السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Jumat, 31 Mei 2013

AKHI, JIKA ENGKAU MENGUAP MAKA KENDALIKANLAH !!

HUKUM MENGUAP DALAM ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
      
Menguap (angop; jawa, heuay; sunda) adalah salah satu kebiasaan yang menimpa umat manusia. Terutama jika ia telah ditimpa rasa kantuk yang berat dan condong ingin tidur. Penyebab kantuk yang mendorong untuk menguap itu biasanya karena rasa letih, perut kekenyangan, tubuhnya berat dan rasa malas yang menyerang.

Menguap adalah gejala yang menunjukkan bahwa otak dan tubuh orang tersebut membutuhkan oksigen dan nutrisi. Dan karena organ pernafasan kurang dalam menyuplai oksigen kepada otak dan tubuh.

Dan hal ini terjadi ketika kita sedang kantuk atau pusing, lesu atau ketika seseorang sedang mengalami sakit keras.

Dan menguap adalah aktivitas menghirup udara dalam-dalam melalui mulut, dan mulut itupun tidak dengan cara biasa menarik nafas dalam-dalamnya. Karena datangnya keinginan menguap itu terkadang secara tiba-tiba dan tanpa dikehendaki. Tiba-tiba seseorang membuka mulut lebar-lebar menghirup udara dan menguap!!. Untuk diketahui, mulut bukanlah organ yang disiapkan untuk menyaring udara seperti hidung.

Maka, apabila mulut tetap dalam keadaan terbuka ketika menguap, maka masuk juga berbagai jenis mikroba dan debu, atau kutu bersamaan dengan masuknya udara ke dalam tubuh. Di samping itu setan akan masuk pula melalui mulut yang terbuka tersebut, sebagaimana akan datang penjelasannya.
Oleh karena itu, datang petunjuk nabawi yang mulia agar kita melawan “menguap” ini sekuat kemampuan kita, atau pun menutup mulut saat menguap dengan tangan. Dan di dalam menyikapi perbuatan menguap ini, ada beberapa adab yang mesti dilakukan oleh seorang muslim, yaitu,

1). Anjuran untuk Menolak menguap

Adab pertama di dalam menguap adalah berusaha sekuat tenaga untuk menolak dan mencegah terjadinya menguap dengan berusaha tetap menutup dan merapatkan mulut.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلعُطَاسَ وَ يَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ فَإِذَا عَطَسَ فَحِمَدَ اللهَ فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ وَ أَمَّا التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ مِنْهُ الشَّيْطَانُ

“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika seseorang bersin dan mengucapkan ‘Alhamdulillah’, maka bagi semua muslim yang mendengarnya hendaklah mengucapkan ‘tasymit’ (yaitu mengucapkan yarhamukallah). Adapun menguap adalah dari setan, maka hendaknya ditahan semampunya. Jika ia (ketika menguap) mengatakan, ‘huaahh’, maka setanpun tertawa”. [HR. al-Bukhoriy: 6223, 6226 dan Abu Dawud: 5028. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Adapun menguap itu dari setan dan oleh karena itu Allah membencinya. Kenapa??, karena menguap itu merupakan bukti akan kemalasan. Oleh sebab itu banyak menguap itu akan menimpa orang yang ingin tidur. Dan juga karena menguap itu merupakan bukti kemalasan, maka Allah membencinya. Maka langkah pertama apabila seseorang menguap adalah mencegah (terjadi)nya dan bersabar (di dalam mencegahnya)”. [2]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

التَّثَاؤُبُ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Menguap itu dari setan, maka apabila seseorang di antara kalian menguap maka tahanlah sesanggup kalian”. [HR Muslim: 2994].

