السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Sabtu, 07 Juli 2012

MENDAKWAHKAN DUA KALIMAT SYAHADAT (1)


SYAHADAT "LAA ILAAHA ILLALLAH"

بسم الله الرحمن الرحيم
         
Sekarang ini banyak kita jumpai orang berlomba untuk menyeru manusia kepada kebaikan bahkan kebenaran (menurut anggapan mereka), dengan aneka cara dan materi. Ada yang mengawali dakwah dengan ibadah, akhlak, jihad dan lain sebagainya dan terkadang dengan menggunakan cara guyon dan melawak, seminar-seminar yang dibisniskan, menerangkan hikmah-hikmah dalam agama tanpa dalil, mengikat jamaah dengan cara dibaiat (diambil janji setia) dan sebagainya. Namun jika ditinjau dari kacamata alqur’an, hadits-hadits shahih sirah nabawiyyah ataupun pandangan para ulama, anggapan itu keliru dan tidak berdasar. Sebab dakwah jika tidak diawali dan tidak pula dipondasikan dengan ajaran tauhid dan keimanan maka dakwah itu bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa ta'ala dan kebiasaan para Rosul sholawatullah alaihim wa salamuhu serta yang diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabatnya radliyallahu anhum untuk berdakwah ke berbagai penjuru dan berbagai bangsa. Sebagaimana kita dapat jumpai dari dalil berikut ini,

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لمعاذ ابن جبل حين بعثه إلى اليمن إنك ستأتي [و فى رواية: إنك تقدم] قوما من أهل كتاب فإذا جئتهم فادعهم إلى أن يشهدوا أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله [و فى رواية: إلى أن يوحدوا الله تعالى و فى أخرى: فليكن أول تدعوهم إليه عبادة الله] فإن هم أطاعوا لك بذلك  [و فى رواية: فإذا عرفوا ذلك] فأخبرهم [و فى رواية: فأعلمهم] أن الله قد فرض عليهم خمس صلوات فى كل يوم و ليلة [و فى رواية: فى يومهم و ليلتهم] فإن هم أطاعوا لك بذلك [و فى رواية: فإذا صلوا و فى أخرى: فإذا فعلوا الصلاة] فأخبرهم أن الله قد فرض عليهم صدقة [و فى رواية: زكاة أموالهم] تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم فإن هم أطاعوا لك بذلك [و فى رواية: فإذا أقروا بذلك فخذ منهم] فإياك و كرائم أموالهم و اتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينه و بين الله حجاب

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Lalu jika engkau telah mendatangi mereka, maka dakwahilah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwasanya tiada ilah yang pantas disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah. Lalu jika mereka telah mentaatimu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan lima sholat kepada mereka setiap hari dan malam. Kemudian jika mereka telah mentaatimu dengan yang demikian itu, maka beritahukanlah mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan zakat kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang fakir diantara mereka. Jika mereka telah mentaatimu dengan yang demikian itu, maka waspadalah dirimu terhadap kemuliaan harta (atau harta berharga) mereka, dan jagalah dirimu terhadap doanya orang yang teraniaya (dizholimi), karena tiada dinding pembatas di antara doa mereka dan di antara Allah “. [HR al-Bukhooriy: 1395, 1458, 1496, 4347, 7371, 7372, Muslim: 19, Ahmad: I/ 233, at-Tirmidziy: 625, an-Nasa’iy: V/ 2-4, Abu Dawud: 1584, Ibnu Maajah: 1783, ad-Darimiy: I/ 379, ad-Daruquthniy: 2039, 1040 dan Ibnu Khuzaimah: 2275. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor shahih al-Imam al-Bukhoriy: 745, Mukhtashor shahih Muslim: 501, Shahih sunan at-Tirmidziy: 511, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2284, 2362, Shahih Sunan Abu Dawud: 1402, Shahih Sunan Ibnu Maajah: 1442, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, 2296, 2298, Tahqiq Riyadl ash-Sholihin: 213, 1084, Misykaah al-Mashoobiih: 1772 dan Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar as-Sabil:782, 855].

1). Laa ilaaha illallah (Tiada ilah yang berhak di sembah selain Allah)

Kendatipun hadits mengenai pengutusan Mu’adz bin Jabal radliyallah anhu di atas ditujukan kepada kaum dari ahli kitab, yaitu kaum Nashrani dan Yahudi yang berada di negeri Yaman, tidaklah berarti kondisi dakwah tersebut tidak sesuai jika diterapkan di kalangan awam umat islam. Boleh jadi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengistimewakan kaum ahli kitab sebagai suatu keutamaan bagi mereka, dari pada kaum bodoh lainnya dari kalangan para penghamba berhala. Akan tetapi pada kenyataannya mereka juga tidak memahami makna tauhid (mengesakan Allah ta'ala) secara lurus dan benar sebagaimana para penghamba berhala lainnya tidak memahami. Maka tidaklah aneh, jika ada di antara mereka yang mempertuhankan Isa al-Masih Alaihis Salam, ‘Uzair, Ruh al-Qudus (Malaikat Jibril) Alaihis Salam, para pendeta, ataupun para rahib mereka. Maka apalah artinya pengutusan para Rosul Alaihimus Salam oleh Allah Subhanahu wa ta'ala atas mereka, jika mereka masih mempersekutukan-Nya?. Demikian juga, banyak di kalangan awam kaum muslimin bahkan para santrinya yang tidak memahami makna tauhid secara utuh, lurus dan benar, sehingga banyak di antara mereka yang masih memberhalakan benda-benda mati dan mengkultuskan orang-orang yang mereka anggap shalih.

Padahal satu-satunya tujuan Allah Azza wa Jalla mengutus para rosul Sholawatullah wa Salamuhu 'alaihim  ke dunia yang fana ini adalah agar mereka berdakwah (menyeru) kepada umat manusia untuk mengabdi dan memperhambakan diri kepada Allah Subnhanu wa ta'ala saja, dengan cara mengikuti dan menteladani para rosul Alaihimus Salam tersebut. Pun demikian Rosulullah Shallallahu Alaihi wa sallam menyeru umatnya agar mereka mengabdi dan memperhambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara mengikuti dan menteladaninya, melalui dua nara sumber umat islam yaitu alqur’an dan hadits yang shahih. Sebagaimana firman Allah Jalla Jalaaluh  di dalam ayat di bawah ini,

 قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِي أَدْعُوْا عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِى وَ سُبْحَانَ اللهِ وَ مَا أَنَا مِنَ اْلمــُشْرِكِيْنَ  
Katakanlah! inilah jalan (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (manusia agar mengabdi) kepada Allah dengan hujjah (dalil atau argumen) yang nyata. Maha suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang berbuat kemusyrikan. [QS. Yusuf/12: 108].

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta'ala berfirman kepada utusan-Nya Shallallahu alaihi wa sallam bagi dua golongan makhluk yaitu manusia dan jin, dengan memerintahkan kepadanya untuk memberitahukan kepada manusia bahwasanya ini adalah jalannya yakni cara, maslak dan sunnahnya, yaitu berupa dakwah (seruan) kepada syahadat bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dia mengajak dengan dakwah itu agar mereka mengabdi kepada Allah dengan hujjah, keyakinan dan dalil bagi yang demikian itu. Dia Shallallahu alaihi wa sallam dan semua orang yang mengikutinya menyeru kepada apa-apa yang didakwahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan atas hujjah, keyakinan dan dalil aqliy maupun dalil syar’iy. [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim oleh al-Hafizh Ibnu Katsir: II/ 603 dan Mukhtasor tafsir Ibnu Katsir oleh Muhammad Ali ash-Shobuniy: II/ 265].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Katakanlah ! ini adalah jalanku)) yaitu katakanlah wahai Rosul kepada manusia! ini adalah jalanku di dalam dakwahku kepada Rabb-ku agar beriman dan beribadah kepada-Nya saja, tidak kepada selain-Nya. ((Aku mengajak kepada Allah berdasarkan bashiroh/ hujjah)) yaitu berdasarkan atas ilmu yakin kepada seseorang, yang aku menyeru kepadanya, kepada sesuatu yang aku menyeru dengannya dan kepada hasil yang tersusun atas dakwah ini. ((Aku dan orang-orang yang mengikutiku)) diantara kaum mukminin, semuanya kami menyeru (berdakwah) kepada Allah berdasarkan atas bashiroh. [Aysar at-Tafasir li kalam  al-’Aliyy al-Kabir oleh asy-syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy:  II/ 653].

Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “((Katakanlah)), “Wahai Muhammad!. ((Ini)); dakwah yang aku berdakwah kepadanya dan jalan yang aku berada di atasnya. ((Jalanku)); sunnah dan metodeku. Berkata Muqotil; agamaku. ((Aku menyeru kepada Allah berdasarkan bashiroh)); di atas keyakinan dan bashiroh adalah pengetahuan yang dapat membedakan di antara yang hak (benar) dan bathil (salah). (Aku dan orang-orang yang mengikutiku); yaitu orang-orang yang beriman kepadaku dan membenarkanku, juga menyeru kepada Allah. [Tafsir al-Baghowiy:  II/ 453].

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa setiap orang yang mengikuti Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam patutlah atasnya mengikuti Beliau di dalam berdakwah (menyeru) kepada Allah, yaitu menyeru kepada mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya serta beramal sesuai dengan yang telah Ia syariatkan kepada hamba-hamba-Nya”. [Fat-h al-Qodir: III/ 68].

Hujjah tersebut mengungkapkan perintah Allah ta'ala kepada Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk senantiasa menyeru umat manusia kepada menyembah Allah  Azza wa Jalla saja tiada sekutu baginya dengan dasar hujjah yang nyata yaitu Alqur’an yang mulia dan hadits-hadits yang telah tsabit, begitu pula yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang mengikutinya di kalangan mukminin. Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bukanlah termasuk dari kaum musyrikin, yakni tidak pernah mengajak umat manusia untuk beribadah dan memperhambakan diri kepada selain Allah Subhanahu wa ta'ala dan tidak pernah menyeru kecuali dengan hujjah yang kuat lagi tsabit. Dalil inipun telah diperkuat dan dipertegas lagi dengan maksud Allah Jalla Dzikruhu mengutus para Rosul Alaihimus Salam kepada tiap-tiap umat agar mereka menyeru umatnya masing-masing untuk mengabdi kepada Allah  saja dan menjauhi thoghut (segala sesuatu yang disembah selain Allah), sebagaimana ayat berikut,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوْا اللهَ وَ اجْتَنِبُوْا الطَّاغُوْتَ

Dan sungguh-sungguh Kami telah mengutus seorang rosul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan). “Hendaklah kalian mengabdi kepada Allah saja dan jauhilah thoghut”. [QS. an-nahl/16: 36].

Komentar al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah terhadap ayat ini, “Maka Allah ta'ala senantiasa mengutus para rosul kepada manusia dengan membawa misi pengabdian kepada Allah tersebut sejak terjadinya perbuatan syirik di kalangan anak Adam (manusia) pada masa kaumnya Nuh yang Allah telah mengutus Nuh Alaihis Salam kepada mereka. Dan Nuh Alaihis Salam ini adalah rosul yang pertama yang telah diutus oleh Allah kepada penduduk bumi, sampai akhirnya Allah menutup mereka dengan Muhammad  Shallallahu alaihi wa sallam yang dakwahnya tersebut meliputi golongan manusia dan jin, di timur dan barat.[Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: II: 692 dan mukhtashor tafsir Ibnu Katsir: II/ 330].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Allah ta'ala mengkhabarkan bahwasanya Dia tidak meninggalkan satu umatpun dari beberapa umat dari pengutusan rosul kepadanya, untuk memberi petunjuk kepadanya dan menjelaskan jalan keselamatannya, dan menyuruhnya berhati-hati dari jalan kesesatan dan kebinasaan. Sebagaimana Allah juga telah mengkhabarkan mengenai satunya dakwah di antara para rosul yaitu “laa ilaaha illallah” yang ditafsirkan dengan beribadah kepada Allah ta'ala saja dan menjauhi thoghut yaitu segala sesuatu yang disembah selain dari Allah dari apa-apa yang diserukan oleh setan kepada mengibadahinya dengan cara menghias dan membaguskan (amal buruk menjadi amal baik) melalui jalan waswas dari satu segi dan melalui jalan para walinya diantara manusia dari segi yang lainnya”. [Aysar at-Tafasir: III/ 117].

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwasanya Allah menyuruh seluruh hamba-hamba-Nya untuk mengibadahi-Nya dan menjauhi setan dan semua yang menyeru kepada kesesatan. Dan bahwasanya mereka setelah itu ada dua kelompok, diantara mereka ada yang mendapat petunjuk dan di antara mereka ada yang pantas memperoleh kesesatan”. [Fat-h al-Qodir: III/ 183].

Dengan penjelasan di atas, dapatlah dipahami bahwasanya Allah Subhanahu wa ta'ala sangatlah mementingkan tauhid ini sehingga Dia memerintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan juga para rosul Alaihimus Salam untuk menyeru umat manusia agar beribadah kepada-Nya saja dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya, melalui ayat-ayat-Nya yang termaktub di dalam alqur’an al-karim.

Berkata DR. Umar Sulaiman al-Asyqor hafizhohullah, “Adapun manhaj qur’aniy menjadikan pembuka dakwahnya Rosulullah dan dakwahnya para rosul seluruhnya, yaitu berdakwah kepada mengibadahi Allah saja. [Al-’Aqidah fillah oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqor, halaman 33].

