السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Kamis, 12 Juli 2012

SUDAH BENARKAH JUM'ATAN KITA??


DIAM KETIKA KHUTBAH JUM’AT

بسم الله الرحمن الرحيم

Telah menjadi rahasia umum, bahwa banyak di antara kaum muslimin ketika datang dan menghadiri sholat jum’at di antara mereka ada yang memang bertujuan untuk beristirahat dari rasa letih dan penat mereka setelah bekerja dan bahkan tidur dengan nyenyak pada saat imam atau khotib sedang memberikan nashihat atau khutbah. Begitu mereka datang ke masjid, segera mereka berwudlu dan sholat sunnah, kemudian mereka mengatur posisi dengan menyandar atau duduk memangku kaki mereka lalu tidur sepanjang berlangsungnya khutbah. Maka dengan sebab itu, mereka telah terpedaya dan masuk di dalam perangkap dan godaan setan yang terkutuk.

Terkadang tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka telah mengganggu kaum muslimin lainnya yang sedang mendengarkan khutbah dengan suara dengkuran mereka dan juga dengan olengan kepala mereka yang sedang terangguk-angguk menahan kantuk.

Padahal Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya supaya mereka menjauhi perbuatan tersebut. Namun jika hal itu telah terjadi, Beliau menyuruh mereka untuk berpindah tempat duduk agar rasa kantuk tersebut hilang. Hal ini sebagaimana terdapat di dalam dalil berikut ini,

عن ابن عمر قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَ هُوَ فىِ اْلمــَسْجِدِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ إِلَى غَيْرِهِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah  Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang diantara kalian mengantuk di dalam masjid maka hendaklah ia berpindah dari tempat duduknya itu kepada selainnya”. [HR Abu Dawud: 1119. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 990 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 809].

عن ابن عمر عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمُ اْلجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang diantara kalian mengantuk pada hari jum’at maka hendaklah ia berpindah dari tempat duduknya itu”. [HR at-Turmudiy: 526, Ibnu Khuzaimah: 1819, Ahmad: II/ 22, 32, Ibnu Hibban, al-Hakim: 1114, al-Baihaqiy dan Abu Nua’im. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 436, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 812, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 468 dan Misykah al-Mashobih: 1394].

Bukan hanya rasa kantuk dan tidur saja yang harus dihindari, tetapi ada perbuatan lainnya yang juga telah dilarang oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yaitu berbicara ketika khutbah sedang berlangsung.

Banyak di antara kaum muslimin, karena keawaman mereka terhadap agama mereka sendiri yang masih asik berbicara dengan teman duduknya di dalam masjid ketika imam/ khotib sedang menyampaikan nashihat. Bahkan kadang diselingi dengan tawa dan senda gurau, seakan mereka berada di tempat selain masjid dan seolah hanya mereka yang berada di tempat itu. Tak sedikit juga anak-anak dan remaja yang meniru perbuatan orang-orang dewasa tersebut dengan melakukan keributan bahkan terkadang dengan canda yang kelewat batas, berupa saling memukul, melempar kertas dan berlarian di dalam masjid. Perilaku berisik mereka ini jelas sangat mengganggu kenyamanan dan kekhusyuan jamaah lainnya yang memang ingin benar-benar beribadah dengan baik dan benar.

Sepantasnya mereka untuk duduk dengan tenang, diam dan menyimak ketika imam sedang menyampaikan khutbahnya sampai selesai. Bagi yang memiliki anak, sebaiknya untuk menashihati anak-anak mereka dan menerangkan bahwa masjid itu bukan tempat untuk bermain dan senda gurau serta membuat kegaduhan dan kebisingan apalagi ketika sedang ada khutbah dan pemberian nashihat.
Padahal jika ada orang yang berkata “diam” kepada kawan di sebelahnya yang berisik, maka jum’atnya orang tersebut akan sia-sia, tidak berguna dan tidak akan mendapatkan pahala. Bagaimana dengan orang yang tidak bertujuan seperti itu, berbicara seenaknya dan membuat keributan?. Tentu akan lebih besar lagi kesalahan dan dosanya. Hal ini telah diterangkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam beberapa dalil berikut ini,

عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ : أَنْصِتْ وَ اْلإِمَامُ َيخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

 Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau berkata kepada kawanmu, “diam”, sedangkan imam sedang berkhutbah maka sungguh-sungguh engkau telah sia-sia”. [HR al-Bukhoriy: 394, Muslim: 851, Abu Dawud: 1112, at-Turmudziy: 512, an-Nasa’iy: III/ 104, Ibnu Majah: 1110, Ahmad: II/ 272, 393, 396, 474, 485, 518, 532, ad-Darimiy: I/ 364 dan Ibnu Khuzaimah: 1805. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 423, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1328, 1329, Shahih Sunan Abu Dawud: 983, Shahih Sunan Ibnu Majah: 911, Irwa’ al-Ghalil: 619, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 718 dan Misykah al-Mashobih: 1385].


عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا تَكَلَّمْتَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَقَدْ لَغَوْتَ وَ أَلْغَيْتَ يعنى : وَاْلإِمَامُ َيخْطُبُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau berbicara pada hari jum’at  maka sungguh-sungguh engkau telah sia-sia dan menggugurkan”. Yakni ketika imam sedang berkhutbah. [HR Ibnu Khuzaimah: 1804. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 719].

عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: كَفىَ لَغْوًا أَنْ تَقُوْلَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ إِذَا خَرَجَ اِلإِمَامُ فىِ اْلجُمُعَةِ

Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Cukup dikatakan sia-sia, jika engkau berkata kepada kawanmu, “diam” apabila imam telah keluar (untuk berkhutbah) pada hari jum’at”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 722].

عن أبيّ بن كعب رضي الله عنه أّنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَرَأَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ تَبَارَكَ وَ هُوَ قَائِمٌ فَذَكَّرَنَا بِأَيَّامِ اللهِ وَ أَبُو الدَّرْدَاءِ أَوْ أَبُو ذَرٍّ يَغْمِزُنىِ فَقَالَ: مَتىَ أُنْزِلَتْ  هَذِهِ السُّوْرَةُ إِنىِّ  َلمْ أَسْمَعْهَا إِلاَّ اْلآنَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ أَنِ اسْكُتْ فَلَمَّا انْصَرَفُوْا قَالَ: سَأَلْتُكَ مَتىَ أُنْزِلَتْ هَذِهِ السُّوْرَةُ فَلَمْ  ُتخْبِرْنىِ؟ فَقَالَ أُبَيٌّ : لَيْسَ لَكَ مِنْ صَلاَتِكَ اْليَوْمَ إِلاَّ مَا لَغَوْتَ فَذَهَبَ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ وَ أَخْبَرَهُ بِالَّذِي قَالَ أُبَيٌّ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: صَدَقَ أُبَيٌّ

       Dari Ubay bin Ka’b radliyallahu anhu bahwasa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada hari Jum’at pernah membaca surat Tabaarok dalam keadaan berdiri. Lalu beliau mengingatkan kami akan hari-hari Allah. Abu Darda’ atau Abu Dzarr mencolekku seraya bertanya, “kapankah diturunkannya surat ini?, aku belum pernah mendengarnya kecuali sekarang ini”. Lalu Ka’b berisyarat kepadanya agar diam. Ketika mereka selesai (dari sholat) Abu Dzarr bertanya, “aku bertanya kepadamu, bilakah diturunkannya surat ini tetapi engkau tidak mau memberitahuku”. Ubay menjawab, “Tidak ada pada sholatmu ini melainkan engkau telah sia-sia”. Maka pergilah Abu Dzarr menemui Rosulullah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallamlalu menceritakannya kepada Beliau apa yang dikatakan oleh Ubay. Rosulullah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ubay benar”. [HR Ibnu Majah: 1111 dan Ibnu KHuzaimah: 1807. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah: 912 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 720].

Hadits di atas menerangkan tentang perbuatan Abu ad-Darda atau Abu Dzarr radliyallahu anhuma yang hendak bertanya tentang turunnya satu ayat kepada Ubay bin Ka’b radliyallahu anhu, tetapi waktu itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ubay radliyallahu anhu tidak menjawab pertanyaannya dan bahkan memberi isyarat kepadanya untuk diam. Setelah selesai sholat Ubay menerangkan bahwa Abu Dzarr telah sia-sia sholat jum’atnya lantaran pertanyaannya tersebut. Ketika Abu Dzarr mengkonfirmasi kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau membenarkan sikap dan penjelasan Ubay bin Ka’b tersebut. Ini cuma bentuk pertanyaan, bagaimana jika dalam bentuk candaan dan senda gurau di antara mereka?.

Hadits ini juga menerangkan tentang kepemahaman para shahabat radliyallahu anhum akan agama mereka sehingga mereka dapat menerapkannya dan saling menashihati di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Berbeda dengan masa sekarang, yang membiarkan saja temannya yang berisik tanpa aturan dan menganggap hal yang biasa dan lumrah.