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيْهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika seorang dari kalian menguap, hendaklah ia menutup mulutnya dengan tangan, sebab setan bisa masuk”. [HR. Muslim: 2995 dan Abu Dawud: 5026. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,

1). Hadits di atas menunjukkan bahwa menguap itu dari setan untuk membawa orang yang menguap itu kepada kemalasan.
2). Menguap itu, kebanyakan terjadi karena beratnya badan dan penuhnya (perut dengan makanan), membuatnya lemah dan condong kepada kemalasan. Hal ini akan membawa kepada syahwat yang merupakan jerat setan. [4]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah berkata, “Menguap itu umumnya dibarengi dengan rasa berat, lemas dan penuh di tubuh serta lebih condong kepada sifat malas. Menguap disandarkan kepada setan sebab dia-lah yang mengajak kepada nafsu syahwat. (Hadits di atas) sebagai peringatan untuk menjauhi sebab-sebab yang dapat menimbulkan menguap, yaitu makan terlalu banyak atau berlebih-lebihan.” [5]

Dalil hadits dan penjelasan di atas menerangkan kepada kita, bahwa menguap itu dari setan, dan ia menyukai perbuatan menguap yang dilakukan manusia. Jika seseorang hendak menguap maka hendaklah sekuat tenaga untuk menolak dan mencegah terjadinya dengan menutup dan merapatkan mulut.

Menguap Ketika Sholat

Demikian pula bila dirasa menguap tersebut akan datang kepada seseorang yang sedang mengerjakan ibadah sholat, maka hendaknya ia lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menolaknya. Sebab kondisi sholat itu lebih utama untuk dijaga dari pada kondisi-kondisi selainnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah mengatakan, “Dan di antara yang diperintahkan bagi orang yang menguap adalah, ‘jika sedang shalat, maka dia harus menghentikan bacaannya sampai menguapnya selesai, agar bacaannya tidak berubah’. Pendapat yang seperti ini disandarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Mujahid, ‘Ikrimah, dan para tabi’in yang masyhur”. [6]

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Apabila seseorang dari kalian menguap dalam sholat, maka hendaklah ia menahannya sebatas kemampuannya, sebab setan bisa masuk. [HR Muslim: 2995 (59) dan Abu Dawud: 5027. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

Bisakah setan masuk melalui mulut manusia?. Hal ini bukanlah hal aneh dan mengherankan bagi orang yang beriman. Sebab setan benar-benar bisa masuk ke tubuh manusia melalui peredaran darahnya. Sebagaimana telah dipahami di dalam sebuah hadits,

عن علي بن الحسين فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَبْلُغُ مِنِ ابْنِ آدَمَ مَبْلَغَ الدَّمِ

Dari Ali bin Husain radliyallahu anhu, Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan itu dapat mencapai tempat mengalirnya darah manusia”. [HR al-Bukhoriy: 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171, Muslim: 2175 dan Abu Dawud: 2470, 4994. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

التَّثَاؤُبُ فِي الصَّلاةِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ

“Menguap ketika sholat adalah dari setan, jika salah seorang dari kalian menguap, maka tahanlah semampunya”. [HR at-Turmudziy: 370 dan Ahmad: II/ 397. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Al-Imam Malik rahimahullah berkata,

“Mulutnya ditutup dengan tangannya ketika sholat sampai selesai menguap. Jika menguap ketika sedang membaca bacaan sholat, kalau dia memahami apa yang dibaca, maka hukumnya makruh namun sudah mencukupi baginya (bacaan dia). Tetapi jika tidak memahaminya, maka dia harus mengulangi bacaannya, dan jika tidak mengulanginya, -kalau bacaan tersebut adalah surat al-Fatihah-, maka itu tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), dan kalau selain al-Fatihah, maka sudah mencukupinya (sholatnya sah).” [10]

Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah menerangkan,
“Pasal tentang beberapa masalah yang langka di tengah-tengah umat namun sangat butuh untuk dijelaskan kepada mereka, adalah di antaranya,
Seseorang yang menguap ketika sholat, dia harus menghentikan bacaan sholatnya sampai menguapnya selesai, kemudian melanjutkan bacaannya. Ini adalah perkataan Mujahid, dan ini ucapan yang bagus. [11]

2). Menutup mulut dengan tangan

Namun jika menutup dan merapatkan mulut di dalam mencegah menguap itu sulit, maka hendaknya menutup mulut dengan tangannya.

