muslim: 2853, at-Turmudziy: 2605, Ibnu Majah: 4116 dan
Ahmad: IV/ 306. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: يُحْشَرُ اْلمـــُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
أَمْثَالَ الذَّرِّ فِى صُوْرَةِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمُ الذُّلُّ مِنْ
كُلِّ مَكَانٍ يُسَاقُوْنَ إِلَى سِجْنٍ مِنْ جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُوْلَسُ
تَغْلُوْهُمْ نَارُ اْلأَنْيَارِ وَ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ
النَّارِ طِيْنَةُ اْلخَبَالِ
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan
pada hari kiamat seperti adz-Dzarr (semut-semut kecil) dalam bentuk
laki-laki (berkelamin jantan). Mereka diliputi oleh kehinaan dari segala
tempat. Mereka digiring ke dalam sebuah penjara di neraka Jahannam yang
disebut dengan ‘Bulas’. Mereka akan ditutupi oleh api neraka yang menyala-nyala dan mereka diberi minuman usharah
(perasan) penduduk neraka yaitu, ‘thinah al-Khobal’ (nanah dan darah
yang keluar dari tubuh penduduk neraka). HR Al-Adab al-Mufrad: 557,
at-Turmudzi: 2492, Ahmad: II/ 179 dan Nu’aim bin Hammad. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy].[10]
Begitu pula, kesombongan yang telah menjadi ciri khas sifat dan
tabiat jelek Iblis la’natullah alaihi telah menjadikan dirinya merasa
mulia dan mempunyai kehormatan. Di dalam persangkaannya, api itu lebih
mulia dari tanah atau dengan kata lain tanah itu lebih hina dari api.
Dengan persangkaan batilnya ini ia berani menghina dan melecehkan nabi
Adam alaihis Salam di hadapan Allah Azza wa Jalla, entah dengan bentuk
penghinaan langsung atau mungkin dengan bentuk ghibah. Dengan
perilakunya itu, jelas bahwa Iblis tidak ingin kemuliaan dan
kehormatannya terusik dengan diciptakannya nabi Adam. Apalagi nabi Adam
diistimewakan oleh-Nya dengan beberapa hal, di antaranya; Allah
Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan nabi Adam dengan kedua tangan-Nya,
mengajarkannya nama berbagai sesuatu dan bahkan menyuruh seluruh
Malaikat untuk menghormatinya termasuk juga Iblis dengan sujud
penghormatan. Dengan serta merta Iblis enggan dan menolak perintah-Nya.
Ia menolak untuk sujud menghormati orang yang ia anggap lebih hina, maka
perbuatannya inilah yang menjadikannya sebagai orang yang sombong dan
yang menggolongkannya sebagai golongan kafirin.
فَسَجَدَ اْلمـــَلَائِكَةُ كُــــلُّهُمْ أَجْمَعُونَ إِلَّا
إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَ كَانَ مِنَ اْلكَافِرَينَ قَالَ يَا إِبْلِيسُ
مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَــا خَلَقْتَ بِيَـــدَيَّ
أَسْتَكْـــبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ اْلعَـالِينَ قَالَ أَنَــا خَيْرٌ
مِّنْـهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَ خَلَقْتَــهُ مِن طِيـــــنٍ
Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis.
Dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.
Allah berfirman, “Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang
telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan
diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”.
Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku
dari api, sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah”. [QS. Shad/ 38:
73-76].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Tercela dan diharamkannya sifat sombong dan dengki serta balasan
(keburukan) bagi kedua sifat tersebut”.[11]
Maka kesombongan itu telah menahan pelakunya untuk mematuhi perintah
Allah ta’ala atau meninggalkan larangan-Nya. Kesombongannya jugalah yang
mencegahnya menghormati orang lain yang diperintahkan Allah Subhanahu
wa ta’ala untuk menghormatinya. Kesombongan itu pulalah yang
mendorongnya untuk menghina dan melecehkan orang lain. Penghinaan itu
dilakukan di antara khalayak ramai, adakalanya di hadapan orang tersebut
dan adakalanya tidak. Namun semuanya bertujuan untuk merusak,
merobek-robek dan menghancurkan kehormatan dan harga diri orang tersebut
di antara khalayak manusia. Penghinaan di hadapan orang banyak atau
pada segelintir manusia, padahal orang yang dihina itu tidak ada di
antara mereka. Maka hal itu dikategorikan dengan ghibah. Oleh sebab itu
sifat sombong dan perbuatan ghibah adalah dua hal yang sangat dilarang
dan diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ كَانَ فىِ قَلْبِهِ
مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ : إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ
أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَ نَعْلُهُ حَسَنًا قَالَ: إِنَّ اللهَ
جَمِيْلٌ يُحِبُّ اْلجَمَالَ اْلكِبْرُ بَطَرُ اْلحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam surga, orang yang
ada di dalam hatinya ada seberat atom dari sifat sombong”. Seseorang
bertanya, “Sesungguhnya ada orang yang senang pakaiannya bagus dan
sendalnyapun bagus”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah itu elok dan
menyukai keelokan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan melecehkan
orang lain”. [HR Muslim: 91, at-Turmudziy: 1998, 1999, Abu Dawud: 4091,
Ahmad: I/ 399 dan al-Baihaqiy: 729. Dan juga Ahmad: IV/ 151 dari Uqbah
bin Amir, IV/ 133, 134 dari Abu Raihanah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih]. [12]
Hadits di atas menjelaskan bahwasanya sombong itu adalah menolak
kebenaran dan melecehkan/ merendahkan orang lain. Menolak kebenaran itu
sombong terhadap Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam
dan merendahkan orang lain itu sombong kepada makhluk-Nya.
1). Sombong kepada kebenaran (Allah ta’ala dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam).
Seperti sombongnya Iblis la’natullah alaihi yang tidak mau
melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla untuk sujud menghormati nabi
Adam alaihis Salam. Atau sombongnya orang-orang kafir di masa Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam yang tidak mau mengucapkan kalimat
syahadat yang ditawarkan olehnya, apalagi sampai mengerjakan sholat,
menunaikan zakat, dan selainnya.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلَّا
اللهُ يَسْتَكْــبِرُونَ وَ يَقُولُونَ أَئِــنَّا لَتَارِكُوا
ءَالِهـَتِــنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ بَلْ جَاءَهُمْ بِاْلحَقِّ وَ
صَدَّقَ اْلمـــُرْسَلِينَ
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, “Laa
ilaaha illallah” (tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)
mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, “Apakah sesungguhnya
kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair
gila?”. Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan
membenarkan para rasul (sebelumnya). [QS ash-Shaffat/ 37: 35-37].
Akibat kesombongan mereka tersebut, maka Allah Subhanahu wa ta’ala
akan menutup hati mereka dan menyumbat telinga mereka. Sehingga jika
ditawarkan kepada mereka kebenaran ayat atau hadits shahih, mereka tidak
akan dapat memahaminya dengan benar. Kalaupun mereka memahaminya,
mereka tetap tidak akan mau menempuhnya sebagai jalan hidup mereka.
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِىَ الَّذِينَ يَتَكَــبَّرُونَ فِى
اْلأَرْضِ بِغَيْرِ اْلحَقِّ وَ إِن يَرَوْا كُلَّ ءَايَةٍ لَا يُؤْمِنُوا
بِهَا وَ إِن يَرَوْا سَبِيلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَ إِن
يَرَوْا سَبِيلَ اْلغَيِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
كَذَّبُوا بِئَـايَاتِنَا وَ كَانُوا عَنْهَا غَافِلِينَ
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka
bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika
melihat tiap-tiap ayat(Ku(, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika
mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau
menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus
memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. [QS. Al-A’raf/ 7:
146].
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِى ءَايَاتِ اللهِ بِغَيْرِ
سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَـبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ وَ عِندَ الَّذِينَ
ءَامَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ
جَبَّارٍ
(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan
yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi
Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci
mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang. [QS. Ghofir/ 40/ 35].
