السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Kamis, 12 Juli 2012

GHIBAH 8


GHIBAH YANG DIBOLEHKAN [1]

بسم الله الرحمن الرحيم

Setelah dijelaskan tentang masalah ghibah atau gunjing ini dan hal-hal yang berkaitan tentangnya, di dalam bab ini akan dijelaskan akan pengecualian di dalam ghibah, yaitu tentang bolehnya mengghibah dengan berbagai syarat yang telah ditentukan. Pada dasarnya ghibah itu dilarang dan diharamkan sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab-bab terdahulu, namun ketika dihadapkan pada suatu perkara yang tidak boleh tidak mengharuskan untuk meng-ghibah maka diperbolehkan ghibah itu dengan tidak melampaui batas. Jadi perkara yang mubah ini harus memiliki batasan dan ukuran serta diiringi dengan niat baik tanpa bertujuan untuk meluapkan amarah, membalas dendam dan tidak pula bermaksud untuk mengoyak dan merusak kehormatan seseorang. Harus diingat, Allah Subhanahu wa ta’ala tahu akan khianatnya mata dan apa yang dirahasiakan oleh hati.

يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَ مَا تُخْفِى الصُّدُورُ

Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. [QS. Ghafir/ 40: 19].

Munculnya pengecualian ghibah ini disebabkan lantaran tidak akan mungkin terwujud suatu kemashlahatan dan tertolaknya suatu kerusakan melainkan harus dengan mengerjakan ghibah. Namun hendaklah seseorang itu mesti berhati-hati terhadap pembolehan ghibah ini, janganlah setan memanfaatkan celah ini dengan memudah-mudahkan diri di dalam mengerjakannya dan mengaburkan maksud dan tujuan ghibah sehingga hatinya senantiasa terpancing untuk menggunjing dan lisannya selalu basah dengan ghibah.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah di dalam kitab al-Adz-kar,


الذَّمُّ  لَيْسَ   بِغِيْبَةٍ  فىِ  سِتَّةٍ
          مُتَظَلِّمٍ  مُعَرَّفٍ وَ مُحَذَّرٍ
وَ  لِمُظْهِرٍ   فِسْقًا وَ  مُسْتَفْتٍ
                     وَ مَنْ طَلَبَ اْلإِعَانَةَ فىِ إِزَالَةِ  مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada pada enam perkara
Pengadu kezhaliman, pengidentifikasi, pemberi peringatan
Penampak kefasikan, peminta fatwa
Dan pencari pertolongan untuk menghilangkan kemungkaran.

   Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ketahuilah bahwasanya ghibah itu diperbolehkan untuk tujuan benar secara syar’iy. Sebab tidak akan mungkin tercapai tujuan tersebut melainkan dengan ghibah, hal tersebut dengan enam sebab, yaitu, [2]

1). Mengadukan kezhaliman.

Dibolehkan bagi orang yang dizholimi untuk mengadu kepada penguasa, hakim atau satu pihak yang mempunyai kekuasaan atau pengaruh kuat untuk menghentikan kezholiman tersebut dan bahkan menghukum orang yang berbuat zholim tersebut.

Misalnya ucapan, “si Fulan telah berbuat zholim kepadaku, si Fulan mengambil hartaku, si Fulan telah menggangguku dan keluargaku dan selainnya”.

لَا يُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ اْلقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ

Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. [QS. An-Nisa’/4: 148].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan bahwasanya Ia tidak menyukai keterus-terangan dalam keburukan (ucapan) dan menetapkan hal ini. Yaitu para hamba-Nya yang beriman itu mesti membenci apa yang dibenci oleh Rabb mereka dan menyukai apa yang disukai oleh-Nya. Ini adalah merupakan syarat kewalian yakni mesti menyepakati tidak menyelisihi. Tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala mengharamkan keterus-terangan dalam keburukan (ucapan) dengan ungkapan yang paling fasih dan rangkaian kalimat yang paling indah, Ia mengecualikan orang yang dizholimi. Orang yang dizholimi tersebut dibolehkan untuk berterus-terang kepada hakim di dalam mengadukan perbuatan zholim (yang menimpanya) agar kezholiman itu hilang darinya”. [3]

Ucapan buruk apakah berupa pengaduan, cacian, celaan, ghibah dan semisalnya adalah sangat tidak disukai oleh Allah Azza wa Jalla apalagi jika diucapkan dengan terus terang. Namun jika keluar dari mulut orang yang dizholimi selama tidak berlebihan atau melampaui batas maka hal tersebut diperbolehkan. Sebagaimana di dalam dalil berikut ini,

عن إياس بن عبد الله بن أبى ذباب قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَضْرِبَنَّ إِمَاءَ اللهِ فَجَاءَ عُمَرُ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قَدْ ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَأَمَرَ بِضَرْبِهِنَّ فَضُرِبْنَ فَطَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم طَائِفُ نِسَاءٍ كَثِيْرٌ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: لَقَدْ طَافَ اللَّيْلَةَ بِآلِ مُحَمَّدٍ سَبْعُوْنَ امْرَأَةً كُلُّ امْرَأَةٍ تَشْتَكِى زَوْجَهَا فَلاَ تَجِدُوْنَ أُوْلَئِكَ خِيَارَكُمْ

Dari Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubab radliyallahu anhu berkata, Bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian memukuli para budak wanita milik Allah (yakni; para istri)”. Lalu Umar datang menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rosulullah, sungguh-sungguh para istri telah berani terhadap suami-suaminya”. Maka Nabi memerintahkan untuk memukul mereka (di dalam satu riwayat, lalu Nabi memberi keringanan untuk memukul mereka), lalu merekapun dipukul. Maka banyak wanita mendatangi keluarga nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam di malam hari. Ketika pagi, beliau bersabda, “Sungguh-sungguh semalam telah mendatangi keluarga Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam sebanyak tujuh puluh wanita, masing-masing mereka mengadukan tentang (perilaku) suaminya. Maka kalian tidaklah menjumpai mereka itu yang terbaik di antara kalian. (Maksudnya yang tidak memukuli istrinya)”. [HR Ibnu Majah: 1985, Abu Dawud: 2146 dan ad-Darimiy: II/ 146. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [4]

Ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum pria dari umat ini untuk memukul istri-istrinya, maka timbullah keberanian para istri untuk berlaku nusyuz (durhaka) kepada suami mereka, karena mereka berkeyakinan tidak akan dipukul olehnya. Sehingga Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu mengadukan perilaku para istri kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka beliaupun memberi keringanan (rukhshah) kepada para suami untuk memukul istri mereka jika melakukan nusyuz. Namun akhirnya para istripun mengadukan kembali perilaku suami mereka yang memukuli mereka. Sehingga beliau mengatakan bahwa tidak ada seseorangpun di antara mereka yang terbaik, yakni yang tidak memukul istrinya.