Menutup mulut dengan tangan merupakan salah satu dari adab Islam ketika menguap. Adapun di antara faidahnya adalah, 1). Melaksanakan perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. 2). Agar tidak terlihat pemandangan yang kurang sedap dari mulut orang yang menguap, apalagi jika mengeluarkan bau tak sedap. 3). Agar setan tidak menertawakannya.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيْهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ

“Jika seorang dari kalian menguap, hendaklah ia menutup mulutnya dengan tangan, sebab setan bisa masuk”. [HR. Muslim: 2995 dan Abu Dawud: 5026. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Namun di dalam prakteknya banyak di antara kaum muslimin ketika seseorang di antara mereka menguap lalu menutup mulutnya dengan punggung tangannya, dan menetapkannya. Namun hal ini ternyata tidak ada asalnya di dalam agama, sebagaimana telah dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah.

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Jika engkau terasa berat untuk mencegah (menguap) maka letakkan tanganmu pada mulutmu. Namun apa yang dikatakan oleh sebahagian ulama rahimahumullah ‘bahwa engkau meletakkan punggung tangan di atas mulut’, maka itu tidak ada asalnya. Sesungguhnya engkau meletakkan bagian dalam tangan (telapak tangan) -seperti ini-, menutup mulut. Sebabnya, apabila manusia menguap maka setan akan tertawa dari sebabnya. Setan tahu bahwa hal tersebut merupakan bukti akan kemalasan dan kelesuannya. Dan setan sangat senang jika anak Adam (manusia menjadi pemalas dan lesu –Semoga Allah melindungi kami dan kalian-. Setan juga membenci orang yang rajin lagi sungguh-sungguh, yang selalu teguh, kuat dan rajin”. [13]

3). Tidak mengucapkan ‘Haaah’, ‘Huuaaah’ atau semacamnya

Terkadang jika ada seseorang menguap baik disengaja ataupun tidak, ia berteriak keras sambil bersuara ‘huuaaaaaahhh’. Padahal hal tersebut dilarang dan dapat mengundang tawa setan. Disamping itu juga mengeluarkan suara tersebut membuat Allah ta’ala tidak suka.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan pada hadits di atas. Alasannya adalah, suara seperti ini dapat membuat setan tertawa. Ia menertawakan orang yang menguap dengan cara seperti ini. Maukah engkau ditertawakan oleh setan?. Tentu saja kita tidak ingin membuat setan tertawa lantaran merasa senang dan menang. Senang karena kita termakan oleh keinginnannya dan menang karena kita dapat dikalahkan olehnya. Dan, karena tertawanya setan adalah masalah ghaib dan kita tidak mengetahui tertawanya, maka suara ‘huaahh’ tersebut tetap dan masih banyak dilakukan oleh banyak dari kaum muslimin.

4). Tidak mengangkat/ mengeraskan suara ketika menguap

Mengangkat atau mengeraskan suara ketika menguap termasuk adab yang tidak baik, tidak enak didengar dan dapat membuat orang lari menjauh. Apalagi jika mengeluarkan bau yang tidak sedap dari mulutnya, lantaran tidak bersiwak atau gosok gigi atau sehabis makan makanan yang menimbulkan bau menyengat dan selainnya.

Sebagian orang terkadang sengaja mengangkat suara ketika menguap untuk membuat orang tertawa, dan dia bangga melakukannya. Ketahuilah! Itu bukan adab yang baik. Justru sebaliknya setan yang akan menertawakannya. Maka itu, hendaklah ia meninggalkan menguap dengan cara seperti ini.

