MENYIKAPI GHIBAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Seorang muslim, jika Allah Subhanahu wa ta’ala telah lapangkan dadanya untuk menerima Islam, secara alamiyah dan ilmiyah tentu akan mempunyai sikap terhadap berbagai jenis keburukan. Secara alamiyah, sebab pada dasarnya setiap manusia itu selalu menghindar dari berbagai keburukan yang akan merugikan dan membinasakan dirinya. Secara ilmiyah, sebab jika seorang manusia telah mendapatkan dan memahami ilmu agama secara tepat dan benar tentu ia akan berusaha secara optimal dan maksimal untuk menjauhkan dirinya dari berbagai rupa keburukan. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkannya untuk menjauhkan diri dari berbagai dosa dan keburukan. Bahkan Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan kepada setiap muslim yang menjauhkan diri dari dosa-dosa besar karena-Nya semata, Dia pasti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan orang tersebut dan akan memasukkannya ke dalam surga, sebagaimana ayat di bawah ini,
إِن تَجْتَنِبُوا كَــبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّــئَاتِكُمْ وَ نُدْخِلْكُم مُدْخَلاً كَرِيمًــا
Begitupun terhadap ghibah, sudah menjadi suatu kemestian setiap muslim itu harus mempunyai sikap yang tepat dan benar sesuai aturan agama, di antaranya adalah sebagai berikut,
1. Tidak menyukainya
Benci atau tidak menyukai berbagai keburukan semisal ghibah dan namimah adalah sikap yang patut dimiliki oleh seorang muslim sejati. Kebencian itu seharusnya telah tertanam di dalam relung hatinya yang paling dalam, sehingga ia dengan spontan akan menolak keburukan tersebut.
وَ كَرَّهَ إِلَيْكُمُ اْلكُفْرَ وَ اْلفُسُوقَ وَ اْلعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan hati setiap mukmin benci terhadapa kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan. Artinya setiap mukmin akan membenci dan menjauhi seluruh perilaku dan perbuatan yang mengarah kepada perbuatan durhaka kepada Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dari sebab itu, jika ada suatu majlis yang di dalamnya terdapat ghibah, fitnah atau namimah yang termasuk bentuk perbuatan durhaka, maka ia akan membenci majlis tersebut lalu menjauhi dan meninggalkannya.
عن أبي أمامة قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا
اْلإِيْمَانُ؟ قَالَ: إِذَا سَرَّتْكَ حَسَنَتُكَ وَ سَاءَتْكَ سَيِّئَتُكَ
فَأَنْتَ مُؤْمِنٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا اْلإِثْمُ ؟ قَالَ:
إِذَ حَاكَ فىِ صَدْرِكَ شَيْءٌ فَدَعْهُ
Di antara sifat mukmin adalah, jika ia mengerjakan berbagai kebaikan maka perbuatannya tersebut menyenangkannya dan ia tidak menyesal di dalam mengerjakannya. Meskipun keletihan yang ia dapatkan, ataupun ia mesti kehilangan sebahagian waktu dan hartanya bahkan kalau perlu jiwa berpisah dengan raganya. Ia senang dan bahagia dengan kebaikan-kebaikan tersebut sebab ia tahu bahwa ketika ia berbuat baik kepada dirinya dan orang lain, maka sebetulnya ia telah berbuat baik untuk dirinya sendiri. Dan sebaliknya, jikalau ia berbuat buruk maka sebetulnya ia telah berbuat buruk untuk dirinya sendiri.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَ مَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَ مَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلعَبِيدِ
Bersamaan dengan itu, sifat mukmin lainnya adalah, jika ia melakukan satu perbuatan buruk apakah berupa ghibah, namimah atau selainnya, maka perbuatan buruk itu akan membuatnya susah dan gelisah. Dikala hendak tidur, ia sulit memejamkan matanya. Disaat hendak menyantap hidangan, ia sulit menyuapkan hidangan itu ke mulutnya. Di waktu berada bersama handai taulan ia enggan berkomunikasi dengan mereka. Hal ini disebabkan, ia masih teringat dengan perbuatan buruk dan dosanya yang telah ia kerjakan. Ia amat menyesal dan gundah, meskipun ketika ia mengerjakan perbuatan buruk itu dalam keadaan terpaksa. Sebab ia mengerti bahwa semua perbuatan buruknya itu akan mendatangkan keburukan pula pada hari kiamat nanti.
Oleh sebab itu, seorang mukmin yang benar keimanannya akan sangat membenci semua ucapan dan perbuatan yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala dan menghilangkan keridloan-Nya.
