SYARAT-SYARAT KALIMAT “LAA ILAAHA ILLALLAH”
بسم الله الرحمن الرحيم
Banyak di kalangan awam kaum muslimin yang beranggapan, bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang mereka ucapkan itu hanyalah untuk dihafalkan dan dilafazhkan secara berulang-ulang tanpa makna dan tujuan. Padahal jika mereka mau membuka lembaran-lembaran dari kitab suci al-Qur’an dan hadits-hadits yang tsabit serta kitab-kitab yang memperbincangkan aqidah tauhid yang shahih, tentulah mereka dapat melihat dan menilai bahwa anggapan mereka itu adalah keliru.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “Adapun orang yang mengatakan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan lisannya, kemudian ia mentaati setan dan hawa nafsunya di dalam menentang Allah dan menyelisihi-Nya, maka sungguh-sungguh perbuatannya itu telah mendustakan perkataannya, dan berkuranglah kesempurnaan tauhidnya sesuai dengan perbuatan maksiatnya terhadap Allah di dalam mentaati setan dan hawa nafsunya”. [al-Walaa’ wa la-Baraa’ fi al-Islaam halaman 34].
Dan bahkan ada di antara mereka, karena kejahilannya terhadap hakikat tauhid ini yang mengatakan bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh mereka itu hanyalah kalimat yang mereka dapati dari leluhur mereka sebagai warisan turun temurun, lalu mereka mengucapkannya tanpa memahami makna dan tujuannya, sebagaimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan di dalam hadits berikut ini,
عن حذيفة بن اليمن قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:
يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى
مَا صِياَمٌ وَ لاَ صَلاَةٌ وَ لاَ نُسُكٌ وَ لاَ صَدَقَةٌ وَ لَيُسْرَى
عَلَى كِتَابِ اللهِ عز و جل فى لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فىِ اْلأَرْضِ
مِنْهُ آيَةٌ وَ تَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ اْلكَبِيْرُ وَ
اْلعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ اْلكَلِمَةِ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا
Berkata asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albaniy rahimahullah, “Dan tidaklah diangkatnya (atau dilenyapkannya) al-Qur’an yang mulia di akhir jaman melainkan sebagai pendahuluan bagi tegaknya hari kiamat atas sejelek-jeleknya makhluk, yang tidak mengetahui sedikitpun dari islam yang sempurna ini, hatta mereka tidak memahami tauhid”.[Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah: I/ 128].
Maka kewajiban setiap muslim adalah mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”, memahami makna yang terkandung di dalamnya, mengerti syarat dan ketentuannya lalu mengamalkannya. Kemudian mewariskan kalimat tersebut dan mengajarkannya kepada anak keturunan dan lingkungannya agar mereka juga memahami hakikat tersebut dengan benar, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi Ibrohim, nabi Ya’qub, dan Rosulullah serta seluruh para rosul alaihimush Sholatu was salam ajma’in kepada anak keturunan dan lingkungan mereka.
Pernah ditanyakan kepada al-Hasan al-Bashriy rahimahullah, “Sesungguhnya orang-orang mengatakan, “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dia akan masuk surga”. Ia (al-Hasan al-Bashriy) berkata, “Barangsiapa mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”, lalu menunaikan hak dan kewajibannya maka ia akan masuk sorga”. [al-’Aqidah fillah halaman 233].
Pernah dikatakan kepada Wahab bih Munabbih rahimahullah, “Bukankah kunci surga itu kalimat “laa ilaaha illallah”?. Beliau menjawab, “Ya! tetapi tidak ada kunci itu melainkan ia memiliki gigi-gigi, jika engkau datang dengan (membawa) kunci yang memiliki gigi-gigi dibukalah (pintu surga itu) bagimu. Tetapi jika tidak, tak akan dibukakan (pintu itu) bagimu”. [Shahih al-Bukhoriy: II/ 69, Fat-h al-Bariy: III/ 109, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 292, Misykah al-mashobih: 43, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 29, Majmu’ah ar-Rosa’il at-Tawjihat al-Islamiyyah halaman 250 dan al-’Aqidah fillah halaman 233] Dan gigi-gigi tersebut adalah syarat-syarat dari kalimat “laa ilaaha illallah”.
Adapun syarat-syarat kalimat “laa ilaaha illallah” adalah sebagai berikut,
1). Berilmu (mengetahui) tentang makna yang dimaksudkannya, yaitu menafikan (meniadakan) sesembahan (yang berhak disembah) dari selain Allah dan menetapkannya bagi Allah saja. Hal ini untuk menghilangkan kebodohan tentangnya.
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah di dalam kitab tafsirnya, “Yaitu apabila engkau telah mengetahui bahwa pusatnya kebaikan itu adalah tauhid dan ta’at, dan pusatnya keburukan adalah perbuatan syirik dan perbuatan maksiat kepada Allah, maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan (ilah) selain-Nya dan tiada pemelihara (rabb) kecuali Dia. Maknanya adalah; tetapkanlah dirimu atas kalimat tersebut dan hendaklah engkau senantiasa ada di atasnya”.[Fat-h al-Qodir: V/ 42].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Wajib berilmu mengenai “laa ilaaha illallah” (bahwasanya tiada ilah yang berhak disembah selain Allah), dan yang demikan itu akan sempurna berdasarkan atas cara berikut; mengakui bahwasanya manusia itu adalah makhluk, sama seperti seluruh makhluk yang ada di sekitarnya. Dan semua makhluk itu, mestilah mempunyai pencipta, maka kalau begitu siapakah pencipta manusia?. Jawabnya pastilah, “Allah”, Maka senantiasa Allah itu adalah Pencipta, dan selain-Nya adalah makhluk yang perlu kepada Allah, Penciptanya di dalam memelihara kehidupannya. Dan kalau begitu siapakah yang mesti diilahkan dan disembah, Pencipta (Allah) ataukah makhluk ?. Dan jawabnya, “Pencipta (Allah)”. Kalau begitu jelaslah bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah itu adalah makna “laa ilaaha illallah”. Dan karena ibadah itu tidak dikenal kecuali dengan wahyu, maka wajiblah beriman kepada Rosulullah, dan mestilah menambah “Muhammad Rosulullah”. Maka kita akan mengucapkan “laa ilaaha illallah, Muhammad rosulullah”. [Aysar at-Tafasir: V/ 82].
وَ لاَ يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلاَّ مَن شَهِدَ بِاْلحَقِّ وَ هُمْ يَعْلَمُونَ
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((Kecuali orang yang mengakui kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya)) ini adalah ististna munqothi’ (pengecualian terputus) yaitu tetapi yang bersaksi dengan kebenaran (kalimat tauhid) di atas basiroh dan ilmu maka sesungguhnya syafaatnya akan bermanfaat baginya di sisi-Nya dengan idzin-Nya”. [Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 166].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((kecuali orang yang mengakui kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya)) yaitu Allah ta’ala mengecualikan bahwasanya orang yang bersaksi dengan kebenaran yaitu kalimat “Laa ilaaha illallah”, sedangkan ia berilmu (mengetahui) kalimat tersebut dengan ilmu yakin, maka hal ini yang menjadikan para malaikat dan para Nabi memberi syafaat kepadanya. Maka berfirman Azza wa Jalla ((kecuali orang yang mengakui kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya)) dengan hati mereka apa yang mereka saksikan dengan lisan mereka. Maka al-Muwahhidun (orang-orang yang bertauhid) itu, syafaat itu akan mendapatkan mereka dengan idzin Allah ta’ala “. [Aysar at-Tafasir: IV/ 660].