وَ مَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِئَــايَاتِ رَبِّهِ
فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَ نَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّــا جَعَلْنَا
عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَ فِى ءَاذَانِهِمْ وَقْرًا
وَ إِن تَدْعُهُمْ إِلَى اْلهُدَى فَلَن يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا
Dan siapakah yang lebih zholim dari pada orang yang telah
diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya lalu dia berpaling dari padanya
dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya?.
Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka,
(sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (kami letakkan pula) sumbatan
di telinga mereka. Dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk,
niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya. [QS
al-Kahfi/ 18: 57].
Itulah balasan bagi orang yang sombong dari kebenaran yang datang
kepada mereka yaitu hati mereka ditutup dan telinga mereka disumbat
sehingga jika mereka diajak kepada petunjuk dan hidayah maka mereka
tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya. Bahkan terkadang
Allah Subhanahu wa ta’ala menghukum orang yang sombong ini secara
langsung di dunia sebagaimana telah disebutkan di dalam dalil hadits di
bawah ini. Ma’adzallah.
عن سلمة بن الأكوع رضي الله عنه أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ
رَسُوْلِ الله صلى الله عليه و سلم بِشِمَالِهِ فَقَالَ: كُلْ بِيَمِيْنِكَ
قَالَ: لَا أَسْتَطِيْعُ قَالَ: لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا
اْلكِبْرُ قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ
Dari Salamah bin al-Akwa’ radliyallahu anhu, bahwasanya pernah ada
seorang lelaki makan dengan tangan kirinya di sisi Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Makanlah dengan tangan
kananmu!”. Ia berkata, “Aku tidak bisa”. Beliau bersabda, “Kamu tidak
bisa?, tidak ada yang menahannya melainkan kesombongan”. Berkata
(Salamah), “Maka (sejak saat itu) ia tidak dapat lagi mengangkat tangan
kanannya ke mulutnya”. [HR. Muslim: 2021 dan Ahmad: IV/ 45-46].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bolehnya
mendoakan keburukan kepada orang yang mengerjakan (perbuatan) yang
diharamkan dalam keadaan menentang, sombong dan terus menerus
(melakukannya). Sifat sombong itu sesuai dengan hukum syariat, pelakunya
berhak mendapatkan hukuman”. [13]
2). Sombong kepada makhluknya.
Sombong kepada makhluknya itu lantaran menghina nasabnya, merendahkan
status sosial dan pendidikannya, mencela bentuk fisiknya, melecehkan
kedudukannya, memandang remeh harta kekayaannya dan selainnya. Sehingga
orang-orang yang sombong itu suka memamerkan harta dan jabatannya dengan
mendongakkan kepalanya ketika berjalan di tengah-tengah manusia.
Memperlihatkan kepandaian dan pendidikannya dengan mengeraskan suara dan
memfasih-fasihkan bahasanya. Tidak mau makan bersama dengan pembantu
atau supirnya dalam suatu waktu. Enggan berbelanja di pasar rakyat untuk
suatu keperluan. Tidak mau mengerjakan pekerjaannya sendiri semisal
memerah susu kambing/ sapinya, membuat makanan dan minuman, menambal
baju atau celananya yang sobek, dan sebagainya karena ia merasa sudah
memiliki pelayan yang melayaninya.