2. Menegur orang yang melakukannya
Jika telah tertanam di dalam diri seorang muslim rasa benci kepada berbagai perbuatan buruk, maka akan muncul dorongan dalam dirinya untuk menegur dan mencegah orang yang sedang mengerjakannya.
Sikap tersebut akan terus memotivasinya untuk mengingkari segala perbuatan buruk yang dilakukan orang-orang yang berada di sisinya. Hal ini jelas terwujud dalam kehidupannya, dikala ada seseorang menceritakan aib seorang muslim atau mencelanya maka ia akan menegurnya dengan santun, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya radliyallahu anhum.
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: حَكَيْتُ لِلنَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم رَجُلاً فَقَالَ: مَا يَسُرُّنىِ أَنىِّ حَكَيْتُ رَجُلاً
وَ إِنَّ ليِ كَذَا وَ كَذَا قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ
صَفِيَّةَ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا كَأَنَّهَا تَعْنىِ :
قَصِيْرَةٌ فَقَالَ: لَقَدْ مَزِجْتِ بِكَلِمَةٍ لَوْ مُزِجَ بِهَا مَاءُ
اْلبَحْرِ لَمـُزِجَ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Mensifatkan aib badan merupakan satu bahagian dari ghibah”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 25].
Ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendengar istrinya tercintanya yakni Aisyah radliyallahu anha menyebutkan dengan isyarat tentang tubuh pendek (mungil) madunya yakni shafiyyah radliyalllahu anha. Beliau menegur apa yang dikatakan oleh Aisyah radliyallahu anha, bahwa jika ucapan itu dicampurkan ke air laut yang rasanya asin niscaya ucapan itu akan merubah rasa air laut tersebut. Begitu dahsyat pengaruh ucapan tersebut, apalagi dengan ghibah yang lebih dari itu, tentu akan lebih busuk dan lebih jelek akibatnya. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar selalu menjauhkan kita darinya.
Begitu pula ketika ada seseorang mencela Malik bin Dukhsyum radliyalllahu anhu dengan mencapnya sebagai seorang munafik, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegur orang itu dan mempertahankan kemuliaan Malik yang telah mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”, yang dengan ucapan itu ia dapat diharamkan masuk neraka, selama mencari keridloan Allah, sebagaimana hadits berikut ini,
Dari Itban bin Malik radliyallahu anhu berkata (dalam haditsnya yang panjang), Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri sholat lalu bertanya, “Dimanakah Malik bin Dukhsyum?”. Berkata seseorang, “Dia adalah orang munafik yang tidak menyukai Allah dan Rosul-Nya”. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau mengatakan demikian, bukankah engkau melihatnya mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” yang ia menginginkan ridlo Allah dengannya.
وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلىَ النَّارَ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغىِ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajib membela ahli iman, mempertahankan kehormatan mereka di kala sedang ghaib (tidak berada di tempat), menolong dan tidak mengabaikan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 491].
Dari Ka’b bin Malik radliyallahu anhu di dalam haditsnya yang panjang mengenai kisah taubat dirinya, berkata, bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika berada di tengah kaum pada waktu perang Tabuk, “Apa yang sedang dikerjakan oleh Ka’b bin Malik?”. Seorang lelaki dari Bani Salamah berkata, “Pakaian dan kekaguman terhadap dirinya telah menahannya (dari perang) wahai Rosulullah!”. Maka Mu’adz bin Jabal berkata,
بِئْسَ مَا قُلْتَ
“Amat jelek apa yang telah engkau katakan itu !!. Wahai Rosulullah, kami tidak mengetahuinya melainkan kebaikan”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun diam. [HR al-Bukhoriy: 4418 dan Muslim: 2769. asy-Syaikh al-Albaniy telah menshahihkannya, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1918]. [Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 483].
Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu menegur seseorang yang berburuk sangka tentang kondisi Ka’b bin Malik radliyallahu anhu yang tertahan dari mengikuti perang Tabuk. Ia menyangka bahwa Ka’b itu tertahan dari perang lantaran ia sedang mengagumi pakaian dan keelokan dirinya. Maka Mu’adz membela kehormatan saudara seimannya dengan ucapan, “Amat jelek apa yang telah engkau katakan itu !!. Wahai Rosulullah, kami tidak mengetahuinya melainkan kebaikan”.
Begitulah seharusnya sikap muslim terhadap muslim yang lain, yakni saling membela dan mempertahankan kemuliaan saudaranya. Dan berusaha menegur dan mengingatkan orang yang bermudah-mudahan di dalam mengghibah orang lain dengan cara yang lemah lembut dan santun.