Katanya lagi, “((Sedangkan mereka mengetahui)) kalimat ini adalah haliyah (yaitu menunjukkan keadaan ketika bersaksi). Di dalam ayat ini terdapat suatu dalil bahwasanya orang yang tidak memahami kalimat “laa ilaaha illallah” dan ia mengucapkannya, ucapan tersebut tidak akan memberikan faidah kepadanya dan syafaatpun tidak akan meraihnya pada hari kiamat, karena ia harus memahami apa yang dinafikan dan apa yang diitsbatkan. Oleh karena itu iman orang yang taklid itu diperselisihkan oleh ahli ilmu di dalam keshahihannya”. [Foot note nomor dua di dalam Aysar at-Tafasir: IV/ 660].
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “((Kecuali orang yang mengakui kebenaran)) yaitu tauhid, ((sedangkan mereka mengetahuinya)) yaitu mereka di atas ilmu dan basiroh dengan apa yang mereka bersaksi dengannya”. [Fat-h al-Qodir: IV/ 648].
عن عثمان قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ مَاتَ وَ هُوَ يَعْلَمُ أّنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Menilik beberapa dalil di atas beserta keterangannya, maka syarat mendasar yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” dan kemudian agar ucapan tersebut berfaidah baginya di dunia berupa terpeliharanya darah, harta dan kemuliaannya dan juga bermanfaat baginya di hari kiamat berupa diselamatkan dan dijauhkan dirinya dari kekekalan siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga yang abadi adalah dengan berilmu atau mengetahui makna dan tujuan dari kalimat yang diucapkannya tersebut. Bukan hanya sekedar ucapan, lafazh dan hafalan belaka, sebagaimana yang biasa diamalkan sebahagian manusia awam yang mengucapkan kalimat tersebut sebanyak 100 kali bahkan lebih dengan duduk bersila lalu menggoyang-goyangkan kepala dan badannya ke kiri dan ke kanan mengikuti irama.
Ilmu tersebut meliputi nafi yaitu meniadakan ilah yang disembah selain dari Allah Jalla Jalaaluhu dan itsbat yaitu menetapkan sesembahan itu hanya bagi Allah Azza wa Jalla semata. Maka jika ada orang yang menyangka dirinya telah beriman dengan mengucapkan kalimat tersebut, padahal ia bodoh lagi dungu dari arti dan maksudnya yang hakiki maka persangkaannya itu adalah dusta lagi batil karena bertentangan dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh syariat agama.
2). Yakin, yang menafikan (meniadakan atau menghilangkan) keragu-raguan. Maksudnya adalah orang yang mengucapkan kalimat tauhid ini mesti yakin terhadap pengertian yang ditunjukkan di dalamnya dengan keyakinan yang teguh. Maka keimanan itu tidaklah berfaidah kecuali dengan ilmu yakin, bukannya ilmu zhonn (persangkaan).
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut,
إِنَّمَا اْلمــُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَ
رَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَ
أَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “yaitu mereka tidak ragu-ragu dan tidak berguncang (keimanan mereka), bahkan mereka tetap di atas satu keadaan yaitu pembenaran yang murni (sejati)”. [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: IV/ 264].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “yaitu tidak masuk sedikitpun ke dalam hati mereka kebimbangan dan tiada satupun keraguan yang mencampuri mereka”. [Fat-h al-Qodir: V/ 79].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Hanyalah orang-orang beriman)) yang sebenar-benarnya dan benar itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah sebagai rabb (pemelihara) dan ilah (sesembahan), dan rosul-Nya sebagai nabi yang ditaati, kemudian mereka tidak bimbang yaitu mereka tidak ragu-ragu (syakk) selama-lamanya di dalam sehat (atau benar)nya apa-apa yang mereka imani”. [Aysar at-Tafasir: V/ 134].
عن أبي هريرة قال: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم فِى مَسِيْرٍ فقال: أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنِّى
رَسُوْلُ اللهِ لاَ يَلْقَى اللهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيْهِمَا
إِلاَّ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: يَا
أَبَا هُرَيْرَةَ اذْهَبِ بِنَعْلَيَّ هَاتَيْنِ فَمَنْ لَقِيْتَ مِنْ
وَرَاءِ هَذَا اْلحَائِطِ يَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِاْلجَنَّةِ
عن معاذ بن جبل قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَا
مِنْ نَفْسٍ تَمُوْتُ تَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اَنِّى
رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم يَرْجِعُ ذَلِكَ إِلَى قَلْبٍ مُوْقِنٍ
إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهَا
Dengan beristidlal dengan dalil-dalil di atas bahwa kalimat tauhid yang diucapkan seseorang itu dapat memberi faidah kepadanya berupa ampunan dan surga adalah jikalau dalam pengucapan kalimat tersebut keluar dari dalam sanubarinya dengan penuh keyakinan dan tiada keraguan sedikitpun terhadapnya. Dan telah diketahui sifat dan sikap seorang mukmin itu berada di atas keyakinan yang teguh sehingga ia akan selalu siap menerima segala resiko dan pengorbanan yang ditimbulkan dari sebab mengucapkan, mengamalkan dan memperjuangkan arti dan tujuan kedua kalimat syahadat tersebut. Meskipun akhirnya ia dibenci, dikucilkan, diganggu, diintimidasi dan bahkan dibunuh oleh musuh-musuh Allah, maka ia sanggup menanggungnya apalagi hanya sekedar membagi kenikmatan, kebahagian, rasa cinta, waktu dan tempat di antara sesamanya tentu hal tersebut tidak akan menjadi penghalang yang berarti baginya. Maka pantaslah jika ada seseorang yang mengucapkan kalimat tersebut penuh dengan keyakinan akan dapat meraih surga dan ampunan dari Rabbnya Yang Maha agung.
Belumkah datang kabar kepada kalian wahai kaum muslimin, kisah bentuk pengorbanan kaum Muhajirin yang meninggalkan harta benda, keluarga dan segala kenikmatan yang mereka telah rengguk di kota Mekkah untuk berhijrah ke kota Madinah hanya semata-mata untuk mendapatkan karunia dan keridloan Allah Jalla Jalaaluhu, meskipun mereka banyak mengalami kesusahan dan penderitaan yang luar biasa di dunia. Dan juga kisah kaum Anshor yang menerima kedatangan kaum Muhajirin dengan penuh kecintaan, lalu mereka hibahkan sebahagian harta benda, sawah ladang dan tempat tinggal yang mereka miliki kepada kaum muhajirin tanpa pamrih dan mengharapkan ucapan terima kasih padahal mereka sendiri bukan orang yang berkecukupan. Lalu mereka berbagi suka dan duka bersama dalam menggapai dan mencapai kehidupan surgawi yang abadi di akhirat kelak. Akankah kita mampu meniti jejak mereka?.