Jadi Umar radliyallahu anhu dan para wanita mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang yang memiliki kuasa dan pengaruh untuk mengadu dan sebahagiannya meng-ghibbah sebahagian lainnya agar beliau dapat merubah atau mencegah terjadinya ketidak-nyamanan dalam kehidupan berumah tangga

عن عائشة قَالَتْ: دَخَلَتْ عَلَيَّ خُوَيْلَةُ بِنْتُ حَكِيْمٍ بْنُ أُمَيَّةَ بْنُ حَارِثَةَ بْنُ اْلأَوْقَصِ السُّلَّمِيَّةُ وَ كَانَتْ عِنْدَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ قَالَتْ: فَرَأَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم بَذَاذَةَ هَيْئَتِهَا فَقَالَ لىِ: يَا عَائِشَةُ مَا أَبَذُّ هَيْئَةِ خُوَيْلَةَ قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَةٌ  لَهَا زَوْجٌ يَصُوْمُ النَّهَارَ وَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَهِيَ كَمَنْ لاَ زَوْجُ  لَهَا فَتَرَكَتْ نَفْسَهَا وَ أَضَاعَتْهَا قَالَتْ: فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلىَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ فَجَاءَهُ فَقاَلَ: يَا عُثْمَانُ أَرَغْبَةٌ عَنْ سُنَّتىِ ؟ فَقاَلَ: لاَ وَ اللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ لَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ قَالَ: فَإِنىِّ أَنَامُ وَ أُصَلِّى وَ أَصُوْمُ وَ أُفْطِرُ وَ أَنْكَحُ النِّسَاءَ فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَ إِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَ إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَصُمْ وَ أَفْطِرْ وَ صَلِّ وَ نَمْ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, Khuwailah binti Hakim bin Umayyah bin Haritsah bin al-Awqash as-Sulamiyyah pernah masuk menemuiku dan ia adalah istrinya Utsman bin Mazh’un radliyallahu anhu. Berkata (Aisyah), “Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melihat lusuhnya keadaannya”. Lalu beliau bertanya kepadaku, “Wahai Aisyah, alangkah lusuhnya keadaan Khuwailah itu!”. Aisyah berkata, Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Rosulullah, bagaimana keadaan seorang wanita yang mempunyai suami yang shaum di siang hari dan sholat di malam hari, maka ia seperti wanita yang tidak bersuami. [5] Ia akhirnya meninggalkan dirinya dan mengabaikannya”. Aisyah berkata, “Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seseorang) untuk memanggil Utsman bin Mazh’un”. Lalu iapun datang. Beliau bersabda, “Wahai Utsman apakah engkau benci kepada sunnahku?”. Ia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rosulullah, bahkan aku senantiasa mencari sunnahmu”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidur dan akupun sholat (malam), aku shaum dan akupun berbuka dan aku juga menikahi para wanita. Bertakwalah engkau kepada Allah wahai Utsman. Sesungguhnya istrimu itu mempunyai hak atasmu, tamumu mempunyai hak atasmu dan dirimupun mempunyai hak atasmu. Maka shaumlah dan berbukalah serta sholatlah dan tidurlah”. [HR Ahmad: VI/ 268 dan Abu Dawud: 1369. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [6]

Dalam riwayat Ibnu Hibban ada tambahan, “Wahai Utsman sesungguhnya kerahiban itu tidak ditetapkan untuk kita, maka apakah engkau telah menjadikanku sebagai panutan (teladan)?. Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling memelihara batas-batas-Nya”.

Dan ada tambahan lagi di akhirnya, “Lalu wanita itu (istrinya Utsman bin Mazh’un) datang kepada mereka sesudah itu laksana pengantin baru”. Ditanyakan kepadanya, “Apakah yang telah terjadi?”. Ia menjawab, “Sekarang aku telah mendapatkan apa yang telah didapatkan oleh manusia (atau wanita lainnya)”. [7]

Kisah hadits di atas juga menerangkan tentang pengaduan Khuwailah kepada Aisyah radliyallahu anha dan Aisyah melanjutkannya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Di dalam pengaduan itu jelas perkataan Aisyah yang mensifatkan suaminya Khuwailah yaitu Utsman bin Mazh’un radliyallau anhu yang tidak menggauli istrinya lantaran disibukkan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu akhirnya beliau memanggil Utsman dan menasihatinya dengan santun dan penuh ketegasan agar Utsman merubah dan memperbaiki hubungannya dengan istrinya. Beliau juga mengingatkan kepadanya bahwa pada istrinya itu ada hak, dan diantara hak istri adalah digauli oleh suaminya. Maka akhirnya Khuwailahpun berbahagia sebab ia telah mendapatkan haknya sebagai seorang istri sebagaimana kaum wanita lain telah mendapatkannya.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لىِ جَارًا يُؤْذِيْنىِ فَقَالَ: انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلىَ الطَّرِيْقِ فَانْطَلَقَ فَأَخْرَجَ مَتَاعَهُ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَقَالُوْا: مَا شَأْنُكَ؟ قَالَ: لىِ جَارٌ يُؤْذِينىِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: انْطَلِقْ فَأَخْرِجْ مَتَاعَكَ إِلىَ الطَّرِيْقِ فَجَعَلُوْا يَقُوْلُوْنَ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ اللَّهُمَّ أَخْزِهِ فَبَلَغَهُ فَأَتَاهُ فَقَالَ: ارْجِعْ إِلىَ مَنْزِلِكَ فَوَاللهِ لاَ أُوْذِيْكَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, seorang lelaki pernah berkata, “wahai Rosulullah! Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang suka menggangguku”. Beliau bersabda, “Pergilah lalu keluarkan barang-barangmu ke jalan”. Lalu ia pun pulang dan mengeluarkan barang-barangnya ke jalan. Orang-orangpun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, “Apa maumu?”. Ia menjawab, “Aku mempunyai tetangga yang suka menggangguku. Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Pergilah lalu keluarkanlah barang-barangmu ke jalan”. Pada akhirnya, orang-orang mengatakan, “Ya Allah kutuklah dia, ya Allah hinakanlah dia”. Sampailah hal tersebut kepada tetangganya, lalu ia mendatanginya, kemudian berkata, “Kembalilah engkau ke rumahmu, demi Allah aku tidak akan lagi mengganggumu”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 124, 125 dan Abu Dawud: 5153. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [8]

Begitu pula di dalam hadits di atas, ada seseorang yang suka diganggu dan disakiti oleh tetangganya. Ia mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan mengadukan perbuatan zholim tetangganya itu kepada beliau. Lalu beliaupun memberikan solusi untuk orang tersebut agar mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam rumahnya dan diletakkan di jalan. Maka iapun mematuhi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sehingga orang-orangpun berkumpul mengerumuninya dan menanyakan kepadanya tentang penyebabnya. Lalu iapun menceritakannya kepada mereka tentang perkara tersebut, sehingga akhirnya mereka mencela orang yang suka mengganggu dan menyakitinya tersebut. Kemudian akhirnya si tetangganyapun datang dan berjanji tidak akan pernah lagi mengganggunya.