Dalil berikut ini Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menerangkan bahwasanya barangsiapa yang disibukkan dengan mempermainkan batu kerikil dengan tangannya maka jum’atannya juga akan sia-sia.

Termasuk di dalamnya dengan bentuk-bentuk perbuatan lainnya, misalnya memainkan biji-biji tasbih, membaca dan mengirimkan sms lewat HP, membaca tabloid atau buletin jum’at dan yang semisalnya.

عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى اْلجُمُعَةَ فَدَنَا وَ اسْتَمَعَ وَ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ اْلجُمُعَةِ وَ زِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ مَنْ مَسَّ اْلحَصَى فَقَدْ لَغَى

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa berwudlu lalu membaguskan wudlunya kemudian mendatangi jum’at lalu mendekat (kepada imam), menyimak dan diam maka diampunilah (dosa)nya antaranya dan antara jum’at (berikutnya) serta ada tambahan tiga hari. Barangsiapa yang menyentuh (memain-mainkan) kerikil maka sungguh-sungguh telah sia-sia”. [HR at-Turmudziy: 498, Muslim: 857 (27), Abu Dawud: 1050 dan Ibnu Majah: 1090. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 412, Shahih Sunan Abu Dawud: 927, Shahiih Sunan Ibnu Majah: 894, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6179, Misykah al-Mashobih: 1383 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 683].

Berkata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, “Dalam hadits ini terdapat larangan dari mempermainkan batu-batu kerikil dan bentuk-bentuk permainan lainnya disaat imam sedang berkhutbah. Hadits tersebut juga memberikan isyarat keharusan menghadirkan hati dan anggota tubuh dikala mendengarkan khutbah”. [Syar-h Shahih Muslim: VI/ 147].

Oleh sebab itu, untuk meminimalkan sikap-sikap buruk itu hendaknya kita berusaha untuk selalu memperhatikan posisi imam atau khotib dan menyimak setiap nashihat yang disampaikannya.

Para shahabat radliyallahu anhum telah mencontohkan, bahwa mereka apabila telah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berada di atas mimbar segera mereka menghadap kepadanya dengan wajah-wajah mereka.

Perilaku ini adalah sunnah yang telah ditinggalkan oleh banyak kaum muslimin, namun dahulu telah dikerjakan oleh para shahabat radliyallahu anhum. Karena mereka adalah orang-orang yang paling mengerti dan paham akan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan paling ambisi di dalam penerapannya. Silahkan merujuk kepada dalil-dalil berikut ini,

عن مطيع الغزال عن أبيه عن جده كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا صَعَدَ اْلمِـــنْبَرَ أَقْبَلْنَا بِوُجُوْهِنَا إِلَيْهِ

Dari Muthi al-Ghozal dari ayahnya dari kakeknya, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila telah naik mimbar maka kami menghadap kepadanya dengan wajah-wajah kami”. [Atsar riwayat al-Bukhoriy di dalam at-Tarikh al-Kabir. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2080].

عن عدي بن ثابت عن أبيه قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا قَامَ عَلَى اْلمِــنْبَرِ اسْتَقْبَلَهُ أَصْحَابُهُ بِوُجُوْهِهِمْ

Dari Adi bin Tsabit radliyallahu anhu, dari ayahnya berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila telah berdiri di atas mimbar maka para shahabatnya menghadap kepadanya dengan wajah-wajah mereka”. [Atsar riwayat Ibnu Majah: 1136. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibnu Majah: 932].

عن عبد الله بن مسعود قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا اسْتَوَى عَلَى اْلمِـــنْبَرِ اسْتَقْبَلنَاهُ بِوُجُوْهِنَا

Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila telah berdiri di atas mimbar, kami menghadap kepadanya dengan wajah-wajah kami”. [HR at-Turmudziy: 509, Abu Ya’la, dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 420, Misykah al-Mashobih: 1414 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 114-115].

Dari Yahya bin Abu Sa’id al-Anshoriy berkata, “Merupakan sunnah, apabila imam telah duduk di atas mimbar pada hari jum’at adalah orang-orang menghadap kepadanya dengan wajah-wajah mereka semuanya”.

Dari Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar menyelesaikan doanya pada hari jum’at sebelum keluarnya imam (untuk khutbah). Ketika imam telah keluar maka belumlah duduk imam itu sehingga ia telah menghadap kepadanya”. [HR al-Baihaqiy. Atsar ini sanadnya jayyid/ baik. Lihat silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 115].