3). Menerima apa yang diputuskan (ditetapkan) oleh kalimat tauhid ini dengan hati dan lisannya.
Al-Qur’an yang agung telah menceritakan kepada kita, kaum muslimin bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengadzab umat-umat terdahulu yang menolak kalimat tauhid ini dan sombong darinya, dan juga mendustakan orang yang membawakan kalimat tersebut kepada mereka dan bahkan tak segan-segan mereka mengganggu dan menzholiminya. Dan azab akhirat itu lebih kekal dan lebih keras hukumannya, jika mereka mengetahui.
وَ كَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِى
قَرْيَةٍ مِن نَّذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا
ءَابَاءَنَا عَلَى أَمَّةٍ وَ إِنَّا عَلَى ءَاثَارِهَمْ مُقْتَدُونَ قَالَ
أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ ءَابَاءَكُمْ
قَالُوا إِنَّا بِمَا أَرْسِلْتُم بِهِ كَافِرُونَ فَانتَقَمْنَا مِنْهُمْ
فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ اْلمــُكَذِّبِينَ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Ini adalah perkataan umat-umat yang mendustakan lagi musyrik kepada para rosul mereka, yaitu tiap-tiap umat mengatakan (ucapan) ini kepada rosulnya, “Hanyalah kami kepada apa yang telah di utus dengannya dari tauhid, akidah hari berbangkit dan pembalasan, syariat dan hukum-hukumnya, kami kafir yaitu mengingkari, mendustakan tidak membenarkan”. [Aysar at-Tafasir: IV/ 636-637].
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَ يَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا
ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Yaitu apabila dikatakan kepada mereka, ucapkanlah “laa ilaaha illallah” mereka sombong dari menerimanya”. [Fat-h al-Qodir: IV/ 449].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah ta’ala mengkhabarkan tentang kaum musyrikin Quraisy, bahwasanya mereka dahulu di dunia apabila Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau salah seorang kaum mukminin berkata kepada mereka, “Ucapkanlah kalimat ‘laa ilaaha illallah’ mereka sombong dan jengkel serta tidak mau mengucapkannya, bahkan mereka mengatakan, ‘apakah sesungguhnya kami akan tinggalkan sembahan-sembahan kami lantaran seorang penyair gila yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam’. Mereka mensifati alqur’an dengan syair dan nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang membacanya dengan bentuk syair dan apa-apa yang Beliau dakwahi mereka kepadanya dari iman kepada hari berbangkit, dan hari pembalasan dengan sebutan gila, dan Rosul menurut pandangan mereka adalah orang gila”. [Aysar at-Tafasir: IV/ 404].
إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَالَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ قُلُوبُهُم مُنكِرَةٌ وَ هُمْ مَسْتَكْبِرُونَ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Maka Allah ta’ala mengkhabarkan bahwasanya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, hati mereka mengingkari semua apa yang mereka dengar dari kebenaran yang diserukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan penjelasannya mengenai al-qur’an yang mulia. Dan mereka itu, di samping keingkaran hati mereka terhadap apa yang mereka dengar dari kebenaran, mereka juga menyombongkan diri dari menerima dan mengikuti kebenaran”.[Aysar at-Tafasir: III/ 108].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Sedangkan mereka menyombongkan diri)) dari menerima kebenaran, mereka sombong dari mengikuti yang benar dan mereka terus menerus di atas keingkaran (penyangkalan)”. [Fat-h al-Qodir: III/ 177].
Jadi sikap menerima adalah juga merupakan syarat penting di dalam menyikapi kalimat tauhid, karena meskipun seseorang itu mengerjakan perintah Allah dan Rosul-Nya secara sempurna tetapi dengan unsur terpaksa dan tidak menerima dengan utuh maka tiada berguna baginya amal tersebut sehingga ia menerima keputusan kalimat tersebut dengan lapang dada tiada kesempitan. Apalagi jika yang tertanam di dalam hati itu berupa keingkaran dan rasa sombong di dalam menerimanya, maka amat jauhlah dirinya dari keimanan dan amat dekat dirinya dengan kekufuran. Dari sebab itu tidak patut bagi seseorang yang mengaku beriman untuk mempertimbangkan segala keputusan yang telah ada dan tetap dari kedua kalimat syahadat tersebut, apalagi bersikap memilah dan memilih di antara keputusan tersebut yang terbaik bagi hawa nafsunya dan terlebih-lebih tidak menerimanya dengan hati dan amalnya. Tetapi hendaklah ia menerimanya dengan lapang dada, tiada memilah dan memilih dan segera tiada menunda dalam pelaksanaannya serta terlihat jelas kegembiraan dan kecintaannya di dalam mengerjakan dan memperjuangkan keputusan kedua kalimat tersebut. Tidaklah ia mengambil pelajaran dari kisah orang-orang terdahulu yang telah dibinasakan Allah Subhanahu wa ta’ala lantaran kesombongan dan kekafiran mereka. Ketika datang seorang Rosul kepada mereka dari jenis mereka sendiri lalu mereka lancang dan bersuara lantang, menolak dan mendustakan Rosul tersebut serta apa yang dibawanya. Kalaulah mereka beriman dan memiliki rasa takut akibat perbuatan mereka itu sebenarnya dapat membawa mereka kepada petaka dunia, siksa kubur dan adzab neraka, tentulah mereka tidak akan melakukannya.
4). Tunduk dan berserah diri kepada apa yang telah ditunjukkan oleh kalimat tersebut.
Dalilnya adalah beberapa firman Allah ta’alasmuhu di bawah ini,
وَ أَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَ أَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ اْلعَذَابُ ثُمَّ لاَ يُنصَرُونَ
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Dan maknanya secara zhohir, bahwasanya Allah telah menghimpun hamba-hambaNya antara kabar gembira yang agung, perintah untuk kembali (taubat) kepada-Nya, ikhlash kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya dan tunduk kepada hukum-Nya”. [Fat-h al-Qodir: IV/ 538].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Wahai orang-orang yang berdosa lagi melampaui batas, kembalilah (bertaubatlah) kalian kepada Rabb kalian, yaitu kembalilah kalian kepada mentaati-Nya dengan mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Dan berserah dirilah kalian kepada-Nya yaitu ikhlashkan (atau murnikan) amal-amal kalian kepada-Nya secara lahir dan batin dengan segera, sebelum turunnya adzab kepada kalian kemudian kalian tidak ditolong yaitu kalian tidak mampu menolak dan mencegah adzab tersebut dari kalian”.[Aysar at-Tafasir: IV/ 501].
