السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Rabu, 11 Juli 2012

GHIBAH 1


GHIBAH DAN PERMASALAHANNYA

بسم الله الرحمن الرحيم

Dimasa sekarang ini, berbagai jenis kemungkaran telah dan sedang merajalela di segala tempat dan di sembarang orang. Dan terkadang sudah menjadi hal biasa dan pemandangan yang lumrah di masyarakat, dan bahkan nyaris menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.

Di antara perkara kemungkaran yang paling populer sekarang ini adalah ghibah yang dikemas dengan istilah infotainment, suatu kemungkaran yang diberinama bukan dengan namanya agar menipu dan memperdaya manusia. Padahal lebih patut barangkali disebut dengan ghibahtainment atau bahkan buhtantainment.

Kita dapat lihat, ghibah ini telah menjadi legal dan membudaya di mata masyarakat dengan munculnya tayangan-tayangan di televisi dengan beraneka judul di berbagai stasiun televisi dan begitu pula di radio, dari pagi membentang hingga malam menjelang. Lalu dilakukan berbagai upaya kendatipun dengan cara-cara yang tercela untuk menaikkan rating acara tersebut sebagai suatu acara favorit yang patut diacungi jempol dan layak diperhitungkan. Bahkan banyak pula dijumpai acara reality show yang mengandung perilaku ghibah dan tajassus yang terlarang ini. Entah direkayasa atau tidak, acara-acara tersebut semuanya itu tidak ada unsur pendidikannya sama sekali. Tetapi, hanya akan membawa kepada kerusakan moral bagi selainnya dan penistaan dan kehancuran bagi orang-orang tertentu yang menjadi objek perburuan berita tersebut. Apalagi sekarang ini, acara-acara tersebut akan mendapatkan awards, yakni apresiasi dan penghargaan atas jerih payah mereka membedah, menguliti, mencincang dan mengolah bangkai kaum muslimin dengan berbagai racikan bumbu lalu menghidangkannya kepada khalayak masyarakat dengan menu-menu yang menggiurkan. Subhaanallah, amat buruk apa yang mereka usahakan itu.

Atau juga dengan munculnya beberapa koran, tabloid atau majalah yang khusus menyebarkan berita-berita palsu atau kejelekan orang demi orang agar dikonsumsi dan dinikmati oleh orang lain. Dan semuanya itu juga dapat diakses dan dinikmati di dunia maya, karena semua pemberitaan itu telah dimasukkan ke dalam dunia internet dengan aneka ragam situsnya. Sehingga jutaan bahkan ratusan juta lebih manusia di seluruh dunia dapat menyantap hidangan tersebut secara langsung tanpa kendala dan tidak terkendali.

Para pencari berita (atau lebih tepatnya; pemburu aib) itu berusaha dengan maksimal dan seoptimal mungkin untuk mencari keburukan seseorang dengan mengintai, bertanya kepada kerabat, tetangga, kenalan atau juga lawannya.

Jika ada berita keretakan rumah tangga dari seorang publik figur, seketika itu ramailah rumah si objek berita oleh pemburu berita aib itu. Puluhan bahkan lebih, para pencari info itu berkumpul di rumah sasaran mereka dengan penuh harap untuk mendapatkan berita hangat yang terkini dan terbaru. Memadatkan halaman dan jalanan, menahan letih dan lapar hanya semata-mata untuk mendapat sesuatu yang mungkin mereka tidak sadar, dapat menambah kekisruhan dan keretakan rumah tangga pada target mereka tersebut. Tak jarang didapati, pertanyaan mereka kepada objek berita atau keluarganya, menampakkan ketidak santunan, langsung menuduh, memancing-mancing perkara yang lain dan kadang terlalu berlebihan. Membuat si objek itu terkaget-kaget, kesal, marah  dan akhirnya lari menghindar dari kejaran mereka. Begitukah moral bangsa ini, sekarang? Bukankah agama yang mereka anut mengajarkan akhlak dan etika yang mulia kepada mereka?? Coba bayangkan, jika anda atau salah satu keluarga anda yang diburu dan didakwa para pemburu berita aib itu. Dicecar dan dihujani oleh banyak pertanyaan dan tuduhan yang tidak anda sukai??. Mungkin andapun tidak menyukainya dan muak terhadap semuanya itu.

Dan jika dijumpai berita salah seorang yang sangat atau cukup dikenal masyarakat tersandung masalah korupsi, suap, skandal politik, narkoba, perselingkuhan, pertengkaran dengan orang lain dan sebagainya dari berbagai kesalahan, para papparazzi itu bersuka cita, bahagia dan bahkan berteriak kegirangan laksana seorang bocah kecil mendapatkan kembang gula. Artinya mereka akan segera mendapatkan suplai berita sebagai sumber penghidupan mereka di atas kesusahan orang lain. Hot issue (isu hangat) itu tampaknya telah menjadi sumber penghasilan pokok mereka dalam mengarungi bahtera hidup di dunia yang fana lagi hina ini. Dan boleh jadi mereka selalu berdoa dan berharap, semoga setiap saat ada orang-orang yang jatuh terjerembab ke dalam liang kesalahan dan lumpur dosa. Sebab mungkin bagi mereka, aib dan dosa orang adalah yang menghidupkan atau sumber kehidupan mereka. Sehingga ada sebuah pepatah, “berbahagia dan mendapat keuntungan di atas penderitaan orang lain”.  Ma’aadzallah.

Bahkan terkadang berita-berita itu dibuat dan dimuat dengan penuh rekayasa, mengarang-ngarang dan mengada-ada tanpa mencari kebenaran berita itu kepada calon yang diberitakan. Jika sudah dapat, segera aib dan keburukannya tersebut ditayangkan atau diterbitkan, dan mereka berharap dapat dinikmati oleh para pemirsa ataupun pembaca. Dengan itulah dapur para pencari berita itu ngebul lagi berasap dan lantaran dengan perbuatan keji itulah mereka mencari nafkah dan mendapat kemuliaan di dunia. Amat buruklah apa yang mereka kerjakan.

Sehingga banyak orang mempertanyakan kinerja para pemburu aib itu. Apa sebenarnya tujuan dari mereka untuk memburu berita? Apa hasil yang mereka dapatkan darinya?. Benarkan orang-orang dapat mengambil manfaat dari hasil jerih payah mereka menjatuhkan kemuliaan orang lain?. Dalih mereka adalah kami melakukan ini dengan niat dan tujuan yang baik dan untuk mendatangkan kemashlahatan bagi masyarakat luas. Sebab masyarakat mesti mengetahui kejadian yang sebenarnya dan layak mengkonsumsinya. Padahal berapa banyak manusia melakukan suatu keburukan dengan dalih kebaikan, dan tiada yang mereka dapat dan hasilkan melainkan keburukan pula.