Dari Abu Hurairah radliyalllahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mendatangi orang yang mabuk (dari minuman keras)”. Lalu Beliau menyuruh (para shahabat) untuk menyambuknya. Diantara kami ada yang menyambukinya dengan tangannya, ada yang dengan sendalnya dan yang dengan pakaiannya. Setelah selesai, ada seseorang berkata, “Mengapakah dia, mudah-mudahan Allah menghinakannya”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
(فى رواية: لاَ تَقُوْلُوْا هَكَذَا) لاَ تَكُوْنُوْا عَوْنَ الشَّيْطَانِ عَلىَ أَخِيْكُمْ
Jadi jika ada seorang muslim melakukan perbuatan dosa atau kesalahan. Lalu orang itu dicela dengan maksud merendahkannya atau dighibah dengan tujuan menghinakannya. Maka berarti celaan dan ghibah itu boleh jadi merupakan salah satu bantuan bagi setan untuk menggelincirkannya ke dalam kesesatan atau menjauhkannya dari kebenaran.
Sebab dengan fitrahnya sebagai manusia, seseorang bisa saja tersandung ke dalam perbuatan dosa dan nista. Jika semua orang memojokkan dan menghujatnya dengan berbagai cercaan dan hujatan yang menghinakan dan merendahkan maka ia akan merasakan sempit dada dan merasa seakan tiada lagi jalan keluar baginya. Akhirnya tak sedikit di antara mereka yang berbuat dosa itu enggan untuk kembali kepada jalan yang benar lagi lurus dan tetap di dalam kemaksiatan. Maka tujuan setan untuk mengajak manusia ke dalam neraka dan menghalang-halangi mereka dari surgapun tercapai.
Oleh karena itu, tidak patut bagi muslim untuk menjadi pembantu setan untuk menggelincirkan saudaranya ke dalam kesesatan dan jurang api neraka, meskipun kebanyakan mereka tidak menyadarinya. Tapi hendaklah ia berupaya menyelamatkannya dari tipu daya setan dengan cara menasihatinya jika berbuat salah atau membelanya ketika ada orang lain yang mencerca dan mengghibahinya dengan pembelaan yang dibenarkan oleh syariat.
3. Membela saudaranya yang mukmin ketika dighibah
Sikap selanjutnya yang mesti dimiliki oleh setiap muslim adalah membela saudaranya yang sedang dighibah. Ia tidak boleh bersikap masa bodoh dan membiarkan saudaranya yang muslim dighibah oleh orang lain. Jika ia membiarkan saudaranya itu dighibah tanpa ada usaha untuk membela dan mempertahankan kehormatannya, padahal ia mampu untuk membelanya maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan balasan keburukan baginya dan akan membiarkannya berada di dalam suatu kesulitan, yang di tempat itu ia sangat menginginkan pertolongan-Nya.
عن جابر و أبى طلحة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم
قَالَ: مَا مِنِ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَءًا مُسْلِمًا فىِ مَوْطِنٍ
يُنْتَقَصُ فِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ وَ يُنْتَهَكُ فِيْهِ مِنْ حُرْمَتِهِ
إِلاَّ خَذَلَهُ اللهُ تعالى فىِ مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيْهِ نُصْرَتَهُ وَ
مَا مِنْ أَحَدٍ يَنْصُرُ مُسْلِمًا فىِ مَوْطِنٍ يُنْتَقَصُ فِيْهِ مِنْ
عِرْضِهِ وَ يُنْتَهَكُ فِيْهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلاَّ نَصَرَهُ اللهُ فىِ
مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيْهِ نُصْرَتَهُ
عن ابن أم عبد [ ابن مسعود] قَالَ: مَنِ اغْتُيِبَ
عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَنَصَرَهُ جَزَاهُ اللهُ بِهَا خَيْرًا فىِ الدُّنْيَا
وَ اْلآخِرَةِ وَ مَنِ اغْتُيِبَ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ فَلَمْ يَنْصُرْهُ
جَزَاهُ اللهُ فىِ الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةِ شَرًّا وَ مَا الْتَقَمَ
أَحَدٌ لُقْمَةً شَرًّا مِنِ اغْتِيَابِ مُؤْمِنٍ إِنْ قَالَ فِيْهِ مَا
يَعْلَمُ فَقَدِ اغْتَابَهُ وَ إِنْ قَالَ فِيْهِ بِمَا لاَ يَعْلَمُ
فَقَدْ بَهَتَهُ
عن أنس رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم
قَالَ: مَنْ نَصَرَ أَخَاهُ بِظَهْرِ اْلغَيْبِ نَصَرَهُ اللهُ فىِ
الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةِ
Saling tolong menolong antar sesama muslim adalah hal telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam alqur’an yang mulia. (1) Begitu pula Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan agar mereka memudahkan diri untuk menolong saudaranya yang mendapat kesulitan atau musibah. Maka Allah Jalla Jalaaluhu senantiasa akan menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.