وَ مَنْ أَحْسَنَ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ
لِلَّهِ وَ هُوَ مُحْسِنٌ وَ اتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَ
اتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Pujian dan pemberian keutamaan dari Allah ta’ala bagi agama Islam atas segenap agama-agama , sebab islam itu tegak di atas dasar menundukkan wajah kepada Allah, dan semua anggota badan mengikuti-Nya berjalan di atas jalan mentaati Allah yang disertai perbuatan ihsan yang sempurna, yaitu meneguhkan ibadah dan melaksanakannya atas dasar apa yang telah disyariatkan oleh Allah ta’ala dan mengikuti agama Ibrohim dengan mengibadahi Allah ta’ala saja dan kufur kepada selain-Nya dari seluruh sesembahan”.[Aysar at-Tafasir: I/ 547].
وَ مَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ
مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِاْلعُرْوَةِ اْلوُثْقَى وَ إِلَى اللهِ
عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu barangsiapa yang menghadapkan wajah dan hatinya kepada Rabbnya, yang ia mengibadahi-Nya dengan merendahkan diri kepada-Nya dalam keadaan tunduk kepada perintah dan larangan-Nya”. [Aysar at-Tafasir: IV/ 212].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Berfirman Allah ta’ala mengkhabarkan mengenai orang yang menundukkan wajahnya kepada Allah yaitu mengikhlashkan amal kepada-Nya dan turut kepada peintah-Nya serta mengikuti syariat-syariat-Nya”.[ Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: III/ 545].
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِى أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا
قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Yaitu mereka tunduk kepada perintah dan keputusanmu dengan suatu ketundukan yang tidak sedikitpun menyelisihinya”. [Fat-h al-Qodir: I/ 543].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: I/ 643], “Allah ta’ala bersumpah dengan diri-Nya sendiri yang mulia lagi suci, bahwa seseorang itu belum dikatakan beriman sehingga ia mengangkat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam sebagai pemberi keputusan dalam segala urusan. Maka apapun yang telah beliau putuskan adalah hak (benar), yang wajib ditaati secara lahir maupun batin. Maka dari itu Allah ta’ala berfirman, “((Kemudian mereka tidak mendapatkan rasa berat dalam hati mereka, dan mereka menerima dengan sepenuhnya))”. Yakni apabila mereka mengangkatmu (maksudnya Rosulullah) sebagai hakim, mereka akan mentaatimu dalam batin mereka sehingga mereka tidak merasa suatu keberatan tentang apa yang telah kamu putuskan dan mereka tunduk kepadanya secara lahir dan batin lalu mereka menerimanya dengan penerimaan yang menyeluruh tanpa perlawanan, penolakan dan bantahan. Sebagaimana telah datang di dalam hadits (dari Abdullah bin Amr)”.
وَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبِعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(di dalam ayat ini terdapat) wajibnya ridlo/ senang dengan hukum Allah dan rosul-Nya serta tunduk menerimanya”. [Aysar at-Tafasir: I/ 503].
عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما أَنَّهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ رَجُلاً مِنَ اْلأَنْصَارِ خَاصَمَ الزُّبَيْرَ عِنْدَ النَّبِيِّ
صلى الله عليه و سلم فىِ سِرَاجِ اْلحَرَّةِ الَّتِى يَسْقُوْنَ بِهَا
النَّخْلَ فَقَالَ اْلأَنْصَارِيُّ: سَرِّحِ اْلمـَاءَ يَمُرُّ فَأَبَى
عَلَيْهِ فَاخْتَضَمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم للِزُّبَيْرِ: اسْقِ يَا زُبَيْرُ
ثُمَّ أَرْسِلِ اْلمَاءَ إِلَى جَارِكَ فَغَضِبَ اْلأَنْصَارِيُّ فَقَالَ:
أَنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُوْلِ اللهِ ثُمَّ
قَالَ: اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ احْبِسِ اْلمـَاءَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى
اْلجَدْرِ فَقَــالَ الزُّبَيْرُ: وَ اللهِ إِنِّى َلأَحْسِبُ هَذِهِ
اْلأَيَةَ نَـزَلَتْ فِى ذَلِكَ ((فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ –النساء: 65))
Tidakkah dalil-dalil di atas mencukupi bagi seorang mukmin agar senantiasa tunduk dan berserah diri kepada apa saja yang telah diputuskan oleh kedua kalimat tersebut secara lahir dan batin. Sebab tidaklah wajar seorang mukmin itu mendongakkan kepalanya dengan rasa angkuh dan congkak dengan maksud menampik keputusan kedua kalimat tersebut dan bahkan menahan dirinya dari memahami dan mengamalkannya atau berusaha melepaskan dan meloloskan dirinya dari menerimanya. Tidakkah ia mengetahui betapa marahnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam terhadap seseorang yang menolak keputusannya ketika berbantahan dengan Zubair radliyallahu anhu, sehingga Allah-pun berkenan menurunkan ayat yang menguatkan sikap Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tersebut. Sikap tunduk dan berserah diri itu sebenarnya membawa pelakunya kepada kelapangan dan kelonggaran dadanya, sehingga tidak sesak dadanya sedikitpun dari ketetapan kedua kalimat tersebut dan tidak sempit dadanya secuilpun dari beban yang menghimpit. Maka jika demikian, ia akan senantiasa merasakan ketentraman dan kenyamanan sepanjang waktu di segala tempat, meskipun ketetapan kedua kalimat tersebut dirasakan pahit dan getir, dipandang rumit dan nyinyir oleh sebahagian besar orang yang mengucapkannya.
5). Benar, yang menafikan dusta. Yaitu mengatakannya secara benar dari hati sanubarinya, maksudnya adalah hatinya menyepakati atau membenarkan apa yang diucapkan oleh lisannya.
Allah tabaroka wa ta’ala telah berfirman,
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا
ءَامَنَّا وَ هُمْ لاَ يُفْتَنُونَ وَ لَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَ لَيَعْلَمَنَّ
اْلكَاذِبِينَ
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu orang-orang yang benar di dalam sangkaan iman (mereka) dari orang yang dia itu dusta di dalam ucapan dan sangkaannya, dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi dan apa yang tidak terjadi walaupun bagaimana keadaannya, dan ini adalah ijmak (kesepakatan) menurut para imam sunah dan jama’ah”. [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: III/ 490].
عن أنس بن مالك أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و
سلم وَ مُعَاذٌ رَدِيْفُهُ عَلَى الرَّحْلِ قَالَ: يَا مُعاَذُ بْنُ
جَبَلٍ قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ سَعْدَيْكَ قَالَ: يَا
مُعَاذُ قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ سَعْدَيْكَ (ثلاثا)
قَالَ: مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ
عَلَى النَّارِ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ
فَيَسْتَبْشِرُوْا؟. قَالَ: إِذًا يَتَّكِلُوْا وَ أَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ
عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “(Perkataan; ‘benar’), di dalam (lafazh) hadits ini terdapat penjagaan dari syahadat (persaksian) orang munafik”. [Fat-h al-Bariy: I/ 226].