Allah Tabaroka wa ta'ala telah menjelaskan kepada umat manusia bahwa setiap rosul yang telah diutus oleh-Nya, niscaya diberikan wahyu yang berisikan kalimat tauhid yakni kalimat “laa ilaaha illallah” (tiada ilah yang berhak disembah selain dari Allah), sebagaimana firman-Nya ta'ala,

وَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِن رَسُوْلٍ إِلاَّ نْوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ

Dan tidaklah Kami telah mengutus seorang rosulpun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwasanya tiada ilah selain Aku, maka mengabdilah kalian kepada-Ku. [QS. al-Anbiya’/21: 25].

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Maka semua nabi yang telah diutus oleh Allah, menyeru (umat manusia) untuk hanya mengabdi kepada Allah semata-mata, tiada sekutu bagi-Nya, dan fithrah (manusia) juga mengakui yang demikian itu”. [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: III/ 215 dan Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir: II/ 505].

Dan inilah dia seruan penggugah yang pertama-tama dan yang utama yang dikumandangkan oleh para rosul Alaihimus Salam kepada umatnya masing-masing sebelum dikumandangkan seruan penggugah yang lainnya,

فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوْا اللهَ مَا لَكُم مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ 

Maka ia (rosul) berkata: wahai kaumku sembahlah Allah!, sekali-kali tiada ilah bagimu selain-Nya. [QS. al-A’raf/7: 59, 65, 73, 85, QS. Hud/11: 50, 61, 84, QS. al-Mukminun/23: 23, 32, QS. an-Naml/27: 45 dan QS. al-Ankabut/29: 36].

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Maka seluruh rosul berdakwah kepada mengibadahi Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya”. [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: II/ 278, 282].

Berkata asy-syaikh Abi Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Dakwahnya para Rosul itu adalah satu di dalam bab aqidah, karena semuanya tegak di atas dasar tauhid dan ketaatan”. [Aysar at-Tafasir: II/ 203].

Berkata DR. ‘Umar Sulaiman al-Asyqor hafizhohullah, “Dakwah para rosul itu satu, maka dasar dan inti dakwah mereka semuanya adalah tauhid, yaitu memperkenalkan kepada manusia mengenai Rabb dan sesembahan mereka, dan menjelaskan (kepada mereka) mengenai cara yang mereka dapat beribadah kepada-Nya dengannya”. [al-’Aqidah fillah halaman 250].

Katanya lagi, “Inti dakwahnya para rosul dan sarinya risalah langit adalah dakwah kepada mengibadahi Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan apa-apa yang disembah dari selain-Nya, dan sungguh-sungguh al-Qur’an telah mengemukakan ketetapan ini dan menguatkannya di dalam banyak tempat”. [ar-Rusul wa ar-Risalat oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqor halaman 244].

Berkata asy-Syaikh Abdulaziiz bin Baz rahimahullah, “Dan seluruh para Rosul diutus dalam rangka mendakwahi manusia kepada mentauhidkan Allah yang merupakan sebesar-besarnya perbuatan ma’ruf dan mencegah dari berbuat syirik kepada Allah yang merupakan sebesar-besarnya kemungkaran”. [Al-Muhadlorot ats-Tsaminah halaman 186].

Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Maka adapun para nabi, dakwah mereka yang pertama-tama adalah syahadat bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah (laa ilaaha illallah) dan Muhammad itu adalah utusan Allah (Muhammad Rosulullah)”. [Majmu’ Fatawa oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah: II/ 23].

Berkata al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Seluruh Rosul mereka hanyalah menyeru kepada “iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan), maka sesungguhnya mereka semuanya menyeru kepada mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan  ibadah kepada-Nya, dari yang pertama hingga yang terakhir diantara mereka”. [Madarij as-Salikin oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah:  I/ 114].

Berkata al-’Allamah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Abi al-’Izz al-Hanafiy  rahimahullah, “Ketahuilah! bahwasanya tauhid itu adalah dakwahnya para rosul yang pertama-tama, tahapan jalan yang pertama-tama, dan posisi pertama-tama seorang yang berjalan, tegak padanya menuju kepada Allah Azza wa Jalla”. [Syarh al-’Aqidah ath-Thohawiyah oleh al-’Allamah Ibnu Abi al-’Izz halaman 77 dan Madarij as-Salikin: III/ 462].

Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah memanhaj dakwah tauhid ini selama lebih kurang tiga belas tahun [lihat Majmu’ah ar-Rosa’il at-Tawjihat al-Islamiyyah oleh Muhammad bin Jamil Zainu, halaman 30, 170 dan 205, al-Wala’ wa al-Baro’ fii al-Islam oleh Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qohthoniy halaman 20 dan 171 dan Majmu’ Fatawa, Fatawa al-’Aqidah oleh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin: VI: 124], kemudian baru pokok-pokok ajaran islam yang lainnya. Itupun tidak meninggalkan pengajaran tauhid tetapi menyandingkannya dengan pokok-pokok ajaran islam lainnya, karena apalah gunanya menjalankan pokok-pokok ajaran islam lainnya jika tidak berlandaskan dan berdasarkan kepada ajaran tauhid. Apakah berfaidah dan memberi kenyamanan rumah yang indah dan megah itu jika tidak memiliki pondasi yang mapan lagi kokoh?.

Diantara bukti-bukti cara dakwah dan penyampaian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dapat dijumpai di dalam atsar para shahabat ra yaitu sebagai berikut,

عن الحارث بن الحارث الغامدي قَالَ: [قُلْتُ: لِأَبِى وَ نَحْنُ بِمِنىً] مَا هَذِهِ اْلجَمَاعَةُ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ اْلقَوْمُ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَلىَ صَابِئٍ لَهُمْ قَالَ: فَنَزَلْنَا [و فى رواية: فَتَشَرَّفْنَا] فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَدْعُوْ النَّاسَ إِلىَ التَّوْحِيْدِ وَ اْلإِيْمَانِ بِهِ وَ هُمْ يَرُدُّوْنَ عَلَيْهِ [قَوْلَهُ] وَ يُؤْذُونَهُ حَتَّى انْتَصَفَ النَّهَارُ وَ تَصَدَّعَ عَنْهُ النَّاسُ وَ أَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ قَدْ بَدَا نَحْرُهَا [تَبْكِي] تَحْمِلُ قَدْحًا [فِيْهِ مَاءٌ] وَ مِنْدِيْلاً فَنَاوَلَهُ مِنْهَا وَ شَرِبَ وَ تَوَضَّأَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ [إِلَيْهَا] فَقَالَ: يَا بُنَيَّة خَمِّرِي عَلَيْكِ نَحْرَكِ وَ لاَ تَخَافِي عَلىَ أَبِيْكِ [غَلَبَةً وَ لاَ ذُلاًّ] قُلْتُ: مَنْ هَذِهِ؟ قَالُوْا: [هَذِهِ] زَيْنَبُ بِنْتُهُ

Dari al-Harits bin al-Harits al-Ghomidiy berkata, (aku pernah bertanya kepada ayahku ketika kami berada di Mina), “Kumpulan apakah itu?”. Ia menjawab, “Mereka adalah kaum yang berkumpul pada shobi’ (sesembahan) mereka”. Ia (yakni al-Harits) berkata, “lalu kami singgah (di dalam satu riwayat, “lalu kami sampai). Tiba-tiba di situ ada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang mendakwahi manusia kepada mentauhidkan Allah dan beriman kepada-Nya. Sedangkan mereka menolak (ucapannya) dan mengganggunya, sampai tibanya pertengahan siang dan manusiapun bubar. Pada saat itu datanglah seorang wanita yang tampak kelihatan batang lehernya (dalam keadaan menangis). Wanita itu membawa ceret (yang berisi air) dan sapu tangan. Nabipun mengambilnya dari wanita tersebut dan minum lalu berwudlu. Kemudian mengangkat kepalanya (kepadanya) seraya berkata, “Wahai putriku, khimarilah (atau; tutupilah dengan kerudung) batang lehermu dan janganlah engkau mengkhawatirkan ayahmu (akan dikalahkan dan direndahkan)”. Aku (yaitu; al-Harits) berkata, “Siapakah dia?”. Mereka menjawab, “(Dia adalah) Zainab, putrinya”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibnu Asakir di dalam Tarikh Dimasyq dan tambahan-tambahan tersebut adalah baginya. Ia berkata: al-Bukhoriy juga meriwayatkannya di dalam at-Tarikh secara ringkas dan juga Abu Zar’ah. Ia berkata: hadits ini Shahih, lihat Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 35-36 atau Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 79].

عن جندب بن عبد الله قال: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ نَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا اْلإِيْمَانَ قَبْلَ أَن نَتَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا اْلقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِ يْمَانًا

Dari Jundub bin ‘Abdullah berkata, “Kami pernah bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan kami pada waktu itu adalah para remaja, kami belajar keimanan sebelum belajar alqur’an. Kemudian kami belajar al-Qur’an maka bertambahlah iman kami dengannya”. [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah: 61. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah : 52, Majmu’ Fatawa oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah: XV/ 71 dan al-Iman oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah halaman 212].

عن أبي سفيان صخر بن حرب فى حديثه الطويل فى قصة هرقل قَالَ هِرَقْلُ: فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ؟ (يعني: النبيّ صلى الله عليه و سلم) قَالَ (أَبُو سُفْيَانٍ): يَأْمُرُنَا أَن نَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ لاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَ يَنْهَانَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا وَ يَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَ الصَّدَقَةِ (و فى رواية: الصِّدْقِ) وَ اْلعَفَافِ وَ اْلوَفَاءِ بِاْلعَهْدِ وَ أَدَاءِ اْلأَمَانَةِ …إلخ

Dari Abu Sufyan Sokhr bin Harb di dalam haditsnya yang panjang mengenai kisah raja Hiraklius (atau Herkules). Ia (yaitu Hiraklius) berkata, “Apa yang ia perintahkan kepada kalian? (yaitu maksudnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam)”. (Abu Sufyan) menjawab, “Beliau memerintahkan kepada kami agar kami menyembah Allah saja dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya, meninggalkan apa yang disembah oleh para leluhur kami, mengerjakan sholat, bersedekah (di dalam satu riwayat, berkata yang benar), memelihara diri (dari maksiat atau syubhat), menyempurnakan janji dan menunaikan amanah”. … dan seterusnya hadits. [HR al-Bukhoriy: 7, 2941 dan lafazh ini baginya dan disalin secara ringkas, Muslim: 1773 dan Ahmad: I/ 262, 263. asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkan hadits ini, lihat Fat-h al-Bariy: I/ 31-33, VI/ 109-111, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1295, Riyadl ash-Shalihin: 56 dan Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 57].

Berdasarkan adanya dalil-dalil ini, jelaslah bahwasanya RosulullahShallallahu alaihi wa sallam sangat mengutamakan dan memprioritaskan masalah tauhid dan keimanan sebagaimana persaksian al-Harits bin al-Harits al-Ghomidiy radliyallahu anhu ketika menyaksikan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang mendakwahi manusia kepada tauhid dan iman dan juga yang telah diungkapkan oleh Abu Sufyan Shokhr bin Harb radliyallahu anhu ketika terjadi dialog dengan raja Hiraklius di atas padahal waktu itu Abu Sufyan masih dalam keadaan kafir. Sehingga beliau lebih mendahulukan pengajaran tauhid dan keimanan daripada pengajaran alqur’an, dan bagaimana dengan pengajaran yang lainnya?. Dan dengan demikian, ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan alqur’an kepada para shahabat, pengajaran alqur’an tersebut memberi faidah yaitu menambahkan keimanan kepada mereka, sebagaimana pengakuan yang telah dituturkan oleh Jundub bin ‘Abdullah radliyallahu anhu di atas.

Berkata Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah, “Rosul Shallallahu alaihi wa sallam mentarbiyah (mendidik) para pengikutnya atas dasar tauhid sejak masih kecil [Majmu’ah ar-Rosa’il at-Tawjihat al-Islamiyah halaman 170], sebagaimana yang beliau katakan kepada sepupunya yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallahu anhuma  di dalam hadits berikut ini,

عن ابن عباس قال: كُنْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَوْمًا فَقَالَ: يَا غُلاَمُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فاسْأَلِ اللهَ وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَ اعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَ لَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَ اْلأَقْلاَمُ وَ جَفَّتِ الصُّحُفُ

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Pada suatu hari, saya pernah berada di belakang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Wahai ghulam (anak kecil)!, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat, “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau akan menjumpai-Nya di hadapanmu. Apabila engkau meminta maka memintalah kepada Allah, dan apabila engkau hendak minta tolong maka mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah! bahwasanya andaikan umat ini berhimpun untuk memberi manfaat sesuatu kepadamu, maka hal tersebut tidak akan memberi faidah kepadamu kecuali sesuatu yang telah Allah tetapkannya bagimu. Dan andaikan mereka berhimpun untuk memberi mudlorot (bahaya) sesuatu kepadamu, maka hal tersebut tidak akan memberi mudlorot kepadamu kecuali sesuatu yang telah Allah tetapkannya bagimu. Karena telah diangkat pena dan telah kering tinta (untuk menulis ketetapan takdir)”. [HR at-Tirmidziy: 2516 dan Ahmad: I/ 293, 303, 307-308. Berkata asy-syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Tirmidziy : 2043, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 228-229, Shahih al-Jami’ ash-Shagir: 7957, Misykah al-Mashobih: 5302, Bulugh al-Maram  min Adillah al-Ahkam: 1500 dan Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram: IV: 321].