Dari beberapa kisah hadits di atas, datangnya sebahagian para shahabat radliyallahu anhum kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta bantuan kepada beliau akan persoalan yang mereka alami dengan orang lain, apakah itu dengan suami, istri atau tetangga mereka. Ketika mereka mengadukan perkara tersebut maka tidak boleh tidak mereka akan menyebutkan beberapa keburukan orang yang mereka adukan tersebut, maka hal ini termasuk ghibah yang dibolehkan. Sebab tidak akan timbul mashlahat atau terhalangnya suatu mafsadat di dalam perkara-perkara seperti itu melainkan dengan cara mengghibah.

2). Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran

Hal kedua yang dibolehkan untuk melakukan ghibah adalah dalam rangka meminta bantuan kepada seseorang agar menegur atau merubah kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang yang lain.

Misalnya ucapan, “Si fulan melakukan perbuatan ini atau mengucapkan perkataan itu dari yang dilarang oleh agama maka tolong tegurlah ia dari perbuatan atau perkataannya tersebut”.

Atau si Fulanah tidak berbuat ini dan tidak mengerjakan itu dari yang disyariatkan maka nasihatilah ia agar mau mengamalkannya, dan selainnya. Namun yang perlu diingat bahwa tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkaran atau menghidupkan yang ma’ruf. Jika niatnya tidak demikian maka hukumnya kembali menjadi haram.

Amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah dijelaskan di dalam beberapa bab terdahulu merupakan salah satu sendi ajaran Islam, yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan keutamaan agama ini di atas agama-agama lainnya dengannya. Tiada suatu keutamaan dan kelebihan dalam satu agama melainkan wajib dibangun atasnya. Sebab dengan beramar ma’ruf nahi munkar ini akan diperoleh kebaikan dunia dan akhirat.

Namun ketika seorang muslim sedang berada di hadapan seseorang atau suatu lingkungan yang sedang meninggalkan perbuatan ma’ruf atau mengerjakan perbuatan munkar menurut syar’iy. Sedangkan ia belum mampu untuk mengingatkan atau menegurnya lantaran keterbatasan ilmu, keberanian yang belum terpacu atau ingin berbicara tapi lidah terasa kelu maka dikala itulah ia membutuhkan bantuan seseorang yang telah memenuhi syarat itu untuk melakukannya. Lalu iapun mengadukan kepada orang yang diharapkan dapat merubah kebiasaan buruknya agar menjadi baik. Maka tidaklah ia dapat mengadukan dan melaporkan perilaku orang tersebut sehingga dipahami oleh orang yang diyakini dapat membantunya itu kecuali dengan cara mengghibahi orang tersebut. Sebagaimana di dalam hadits berikut ini,

عن أبى سعيد قال: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ نَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ زَوْجِى صَفْوَانَ بْنِ اْلمـُعَطَّلِ يَضْرِبُنىِ إِذَا صَلَّيْتُ وَ يُفْطِرُنىِ إِذَا صُمْتُ وَ لاَ يُصَلِّى صَلاَةَ اْلفَجْرِ حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ: وَ صَفْوَانُ عِنْدَهُ قَالَ: فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا قَوْلهُاَ: يَضْرِبُنىِ إِذَا صَلَّيْتُ فَإِنهَّاَ تَقْرَأُ بِسُوْرَتَيْنِ وَ قَدْ نَهَيْتُهَا قَالَ: فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ سُوْرَةٌ وَاحِدَةٌ لَكَفَتِ النَّاسَ وَ أَمَّا قَوْلهُاَ: يُفْطِرُنىِ فَإِنهَّاَ تَنْطَلِقُ فَتَصُوْمُ وَ أَنَا رَجُلٌ شَابٌّ فَلاَ أَصْبِرُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَصُوْمُ امْرَأَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَ أَمَّا قَوْلهُاَ: إِنىِّ لاَ أُصَلِّى حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ لاَ نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ: فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, “Seorang wanita pernah datang menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan kami berada di sisinya”. Ia berkata, “Wahai Rosulullah sesungguhnya suamiku Shofwan bin al-Mu’aththol memukuliku apabila aku sholat, menyuruhku berbuka jika aku shaum dan ia tidak sholat shubuh kecuali telah terbit matahari”. Berkata Abu Sa’id, “Sedangkan Sofwan berada di sisinya”. Lalu Beliau bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan istrinya. Sofwan berkata, “Wahai Rosulullah, adapun ucapannya, “ia memukuliku apabila aku sholat”. Sesungguhnya ia membaca dua surat padahal aku telah melarangnya”. Berkata  Abu Sa’id, bersabda Rosulullah, “Seandainya satu surat saja niscaya akan mencukupi manusia”. Adapun ucapannya, “Menyuruhku berbuka jika aku shaum. Istriku suka shaum sedangkan aku seorang pemuda maka tentu aku tidak akan sabar”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak boleh seorang wanita mengerjakan shaum (sunnah) melainkan dengan seidzin suaminya”. Adapun ucapannya, “Aku tidak sholat kecuali telah terbit matahari. Kami adalah tulang punggung keluarga, sungguh-sungguh hal tersebut telah diketahui. Kami tidak dapat bangun tidur hingga terbit matahari”. Beliau bersabda, “Apabila engkau bangun maka sholatlah”. [HR Abu Dawud: 2459, Ahmad: III/ 80, al-Hakim: 1636 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]

Dalil tentang pengaduan istrinya Shofwan di atas juga terkandung ghibah yang dilakukan seorang istri akan suaminya yang memukulinya ketika sholat, menyuruhnya berbuka tatkala melakukan shaum sunnah dan suaminya tersebut tidaklah mengerjakan sholat shubuh melainkan setelah matahari terbit. Sang istri melakukan hal tersebut lantaran ingin meminta bantuan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar suaminya merubah perilakunya yang dianggapnya mungkar.

Namun Beliau Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia yang paling adil dan bijak, ia tidak serta merta mengadili dan memutuskan perkara tersebut sebelum mengetahui peristiwa itu dengan pasti. Maka setelah mengerti dengan benar duduk persoalan tersebut, maka beliau memutuskan bahwa jika wanita itu hendak menunaikan sholat malam, maka cukup membaca satu surat saja. Jika hendak shaum sunnah hendaklah dengan seidzin suaminya ketika suaminya berada di sisinya. Dan Shofwan radliyallahu anhu diperintah olehnya untuk menunaikan sholat begitu terbangun dari tidur.

Sebab Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak dapat mendudukkan perkara itu dengan adil dan benar dan menasihati Shofwan jika tidak mengetahui sisi kekurangannya menurut versi istrinya. Begitu pula Shofwan menerangkan penyebab kenapa ia melakukan semuanya itu kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menyebutkan sisi kekurangan istrinya menurut versinya. Maka dengan hal itu putuslah ketetapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan adil dan tepat.