عن أبي موسى الأشعري قال: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و
سلم وَ مَعِى نَفَرٌ مِنْ قَوْمِى فَقَالَ: أَبْشِرُوْا وَ بَشِّرُوْا
مَنْ وَرَاءَكُمْ إِنَّهُ مَنْ شَهِدَ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
صَادِقًا بِهَا دَخَلَ اْلجَنَّةَ فَخَرَجْنَا مِنْ عنْدِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم نُبَشِّرُ النَّاسَ فَاسْتَقْبَلْنَا عُمَرَ بْنَ
اْلخَطَّابِ فَرَجَعَ بِنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم
فَقَالَ عُمَرُ : يَا رَسُولَ اللهِ إِذًا يَتَّكِلَ النَّاسُ قَالَ:
فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “Adapun orang yang mengatakan “laa ilaaha illallah” dengan lisannya, kemudian mentaati setan dan hawa nafsunya di dalam mendurhakai dan menyelisihi Allah, maka perbuatannya telah mendustai perkataannya, dan mengurangi kesempurnaan tauhidnya seukuran dengan kedurhakaannya kepada Allah di dalam mentaati setan dan hawa nafsu. Allah ta’ala berfirman, ((Dan siapakah orang yang paling sesat dibandingkan dengan orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. QS. al-Qoshosh/28: 50)), dan firman-Nya lagi, ((Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, sebab hal tersebut dapat menyesatkanmu dari jalan Allah. QS. Shood/38: 26))”. [al-Wala’ wa al-Bara’ fii al-Islam halaman 34-35].
Berkata al-Imam Ibnu al-Qoyyim rahimahullah, “Iman itu dasarnya adalah benar, sedangkan nifak (kemunafikan) itu dasarnya dusta. Maka dusta dan benar itu tidak mungkin berhimpun, kecuali salah satu dari keduanya tentu akan memerangi yang lainnya”. [Madarij as-Salikin: II/ 280].
Benar adalah merupakan pondasi iman yang sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin. Pondasi tersebut mesti berurat akar menghunjam ke dalam hati sanubari yang seringkali terbolak-balik oleh hembusan angin fitnah dan bala yang menerpa. Maka berapa banyak pengucap dua kalimat syahadat yang tidak menyadari telah menggugurkannya lantaran ucapan itu keluar begitu saja dari lisan mereka tanpa dorongan dari dalam hati mereka yang benar. Sehingga setiap langkah amal mereka selalu menyelisihi ucapan mereka. Dan berapa banyak penghapal dua kalimat tersebut yang telah melupakan makna dan tujuannya yang hakiki disebabkan tidak dilahirkan dari pembenaran hati yang sejati. Sehingga tak jarang dijumpai banyak di antara mereka yang masih mengerjakan perbuatan syirik, kufur, nifak, fasik dan kedurhakaan. Mereka mendustakan apa yang mereka ucap dan hafal tersebut karena memperturutkan hawa nafsu dan akal logikanya serta juga karena bujukan setan. Sehingga seringkali terjadi benturan perselisihan dan percikan perbedaan antara perkataan dan perbuatan, mereka mengucapkan apa yang tidak pernah terbesit di dalam hati mereka secara benar dan tidak pula terlintas dalam diri mereka untuk beramal secara total. Maka sikap mereka ini jelas mengurangi dan mencemari kadar keimanan yang ada pada mereka, dan boleh jadi keimanan itu belum atau bahkan tidak tertanam di dalam jiwa mereka yang sunyi dari petunjuk.
6). Ikhlash, yaitu mensucikan/ memurnikan amal dengan niat yang shalih (baik), terlepas dari semua noda-noda syirik.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala di bawah ini,
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ اْلخَالِصُ
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Yaitu sesungguhnya agama yang bersih dari noda-noda syirik dan selainnya itu adalah kepunyaan Allah, dan apa yang selainnya dari agama-agama maka itu bukan agama Allah yang bersih sebagaimana yang diperintahkan”. [Fat-h al-Qodir: IV/ 514].
وَ مَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَ يُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَ ذَلِكَ دِينُ اْلقَيِّمَةِ
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu anhuma, “Tidaklah mereka disuruh di dalam taurat dan injil melainkan agar memurnikan ibadah bagi Allah dalam keadaan bertauhid”. [Tafsir al-Baghowiy: IV/ 514].
عن أبي هريرة قال: قِيْلَ [ و فى رواية أخرى: قُلْتُ ] يا
رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ؟
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا
هُرَيْرَةَ اَن لاَ يَسْأَلَنِى عَنْ هَذَا اْلحَدِيْثِ أَحَدٌ أَوَّلَ
مِنْكَ لَمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى اْلحَدِيْثِ أَسْعَدُ النَّاسِ
بِشَفَاعَتِى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
Berkata al-’Allamah al-Munaawiy rahimahullah, “(Barangsiapa yang mengucapkan “laa ilaaha illallah”) yaitu bersama “Muhammad rosulullah”, maka dijadikan bahagian (juz) dari kalimat syahadat sebagai syi’ar bagi penggabungannya, maka yang diinginkan adalah kalimat secara sempurna, sebagaimana engkau membaca “aliif laam miim dzaalika al-kitaab”, yaitu surat secara sempurna (utuh). Dan yang diinginkan dari “barangsiapa yang mengucapkan yang demikian itu” adalah dari golongan manusia, jin dan malaikat, dan taqyid (ikatan) ini tidaklah menafikannya (meniadakannya) bagi golongan manusia, karena hal tersebut telah dipahami sebagai laqob (gelar), dan tiada perdebatan di dalam hal ini di sisi para ulama. Kholish (murni/ bersih) yaitu dari noda-noda syirik dan nifak (kemunafikan), maka yang diinginkan adalah perkataan dari dalam diri bukan sekedar ucapan saja atau lebih banyak ingat, karena kebanyakan, orang yang membenarkan dengan hati, dia mengucapkan dengan lisan”. [Fay-d al-Qodir: I/ 507, hadits nomor 1021].