Ghibah ini ternyata tidak hanya beredar di masyarakat awam saja. Tetapi juga merambah dunia orang-orang yang sedang menuntut dan mencari ilmu agama atau bahkan juga orang yang telah dikenal akan keilmuannya. Ilmu yang mereka pelajari itu ternyata belum dapat melindungi atau tidak mampu menjaga mereka dari kejahatan ghibah ini. Subhaanallah.

Masih banyak dijumpai majlis-majlis yang hanya disibukkan membicarakan keburukan, kekurangan atau sisi negatif seseorang tanpa memiliki tujuan untuk menarik mashlahat dunia dan akhirat bagi mereka dan orang lain. Atau juga didapati, setelah selesai bermajlis, diantara mereka ada berkumpul membuat halakoh lalu disitu digiatkan dengan menggunjing orang lain. Dengan penuh semangat di antara mereka membuka kedok aib, keburukan atau berbagai kekurangan seseorang atau komunitas lainnya dengan jelas dan gamblang tanpa perasaan bersalah dari barat sampai timur. Dan orang-orang disekitarnyapun dengan penuh antusias mendengarkan celoteh tersebut dengan tersenyum dan tertawa lebar.
Dan bahkan ada yang sampai terbawa perasaan dan terhanyut emosi sehingga ikut mencela dan membencinya. Tanpa berusaha untuk mengecek atau tabayyun kepada orang yang terghibah tersebut, apakah tuduhan itu benar atau tidak?. Dan terkadang terdapat keanehan, yakni para konsumen dan penikmat ghibah itu sendiri tidak mengenal secara pasti dan masih asing terhadap objek ghibahnya tersebut.
Adakalanya ketika sang ustadz mereka lewat dihadapan mereka yang sedang menggunjing, ia lewat tanpa menegur dan mengingatkan mereka akan keburukan dan kejahatan ghibah tersebut. Terkadang iapun ikut tersenyum penuh arti dan malah berperan serta di dalamnya. Jika demikian perilaku kaum pengajian, maka bagaimana dengan kaum awamnya??. Al-‘Iyaadzu billah.

Kebiasaan buruk ini tidak hanya terjadi di satu tempat saja, hampir di semua sudut majlis -meskipun tidak semuanya dengan rahmat Allah -Subhanahu wa ta’ala- dapat dijumpai kumpulan ini, dan kadang dengan sendirinya terbentuk menjadi komunitas ghibah atau ngrumpi. Terkadang jika ada salah seorang anggotanya tidak dapat atau tidak mau lagi berkumpul bersama mereka oleh suatu sebab, maka anggota yang lainnya akan menggunjingnya atau bahkan mengucilkannya. Sungguh suatu fenomena yang sangat ironis dan amat patut disayangkan.

Tak sedikit juga dijumpai satu keluarga (yang mengaku-ngaku sangat paham agama) yang menghabiskan sisa waktu mereka untuk menggunjing aib seorang muslim bahkan lebih. Terkadang ada seorang anak membawa kabar kepada ayah, ibu atau saudaranya yang lain akan keburukan seseorang muslim, lalu mereka menyantapnya bersama-sama dengan penuh kenikmatan laksana menikmati nasi berkat dari suatu undangan. Atau seorang ibu atau ayah yang membawa berita aib baru seorang muslim lainnya lalu menyuapi anak-anaknya dengannya laksana induk burung menyuapi anak-anaknya yang masih piyik. Atau bahkan di antara mereka ada yang tak segan-segan pula menggunjing besan, mertua, menantu, ipar, atau keluarga dari pasangannya masing-masing tanpa belas kasih. Subhaanallah amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.

Semuanya itu hanyalah kenikmatan hawa nafsu mereka belaka lantaran kebencian, kedengkian, dendam membara dan kelemahan iman dan kedangkalan ilmu mereka semata. Tapi mana mungkin mereka mau mengakuinya.

Seandainya mereka memanfaatkan waktu luang itu untuk hal-hal yang lebih positif dan bermanfaat, tentu hal itu akan lebih baik dan berguna. Semisal, merawat dan mendidik anak, melayani dan berbakti kepada suami, membuat makanan atau penganan yang dapat dikonsumsi oleh keluarga, bersilaturahmi kepada kerabat dan sahabat dengan bersama atau seidzin suami, membersihkan dan merapikan rumah dan lain sebagainya dari kewajiban para wanita. Atau melanjutkan mencari nafkah, bercengkrama dengan anak dan istri, melindungi dan mendidik keluarga, membaca dan menghafal alqur’an dan hadits dan lain sebagainya dari kewajiban kaum pria.

Banyak di antara kaum muslimin yang giat dalam mengamalkan beraneka ibadah, berupa sholat malam atau dluha, shoum senin-kamis atau shoum bayadl, bersedekah, membaca alqur’an bahkan menghafalnya, menunaikan ibadah haji atau umrah, menyantuni anak yatim dan kaum dlu’afa dan lain sebagainya dari berbagai macam ibadah. Atau telah mampu mengenakan pakaian muslimah, memelihara jenggot, tinggal di perumahan komunitas muslim dan selainnya yang menunjukkan ciri khas muslim. Atau juga telah mampu meninggalkan berbagai perbuatan maksiat, berupa kemusyrikan, bid’ah, minum khamer, berjudi ataupun berzina dan sejenisnya. Namun sayangnya, mereka tidak mampu atau mungkin tidak mau berusaha untuk menjauhkan diri, meninggalkan dan menanggalkan ghibah ini. Padahal  boleh jadi sebahagian besar mereka ada yang telah mengetahui bahwa ghibah itu juga termasuk kaba’ir yaitu dosa-dosa besar.

Demikian fenomena buruk yang telah terjadi dan jelas tergambar pada masa kini, yang sebenarnya penjelasannya itu telah tertuang di dalam ayat-ayat alqur’an dan hadits-hadits Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebagaimana akan datang dalil-dalilnya.