Maka sepantasnyalah para da’i itu mengikuti cara dan manhaj yang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dakwahkan kepada manusia sebagaimana yang disaksikan oleh al-Harits bin al-Harits al-Ghomidiy dan diakui oleh Abu Sufyan, ajarkan kepada Jundub bin ‘Abdullah, perintahkan kepada Ibnu ‘Abbas untuk mengamalkan, dan yang Beliau tuntunkan kepada Mu’adz bin Jabal untuk mendakwahkannya kepada penduduk Yaman, karena beliaulah yang lebih memahami dan lebih mengerti akan syariat islam ini, termasuk mengenai cara dan manhaj dakwah di jalan Allah ini. Tiada seorang juapun yang dapat menyamai dan mensejajarkan kesuksesan dakwah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tersebut di setiap kurun dan dusun, apatah lagi para da’i masa sekarang ini.

Kesuksesan itu tidak dipandang dari segi kemajuan tekhnologi, sains, peradaban ataupun segi keduniaan lainnya atau juga dari segi kwantitas pengikut dari berbagai status dan bidang. Tetapi kesuksesan yang tidak akan mungkin diraih oleh para da’i dan ulama masa sekarang ataupun seterusnya -jika tidak menteladani Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam - adalah kesuksesan di dalam mengkader umat manusia khususnya umat islam akan kwalitas tauhid uluhiyah yaitu i’tikad dan keimanan terhadap keesaan Allah Tabaroka wa ta'ala dengan berbagai macam ibadah. Ketika umat manusia telah menunaikan berbagai macam ibadah kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana yang disyariatkan di dalam alqur’an dan hadits shahih dalam keadaan taat tiada maksiat, pasrah tiada bantah, terima penuh menyeluruh tiada memilih dan memilah maka itulah kesuksesan gemilang meskipun sedikit orang yang menerimanya. Maka wajarlah jika banyak diantara para shahabat yang ditangani dan ditarbiyah langsung oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, telah mendapat khabar gembira memperoleh ampunan dan surga dari Allah Jalla Jalaaluh.

Dari sebab itu, maka bukanlah suatu keanehan jika para ulama salaf ash-Shalih menempatkan dakwah tauhid ini pada prioritas pertama dan utama, ketika menanggapi dan memberikan komentar terhadap hadits pengutusan Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu ke negeri Yaman, yaitu diantaranya,

a. al-Hafizh IBNU HAJAR AL-’ASQOLANIY rahimahullah berkata, “Dan yang dimaksud dengan beribadah kepada Allah adalah dengan mengesakan-Nya, dan dengan mengesakan-Nya adalah dengan bersaksi (bersyahadat) kepada-Nya dengan yang demikian itu dan juga kepada nabi-Nya dengan risalah (kerosulan), dan jadilah permulaan (dakwah) itu dengan kedua (syahadat) tersebut. Karena keduanya itu adalah pokok agama yang selain keduanya tidak akan shah (benar) melainkan dengan keduanya”. [Fat-h al-Bariy: III/ 358 dan Nail al-Awthor: IV/ 139].

Tambahnya lagi, “Dan beristidlal (menjadikan dalil) dengan hadits tersebut bahwa orang-orang kafir itu tidak diserukan dengan masalah-masalah furu’ (cabang) ketika mereka diajak yang pertama kali kepada keimanan saja, kemudian kepada amal, dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjenjangkan hal tersebut atas masalah dakwah ini dengan huruf ‘fa’ (lalu)”. [Fat-h al-Bariy: III/ 359 dan Nail al-Awthor: IV/ 139].

Katanya lagi, “Dan di dalam hadits ini juga terdapat seruan kepada tauhid sebelum perang, pemberian wasiat imam kepada amilnya (pegawainya) mengenai sesuatu yang dibutuhkan olehnya dari hukum-hukum dan selainnya, dan di dalamnya juga terdapat pengutusan petugas (zakat) untuk mengambil zakat, … dan seterusnya”. [Fat-h al-Bariy: III/ 360].

b. al-Imam ABU ZAKARIA AN-NAWAWIY rahimahullah berkata, “Di dalam hadits tersebut sesungguhnya merupakan sunnah bahwa orang-orang kafir itu diajak kepada tauhid sebelum peperangan, dan di dalam hadits itu juga sesungguhnya tidak dihukumkan dengan Islam seseorang itu melainkan dengan mengucapkan syahadatain, dan ini adalah madzhab ahli sunnah sebagaimana telah didahulukan penjelasannya di dalam permulaan kitab al-iman”. [Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: I/ 197].

c. asy-Syaikh MUHAMMAD at-Tamimiy rahimahullah berkata di dalam kitabnya di dalam fihi masa’il, nomor tujuh, “Keberadaan tauhid itu adalah awal kewajiban, delapan: bahwasanya ia (nabi Shallallahu alaihi wa sallam ) mengawali (dakwah ini) dengan tauhid sebelum segala sesuatu hatta sholat. [Kitab Majmu’ah at-Tauhid oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Muhammad at-Tamimiy halaman 164 dan Fat-h al-Majid Syarh Kitaab at-Tauhid halaman 116].

d. asy-Syaikh ‘ABDURRAHMAN BIN HASAN rahimahullah berkata, “Di dalam hadits tersebut terdapat suatu dalil bahwasanya tauhid yang ia itu mengikhlaskan ibadah bagi Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan meninggalkan peribadatan kepada sesuatu selain-Nya, dia adalah merupakan kewajiban yang pertama. [Fat-h al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid halaman 104 dan begitu pula asy-syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdulwahhab di dalam kitabnya Taysir al-’Aziz al-Hamid halaman 101].

e. al-Imam ABU ‘ABDULLAH MUHAMMAD BIN ABU BAKAR BIN AYYUB BIN QOYYIM AL-JAUZIYYAH rahimahullah berkata, "Tauhid itu adalah kunci dakwahnya para rosul oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada utusannya Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu yang diutusnya ke negeri Yaman: “Sesungguhnya engkau akan datang kepada suatu kaum dari ahli kitab, maka adakanlah yang pertama-tama engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah saja, … dan seterusnya hadits”. Dan beliau juga bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tiada ilah yang pantas disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah”. Oleh sebab itu yang benar adalah kewajiban pertama yang diwajibkan kepada mukallaf (golongan manusia dan jin) berupa syahadat bahwasanya tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah". [Madarij as-Salikin: III/ 462].

f. asy-Syaikh SALIM BIN IED AL-HILALIY hafizhohullah, “Dakwah yang pertama-tama didakwahkan kepada manusia adalah persoalan tentang keimanan dan menyatukan akidah karena hal tersebut  merupakan pusat lingkaran agama.  (Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadl ash-Shalihin: I/ 304).

g. asy-Syaikh MUHAMMAD BIN SA’ID SALIM AL-QOHTHONI hafizhohullah berkata, “Dan al-Musthofa Shallallahu alaihi wa sallam telah berwasiat kapada Mu’adz ketika mengutusnya ke negeri Yaman agar ia menyeru/mengajak mereka beribadah kepada Allah saja, dan apabila mereka telah mengenal yang demikian itu, ia lalu diajak kepada fara’idl (kewajiban-kewajiban yang lainnya). Dan beliau tidak menyuruh Mu’adz untuk menyeru mereka yang pertama kali kepada “syakk” (menimbulkan keraguan) atau “nazhr” (peninjauan/ kritis terhadap dalil walaupun shahih) sebagaimana halnya cara al-mutakallimin (ahli filsafat). [al-Wala’ wa al-Baro’ fii al-Islam oleh Muhammad Sa’id bin Salim al-Qohthoniy halaman 98].

h. asy-Syaikh ABU ‘ABDURRAHMAN ‘ABDULLAH BIN ‘ABDURRAHMAN BIN SHALIH  rahimahullah berkata di dalam kitabnya, mengenai hukum-hukum yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah, “Nomor empat; dakwah kepada Allah itu dengan sesuatu yang paling penting lalu yang penting (setahap demi setahap), nomor lima; sesungguhnya sesuatu yang paling penting itu adalah tauhid, karena dia adalah dasar yang tidak akan benar peribadatan itu tanpanya, dan inilah yang dimaksud dengan mendahului dakwah kepada tauhid dan iman yang pertama-tama. [Taysir al-’Allam syarh ‘Umdah al-Ahkam oleh Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Shalih: I/ 386].

i. asy-Syaikh ABU ‘ABDULLAH MUHAMMAD BIN SHALIH BIN MUHAMMAD AL-’UTSAIMIN rahimahullah berkata, “Syahadatain yaitu persaksian bahwasanya tiada ilah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, kedua-duanya adalah kunci Islam dan tidak mungkin (seseorang) masuk ke dalam Islam kecuali dengan keduanya. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam   memerintahkan Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman agar mengadakan yang pertama-tama ia dakwahkan kepada mereka berupa syahadat (persaksian) bahwasanya tiada ilah yang pantas disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah. [Majmu’ Fatawa, Fatawa al-’Aqidah oleh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin: I/ 79].

Katanya lagi, “Kewajiban pertama bagi makhluk (manusia) adalah seruan pertama yang ditujukan kepada makhluk tersebut. Dan sungguh-sungguh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman. Beliau bersabda kepadanya, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka adakanlah yang pertama-tama engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat (persaksian) bahwasanya tiada ilah yang pantas disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah". Maka ini adalah kewajiban pertama bagi para hamba agar mengesakan (mentauhidkan) Allah Azaa wa Jalla dan bersaksi bagi rosul-Nya saw dengan risalah (kerosulan)nya. Dan dengan mengesakan Allah Azza wa Jalla dan bersaksi bagi rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam akan terealisirlah keikhlasan dan bersamaan itu kedua-duanya merupakan satu syarat bagi diterimanya segala macam ibadah. [Majmu’ Fatawa, Fatawa al-’Aqidah: I/ 84 dan Fatawa al-‘Aqidah halaman: 79 soal nomor 58].

Katanya lagi, “Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengarahkannya bahwa dakwah pertama yang mesti ia sampaikan kepada mereka adalah tauhid dan risalah (kerosulan). Beliau bersabda kepadanya, “Serulah mereka kepada syahadat “Laa ilaaha illallah” dan bahwasanya aku adalah utusan Allah”. Yakni agar mereka bersaksi bahwasanya tiada ilah kecuali Allah yaitu tiada ilah yang pantas diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa ta'ala karena Dia adalah yang berhak diibadahi. Adapun selain-Nya  maka tidak berhak diibadahi bahkan beribadah kepadanya adalah kebatilan. Sebagaimana firman-Nya (Demikianlah bahwasanya Allah Dia-lah yang Hak dan apasaja yang disembah selain-Nya adalah batil dan bahwasanya Allah adalah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. QS. Luqman/ 31: 30). Dan bahwasanya aku adalah utusan Allah. Yakni utusan-Nya yang diutus kepada bangsa manusia dan jin, menutup kerosulan dengannya dan barangsiapa yang tidak beriman kepadanya maka ia termasuk penghuni neraka.  [Syarh Riyadl ash-Shalihin oleh Abu Abdullah Muhammad bin Shalih bin Muhammad al-Utsaimin: II/ 61].

j. asy-Syaikh MUHAMMAD BIN JAMIL ZAINU rahimahullah berkata, “Sungguh-sungguh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan para shahabat untuk memulai dakwah mereka kepada manusia dengan tauhid, beliau bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya ke negeri Yaman, ‘Maka adakanlah yang pertama-tama engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat (persaksian) bahwasanya tiada ilah yang pantas disembah selain Allah’. Dan di dalam suatu riwayat, ‘agar mereka mengesakan (mentauhidkan) Allah’. [Majmu’ah ar-Rosa’il at-Tawjihat al-Islamiyah halaman 170].

Dari beberapa keterangan tersebut dapatlah dipahami bagi orang yang memiliki hati, menajamkan pandangan dan mengarahkan pendengaran bahwasanya tauhid yang mesti dilafazhkan dengan mengikrarkan syahadatain lalu dipahami arti dan maksudnya serta diamalkan dengan penuh kesungguhan, keikhlasan, dan pengorbanan itu memiliki prioritas pertama dan utama dibandingkan pokok-pokok ajaran islam lainnya, di antaranya; sholat, zakat, shoum, haji, umrah, berkurban, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, baiat, imamah, imarah, akhlak, mu’amalah dan lain sebagainya.

Oleh sebab itulah setiap da’i itu jika mereka ingin meniru kesuksesan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum di dalam berdakwah, maka hendaklah ia mengkader umat islam ini kepada pemahaman ajaran tauhid yang lurus lagi bersih dari noda-noda syirik dan bid’ah sebelum yang lain-lainnya, sebagaimana yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam lakukan kepada para shahabat radliyallahu anhum, sama halnya yang telah beliau perintahkan kepada Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu untuk mendakwahkannya di negeri Yaman. Pengkaderan umat tersebut tidak hanya cukup menggugah mereka dengan menyinggung kata-kata tauhid, pentingnya tauhid atau hal-hal yang berkaitan lainnya di dalam dakwah. Tetapi yang paling penting dan utama yang banyak ditinggalkan oleh para da’i dan ulama adalah melanggengkan secara berkesinambungan pengajaran tauhid dan hal-hal yang berhubungan dengannya secara utuh dan menyeluruh melalui kitab-kitab sumbernya yang berlandaskan dan bersandarkan kepada alqur’an dan hadits-hadits shahih dengan pemahaman para ulama salafush shalih di dalam pertemuan-pertemuan rutin lagi kontinyu secara bertahap kepada umat manusia umumnya dan kaum muslimin khususnya. Lalu mengobarkan semangat mereka di dalam mengamalkan seluruh ajaran tauhid, memperjuangkannya dengan lidah, harta, darah dan nyawa mereka. Lalu bersatu padu dan bahu membahu di dalam menegakkan akidah yang lurus bersama para pendukungnya. Dan juga mendorong mereka agar menjauhi serta menentang segala bentuk kemusyrikan, kemunafikan, kekufuran, kedurhakaan, perilaku bid’ah, kejahiliyahan dan selainnya dari diri dan keluarga mereka serta masyarakat dan memisahkan diri dari para pelakunya. Hal ini harus dimulai dari diri mereka masing-masing kemudian keluarga dan baru masyarakat muslim seluruhnya. Alangkah patut dan eloknya jika mereka mau dan memulai melakukannya.

Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikutinya di antara para shahabat adalah gerakan dakwah yang berlandaskan kepada manhaj dakwah yang shahih lagi sempurna. Hal ini, dikarenakan gerakan dakwah yang dilakukan oleh beliau dan para shahabat sesuai dengan manhaj dakwah para rosul Alaihimus Salam yaitu berlandaskan kepada akidah tauhid yang lurus dan benar. Sebab gerakan dakwah yang tidak berlandaskan kepada akidah tauhid samalah artinya dengan gerakan tanpa asas, bagaimanapun besar dan hebatnya namun hal tersebut hanyalah merupakan fatamorgana dan semu belaka, karena menyalahi manhaj para rosul yang telah mendapatkan bimbingan dan didikan langsung dari Allah Tabaroka wa Ta'ala. Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah memberitahukan kepada umatnya bahwa dasar agama para rosul itu satu yaitu tauhid, sebagaimana hadits di bawah ini,

عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أَنَا أَوْلَى النَّاسَ بِعِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ فِى الدُّنْيَا وَ اْلآخِرَةِ وَ اْلأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلاَّتٍ أُمَّتُهُمْ شَتًّى وَ دِيْنُهُمْ وَاحِدٍ

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Aku adalah manusia yang paling utama/dekat bagi Isa bin Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah bersaudara sebab ‘allat (satu ayah) sedangkan ibu mereka berbeda-beda, dan dien/agama mereka satu”. [HR al-Bukhoriy: 3443 dan lafazh hadits ini baginya, Muslim: 2365 dan Ahmad: II/ 319, 406. Berkata asy-syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Fath al-Baariy: VI/ 478, Mukhtashor Shahiih al-Imam al-Bukhoriy, oleh asy-Syaikh al-Albaniy: II/ 442, nomor hadits 1457, Mukhtashor shahih al-Bukhoriy oleh al-Imam az-zubaidiy nomor 1437, al-Jami’ ash-Shahih: VII/ 96, Shahih Muslim  bi syarh an-Nawawiy: XV/ 119-120, Mukhtasor Shahiih Muslim oleh asy-syaikh al-Albaniy nomor 1618, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir nomor 1452, Silsilah al-Ahadits ash-shahihah nomor 2182, Misykah al-Mashobih nomor 5722, Qoshosh al-Anbiya’ oleh al-Hafizh Ibnu Katsir halaman 541, 542 dan ar-Rusul wa ar-Risalat oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqor halaman 252].

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Dan makna hadits tersebut adalah bahwasanya dasar/ pokok agama mereka satu yaitu tauhid, walaupun berbeda-beda cabang syariatnya”. [Fat-h al-Bariy: VI/ 489].

Berkata jumhur (sekelompok besar) ulama, “Makna hadits tersebut adalah dasar iman mereka satu yaitu tauhid dan syariat mereka berbeda-beda. Maka sesungguhnya mereka sesuai di dalam dasar tauhid dan adapun cabang-cabang syariatnya terjadi perbedaan di dalamnya”. [Shahih Muslim bi syarh an-Nawawiy: XV/ 120].

Dengan memahami dalil hadits di atas dan keterangannya, jelaslah bahwa dakwah para nabi mempunyai dasar dan inti yang sama yaitu akidah tauhid, kendatipun cabang-cabang syariatnya berbeda-beda. Maka manhaj gerakan dakwah merekapun telah tersebar di dalam kitab suci alqur’an dan hadits-hadits nabi yaitu berawalkan dari tauhid, berdasarkan tauhid, berintikan tauhid dan diakhiri dengan tauhid. Tetapi sangat disayangkan, banyak di kalangan kaum muslimin bahkan para da’inya yang lengah dan menganggap sepele masalah ini, sehingga tidaklah mengherankan jika sekarang ini orang-orang kafir dan kaum munafikin tidak merasa takut dan gentar terhadap mereka, bahkan merekalah yang merasa ciut dan gemetar takut menghadapi orang-orang kafir dan kaum munafikin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Wahai para da’i sadarlah dari kesalahan dan kekeliruan ini dan bangkitlah menyeru umat manusia seperti yang telah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam da’inya para da’i dan juga yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikutinya di antara kaum mukminin. Pahamilah bahwasanya dakwah yang diawali dan didasari oleh selain akidah tauhid dan keimanan itu hanyalah melahirkan kesia-siaan dan kehampaan. Karena sebanyak apapun kaum muslimin jikalau tidak memiliki pondasi tauhid dan keimanan yang benar lagi mendasar, maka mereka itu hanyalah laksana buih membusa yang tidak mempunyai pengaruh dan kekuatan. Sebab selama apapun seseorang itu memeluk Islam, tetapi tidak mempunyai pondasi tauhid dan keimanan yang tepat lagi mantap, maka ia seperti sebuah pohon yang tidak memiliki akar penopang kuat yang tinggal menunggu keruntuhannya, lalu ia binasa dan membinasakan selainnya. Meskipun kaum muslimin mempunyai semangat tinggi di dalam mempelajari agama mereka, tetapi tidak didasari akidah tauhid dan keimanan yang shahih lagi rajih, maka mereka akan dengan mudah bersikap loyal kepada selain mereka dan mudah pula menampakkan permusuhan kepada sesama mereka. Ambillah pelajaran dari dalil-dalil yang telah termaktub di dalam alqur’an dan hadits-hadits shahih ataupun sirah nabawiy berupa gaya dan metode dakwah ilahiy yaitu sesuai petunjuk dan perintah Allah Jalla jalaaluh dan yang dilakukan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya di dalam menyampaikan kalimat tauhid serta diikuti oleh oleh para pengikutnya yang beriman. Dan janganlah kalian menoleh apalagi meniru gaya dan metode dakwah yang disodorkan dan ditawarkan oleh orang-orang yang merasa “sok” lebih pandai, lebih hebat dan lebih berhasil dari Nabi kalian Shallallahu alaihi wa sallam dengan bentuk penawaran gaya dan metode dakwah yang menurut mereka lebih memasyarakat dan modern. Padahal dakwah mereka jelas menyelisihi dan menyalahi manhaj yang disunahkan, ditetapkan dan diterapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan takutlah kalian akan suatu hari dimana setiap orang yang kalian jerumuskan ke dalam neraka itu akan menuntut dan meminta pertanggungjawaban terhadap semua ajakan dan ajaran kalian, yang menyebabkan kalian binasa dan rugi. Al-Iyaadzu billah.

Wahai kaum muslimin, tuntutlah dari para da’i, ustadz, ulama atau syaikh kalian pengajaran tauhid yang murni lagi utuh dengan sandaran alqur’an dan hadits yang shahih secara berkesinambungan sebelum mereka berlepas diri dari kalian pada hari tiada berguna tebusan dan penyesalan. Mintalah bukti kepada mereka dari alqur’an dan hadits shahih apa yang mereka telah ajarkan dan fatwakan sebelum mereka berdalih dengan dalih yang menyalahkan kalian. Waspadalah terhadap pengajaran para da’i atau ulama yang tidak bermuarakan kepada tauhid dan tidak bersandarkan kepada alqur’an dan hadits yang shahih. Pasanglah telinga, bukalah mata dan lapangkanlah hati kalian di dalam menerima pengajaran tauhid dari para da’i atau ulama salaf yang dengan sandaran alqur’an dan hadits shahih, berusaha memurnikan ajaran agama Allah yang telah  tercemar oleh berbagai adat tradisi yang mengandung kemusyrikan dan bid’ah dan juga telah tersamar oleh pemikiran mereka atau para pendahulu mereka yang serupa, agar diri kalian mudah dihiasi dan dipenuhi oleh akidah tauhid dan keimanan sehingga kalian tidak mudah tertipu lagi terpedaya oleh tingkah polah musuh-musuh Allah itu. Sebab akan datang hari di mana telinga, mata dan hati akan diminta pertanggungjawaban. Yakinlah terhadap pentingnya akidah tauhid di dalam meraih keselamatan di akhirat nanti dan tauhid jugalah yang dapat menumbuhkan sosok pribadi yang kuat lagi shalih dan menciptakan lingkungan yang aman lagi nyaman, baik lagi resik dan bersih di dunia ini. Lenyapkan pula keraguan terhadap kebenaran alqur’an dan hadits nabi sebagai dasar yang paling penting dan utama di dalam memahami ajaran islam yang shahih. Janganlah bertindak bodoh dan mau dibuat bodoh oleh sebahagian para da’i dengan mencemari dan meracuni kalian dengan pengajaran tak tentu arah dan didasari dari selain ajaran tauhid yang mengakibatkan kalian taklid buta dan mengkultuskan mereka. Dan takutlah kalian akan suatu hari dimana orang-orang yang telah menjerumuskan kalian ke dalam siksa neraka berlepas diri lagi tidak mau disalahkan dan di hari itu pula tiada gunanya penyesalan dan segala macam tebusan.

Wallahu a’lam bish showab.

PERLUKAH BER-ASHOBIYAH/ FANATISME GOLONGAN?.


FANATISME PEMECAH BELAH UMAT
بسم الله الرحمن الرحيم

Di masa sekarang ini, banyak dijumpai beraneka jamaah pengajian dan kelompok kajian agama. Mereka semua mengaku yang paling benar, sesuai dengan ajaran Islam dan berasa skan ahlu sunnah wal jama’ah. Ketika masing-masing mereka menganggap bahwa merekalah yang terbaik dan terbenar, tidak mau menerima kebenaran kelompok lain, menutup mata dari kesalahan kelompoknya sen diri dan menyangka bahwa merekalah yang paling berhak menerangkan berbagai perkara agama, akhirnya jadilah umat ini terfirqoh-firqoh. Lalu tanpa mereka sadari, perilaku dan perbuatan mereka itu telah menyeret mereka kepada kerusakan, perselisihan dan perpecahan. Dalam anggapan mereka, merekalah gudangnya kebenaran sedangkan selain mereka adalah gudang kekeliruan. Akhirnya dari perilaku seperti itu lahirlah fanatisme kelompok (ashobiyyah).

Padahal sikap fanatisme kelompok itu sangat diharamkan oleh Islam, lantaran perbuatan itu merupakan kebiasaan orang kafir/ musyrik dan dapat menimbulkan perselisihan, perpecahan dan permusuhan lalu pada akhirnya akan melemahkan kekuatan kaum muslimin. Sebagaimana dalil-dalil berikut ini,

وَ لاَ تَكُوْنُوْا مِنَ اْلمـُـشْرِكِيْنَ مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَ كَانُوْا شِيَعًا كُـلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ

Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (kaum musyrikin), yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [QS. ar-Rum/30: 31-32].

وَ أَطِيْعُوْا اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ لاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَ تَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَ اصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan, yang akan menyebabkan kalian lemah dan hilangnya kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [QS. Al-Anfal/ 8: 46].

عن جندب بن عبد الله البجلي رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُوْ عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Dari Jundub bin Abdullah al-Bajaliy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera ummiyyah (kesesatan) yang disebabkan ia mengajak kepada ashobiyah atau dalam rangka menolong ashobiyah, maka matinya adalah mati jahiliyah”. [HR Muslim: 1850, an-Nasa’iy: VII/ 123 dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قَالَ: مَنْ نَصَرَ قَوْمَهُ عَلَى غَيْرِ اْلحَقِّ فَهُوَ كَاْلبَعِيْرِ الَّذِى رُدِّيَ فَهُوَ يُنْزَعُ بِذَنَبِهِ

Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Barangsiapa yang menolong kaumnya dengan alasan yang tidak benar maka ia seperti seekor unta yang terjatuh (ke dalam lobang) lalu ia diangkat dengan ekornya”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 5117, 5118. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً وَ مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُوْ إِلىَ عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu ia mati maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah. Barangsiapa yang berperang di bawah bendera ummiyyah yang ia marah karena membela golongan (fanatisme golongan) atau mengajak kepada golongan atau menolong golongan lalu ia terbunuh maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah”… Dan seterusnya hadits. [HR Muslim: 1848, an-Nasa’iy: VII/ 123, Ibnu Majah: 3948 dan Ahmad: II/ 306, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [3]

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: كُنَّا فِى غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ رَجُلًا مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ اَلأَنْصَارِيُّ: يَا لَلْأَنْصَارَ وَ قَالَ اْلمـُهَاجِرِيُّ: يَا لَلْمـُهَاجِرِيْنَ فَسَمِعَ ذَاكَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَا بَالُ دَعْوَى اْلجَاهِلِيَّةِ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ رَجُلًا مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: دَعُوْهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

Dari Jabir radliyallahu anhuma berkata, kami pernah berada dalam suatu peperangan (yaitu Bani al-Mushthaliq), lalu seseorang dari golongan Muhajirin melukai seorang dari golongan Anshor. Berkata orang Anshor, “Wahai orang-orang Anshor”. Dan berkata golongan Muhajirin, “Wahai orang-orang Muhajirin”. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendengar perkataan itu lalu bersabda, “Apakah dengan seruan-seruan Jahiliyyah (kalian menyeru)?, (padahal aku masih berada di tengah-tengah kalian)”. Mereka berkata, “Wahai Rosulullah, seorang dari golongan Muhajirin melukai seseorang dari golongan Anshor”. Lalu Beliau bersabda, “Tinggalkanlah ia, karena sesungguhnya ia busuk baunya’. [HR al-Bukhoriy: 4905, Muslim: 2584 dan at-Turmudziy: 3315. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegur para shahabat Muhajirin dan Anshor radliyallahu anhum karena mereka meneriakkan seruan-seruan jahiliyah. Yaitu ucapan ‘Ya lal Anshor’ dan ‘Ya lal Muhajirin’, yang merupakan kalimat pengagungan bagi kaum atau golongan mereka masing-masing. Jika dua kelompok paling mulia ini saja dilarang untuk saling membanggakan kelompoknya masing-masing maka bagaimana dengan kelompok atau golongan yang lainnya. Rosulullah memerintahkan kedua kelompok mulia itu untuk meninggalkan budaya tersebut karena termasuk kebiasaan jahiliyah dan Beliau menyebutnya dengan sesuatu yang baunya busuk.