وَ لَا تَمْشِ فِى اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ اْلأَرْضَ وَ لَن تَبْلُغَ اْلجِبَالَ طُولًا
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali
kamu tidak akan sampai setinggi gunung. [QS al-Isra’/ 17: 37].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Diharamkannya sifat sombong dan dimurkainya orang-orang yang sombong”. [14]
وَ لَاتُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَ لَا تَمْشِ فِى
اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ وَ
اقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وَ اغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ اْلأَصْوَاتِ
لَصَوْتُ اْلحَمِيرِ
Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [QS Luqman/ 31:
18-19].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Diharamkannya sifat sombong dan angkuh di dalam berjalan. Wajibnya
sederhana di dalam berjalan dan bersuara. Tidak diperbolehkan
tergesa-gesa dan mengeraskan suaranya kecuali sekedar keperluan saja”. [15]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَا اسْتَكْبَرَ مَنْ أَكَلَ مَعَهُ خَادِمُهُ وَ رَكِبَ
اْلحِمَارَ بِاْلأَسْوَاقِ وَ اعْتَقَلَ الشَّاةَ فَحَلَبَهَا
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidaklah sombong orang yang
makan bersama pembantunya, mengendarai keledai di pasar dan mengikat
kambing lalu memerah susunya”. [Telah mengeluarkan hadits in al-Bukhoriy
di dalam al-Adab al-Mufrad: 550 dan ad-Dailamiy. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: hasan]. [16]
Berbeda dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai manusia yang
terbaik sepanjang masa. Beliau adalah orang yang paling khudu’ kepada
Allah Jalla wa Ala dan paling tawadlu’ kepada umat manusia. Sehingga
Beliau seringkali mengerjakan pekerjaan rumah untuk melayani
keluarganya, padahal pada waktu itu Beliau mempunyai sembilan orang
istri yang ia bisa menyuruh salah seorang darinya untuk mengerjakannya.
Lalu ketika datang waktu sholat, Beliau segera menghentikannya lalu
keluar rumah menuju masjid untuk menunaikan sholat.
عن الأسود قَالَ: سَاَلْتُ عَائِشَةَ رضي الله عنها مَا كَانَ
يَصْنَعُ النَّبِيُّ فِى أَهْلِهِ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يَكُوْنُ فِى
مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ خَرَجَ (إلى الصلاة)
Dari al-Aswad berkata, Aku pernah bertanya kepada Aisyah radliyallahu
anha tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
pada keluarganya. Aisyah radliyallahu anha berkata, “Beliau biasa
melayani keluarganya, lalu apabila telah datang waktu sholat, maka
Beliau keluar (menuju masjid untuk sholat)”. {Atsar ini diriwayatkan
oleh al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 538. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih]. [17]
عن يحيى بن سعيد عن القاسم عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها
قَالَ: سُئِلَتْ: مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَعْمَلُ
فِى بَيْتِهِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَشَرًا مِنَ اْلبَشَرِ يُفْلِى ثَوْبَهُ وَ
يَحْلُبُ شَاتَهُ وَ يَخْدُمُ نَفْسَهُ
Dari Yahya bin Sa’id dari al-Qosim dari Aisyah radliyallahu anha
berkata, ia pernah ditanya, “Apakah yang Rosulullah Shallalahu alaihi wa
salam kerjakan di rumahnya?”. Ia menjawab, “Beliau juga adalah seorang
manusia yang menjahit pakaian sendiri, memeras susu kambingnya dan
melayani dirinya sendiri”. [HR Ahmad: VI/ 256 dan Abu Bakar asy-Syafi’iy
dengan sanad yang kuat]. [18]
Demikian perilaku teladan umat Islam Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam, agar kita mencontohnya. Tetapi sayang, sekarang ini banyak di
kalangan umat Islam yang ketika mereka telah mendapatkan banyak
kemuliaan dan keutamaan, mereka menjadi sombong. Tak sedikit di antara
mereka yang suka menghina dan menindas orang yang lebih rendah dari
mereka tetapi gemar menjilat dan menghormati orang yang tidak pantas
dihormati dari orang yang ada di atas mereka.
Padahal sudah banyak dalil akan larangan bagi umat ini untuk
merendahkan saudaranya yang lain, misalnya di dalam hadits berikut ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ
اْلمـــُسْلِمَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seseorang (mengerjakan)
keburukan jika ia merendahkan saudaranya yang muslim”. [HR Muslim:
2653, 2654, dan al-Bukhoriy: 6064. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih]. [19]
Padahal boleh jadi, orang yang dihina atau dilecehkan itu ternyata
lebih baik dan mempunyai kedudukan lebih mulia di sisi Allah Jalla wa
Ala dari orang sombong yang melecehkannya tersebut. Sebagaimana
disebutkan di dalam ayat berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِن
قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَ لَا نِسَاءٌ مِّن نِسَاءٍ
عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum
yang lain, boleh jadi kaum yang direndahkan itu lebih baik dari mereka
(yang merendahkannya). Dan jangan pula sekelompok perempuan merendahkan
kelompok lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka
(yang merendahkannya). [QS. al-Hujurat/ 49: 11].
