GHIBAH YANG DIBOLEHKAN [1]
بسم الله الرحمن الرحيم
Setelah dijelaskan tentang masalah ghibah atau gunjing ini dan
hal-hal yang berkaitan tentangnya, di dalam bab ini akan dijelaskan akan
pengecualian di dalam ghibah, yaitu tentang bolehnya mengghibah dengan
berbagai syarat yang telah ditentukan. Pada dasarnya ghibah itu dilarang
dan diharamkan sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab-bab terdahulu,
namun ketika dihadapkan pada suatu perkara yang tidak boleh tidak
mengharuskan untuk meng-ghibah maka diperbolehkan ghibah itu dengan
tidak melampaui batas. Jadi perkara yang mubah ini harus memiliki
batasan dan ukuran serta diiringi dengan niat baik tanpa bertujuan untuk
meluapkan amarah, membalas dendam dan tidak pula bermaksud untuk
mengoyak dan merusak kehormatan seseorang. Harus diingat, Allah
Subhanahu wa ta’ala tahu akan khianatnya mata dan apa yang dirahasiakan
oleh hati.
يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَ مَا تُخْفِى الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. [QS. Ghafir/ 40: 19].
Munculnya pengecualian ghibah ini disebabkan lantaran tidak akan
mungkin terwujud suatu kemashlahatan dan tertolaknya suatu kerusakan
melainkan harus dengan mengerjakan ghibah. Namun hendaklah
seseorang itu mesti berhati-hati terhadap pembolehan ghibah ini,
janganlah setan memanfaatkan celah ini dengan memudah-mudahkan diri di
dalam mengerjakannya dan mengaburkan maksud dan tujuan ghibah sehingga
hatinya senantiasa terpancing untuk menggunjing dan lisannya selalu
basah dengan ghibah.
Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah di dalam kitab al-Adz-kar,
الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيْبَةٍ فىِ سِتَّةٍ
مُتَظَلِّمٍ مُعَرَّفٍ وَ مُحَذَّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَ مُسْتَفْتٍ
وَ مَنْ طَلَبَ اْلإِعَانَةَ فىِ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Celaan bukanlah ghibah pada pada enam perkara
Pengadu kezhaliman, pengidentifikasi, pemberi peringatan
Penampak kefasikan, peminta fatwa
Dan pencari pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran.
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Ketahuilah bahwasanya ghibah itu diperbolehkan untuk tujuan benar
secara syar’iy. Sebab tidak akan mungkin tercapai tujuan tersebut
melainkan dengan ghibah, hal tersebut dengan enam sebab, yaitu, [2]
1). Mengadukan kezhaliman.
Dibolehkan bagi orang yang dizholimi untuk mengadu kepada penguasa,
hakim atau satu pihak yang mempunyai kekuasaan atau pengaruh kuat untuk
menghentikan kezholiman tersebut dan bahkan menghukum orang yang berbuat
zholim tersebut.
Misalnya ucapan, “si Fulan telah berbuat zholim kepadaku, si Fulan
mengambil hartaku, si Fulan telah menggangguku dan keluargaku dan
selainnya”.
لَا يُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ اْلقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ
Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. [QS. An-Nisa’/4: 148].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah
Subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan bahwasanya Ia tidak menyukai
keterus-terangan dalam keburukan (ucapan) dan menetapkan hal ini. Yaitu
para hamba-Nya yang beriman itu mesti membenci apa yang dibenci oleh
Rabb mereka dan menyukai apa yang disukai oleh-Nya. Ini adalah merupakan
syarat kewalian yakni mesti menyepakati tidak menyelisihi. Tatkala
Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan keterus-terangan dalam keburukan
(ucapan) dengan ungkapan yang paling fasih dan rangkaian kalimat yang
paling indah, Ia mengecualikan orang yang dizholimi. Orang yang
dizholimi tersebut dibolehkan untuk berterus-terang kepada hakim di
dalam mengadukan perbuatan zholim (yang menimpanya) agar kezholiman itu
hilang darinya”. [3]
Ucapan buruk apakah berupa pengaduan, cacian, celaan, ghibah dan
semisalnya adalah sangat tidak disukai oleh Allah Azza wa Jalla apalagi
jika diucapkan dengan terus terang. Namun jika keluar dari mulut orang
yang dizholimi selama tidak berlebihan atau melampaui batas maka hal
tersebut diperbolehkan. Sebagaimana di dalam dalil berikut ini,
عن إياس بن عبد الله بن أبى ذباب قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى
الله عليه و سلم: لاَ تَضْرِبَنَّ إِمَاءَ اللهِ فَجَاءَ عُمَرُ إِلىَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قَدْ ذَئِرَ
النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَأَمَرَ بِضَرْبِهِنَّ فَضُرِبْنَ
فَطَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم طَائِفُ نِسَاءٍ كَثِيْرٌ
فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: لَقَدْ طَافَ اللَّيْلَةَ بِآلِ مُحَمَّدٍ
سَبْعُوْنَ امْرَأَةً كُلُّ امْرَأَةٍ تَشْتَكِى زَوْجَهَا فَلاَ
تَجِدُوْنَ أُوْلَئِكَ خِيَارَكُمْ
Dari Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab radliyallahu anhu berkata,
Bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian memukuli
para budak wanita milik Allah (yakni; para istri)”. Lalu Umar datang
menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai
Rosulullah, sungguh-sungguh para istri telah berani terhadap
suami-suaminya”. Maka Nabi memerintahkan untuk memukul mereka (di dalam
satu riwayat, lalu Nabi memberi keringanan untuk memukul mereka), lalu
merekapun dipukul. Maka banyak wanita mendatangi keluarga nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam di malam hari. Ketika pagi, beliau
bersabda, “Sungguh-sungguh semalam telah mendatangi keluarga Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam sebanyak tujuh puluh wanita, masing-masing
mereka mengadukan tentang (perilaku) suaminya. Maka kalian tidaklah
menjumpai mereka itu yang terbaik di antara kalian. (Maksudnya yang
tidak memukuli istrinya)”. [HR Ibnu Majah: 1985, Abu Dawud: 2146 dan
ad-Darimiy: II/ 146. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [4]
Ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum pria
dari umat ini untuk memukul istri-istrinya, maka timbullah keberanian
para istri untuk berlaku nusyuz (durhaka) kepada suami mereka, karena
mereka berkeyakinan tidak akan dipukul olehnya. Sehingga Umar bin
al-Khaththab radliyallahu anhu mengadukan perilaku para istri kepada
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliaupun memberi
keringanan (rukhshah) kepada para suami untuk memukul istri mereka jika
melakukan nusyuz. Namun akhirnya para istripun mengadukan kembali
perilaku suami mereka yang memukuli mereka. Sehingga beliau mengatakan
bahwa tidak ada seseorangpun di antara mereka yang terbaik, yakni yang
tidak memukul istrinya.