عن عتبان بن مالك قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم: فَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلىَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
Berkata al-’Allamah al-Munaawiy rahimahullah, “(Barangsiapa yang mengatakan “laa ilaaha illallah” yang dengan ucapannya itu bermaksud mencari wajah Allah) yaitu mengucapkannya murni dari hatinya, yang dengannya dimaksudkan melihat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan menurut lahirnya hadits tersebut mengucapkannya cukup sekali saja di waktu kapanpun dari usia yang ada, tetapi dengan syarat terus menerus (kontinyu) di atas keyakinan yang ditunjukkan oleh kalimat tersebut sampat datangnya kematian sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh sebuah hadits”, [Fay-d al-Qodir: II/ 243, hadits nomor: 1756]
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
عن عتبان بن مالك الأنصاري ثم أحد بني سالم قَالَ: غَدَا
عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: لَن يُوَافِيَ عَبْدٌ
يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَقُوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِى بِهَا
وَجْهَ اللهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ
عن جابر بن عبد الله يَقُوْلُ: أَنَا مَنْ شَهِدَ مُعَاذًا
حِيْنَ حَضَرَتْهُ اْلوَفَاةُ يَقُوْلُ: اكْشِفُوْا عَنِّى سَجْفَ
اْلقُبَّةِ أُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى
الله عليه و سلم وَ قَالَ مَرَّةً أُخْبِرُكُمْ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَمْ يَمْنَعْنِى أَنْ
أُحَدِّثَكُمُوْهُ إِلاَّ أَنْ تَتَّكِلُوْا سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَنْ
شَهِدَ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ
يَقِيْنًا مِنْ قَلْبِهِ لَمْ يَدْخُلِ النَّارَ أَوْ دَخَلَ اْلجَنَّةَ وَ
قَالَ مَرَّةً: دَخَلَ اْلجَنَّةَ وَ لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَا قَالَ عَبْدٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ قَطٌّ
مُخْلِصًا إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ حَتَّى تُفْضِيَ
إِلىَ اْلعَرْشِ مَا اجْتَنَبَ اْلكَبَائِرُ
Berkata al-Imam al-Mubaarokfuuriy rahimahullah, “Yaitu tidak riya lagi sum’ah dan dalam keadaan beriman tidak dalam keadaan munafik”. [Tuhfah al-Ahwadziy: X/ 40 hadits nomor 3590].
Berkata al-Fudloil bin ‘Iyaadl mengenai firman Allah Jalla Jalaaluhu ((Dialah yang telah menciptakan mati dan hidup, agar menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya. QS. al-Mulk/67: 2)), dia berkata, “yang paling ikhlash (murni) dan yang paling benar (tepat)”. Mereka bertanya, “Wahai Abu ‘Ali ! (maksudnya al-Fudloil) apakah yang paling benar dan yang paling ikhlash itu?”. Dia menjawab, “Sesungguhnya amal itu apabila ikhlash tetapi tidak benar, amal tersebut tidak akan diterima. Dan apabila amal tersebut benar tetapi tidak ikhlash juga tidak akan diterima, sehingga amal tersebut ikhlash dan benar. Ikhlash itu adalah karena Allah, dan benar itu adalah di atas sunnah”. [Iqtidlo’ ash-Shiroth al-Mustaqim, oleh syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah halaman 451-452, Majmu’ Fatawa: I/ 333, Madarij as-Salikin: II/ 93 dan al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 36].
Berkata Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu di dalam doanya,
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلىِ كُلَّهُ صَالِحًا وَ اجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَ لاَ تَجْعَلْ ِلأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئًا
Berkata al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Ikhlas dan tauhid itu adalah sebuah pohon yang tumbuh di dalam hati, ranting-rantingnya adalah berupa amal perbuatan, dan buahnya adalah kehidupan yang toyyib (baik) di dunia dan kenikmatan yang kekal di akhirat. Maka sebagaimana buah-buahan surga itu tidak terputus (berbuahnya) dan tidak terhalang (memetik dan memakannya), maka demikian pula keadaan buah-buahan tauhid dan ikhlas di dunia. Sedangkan syirik, dusta dan riya’ (juga) adalah pohon yang tumbuh di dalam hati, buahnya di dunia adalah rasa takut, kebimbangan, duka cita dan sempit dada serta gelapnya hati, sedangkan di akhirat buahnya adalah berupa buah zaqqum dan adzab yang kekal. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan kedua pohon ini di dalam surat Ibrahim [QS. Ibrahim/14: 24-26]”. [al-Fawa’id oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah halaman 182].
Ikhlas merupakan benteng kokoh yang memberi perlindungan bagi pengucap dua kalimat syahadat dari badai yang setiap kali bertiup. Jangan memandang remeh, kadangkala badai yang bertiup itu dapat membinasakan pohon dengan cara mencabut akar penopangnya, menumbangkan batang penyanggahnya, menggugurkan dedaunan perimbunnya, merontokkan bunga penghiasnya dan menjatuhkan buah yang dihasilkannya. Jikalau ada seseorang mengucapkan kedua kalimat tersebut murni dari hatinya tidak dari selainnya, niscaya ia akan terjaga dari fitnah gangguan wanita yang mempesona, harta benda yang menggoda, kekuasaan yang menggiurkan, pangkat yang memikat, sawah ladang yang membentang, kendaraan yang menawan dan lain sebagainya dari perkara-perkara dunia. Ikhlas akan senantiasa melindungi pengucap dua kalimat tersebut sehingga tidak menoleh dan berpaling dari kehidupan akhirat kepada kehidupan dunia yang fana, meskipun hadir di pelupuk matanya segala macam kesenangan dunia yang ditawarkan kepadanya. Atau muncul dihadapannya segala jenis gangguan yang mengancam harta, jiwa dan raganya. Keikhlasan jugalah yang menjadikannya berambisi meninggalkan segala macam dosa dan kesalahan yang dapat menjerumuskannya ke dalam neraka, yang seringan-ringan siksanya adalah seseorang menggunakan sandal dari bara api lalu otak kepalanya mendidih. Hal ini juga memotivasi dirinya untuk berambisi menggapai setinggi-tingginya keimanan dan meraih sebanyak-banyaknya amal shalih, yang dengan itu seseorang akan mengecap kenikmatan abadi di dalam surga yang luasnya adalah seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
7). Mencintai kalimat tauhid ini, apa yang ditetapkannya dan apa yang ditunjukkannya. Dan juga mencintai ahlu tauhid yang beramal dengannya, senatiasa memelihara syarat-syaratnya, dan membenci apa-apa yang membatalkannya serta membenci orang-orang yang membencinya.
Telah berfirman Allah Azza wa Jalla,
وَ مِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذَ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ
Berkata asy-syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Wajib mencintai Allah dan mencintai semua apa yang dicintai oleh Allah Azza wa Jalla dengan cara mencintai-Nya ta’ala“. [Aysar at-Tafasir: I/ 143].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ
مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِى اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَ
يُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى اْلمــُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى
اْلكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فَى سَبِيلِ اللهِ وَ لاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ
لاَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَ اللهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Keutamaan cinta kepada Allah, rendah hati kepada orang-orang beriman, menampakkan ‘izzah (kemuliaan diri) kepada orang-orang kafir, keutamaan jihad di jalan Allah, berkata benar dan teguh atasnya, dan tiada memperdulikan orang yang mencela dan mencerca di dalam hal tersebut”. [Aysar at-Tafasir: I/ 645].
عن أنس عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ثَلاَثٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَ
رَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَ أَنْ يُحِبَّ
اْلمــَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَ أَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ
فىِ اْلكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فىِ النَّارِ
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwasanya ada tiga perkara yang barangsiapa ada padanya ketiga perkara ini maka ia akan merasakan manisnya iman, karena memperolah manisnya sesuatu itu mesti diikuti dengan rasa cinta kepadanya. Maka barangsiapa yang mencintai atau menyukai sesuatu, apabila ia telah memperoleh yang diinginkannya, sesungguhnya ia telah mendapatkan manis, lezat dan kesenangan dengan perkara tersebut. Kelezatan adalah perkara yang akan terjadi bersamaan dengan dijumpainya kesesuaian dengan sesuatu yang dicintai dan disukainya itu”. [Majmu’ Fatawa: X/ 205].