DEFINISI GHIBAH

Agar setiap muslim tidak ragu dan rancu terhadap istilah ghibah, ada baiknya dijelaskan disini akan definisi ghibah secara syar’i. Sebab jika ia telah mengetahui dengan jelas akan makna dan maksudnya maka mudah-mudahan ia dapat menjauhkan diri dan menghindar darinya, sebagaimana dalam kaidah,

Berkata seorang penyair [Ahkaam al-Jana’iz halaman 305 dan Mu’jam al-Bida’ oleh Ro’id bin Bashriy halaman 6],

عَرَفْتُ الشَّرَّ لاَ لِلشَّرِّ          لَكِنْ لِتَوَقِّيْهِ
وَ مَنْ لاَ يَعْرِفِ اْلخَيْرَ       مِنَ الشَّرِّ يَقَعُ فِيْهِ

Aku mengetahui keburukan bukan untuk mengerjakan keburukan
Tetapi untuk menghindarinya
Barangsiapa yang tidak mengetahui kebaikan dari keburukan
Maka ia akan jatuh terjerumus ke dalamnya

عن حذيفة بن اليمن يَقُوْلُ: كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلخَيْرِ َو كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَن يُدْرِكَنىِ

Dari Hudzaifah bin al-Yaman radliyallahu ‘anhu berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan karena aku khawatir keburukan itu akan menimpaku”. [HR al-Bukhooriy: 3606, 7084, dan lafazh ini baginya, Muslim: 1847, Ahmad: V/ 386-387, 403, 406, Abu Dawud: 4246 dan Ibnu Majah: 3979. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1231, Shahih Sunan  Abu Dawud: 3571, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3214, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2994, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1791  dan Misykah al-Mashobih: 5382].

Amat bijak, jika setiap muslim mengetahui berbagai keburukan yang telah diuraikan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-hadits yang shahih, khususnya masalah ghibah ini. Namun keingintahuannya itu bukan untuk pengamalan tetapi untuk penghindaran dan mencegah orang lain dari melakukannya. Dari sebab itu banyak para ulama yang menyusun kitab yang berisi himpunan berbagai macam dosa-dosa besar dan kecil, atau paling tidak, membuat bab-bab tersebut di dalam kitab mereka.

Pun demikian akan halnya ghibah, setiap hamba muslim mesti dan sepatutnya mempelajari dan memahami ghibah dan hal yang berkaitan dengannya serta akibat buruk yang dapat ditimbulkan darinya di dunia dan akhirat. Agar ia senantiasa mawas diri dan menjauh darinya serta semampu mungkin mencegahnya berada di sisi dan lingkungannya.

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mendefinisikan ghibah dengan jelas di dalam sabdanya berikut ini,

  عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فىِ أَخِي مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya pernah ditanyakan, “Wahai Rosulullah, apakah ghibah itu?”. Beliau menjawab, “Kamu  menceritakan saudaramu apa yang dia tidak suka”. Ditanyakan lagi, “Bagaimana pendapatmu, jika pada saudaraku itu seperti apa yang aku katakan?”. Beliau menjawab, “Jika ada padanya sebagaimana yang kamu katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya, tetapi jika tidak ada padanya, maka berarti kamu telah mem-buhtannya”. [HR Muslim: 2589, Abu Dawud:  4874, at-Turmudziy: 1935, ad-Darimiy: II/ 299 dan Ahmad: II/ 384, 386. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1806, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1578, Shahih Sunan Abi Dawud: 4079, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 86, 4187, Misykah al-Mashobih: 4828 dan Ghoyah al-Maram: 426]. 

Bercermin riwayat hadits di atas, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan arti ghibah ketika ditanya oleh para shahabat radliyallahu ‘anhum, yakni,

إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ

“Jika ada padanya sebagaimana yang kamu katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya”.

Atau di dalam riwayat lainnya di atas,

اْلغِيْبَةُ ذِكْرُكَ أَخَاكَ  بِمَا يَكْرَهُ

Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan hal-hal yang tidak ia sukai.
Atau di dalam riwayat yang lain,

اْلغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ الرَّجُلَ بِمَا فِيْهِ مِنْ خَلْفِهِ

Ghibah adalah engkau menyebutkan (menceritakan) sesuatu yang ada pada seseorang di belakangnya (tanpa ia ketahui). [HR al-Imam as-Suyuthiy di dalam Zawa’id al-Jami’ dari riwayat al-Khara’ithiy di dalam Masawiy al-Akhlak dari al-Muthallib bin Abdullah bin Hanthob secara marfu’.Berkata asy-Syaikh al-Albaliy: shahih, sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4186 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1992].

Ketika menafsirkan ayat yang berbunyi, “Janganlah kalian saling meng-ghibah satu dengan lainnya” (و لا يغتب بعضكم بعضا ) berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yakni janganlah seseorang diantaramu menceritakan saudaranya ketika sedang ghaib (tidak berada ditempat) dengan apa yang tidak disukainya”. [Aysar at-Tafasir:V/ 130].

Berkata al-Imam Ibnu al-Atsir rahimahullah, “Ghibah adalah seseorang diceritakan tentang keburukannya pada saat sedang tidak berada di tempat, jika (keburukan itu) ada padanya. Tetapi bila engkau menceritakannya dengan apa yang tidak ada padanya (yakni keburukannya) maka itu adalah buhtan”. [An-Nihayah fii Ghorib al-Hadits wa al-Atsar: III/ 399].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) tatkala ia sedang ghaib (tidak berada di tempat tersebut). Oleh sebab itulah (saudaramu) yang ghaib itu diserupakan dengan mayat. Lantaran ia tidak mampu untuk membela atau mempertahankan dirinya. Demikian pula si mayat itu, tidak mengetahui bahwa dagingnya sedang dimakan sebagaimana orang yang hidup tidak mengetahui perbuatan ghibah (yang ditujukan kepadanya) oleh para pelaku ghibah”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 6].

Jadi ghibah adalah engkau menceritakan aib atau kekurangan saudaramu yang tidak ia sukai sedangkan ia tidak berada di tempat itu, dan aib atau kekurangan tersebut benar-benar ada pada saudaramu itu.

Jika aib atau kekurangan itu tidak ada, tetapi hanya berupa dugaan, tuduhan atau rekayasamu semata, maka itu adalah buhtan yang mengandung unsur dusta dan fitnah.

HUKUM GHIBAH

Supaya lebih jelas, tidak bias dan samar, perlu dijelaskan akan hukum ghibah ini. Alqur’an yang mulia dan hadits-hadits yang shahih telah banyak mengungkapkan akan bahaya dan kerusakan ghibah ini. Maka dari itu para ulamapun tidak segan dan sungkan meluangkan waktu dan kesempatan untuk berkomentar tentang hukum-hukumnya.