Jadi Umar radliyallahu anhu dan para wanita mendatangi Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang yang memiliki kuasa dan
pengaruh untuk mengadu dan sebahagiannya meng-ghibbah sebahagian lainnya
agar beliau dapat merubah atau mencegah terjadinya ketidak-nyamanan
dalam kehidupan berumah tangga
عن عائشة قَالَتْ: دَخَلَتْ عَلَيَّ خُوَيْلَةُ بِنْتُ
حَكِيْمٍ بْنُ أُمَيَّةَ بْنُ حَارِثَةَ بْنُ اْلأَوْقَصِ السُّلَّمِيَّةُ
وَ كَانَتْ عِنْدَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ قَالَتْ: فَرَأَى رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم بَذَاذَةَ هَيْئَتِهَا فَقَالَ لىِ: يَا
عَائِشَةُ مَا أَبَذُّ هَيْئَةِ خُوَيْلَةَ قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَةٌ لَهَا زَوْجٌ يَصُوْمُ النَّهَارَ وَ يَقُوْمُ
اللَّيْلَ فَهِيَ كَمَنْ لاَ زَوْجُ لَهَا فَتَرَكَتْ نَفْسَهَا وَ
أَضَاعَتْهَا قَالَتْ: فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلىَ
عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ فَجَاءَهُ فَقاَلَ: يَا عُثْمَانُ أَرَغْبَةٌ
عَنْ سُنَّتىِ ؟ فَقاَلَ: لاَ وَ اللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ لَكِنْ
سُنَّتَكَ أَطْلُبُ قَالَ: فَإِنىِّ أَنَامُ وَ أُصَلِّى وَ أَصُوْمُ وَ
أُفْطِرُ وَ أَنْكَحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ
لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَ إِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَ إِنَّ
لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَصُمْ وَ أَفْطِرْ وَ صَلِّ وَ نَمْ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, Khuwailah binti Hakim bin
Umayyah bin Haritsah bin al-Awqash as-Sulamiyyah pernah masuk menemuiku
dan ia adalah istrinya Utsman bin Mazh’un radliyallahu anhu. Berkata
(Aisyah), “Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihat lusuhnya
keadaannya”. Lalu beliau bertanya kepadaku, “Wahai Aisyah, alangkah
lusuhnya keadaan Khuwailah itu!”. Aisyah berkata, Lalu aku berkata
kepadanya, “Wahai Rosulullah, bagaimana keadaan seorang wanita yang
mempunyai suami yang shaum di siang hari dan sholat di malam hari, maka
ia seperti wanita yang tidak bersuami. [5]
Ia akhirnya meninggalkan dirinya dan mengabaikannya”. Aisyah berkata,
“Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seseorang) untuk
memanggil Utsman bin Mazh’un”. Lalu iapun datang. Beliau bersabda,
“Wahai Utsman apakah engkau benci kepada sunnahku?”. Ia menjawab,
“Tidak, demi Allah wahai Rosulullah, bahkan aku senantiasa mencari
sunnahmu”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidur dan akupun sholat
(malam), aku shaum dan akupun berbuka dan aku juga menikahi para wanita.
Bertakwalah engkau kepada Allah wahai Utsman. Sesungguhnya istrimu itu
mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu dan dirimupun
mempunyai hak atasmu. Maka shaumlah dan berbukalah serta sholatlah dan
tidurlah”. [HR Ahmad: VI/ 268 dan Abu Dawud: 1369. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih]. [6]
Dalam riwayat Ibnu Hibban ada tambahan, “Wahai Utsman sesungguhnya
kerahiban itu tidak ditetapkan untuk kita, maka apakah engkau telah
menjadikanku sebagai panutan (teladan)?. Demi Allah sesungguhnya aku
adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang
yang paling memelihara batas-batas-Nya”.
Dan ada tambahan lagi di akhirnya, “Lalu wanita itu (istrinya Utsman
bin Mazh’un) datang kepada mereka sesudah itu laksana pengantin baru”.
Ditanyakan kepadanya, “Apakah yang telah terjadi?”. Ia menjawab,
“Sekarang aku telah mendapatkan apa yang telah didapatkan oleh manusia
(atau wanita lainnya)”. [7]
Kisah hadits di atas juga menerangkan tentang pengaduan Khuwailah
kepada Aisyah radliyallahu anha dan Aisyah melanjutkannya kepada
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Di dalam pengaduan itu jelas
perkataan Aisyah yang mensifatkan suaminya Khuwailah yaitu Utsman bin
Mazh’un radliyallau anhu yang tidak menggauli istrinya lantaran
disibukkan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu
akhirnya beliau memanggil Utsman dan menasihatinya dengan santun dan
penuh ketegasan agar Utsman merubah dan memperbaiki hubungannya dengan
istrinya. Beliau juga mengingatkan kepadanya bahwa pada istrinya itu ada
hak, dan diantara hak istri adalah digauli oleh suaminya. Maka akhirnya
Khuwailahpun berbahagia sebab ia telah mendapatkan haknya sebagai
seorang istri sebagaimana kaum wanita lain telah mendapatkannya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِنَّ لىِ جَارًا يُؤْذِيْنىِ فَقَالَ: انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ
مَتَاعَكَ إِلىَ الطَّرِيْقِ فَانْطَلَقَ فَأَخْرَجَ مَتَاعَهُ فَاجْتَمَعَ
النَّاسُ عَلَيْهِ فَقَالُوْا: مَا شَأْنُكَ؟ قَالَ: لىِ جَارٌ يُؤْذِينىِ
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ:
انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلىَ الطَّرِيْقِ فَجَعَلُوْا
يَقُوْلُوْنَ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ اللَّهُمَّ أَخْزِهِ فَبَلَغَهُ
فَأَتَاهُ فَقَالَ: ارْجِعْ إِلىَ مَنْزِلِكَ فَوَاللهِ لاَ أُوْذِيْكَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, seorang lelaki pernah
berkata, “wahai Rosulullah! Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga
yang suka menggangguku”. Beliau bersabda, “Pergilah lalu keluarkan
barang-barangmu ke jalan”. Lalu ia pun pulang dan mengeluarkan
barang-barangnya ke jalan. Orang-orangpun berkumpul mengerumuninya.
Mereka bertanya, “Apa maumu?”. Ia menjawab, “Aku mempunyai tetangga yang
suka menggangguku. Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Pergilah lalu
keluarkanlah barang-barangmu ke jalan”. Pada akhirnya, orang-orang
mengatakan, “Ya Allah kutuklah dia, ya Allah hinakanlah dia”. Sampailah
hal tersebut kepada tetangganya, lalu ia mendatanginya, kemudian
berkata, “Kembalilah engkau ke rumahmu, demi Allah aku tidak akan lagi
mengganggumu”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 124, 125 dan
Abu Dawud: 5153. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [8]
Begitu pula di dalam hadits di atas, ada seseorang yang suka diganggu
dan disakiti oleh tetangganya. Ia mendatangi Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dan mengadukan perbuatan zholim tetangganya itu kepada
beliau. Lalu beliaupun memberikan solusi untuk orang tersebut agar
mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam rumahnya dan diletakkan di
jalan. Maka iapun mematuhi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sehingga
orang-orangpun berkumpul mengerumuninya dan menanyakan kepadanya tentang
penyebabnya. Lalu iapun menceritakannya kepada mereka tentang perkara
tersebut, sehingga akhirnya mereka mencela orang yang suka mengganggu
dan menyakitinya tersebut. Kemudian akhirnya si tetangganyapun datang
dan berjanji tidak akan pernah lagi mengganggunya.