Mencontoh kisah hadits di atas, sepatutnya setiap muslim siapapun ia, hendaknya ketika ia belum mampu beramar ma’ruf nahi munkar karena beberapa sebab hendaklah ia meminta bantuan kepada seseorang yang paling pantas untuk melakukannya. Orang itu harus memahami pokok-pokok perkara agama beserta dalilnya, arif lagi adil di dalam memutuskan perkara tanpa melibatkan unsur perasaan dan emosinya serta mampu menjaga rahasia aib dan kekurangan dari orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa tersebut.

3). Meminta fatwa

Pembolehan ghibah berikutnya adalah dalam rangka meminta fatwa akan sesuatu yang terjadi pada dirinya atau orang lain kepada seorang mufti.

Misalnya, “Si Fulan telah berbuat zholim kepadaku, ayahku telah berbuat tidak adil kepadaku, kakakku telah berbuat aniaya kepadaku, suamiku telah berbuat sewenang-wenang kepadaku, atau istriku tidak melayaniku dengan baik atau selainnya. Maka bagaimana hukumnya?. Bagaimana jalan keluarnya agar aku dapat keluar dari masalah ini dan apa yang harus kuperbuat?. Salahkah aku jika berbuat begini atau begitu?. Dan seterusnya”. Namun yang paling elok dan pantas jika ia tidak mengidentifikasi orang tertentu di dalam pengaduannya. Ia harus berhati-hati agar tidak mengoyak dan merusak kehormatan orang tertentu di dalamnya.

Misalnya, “Bagaimana pendapatmu wahai mufti tentang seseorang yang telah melakukan ini atau itu kepada seseorang yang lain!.  Apa yang harus ia lakukan jika ia diperlakukan seperti itu?. Salahkah ia jika menyikapinya dengan cara seperti ini? Dan seterusnya”.

Di dalam perkara ini, maka mau tidak mau seseorang harus mengghibah orang lain agar fatwa itu diputuskan dengan benar lagi adil. Hal ini berdasarkan kepada dalil hadits berikut ini,

عن عائشة قالت: قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبيِ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَ لَيْسَ يُعْطِيْنيِ مَا يَكْفِيْنيِ وَ وَلَدِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَ هُوَ لاَ يَعْلَمُ قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِاْلمـَعْرُوْفِ

Dari Aisyah berkata, Hindun istrinya Abu Sufyan berkata kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang pria yang kikir, ia tidak memberikan kepadaku apa yang mencukupiku dan anakku, kecuali jika aku mengambil darinya dalam keadaan ia tidak tahu”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah olehmu apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. [HR al-Bukhoriy: 5359, 5364, Muslim: 1714, Abu Dawud: 3533, an-Nasa’iy: VIII/ 246-247, Ibnu Majah: 2293, ad-Darimiy: II/ 159 dan Ahmad: VI/ 39, 50, 206. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bolehnya menceritakan orang dengan sesuatu yang tidak ia sukai apabila bertujuan meminta fatwa dan yang semisal itu. [11]

Berdalil kepada hadits di atas, diperbolehkan seorang muslim menceritakan kekurangan atau sesuatu yang tidak disukainya dari seseorang lain kepada seseorang yang menguasai ilmu-ilmu agama yang sesuai syar’iy dengan tujuan meminta fatwa atau hukumnya.

Hindun radliyallahu anha datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu menceritakan keperluannya kepada beliau. Bahwa suaminya yaitu Abu Sufyan radliyallahu anhu adalah seorang suami kikir yang tidak memberikan kecukupan nafkah untuk dirinya dan anaknya. Kemudian ia meminta fatwa kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang keinginannya untuk mengambil sebahagian harta suaminya tanpa diketahui olehnya sekedar keperluannya. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengambilnya sekedar apa yang dapat mencukupinya dan anaknya dengan cara yang ma’ruf.

4). Menyuruh kaum muslimin waspada dari kejahatannya.

Di antara ghibah yang dibolehkan adalah jika bertujuan untuk memberitahukan atau menasihati seseorang akan keburukan atau kejahatan seorang yang lain agar berhati-hati darinya.

عن فاطمة بنت قيس قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا اْلجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ  خَطَبَانىِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصَعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ وَ أَمَّا أَبُوْ اْلجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ اْلعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ (و فى رواية: فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ)

Dari Fathimah binti Qois berkata, aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Sesungguhnya Abu al-Jahm dan Mu’awiyah meminangku”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Mu’awiyah sangat miskin tidak mempunyai harta. Adapun Abu al-Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Di dalam satu riwayat: ia sering memukuli istri-istrinya). [HR Muslim: 1480. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [12]

Apabila nasihat untuk memperoleh kemashlahatan yang sifatnya khusus bagi individu tertentu maka hal itu menjadi wajib hukumnya. Lalu bagaimana halnya jika berkaitan dengan mashlahat umum dan terkait dengan perkara agama, tentu lebih wajib lagi.

Sebagaimana hadits di atas, yakni ketika Fathimah binti Qois radliyallahu anhadatang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan mengadukan bahwa dirinya telah dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu al-Jahm dan ia belum memberikan jawaban dan pilihan kepada keduanya. Sedangkan beliau Shallallahu alaihi wa sallam sangat mengenal keduanya, lalu beliaupun menasihati Fathimah dengan menerangkan keadaan kedua orang itu dengan menyebutkan kekurangan keduanya agar Fathimah ketika memilih salah satu dari keduanya tidak menyesal dikemudian hari. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menawarkan Usamah bin Zaid radliyallahu anhuma kepada Fathimah untuk dijadikan suaminya, dan iapun menerimanya.

عن زيد بن أرقم رضي الله عنه قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيْهِ شِدَّةٌ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبيٍّ ((لَا تُنفِقُوا عَلَى مَن عِندَ رَسُولِ اللهِ حَتَّى يَنفَضُّوا)) وَ قَالَ:((لَئِن رَّجَعْنَا إِلَى اْلمـــَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اَلأَذَلَّ)) فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَأَرْسَلَ إِلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبيٍّ فَاجْتَهَدَ يَمِيْنَهُ مَا فَعَلَ فَقَالُوْا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَوَقَعَ فىِ نَفْسِى مِمَّا قَالُوْهُ شِدَّةً حَتىَّ أَنْزَلَ اللهُ تَعَالىَ تَصْدِيْقِى ((إِذَا جَاءَكَ اْلمـــُنَافِقُونَ)) ثُمَّ دَعَاهُمُ النَّبيُّ صلى الله عليه و سلم لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَلَوَّوْا رُؤُوْسَهُمْ