    وَ لاَ يَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَ يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُـلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Dan janganlah kamu menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. [QS. Al-Hujurat/ 49: 12].

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Di dalam ayat ini terdapat larangan ghibah yang telah di jelaskan oleh Pembuat syariat”. [Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 257].

Katanya lagi, “Ghibah itu diharamkan sesuai dengan ijmak (kesepakatan para ulama). Hal itu tidak dikecualikan melainkan apa yang telah rajih (kuat) mashlahatnya sebagaimana di dalam kaidah jarh dan ta’dil serta pemberian nashihat”. [Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 258].

Berkata al-Imam al-Qurthubiy rahimahullah, “Menurut ijmak, bahwasanya ghibah itu termasuk kabaa’ir (dosa-dosa besar). Wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala darinya”. [Lihat Tafsir al-Qurthubiy tafsir surat al-Hujurat, Fiqh ad-Da’wah wa Tazkiyyah an-Nufus oleh asy-Syaikh Husain bin Audah al-Awayisyah halaman 430].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkannya ghibah dan namimah”. [Aysar at-Tafasir:V/ 132].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Di dalam ayat tersebut terdapat larangan ghibah, yaitu engkau menyebutkan tentang apa yang ada pada saudaramu dengan apa yang ia tidak suka. Namun jika engkau menyebutkannya tentang apa yang tidak ada padanya, maka itu namanya buhtan”. [Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadl ash-Shalihin: III/ 6].

Berkata Zarkasyi rahimahullah, “Sungguh aneh orang yang beranggapan bahwa makan bangkai itu merupakan dosa besar namun tidak beranggapan bahwa ghibah itu seperti itu (pula). Padahal Allah telah menempatkannya bagai memakan bangkai daging manusia. Hadits-hadits tentang perintah waspada dari ghibah ini sangat luas sekali, yang menunjukkan atas kerasnya larangan ghibah”. [Subul as-Salam: IV/ 351].

عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَامَ رَجُلٌ (أي غَابَ عَنِ اْلمـَجْلِسِ) فَوَقَعَ فِيْهِ رَجُلٌ مِنْ بَعْدِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم لِهَذَا الرَّجُلِ: َتخَلَّلْ! فَقَالَ: وَ مِمَّ أَ َتَخَلَّلُ ؟ وَ مَا أَكَلْتُ  لَحْمًا قَالَ: إِنَّكَ أَكَلْتَ لَحْمَ أَخِيْكَ

Dari Ibnu Mas’ud radlyillahu ‘anhu berkata, “kami pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bangkit berdirilah seseorang pria (pergi meninggalkan majlis). Maka tiba-tiba sepeninggalnya, ada seseorang mencelanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut, “Bersihkan (sela-sela gigimu)!”. Lalu ia bertanya, “Dari apa aku membersihkannya? padahal aku tidak makan daging”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau telah memakan daging saudaramu”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih. Lihat Ghoyah al-Maram: 428].

Dari Qois berkata, “Amr bin al-Ash pernah berjalan bersama beberapa orang dari sahabatnya. Lalu ia melewati bangkai seekor bighol (Hewan peranakan kuda dengan himar/ keledai ) yang telah membengkak. Lalu ia berkata,

وَ اللهِ لَأَنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ هَذَا حَتىَّ  يَمْلَأَ بَطْنَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ مُسْلِمٍ

“Demi Allah, seseorang diantara kalian makan sebagian dari bangkai ini sehingga memenuhi perutnya adalah lebih baik daripada makan daging seorang muslim”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 736. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanadnya shahih, lihat  Shahih al-Adab al-Mufrad: 565].

Umat ini telah bersepakat akan haramnya bangkai hewan ternak, sebagaimana telah termaktub di dalam alqur’an yang mulia (Lihat alqur’an surat al-Baqarah/ 2 ayat 173 dan an-Nahl/ 16 ayat 115) dan hadits-hadits yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun terhadap kemuliaan seorang muslim, banyak di antara mereka yang masih menganggap biasa dan bahkan menghalalkannya. Padahal merusak kehormatan muslim dengan cara meng-ghibah, yang telah dimisalkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam alqur’an dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  di dalam hadits  dengan istilah memakan dagingnya yang telah mati adalah lebih haram lagi. Sehingga Amr bin al-Ash radliyallahu ‘anhu berpendapat memakai bangkai seekor bighol itu lebih baik daripada mengghibahi seorang muslim.

Oleh sebab itu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di dalam haditsnya tentang keharaman darah, harta dan kemuliaan seorang muslim bagi muslim yang lainnya. Sehingga seorang muslim dilarang untuk menumpahkan darah saudaranya dengan cara memukul, meninju, menendang, menusuk dan lain sebagainya. Mereka juga dilarang untuk saling mengambil harta saudaranya, dengan cara menipu, mencuri, mencopet, membegal, merampok dan lain sebagainya. Pun demikian, mereka dilarang untuk saling merusak kehormatan dan kemuliaan saudaranya dengan cara meng-ghibah, mengadu domba (namimah), fitnah (buhtan) dan lain sebagainya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini,

عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: كُلُّ اْلمـُسْلِمِ عَلىَ اْلمـُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرْضُهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram darah, harta dan kemuliaannya”. [HR Muslim: 2564, Abu Dawud: 4882, at-Turmudziy: 1927, Ibnu Majah: 3933 dan Ahmad: II/ 277, 311, 360. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abii Dawud: 4085, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1572, Shahih Sunan Ibni Majah: 3177, Irwa’ al-Ghalil: 2450, Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 6706, 7242 dan Misykah al-Mashobih: 4959].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-utsaimin rahimahullah [Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 377], “Diharamkannya kehormatan seorang muslim yaitu mengghibahinya. Maka mengghibahi muslim itu hukumnya haram dan ia termasuk dari dosa-dosa besar. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abdilqowwiy di dalam kumpulan syairnya,

وَ قَدْ قِيْلَ صُغْرَى غِيْبِةٌ وَ نَمِيْمَةٌ    وَ كِلْتَاهُمَا كُبْرَى عَلَى نَصِّ أَحْمَدَ

Sungguh dikatakan ghibah dan namimah itu dosa kecil
Padahal keduanya itu dosa besar sesuai dengan nash Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu khutbahnya pada hari nahar di Mina di waktu haji wada’,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فىِ بَلَدِكُمْ هَذَا فىِ شَهْرِكُمْ هَذَا أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ

“Sesungguhnya darah, harta dan kemuliaan kalian adalah haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini, di bulan ini. Tidakkah aku telah menyampaikannya?”. [HR al-Bukhoriy: 67, 105, 1741, 3197, 4406, 4662, 5550, 7078, 7447, Muslim: 1679 dan Ibnu Majah: 3931. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 3176 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2068].

Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Kesucian jiwa, harta dan kehormatan muslim itu lebih tinggi di sisi Allah daripada kesucian negeri (Mekkah), bulan (Dzulhijjah) dan hari (Nahar)”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 24].

Berkata al-Imam al-Mubarakfuriy rahimahullah, “Yaitu sebahagian kalian (haram) melakukan pelanggaran terhadap darah, harta dan kehormatan (harga diri) sebahagian yang lain pada hari-hari selainnya (yaitu di luar bulan haram). Sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini”. [Tuhfah al-Ahwadziy: VI/ 314].

Nash-nash dan penjelasannya di atas dengan jelas menerangkan akan keharaman kehormatan seorang muslim, yang tidak boleh dilanggar oleh muslim yang lain, dan bahkan disejajarkan dengan kemuliaan hari nahar, negeri Mekkah dan bulan Dzulhijjah di waktu musim haji. Kemuliaan hari nahar, bulan Dzulhijjah dan tanah Mekkah haram dilanggar dengan melakukan berbagai perbuatan munkar, misalnya berupa berburu, membunuh binatang, saling berbantahan, berkata-kata keji, berperang dan sebagainya. Maka kehormatan seorang muslim itupun haram dilanggar dengan melakukan ghibah, buhtan, namimah dan yang sejenisnya

Disamping itu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggolongkan perbuatan merusak kehormatan seorang muslim sebagai perkara riba. Sebab seringkali orang yang meng-ghibah itu sangat berlebihan di dalam menceritakan keburukan atau kesalahan orang yang dighibahinya. Atau juga terkadang orang yang dighibah itu membalas ghibah dengan ghibah yang lebih merusak dan mengerikan. Jika ada seseorang mengghibah dengan menyebutkan dua jenis keburukan seseorang, maka seringkali orang itu membalas dengan menceritakan keburukan si pengghibah dengan yang lebih banyak dan lebih jelek dari itu, sebagaimana dalil berikut ini,

عن سعيد بن زيد عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قال: إِنَّ مِنْ أَرْبىَ الرِّبَا اْلاِسْتِطَالَةَ  فىِ عِرْضِ اْلمـُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

Dari Sa’id bin Zaid dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sebahagian dari riba yang paling besar adalah mengulurkan (lisan) terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak”. [HR Abu Dawud: 4876. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 4081, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2203, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1433, 1871, 3950 dan Misykah al-Mashobih: 5045].

Al-Allamah Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi rahimahullah berkomentar, “Arbar riba’ adalah yang paling banyak bahayanya dan yang paling keras pengharamannya. Istitholah adalah mengulurkan (menjulurkan) lisan terhadap kehormatan muslim yakni merendahkannya, merasa tinggi atasnya dan melakukan ghibah terhadapnya, semisal tuduhan (berzina) atau celaan. Hanyasaja hal ini lebih keras pengharamannya, sebab kehormatan itu adalah sesuatu yang paling mulia (bagi seseorang) lebih daripada jiwa dan harta”. [Aun al-Ma’bud: XIII/ 152].

Berkata al-Baidlowiy rahimahullah, “Istitholah (mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim adalah dengan menjelek-jelekkannya lebih dari apa yang seharusnya dikatakan kepadanya atau lebih banyak dari apa yang dirukhshoh (diberi keringanan) baginya. Oleh sebab itulah, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumpamakannya dengan riba dan memasukkannya ke dalam bagiannya, lalu menjadikannya sebagai riba yang paling besar. Sebab hal ini lebih banyak mudlaratnya dan lebih besar kerusakannya. Kehormatan secara syar’i dan logika adalah lebih mulia pada diri seseorang dibandingkan harta dan juga lebih besar bahayanya daripada harta. Oleh sebab itu syariat telah menetapkan untuk menerangkan secara terbuka tentang merusak kehormatan apa yang tidak ditetapkan pada perkara merampas harta”. [Faidl al-Qodir: II/ 531].

عن أبي برزة الأسلمي قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فىِ بَيْتِهِ

Dari Abu Barzah al-Aslamiy radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai golongan orang yang beriman dimulutnya tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian meng-ghibah kaum muslimin dan jangan kalian mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Allah akan membongkar (aib)nya yang ada di rumahnya”.  [HR Abu Dawud: 4880, at-Turmudziy: 2032, Ahmad: IV/ 421, 424 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 4083, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1655, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7984, 7985, Misykah al-Mashobih: 5044 dan Ghoyah al-Maram: 420].

Berkata Al-Allamah Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa meng-ghibah (menggunjing) muslim itu merupakan syiarnya orang munafik bukan mukmin”. [Aun al-Ma’bud: XIII/ 153].

Dalil ini dengan jelas melarang  dan diharamkannya perbuatan ghibah dan mencari-cari atau menyelidiki aib kaum muslimin (tajassus). Dan orang yang melakukannya digolongkan sebagai orang yang iman di mulut namun tiada iman di hati, dan ini merupakan salah satu sifat dari beberapa sifat kaum munafikin.

Ringkasnya, melakukan perbuatan ghibah itu yakni menyebutkan dan menceritakan keburukan dan aib seseorang yang memang ia kerjakan itu, hukumnya adalah haram, kecuali yang dikecualikan. Insyaa Allah akan datang penjelasannya.

Sebagaimana kamu tidak suka dighibahi orang, maka hendaklah kamupun membenci perbuatan mengghibahi orang lain. Sebagaimana dalam satu ungkapan, “Apabila kamu tidak ingin diludahi orang maka jangan suka meludahi orang lain”.

HUKUM MENG-GHIBAH ORANG KAFIR

Setelah dipahami akan haramnya mengghibahi orang muslim selain yang dikecualikan. Agar lebih jelas dalam sikap dan tindakan, maka berikut ini akan dibawakan beberapa keterangan dari para ulama tentang hukum menggibahi orang kafir dari kalangan Yahudi, Nashrani, pemeluk agama lainnya selain Islam atau muslim yang telah keluar dari Islam.

Berkata al-Imam ash-Shan’aniy rahimahullah, “Tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “saudaramu” (أخاك) yaitu saudara seagama, hal ini membuktikan bahwasanya selain mukmin itu boleh dighibah”. [Subul as-Salam: IV/ 351].