عن أبى هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم: وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ
أَخِيْهِ
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: انْصُرْ أَخَاكَ ظَاِلمـًا أَوْ مَظْلُوْمًا فَقَالَ
رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُوْمًا
أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَاِلمـًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ ؟ قَالَ: تَحْجِزُهُ
أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Wajibnya menolong orang yang dizholimi. Mencegah tangan orang yang berbuat zholim (dari berbuat zholim) adalah bentuk menolongnya dari (godaan) hawa nafsu dan setannya. Wajibnya beramar ma’ruf nahi munkar. Wajibnya menegakkan hak persaudaraan atas dasar iman. Islam memindahkan (mengganti) pemahaman jahiliyah dari penghancuran (destruktif) kepada pembangunan (konstruktif). Ketika di masa jahiliyah mereka saling tolong menolong, sama saja apakah mereka adalah orang-orang yang dizholimi atau yang berbuat zholim kepada selain mereka atas dasar fanatik jahiliyah. Lalu Islam mengajarkan para penganutnya untuk meletakkan perkara-perkara itu pada tempatnya. Maka seorang muslim itu akan menolong saudaranya yang dizholimi dengan cara memberikan haknya dan berusaha mencegah orang yang hendak menzholiminya. Dan juga menahan tangan orang yang hendak berbuat zholim, yaitu ia tidak akan membiarkannya memakan harta manusia, mengoyak kehormatan mereka dan menumpahkan darah mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 326].
Dalil di atas dan penjelasannya menerangkan tentang perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya untuk senantiasa menolong saudaranya yang dizholimi, yakni menolongnya ketika dikoyak dan dirusak kehormatannya dengan cara membelanya dihadapan orang yang mengghibahi atau memfitnahnya dengan cara yang ma’ruf. Adapun menolong saudaranya yang berbuat zholim adalah mencegah lisannya dari berucap atau menahan tangannya dari menulis keburukan orang lain yang bertajuk ghibah atau fitnah dengan nashihat yang tepat, lemah lembut dan menembus hatinya yang paling dalam.
Menolong saudara yang sedang tidak berada di tempat (ghaib) adalah membela dan mempertahankan kehormatan atau harga dirinya ketika saudaranya itu sedang dighibah. Di tempat itu kehormatannya dicela, dirusak dan dihancurkan tanpa pembelaan dari orang yang dighibah. Dari sebab itu, jika seorang hamba muslim melihat dan mendengar saudaranya dighibah tanpa pembantahan dari saudaranya tersebut, maka wajiblah baginya untuk membela dan mempertahankan kehormatannya dengan seukuran kemampuan dan kesanggupannya. Bila hamba tersebut membela saudaranya di dalam mempertahankan kehormatan saudaranya, maka Allah tabaroka wa ta’ala kelak akan menolongnya suatu waktu nanti di dunia dan akhirat di saat ia sangat membutuhkan pertolongan-Nya dan juga akan memberi balasan kebaikan untuknya kelak. Tetapi jika tidak, yakni ia membiarkan saudaranya dighibah padahal ia mampu untuk menolongnya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengabaikannya tanpa memberi pertolongan kepadanya di saat ia sangat membutuhkan pertolongan-Nya di dunia ataupun akhirat dan Allah juga akan memberikan balasan keburukan untuknya pada hari kiamat kelak.
Jadi bagi seorang hamba muslim yang membela saudaranya yang sedang dighibah akan memperoleh balasan kebaikan dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan akan ditolong oleh-Nya pada waktu yang ia sangat membutuhkan pertolongan-Nya di dunia ini dan kelak pada hari kiamat. Tidak hanya itu, bahkan Allah Azza wa Jalla akan memerdekakannya dari jilatan api neraka dan akan menolak api neraka dari menyentuh wajahnya pada hari kiamat. Hal ini berdasarkan kepada dalil-dalil hadits berikut ini,
عن أسماء بنت يزيد قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه و سلم: مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيْهِ فىِ اْلغَيْبَةِ كَانَ حَقًّا
عَلىَ اللهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
عن أبى الدرداء رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ
النَّارَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
1). “Sepantasnya bagi orang yang mendengar ghibah seorang muslim untuk menolaknya dan menegur orang yang mengucapkannya. Barangsiapa yang tidak mampu (menegurnya) maka hendaklah ia meninggalkan majlis tersebut.
2). Keutamaan menghalangi si pengghibah, menahannya dari terjatuh ke dalam yang haram dan mencegah ghibah dari orang yang ingin dighibah.