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (diringkas seperlunya), “Berkata selainnya (al-Baidlowiy), “Cinta kepada Allah itu ada dua bagian, yaitu wajib dan disukai. Yang wajib adalah cinta yang diutus atas dasar mengikuti perintah-perintahNya, menghentikan diri dari mendurhakai-Nya dan ridlo dengan apa-apa yang telah ditetapkan-Nya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam maksiat dari mengerjakan yang haram atau meninggalkan yang wajib hal tersebut merupakan cacatnya di dalam cintanya kepada Allah disaat ia mendahulukan hawa nafsunya, … dan seterusnya. Yang disukai adalah tekun di atas yang sunnah-sunnah dan menjauhkan diri dari terjerumus ke dalam yang syubhat-syubhat”. [Fat-h al-Bariy: I/ 61].
Berkata asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hukmiy rahimahullah, “Tanda-tanda cintanya seorang hamba kepada Rabbnya adalah mendahulukan yang dicintainya walaupun hawa nafsunya menyelisihinya, membenci apa yang dibenci oleh Rabbnya, kendatipun hawa nafsunya condong kepadanya, berwala’ kepada orang yang berwala’ kepada Allah dan Rosul-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, mengikuti Rosul-Nya, mengikuti jejaknya dan menerima petunjuknya”. [al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islaam halaman 38].
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Hati tidak akan pernah merasa cukup akan keperluannya kepada seluruh makhluk kecuali jika keberadaan Allah itu sebagai Pelindungnya yang tidaklah ia beribadah kecuali kepada-Nya, tidak meminta pertolongan kecuali dengan-Nya, tidak bertawakkal kecuali kepada-Nya, tidak berbahagia kecuali dengan apa yang dicintai dan diridloi-Nya, tidak membenci kecuali apa yang yang dimurkai dan dibenci oleh Rabb, tidak berwala’ (setia) kecuali kepada orang yang Allah berwala’ kepadanya, tidak memusuhi kecuali kepada orang yang dimusuhi oleh Allah, tidak mencintai (siapapun) kecuali karena Allah, tidak membenci sesuatupun kecuali karena Allah, tidak memberi kecuali karena Allah, tidak menahan pemberian kecuali karena Allah. Setiap kali keikhlasan agamanya karena Allah bertambah kuat, maka akan lebih sempurna peribadatannya (kepada Allah) dan rasa cukupnya kepada makhluk. Dan dengan semakin sempurnanya peribadatannya kepada Allah maka akan semakin jauh dirinya dari sifat sombong dan syirik”. [Majmu’ Fatawa: X/ 198].
Menyimak beberapa dalil dan penjelasannya, dapat dipahami bahwa mencintai kelimat tauhid ini sangat penting dengan melihat beberapa segi lainnya, yaitu; (1) mencintai kalimat tersebut beserta ketetapan-ketetapannya, (2) mencintai orang yang mengamalkan dan memperjuangkannya, (3) membenci apa yang merusak dan menggugurkan kalimat tersebut dan (4) membenci orang yang tidak mengamalkan dan bahkan menentangnya.
Semakin besar kecintaan seorang mukmin kepada kalimat tersebut maka semakin kuat rasa cintanya terhadap segala macam ketetapan yang diputuskan olehnya sehingga dengan penuh kesadaran dan kerelaan ia mengamalkannya dan memperjuangkannya sampai kilauan harta yang tersisa, tetasan darah yang penghabisan dan hembusan nafas yang terakhir. Dan semakin kokoh pula rasa cinta dan dekatnya kepada orang-orang yang semisalnya di antara kalangan mukminin sehingga tak segan-segan ia membantu dan melindungi mereka dan bahkan lebih mengutamakan orang lain dari pada dirinya sendiri kendatipun ia sedang susah, sebagaimana pernah dilakukan oleh golongan Anshor terhadap golongan Muhajirin.
Begitu pula semakin kuat rasa cintanya kepada kalimat tersebut akan mengakibatkannya membenci segala sesuatu yang dapat merusak kemurnian kalimat tersebut dan bahkan menjauhi apapun yang dapat menggugurkan pengucapannya, sehingga ia akan selalu menjaga diri dan keluarganya dari mengotori dan melumuri kalimat tersebut dari segala macam kotoran yang membinasakan berupa kemusyrikan, kekufuran, kemunafikan, kefasikan, kedurhakaan dan lain sebagainya. Dan semakin keras pula kebenciannya kepada setiap orang yang tidak mengamalkan sebahagian atau bahkan seluruh ketetapan yang diputuskan oleh kedua kalimat tersebut dan bahkan jelas-jelas menentangnya. Sehingga ia tidak akan ragu-ragu mengambil keputusan untuk manjauh dan berpisah dari mereka meskipun kerabat dekat apalagi orang jauh. Dan kalaupun ketetapan tersebut memutuskannya untuk memusuhi dan memerangi mereka niscaya iapun akan segera melaksanakannya tanpa bantahan sedikitpun dan tiada pula sempit dada.
8). Kufur kepada thoghut yaitu sesembahan selain dari Allah, dan mengimani Allah sebagai rabb (pemelihara) dan ma’bud (sesembahan) yang sebenar-benarnya.
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَ يُؤْمِن بِاللهِ
فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِاْلعُرْوَةِ اْلوُثْقَى لاَ اْنفِصَامَ لَهَا وَ
اللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu barangsiapa yang menanggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan apa-apa yang diseru oleh syetan dari mengibadahi segala sesuatu yang disembah selain Allah dan mentauhidkan (mengesakan) Allah, lalu beribadah kepada-Nya saja, dan bersaksi bahwasanya tiada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, maka ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat, yakni maka ia telah teguh urusannya dan istiqomah di atas cara yang paling mulia dan jalan yang lurus”. [Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: I/ 384].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “makna “laa ilaaha illallah” adalah beriman kepada Allah dan kufur kepada thoghut (semua yang diibadahi selain dari Allah)”. [Aysar at-Tafasir: I/ 247].
عن والد أبي مالك الأشجعي قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ كَفَرَ
بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَ حِسَابُهُ
عَلىَ اللهِ
Berkata asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Ketahuilah! bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits ini telah mengkaitkan terjaganya harta dan darah itu dengan dua hal. Pertama; ucapan “laa ilaaha illallah” dari dasar ilmu dan keyakinan, kedua; kufur kepada apa-apa yang disembah selain dari Allah. Maka seseorang itu tidaklah cukup dengan lafazh yang kosong dari maknanya, bahkan sudah seharusnya ia mengucapkannya dan beramal dengannya”. [Fat-h al-Majid halaman 134].