Adakah di antara kaum muslimin yang berpikir dan mengambil pelajaran
dari teguran dan peringatan Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut??.
Wahai ummat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bukalah pintu hati
kalian yang suci dan tundukkan akal kalian yang fithri itu kepada
kebenaran dengan suatu ketundukkan tanpa keraguan dan kebimbangan!!.
Jauhi dan buanglah sifat sombong dan angkuh yang akan membuat kalian
menjadi hina dan sengsara!. Raih dan hiasi diri kalian dengan sifat
khudu’ kepada Allah ta’ala dan tawadlu kepada sesama makhluk yang akan
menghantarkan kalian kepada keselamatan, kemuliaan dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat!. Teladanilah Nabi kalian Shallallahu alaihi wa sallam
yang telah mengajarkan dan mencontohkan akhlak yang mulia kepada
kalian. Janganlah kalian berpaling darinya kepada akhlak yang buruk yang
telah dicontohkan dan diajarkan oleh orang-orang kafir dan kaum
munafikin yang diancam oleh Allah ta’ala dengan siksa dan kesengsaraan
di dalam neraka yang menghinakan.
Wallahu a’lam bish showab.
[1] Shahih al-Adab al-Mufrad: 460 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 33.
[2]
Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam. yakni Aisyah radliyallahu anha Ummul Mukminin, sehabis perang
dengan Bani Mushthaliq bulan Sya’ban 5 H. Peperangan ini diikuti oleh
kaum munafikin, dan turut pula Aisyah radliyallah anha dengan Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan undian yang diadakan antara
istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan,
mereka berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari sekedupnya untuk
suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya
hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan
berangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada dalam sekedup
(sejenis kemah kecil di atas kendaraan unta). Setelah Aisyah mengetahui,
sekedupnya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan
sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu
seorang sahabat Nabi, Shofwan bin Mu’aththal as-Sulamiy, diketemukannya
seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan,
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, isteri Rasul!” Aisyah
terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shofwan mengendarai untanya.
Shofwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah.
Orang-orang yang melihat mereka, membicarakannya menurut pendapat
masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafikin
membesar-besarkannya, maka fitnahan atas Aisyah radliyallahu anha itupun
bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum
muslimin. [Lihat Siirah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh Ibnu
Hisyam: III/ 341-342, Aysar at-Tafasir: III/ 553 dan Syarh Riyadl
ash-Shalihin: II/ 130-131].
[3] Shahih al-Adab al-Mufrad: 329, Shahih Sunan Abi Dawud: 4093, Shahih Sunan Ibni Majah: 3368, 3396, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1725 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 570.
[3] Shahih al-Adab al-Mufrad: 329, Shahih Sunan Abi Dawud: 4093, Shahih Sunan Ibni Majah: 3368, 3396, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1725 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 570.
[4] Bahjah an-Nazhirin: I/ 659.
[5]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1790, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1652, Irwa’
al-Ghalil: 2200 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2328.
[6] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3359.
[7] Bahjah an-Nazhirin: I/ 663 dan juga yang semakna dengannya di dalam Fat-h al-Bariy: VI/ 74.
[8] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2017, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6145 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 718.
[9]
Mukhtashor Shahih Muslim 1971, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2100, Shahih
Sunan Ibnu Majah: 3323 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2598.
[10] Shahih Al-Adab al-Mufrad: 434, Shahih Sunan at-Turmudzi: 2025, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8040 dan Misykah al-Mashobih: 5112.
[11] Aysar at-Tafasir: IV/ 464.
[12]
Mukhtasor Shahih Muslim: 54, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1626, Shahih
Sunan Abi Dawud: 3447, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 166 dan
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7674.
[15] Aysar at-Tafasir: IV/ 209.
[16] Shahih al-Adab al-Mufrad: 428, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5527 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2218.
[17] Shahih al-Adab al-Mufrad: 418.
[18] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 671 dan Adab az-Zifaf halaman 291.
[19] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.