Jika dalam suatu tempat tercium bau busuk yang sangat menyengat, maka orang-orang yang berada disekitarnya niscaya akan pergi dan membubarkan diri meninggalkan tempat tersebut tanpa diperintah dan dikomando oleh orang lain. Namun dengan seruan kebanggaan jahiliyah, masih banyak di antara umat manusia bahkan umat Islam yang saling menyeru dan meneriakkannya dengan lantang tanpa perasaan bersalah. Terkadang orang-orang itu merasa sudah berbuat yang sepatutnya dan benar tindakan mereka.

Padahal sudah berapa banyak kehancuran yang menimpa umat manusia, yang disebabkan perang antar suku, ras dan golongan di berbagai tempat di belahan dunia dan bahkan di Indonesia ini. Banyak manusia terbunuh, rumah hancur porak poranda, gedung-gedung untuk layanan masyarakat dan kendaraan-kendaraan pribadi atau pemerintah yang ikut jadi korban. Hal itu karena masalah ashobiyah atau fanatik kesukuan yang sangat kental di sisi manusia.

Begitupun umat Islam yang kebanyakan mereka sangat fanatik dengan madzhab, partai, kelompok pengajian ataupun para ustadz mereka. Banyak di antara mereka yang terkadang lebih fanatik kepada madzhab dan golongannya daripada fanatiknya mereka kepada Islam. Mereka lebih fanatik kepada ustadz mereka daripada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Subhanallah. [5]

Padahal jika ditanyakan kepada mereka, ”Dahulu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berpegang kepada madzhab apa?”. Dan begitu pula para Shahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Usamah bin Zaid, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan selain mereka radliyallahu anhum, apakah madzhab yang mereka anut?. Niscaya mereka tidak akan pernah mendapatkan satu dalilpun di dalam alqur’an dan hadits-hadits shahih tentang hal itu. Mereka hanya akan jumpai dalil-dalil itu dari ucapan para ustadz mereka untuk membela pemahaman mereka yang rapuh lagi goyah.

Bahkan para Imam yang empat itupun dahulu mereka tidak pernah saling bermadzhap kepada seseorang di antara mereka dan tidak ada satupun ucapan mereka yang mengajak umat Islam dan pengikutnya untuk bermadzhab kepada mereka. Dan yang ada malah kebalikannya, yaitu mengajak mereka untuk selalu berpijak dan berpihak kepada sumber pengajaran Islam yaitu alqur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Demikianlah larangan bagi umat Islam, dari dakwah atau menyeru kepada ashobiyah (fanatik golongan), bangga dengan ashobiyah, marah karena membela ashobiyah dan menolong lantaran ashobiyah. Dan mereka juga dilarang untuk masuk ke dalam madzhab atau golongan dan fanatik terhadapnya, yang akan menyebabkan umat Islam tercerai berai, lemah dan tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi musuh. Lalu jika mereka mati atau terbunuh di bawah bendera kesesatan tersebut maka matinya mereka itu adalah mati jahiliyah, yaitu mati diluar manhaj Islam.

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah, [6] “al-Firqoh an-najiyah (golongan yang selamat) itu tidak pernah ta’ashshub atau fanatik (kepada kelompok manapun) kecuali kepada firman Allah Subhanahu wa ta’ala dan sabda Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang ma’shum, yang tiada berkata-kata dari hawa nafsunya. Adapun manusia selainnya kendatipun tinggi derajatnya tentulah ia berdosa, karena sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam nash berikut ini,

عن أنس رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كُلُّ بَنىِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ اْلخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Semua anak Adam itu berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat”. [HR Ahmad: III/ 198, at-Turmudziy: 2499, Ibnu Majah: 4251, ad-Darimiy: II/ 303 dan al-Hakim: 7691. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [7]

Jika demikian, pantaskah manusia selain Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk diikuti dan diteladani segala perkataan dan perbuatannya. Padahal telah nyata dalilnya yang jelas mengenai ketidaksuciannya mereka dari dosa-dosa. Tegasnya, andaikan ada seseorang selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata. Maka tidak akan terjamin mengenai benar atau salahnya, pun demikian perbuatannya. Benar dan salahnya tingkah laku dan ucapan seseorang itu mesti diukur dengan alqur’an dan sunnah. Jika sesuai dengan keduanya maka kebenaran itu landasan berpijaknya dan jika berselisih, batillah segala tingkah laku dan perkataannya.

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قَالَ: كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أُرِيْدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنىِ قُرَيْشٌ وَ قَالُوْا أَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ َتسْمَعُهُ وَ رَسُوْلُ اللهِ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فىِ اْلغَضَبِ وَ الرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنِ اْلكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَوْمَأَ بِاُصْبُعِهِ إِلىَ فِيْهِ فَقَالَ: اكْتُبْ فَوَ الَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَا َيخْرُجُ مِنْهُ وَ فى رواية: مَا خَرَجَ مِنْهُ و فى رواية: مَا خَرَجَ مِنىِّ إِلاَّ حَقٌّ

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhu berkata, “aku senantiasa mencatat (menulis) segala sesuatu yang aku dengar dari Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam. Aku bertujuan untuk menghafalnya. Lalu orang-orang Quraisy melarangku dan berkata, “Apakah engkau selalu mencatat semua yang engkau dengar (darinya) sedangkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang manusia yang berbicara dengan rasa marah dan senang”. Lalu akupun menghentikan dari mencatatnya. Maka aku ceritakan hal tersebut kepada Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Beliau berisyarat dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda, “Catatlah, demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (di dalam satu riwayat, tidaklah keluar dariku) kecuali kebenaran”. [HR Abu Dawud: 3646, Ahmad: II/ 162, 192, ad-Darimiy: I/ 125 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]

Jika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berbicara dan mengerjakan sesuatu pastilah suatu kebenaran, karena Beliau tidak pernah berbicara dan berbuat sesuatu itu dari dasar hawa nafsunya. Dan semua yang diucapkan ataupun yang dikerjakannya itu berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya (lihat QS. An-Najm/ 54: 3-4). Sehingga pantaslah jika kita sebagai umatnya untuk ashobiyah atau fanatik kepadanya. Namun selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, apakah dijamin setiap perkataan dan perbuatannya itu adalah kebenaran. Apalagi jika ia jauh dari bimbingan alqur’an dan sunnah serta pemahaman para ulama yang meniti jalan bersama Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum?.

Oleh karena itulah, para Imam yang empat rahimahumullah telah mewasiatkan kaum muslimin supaya tidak taklid dan fanatik kepada mereka, namun meletakkan ittiba’ dan fanatik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala (alqur’an) dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits-haditsnya yang shahih), di dalam beberapa ucapan mereka berikut ini,

A. al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,

1). Apabila aku berkata satu perkataan yang menyelisihi kitabullah (alqur’an) dan khabar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits), maka tinggalkanlah perkataanku.[9]

2). Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami telah mengambilnya. [10]

3). Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku. [11]

4). Celakalah engkau wahai Ya’kub (yaitu Abu Yusuf). Janganlah engkau selalu mencatat semua yang kamu dengar dariku. Karena aku pada hari ini berpendapat dengan suatu pendapat namun aku akan meninggalkannya esok. Atau aku esoknya berpendapat suatu pendapat lalu lusanya aku meninggalkannya pula. [12] 5). Apabila hadits itu shahih maka ia adalah madzhab (pendirian)ku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 46).

B. al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

1). Aku ini hanyalah manusia, bisa salah dan bisa juga benar. Oleh sebab itu perhatikanlah pendapatku itu dengan seksama. Maka semua yang sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka tinggalkanlah. [13]

2). Tidak ada seseorang sesudah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diambil dan ditinggalkan kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [14]

C. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

1). Apabila kalian mendapatkan di dalam kitabku ada yang menyelisihi sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah kalian berkata dengan sunnah Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkan apa yang telah aku katakan. Di dalam satu riwayat: Maka ikutilah sunnah tersebut dan janganlah kalian berpaling kepada perkataan seseorang. [15]

2). Kaum muslimin telah berijmak bahwasanya orang yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya lantaran pendapat seseorang. [16]

3). Setiap persoalan yang telah shahih hadits tentangnya dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menurut ahli naql (ahli hadits) yang berselisih dengan apa yang kukatakan. Maka aku merujuk kepadanya di masa hidupku dan setelah kematianku. [17]

4). Apabila kalian melihat aku mengatakan suatu perkataan sedangkan telah shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menyelisihinya maka ketahuilah bahwasanya telah hilang akalku. [18]

5). Semua yang kukatakan sedangkan yang shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyelisihi ucapanku maka hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah yang lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku. [19]

6). Semua hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah merupakan ucapanku meskipun kalian tidak mendengarnya dariku. [20]

D. al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,

1). Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’iy dan juga ats-Tsauriy. Tetapi ambillah dari arah mana mereka mengambil.[21]

2). Pendapat al-Awza’iy, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah, semuanya itu hanyalah pendapat. Di sisiku semuanya itu sama. Hujjah itu hanyalah ada pada atsar.[22]

3). Berkata Abu Dawud, Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ”Apakah al-Awza’iy itu pengikut Imam Malik?”. Ia menjawab, ”Janganlah engkau taklid kepada seseorang dari mereka di dalam agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya maka ambillah”. [23]

4).Sebahagian dari minimnya pemahaman seseorang terhadap agamanya adalah ia taklid kepada orang-orang di dalam agamanya. [24]

5). Barangsiapa yang menolak hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka berarti ia berada di tepi jurang kebinasaan. [25]

Tiadakah hikmah dan faidah sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan ucapan para imam tersebut bagi segenap umat Islam, khususnya para dai?. Sehingga masih terlihat gejala dan penyakit fanatik golongan ini pada mereka. Karena gejala dan penyakit fanatik golongan ini biasanya timbul dari sikap para dai yang menyeru dan mengajak umat ini kepada kefanatikan suatu golongan tertentu yang mereka anut. Belumkah mereka membaca nash-nash di atas ataukah mereka berpura-pura tidak tahu?. Gejala dan penyakit ashobiyah (fanatik golongan) ini biasanya dilahirkan pula oleh sikap kaum muslimin yang berlebih-lebihan terhadap ustadz, guru ataupun para imam mereka. Sehingga mereka berasumsi bahwa hanya ustadz dan imam mereka sajalah yang benar dan berhak untuk menyampaikan kebenaran. Sedangkan orang selainnya adalah tidak benar dan tidak pantas untuk menyampaikan kebenaran dan jikapun benar itupun harus seidzin dan sepengetahuan ustadz dan imam mereka, walaupun orang yang menyampaikannya itu benar-benar menyampaikan kebenaran dari alqur’an dan hadits yang shahih. Iblis la’natullah alaihi saja yang telah jelas kesesatannya mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat” (QS. al-A’raf/ 7: 21), ketika menggelincirkan nabi Adam alaihi as-Salam dan istrinya dari surga. Apalagi manusia yang merasa benar dan tidak mengetahui kesesatannya tentu dengan penuh keyakinan juga akan mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat dan yang menyampaikan kebenaran”. Takkan ada orang yang tahu akan aib dirinya sendiri jika tidak mengaca kepada cermin. Pun demikian tiada orang yang akan tahu akan kesalahan dan kesesatan dirinya jika ia tidak mau mengaca kepada kitabullah dan sunah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.

Fanatik atau ashobiyah golongan ini jika dibiarkan mengendap di dalam sanubari seseorang dari kelompok tersebut, maka sikap ini akan menimbulkan kesombongan dan kebanggan kepada kelompoknya tersebut. Dan tak aneh jika ada di antara mereka yang marah sebab membela kelompoknya lantaran ashobiyah, rela mati sebab mempertahankan ashobiyah dan ia akan berkata dengan pebuh kebanggaan kepada selainnya, ” ana khoirum minka” (aku lebih baik darimu) atau ”nahnu khoirum minkum” (kami lebih baik dari kalian). Tidakkah perkataannya itu sama dengan perkataan Iblis la’natullah alaihi ketika ia berkata, “ana khoirum minhu” (aku lebih baik darinya) (QS. Shaad/ 38: 76 dan QS. al-A’raf/ 7: 12 ). Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang seseorang hamba untuk mengatakan bahwa dirinya itulah yang terbaik, yang terpandai dan menganggap dirinya suci atau bersih dari kesalahan-kesalahan. Yakni firman-Nya, ”dan janganlah kalian menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm/ 53: 32).