Berkata Ibnu al-Mundzir rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya orang yang bukan saudara (seagama) seperti yahudi, nashrani dan seluruh pemeluk agama lainnya dan orang yang bid’ahnya telah mengeluarkannya dari Islam itu tidak ada ghibah baginya (maksudnya; tidak berdosa mengghibahi mereka)”. [Subul as-Salam: IV/ 351].

Ketika menjelaskan hadits dari Itban bin Malik radliyallahu ‘anhu tentang orang yang mencela Malik bin Dukhsyum radliyallahu ‘anhu dan menuduhnya sebagai orang munafik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya seraya bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwasanya ia sholat dalam rangka mencari ridlo Allah”. Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan bahwasanya manusia itu apabila tidak seperti itu maka tidak mengapa mengghibahnya. Orang kafir misalnya, maka tidak ada pengharaman (larangan) di dalam mengghibahinya. Boleh bagimu untuk mengghibahnya. Kecuali jika ia mempunyai beberapa kerabat muslim, yang mereka dapat terganggu dengannya, maka janganlah engkau mengghibahnya. Tetapi jika tidak (mempunyai kerabat muslim) maka tidak mengapa mengghibahinya”. [Syarh Riyaadl ash-Shaalihiin: IV/ 172].

HUKUM MENCARI NAFKAH DENGAN MENG-GHIBAH

Setelah dipahami akan haramnya hukum mengghibahi kaum muslimin, maka bagaimana dengan orang-orang yang menggantungkan hidupnya dengan ghibah?. Misalnya, para pemburu berita buruk tersebut, presenter atau hostnya, dan semua orang yang terkait dengan proses terjadinya ghibah tersebut.

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan akan munculnya suatu masa, dimana pada masa itu orang-orang tidak lagi memperdulikan dari mana mereka mendapatkan harta yang dapat menghidupi diri dan keluarga mereka.

Apakah harta itu diperoleh dan dikumpulkan dengan cara yang halal, semisal berniaga menjual barang-barang yang halal dengan cara yang halal pula, bekerja dengan profesi yang tidak bertentangan dengan syar’iy dengan cara yang juga sesuai syar’iy dan selainnya.

Ataukah harta itu diraih dan dihimpun dengan cara yang haram, semisal menjual barang yang haram dengan cara yang haram pula. Sebab menjual barang haram dengan cara yang halal itu dilarang sebagaimana menjual barang halal dengan cara yang haram. Maka bagaimana dengan menjual barang yang haram dengan cara yang haram, tentu lebih besar lagi larangannya.

Menjual barang yang haram dengan cara yang halal, misalnya menjual patung, anjing, babi, marus (darah hewan), bangkai, berbagai minuman keras (khomer), berbagai obat terlarang (narkoba), alat perjudian, dan semua barang yang diharamkan untuk dikonsumsi dan dimanfaatkan, maka meskipun dijual-belikan dengan cara yang halal atau sesuai syar’iy maka hasilnya adalah haram.

Menjual barang halal dengan cara yang haram, misalnya menjual rumah, kendaraan, buku, beras, minyak goreng atau barang apapun yang halal tetapi dengan cara yang haram semisal kredit, oplos, monopoli perdagangan dan sebagainya maka hasilnya juga haram.

Atau juga melakukan beberapa usaha dalam mencari harta dengan cara yang diharamkan misalnya melakukan riba (rente), mencuri, merampas harta, membuat uang palsu, membuat barang dengan pemalsuan merek, menipu dengan memberi hadiah dari merek tertentu padahal tidak pernah ada, dan lain sebagainya.

Atau juga melakukan usaha-usaha yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun untuk dalih kemashlahatan atau kebaikan umat manusia. Misalnya, membuat acara di televisi atau kolom di koran, tabloid atau majalah dengan berbagai judul atau thema yang mengupas tentang aib kaum muslimin. Hal ini telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini,

عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم: يَأْتىِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ مَا يُبَالىِ الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ اْلحَلاَلِ أَمْ مِنَ اْلحَرَامِ ( وَ فى روَاية: مِنْ أَيْنَ أَصَابَ اْلمـَالَ مِنْ حَلاَلٍ أَوْ حَرَامٍ)

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan datang suatu masa kepada manusia, dimana seseorang tidak akan peduli lagi apa yang ia telah ambil apakah dari yang halal ataukah dari yang haram”. (Di dalam satu riwayat, “Dari mana ia mendapatkan harta, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram”). [HR al-Bukhoriy: 2059, 2083 dan an-Nasa’iy: VII/ 243. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4149, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8003 dan Misykah al-Mashobih: 2561].

Berkata Ibnu at-Tin rahimahullah, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan tentang hadits ini sebagai bentuk perintah waspada (terhadap umatnya) dari fitnah harta. Ini adalah sebahagian dari tanda-tanda kenabiannya karena mengkhabarkan tentang beberapa perkara yang belum terjadi pada masanya”. [Fat-h al-Bariy: IV/ 296-297].

Dalil hadits di atas adalah sebahagian dari tanda-tanda kenabian Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau memberitakan kepada umatnya akan munculnya suatu peristiwa yang belum terjadi pada masanya. Peristiwa itu adalah dengan munculnya masa dimana pada masa itu banyak manusia mencari dan menghimpun hartanya dengan tidak lagi mempedulikan dan mempersoalkan asal hartanya itu dari hasil yang halal atau yang haram. Demi Allah, sungguh-sungguh pada masa sekarang ini sudah banyak terjadi perkara tersebut. Sebab kata sebahagian mereka, “mencari duit yang haram saja susah, apalagi mencari duit yang halal”. Subhanallah amat buruk apa yang mereka ucapkan itu.

Maka di antara bentuk mencari harta dan mengumpulkannya dengan nama mencari nafkah adalah menyelidik berbagai keburukan dan kekurangan seorang muslim atau lebih lalu menyebarkannya kepada khalayak ramai untuk menjadi santapan yang layak dikonsumsi oleh mereka.

Padahal Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan dan melarang makan makanan dari hasil pembayaran dukun, tukang ramal, menjual anjing, menjual patung dan sejenisnya atau juga dari hasil melacur.

Jadi profesi dukun dan melacur adalah diharamkan maka uang pembayaran dari hasil keduanya juga diharamkan untuk  dikonsumsi. Jika demikian bagaimana dengan ghibah yang telah diharamkan oleh syar’iy, jika setiap muslim telah mengetahui dan meyakininya haram maka uang hasil dari perbuatan tersebut juga haram adanya.