3). Membela muslim dan menjaga kehormatannya merupakan jalan keselamatan dari adzab neraka Jahannam pada hari kiamat. Di dalamnya juga terdapat penjelasan tentang besarnya keutamaan bagi orang yang mencegah ghibah dan menghalangi si pengghibah”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 32].
Ringkasnya, setiap muslim itu wajib membela dan mempertahankan kemuliaan dan kehormatan saudaranya ketika sedang dighibah atau difitnah dengan kadar kesanggupannya, sebab di dalam hal ini terdapat banyak keutamaan.
4. Merahasiakan aib saudaranya
Namun jika ia telah terlanjur melihat, mendengar dan mengetahui aib dan kekurangan saudaranya, setelah ia menegur dan menashihati si pengghibah dan membela kehormatan saudaranya yang di ghibah, maka hendaklah ia merahasiakan dan menyembunyikan aib dan kesalahan saudaranya itu dari orang lain. Ia dilarang untuk menceritakan bahkan menyebarluaskannya kepada orang lain meskipun untuk tujuan kebaikan tetapi tidak sesuai dengan dalil syar’i.
Allah Subhanahu wa ta’ala melalui Rosul-Nya telah menjanjikan kebaikan bagi seorang muslim yang merahasiakan aib saudaranya dengan berbagai kebaikan, satu di antaranya adalah; Allah Azza wa Jalla akan merahasiakan aibnya di dunia dan akhirat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini,
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ اْلقِياَمَةِ
عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: مَنْ سَتَرَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ اْلمـُسْلِمِ سَتَرَهُ اللهُ
عَوْرَتَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فىِ الدُّنْيَا
وَ اْلآخِرَةِ
Berkata al-Imam ash-Shin’aniy rahimahullah, “Barangsiapa yang merahasiakan (aib) seorang muslim yang tampak darinya atas sesuatu yang tidak sepantasnya ditampakkan berupa kekhilafan dan kesalahan. Maka sesungguhnya ia akan diberi balasan dengan sebab perbuatannya merahasiakan (aib)nya itu (dengan balasan) di dunia dan akhirat. Allah akan merahasiakan (aib)nya di dunia dengan tidak melakukan kekhilafan yang ia tidak suka diperlihatkan kepada selainnya. Jika ia melakukannya, Allah tidak akan memperlihatkannya kepada seseorangpun atasnya. Merahasiakan (aib)nya di akhirat adalah dengan cara mengampuni dosa-dosanya dan tidak menampakkan keburukan-keburukannya, dan selainnya”. [Subul as-Salam: IV/ 311].
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فىِ الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ
اللهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Barangsiapa merahasiakan (aib) seorang hamba di dunia ini maka Allah akan merahasiakan (aib)nya pada hari kiamat, adakalanya dengan mengampuni dosanya, yaitu Allah tidak akan mempertanyakannya. Atau adakalanya Allah tidak akan membuka atau memperlihatkannya di hadapan pemimpin para makhluk.
Balasan itu sesuai dari jenis amalnya.
Barangsiapa melihat dosa atau kesalahan dari saudaranya, sepatutnya ia merahasiakannya atau menashihatinya. Ini bukan hanya (tugas) para pemimpin”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 329].
Dengan dalil-dalil dan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa siapapun muslim yang merahasiakan dan menyembunyikan aib dan kesalahan saudaranya yang muslim maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan merahasiakan aibnya di dunia dan akhirat. Maksudnya, merahasiakan aibnya di dunia itu dengan cara dijauhkan dari aib dan kekhilafan yang dapat mempermalukan dan merusak kehormatannya di dunia ini atau perbuatan aib dan kekhilafan yang telah dikerjakannya itu tidak sampai diketahui (atau tetap menjadi rahasia) oleh orang lain sampai kematian menjemputnya. Adapun merahasiakan aibnya di akhirat itu dengan cara, Allah Azza wa Jalla mengampuni dosa dan kesalahannya yakni Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mempertanyakannya atau Allah Jalla dzikruhu tidak membuka dan membeberkan dosa dan kesalahannya itu di hadapan seluruh makhluk kelak pada hari kiamat.
5. Tabayyun kepada orang yang dighibah
Sikap selanjutnya yang banyak dilupakan oleh sebahagian besar umat ini adalah tabayyun dan tatsabbut. Mereka sudah terbiasa mendengar aib seseorang lalu menelannya dan bahkan kemudian menyampaikannya kepada orang lain tanpa mau bertabayyun dan menyaring berita terlebih dahulu. Sehingga terkadang suatu berita tentang aib seseorang itu, jika dibiarkan dari waktu ke waktu akan menjadi semakin bertambah meluas, berkembang dan membahayakan.