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: يَظْهَرُ اْلإِسْلاَمُ حَتىَّ تَخْتَلِفَ التُّجَّارُ فىِ اْلبَحْرِ وَ حَتىَّ تَخُوْضَ اْلخَيْلُ فىِ سَبِيْلِ اللهِ ُثمَّ يَظْهَرُ قَوْمٌ يَقْرَؤُوْنَ اْلقُرْآنَ يَقُوْلُوْنَ: مَنْ أَقْرَأُ مِنَّا ؟ مَنْ أَعْلَمُ مِنَّا ؟ مَنْ أَفْقَهُ مِنَّا؟ ثُمَّ قَالَ لِأَصْحَابِهِ: هَلْ فىِ أُوْلَئِكَ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالُوْا: َاللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ: أُوْلَئِكَ مِنْكُمْ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ وَ أُوْلَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ

Dari Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Islam itu akan unggul sehingga para pedagang akan berselisih di lautan, dan sehingga akan ada kuda yang berbicara pada jalan Allah. Kemudian akan muncul suatu kaum yang membaca alqur’an seraya berkata, “Siapakah orang yang paling pandai membaca (alqur’an) dari kami? Siapakah yang paling berilmu dari kami? Siapakah yang lebih mengerti hukum dari kami?”. Kemudian beliau bersabda kepada para shahabatnya, “Apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka menjawab, “Allah dan rosul-Nya-lah lebih mengetahui. Beliau bersabda, “Mereka itu adalah dari golongan kalian dari umat ini dan mereka itu adalah bahan bakarnya neraka”. [HR ath-Thabraniy didalam al-Awsath dan al-Bazzar dengan sanad tiada cacat dengannya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [26]

Masihkah diragukan lagi berita yang telah dibawa oleh utusan Allah ini, padahal berita tersebut adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda kenabian yang akan berlaku dan terjadi di dunia ini. Bahwa akan akan ada di antara umat Islam ini yang membaca alqur’an hanya untuk kebanggaan dan kesombongan belaka. Sehingga ia merasa bahwa dirinyalah yang paling pandai di dalam membaca alqur’an, paling berilmu dan paling mengerti tentang hukum dari selainnya, sedangkan ia adalah merupakan bahan bakarnya neraka Jahannam. Ma’adzallah.

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: لَيَظْهَرَنَّ اْلإِيْمَانُ حَتىَّ يُرَدُّ اْلكُفْرُ إِلىَ مَوَاطِنِهِ وَ لَتُخَاضَنَّ اْلبِحَارُ بِاْلإِسْلاَمِ وَ لَيَأْتِيَنَّ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَتَعَلَّمُوْنَ فِيْهِ اْلقُرْآنَ يَتَعَلَّمُوْنَهُ وَ يَقْرَؤُوْنَهُ ُثمَّ يَقُوْلُوْنَ: قَدْ قَرَأْنَا وَ عَلِمْنَا فَمَنْ ذَا الَّذِي هُوَ خَيْرٌ مِنَّا ؟ فَهَلْ فىِ أُوْلَئِكَ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: أُوْلَئِكَ مِنْكُمْ وَ أُوْلَئِكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِ

Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar akan tampak jelas keimanan itu, sehingga kekufuran akan dikembalikan ke tempat-tempatnya. Dan sungguh-sungguh akan diperbincangkan lautan itu dengan Islam. Dan benar-benar akan datang suatu masa atas manusia, yang pada masa tersebut mereka akan mempelajari alqur’an, mereka mempelajari dan membacanya, kemudian mereka akan berkata, ”Sungguh-sungguh kami telah membaca dan mengetahui, maka siapakah orang yang lebih baik dari kami? Maka apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “mereka itu adalah termasuk kalian dan mereka itu adalah bahan bakarnya api neraka”. [HR al-Imam ath-Thabraniy di dalam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanad hadits ini adalah hasan, in syaa Allah].

Dengan nash hadits ini belumkah cukup bagi mereka untuk menghentikan diri mereka dari mengagul-agulkan dan mengagung-agungkan diri sendiri dan bahkan menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling pandai dan paling benar. Padahal sebagaimana telah dijelaskan bahwa ukuran benar dan salah serta baik dan buruknya seseorang itu bukan di ukur dari penilaian manusia secara mayoritas. Tetapi yang menjadi barometer penentu bagi seseorang itu apakah berpijak kepada kebenaran ataukah kepada kebatilan dan apakah ia orang baik ataukah seorang yang buruk, itu adalah alqur’an dan sunnah yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Jika ia sesuai dengan keduanya, maka kepada kebenaran ia berpijak dan ia adalah orang yang shalih. Tetapi apabila ia menyelisihi keduanya maka kepada kebatilanlah ia berpihak dan ia adalah seorang yang thalih (buruk).

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhohullah pernah ditanya, “Apa hukum bagi seseorang yang mencintai seorang ulama atau da’i, hingga ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin seorang pun membantahnya, dan aku mengambil perkataannya meskipun ia menyelisihi dalil, karena syaikh tersebut lebih mengetahui dalil daripada kita’ ?”.
Beliau hafizhohullah menjawab, “Sikap ini merupakan kefanatikan (ta’ashub) yang dibenci lagi tercela, tidak diperbolehkan.
Kita mencintai ulama – walillahil-hamd – , dan mencintai da’i yang menyeru di jalan Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi jika salah seorang di antara mereka terjatuh dalam kesalahan dalam satu permasalahan, maka kita menjelaskan kebenaran dalam permasalahan ini dengan dalil. Hal itu sama sekali tidaklah mengurangi kecintaan kita pada orang yang dibantah, dan tidak pula mengurangi kedudukannya.

Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang pun dari kita kecuali orang yang membantah atau yang dibantah, kecuali pemilik kubur ini” – yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
“Apabila kita membantah sebagian ulama dan sebagian fudlala’ tidaklah bermakna kita membencinya atau merendahkannya. Kita hanyalah menjelaskan kebenaran. Oleh karenanya sebagian ulama berkata ketika sebagian rekannya terjatuh dalam kesalahan, ‘Fulan adalah orang yang kami cintai, akan tetapi kebenaran lebih kami cintai daripadanya’. Inilah jalan yang benar.
Janganlah kalian memahami bahwa bantahan terhadap sebagian ulama dalam permasalahan yang mereka jatuh dalam kekeliruan bermakna perendahan atau kebencian. Bahkan para ulama senantiasa memberikan bantahan sebagian terhadap sebagian yang lain, dalam keadaan mereka saling bersaudara dan mencintai.
Tidak boleh bagi kita mengambil semua yang diucapkan seseorang secara total, baik benar ataupun salah, karena ini merupakan sikap fanatik (ta’ashub).
“Yang diambil semua perkataannya tanpa ditinggalkan sedikitpun adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, karena beliau orang yang menyampaikan (risalah) dari Rabbnya, tidak berkata dengan hawa nafsu. Adapun orang selain beliau Shallallahu alaihi wa sallam, bisa benar dan bisa juga salah, meskipun ia adalah seutama-utama manusia. Mereka (para ulama) adalah para mujtahid yang bisa benar dan bisa salah.
Tidak ada seorang pun yang ma’shum dari kesalahan, kecuali Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Wajib bagi kita untuk mengetahui permasalahan ini. Kita tidak membicarakan kesalahan dikarenakan kecintaan terhadap seseorang. Namun wajib bagi kita menjelaskan kesalahan tersebut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((“Agama adalah nasihat. Kami bertanya, “Untuk siapa ?”. Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya”)).
Menjelaskan kesalahan termasuk nasihat bagi semua. Adapun menyembunyikannya, maka itu menyelisihi nasihat tersebut di atas”. [Selesai perkataan asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahullah]. [27]

Singkatnya, seorang dai itu hanyalah berkewajiban mengajak umat Islam ini agar mereka beribadah dan mengabdi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata untuk mendapatkan ampunan dan keridloan-Nya, dengan cara mengikuti dan menteladani petunjuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melalui dua nara sumber umat Islam yaitu alqur’an dan hadits-hadits shahih. Di sisi lain, iapun berkewajiban membongkar dan memerangi praktek-praktek bid’ah dan ashobiyah atau fanatik golongan yang terlarang menurut syariat. Lalu menerangkan sejelas-jelasnya kepada umat Islam mengenai bahaya dan akibatnya bagi orang-orang yang mengerjakannya dengan cara mengungkapkan illat (cacat)nya hadits-hadits lemah, palsu atau yang tidak ada asalnya yang dijadikan sandaran amalan orang-orang yang mengerjakannya, dan mengenai hal ini mesti merujuk kepada para ahli hadits. Atau meletakkan kembali kedudukan dari hadits-hadits shahih yang disalah-artikan atau diselewengkan dari pemahaman yang sebenarnya oleh sebahagian dari mereka untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Hal tersebut biasanya disebabkan karena mereka lebih mendahulukan dan mengutamakan pendapatnya sendiri dan juga para pendahulu mereka yang sepaham, dengan menomorduakan bahkan meninggalkan penjelasan para ulama salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in yang mereka itu telah diabadikan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits terdahulu sebagai tiga generasi yang terbaik dari umat ini.

Tindakan lain yang mesti dilakukan oleh seorang dai adalah mengungkapkan dan memunculkan kembali hadits-hadits shahih yang disembunyikan dan dikubur rapat-rapat oleh mereka atau mungkin karena mereka memang tidak tahu dan buta terhadap hadits-hadits shahih tersebut dan mereka tidak mau tahu untuk mempelajarinya, sehingga sering dijumpai pada kebanyakan umat Islam ini bahkan para ustadz dan ustadzahnya yang tidak memahami arti dari hadits shahih, hasan, dlo’if, maudlu dan munkar. Juga mereka tidak mengerti tentang pengertian bid’ah, ashobiyah, syirik, tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma dan sifat, nifak, hijrah dan lain sebagainya secara jelas dan benar. Maka terjadilah ketentuan Allah Azza wa Jalla bahwa Islam itu akan kembali asing sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam beberapa riwayat hadits berikut ini,

عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَ سَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبىَ لِلْغُرَبَاءِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Islam itu awalnya adalah asing dan akan kembali asing sebagaimana mulanya maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing”. [HR Muslim: 145 dan 146 dari Ibnu Umar, Ahmad: I/ 398 dari Ibnu Mas’ud, at-Turmudziy: 2629 dari Ibnu Mas’ud, 2630 dari Auf, Ibnu Majah: 3986 dari Abu Hurairah, 3987 dari Anas, 3988 dari dari Ibnu Mas’ud dan ad-Darimiy: II/ 311-312 dari Ibnu Mas’ud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [28]

Di dalam satu riwayat, Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang shalih ditengah-tengah rusaknya manusia”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini dikeluarkan oleh Abu Amr ad-Daniy dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih]. [29]

Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Kaum mukminin itu minoritas di antara manusia, para ulama itu juga minoritas di antara kaum mukminin dan mereka juga minoritas di antara para ulama. Maka dari sebab itu, waspadalah terhadap tipuan ini yang telah menipu kaum bodoh. Karena mereka mengatakan, seandainya mereka di atas kebenaran maka tidak mungkin mereka itu menjadi kelompok yang tersedikit di antara manusia”, sedangkan manusia menyelisihi mereka.[30]

Dari sebab itu, wahai saudara-saudaraku tercinta marilah kita mempelajari dan mengenal Islam yang telah menjadi agama kita dengan benar secara berkesinambungan. Dengan berpijak kepada alqur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih melalui pemahaman para ulama salafush shalih (para shahabat, tabi’in dan Atba’ at-Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka). Jauhilah sifat dan sikap fanatik (ashobiyah) dan taklid kepada seseorang ataupun kelompok manapun karena hal tersebut akan memicu kepada perselisihan, pertikaian dan permusuhan di antara kita. Maka rugilah kita di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

[1] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3835, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6442 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 433.
[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 4270, 4271, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6575 dan Misykah al-Mashobih: 4904.
[3] Mukhtashor Shahih Muslim: 1232, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3834, Shahih Sunan Ibni Majah: 3190, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6227, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 983 dan Iqtidlo’ ash-Shirath al-Mustaqim halaman 74.
[4] Mukhtashor Shahih Muslim: 1811 dan Shahih Sunan at-turmudziy: 2641.
[6] Majmu’ah ar-Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah halaman 159.
[7] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2029, Shahih Sunan Ibni Majah: 3428, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4515 dan Misykah al-Mashobih: 2341.
[8] Shahih Sunan Abi Dawud: 3099, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1196 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1532.
[9] Shifat Sholat an-Nabiy  Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh al-Albaniy halaman 48, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah oleh asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 35.
[10] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 46 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah oleh al-Imam asy-Syaukaniy halaman 207.
[11] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 47.
[12] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 47.
[13] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 48, Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah halaman 135 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 208, 215.
[14] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 49.
[15] Shifat Sholat an-Nabiy  Shallallahu alaihi wa sallam halaman 26, ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216, Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 57, 64, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah oleh al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah tahqiq Sayyid Ibrahim halaman 519, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Taysir al-Aziz al-Hamid halaman 487.
[16] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 50.
[17]Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 51-52, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah halaman 519, dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216.
[18] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 64.
[19] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216-217.
[20] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 63.
[21] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53, ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201.
[22] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53.
[23] Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 219-220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201.
[24] Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220, Majmu’ at-Tauhid halaman 188, I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201 dan Mukhtashor Jami’ Bayan al-Ilmi halaman 116.
[25] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53.
[26] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 131 dan al-Kaba’ir oleh asy-Syaikh Muhammad at-Tamimiy halaman 65.
[27] Dinukil dari kitab al-Ajwibatul-Mufiidah ‘an As-ilatil-Manahijil-Jadidah min Ijabat Ma’aliy Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 163-164, Darul-Minhaj, Cet. 3/1424 H, dengan catatan kaki yang diberikan oleh Jamal bin Furaihan Al-Haritsiy – 14041434/24022013. Lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/02/fanatik-pada-ustadz-atau-ulama.html, dengan dibuang tulisan bahasa Arabnya.
[28] Mukhtashor Shahih Muslim: 72, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2120, Shahih Sunan Ibni Majah: 3221, 3222, 3223, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1580, 1581, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273 dan Misykah al-Mashobih: 159, 170.
[29] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273.
[30] Miftah Dar as-Sa’adah halaman 176.