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,

عن أَبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ يَحِلُّ  ثَمَنُ اْلكَلْبِ وَ لاَ حُلْوَانُ اْلكَاهِنِ وَ لاَ مَهْرُ اْلبَغْيِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Harga (penjualan) anjing, upah (bayaran) dukun dan mahar (bayaran) pelacur itu tidak halal”. [HR Abu Dawud: 3483 dan an-Nasa’iy: VII/ 190. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 2975, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4004, 4351 dan Shahih al-Jaam’ ash-Shaghir: 7640].

عن أبي مسعود رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ نَهَى عَنْ ثَمَنِ اْلكَلْبِ وَ مَهْرِ اْلبَغْيِ وَ حُلْوَانِ اْلكَاهِنِ

Dari Abu Mas’ud (Uqbah bin Amr) al-Anshoriy radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau telah melarang dari harga (penjualan) anjing, mahar (bayaran) pelacur dan upah (bayaran) dukun. [HR al-Bukhoriy: 2237, 2282, 5346, 5761, Muslim: 1567, Abu Dawud: 3481, at-Turmudziy: 1276, Ibnu Majah: 2159, an-Nasa’iy: VII/ 189, 309 dan Ahmad/ IV: 118-119. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 932, Shahih Sunan Abi Dawud: 2972, Shahih Sunan an-Nasaa’iy: 4003, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6951, Irwa’ al-Ghalil: 1291 dan Misykah al-Mashobih: 2764].

Dua hadits di atas menerangkan tentang dilarangnya mengambil harga pembayaran anjing, dukun dan melacur kemudian memanfaatkannya untuk memberi nafkah untuk diri dan keluarganya. Anjing adalah binatang yang diharamkan untuk dikonsumsi, dukun adalah perbuatan yang dilarang yang termasuk ke dalam perbuatan syirik dan melacur juga adalah perbuatan yang dilarang lantaran mengandung perzinahan. Maka uang atau harta yang dihasilkan darinya juga diharamkan untuk dimanfaatkan sebagai pemberian nafkah.

Karena itulah Allah Subhanahu wa ta’alatatkala mengharamkan memakan atau mengerjakan suatu usaha kepada suatu kaum, maka Allah Azza wa Jalla haramkan pula harga atau hasil usaha tersebut atas mereka untuk pemberian nafkah kepada keluarga mereka itu.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di rukun (yamani). Ia berkata, “Lalu beliau mengangkat pandangannya ke atas langit dan tertawa. Lalu beliau bersabda,

لَعَنَ اللهُ اْليَهُوْدَ –ثَلاَثًا- إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ الشُّحُوْمَ فَبَاعُوْهَا وَ أَكَلُوْا أَثْمَانَهَا وَ إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلىَ قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهَا

“Allah melaknat orang-orang Yahudi –tiga kali-, sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak atas mereka. Maka merekapun menjualnya dan memakan harga (penjualannya) tersebut. Sesungguhnya Allah jika telah mengharamkan memakan sesuatu kepada suatu kaum, maka Allah haramkan pula harga (penjualannya) atas mereka”. [HR Abu Dawud; 3488 dan Ahmad: I/ 247, 293, 322. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 2978 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5107].

Berkata al-Imam ash-Shan’aniy rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa apabila Allah telah mengharamkan menjual sesuatu maka diharamkan pula harga penjualannya. Dan semua siasat yang menghubungkan kepada penghalalan yang haram maka itu adalah batil”. [Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram: III/ 8].

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma tersebut terdapat dalil akan gugurnya siasat dan sarana kepada yang diharamkan. Semua yang diharamkan oleh Allah kepada para hamba maka menjualnyapun haram lantaran diharamkan harga (penjualannya). Maka tidak boleh keluar dari keumumannya ini kecuali (jika) dikhususkan oleh dalil”. [Nail al-Authar: V/ 169].

Maka ringkasnya, mencari nafkah dengan cara melakukan ghibah bahkan fitnah itu dilarang dan diharamkan oleh dalil-dalil syar’iy. Dan masih banyak ladang usaha halal lainnya yang dapat ditekuni oleh setiap muslim untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Wallahu a’lam bishshowaab.

HUKUM MENDENGARKAN GHIBAH

Setelah dipahami akan haramnya melakukan ghibah, maka bagaimana halnya dengan mendengarkan ghibah yang dilakukan sebahagian muslim terhadap muslim yang lain?. Telah datang khabar dari Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam alqur’an tentang salah satu sifat dari beberapa sifat orang mukmin yaitu ia senantiasa berpaling dan menghindarkan dirinya dari perkara-perkara yang tidak berguna untuk dirinya di dunia dan akhirat, apalagi jika perkara-perkara itu dapat menjerumuskannya ke dalam perbuatan dosa dan kehinaan.

Jadi meninggalkan majlis ghibah adalah salah satu dari sifat kaum mukminin, sebab ghibah itu tidak hanya perbuatan yang sia-sia namun juga mengandung dosa dan mengundang dosa-dosa lainnya. Hal ini telah diisyaratkan di dalam dalil-dalil berikut,

وَ إِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَ قَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَ لَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ لاَ نَبْتَغى الجَاهِلَينَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. [QS. Al-Qoshosh/ 28: 55].

   وَ الَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. [QS. Al-Mukminun/ 23: 3].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Berpalingnya mereka dari hal yang sia-sia yaitu ucapan, perbuatan dan pemikiran, yang tidak mendapatkan idzin dan ridlo dari Allah.  Berpalingmya mereka darinya yaitu mereka menghindar darinya dan tidak menoleh kepadanya. Sifat ini mencakup firman-Nya ta’ala, “(Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. QS. Al-Mukminun/23: 3)”. [Aysar at-Tafasir: III/ 505].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah mengkhabarkan dan menyebutkan tentang beberapa sifat dari orang-orang mukmin di dalam pembukaan surat al-Mukminun. Diantaranya, bahwasanya mereka berpaling dari kebatilan yaitu mencakup perbuatan syirik dan selainnya dari beberapa perbuatan maksiat dan apapun yang tidak ada faidahnya dari perkataan dan perbuatan”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 30].

Berkaitan dengan larangan mendengarkan ghibah, berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana telah diharamkan bagi pelakunya, maka diharamkan pula bagi orang untuk mendengarkan dan mengakuinya. Wajib bagi siapapun yang mendengar seseorang mulai melakukan ghibah yang diharamkan untuk melarangnya, jika ia tidak khawatir akan adanya bahaya yang jelas.