      عن عبد الله بن عمرو عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يَحْضُرُ اْلجُمُعَةَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ: رَجُلٌ حَضَرَهَا يَلْغُوْ وَ هُوَ حَظُّهُ مِنْهَا وَ رَجُلٌ حَضَرَهَا يَدْعُوْ فَهُوَ رَجُلٌ دَعَا اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ إِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ وَ إِنْ شَاءَ مَنَعَهُ وَ رَجُلٌ حَضَرَهَا بِإِنْصَاتٍ وَ سُكُوْتٍ وَ لَمْ يَتَخَطَّ رَقَبَةَ مُسْلِمٍ وَ لَمْ يُؤْذِ أَحَدًا فَهِيَ كَفَّارَةٌ إِلَى اْلجُمُعَةِ الَّتِى تَلِيْهَا وَ زِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَ ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ: (مَنْ جَاءَ بِاْلحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا- الأنعام: 160)

       Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang menghadiri jum’at, yaitu 1). Orang yang menghadirinya dengan sia-sia yaitu ia hanyalah bahagian darinya. 2). Orang yang menghadirinya untuk berdoa, yaitu seseorang yang berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, jika Allah menghendaki maka Ia akan mengabulkannya dan jika mau maka Allah akan menahan (pemberian-Nya). 3). Dan orang yang menghadirinya dengan diam dan tenang, tidak melangkahi pundak seorang muslim dan tidak menyakiti seseorangpun, maka jum’atnya itu menjadi kaffarat (penghapus dosa) sampai kepada jum’at berikutnya ditambah tiga hari. Itulah yang difirmankan Allah Azza wa Jalla (Barangsiapa yang datang dengan membawa satu kebaikan maka ia akan memperoleh sepuluh kali lipatnya. QS al-An’am/6: 160). [HR Abu Dawud: 1113 dan Ahmad: II/ 181, 214. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 984, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8045, Misykah al-Mashobih: 1396 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 725].

Jadi di dalam ibadah pekanan ini, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan tentang tiga kelompok orang yang menghadiri sholat jum’at yakni;

1). Orang yang mendatangi jum’at dalam keadaan sia-sia dan ia hanya merupakan bahagian darinya saja.
2). Orang yang menghadiri jum’at untuk berdoa. Ia mengetahui dan meyakini bahwa pada hari jum’at itu ada waktu-waktu yang ketika seorang hamba berdoa ia akan dikabulkan. Maka jika Allah mau, Ia akan mengabulkannya dan jiika mau maka Allah akan mencegah (pemberian)nya.
3). Orang yang mendatangi jum’at dalam keadaan diam dan tenang, tidak melangkahi pundak muslim dan tidak menyakiti seseorangpun. Maka jum’atannya itu menjadi kaffarat (penghapus dosa) dari jum’at tersebut sampai jum’at berikutnya dan ada tambahan tiga hari.

Bercermin kepada ketiga golongan di atas, tentu kita berharap agar jum’atan kita itu menjadi penghapus dosa bagi kita.

Namun banyak dijumpai dalih dari orang-orang yang tidur, asik mengobrol dan disibukkan dengan membaca buletin itu karena imam atau khotibnya membosankan, khutbahnya lama dan suaranya pelan seakan berbicara untuk dirinya sendiri.

Maka hendaknya para imam dan khotib juga sebaiknya melakukan introspeksi diri untuk memperbaikinya. Apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan setiap orang yang hendak berkhutbah jum’at untuk memendekkan khutbah dan memanjangkan sholatnya. Janganlah ia melama-lamakan khutbahnya hanya karena ingin menampilkan kepiawaiannya dalam beretorika tanpa kendali, sehingga tak jarang dijumpai sholatnya seseorang di antara mereka itu hanya sepersepuluh dari khutbahnya. Dan retorika itu terkadang merupakan sihir yang menyihir para hadirin, sehingga sebahagian mereka menjadi terpana dengan cara penyampaiannya bukan dengan isi materinya.

Simaklah beberapa dalil di bawah ini,

   عن عمار بن ياسر قَالَ: إِنِّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَ قِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطَيْلُوا الصَّلاَةَ وَ اقْصُرُوْا اْلخُطْبَةَ وَ إِنَّ مِنَ اْلبَيَانِ سِحْرًا

       Dari Ammar bin Yasir radliyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya panjang/ lamanya sholat seseorang dan pendeknya khutbahnya itu merupakan tanda-tanda kefakihannya (di dalam agama). Maka panjangkanlah sholat dan pendekkanlah khutbah. Sesungguhnya sebahagian dari ilmu retorika itu adalah sihir”. [HR muslim: 869, ad-Darimiy: I/ 365, Ahmad: IV/ 263. Al-Hakim: 5736 dan al-Baihaqiy: 4988. 4989. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2100 dan Irwa’ al-Ghalil: 618].