Jumat, 06 Juli 2012

TUNTUTLAH ILMU SYAR'IY !!


KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

بسم الله الرحمن الرحيم

Menuntut ilmu adalah suatu kegiatan yang sangat penting dalam hidup. Manusia dapat berkembang sekarang ini, lantaran mereka selalu menuntut dan mengembangkan ilmu yang mereka miliki dari hari ke hari atau dari tahun ke tahun. Pesatnya perkembangan tekhnologi semisal komputer dan sejenisnya, berbagai alat komunikasi, alat transportasi, alat kedokteran/ kesehatan dan lain sebagainya menandakan kemajuan ilmu yang diperoleh dengan cara belajar dan mengembangkannya. Semua itu bertujuan untuk kemudahan, memberi keamanan dan kenyamanan kepada manusia untuk melakukan berbagai aktifitas dalam kehidupan dunia.

Begitu pula ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu agama, bertujuan untuk kemudahan bagi pemiliknya dalam melakukan peribadatan kepada Rabbnya. Dengan ilmu, seorang hamba mengetahui arah tujuan hidupnya, ia memahami cara mengisi kehidupannya dengan cara melaksanakan berbagai perintah Rabbnya azza wa jalla dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, meninggalkan beraneka rupa larangan keduanya dan membenarkan semua kabar berita yang disampaikan oleh keduanya. Dengan ilmu itu pula ia dapat dengan benar dan tepat mengerjakan berbagai ibadah yang diwajibkan kepadanya. Sebab mana mungkin seorang hamba dapat terhindar dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga jika ia tidak melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam dengan benar. Lalu mana mungkin pula, hamba itu dapat melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan keduanya dengan benar apabila ia tidak mempunyai ilmu shahih yang bersandarkan alqur’an yang mulia dan hadits-hadits shahih sesuai dengan pemahaman para ulama salafush shalih (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat radliyallahu anhum dan orang-orang yang meniti jalan bersama mereka). Kemudian bagaimana mungkin, hamba itu dapat memiliki ilmu yang shahih jika tidak mau belajar, enggan menghadiri kajian-kajian yang menjelaskan berbagai perkara agama, sungkan mendengarkan ceramah para ustadz dan malas membaca buku-buka tafsir, hadits, fikih dan sebagainya.

Oleh sebab itu Allah Jalla wa Ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mewajibkan umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya untuk menuntut ilmu, sebagaimana di dalam dali-dalil berikut,

عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap muslim”. [HR Ibnu Majah: 224. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 183, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3913, 3914, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 70 dan Jami’ bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 12].

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى وَ جَمَعَ فَأَوْعَى

Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak. Yang mengelupas kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama). Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. [QS. Al-Ma’arij/ 70: 15-18].

Maka orang yang lari dan membelakang dari agama yakni lari mempelajarinya, menghindar dari mengamalkannya dan menjauh dari mendakwahkannya, ia akan dipanggil oleh neraka pada hari kiamat untuk memasukinya.

Camkanlah bagaimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, karena ilmu adalah pintu kebaikan yang dengannya seorang mengetahui perintah dan larangan dari Allah Shallallahu alaihi wa sallam dan Rosul-Nya Azza wa Jalla di dalam alqur’an dan sunnah yang shahih, yang sesuai dengan pemahaman salafush shalih.

Dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan seseorang akan didekatkan serta dimasukkan ke dalam surga dan dijauhkan serta dihindarkan dari neraka. Tetapi bagaimana mungkin seseorang dapat mendekati bahkan masuk ke dalam surga dan menjauhi neraka jika tidak melaksanakan berbagai macam perintah dan meninggalkan berbagai jenis larangan. Dan bagaimana mungkin pula seorang muslim dapat melaksanakan berbagai macam perintah dan meninggalkan berbagai jenis larangan jika tidak mempunyai ilmu tentang hal tersebut. Dan juga mustahil ia dapat memiliki ilmu, jika tidak belajar dan menuntut ilmu, karena ilmu itu hanya akan dapat dikuasai dan dipahami dengan cara belajar, sebagaimana hadits berikut,

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّمَا اْلعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ilmu itu hanyalah diperoleh dengan cara belajar”. [HR al-Khathib di dalam kitab “tarikhnya” dari Abu Hurairah ra dan di-hasan-kan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam kitab Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 342 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2328].

Kebodohan adalah salah satu sebab utama seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan dan kefasikan, bahkan ke dalam kemusyrikan, kekafiran atau kemunafikan.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kebaikan anak Adam adalah dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mengeluarkan mereka dari kebaikan, kecuali dua perkara,
1). Kebodohan, kebalikan dari ilmu, sehingga orang-orangnya akan menjadi sesat.
2). Mengikuti hawa-nafsu dan syahwat, yang keduanya ada di dalam jiwa. Sehingga orang-orang akan mengikuti hawa-nafsu dan dimurkai (oleh Allah)”. (Majmu’ Fatawa XV/242)
Demikian juga orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan kebodohan, maka sesungguhnya mereka lebih banyak merusak daripada membangun! Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salafush Shalih, 
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِجَهْلٍ أَفْسَدَ أَكْثَرَ مِماَّ يُصْلِحُ

“Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan”. (Majmu’ Fatawa XXV/281).

عن معاوية رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فىِ الدِّيْنِ

Dari Mu’awiyah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikendaki kebaikan oleh Allah maka Ia akan memberikan pemahaman kepadanya dalam perkara agama”. [HR al-Bukhoriy: 71, 3116, 7312, Muslim: 1037, at-Tutmudziy: 2645, Ibnu Majah: 221, Ahmad: IV/ 101 dan ad-Darimiy: I/ 73-74. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 55, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2133, Shahih Sunan Ibni Majah: 180, 181, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1194, 1195, 1196, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6611, 6612 dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 74].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Barangsiapa yang tidak paham dalam perkara-perkara agama dan tidak mempelajari kaidah-kaidah islam serta apa yang berhubungan dengannya dari cabang-cabang (agama) maka diharamkan kebaikan itu (baginya). [Bahjah an-Nazhirin: II/ 463].

عن سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: فَضْلُ اْلعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ اْلعِبَادَةِ وَ خَيْرُ دِيْنُكُمُ اْلوَرَعُ

Dari Sa’d bin Abi Waqqosh radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Keutamaan ilmu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara”. [HR al-Hakim: 320, al-Bazzar, ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahaih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4214].

عن أبى هريرة رضي الله عنه و أبو الدرداء رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلىَ اْلجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dan Abu ad-Darda’ radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjalan di suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan baginya menuju surga”. [HR Muslim: 2699, at-Turmudziy: 2646, 2682, 2945, Abu Dawud: 3641, 3643, Ibnu Majah: 223, 225, Ahmad: II/ 252, V: 196 dan al-Hakim: 307, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1888, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2134, 2159, 2348, Shahih Sunan Abi Dawud: 3096, 3097, Shahih Sunan Ibni Majah:182, 184, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 67, 68, 80 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6297, 6298].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Adanya ambisi di dalam mencari ilmu syar’iy yang dapat menuntunnya kepada ridlo Allah Subhanahu wa ta'ala dan dengannya kita dapat masuk ke dalam surga, Insyaa Allah “. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 333].

عن زر بن حبيش قال: أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّال اْلمُرَادِيّ فَقَالَ: مَا جَاءَ بِكَ ؟ قُلْتُ: أُنْبِطُ اْلعِلْمَ قَالَ: فَإِنىِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فىِ طَلَبِ اْلعِلْمِ إِلاَّ وَضَعَتْ لَهُ اْلمــَلاَئِكَةُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا ِبمَا يَصْنَعُ

Dari Zurr bin Hubaisy berkata, aku pernah mendatangi Shofwan bin Assal al-Murodiy. Lalu ia (yaitu Shofwan) bertanya, “Apa yang menyebabkanmu datang?”. Aku menjawab, “Untuk mendapatkan ilmu”. Ia berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang keluar dari rumahnya dalam rangka mencari ilmu melainkan para malaikat merendahkan sayapnya untuknya sebab ridlo dengan apa yang ia perbuat”. [HR Ibnu Majah: 226, Ahmad: IV/ 240, Ibnu Hibban dan al-Hakim: 348. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 185, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5702 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 81].

Dan masih banyak lagi perintah dan anjuran dari Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar kaum muslimin senantiasa menuntut dan mempelajari ilmu-ilmu agama, bukan hanya ilmu-ilmu dunia sebagaimana diyakini oleh kebanyakan mereka. Tidak, sekali-kali tidak.

asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Apakah ilmu-ilmu seperti kedokteran dan tekhnik itu termasuk tafaqquh (mendalami pemahaman) di dalam agama Allah?”. Beliau menjawab, “Ilmu-ilmu tersebut bukan termasuk mendalami pemahaman agama Allah, karena manusia tidak mempelajari alqur’an dan sunnah padanya. Tetapi ilmu-ilmu tersebut termasuk perkara-perkara yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Oleh karena itulah sebahagian ahli ilmu mengatakan, “mempelajari industri, kedokteran, tekhnik, geologi dan yang semisalnya itu termasuk fardlu kifayah, dan bukan termasuk ilmu syar’iy, namun tidaklah sempurna mashlahat umat ini melainkan dengannya”. Oleh sebab itu aku peringatkan saudara-saudara yang sedang mempelajari ilmu-ilmu ini agar senantiasa mempunyai tujuan di dalam mempelajarinya untuk memberi manfaat kepada saudara-saudara mereka dari kaum muslimin dan mengangkat martabat umat Islam”. [Kitab al-Ilmi oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin halaman 179].

عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ سَخَّابٍ فىِ اْلأَسْوَاقِ جِيْفَةٍ بِاللَّيْلِ ِحمَارٍ بِالنَّهَارِ عَالِمٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا جَاهِلٍ بِأَمْرِ اْلآخِرَةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah murka kepada setiap perkataan kasar lagi sombong, banyak berteriak di pasar, bagai bangkai di waktu malam dan seperti himar di siang hari, pandai di dalam urusan dunia dan bodoh di dalam urusan akhirat”. [HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 195 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 1878].

Bagai bangkai di waktu malam maksudnya tidur pulas dan tidak bergerak bagaikan bangkai orang mati. Seperti himar di siang hari maksudnya bagaikan binatang himar atau keledai yang bekerja sepanjang siang untuk memburu harta dunia.

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Alangkah tepatnya hadits ini dalam memberi julukan kepada orang-orang kafir yang sama sekali tidak pernah memikirkan kehidupan akhirat mereka disamping kepandaian mereka dalam urusan dunia mereka. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman tentang mereka,

يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِنَ اْلحَيَاةِ الدُّنيَا وَ هُمْ عَنِ اْلآخِرَةِ هُمْ غَافِلُوْنَ

Mereka hanya mengetahui yang zhohir saja dari kehidupan dunia, sedangkan tentang kehidupan akhirat, mereka lalai. [QS. Ar-Rum/30: 7].

Namun banyak juga di antara kaum muslimin yang memiliki sifat seperti ini. Mereka, pada siang hari begitu sibuknya di ladang atau pasar, sehingga lalai terhadap berbagai kewajiban dan sholat”. [Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 332].

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ اللهَ يُبْغِضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنيَا جَاهِلٍ بِاْلآخِرَةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah murka kepada setiap orang yang pandai dalam perkara dunia namun bodoh dalam perkara akhirat”. [HR al-Hakim di dalam kitab “ tarikhnya”. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1879]

Cukuplah bukti bagi kaum muslimin untuk menyudahi keyakinan mereka yang keliru, bahwa ketika Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para hamba untuk menuntut ilmu maka ilmu yang mereka maksud adalah ilmu dalam perkara-perkara dunia, sehingga mereka bersusah payah dalam meraihnya dengan tekad bulat sampai jenjang pendidikan yang paling tinggi. Namun akibatnya, ketika mereka telah sedikit sukses dengan pendidikan tersebut, mereka menjadi sombong, jumawa dan merasa lebih pandai dari para shahabat radliyallahu anhum dan bahkan dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri. Tak heran jika sekarang banyak kita jumpai ada di antara kaum muslimin yang merasa sudah super dalam ilmu pendidikan dunia, namun mereka menjadi pelopor dan pejuang dalam menentang dan menantang Allah Jalla Jalaaluh dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Padahal yang diinginkan dan dimaksudkan oleh Allah Jalla Dzikruhu dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam dengan ilmu tersebut adalah ilmu yang berkaitan dengan perkara-perkara agama dan kehidupan akhirat yang berlandaskan kepada alqur’an dan sunnah yang shahih. Sehingga dengan ilmu tersebut akan menambah ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.