Dari Zaid bin Arqom radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan. Lalu di dalam perjalanan itu manusia tertimpa kesulitan”. Abdullah bin Ubay berkata kepada kawan-kawannya, “((Janganlah kalian berinfak kepada orang-orang yang berada di sisi Rosulullah sehingga mereka bubar dari sisinya)). Dan juga berkata, ((Benar-benar jika kami telah kembali ke kota Madinah, orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah darinya))”. Berkata Zaid, “lalu aku mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian mengkhabarkannya”. Maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seorang utusan) kepada Abdullah bin Ubay, lalu bertanya kepadanya, maka ia bersungguh-sungguh dengan sumpahnya bahwa ia tidak melakukannya. Maka orang-orangpun berkata, “Zaid telah berdusta kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Terjadilah kesempitan pada diriku dari apa yang mereka telah ucapkan, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ((إذا جاءك المنافقون)) untuk membenarkanku. Berkata Zaid, “Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memanggil mereka untuk memohonkan ampun (kepada Allah) untuk mereka, namum mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka”. [HR Muslim: 2772, al-Bukhoriy: 4900, 4901, 4902, 4903, 4904 dan at-Turmudziy: 3312, 3313. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [13]

Begitu pula hadits di atas menerangkan pengaduan Zaid bin Arqom radliyallahu anhu kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika mendengar ucapan menghasut dan mengancam dari gembong kaum munafikin Abdullah bin Ubayy bin Salul. Namun beliau tetap berlaku adil kepada siapapun, hingga ia bertanya kepada Abdullah bin Ubayy mengenai perkataan Zaid radliyallahu anhu. Lalu ia menyangkal perkataan Zaid dan bahkan ia bersumpah tidak pernah mengatakannya. Kemudian beliaupun mempercayainya, maka orang-orang akhirnya mengatakan bahwa Zaid telah berbohong kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan hal itu menjadikannya hidup sempit . Hingga Allah Azza wa Jalla turunkan surat al-Munafikun.

Tujuan Zaid radliyallahu anhu mengadukan dan meng-ghibah Abdullah bin Ubayy kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah agar kaum muslimin berhati-hati atau waspada akan niat busuk dan jahatnya. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalahkan dan menegur Zaid akan apa yang dilakukannya tetapi beliau hanya melakukan apa yang harus dilakukan yaitu bertabayyun agar beliau tatsabbut, tidak sembrono dan grusa-grusu dalam sikap dan pendirian dan hal ini agar dicontoh oleh umatnya.

Maka bak gayung bersambut, para ulama berikutnya juga menerapkan dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh Zaid. Ketika terjadi fitnah di antara kaum muslimin dan beredarnya hadits-hadits yang tidak tsabit dari beliau Shallallahu alaihi wa sallam yang salah satunya disebabkan oleh rasa fanatik kepada seseorang atau golongan, lalu mereka berhati-hati di dalam menerima dan menyebarkannya. Salah satunya adalah dengan mengetahui orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadits tersebut.

Para ahli hadits akhirnya menerapkan satu disiplin ilmu berupa jarh wa ta’dil (celaan dan pujian) dan menjadi ijmak (kesepakatan atau konsensus) akan bolehnya dan bahkan menjadi wajib di dalam mencela orang-orang yang memang pantas dan berhak mendapatkannya dalam rangka memelihara kelurusan dan keotentikan syariat ini.

Maka jika kaum muslimin memperhatikan secara teliti, seksama dan bersih hati mereka akan jumpai yang tidak akan dijumpai di dalam agama yang lain selain Islam ini yaitu adanya suatu urutan mata rantai satu hadits dari satu orang sampai kepada orang lain (biasanya disebut sanad atau isnad) yang dilakukan secara berkesinambungan dan tiap-tiap penyampai haditsnyapun (biasanya disebut rawi) diteliti dengan cermat sesuai dengan syarat-syaratnya yang ditentukan oleh para ulama hadits, sebagaimana telah ditunjukkan oleh beberapa atsar di bawah ini [14],

Berkata Abu al-‘Aliyah rahimahullah, “Adalah kami mendengar hadits dari para shahabat, maka kami tidak puas sehingga kami naik (kendaraan) kepada mereka lalu kami mendengarnya (secara langsung) dari mereka”.

Berkata Ibnu al-Mubarak rahimahullah, “Isnad adalah termasuk dari agama, kalaulah tiada isnad niscaya seseorang itu akan berkata apa saja yang ia kehendaki”.
Katanya lagi, “Batas perbedaan di antara kami dan suatu kaum adalah isnad”.

Berkata Ibnu Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu ini (yaitu ilmu isnad) adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”.

Katanya lagi, “Mereka (yaitu para Shahabat ataupun Tabi’in) tidak pernah bertanya tentang isnad, maka ketika terjadi fitnah, mereka berkata, “Sebutkanlah nama-nama rijal (maksudnya; perawi hadits) kalian. Lalu dilihat kepada ahli sunah maka diambillah hadits mereka, dan dilihat kepada ahli bid’ah, maka tidak diambil hadits mereka”.

Memperhatikan beberapa atsar di atas dari sekian banyak atsar, dapat diketahui dan dipahami ketelitian para pemikul hadits di dalam menerima suatu hadits hingga mereka tidak akan mengambil suatu hadits sehingga diketahui orang-orangnya yang menyampaikannya kepada mereka, jika termasuk ahli sunnah maka mereka akan mengambilnya tetapi jika termasuk ahli bid’ah, mereka menolaknya. Merekapun berbuat demikian di dalam meriwayatkan hadits kepada orang-orang yang menerima hadits, sehingga terpeliharalah hadits sebagaimana Al-Qur’an telah terpelihara, dan bahkan sebahagian dari mereka membukukan hadits-hadits tersebut dengan sangat teliti, dan pada akhirnya sampailah kitab-kitab tersebut ke tangan kita sekarang ini.

Para ulama hadits menjarh (mencela) rawi yang berhak atasnya yang terdapat dalam satu sanad itu penting untuk mengetahui apakah hadits itu shahih, dlaif (lemah) atau bahkan maudlu’ (palsu). Sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan akan munculnya banyak hadits lemah dan palsu lantaran dinisbatkan kepada beliau padahal beliau sendiri tidak pernah mengatakan atau mengerjakannya. Sebagaimana di dalam hadits berikut,

عن المغيرة قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Dari al-Mughirah bin Syu’bah radliyallahu nahu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidaklah seperti berdusta atas nama seseorang. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka ia menyiapkan tempatnya di dalam neraka”. [HR Muslim: 4 dan al-Bukhoriy: 1291. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].  [15]