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin untuk selalu bertabayyun jika datang suatu berita kepadanya dari seseorang yang boleh jadi ia adalah seorang yang fasiq. Sebab bisa jadi, jika mereka terpengaruh dengan berita tersebut lalu menelannya dan kemudian ikut menyebarluaskannya, namun ternyata berita tersebut hanyalah rekayasa semata tentu berita itu akan menyudutkan seseorang. Lalu jika berita itu sudah terlanjur menyudutkan dan merusak kehormatan seseorang, lantas orang tersebut menjadi bersedih karenanya dan berduka akan kehilangan harga dirinya, maka suatu saat mereka akan menyesal terhadap apa yang mereka lakukan terhadap orang tersebut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Ayat ini sesungguhnya memiliki penyebab turunnya ayat ini (asbabun nuzul) yaitu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu’ith ke Bani al-Mushthaliq untuk mengambil zakat harta mereka. Namun antara mereka dan keluarga al-Walid ada permusuhan pada masa jahiliyah. Al-Walid takut memasuki daerah mereka, dan ini termasuk dari waswas setan. Lalu ia kembali dan menutupi rasa takut yang menimpanya atas dirinya. Kemudian ia menceritakan bahwa mereka enggan membayar zakat dan bahkan ingin membunuh dirinya maka inilah yang membuat ia lari kabur menghindari mereka. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam murka dan ingin memerangi mereka. Beliau senantiasa seperti itu sampai datang utusan dari mereka untuk meminta keridloan dan kerelaan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lantaran khawatir dari keburukan yang dilaporkan olehnya tentang mereka. Lalu mereka mengkhabarkan bahwasanya mereka berada di atas perjanjian, sedangkan al-Walid kembali dari jalan itu dan tidak sampai kepada mereka. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus Kholid bin al-Walid dari arah (yang lain). Lalu ia sampai pada mereka sebelum maghrib. Tiba-tiba mereka (yaitu Bani al-Mushthaliq) mengumandangkan adzan lalu sholat maghrib dan isya. Maka tahulah (Kholid) bahwasanya mereka itu tidak murtad dan mereka dalam kebaikan, alhamdulillah. Dan akhirnya iapun datang dengan membawa harta-harta zakat. Lalu Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini”. [Aysar at-Tafasir: V/ 124-125 dan yang semakna di Tafsir al-Qur’an al-Azhim: IV/ 252-253].
Ia menambahkan, “Diwajibkan tatsabbut (teguh) terhadap kabar penting yang terkadang dapat menimbulkan gangguan dan bahaya terhadap orang yang dikatakannya. Diharamkan tergesa-gesa menyebarkan berita hanya dengan persangkaan, yang setelah itu dapat menimbulkan penyesalan bagi pelakunya di dunia dan akhirat”. [Aysar at-Tafasir: V/ 126].
Mengambil ibrah dari kisah turunnya ayat ini, bahwa jika datang suatu berita namun seorang muslim tergesa-gesa dalam menentukan dan mengambil sikap serta meninggalkan tatsabbut maka boleh jadi sikapnya tersebut akan mendatangkan penyesalan berupa keburukan dan bencana untuk orang lain di dunia dan akan mendatangkan pula kerugian baginya pada hari kiamat.
Jika saja Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengutus Khalid bin al-Walid radliyallahu anhu lalu Khalid tidak mendengar adzan dan melihat mereka sholat maghrib dan isya secara berjamaah, boleh jadi apa yang dituduhkan oleh al-Walid bin Mu’ith itu benar bahwa Bani al-Mushthaliq telah murtad lantaran tidak mau membayar zakat harta mereka dan bahkan hendak membunuhnya, padahal ia adalah utusan dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Beliau akan mengirim pasukan untuk memerangi dan menghancurkan mereka, sehingga dari fitnah al-Walid tersebut akan menimbulkan bencana dan kehancuran bagi Bani al-Mushthaliq. Pada akhirnya, jika Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyalllahu anhum tahu bahwa tuduhan al-Walid itu hanyalah rekayasa semata dan perbuatan mereka tersebut adalah salah maka peristiwa itu hanya akan mendatangkan penyesalan belaka. Namun Allah Subhanahu wa ta’ala tunjukkan bahwa tuduhan itu tidak benar, sehingga Khalid melihat mereka menunaikan sholat dan bahkan membayar zakat harta mereka, maka bencana dan mushibah itupun tidak terjadi.