Bahkan kaum wanitapun sangat dianjurkan mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah agama, karena banyak masalah-masalah khusus yang mesti dipahami oleh kaum wanita yang tidak ada pada kaum pria. Misalnya masalah haidl, istihadloh, nifas, menyusui, penutupan aurat, ta’addud dan lain sebagainya. Sehingga banyak diantara shahabat dari kalangan wanita yang mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menanyakan beberapa perkara agama yang tidak mereka ketahui, dan bahkan diantara mereka ada yang meminta waktu khusus kepada beliau untuk memberikan pengajaran kepada mereka perkara-perkara agama, sebagaimana di dalam beberapa dalil berikut,

عن أم سلمة قَالَتْ: جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ اْلحَقِّ فَهَلْ عَلَى اْلمـَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ اْلمـَاءَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ تَحْتَلِمُ اْلمـَرْأَةُ ؟ فَقَالَ: تَرِبَتْ يَدَاكَ فَبِمَ يُشْبِهُهُا وَلَدُهَا؟

Dari Ummu Salamah berkata, Ummu Sulaim pernah datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, lalu bertanya, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, maka apakah bagi wanita itu ada kewajiban mandi apabila ia bermimpi?”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ya, apabila ia melihat air (mani)”. Berkata Ummu Salamah, “Wahai Rosulullah, apakah wanita itu bermimpi?”. Beliau menjawab, “Mudah-mudahan kedua tanganmu penuh berkah, maka dengan apakah anaknya menyerupai ibunya?”. [HR Muslim: 313, al-Bukhoriy: 130, 282, 3328, 6091, 6121, an-Nasa’iy: I/ 114-115 dan Ibnu Majah, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 191 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 484].

Di dalam satu riwayat yang lain, dari Urwah radliyallahu anhu bahwasanya Aisyah radliyallahu anha mengkhabarkan kepadanya bahwa Ummu Sulaim pernah berbicara kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Aisyah sedang duduk (di sisinya). Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Maka bagaimana pendapatmu mengenai wanita yang bermimpi di dalam tidur seperti bermimpinya kaum pria, maka apakah ia harus mandi dari sebab itu?. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Ya”. Aisyah berkata kepada Ummu Sulaim, “Cis, apakah wanita bermimpi akan hal itu?”. Lalu berpalinglah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepadaku seraya bersabda, “Mudah-mudahan kedua tanganmu penuh berkah, maka dari manakah adanya penyerupaan anaknya dengan dirinya?”. [HR an-Nasa’iy: I/ 112-113, Abu Dawud: 237 dan Muslim: 314. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 190 dan Shahih Sunan Abii Daawuud: 217].

عن أنس رضي الله عنه أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهَ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَرْأَةِ تَرَى فىِ مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا رَأَتْ ذَلِكَ فَأَنْزَلَتْ فَعَلَيْهَا اْلغُسْلُ فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: يَا رَسُوْلُ اللهِ أَيَكُوْنُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ مَاءُ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَ مَاءُ اْلمـَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ فَأَيُّهُمَا سَبَقَ أَوْ عَلاَ أَشْبَهَهُ اْلوَلَدُ

Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Ummu Sulaim pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang wanita yang bermimpi di dalam tidurnya seperti bermimpinya kaum pria. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila ia bermimpi hal tersebut dan keluar (air mani), maka wajiblah mandi atasnya”. Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah hal tersebut dapat terjadi?”. Beliau menjawab, “Ya, airnya kaum pria itu adalah keras berwarna keputihan dan airnya wanita itu lembut berwarna kekuningan. Maka manakah diantara keduanya lebih dahulu atau menguasai maka anak itu akan menyerupainya”. [HR Ibnu Majah: 601, an-Nasa’iy: I/ 114, Muslim: 311 dan Ibnu Khuzaimah: 235. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 485, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 194, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1342 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5501].

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: اسْتُحِيْضَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبيِ حُبَيْشٍ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنيِّ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَتْ بِاْلحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَ إِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِيْ عَنْكِ أَثَرَ الدَّمِ وَ تَوَضَّئِي فَإِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَ لَيْسَتْ بِاْلحَيْضَةِ قِيْلَ لَهُ: فَاْلغُسْلُ؟ قَالَ: ذَلِكَ لاَ يَشُكُّ فِيْهِ أَحَدٌ

Dari Aisyah berkata, Fathimah binti Abi Hubaisy pernah mengalami istihadloh lalu ia bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia bertanya, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadloh maka aku tidak suci, bolehkah aku meninggalkan sholat?. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Yang demikian itu adalah cairan penyakit bukannya haidl, maka jika datang waktu haidl tinggalkanlah sholat dan apabila telah berlalu maka cucilah bekas darah darimu dan berwudlulah. Yang demikian itu hanya cairan penyakit bukannya haidl. Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana jika mandi?”. Beliau menjawab, “Hal itu adalah yang tiada seorangpun yang ragu padanya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 124. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sanadnya, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 211].

عن أبي سعيد رضي الله عنه : جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيْثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِيْكَ فِيْهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللهُ فَقَالَ: اجْتَمِعْنَ فىِ يَوْمِ كَذَا وَ كَذَا فىِ مَكَانِ كَذَا وَ كَذَا فَاجْتَمَعْنَ فَأَتَاهُنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللهُ ثُمَّ قَالَ : مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ بَيْنَ يَدَيْهَا مِنْ وَلَدِهَا ثَلاَثَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ فَقَالَتِ اْمرَأَةٌ مِنْهُنَّ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اثْنَيْنِ؟ قَالَ: فَأَعَادَتْهَا مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: اثْنَيْنِ اثْنَيْنِ اثْنَيْنِ

Dari Abu Sa’id radliyallahu anhu, seorang wanita pernah datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu ia berkata, “Wahai Rosululah, para lelaki telah pergi membawa haditsmu, maka jadikanlah untuk kami satu hari darimu, agar engkau ajarkan kepada kami dari apa yang telah Allah ajarkan kepadamu”. Beliau berkata, “Kumpullah kalian pada hari ini dan itu, pada tempat ini dan itu”. Lalu merekapun berkumpul. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendatangi mereka, lalu mengajarkan mereka dari apa yang Allah ajarkan kepadanya. Kemudian beliau bersabda, “Tidaklah seorang wanita di antara kalian yang didahului (sebab wafat) oleh tiga orang dari anaknya, melainkan mereka akan menjadi hijab (penghalang) neraka baginya”. Bertanya seorang wanita di antara mereka, “Bagaimana kalau dua, wahai Rosulullah?”. Berkata (Abu Sa’id), Lalu wanita itu mengulangi (pertanyaannya) dua kali. Kemudian Beliau bersabda, “(Ya), dua juga, dua juga, dua juga”. [HR al-Bukhoriy: 101, 7310, Muslim: 2633 dan Ahmad: III/ 34, 72. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5895 dan Misykah al-Mashobih: 1753].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bolehnya wanita menuntut ilmu dari seorang yang berilmu agar mengajarkan syariat (agama) kepada mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 197].


قَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها: نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ لَمْ يَمنَعْهُنَّ اْلحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فىِ الدِّيْنِ

Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita anshor, karena rasa malu tidak mencegah mereka di dalam mendalami agama”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam al-Fath: I/ 228, Muslim: 332 (61), Abu Dawud: 316, Ibnu Majah: 642 dan Ahmad: VI/ 148. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 308 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 525].

Dengan dijelaskannya tentang kewajiban dan pentingnya menuntut ilmu maka tiada alasan bagi setiap kaum muslimin untuk mengabaikan serta meremehkan hal ini. Namun hal yang seringkali menjadi kekeliruan mereka adalah ketidakpahaman mereka akan ilmu yang dimaksud. Sebab mayoritas kaum muslimin memahaminya dengan ilmu-ilmu dunia dari ilmu ekonomi, teknik, kedokteran, filsafat, hukum, bahasa, komputer, psikologi, perbankan dan lain sebagainya. Padahal ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu agama yang berdasarkan dari alqur’an dan hadits yang tsabit dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman ulama salafush shalih, sebagaimana telah diterangkan. Yang dengan keduanya mereka akan dapat mengetahui berbagai perkara agama dari masalah keimanan, ibadah, halal dan haram, perintah dan larangan, akhlak, mu’amalah, berita-berita umat terdahulu, kabar tentang kejadian yang akan datang, masalah kubur antara nikmat dan adzabnya, hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan lain sebagainya. Maka menuntut dan mempelajari ilmu agama adalah termasuk fardlu ain.

Alqur’an dan sunnah yang shahih itu diibaratkan seperti dua sayap bagi seekor burung, jika keduanya atau salah satu dari keduanya rusak atau patah, maka burung itu tidak akan mampu terbang ke arah yang ditujunya. Demikian pula jika ada seorang muslim ingin berjalan ke arah yang diinginkan yakni keselamatan dunia dan akhirat, tetapi ia mengabaikan atau mengalpakan ketidakpahaman atau kerusakan pemahamannya terhadap keduanya atau salah satu darinya, maka tujuan dan cita-citanya untuk mendapatkan keselamatan itu hanyalah pepesan kosong belaka. Tak jarang kita jumpai banyak di kalangan kaum muslimin yang tidak merasa bahwa mereka sebenarnya tidak paham atau rusak pemahamannya terhadap alqur’an dan sunnah, hanya lantaran mereka telah memperoleh jenjang pendidikan dunia yang tinggi, berupa tingkat kesarjanaan, doktor ataupun professor. Namun di khalayak ramai mereka tidak pernah mau mengakuinya dan bahkan menganggap bahwa mereka adalah orang yang paling berilmu dan paling paham tentang perkara-perkara agama. Akibatnya dalam anggapan mereka bahwa merekalah yang paling layak di dengar segala ucapannya dan yang paling patut ditiru semua perbuatannya. Padahal, kalau saja mata hati mereka terbuka, tentu mereka akan tahu dengan pasti bahwa ada orang lain yang lebih berilmu, lebih menguasai ilmu-ilmu agama dari mereka, dan lebih pantas di ambil ilmunya daripada mereka, yakni para salaf (para shahabat, tabi’in dan atba’ at-Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka) hafizhohumullah.

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Dan yang dimaksud dengan ilmu itu adalah ilmu syar’iy yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah kepada Rosul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Ilmu yang padanya akan mendapatkan sanjungan dan pujian (dari Allah Azza wa Jalla) yaitu ilmu wahyu, ilmu yang diturunkan oleh Allah saja”. [Kitab al-Ilmi halaman 7].

عن أبي الدرداء قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَ إِنَّ اْلعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَ إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ َلمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَ لاَ دِرْهَمًا وَ إِنَّمَا وَرَّثُوْا اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ ِبحَظٍّ وَافِرٍ

Dari Abu ad-Darda’ berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan uang dinar dan tidak juga dirham. Mereka itu hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil peruntungan yang sangat banyak”. [HR Abu Dawud: 3641, 3642, at-Turmudziy: 2683, Ibnu Majah: 223, Ahmad: V/ 196 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih, lihat Shahih Sunan Abii Dawud: 3096, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2159, Shahih Sunan Ibni Majah: 182, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6297 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 68].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Dan sebagaimana telah diketahui bahwasanya yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu tentang syariat Allah azza wa jalla dan bukan yang lainnya. Para nabi Alaihimus salam tidak mewariskan kepada manusia ilmu perindustrian dan yang berkaitan dengannya”. [Kitab al-Ilmi halaman 7].

Katanya lagi, “Dan atas segala keadaan, aku ingin mengatakan, “Sesungguhnya ilmu yang merupakan tempat (mendapatkan) sanjungan (dari Allah) adalah ilmu syar’iy yaitu memahami kitab Allah dan sunnah rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam . Adapun selainnya, adakalanya menjadi sarana untuk mendapatkan kebaikan atau keburukan. Maka hukumnya adalah sesuai dengan keadaan sarana tersebut”. [Kitab al-Ilmi halaman 8].

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah [Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 146], “Wahai muslim hendaklah engkau berambisi untuk mengetahui agama Islammu itu dari kitab Rabb-mu (alqur’an) dan sunnah nabimu (alhadits). Dan janganlah engkau mengatakan, “telah berkata si fulan”, karena sesungguhnya kebenaran itu tidak dengan cara mengenal orang-orangnya, tetapi kenalilah kebenaran niscaya engkau akan mengenal orang-orangnya. Dan rahmat Allah Subhanahu wa ta'ala dilimpahkan kepada orang yang mengatakan,

العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة ليس بالتمويه
ما العلم نصبك للخلاف سماحة بين الرسول و بين رأس فقيه
كلا و لا جحد الصفات و نفيها حذرا من التمثيل و التشبيه

Artinya,
Ilmu adalah firman Allah, sabda rosulNya
Kata para shahabat, tidaklah bercampur
Tiada bagianmu terhadap ilmu itu boleh berselisih
Yakni antara Rosul dan pendapat seorang faqih
Sekali-kali tidak, tidak boleh mengingkari sifat-sifat apalagi meniadakannya
Waspadalah terhadap tamtsil dan tasybih

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hal ini mengatur masalah iman, halal dan haram, akhlak, suluk dan keutamaan-keutamaan amal”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 462].

Berkata al-Imam al-Awza’iy rahimahullah, “Ilmu itu adalah apa yang didatangkan oleh para shahabat Muhammad saw, dan apa yang tidak datang dari seseorang dari mereka maka itu bukanlah ilmu”. [Bahjah an-Nazhirin: II: 462 dan Jami’ bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 803].

Walhamdulillah, semoga pembahasan ini dapat memotivasi saudara-saudaraku untuk senantiasa menuntut ilmu syar’iy dengan landasan alqur’an dan sunnah. Yang dengannya, kita insyaa’ Allah akan selamat di dunia dan akhirat yaitu dari berbagai cobaan dan ujian di dunia, dari fitnah dan adzab kubur serta dari siksa dan kesengsaran neraka Jahannam.

Wallahu a’lam bish showab….