Dari beberapa kisah hadits di atas, datangnya sebahagian para
shahabat radliyallahu anhum kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam untuk meminta bantuan kepada beliau akan persoalan yang mereka
alami dengan orang lain, apakah itu dengan suami, istri atau tetangga
mereka. Ketika mereka mengadukan perkara tersebut maka tidak boleh tidak
mereka akan menyebutkan beberapa keburukan orang yang mereka adukan
tersebut, maka hal ini termasuk ghibah yang dibolehkan. Sebab tidak akan
timbul mashlahat atau terhalangnya suatu mafsadat di dalam
perkara-perkara seperti itu melainkan dengan cara mengghibah.
2). Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran
Hal kedua yang dibolehkan untuk melakukan ghibah adalah dalam rangka
meminta bantuan kepada seseorang agar menegur atau merubah kemungkaran
yang dilakukan oleh seseorang yang lain.
Misalnya ucapan, “Si fulan melakukan perbuatan ini atau mengucapkan
perkataan itu dari yang dilarang oleh agama maka tolong tegurlah ia dari
perbuatan atau perkataannya tersebut”.
Atau si Fulanah tidak berbuat ini dan tidak mengerjakan itu dari yang
disyariatkan maka nasihatilah ia agar mau mengamalkannya, dan
selainnya. Namun yang perlu diingat bahwa tujuannya adalah untuk
menghilangkan kemungkaran atau menghidupkan yang ma’ruf. Jika niatnya
tidak demikian maka hukumnya kembali menjadi haram.
Amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah dijelaskan di dalam
beberapa bab terdahulu merupakan salah satu sendi ajaran Islam, yang
Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan keutamaan agama ini di atas
agama-agama lainnya dengannya. Tiada suatu keutamaan dan kelebihan dalam
satu agama melainkan wajib dibangun atasnya. Sebab dengan beramar
ma’ruf nahi munkar ini akan diperoleh kebaikan dunia dan akhirat.
Namun ketika seorang muslim sedang berada di hadapan seseorang atau
suatu lingkungan yang sedang meninggalkan perbuatan ma’ruf atau
mengerjakan perbuatan munkar menurut syar’iy. Sedangkan ia belum mampu
untuk mengingatkan atau menegurnya lantaran keterbatasan ilmu,
keberanian yang belum terpacu atau ingin berbicara tapi lidah terasa
kelu maka dikala itulah ia membutuhkan bantuan seseorang yang telah
memenuhi syarat itu untuk melakukannya. Lalu iapun mengadukan kepada
orang yang diharapkan dapat merubah kebiasaan buruknya agar menjadi
baik. Maka tidaklah ia dapat mengadukan dan melaporkan perilaku orang
tersebut sehingga dipahami oleh orang yang diyakini dapat membantunya
itu kecuali dengan cara mengghibahi orang tersebut. Sebagaimana di dalam
hadits berikut ini,
عن أبى سعيد قال: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلىَ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم وَ نَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ
زَوْجِى صَفْوَانَ بْنِ اْلمـُعَطَّلِ يَضْرِبُنىِ إِذَا صَلَّيْتُ وَ
يُفْطِرُنىِ إِذَا صُمْتُ وَ لاَ يُصَلِّى صَلاَةَ اْلفَجْرِ حَتىَّ
تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ: وَ صَفْوَانُ عِنْدَهُ قَالَ: فَسَأَلَهُ عَمَّا
قَالَتْ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا قَوْلهُاَ: يَضْرِبُنىِ إِذَا
صَلَّيْتُ فَإِنهَّاَ تَقْرَأُ بِسُوْرَتَيْنِ وَ قَدْ نَهَيْتُهَا قَالَ:
فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ سُوْرَةٌ وَاحِدَةٌ لَكَفَتِ النَّاسَ وَ أَمَّا
قَوْلهُاَ: يُفْطِرُنىِ فَإِنهَّاَ تَنْطَلِقُ فَتَصُوْمُ وَ أَنَا رَجُلٌ
شَابٌّ فَلاَ أَصْبِرُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ
تَصُوْمُ امْرَأَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَ أَمَّا قَوْلهُاَ: إِنىِّ
لاَ أُصَلِّى حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ
عُرِفَ لَنَا ذَاكَ لاَ نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ
قَالَ: فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, “Seorang wanita
pernah datang menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan kami
berada di sisinya”. Ia berkata, “Wahai Rosulullah sesungguhnya suamiku
Shofwan bin al-Mu’aththol memukuliku apabila aku sholat, menyuruhku
berbuka jika aku shaum dan ia tidak sholat shubuh kecuali telah terbit
matahari”. Berkata Abu Sa’id, “Sedangkan Sofwan berada di sisinya”. Lalu
Beliau bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan istrinya. Sofwan
berkata, “Wahai Rosulullah, adapun ucapannya, “ia memukuliku apabila aku
sholat”. Sesungguhnya ia membaca dua surat padahal aku telah
melarangnya”. Berkata Abu Sa’id, bersabda Rosulullah, “Seandainya satu
surat saja niscaya akan mencukupi manusia”. Adapun ucapannya,
“Menyuruhku berbuka jika aku shaum. Istriku suka shaum sedangkan aku
seorang pemuda maka tentu aku tidak akan sabar”. Bersabda Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak boleh seorang wanita mengerjakan
shaum (sunnah) melainkan dengan seidzin suaminya”. Adapun ucapannya,
“Aku tidak sholat kecuali telah terbit matahari. Kami adalah tulang
punggung keluarga, sungguh-sungguh hal tersebut telah diketahui. Kami
tidak dapat bangun tidur hingga terbit matahari”. Beliau bersabda,
“Apabila engkau bangun maka sholatlah”. [HR Abu Dawud: 2459, Ahmad: III/
80, al-Hakim: 1636 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih]. [9]
Dalil tentang pengaduan istrinya Shofwan di atas juga terkandung
ghibah yang dilakukan seorang istri akan suaminya yang memukulinya
ketika sholat, menyuruhnya berbuka tatkala melakukan shaum sunnah dan
suaminya tersebut tidaklah mengerjakan sholat shubuh melainkan setelah
matahari terbit. Sang istri melakukan hal tersebut lantaran ingin
meminta bantuan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar suaminya
merubah perilakunya yang dianggapnya mungkar.
Namun Beliau Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia yang paling
adil dan bijak, ia tidak serta merta mengadili dan memutuskan perkara
tersebut sebelum mengetahui peristiwa itu dengan pasti. Maka setelah
mengerti dengan benar duduk persoalan tersebut, maka beliau memutuskan
bahwa jika wanita itu hendak menunaikan sholat malam, maka cukup membaca
satu surat saja. Jika hendak shaum sunnah hendaklah dengan seidzin
suaminya ketika suaminya berada di sisinya. Dan Shofwan radliyallahu
anhu diperintah olehnya untuk menunaikan sholat begitu terbangun dari
tidur.
Sebab Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak dapat mendudukkan
perkara itu dengan adil dan benar dan menasihati Shofwan jika tidak
mengetahui sisi kekurangannya menurut versi istrinya. Begitu pula
Shofwan menerangkan penyebab kenapa ia melakukan semuanya itu kepada
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menyebutkan sisi
kekurangan istrinya menurut versinya. Maka dengan hal itu putuslah
ketetapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan adil dan tepat.