Setelah turunnya ayat tentang tabayyun ini, maka diperintahkan kepada setiap muslim untuk senantiasa mengerjakan dan membiasakannya, sebagai satu bentuk ketaatan dan ketundukan kepada perintah Allah Subhanahu wa ta’ala
Perilaku tabayyun inipun pada akhirnya senantiasa dilakukan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai teladan yang terbaik bagi umat ini. Misalnya, di waktu peristiwa perang Bani al-Musthaliq (al-Muraisi’), (2) Zaid bin Arqom radliyalllahu anhu pernah mengadu kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang ucapan pentolan kaum munafikin Abdullah bin Ubay bin Salul kepada para kawannya, “Janganlah kalian berinfak kepada orang-orang yang berada di sisi Rosulullah sehingga mereka bubar dari sisinya”. Dan juga berkata, “Benar-benar jika kami telah kembali ke kota Madinah, orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah darinya”. Setelah mendengar pengaduan Zaid, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk memanggil Abdullah bin Ubay untuk mencari kebenaran berita tersebut (tabayyun/ konfirmasi) dengan bertanya kepadanya. Namun Abdullah bin Ubayy dan kawan-kawannya bersumpah tidak melakukannya, maka Beliaupun mendustakan Zaid dan percaya kepada ucapan Abdullah bin Ubay. Sehingga kaum muslimin beranggapan bahwa Zaid telah berbohong kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka seakan-akan dunia terasa sempit baginya. Lalu turunlah alqur’an surat al-Munafikun surat ke 63 ayat 7 dan 8 yang membenarkan Zaid bin Arqom radliyalllahu anhu. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memanggil mereka agar Beliau memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka, namun mereka enggan dengan menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Peristiwa konfirmasi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada pentolan kaum munafikin tersebut telah terabadikan di dalam hadits berikut ini,
عن زيد بن أرقم رضي الله عنه قاَلَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيْهِ شِدَّةٌ
فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ لِأَصْحَابِهِ: لاَ تُنْفِقُوْا عَلَى
مَنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ حَتىَّ يَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِهِ وَ قَالَ:
لَئِنْ رَجَعْنَا إِلىَ اْلمـَدِيْنَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا
اْلأَذَلَّ قَالَ: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم
فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَأَرْسَلَ إِلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُبَيٍّ
فَسَأَلَهُ فَاجْتَهَدَ يَمِيْنَهُ مَا فَعَلَ فَقَالُوْا: كَذَبَ زَيْدٌ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَوَقَعَ فىِ نَفْسِى مِمَّا قَالُوْهُ
شِدَّةٌ حَتىَّ أَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقِى (إِذَا جَاءَكَ
اْلمـُنَافِقُوْنَ) قَالَ: ثُمَّ دَعَاهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و
سلم لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ قَالَ: فَلَوَّوْا رُؤُوْسَهُمْ
Ada kisah lain yang dapat di ambil ibrah, sebagaimana yang dituturkan oleh Abu Said al-Khudriy radliyalllahu anhu yakni kisah tentang pengaduan istrinya Shofwan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Perempuan itu bercerita tentang perilaku suaminya, yaitu Shofwan yang memukulinya apabila ia sholat malam, menyuruhnya berbuka ketika ia sedang shaum sunnah dan tidak sholat (shubuh) kecuali matahari telah terbit. Namun Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak begitu saja mempercayainya sehingga bertanya kepada Shofwan yang kebetulan berada di sisinya. Dan Shofwanpun membenarkannya tetapi dengan beberapa alasan. Istrinya Shofwan bercerita kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam rangka meminta keadilan dan hukum, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada Shofwan dalam rangka konfirmasi (tabayyun) dan Shofwanpun menjelaskan alasan-alasannya mengapa ia berbuat demikian, sehingga terurailah dengan jelas persoalan dan hukum-hukumnya. Hal ini telah dituangkan di dalam hadits berikut ini,
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyalllahu anhu berkata, “Seorang wanita pernah datang menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan kami berada di sisinya. Ia berkata, “Wahai Rosulullah sesungguhnya suamiku Shofwan bin al-Mu’aththol memukuliku apabila aku sholat, menyuruhku berbuka jika aku shaum dan ia tidak sholat shubuh kecuali matahari telah terbit”. Berkata Abu Sa’id, “sedangkan Sofwan berada di sisinya”. Lalu Beliau bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan istrinya. Sofwan berkata, “Wahai Rosulullah, adapun ucapannya, “ia memukuliku apabila aku sholat”. Sesungguhnya ia membaca dua surat padahal aku telah melarangnya”. Berkata Abu Sa’id, bersabda Rosulullah,
لَوْ كَانَتْ سُوْرَةٌ وَاحِدَةٌ لَكَفَتِ النَّاسَ
“Seandainya satu surat saja niscaya akan mencukupi manusia”. Adapun ucapannya, “menyuruhku berbuka jika aku shaum”. Istriku suka shaum sedangkan aku seorang pemuda maka tentu aku tidak akan sabar. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ تَصُوْمُ امْرَأَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا
“Tidak boleh seorang wanita mengerjakan shaum (sunnah) melainkan dengan seidzin suaminya”. Adapun ucapannya, “aku tidak sholat kecuali telah terbit matahari. Kami adalah tulang punggung keluarga, sungguh-sungguh hal tersebut telah diketahui. Kami tidak dapat bangun tidur hingga terbit matahari. Beliau bersabda,
فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ
“Apabila engkau bangun maka sholatlah”. [HR Abu Dawud: 2459, Ahmad: III/ 80, al-Hakim: 1636 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abii Dawud: 2147 dan Irwa’ al-Ghalil: VII/ 64-65].