    عن عمار بن ياسر قَالَ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِإِقْصَارِ اْلخُطَبِ

    Dari Ammar bim Yasir radliyallahu anhu berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untukmemendekkan khutbah”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 1106. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 978 dan Irwa’ al-Ghalil: III/ 79].

Di dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abu Rasyid berkata, Ammar pernah berkhutbah kepada kami namun ia meringkas khutbahnya. Lalu berkata seseorang kepadanya, “Sungguh-sungguh engkau telah berkata dengan suatu perkataan yang menyembuhkan jikasaja engkau memanjangkannya”. Ammar menjawab, “Sesungguhnya kami telah dilarang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari memanjangkan khutbah”. [Irwa’ al-Ghalil: III/ 79].

    عن جابر بن سمرة السوائي قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لاَ يُطِيْلُ اْلمــَــوْعِظَةَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ إِنَّمَا هُنَّ كَلِمَاتٌ يَسِيْرَاتٌ

Dari Jabir bin Samurah as-Suwa’iy berkata, “Rosulullah saw tidak pernah memanjangkan nashihat pada hari jum’at. Ucapan beliau adalah kalimat-kalimat yang ringan”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 1107. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 979].

Di lain dalil Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam suka mengeraskan suara dalam khutbahnya sehingga setiap orang dapat mendengarnya dengan jelas dan dapat menghilangkan kantuk dan keinginan untuk tidur. Beliau berkhutbah dengan lantang, memerah kedua matanya, meninggi suaranya dan nampak sangat marah seakan-akan Beliau adalah seorang komandan perang yang sedang mengobarkan semangat kepada pasukannya.

      عن جابر بن عبد الله قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَ عَلاَ صَوْتُهُ وَ اشْتَدَّ غَضَبُهُ  حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ

       Dari Jabir bin Abdullah ra berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila berkhutbah, kedua matanya memerah, keras/ tinggi suaranya dan nampak sangat marah seakan-akan ia seorang komandan perang”. [HR Muslim: 867, an-Nasa’iy: I/ 234, Ahmad: III/ 319, 371 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 410, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4711 dan Irwa’ al-Ghalil: 608, 611].

Wahai saudara-saudara muslimku, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita sebagai umatnya. Apabila kita hendak menghadiri sholat jum’at maka janganlah kita tidur dan terkantuk-kantuk. Niatkan dengan kuat untuk menghadiri jum’atan dengan ikhlas sampai selesai ditunaikan. Berpindahlah tempat duduk jika kita diserang rasa kantuk yang sangat kuat.

Hendaknya kita diam ketika imam/ khatib naik ke atas mimbar untuk berkhutbah, dan disyariatkan bagi kita sebagai umat Islam untuk selalu menghadap dan melihat imam meskipun akhirnya duduk kita agak miring. Kita tidak boleh berbicara sepatah katapun dan mengatakan ucapan “diam” kepada orang lain yang sedang berbicara/ bertanya-pun dilarang. Karena jika kita berbuat demikian maka ibadah jum’at kita sia-sia dan gugur/ batal pahalanya. Apalagi jika kita berbicara dengan membuat kegaduhan dan berisik, bersenda gurau, tertawa seenaknya dan mengganggu kenyamanan dan kekhusyuan orang lain.

Jangan pula kita disibukkan dengan aneka kegiatan yang dilarang semisal, mempermainkan batu kerikil, biji-biji tasbih, membaca dan menulis sms, membaca buletin jum’at dan lain sebagainya. Jika kita lakukan, maka jum’atan kitapun akan sia-sia tiada berpahala.

Bagi para dai, khotib, ustadz, imam ataupun yang sejenisnya hendaknya kita memendekkan khutbah kita dan memanjangkan sholat kita, sebab hal itu adalah tanda-tanda kefakihan/ pahamnya seseorang terhadap agamanya. Hendaknya kita membuat para jamaah sholat jum’at untuk dapat mengikuti nashihat atau khutbah itu dengan baik sampai selesai. Dan yang paling penting karena kita telah mengikuti salah satu dari sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yaitu memendekkan khutbah dan memanjangkan sholat.

Wallahu a’lamu bish showab.