Mencontoh kisah hadits di atas, sepatutnya setiap muslim siapapun ia,
hendaknya ketika ia belum mampu beramar ma’ruf nahi munkar karena
beberapa sebab hendaklah ia meminta bantuan kepada seseorang yang paling
pantas untuk melakukannya. Orang itu harus memahami pokok-pokok perkara
agama beserta dalilnya, arif lagi adil di dalam memutuskan perkara
tanpa melibatkan unsur perasaan dan emosinya serta mampu menjaga rahasia
aib dan kekurangan dari orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa
tersebut.
3). Meminta fatwa
Pembolehan ghibah berikutnya adalah dalam rangka meminta fatwa akan
sesuatu yang terjadi pada dirinya atau orang lain kepada seorang mufti.
Misalnya, “Si Fulan telah berbuat zholim kepadaku, ayahku telah
berbuat tidak adil kepadaku, kakakku telah berbuat aniaya kepadaku,
suamiku telah berbuat sewenang-wenang kepadaku, atau istriku tidak
melayaniku dengan baik atau selainnya. Maka bagaimana hukumnya?.
Bagaimana jalan keluarnya agar aku dapat keluar dari masalah ini dan apa
yang harus kuperbuat?. Salahkah aku jika berbuat begini atau begitu?.
Dan seterusnya”. Namun yang paling elok dan pantas jika ia tidak
mengidentifikasi orang tertentu di dalam pengaduannya. Ia harus
berhati-hati agar tidak mengoyak dan merusak kehormatan orang tertentu
di dalamnya.
Misalnya, “Bagaimana pendapatmu wahai mufti tentang seseorang yang
telah melakukan ini atau itu kepada seseorang yang lain!. Apa yang
harus ia lakukan jika ia diperlakukan seperti itu?. Salahkah ia jika
menyikapinya dengan cara seperti ini? Dan seterusnya”.
Di dalam perkara ini, maka mau tidak mau seseorang harus mengghibah
orang lain agar fatwa itu diputuskan dengan benar lagi adil. Hal ini
berdasarkan kepada dalil hadits berikut ini,
عن عائشة قالت: قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبيِ سُفْيَانَ
لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ
وَ لَيْسَ يُعْطِيْنيِ مَا يَكْفِيْنيِ وَ وَلَدِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ
مِنْهُ وَ هُوَ لاَ يَعْلَمُ قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ
بِاْلمـَعْرُوْفِ
Dari Aisyah berkata, Hindun istrinya Abu Sufyan berkata kepada Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang
pria yang kikir, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupiku dan
anakku, kecuali jika aku mengambil darinya dalam keadaan ia tidak tahu”.
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah olehmu apa
yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. [HR al-Bukhoriy:
5359, 5364, Muslim: 1714, Abu Dawud: 3533, an-Nasa’iy: VIII/ 246-247,
Ibnu Majah: 2293, ad-Darimiy: II/ 159 dan Ahmad: VI/ 39, 50, 206.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bolehnya
menceritakan orang dengan sesuatu yang tidak ia sukai apabila bertujuan
meminta fatwa dan yang semisal itu. [11]
Berdalil kepada hadits di atas, diperbolehkan seorang muslim
menceritakan kekurangan atau sesuatu yang tidak disukainya dari
seseorang lain kepada seseorang yang menguasai ilmu-ilmu agama yang
sesuai syar’iy dengan tujuan meminta fatwa atau hukumnya.
Hindun radliyallahu anha datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam lalu menceritakan keperluannya kepada beliau. Bahwa suaminya
yaitu Abu Sufyan radliyallahu anhu adalah seorang suami kikir yang tidak
memberikan kecukupan nafkah untuk dirinya dan anaknya. Kemudian ia
meminta fatwa kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang
keinginannya untuk mengambil sebahagian harta suaminya tanpa diketahui
olehnya sekedar keperluannya. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam menyuruhnya untuk mengambilnya sekedar apa yang dapat
mencukupinya dan anaknya dengan cara yang ma’ruf.
4). Menyuruh kaum muslimin waspada dari kejahatannya.
Di antara ghibah yang dibolehkan adalah jika bertujuan untuk
memberitahukan atau menasihati seseorang akan keburukan atau kejahatan
seorang yang lain agar berhati-hati darinya.
عن فاطمة بنت قيس قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه
و سلم فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا اْلجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانىِ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصَعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ وَ أَمَّا أَبُوْ اْلجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ
اْلعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ (و فى رواية: فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ)
Dari Fathimah binti Qois berkata, aku pernah mendatangi Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya Abu al-Jahm dan
Mu’awiyah meminangku”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Adapun Mu’awiyah sangat miskin tidak mempunyai harta. Adapun
Abu al-Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”.
(Di dalam satu riwayat: ia sering memukuli istri-istrinya). [HR Muslim:
1480. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [12]
Apabila nasihat untuk memperoleh kemashlahatan yang sifatnya khusus
bagi individu tertentu maka hal itu menjadi wajib hukumnya. Lalu
bagaimana halnya jika berkaitan dengan mashlahat umum dan terkait dengan
perkara agama, tentu lebih wajib lagi.
Sebagaimana hadits di atas, yakni ketika Fathimah binti Qois
radliyallahu anhadatang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
dan mengadukan bahwa dirinya telah dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu
al-Jahm dan ia belum memberikan jawaban dan pilihan kepada keduanya.
Sedangkan beliau Shallallahu alaihi wa sallam sangat mengenal keduanya,
lalu beliaupun menasihati Fathimah dengan menerangkan keadaan kedua
orang itu dengan menyebutkan kekurangan keduanya agar Fathimah ketika
memilih salah satu dari keduanya tidak menyesal dikemudian hari. Bahkan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menawarkan Usamah bin Zaid
radliyallahu anhuma kepada Fathimah untuk dijadikan suaminya, dan iapun
menerimanya.
عن زيد بن أرقم رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيْهِ شِدَّةٌ
فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبيٍّ ((لَا تُنفِقُوا عَلَى مَن عِندَ رَسُولِ
اللهِ حَتَّى يَنفَضُّوا)) وَ قَالَ:((لَئِن رَّجَعْنَا إِلَى
اْلمـــَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اَلأَذَلَّ)) فَأَتَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَأَرْسَلَ
إِلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبيٍّ فَاجْتَهَدَ يَمِيْنَهُ مَا فَعَلَ
فَقَالُوْا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَوَقَعَ
فىِ نَفْسِى مِمَّا قَالُوْهُ شِدَّةً حَتىَّ أَنْزَلَ اللهُ تَعَالىَ
تَصْدِيْقِى ((إِذَا جَاءَكَ اْلمـــُنَافِقُونَ)) ثُمَّ دَعَاهُمُ
النَّبيُّ صلى الله عليه و سلم لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَلَوَّوْا
رُؤُوْسَهُمْ
Dari Zaid bin Arqom radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar
bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu
perjalanan. Lalu di dalam perjalanan itu manusia tertimpa kesulitan”.