Namun jika ia merasa khawatir, maka wajib baginya mengingkari dengan hatinya dan memisahkan diri dari majlis ghibah tersebut jika memungkinkan.

Jika ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau memotong percakapan ghibah itu dengan  ucapan yang lain hendaklah ia melakukannya. Jika ia tidak lakukan maka ia telah berbuat maksiat.
Jika ia mengatakan dengan lisannya, “diamlah” padahal di dalam hatinya, ia masih menginginkan diteruskan maka perilaku tersebut adalah suatu kemunafikan yang tidak mengeluarkannya dari dosa. Seharusnya ia juga membenci ghibah itu dengan hatinya.

Apabila ia terpaksa berada di majlis yang ada ghibahnya dan ia merasa tidak berdaya untuk mengingkarinya atau ia telah mengingkarinya namun tidak diterima atau tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan diri darinya, maka haram baginya untuk mendengar dan menyimak ghibah tersebut. Bahkan hendaklah ia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan lisan dan hatinya, atau dengan hatinya saja, atau memikirkan persoalan yang lain agar ia mempunyai kesibukan (lain) daripada mendengarkan (ghibah itu). Setelah itu tidak mengapa baginya untuk hanya sekedar mendengar ghibah tanpa menyimak (yakni tidak berusaha untuk memperhatikan dan memahami ghibah tersebut) di dalam kondisi seperti ini. Jika beberapa waktu setelah itu ada kemungkinan baginya untuk memisahkan diri sedangkan mereka masih terus asyik melanjutkan ghibah maka wajib baginya untuk memisahkan diri dari mereka.

Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَ إِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِى ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَ إِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْــرَى مَعَ اْلقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). [QS. Al-An’am/ 6: 68]. [Al-Adzkar halaman 339 dan Bahjah an-Nazhirin: III/ 29-30].

Bersamaan dengan itu, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan di dalam haditsnya yang shahih tentang keelokan Islam seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tiada arti baginya. Lalu jika ada seorang muslim belum mampu meninggalkan dan menanggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya bahkan mendatangkan kemudlaratan baginya di dunia ataupun akhirat, maka hal itu menunjukkan bahwa keislamannya itu masih buruk. Simaklah hadits berikut ini,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمـَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Termasuk dari bagusnya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya”. [HR at-Turmudziy: 2317, Ibnu Majah: 3976 dan Ahmad: I/ 201 dari al-Husain bin Ali. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1886, Shahih Sunan Ibni Majah: 3211dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 5911].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajib atas manusia untuk menyibukkan dirinya dengan apa yang di dalamnya terdapat mashlahat (atau kebaikan), baik dunia (ma’asy) ataupun akhirat (ma’ad). Dan juga berpaling dari selain itu dengan apa yang tidak dibutuhkan dan tidak mendatangkan manfaat. Tinggalkan apa yang mendatangkan mudlarat dan kesusahan. Tidakkah ia merenungkan kebutuhan yang lainnya, karena hal tersebut termasuk dari kesempurnaan istiqomah”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 142].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah, “al-Imam Nawawiy rahimahullahberkata di dalam bab tahriim simaa’ al-ghiibah (diharamkan mendengarkan ghibah) ketika menjelaskan bahaya, kerusakan dan dosa-dosa ghibah, beliau mengakhirinya dengan bab ini yakni haramnya mendengar ghibah. Maksudnya bahwa manusia itu apabila mendengar seseorang mengghibah yang lainnya, maka diharamkan baginya untuk mendengar hal tersebut, bahkan melarangnya dari hal itu dan berusaha untuk memindahkannya kepada pembicaraan yang lain. Perbuatan ini mendatangkan pahala yang besar sebagaimana di dalam hadits Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu. Lalu jika orang yang berketetapan mengghibahi manusia itu tetap dalam ghibahnya maka wajiblah baginya untuk bangkit berdiri dari tempat tersebut (untuk meninggalkannya). Karena Allah Subhanahu wa ta’ala  telah berfirman,

وَ قَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِى اْلكِــتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَ يُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِى حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مَثْلُهُمْ

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Alqur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. [QS. An-Nisa’/ 4: 140].

Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya manusia itu apabila mendengar sesuatu yang diharamkan, maka berarti ia berserikat (atau bekerja sama) dengan orang yang mengerjakan hal yang diharamkan tersebut. Maka dari sebab itu, wajib baginya untuk bangkit berdiri (untuk meninggalkannya).[Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 171-172 dan al-Adzkar oleh al-Imam Hawawiy halaman 340].

Benar pula yang dikatakan seorang penyair [Bahjah an-Nazhirin: III/ 30],

وَ سَمْعَكَ صُنْ عَنْ سِمَاعِ اْلقَبْحِ    كَصَوْنِ اللِّسَـانِ عَنِ النُّطْقِ بِهِ
فَإِنَّــكَ عِنْدَ سِــمَاعِ اْلقَبْحِ    شَـرِيْكٌ لِقَـائِلِهِ  فَانْتَـبـِهْ

Jagalah pendengaranmu dari mendengar keburukan
Sebagaimana engkau menjaga lisan dari mengucapkannya.
Sungguh engkau ketika mendengar keburukan
Bersekutu dengan pengucapnya, maka waspadalah.

Seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa menjaga pendengarannya sebagaimana ia menjaga lisannya. Sebab dosa dan kesalahan itu tidak hanya dihasilkan oleh lisan saja tetapi juga oleh pendengaran. Allah Azza wa Jalla kelak pada hari kiamat akan meminta pertanggung-jawaban dari apa yang dilakukan oleh pendengaran, sebagaimana ayat berikut,

وَ لاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَ اْلبَصَرَ وَ اْلفُؤَادَ كُــلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [QS. Al-Isra’/ 17: 36].

Bahkan tidak hanya sebatas menjaga pendengarannya saja, namun juga diwajibkan bagi seorang muslim yang baik keislamannya untuk mencegah adanya keburukan-keburukan yang dihasilkan oleh lisan, berupa ghibah, namimah dan buhtan serta yang sejenisnya, dengan batas kesanggupannya. Ia harus mempunyai sikap terhadap berbagai keburukan dengan sikap yang dibenarkan oleh dalil.

Mohon maaf, jika ada kata-kata yang tak layak terucap dan tertulis. Insyaa Allah, pembahasan tentang ghibah ini akan berlanjut dalam beberapa pembahasan berikutnya.

Semoga bermanfaat untukku, keluargaku, kerabatku, shahabatku dan kaum muslimin seluruhnya.