Dalil-dalil di atas dan yang semisal lainnya telah membimbing kaum muslimin agar bersikap arif dan bijaksana ketika ia mendengar saudaranya dighibah, jangan bertindak tergesa-gesa dan gegabah. Ia berkewajiban tabayyun dan mengkonfirmasi akan kebenaran berita yang sampai kepadanya. Sehingga ia bisa berlaku adil dan tidak menzholimi salah seorang di antara mereka yang berselisih. Tetapi jika ternyata salah seorang dari mereka lebih fasih dan lebih cakap dalam berbicara sehingga ia dapat membalikkan fakta yang sebenarnya dan bahkan menyudutkan posisi orang lain, padahal boleh jadi orang yang disudutkan tersebut sebenarnya di atas kebenaran. Lalu yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar maka ia hanya berhak menilainya dari yang lahiriyahnya saja dan tidak batiniyahnya. Kelak Allah Subhanahu wa ta’ala akan menghukum orang-orang yang berselisih itu dengan adil pada hari kiamat.
عن أم سلمة رضي اللله عنها عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: إِنمَّاَ أَنَا بَشَرٌ وَ إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُوْنَ إِلَيَّ وَ
لَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُوْنَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ
فَأَقْضِي لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ
أَخِيْهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً
مِنَ النَّارِ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Seorang qodli (pembuat keputusan) memutuskan antara dua orang yang berselisih dengan apa yang nampak (lahir) baginya dari bukti-bukti dan hal-hal yang terkait. Dia menghukum dengan yang lahir (nampak) sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala menguasai yang rahasia. Wajib bagi qodli dan hakim agar tidak membuat keputusan sebelum mendengar persaksian dari dua orang yang berselisih tersebut”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 313].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat peringatan keras akan penetapan hukumnya seorang hakim tanpa bukti yang kuat di hadapannya, dalam perkara apapun dan kendatipun pada kerabatmu yang terdekat”. [Syarh Riyaadl sh-Shaalihiin: II/ 80].
Ringkasnya, jika terjadi seseorang mengghibahi saudaranya maka hendaklah seorang muslim yang mendengar ghibah tersebut tidak langsung mempercayainya sampai ada bukti akan kebenaran berita itu. Tetapi hendaklah bertabayyun terlebih dahulu. Jika ternyata benar apa yang diucapkannya itu maka iapun tidak berhak untuk menyebarluaskan aib dan kekurangan orang tersebut, tetapi tetap merahasiakannya, dan hendaklah juga ia menashihati orang yang gemar mengghibahi orang lain itu. Bahkan jika perlu dan ada mashlahatnya, hendaknya ia mempertemukan kedua orang tersebut agar berdamai dan menjaga ukhuwah di antara mereka. Seandainya salah satunya ternyata ada yang lebih fasih dan cakap dalam berbicara, pandai membuat hujjah (argumen) dan pintar melobi orang lain untuk mendukungnya, sehingga dengan perbuatannya itu ia dapat memojokkan yang lainnya maka serahkan urusan tersebut kepada Allah Azza wa Jalla sebagai pembuat keputusan yang paling adil di antara mereka. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan meluputkan sesuatupun di dalam keputusan-Nya meskipun hanya sebesar biji sawi atau setipis kulit ari.
Semoga pembahasan ini bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan serta bimbingan bagi saudara-saudara muslimku seluruhnya, jika mendengar ada ghibah yang sedang berkumandang. Agar kita tidak salah dalam berpihak dan tidak keliru di dalam bersikap. Insyaa’ Allah akan berlanjut ke GHIBAH 5.
Wallahu a’lam bish showab.
Catatan kaki,
1). Lihat QS. Al-Ma’idah/ 5: 2. ((Saling tolong menolonglah kalian di dalam kebaikan dan ketakwaan))
وَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلبِرِّ وَ التَّقْوَى
2). Lihat Aysar at-Tafasir: V/ 356 dan Fat-h al-Bariy: VIII/ 644.