عن عمرو بن عبد الله بن الزبير رضي الله عنه عن أبيه قَالَ: قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ: إِنىِّ لاَ أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَمَا يُحَدِّثُ فُلاَنٌ وَ فُلاَنٌ قَالَ: أَمَا إِنىِّ لَمْ أُفَارِقْهُ وَ لَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Dari Amr bin Abdullah bin az-Zubair dari ayahnya, berkata (Abdullah bin az-Zubair), Aku berkata kepada ayahku az-Zubair, “Sesungguhnya aku tidak pernah mendengarmu menyampaikan hadits dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana disampaikan oleh Si Fulan dan si Fulan”. Ia menjawab, “Sesungguhnya aku tidak akan berpisah darinya, tetapi aku pernah mendengar beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku maka siapkanlah tempatnya di neraka”. [Telah mengeluarkan hadits ini al-Bukhoriy: 107 dari az-Zubair, 110, 6197 dari Abu Hurairah, Muslim: 3, at-Turmudziy: 2257, 2659 dari Ibnu Mas’ud, 2661 dari Anas, 2669, dari Ibnu Amr, Ibnu Majah: 30 dari Ibnu Mas’ud, 32 dari anas, 33 dari Jabir, 36 dari az-Zubair, 37 dari Abu Sa’id, Abu Dawud: 3651 dari Az-Zubair dan Ahmad: II/ 159, 171, 314 dari Ibnu Amr, IV/ 47 dari Salamah bin al-Akwa’, I/ 389, 401, 402, 405, 436 dari Ibnu Mas’ud, II/ 410, 413, 469, 519 dari Abu Hurairah, III/ 39, 44, 56 dari Abu Sa’id al-Khudriy, III/ 98, 113, 116, 166, 173, 176, 203. 223, 278, 279, 280 dari Anas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [16]

عن علي رضي الله عنه يقول: قَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَكْذِبُوْا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berdusta atas namaku, sesungguhnya barangsiapa berdusta atas namaku maka ia akan masuk kedalam neraka”. [HR al-Bukhoriy: 106, Muslim: 1, at-Turmudziy: 2660, Ibnu Majah: 31 dan Ahmad: I/ 83. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [17]

عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ الَّذِى يَكْذِبُ عَلَيَّ يُبْنىَ لَهُ بَيْتٌ فىِ النَّارِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku akan dibangunkan untuknya rumah di dalam neraka”. [HR Ahmad: II/ 22, 103, 144. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [18]

Dan masih banyak lagi dalil yang semakna tentang ancaman orang yang berani berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa akan ada dan selalu ada di antara umat ini yang berani berdusta atas nama beliau Shallallahu alaihi wa sallam, meskipun larangannya banyak sekali dan hadits tersebut telah mencapai derajat mutawatir. Maka tidaklah aneh jika dari sejak dahulu sampai sekarang ini, banyak orang yang lancang menyampaikan suatu hadits lalu berkata, “telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ini semua telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan selainnya”. Padahal dalil-dalil hadits yang mereka sampaikan itu termasuk dalil yang batil lantaran digolongkan hadits dla’if (lemah) atau bahkan maudlu’ (palsu).

Jika ada seorang muslim atau bahkan pejabat, dicatut namanya oleh seseorang yang lain untuk kepentingan dan keuntungannya atau kelompoknya. Lalu ia mengetahui namanya dicatut yang dapat merugikannya maka ia tentu akan murka dan bahkan akan menuntutnya ke meja pengadilan. Namun ketika nama nabinya Shallallahu alaihi wa sallam dicatut, ia diam saja dan tidak menunjukkan kemarahannya seakan ia tidak memiliki rasa ikatan batin kepada nabinya tersebut.

Oleh sebab itu para ulama hadits berusaha untuk menjaga dan memelihara keaslian dan keotentikan hadits dengan seoptimal dan semaksimal mungkin dalam rangka membela agama dan nabi mereka. Maka dalam masalah isnad ini, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh mereka selain dari mengghibah dan menjelaskan kekurangan, aib dan kelemahan para perawinya atau juga memujinya.

Misalnya; si fulan itu tidak tsiqot (tidak kuat hafalannya), kadzdzab (pendusta), su’ul hifzhi (buruk hafalannya), mudallis dan sebagainya.

Hal lainnya adalah untuk menjelaskan kesalahan atau kesesatan para pentolan bid’ah, para pencetus pemikiran nyleneh dari kaum liberal, kelompok sekuler, para pembela dan kaum fanatik dari kelompok atau aliran sesat seperti ahmadiyah, syiah, baha’iyah, Lia Eden, LDII (Islam Jama’ah), Inkarus Sunnah, NII, berbagai sempalan kelompok tarekat (shufiy) dan lain sebagainya.

Para ulama niscaya akan merasakan kesulitan di dalam memberi pengertian dan pemahaman kepada umat Islam agar berhati-hati dari kelompok-kelompok sesat dan menyesatkan tersebut jika tidak mengghibah atau menerangkan  kesalahan atau kekeliruan dari ajaran dan pemahaman kelompok tersebut. Dan juga untuk memudahkan semua itu terkadang dengan cara meng-ghibah pendiri atau tokoh-tokoh yang bercokol di dalamnya.

Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Jika nasihat itu hukumnya wajib untuk mendapatkan maslahat agama yang sifatnya khusus dan yang bersifat umum. Seperti menyalin hadits yang keliru dan mengandung kedustaan. Yahya bin Sa’id berkata, “Aku pernah bertanya kepada Imam Malik, ats-Tsauriy, al-Laits bin Sa’d –aku rasa juga- al-Awza’iy tentang seseorang yang tertuduh berdusta di dalam hadits atau ia seorang rawi yang tidak hafal”. Mereka berkata, “Kalau begitu, terangkan kondisinya!”.

Sebahagian mereka pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, “Aku merasa berat (sungkan) untuk mengatakan, “si Fulan begini dan si Fulan begitu”. Maka Imam Ahmad berkata,

إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَ سَكَتُّ أَنَا فَمَتىَ يَعْرِفُ اْلجَاهِلُ الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ

“Apabila engkau diam dan aku juga diam (tidak memberi penjelasan), maka sampai kapan orang yang bodoh itu dapat membedakan antara yang sehat (benar) dari yang sakit (salah)?”.

Misalnya para imam bid’ah di antara orang yang tukang bicara yang menyelisihi alqur’an dan sunnah atau ibadah-ibadah yang menyimpang dari keduanya. Maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka hukumnya adalah wajib sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin. Sampai-sampai pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Seseorang yang shaum, sholat dan i’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (keburukan) ahli bid’ah?”. Beliau menjawab, “Jika orang itu sholat dan i’tikaf maka faidahnya hanyalah untuk dirinya sendiri. Sedangkan membicarakan keburukan ahli bid’ah itu faidahnya itu untuk kaum muslimin, maka hal ini lebih utama”.