Tidak ada doa atau bacaan khusus ketika menguap

Sebagian orang ada yang membaca ta’awwudz (yaitu bacaan, ‘A’udzu billahi minasy syaithonir rojim’; aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk) setiap kali menguap. Hal ini merupakan kesalahan dan kekeliruan yang dapat kita lihat dari beberapa sisi,

1). Ucapan atau doa ini tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat radhiyallahu anhum. Bila ucapan itu baik, niscaya mereka tentu telah mendahului kita dalam mengamalkannya.
2). Mengamalkan suatu amalan atau doa dan meyakininya termasuk dalam ajaran agama padahal tidak ada contohnya di dalam Islam maka hal ini merupakan bid’ah (perkara baru dalam agama), dan bid’ah itu wajib dijauhi.
3). Orang yang membaca doa ini telah meninggalkan sunah fi’liyah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika menguap, yakni perintah untuk menolaknya sekuat tenaga dan jika tidak mampu, menutup mulut dengan tangan.

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Tetapi apakah kamu akan mengucapkan ‘A’udzu billahi minasy syaithonir rojim’ “. Tidak, karena hal tersebut tidak pernah datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengajarkan kita, tentang apa yang harus kita perbuat ketika menguap. Beliau tidak mengatakan, ‘Ucapkanlah ini!’. Beliau hanyalah mengucapkan, ‘Tahanlah ! atau cegahlah dengan tangan !’ dan tidak mengatakan, ‘Ucapkanlah, a’udzu billahi minasy syaithonir rojim !’.
 Adapun yang telah terkenal pada sebahagian manusia bahwa seseorang itu apabila menguap hendaknya membaca ‘A’udzu billahi minasy syaithonir rojim’. Maka hal ini tidak ada asalnya. Karena ibadah-ibadah itu dibangun aras syar’iy bukan hawa nafsu. Sebahagian orang ada yang mengatakan, ‘Bukankah Allah berfirman ((Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. QS Fushshilat/ 41: 36)). Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa menguap itu dari setan, maka apakah ini juga merupakan gangguan?’. Kami jawab, ‘Bukan, sungguh engkau telah memahami ayat tersebut dengan salah. Karena yang dimaksud dari ayat ((Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. QS Fushshilat/ 41: 36)) adalah menyuruh kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka inilah yang dimaksud dengan gangguan. Sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman tentangnya, bahwa setan suka mengganggu di antara manusia. Maka inilah gangguannya, ‘menyuruh berbuat maksiat dan melalaikan dari kewajiban’. Jika engkau merasakan hal tersebut maka ucapkanlah, ‘a’udzu billahi minasy syaithonir rojim’. Adapun menguap bukanlah termasuk di dalamnya melainkan hanyalah sunnah fi’liyah (perbuatan), yaitu mencegah dengan sekuat kemampuanmu, dan jika engkau tidak mampu, maka letakkan tanganmu pada mulutmu”.  [14]

Semoga penjelasan singkat tentang menguap dan adabnya dalam Islam ini dapat bermanfaat untukku dan keluargaku serta seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bish showab.

[1] Shahih Sunan Abu Dawud: 4206, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1884, 425 dan Irwa’ al-Ghalil: 780.
[2] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 185.
[3] Shahih Sunan Abu Dawud: 4204 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 426.
[4] Bahjah an-Nazhirin: II/ 151.
[5] Syar-h Shahih Muslim: XVIII/ 122.
[6] Fat-h al-Bariy: X/ 612.
[7] Mukhtashor Shahih Muslim: 345, Shahih Sunan Abu Dawud: 4205 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 427.
[8] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 997, Mukhtasor Shahih Muslim: 1437, Shahih Sunan Abi Dawud: 2158, 4178 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1658
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 304 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3012.
[10] Mawahib al-Jalil fi Syar-h Mukhtashar asy-Syaikh Khalil (II/308) cetakan Dar Alimil Kutub.
[11] At-Tibyan fi Adab hamalat al-Qur’an, halaman 114.
[12] Shahih Sunan Abu Dawud: 4204 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 426.
[13] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 186.
[14] Syar-h Riyadl ash-Sholihin: III/ 186.