Abdullah bin Ubay berkata kepada kawan-kawannya, “((Janganlah kalian
berinfak kepada orang-orang yang berada di sisi Rosulullah sehingga
mereka bubar dari sisinya)). Dan juga berkata, ((Benar-benar jika kami
telah kembali ke kota Madinah, orang-orang yang kuat akan mengusir yang
lemah darinya))”. Berkata Zaid, “lalu aku mendatangi Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam kemudian mengkhabarkannya”. Maka Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seorang utusan) kepada Abdullah
bin Ubay, lalu bertanya kepadanya, maka ia bersungguh-sungguh dengan
sumpahnya bahwa ia tidak melakukannya. Maka orang-orangpun berkata,
“Zaid telah berdusta kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”.
Terjadilah kesempitan pada diriku dari apa yang mereka telah ucapkan,
sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ((إذا جاءك
المنافقون)) untuk membenarkanku. Berkata Zaid, “Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam memanggil mereka untuk memohonkan ampun (kepada Allah) untuk
mereka, namum mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka”. [HR Muslim:
2772, al-Bukhoriy: 4900, 4901, 4902, 4903, 4904 dan at-Turmudziy: 3312,
3313. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [13]
Begitu pula hadits di atas menerangkan pengaduan Zaid bin Arqom
radliyallahu anhu kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika
mendengar ucapan menghasut dan mengancam dari gembong kaum munafikin
Abdullah bin Ubayy bin Salul. Namun beliau tetap berlaku adil kepada
siapapun, hingga ia bertanya kepada Abdullah bin Ubayy mengenai
perkataan Zaid radliyallahu anhu. Lalu ia menyangkal perkataan Zaid dan
bahkan ia bersumpah tidak pernah mengatakannya. Kemudian beliaupun
mempercayainya, maka orang-orang akhirnya mengatakan bahwa Zaid telah
berbohong kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan hal itu
menjadikannya hidup sempit . Hingga Allah Azza wa Jalla turunkan surat
al-Munafikun.
Tujuan Zaid radliyallahu anhu mengadukan dan meng-ghibah Abdullah bin
Ubayy kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah agar kaum
muslimin berhati-hati atau waspada akan niat busuk dan jahatnya.
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalahkan dan menegur
Zaid akan apa yang dilakukannya tetapi beliau hanya melakukan apa yang
harus dilakukan yaitu bertabayyun agar beliau tatsabbut, tidak sembrono
dan grusa-grusu dalam sikap dan pendirian dan hal ini agar dicontoh oleh
umatnya.
Maka bak gayung bersambut, para ulama berikutnya juga menerapkan dan
mengamalkan apa yang dilakukan oleh Zaid. Ketika terjadi fitnah di
antara kaum muslimin dan beredarnya hadits-hadits yang tidak tsabit dari
beliau Shallallahu alaihi wa sallam yang salah satunya disebabkan oleh
rasa fanatik kepada seseorang atau golongan, lalu mereka berhati-hati di
dalam menerima dan menyebarkannya. Salah satunya adalah dengan
mengetahui orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadits
tersebut.
Para ahli hadits akhirnya menerapkan satu disiplin ilmu berupa jarh wa ta’dil
(celaan dan pujian) dan menjadi ijmak (kesepakatan atau konsensus) akan
bolehnya dan bahkan menjadi wajib di dalam mencela orang-orang yang
memang pantas dan berhak mendapatkannya dalam rangka memelihara
kelurusan dan keotentikan syariat ini.
Maka jika kaum muslimin memperhatikan secara teliti, seksama dan
bersih hati mereka akan jumpai yang tidak akan dijumpai di dalam agama
yang lain selain Islam ini yaitu adanya suatu urutan mata rantai satu
hadits dari satu orang sampai kepada orang lain (biasanya disebut sanad atau isnad) yang dilakukan secara berkesinambungan dan tiap-tiap penyampai haditsnyapun (biasanya disebut rawi)
diteliti dengan cermat sesuai dengan syarat-syaratnya yang ditentukan
oleh para ulama hadits, sebagaimana telah ditunjukkan oleh beberapa
atsar di bawah ini [14],
Berkata Abu al-‘Aliyah rahimahullah, “Adalah kami mendengar hadits
dari para shahabat, maka kami tidak puas sehingga kami naik (kendaraan)
kepada mereka lalu kami mendengarnya (secara langsung) dari mereka”.
Berkata Ibnu al-Mubarak rahimahullah, “Isnad adalah termasuk dari
agama, kalaulah tiada isnad niscaya seseorang itu akan berkata apa saja
yang ia kehendaki”.
Katanya lagi, “Batas perbedaan di antara kami dan suatu kaum adalah isnad”.
Berkata Ibnu Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu ini (yaitu ilmu
isnad) adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil
agama kalian”.
Katanya lagi, “Mereka (yaitu para Shahabat ataupun Tabi’in) tidak
pernah bertanya tentang isnad, maka ketika terjadi fitnah, mereka
berkata, “Sebutkanlah nama-nama rijal (maksudnya; perawi hadits) kalian.
Lalu dilihat kepada ahli sunah maka diambillah hadits mereka, dan
dilihat kepada ahli bid’ah, maka tidak diambil hadits mereka”.
Memperhatikan beberapa atsar di atas dari sekian banyak atsar, dapat
diketahui dan dipahami ketelitian para pemikul hadits di dalam menerima
suatu hadits hingga mereka tidak akan mengambil suatu hadits sehingga
diketahui orang-orangnya yang menyampaikannya kepada mereka, jika
termasuk ahli sunnah maka mereka akan mengambilnya tetapi jika termasuk
ahli bid’ah, mereka menolaknya. Merekapun berbuat demikian di dalam
meriwayatkan hadits kepada orang-orang yang menerima hadits, sehingga
terpeliharalah hadits sebagaimana Al-Qur’an telah terpelihara, dan
bahkan sebahagian dari mereka membukukan hadits-hadits tersebut dengan
sangat teliti, dan pada akhirnya sampailah kitab-kitab tersebut ke
tangan kita sekarang ini.
Para ulama hadits menjarh (mencela) rawi yang berhak atasnya yang terdapat dalam satu sanad itu penting untuk mengetahui apakah hadits itu shahih, dlaif (lemah) atau bahkan maudlu’
(palsu). Sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah
mengisyaratkan akan munculnya banyak hadits lemah dan palsu lantaran
dinisbatkan kepada beliau padahal beliau sendiri tidak pernah mengatakan
atau mengerjakannya. Sebagaimana di dalam hadits berikut,
عن المغيرة قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و
سلم يَقُوْلُ: إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ
كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dari al-Mughirah bin Syu’bah radliyallahu nahu berkata, aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidaklah seperti berdusta atas
nama seseorang. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja
maka ia menyiapkan tempatnya di dalam neraka”. [HR Muslim: 4 dan
al-Bukhoriy: 1291. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [15]
عن عمرو بن عبد الله بن الزبير رضي الله عنه عن أبيه قَالَ:
قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ: إِنىِّ لاَ أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه و سلم كَمَا يُحَدِّثُ فُلاَنٌ وَ فُلاَنٌ قَالَ: أَمَا
إِنىِّ لَمْ أُفَارِقْهُ وَ لَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَنْ كَذِبَ
عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Dari Amr bin Abdullah bin az-Zubair dari ayahnya, berkata (Abdullah
bin az-Zubair), Aku berkata kepada ayahku az-Zubair, “Sesungguhnya aku
tidak pernah mendengarmu menyampaikan hadits dari Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam sebagaimana disampaikan oleh Si Fulan dan si Fulan”.