Imam Ahmad rahimahullah telah menerangkan bahwa membicarakan keburukan ahli bid’ah itu memberi faidah yang umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka berupa jihad pada jalan Allah. Karena membersihkan jalan Allah, agama, minhaj (metode) dan syariat-Nya dan menolak kekejian dan permusuhan mereka itu merupakan fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Seandainya tidak ada orang-orang yang ditegakkan oleh Allah I untuk menolak bahaya mereka niscaya agama akan rusak. Dimana kerusakannya akan lebih parah dibandingkan dari kerusakan yang ditimbulkan akibat dari penjajahan musuh dari kalangan kaum kafirin yang menyerang kaum muslimin. Sebab mereka kaum kafirin itu jika menjajah tidaklah merusak hati dan agama yang telah ada di dalam diri mereka, kecuali dampak lahirnya saja. Sedangkan ahli bid’ah merusak hati sejak dari mula pertama. [19]

Singkatnya untuk menerangkan tentang kejelekan seseorang, meskipun dalam bentuk ghibah yang berkaitan dengan ilmu hadits dan yang berkaitan dengannya agar keaslian dan keotentikannya terjaga maka diperbolehkan.

Bahkan jika orang yang diperbincangkan itu adalah orang yang mempunyai pemahaman sesat dan menyesatkan maka ghibah seperti inipun diperbolehkan bahkan diwajibkan agar umat Islam berhati-hati darinya.

5). Meng-ghibah orang yang terang-terangan menampakkan kefasikan atau bid’ahnya.

Yakni orang yang terang-terangan menampakkan kefasikan atau bid’ahnya, sama seperti orang yang terang-terangan minum khomer, berjudi, korupsi, menarik pajak harta dengan cara yang zholim, mengurusi perkara batil, memakai atau menjual obat-obatan terlarang, menyukai sesama jenis (lesbian atau homo seksual), mempunyai pola pergaulan hidup bebas, durhaka kepada kedua orangtua dan lain-lainnya.

Maka diperbolehkan menyebutkan atau menceritakan aib yang ia lakukan dengan terang-terangan tersebut dalam bentuk mengghibahinya, agar manusia berhati-hati darinya sehingga tidak tertipu oleh perilakunya yang rusak. Dan diharamkan menyebutkan aib-aib yang lainnya yang ia tidak tampakkan kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.

عن عائشة رضي الله عنها أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ: اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُو اْلعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ اْلعَشِيْرَةِ

Dari Aisyah radliyallahu anha, ia mengkhabarkan bahwasanya ada seorang lelaki minta idzin (bertemu) dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Idzinkanlah dia (masuk), dia adalah sejelek-jelek orang di tengah kaumnya”. [HR al-Bukhoriy: 6032, 6054, 6131 dan Muslim: 2591. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diperbolehkan menceritakan aib orang yang membuat kerusakan dan diragukan kebaikannya. Oleh sebab itu Imam al-Bukhoriy  berkata, “Bab apa yang boleh dari mengghibahi orang yang membuat kerusakan dan yang diragukan kebaikannya”. [21]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang dengan ucapan, “Dia adalah sejelek-jeleknya orang di tengah kaumnya”. Ini adalah bentuk ghibah agar setiap orang berwaspada dari keburukannya, sebagaimana Beliau juga pernah menyebutkan keburukan Muawiyah yang sangat miskin dan Abu al-Jahm yang suka memukuli istri-istrinya kepada Fathimah binti Qois radliyallahu anha ketika keduanya meminangnya.

عن عائشة  رضي الله عنها قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَ فُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِيْنِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ: كَانَا رَجُلَيْنِ مِنَ اْلمـُنَافِقِيْنَ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Aku tidak menyangka bahwa si Fulan dan si Fulan itu mengetahui sedikitpun tentang agama kita. Berkata al-Laits, “Keduanya itu dari golongan kaum munafikin”. [HR al-Bukhoriy: 6067, 6068. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [22]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan (menceritakan) keburukan keduanya bahwa keduanya itu tidak memahami sedikitpun dari urusan agama. Karena orang munafik itu tidak memahami sedikitpun dari agama Allah di dalam hatinya. Kendatipun ia memahami dengan pengetahuannya tetapi ia tidak memahami dengan hatinya. Wal ‘Iyaadzu billah. Orang munafik itu menampakkan bahwa ia seorang muslim tetapi sebenarnya ia adalah orang kafir. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَ مِنَ النَّاسِ مَن يَّقُولُ ءَامَنَّـا بِاللهِ وَ بِاْليَوْمِ اْلأَخِرِ  وَ مَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَ مَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَ مَا يَشْعُرُونَ

Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. [QS. al-Baqarah/ 2: 8-9]. [23]

Jadi pemberitahuan yang diutarakan dalam bentuk ghibah itu hanyalah bertujuan agar setiap muslim berhati-hati terhadap orang-orang yang telah dikenal keburukan dan kesesatannya. Agar ia tidak bergaul dengan orang-orang tersebut yang dapat mempengaruhi akhlak dan keyakinannya sehingga akhirnya terpedaya dan mengikuti jejak mereka. Namun dilarang mengghibah atau menyebutkan aib-aib mereka yang tidak dinampakkan.

6). Identifikasi (atau pengenalan).

Jika ada seorang muslim yang sudah dikenal dengan panggilan al-a’masy (si rabun), al-a’raj (si pincang), al-a’ma (si buta) dan selainnya, maka boleh disebutkan. Apalagi laqob (julukan) tersebut memang merupakan sanjungan kepadanya, misalnya; seorang muslim dikatakan al-A’ma (si buta) lantaran matanya buta, yakni tidak mau melihat hal-hal yang terlarang. Atau digelari al-A’raj, lantaran ia hanya baru menguasai ilmu shorof dan belum menguasai ilmu nahwu dan sebagainya. Tetapi tidak boleh menyebutkan gelar tersebut dalam rangka merendahkannya atau memperhinakan dirinya.

Adapun jika ada cara lain untuk mengidentifikasinya tanpa harus menyebutkan gelar-gelar seperti itu maka cara tersebut lebih baik.

Dalam suatu riwayat, dari Asir bin Jabir bahwasanya penduduk Kufah pernah mengirim utusan kepada Umar radliyallahu anhu. Diantara mereka ada seseorang yang dikenal dengan Uwais. Umar bertanya kepada mereka, “Adakah seseorang disini yang berasal dari al-Qoroniyyun?. Maka orang tersebut datang kepadanya. Lalu umar berkata kepadanya, sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رَجُلاً يَأْتِيْكُمْ مِنَ اْليَمَنِ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ لاَ يَدَعُ بِاْليَمَنِ غَيْرَ أُمٍّ لَهُ قَدْ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَدَعَا اللهَ فَأَذْهَبَهُ عَنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ الدِّيْنَارِ أَوِ الدِّرْهَمِ فَمَنْ لَقِيَهُ مِنْكُمْ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ

Sesungguhnya ada seorang lelaki dari Yaman akan datang kepada kalian, yang biasa dikenal dengan nama Uwais. Ia tidak meninggalkan negeri Yaman melainkan disebabkan ibunya. Dahulu ia mempunyai penyakit kusta, lalu ia berdoa kepada Allah kemudian Allahpun melenyapkannya kecuali sebesar uang dinar atau dirham. Jika ada seseorang diantara kalian yang bertemu dengannya, maka mintakanlah ampunan kepada Allah untuk kalian. [HR Muslim: 2542. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