SUDAH BENARKAH MANDI HAIDL ATAU NIFASMU, WAHAI SAUDARIKU???

SHIFAT MANDI JANABAT DAN HAIDL (2)
بسم الله الرحمن الرحيم

Bagaimana caranya mandi haidl/ nifas?

Berikut ini akan dijelaskan akan tata cara mandi haidl yang telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada kaum perempuan dari kalangan shahabat. Penjelasan tentang kaifiyat mandi haidl ini juga merupakan penjelasan tentang kaifiyat mandi nifas bagi wanita yang melahirkan. Sebab terkadang kata-kata nifas mempunyai makna haidl, sebagaimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menanyakan kepada istrinya Aisyah radliyallahu anha, أَ نَفِسْتِ ؟ (Apakah engkau nifas yaitu haidl?), [1] ketika bersedih lantaran tidak dapat melakukan thawaf sebagaimana wanita lain dapat melakukakannya. [2]

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ أَسمْاَءَ سَأَلَتِ النَّبِيَّ  صلى الله عليه و سلم عَنْ غَسْلِ اْلمـَحِيْضِ ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَ هَا وَ سِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسمْاَءُ: وَ كَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا؟ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ تَطَهَّرِيْنَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ (كَأَنهَّاَ تُخْفِى ذَلِكَ): تَتَّبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمَ وَ سَأَلْتُهُ عَنْ غُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطَّهُوْرَ أَوْ تُبْلِغُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتىَّ تَبْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ اْلحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فىِ الدِّيْنِ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Asma’ pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang mandi haidl. Beliau menjawab, ”Hendaklah seseorang di antara kalian mengambil air dan daun sidrahnya (sekarang ini misalnya sabun). Lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia menuangkan (air) di atas kepalanya lalu menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga mencapai ujung kepala. Selanjutnya ia menuangkan air (ke seluruh tubuhnya), kemudian mengambil kain yang diberi wewangian lalu ia membersihkan dengannya”. Asma berkata, ”Bagaimana cara membersihkan dengannya?”. Beliau bersabda, ”Subhanallah, engkau bersihkan dengannya”. Aisyah berkata (seolah-olah ia merahasiakan hal itu), ”Ikutilah sisa-sisa darah”. Asma juga bertanya tentang mandi janabat. Beliau menjawab, ”Hendaklah ia mengambil air lalu ia bersuci dan membaguskan atau menyempurnakan bersucinya. Kemudian menuangkan air di atas kepalanya dan menggosok-gosoknya sehingga sampai keujung kepala lalu mengguyurkan air atasnya”. Aisyah berkata, ”Sebaik-baik perempuan adalah perempuan anshor karena rasa malu tidak mencegah mereka untuk memahami agama”. [HR Muslim: 332, al-Bukhoriy: 314, 315, 7357, an-Nasa’iy: I/ 136-137, Abu Dawud: 314, 315, 316, Ibnu Majah: 642, Ahmad: VI/ 122 dan al-Hakim: 248.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Berdasarkan dalil hadits di atas, dipahami cara mandi haidl yang pernah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada Asma’, yaitu;

1). Si wanita mempersiapkan air dan daun sidrah/ bidara (sekarang ini bisa diganti dengan sabun).

Sebelum mandi, hendaknya wanita yang ingin mandi haidl atau nifas itu mempersiapkan diri dengan menyediakan air dan daun sidrah, jika ada. Namun jika tidak ada, hendak menyiapkan sabun untuk membersihkan darah yang barangkali masih melekat pada daerah kemaluannya yang terkena bekas-bekas darah. Dan juga menyiapkan wewangian berupa minyak kesturi atau semisalnya dan juga secarik kain atau kapas untuk mengoleskan wewangian itu pada bagian yang terkena bekas-bekas darah untuk mengihalangkan bebauan yang tidak menyenangkan.
Disunnahkan menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haidl.