Ia menjawab, “Sesungguhnya aku tidak akan berpisah darinya, tetapi aku
pernah mendengar beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku maka siapkanlah tempatnya di
neraka”. [Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhoriy: 107 dari az-Zubair,
110, 6197 dari Abu Hurairah, Muslim: 3, at-Turmudziy: 2257, 2659 dari
Ibnu Mas’ud, 2661 dari Anas, 2669, dari Ibnu Amr, Ibnu Majah: 30 dari
Ibnu Mas’ud, 32 dari anas, 33 dari Jabir, 36 dari az-Zubair, 37 dari Abu
Sa’id, Abu Dawud: 3651 dari Az-Zubair dan Ahmad: II/ 159, 171, 314 dari
Ibnu Amr, IV/ 47 dari Salamah bin al-Akwa’, I/ 389, 401, 402, 405, 436
dari Ibnu Mas’ud, II/ 410, 413, 469, 519 dari Abu Hurairah, III/ 39, 44,
56 dari Abu Sa’id al-Khudriy, III/ 98, 113, 116, 166, 173, 176, 203.
223, 278, 279, 280 dari Anas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [16]
عن علي رضي الله عنه يقول: قَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه و
سلم: لاَ تَكْذِبُوْا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ
النَّارَ
Dari Ali radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berdusta atas namaku, sesungguhnya
barangsiapa berdusta atas namaku maka ia akan masuk kedalam neraka”. [HR
al-Bukhoriy: 106, Muslim: 1, at-Turmudziy: 2660, Ibnu Majah: 31 dan
Ahmad: I/ 83. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [17]
عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: إِنَّ الَّذِى يَكْذِبُ عَلَيَّ يُبْنىَ لَهُ بَيْتٌ فىِ
النَّارِ
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku
akan dibangunkan untuknya rumah di dalam neraka”. [HR Ahmad: II/ 22,
103, 144. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [18]
Dan masih banyak lagi dalil yang semakna tentang ancaman orang yang berani berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa akan ada dan selalu ada di
antara umat ini yang berani berdusta atas nama beliau Shallallahu alaihi
wa sallam, meskipun larangannya banyak sekali dan hadits tersebut telah
mencapai derajat mutawatir. Maka tidaklah aneh jika dari sejak dahulu
sampai sekarang ini, banyak orang yang lancang menyampaikan suatu hadits
lalu berkata, “telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ini
semua telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan
selainnya”. Padahal dalil-dalil hadits yang mereka sampaikan itu
termasuk dalil yang batil lantaran digolongkan hadits dla’if (lemah) atau bahkan maudlu’ (palsu).
Jika ada seorang muslim atau bahkan pejabat, dicatut namanya oleh
seseorang yang lain untuk kepentingan dan keuntungannya atau
kelompoknya. Lalu ia mengetahui namanya dicatut yang dapat merugikannya
maka ia tentu akan murka dan bahkan akan menuntutnya ke meja pengadilan.
Namun ketika nama nabinya Shallallahu alaihi wa sallam dicatut, ia diam
saja dan tidak menunjukkan kemarahannya seakan ia tidak memiliki rasa
ikatan batin kepada nabinya tersebut.
Oleh sebab itu para ulama hadits berusaha untuk menjaga dan
memelihara keaslian dan keotentikan hadits dengan seoptimal dan
semaksimal mungkin dalam rangka membela agama dan nabi mereka. Maka
dalam masalah isnad ini, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh
mereka selain dari mengghibah dan menjelaskan kekurangan, aib dan
kelemahan para perawinya atau juga memujinya.
Misalnya; si fulan itu tidak tsiqot (tidak kuat hafalannya), kadzdzab (pendusta), su’ul hifzhi (buruk hafalannya), mudallis dan sebagainya.
Hal lainnya adalah untuk menjelaskan kesalahan atau kesesatan para
pentolan bid’ah, para pencetus pemikiran nyleneh dari kaum liberal,
kelompok sekuler, para pembela dan kaum fanatik dari kelompok atau
aliran sesat seperti ahmadiyah, syiah, baha’iyah, Lia Eden, LDII (Islam
Jama’ah), Inkarus Sunnah, NII, berbagai sempalan kelompok tarekat
(shufiy) dan lain sebagainya.
Para ulama niscaya akan merasakan kesulitan di dalam memberi
pengertian dan pemahaman kepada umat Islam agar berhati-hati dari
kelompok-kelompok sesat dan menyesatkan tersebut jika tidak mengghibah
atau menerangkan kesalahan atau kekeliruan dari ajaran dan pemahaman
kelompok tersebut. Dan juga untuk memudahkan semua itu terkadang dengan
cara meng-ghibah pendiri atau tokoh-tokoh yang bercokol di dalamnya.
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Jika nasihat itu
hukumnya wajib untuk mendapatkan maslahat agama yang sifatnya khusus
dan yang bersifat umum. Seperti menyalin hadits yang keliru dan
mengandung kedustaan. Yahya bin Sa’id berkata, “Aku pernah bertanya
kepada Imam Malik, ats-Tsauriy, al-Laits bin Sa’d –aku rasa juga-
al-Awza’iy tentang seseorang yang tertuduh berdusta di dalam hadits atau
ia seorang rawi yang tidak hafal”. Mereka berkata, “Kalau begitu,
terangkan kondisinya!”.
Sebahagian mereka pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah, “Aku merasa berat (sungkan) untuk mengatakan, “si Fulan
begini dan si Fulan begitu”. Maka Imam Ahmad berkata,
إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَ سَكَتُّ أَنَا فَمَتىَ يَعْرِفُ اْلجَاهِلُ الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ
“Apabila engkau diam dan aku juga diam (tidak memberi penjelasan),
maka sampai kapan orang yang bodoh itu dapat membedakan antara yang
sehat (benar) dari yang sakit (salah)?”.
Misalnya para imam bid’ah di antara orang yang tukang bicara yang
menyelisihi alqur’an dan sunnah atau ibadah-ibadah yang menyimpang dari
keduanya. Maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari
(bahaya) mereka hukumnya adalah wajib sesuai dengan kesepakatan kaum
muslimin. Sampai-sampai pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Seseorang
yang shaum, sholat dan i’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan
tentang (keburukan) ahli bid’ah?”. Beliau menjawab, “Jika orang itu
sholat dan i’tikaf maka faidahnya hanyalah untuk dirinya sendiri.
Sedangkan membicarakan keburukan ahli bid’ah itu faidahnya itu untuk
kaum muslimin, maka hal ini lebih utama”.