عن عدي بن عميرة الكندي رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنِ اسْتَعَمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلىَ عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُوْلاً يَأْتىِ بِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنَ اْلأَنْصَارِ كَأَنَّهُ أَنْظُرُ إِلَيْهِ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اقْبَلْ عَنىِّ عَمَلَكَ قَالَ: وَ مَالَكَ ؟ قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُوْلُ كَذَا وَ كَذَا قَالَ: وَ أَنَا اَقُوْلُهُ اْلآنَ مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عِلىَ عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيْلِهِ وَ كَثِيْرِهِ فَمَا أُوْتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَ مَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى

Dari Adiy bin Amirah al-Kindiy radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang aku pekerjakan pada suatu pekerjaan. Lalu ia menyembunyikan jarum atau lebih, dari kami. Maka berarti ia berkhianat, yang ia akan datang membawanya pada hari kiamat”. Berkata (Adiy), “Maka berdirilah seorang lelaki (yang kulitnya) hitam dari golongan Anshor menuju kepadanya. Seolah-olah aku melihatnya”. Ia berkata, “Wahai Rosulullah! Terimalah amalmu dariku”. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi padamu?”. Ia berkata, “Aku mendengarmu mengatakan ini dan itu”. Beliau bersabda, “Sekarang aku katakan, barangsiapa di antara kalian yang aku pekerjakan suatu pekerjaan, lalu ia datang dengan sedikit atau banyaknya. Maka apa yang diberikan ia ambil dan apa yang dilarang ia tinggalkan”. [HR Muslim: 1833 dan Abu Dawud: 3581. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [25]

Di dalam dua hadits di atas disebutkan Uwais itu dahulunya kena penyakit kusta dan seseorang yang kulitnya hitam. Ucapan tersebut untuk identifikasi dan memperjelas bukan untuk merendahkan.
Demikian beberapa faktor yang membolehkan melakukan ghibah, meskipun dengan kaidah-kaidah yang ketat. Maka jika tidak memenuhi kaidah atau syarat tersebut maka hukumnya kembali kepada asalnya yaitu haram.

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

1). “Bahwa bolehnya ghibah itu untuk hal-hal di atas adalah sifat yang datang kemudian (maksudnya bukan hukum asal). Sebab jika telah hilang illat (penyebab)nya maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal yaitu haram.
2). Dibolehkannya ghibah itu adalah karena bersifat darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut mesti diukur sesuai dengan ukurannya (yakni seperlunya saja), tidak boleh memperluas bentuk-bentuk di atas. Bahkan orang yang menganggapnya darurat itu hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala Rabbnya dan jangan termasuk dari orang-orang yang melampaui batas”. [26]

Demikianlah beberapa perkara yang diperbolehkan ghibah di dalamnya bahkan ada sebahagian perkara yang diwajibkan ghibah padanya. Namun perlu diingat bahwa ghibah itu pada asal hukumnya adalah haram, tidak diperbolehkan seorang muslim meng-ghibah muslim yang lain kecuali yang diperbolehkan atasnya dengan beberapa syarat.

Dengan demikian selesailah pembahasan tentang ghibah. Dan mudah-mudahan penjelasan ini memberi manfaat kepada kaum muslimin untuk memahaminya, dan tidak memudah-mudahkan diri untuk meng-ghibah saudaranya sesama muslim.

Wallahu a’lamu bish showab.

[1] Lihat Rosa’il as-Salafiyyah fii Ihya’ Sunnah Khair al-Bariyyah, ar-risalah ats-tsaniyah rof’u ar-ribah ‘ammaa yajuzu wa ma la yajuzu min al-Ghibah oleh al-Imam asy-Syaukaniy, Riyadl ash-Shalihin oleh al-Imam an-Nawawiy bab ma yubahu min al-Ghibah halaman 450, Subul as-Salam oleh al-Imam ash-Shin’aniy: IV/ 351-352, al-Adzkar  bab Bayan ma yubahu min al-Ghibah halaman 340 oleh al-Imam an-Nawawiy, Nail al-Awthor bi takhrij Ahadits kitaab al-Adz-kar: II/ 733-737 oleh asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy dan Fiq-h ad-Da’wah wa Tazkiyah an-Nufus bab al-Ghibah wa Atsaruha as-Sayyi’i fi al-Mujtama’ oleh asy-Syaikh Husain bin Audah al-Awayisyah halaman 448.
[2] Bahjah an-Nazhirin: III/ 33.
[3] Aysar at-Tafasir: I/ 564.
[4] Shahih Sunan Ibni Majah: 1615, Shahih Sunan Abii Dawud: 1879, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5137, Misykah al-Mashobih: 3261 dan Ghoyah al-Maram: 251.
[5] Ungkapan bagi wanita yang tidak pernah disentuh dan digauli oleh suaminya.
[6] Shahih Sunan Abi Dawud: 1220, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7946 dan Irwa’ al-Ghalil: 2015.
[7] Irwa’ al-Ghalil: VII/ 79.
[8] Shahih al-Adab al-Mufrad: 92, 93 dan Shahih Sunan Abii Dawud: 4292.
[9] Shahih Sunan Abi Dawud: 2147 dan Irwa’ al-Ghalil: VII/ 64-65.
[10] Shahih Sunan Abi Dawud: 3017, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5010, Shahih Sunan Ibni Majah: 1857, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3221 dan Irwa’ al-Ghalil: 2158.
[11] Bahjah an-Nazhirin: III/ 54.
[12] Mukhtashor Shahih Muslim: 862.

[13] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2639, 2640.
[14] Lihat Shahih Muslim halaman 10-11, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 11-12, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: I/ 84- 88 dan as-Sunnah wa makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy halaman 90-91.
[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 1862 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2142.
[16] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1841, 2141, 2143, 2150, Shahih Sunan Abi Dawuu: 3192, Shahih Sunan Ibni Majah: 28, 30, 31, 34, 35 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6519.
[17] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2146, Shahih Sunan Ibni Majah: 29 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7437.
[18] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1694 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1618.
[19] Majmu’ Fatawa: XXVIII/ 231-232.
[20] Shahih al-Jami’ ash-Shaghiir: 7925, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1049, Misykah al-Mashobih: 4829, telah berlalu takhrijnya.
[21] Bahjah an-Naazhirin: III/ 50.
[22] Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 5539.
[23] Syarh Riyadl ash-Shalihin: IV/ 177.
[24] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2083, Mukhtashor Shahih Muslim: 1747, 1748 dan Misykah al-Mashobih: 6257.
[25] Mukhtasor Shahih Muslim: 1214, Shahih Sunan Abi Dawud: 3056 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6025.
[26] Bahjah an-Nazhirin: III/ 35-36.