Berkata asy-Syaikh Muhammad at-Tamimiy rahimahullah, “Inilah penjelasan yang paling besar (penting) tentang makna “laa ilaaha illallah”. Maka sekedar melafazhkan kalimat tauhid ini saja belum mampu menjaga darah dan harta, bahkan juga tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang apa yang dilafazhkan, tidak hanya terbatas pada pengakuan saja, tidak terbatas pada perbuatannya yang tidak berdoa selain kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Harta dan darahnya tidak diharamkan sehingga ia menyandarkan hal ini dengan kufur kepada apa-apa yang disembah selain dari Allah, maka jika ia ragu-ragu dan bimbang tentang kalimat ini, darah dan hartanya tidaklah diharamkan”. [Fat-h al-Majid halaman 135, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 48, Taysir al-’Aziz al-Hamid halaman 118-119, Qurroh ‘Uyun al-Muwahhidin halaman 63 dan Majmu’ah at-Tauhid: I/ 207].
Berkata asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdulwahhab rahimahullah di dalam mengomentari hadits,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَن
لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ
يُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ
عَصَمُوْا مِنَّى دِمَاءَهُمْ وَ أَموَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ
اْلإِسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ عَلىَ اللهِ
Ia berkata, “Maka hadits ini seperti ayat baro’ah yang menjelaskan di dalamnya apa yang menyebabkan mula-mula manusia diperangi atasnya. Apabila mereka telah mengerjakannya maka wajiblah menahan diri dari mereka kecuali dengan hak Islam. Lalu jika mereka melakukan sesuatu yang dapat membatalkan pengakuan ini dan menggugurkan masuknya mereka ke dalam Islam, maka wajiblah memerangi mereka sehingga agama itu semuanya milik Allah. Bahkan jika mereka mengakui lima rukun (Islam) dan mengerjakannya tetapi di samping itu mereka enggan dari mengerjakan wudlu untuk sholat dan yang semisalnya, atau enggan mengharamkan sebahagian yang diharamkan oleh Islam, misalnya; riba, zina atau yang semisal itu, maka wajiblah memerangi mereka secara ijmak (yakni; sesuai kesepakatan). Dan kalimat “Laa ilaaha illallah” serta apa yang mereka telah kerjakan dari rukun-rukun Islam tidak akan memelihara diri mereka. Ini adalah termasuk sebesar-besarnya dari apa yang menjelaskan maka kalimat “laa ilaaha illallah”, dan bahwasanya yang diinginkan dari kalimat tersebut bukanlah hanya pengucapan saja. Apabila kalimat tersebut tidak akan memelihara seseorang yang membolehkan apa yang diharamkan atau enggan mengerjakan wudlu misalnya. Bahkan ia harus diperangi sampai mengerjakannya, maka bagaimana mungkin kalimat tauhid itu dapat memelihara orang yang berpemahaman syirik, mengamalkan, mencintai dan memujinya, menyanjung pelakunya, berwala’ kepadanya dan memusuhi orang yang memusuhinya, membenci tauhid yaitu memurnikan ibadah bagi Allah, baro’ darinya, memerangi ahlinya, mengkufuri mereka dan menghalang-halangi manusia dari jalan Allah sebagaimana keadaan para penyembah kubur. Dan para ulama berijmak bahwasanya orang yang mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” dalam keadaan berbuat syirik maka sesungguhnya ia harus diperangi sehingga ia datang dengan membawa tauhid”. [Taysir al-‘Aziz al-Hamid halaman 120-121].
Menurut dalil-dalil di atas dan penjelasannya, maka sekedar mengucapkan kedua kalimat tersebut belumlah memadai dengan terpelihara darah dan hartanya sehingga mengkufuri apa saja yang disembah selain dari Allah Azza wa Jalla. Maksudnya jika ada seseorang mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illallah” atau mentauhidkan-Nya tetapi tidak dibarengi dengan mengkufuri sesembahan yang disembah selain dari Allah Subhanahu wa ta’ala, maka darahnya masih halal untuk ditumpahkan dan hartanya tidak haram untuk diambil. Maka dari itu seorang mukmin itu dikatakan lurus dan kokoh keimanannya jika ia senantiasa beriman dan beribadah kepada Allah Jalla Jalaaluhu, mengkufuri apa saja yang disembah selain dari-Nya dan membenci dan bahkan memusuhi setiap orang yang tidak beriman dan beribadah kepada-Nya serta tiada mengkufuri selain-Nya.
Walhasil, berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah berlalu dapatlah dipahami bahwasanya kalimat “Laa ilaaha illallah” itu tidaklah cukup hanya diucapkan saja. Tetapi mesti memenuhi beberapa syarat lainnya agar kalimat tersebut dapat memberikan faidah bagi pengucapnya, yang dengan syarat-syarat tersebut orang yang mengucapkannya dapat membuka pintu surga, yaitu berupa ilmu, yakin, menerima, tunduk dan berserah diri, benar, ikhlas, mencintai kalimat tersebut dan kufur kepada thoghut. Sebagaimana seseorang mempunyai kunci untuk membuka pintu rumahnya, akan tetapi tidaklah akan berguna kunci itu apabila salah satu atau lebih dari gigi-gigi tersebut telah rompal atau tanggal. Ia akan dapat membuka pintu rumah hanyalah dengan kunci yang memiliki gigi-gigi yang sesuai, lengkap dan kuat. Karena itu kewajiban setiap muslim adalah melengkapi syarat-syarat kalimat tauhid tersebut dan menguatkannya serta menyempurnakan rukun-rukunnya, kemudian mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh dan berpendirian teguh, lalu setelah itu mewariskan atau mengajarkannya kepada keluarga dan lingkungannya secara lurus, benar dan berkesinambungan agar keinginan dan harapannya untuk masuk ke dalam surga dan diselamatkan dari api neraka data tercapai. Dan Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala memberi kemudahan kepada kita untuk memahami, mengamalkan dan memperjuangkan kalimat tauhid ini secara lurus dan benar sampai maut menjemput dan raga binasa.
Dari sebab itu, wahai saudara-saudaraku tercinta marilah kita mempelajari kalimat “Laa ilaaha illallah” dengan benar dan sesuai dengan petunjuk alqur’an dan hadits-hadits shahih sesuai dengan pemahaman para ulama salafush shalih. Carilah guru atau ustadz yang dapat mengajarkan dengan benar akan pemahaman kalimat tersebut yang merupakan dasarnya dasar dari agama Islam yang kita anut sejak kita dilahirkan dari rahim ibu kita tercinta.
Menuntut ilmu itu hukumnya wajib ain, yakni setiap muslim wajib mempelajarinya meskipun sebahagian mereka telah mempelajarinya. Dan ilmu yang paling penting dan utama dari agama ini adalah dua kalimat syahadat sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Sedangkan kalimat syahadat yang wajib kita pertama-tama ketahui adalah tentang kalimat “Laa ilaaha illallah”, namun apakah kita telah mempelajari dan memahaminya secara tepat, benar dan utuh menyeluruh?.
Semoga pembahasan ini berfaidah dan menjadi modal dan bahan pertimbangan di dalam mempelajari agama kita, agar kita mempunyai kunci yang tepat dan kuat untuk membuka pintu surga. Insyaa’ Allah.
Wallahu ‘alamu bish showab.