Imam Ahmad rahimahullah telah menerangkan bahwa membicarakan
keburukan ahli bid’ah itu memberi faidah yang umum bagi kaum muslimin
dalam agama mereka berupa jihad pada jalan Allah. Karena membersihkan
jalan Allah, agama, minhaj (metode) dan syariat-Nya dan menolak kekejian
dan permusuhan mereka itu merupakan fardlu kifayah menurut kesepakatan
kaum muslimin. Seandainya tidak ada orang-orang yang ditegakkan oleh
Allah I untuk menolak bahaya mereka niscaya agama akan rusak. Dimana
kerusakannya akan lebih parah dibandingkan dari kerusakan yang
ditimbulkan akibat dari penjajahan musuh dari kalangan kaum kafirin yang
menyerang kaum muslimin. Sebab mereka kaum kafirin itu jika menjajah
tidaklah merusak hati dan agama yang telah ada di dalam diri mereka,
kecuali dampak lahirnya saja. Sedangkan ahli bid’ah merusak hati sejak
dari mula pertama. [19]
Singkatnya untuk menerangkan tentang kejelekan seseorang, meskipun
dalam bentuk ghibah yang berkaitan dengan ilmu hadits dan yang berkaitan
dengannya agar keaslian dan keotentikannya terjaga maka diperbolehkan.
Bahkan jika orang yang diperbincangkan itu adalah orang yang
mempunyai pemahaman sesat dan menyesatkan maka ghibah seperti inipun
diperbolehkan bahkan diwajibkan agar umat Islam berhati-hati darinya.
5). Meng-ghibah orang yang terang-terangan menampakkan kefasikan atau bid’ahnya.
Yakni orang yang terang-terangan menampakkan kefasikan atau
bid’ahnya, sama seperti orang yang terang-terangan minum khomer,
berjudi, korupsi, menarik pajak harta dengan cara yang zholim, mengurusi
perkara batil, memakai atau menjual obat-obatan terlarang, menyukai
sesama jenis (lesbian atau homo seksual), mempunyai pola pergaulan hidup
bebas, durhaka kepada kedua orangtua dan lain-lainnya.
Maka diperbolehkan menyebutkan atau menceritakan aib yang ia lakukan
dengan terang-terangan tersebut dalam bentuk mengghibahinya, agar
manusia berhati-hati darinya sehingga tidak tertipu oleh perilakunya
yang rusak. Dan diharamkan menyebutkan aib-aib yang lainnya yang ia
tidak tampakkan kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.
عن عائشة رضي الله عنها أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ: اسْتَأْذَنَ
رَجُلٌ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: ائْذَنُوْا لَهُ
بِئْسَ أَخُو اْلعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ اْلعَشِيْرَةِ
Dari Aisyah radliyallahu anha, ia mengkhabarkan bahwasanya ada
seorang lelaki minta idzin (bertemu) dengan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam. Beliau bersabda, “Idzinkanlah dia (masuk), dia adalah
sejelek-jelek orang di tengah kaumnya”. [HR al-Bukhoriy: 6032, 6054,
6131 dan Muslim: 2591. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Diperbolehkan menceritakan aib orang yang membuat kerusakan dan
diragukan kebaikannya. Oleh sebab itu Imam al-Bukhoriy berkata, “Bab
apa yang boleh dari mengghibahi orang yang membuat kerusakan dan yang
diragukan kebaikannya”. [21]
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang
dengan ucapan, “Dia adalah sejelek-jeleknya orang di tengah kaumnya”.
Ini adalah bentuk ghibah agar setiap orang berwaspada dari keburukannya,
sebagaimana Beliau juga pernah menyebutkan keburukan Muawiyah yang
sangat miskin dan Abu al-Jahm yang suka memukuli istri-istrinya kepada
Fathimah binti Qois radliyallahu anha ketika keduanya meminangnya.
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه و سلم: مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَ فُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِيْنِنَا
شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ: كَانَا رَجُلَيْنِ مِنَ اْلمـُنَافِقِيْنَ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, “Aku tidak menyangka bahwa si Fulan dan si
Fulan itu mengetahui sedikitpun tentang agama kita. Berkata al-Laits,
“Keduanya itu dari golongan kaum munafikin”. [HR al-Bukhoriy: 6067,
6068. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [22]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan (menceritakan)
keburukan keduanya bahwa keduanya itu tidak memahami sedikitpun dari
urusan agama. Karena orang munafik itu tidak memahami sedikitpun dari
agama Allah di dalam hatinya. Kendatipun ia memahami dengan
pengetahuannya tetapi ia tidak memahami dengan hatinya. Wal ‘Iyaadzu billah.
Orang munafik itu menampakkan bahwa ia seorang muslim tetapi sebenarnya
ia adalah orang kafir. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَ مِنَ النَّاسِ مَن يَّقُولُ ءَامَنَّـا بِاللهِ وَ
بِاْليَوْمِ اْلأَخِرِ وَ مَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَ مَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَ مَا
يَشْعُرُونَ
Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan
hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,
padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
[QS. al-Baqarah/ 2: 8-9]. [23]
Jadi pemberitahuan yang diutarakan dalam bentuk ghibah itu hanyalah
bertujuan agar setiap muslim berhati-hati terhadap orang-orang yang
telah dikenal keburukan dan kesesatannya. Agar ia tidak bergaul dengan
orang-orang tersebut yang dapat mempengaruhi akhlak dan keyakinannya
sehingga akhirnya terpedaya dan mengikuti jejak mereka. Namun dilarang
mengghibah atau menyebutkan aib-aib mereka yang tidak dinampakkan.
6). Identifikasi (atau pengenalan).
Jika ada seorang muslim yang sudah dikenal dengan panggilan al-a’masy
(si rabun), al-a’raj (si pincang), al-a’ma (si buta) dan selainnya,
maka boleh disebutkan. Apalagi laqob (julukan) tersebut memang merupakan
sanjungan kepadanya, misalnya; seorang muslim dikatakan al-A’ma (si
buta) lantaran matanya buta, yakni tidak mau melihat hal-hal yang
terlarang. Atau digelari al-A’raj, lantaran ia hanya baru menguasai ilmu
shorof dan belum menguasai ilmu nahwu dan sebagainya. Tetapi tidak
boleh menyebutkan gelar tersebut dalam rangka merendahkannya atau
memperhinakan dirinya.
Adapun jika ada cara lain untuk mengidentifikasinya tanpa harus
menyebutkan gelar-gelar seperti itu maka cara tersebut lebih baik.
Dalam suatu riwayat, dari Asir bin Jabir bahwasanya penduduk Kufah
pernah mengirim utusan kepada Umar radliyallahu anhu. Diantara mereka
ada seseorang yang dikenal dengan Uwais. Umar bertanya kepada mereka,
“Adakah seseorang disini yang berasal dari al-Qoroniyyun?. Maka orang
tersebut datang kepadanya. Lalu umar berkata kepadanya, sesungguhnya
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رَجُلاً يَأْتِيْكُمْ مِنَ اْليَمَنِ يُقَالُ لَهُ
أُوَيْسٌ لاَ يَدَعُ بِاْليَمَنِ غَيْرَ أُمٍّ لَهُ قَدْ كَانَ بِهِ
بَيَاضٌ فَدَعَا اللهَ فَأَذْهَبَهُ عَنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ الدِّيْنَارِ
أَوِ الدِّرْهَمِ فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Sesungguhnya ada seorang lelaki dari Yaman akan datang kepada kalian,
yang biasa dikenal dengan nama Uwais. Ia tidak meninggalkan negeri
Yaman melainkan disebabkan ibunya. Dahulu ia mempunyai penyakit kusta,
lalu ia berdoa kepada Allah kemudian Allahpun melenyapkannya kecuali
sebesar uang dinar atau dirham. Jika ada seseorang diantara kalian yang
bertemu dengannya, maka mintakanlah ampunan kepada Allah untuk kalian.
[HR Muslim: 2542. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]
عن عدي بن عميرة الكندي رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنِ اسْتَعَمَلْنَاهُ
مِنْكُمْ عَلىَ عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ
غُلُوْلاً يَأْتىِ بِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ
رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنَ اْلأَنْصَارِ كَأَنَّهُ أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ اقْبَلْ عَنىِّ عَمَلَكَ قَالَ: وَ مَالَكَ ؟ قَالَ:
سَمِعْتُكَ تَقُوْلُ كَذَا وَ كَذَا قَالَ: وَ أَنَا اَقُوْلُهُ اْلآنَ
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عِلىَ عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيْلِهِ وَ
كَثِيْرِهِ فَمَا أُوْتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَ مَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى
Dari Adiy bin Amirah al-Kindiy radliyallahu anhu berkata, aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
diantara kalian yang aku pekerjakan pada suatu pekerjaan. Lalu ia
menyembunyikan jarum atau lebih, dari kami. Maka berarti ia berkhianat,
yang ia akan datang membawanya pada hari kiamat”. Berkata (Adiy), “Maka
berdirilah seorang lelaki (yang kulitnya) hitam
dari golongan Anshor menuju kepadanya. Seolah-olah aku melihatnya”. Ia
berkata, “Wahai Rosulullah! Terimalah amalmu dariku”. Beliau bertanya,
“Apa yang terjadi padamu?”. Ia berkata, “Aku mendengarmu mengatakan ini
dan itu”. Beliau bersabda, “Sekarang aku katakan, barangsiapa di antara
kalian yang aku pekerjakan suatu pekerjaan, lalu ia datang dengan
sedikit atau banyaknya. Maka apa yang diberikan ia ambil dan apa yang
dilarang ia tinggalkan”. [HR Muslim: 1833 dan Abu Dawud: 3581. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [25]
Di dalam dua hadits di atas disebutkan Uwais itu dahulunya kena
penyakit kusta dan seseorang yang kulitnya hitam. Ucapan tersebut untuk
identifikasi dan memperjelas bukan untuk merendahkan.
Demikian beberapa faktor yang membolehkan melakukan ghibah, meskipun
dengan kaidah-kaidah yang ketat. Maka jika tidak memenuhi kaidah atau
syarat tersebut maka hukumnya kembali kepada asalnya yaitu haram.
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
1). “Bahwa bolehnya ghibah itu untuk hal-hal di atas adalah sifat
yang datang kemudian (maksudnya bukan hukum asal). Sebab jika telah
hilang illat (penyebab)nya maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal
yaitu haram.
2). Dibolehkannya ghibah itu adalah karena bersifat darurat. Oleh
karena itu ghibah tersebut mesti diukur sesuai dengan ukurannya (yakni
seperlunya saja), tidak boleh memperluas bentuk-bentuk di atas. Bahkan
orang yang menganggapnya darurat itu hendaklah bertakwa kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala Rabbnya dan jangan termasuk dari orang-orang yang
melampaui batas”. [26]
Demikianlah beberapa perkara yang diperbolehkan ghibah di dalamnya
bahkan ada sebahagian perkara yang diwajibkan ghibah padanya. Namun
perlu diingat bahwa ghibah itu pada asal hukumnya adalah haram, tidak
diperbolehkan seorang muslim meng-ghibah muslim yang lain kecuali yang
diperbolehkan atasnya dengan beberapa syarat.
Dengan demikian selesailah pembahasan tentang ghibah. Dan
mudah-mudahan penjelasan ini memberi manfaat kepada kaum muslimin untuk
memahaminya, dan tidak memudah-mudahkan diri untuk meng-ghibah
saudaranya sesama muslim.
Wallahu a’lamu bish showab.
[1]
Lihat Rosa’il as-Salafiyyah fii Ihya’ Sunnah Khair al-Bariyyah,
ar-risalah ats-tsaniyah rof’u ar-ribah ‘ammaa yajuzu wa ma la yajuzu min
al-Ghibah oleh al-Imam asy-Syaukaniy, Riyadl ash-Shalihin oleh al-Imam
an-Nawawiy bab ma yubahu min al-Ghibah halaman 450, Subul as-Salam oleh
al-Imam ash-Shin’aniy: IV/ 351-352, al-Adzkar bab Bayan ma yubahu min
al-Ghibah halaman 340 oleh al-Imam an-Nawawiy, Nail al-Awthor bi takhrij
Ahadits kitaab al-Adz-kar: II/ 733-737 oleh asy-Syaikh Salim bin Ied
al-Hilaliy dan Fiq-h ad-Da’wah wa Tazkiyah an-Nufus bab al-Ghibah wa
Atsaruha as-Sayyi’i fi al-Mujtama’ oleh asy-Syaikh Husain bin Audah
al-Awayisyah halaman 448.
[2] Bahjah an-Nazhirin: III/ 33.
[3] Aysar at-Tafasir: I/ 564.
[4]
Shahih Sunan Ibni Majah: 1615, Shahih Sunan Abii Dawud: 1879, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 5137, Misykah al-Mashobih: 3261 dan Ghoyah
al-Maram: 251.
[5] Ungkapan bagi wanita yang tidak pernah disentuh dan digauli oleh suaminya.
[6] Shahih Sunan Abi Dawud: 1220, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7946 dan Irwa’ al-Ghalil: 2015.
[7] Irwa’ al-Ghalil: VII/ 79.
[8] Shahih al-Adab al-Mufrad: 92, 93 dan Shahih Sunan Abii Dawud: 4292.
[9] Shahih Sunan Abi Dawud: 2147 dan Irwa’ al-Ghalil: VII/ 64-65.
[10]
Shahih Sunan Abi Dawud: 3017, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5010, Shahih
Sunan Ibni Majah: 1857, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3221 dan Irwa’
al-Ghalil: 2158.
[11] Bahjah an-Nazhirin: III/ 54.
[12] Mukhtashor Shahih Muslim: 862.
[13] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2639, 2640.
[14]
Lihat Shahih Muslim halaman 10-11, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 11-12,
Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: I/ 84- 88 dan as-Sunnah wa makanatuha
fi at-Tasyri’ al-Islamiy halaman 90-91.
[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 1862 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2142.
[16]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 1841, 2141, 2143, 2150, Shahih Sunan Abi
Dawuu: 3192, Shahih Sunan Ibni Majah: 28, 30, 31, 34, 35 dan Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 6519.
[17] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2146, Shahih Sunan Ibni Majah: 29 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7437.
[18] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1694 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1618.
[19] Majmu’ Fatawa: XXVIII/ 231-232.
[20]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghiir: 7925, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 1049, Misykah al-Mashobih: 4829, telah berlalu
takhrijnya.
[21] Bahjah an-Naazhirin: III/ 50.
[22] Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 5539.
[23] Syarh Riyadl ash-Shalihin: IV/ 177.
[24] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2083, Mukhtashor Shahih Muslim: 1747, 1748 dan Misykah al-Mashobih: 6257.
[25] Mukhtasor Shahih Muslim: 1214, Shahih Sunan Abi Dawud: 3056 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6025.
[26] Bahjah an-Nazhirin: III/ 35-36.