2). Niat yang tidak diucapkan lisan.
3). Mengucapkan tasmiyah (bismillah).
4). Kemudian bersuci (wudlu) lalu membaguskan berwudlunya.

Yakni wanita yang hendak melakukan mandi haidl atau nifas itu mengawalinya dengan wudlu yang sempurna dengan menyisakan pembasuhan kaki atau boleh juga tidak, sebagaimana dilakukan seperti pada mandi janabat.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Ketika mengomentari hadits Aisyah radliyallahu anha di atas, “Bahwa yang dimaksud bersuci yang pertama adalah wudlu sebagaimana di dalam sifat mandinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”.  [4]

 عن عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتِ النَّبيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ أَغْتَسِلُ عِنْدَ الطُّهُوْرِ؟ قَالَ: خُذِي فِرْصًة مُمْسِكَةً فَتَوَضَّئِي بِهَا قَالَتْ: كَيْفَ أَتَوَضَّأُ بِهَا؟ قَالَ: تَوَضَّئِي بِهَا قَالَتْ: كَيْفَ أَتَوَضَّأُ بِهَا؟ قَالَتْ: ثُمَّ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَبَّحَ وَ أَعْرَضَ عَنْهَا فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ لمِــَا يُرِيْدُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: فَأَخَذْتهُاَ وَ جَبَذْتهُاَ إِلَيَّ فَأَخْبَرْتهُاَ بِمَا يُرِيْدُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
           
Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya seorang wanita pernah bertanya kepada nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bagaimana caranya aku mandi ketika bersuci?”. Beliau menjawab, “Ambillah secarik kain (atau kapas) yang diberi wewangian lalu berwudlulah (bersihkan) dengannya”. Ia berkata lagi, “Bagaimanakah caranya aku membersihkan dengannya ?”. Beliau menjawab, “bersihkan dengannya”. Wanita itu berkata lagi, “Bagaimanakah caranya aku membersihkan dengannya?”. Aisyah berkata, ”Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertasbih dan berpaling darinya”. Maka mengertilah Aisyah terhadap apa yang diinginkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Aisyah berkata, ”Lalu aku memegang dan menariknya kepadaku lalu mengkhabarkan kepadanya tentang apa yang diinginkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. [HR an-Nasa’iy: I/ 207-208. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [5]

5). Kemudian menuangkan (air) ke atas kepalanya lalu menggosok-gosokkan dengan keras sehingga mencapai akar-akar rambut.

            Yakni menuangkan air ke atas kepala lalu menggosok-gosokkan jari jemari pada kulit kepala dengan kuat agar air masuk ke pori-pori rambut kepala. Maka pada saat itu, disyariatkan untuk menguraikan atau melepaskan sanggulan atau kepangan rambut kepala yang tidak dilakukan pada waktu mandi janabat.

عن عائشة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ لَهَا وَ كَانَتْ حَائِضًا: انْقُضِي شَعْرَكِ وَ اغْتَسِلِيْ قَالَ عَلِيٌّ فىِ حَدِيْثِهِ: انْقُضِي رَأْسَكِ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya dan ia sedang haidl, ”Uraikan rambutmu dan mandilah”. Ali berkata di dalam haditsnya, ”Uraikan (rambut) kepalamu”. [HR Ibnu Majah: 641. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Berkata as-Syaikh al-Albaniy rahimahullah , ”Yang kedua; bahwasanya (hadits ini) datang tentang haidl dan yang itu di dalam janabat, sebagaimana zhahirnya. Penghimpunan (hadits) di antara keduanya adalah diwajibkan penguraian (rambut) di dalam mandi haidl dan tidak pada mandi janabat. Dengan ini pulalah berkata al-Imam Ahmad dan selainnya dari ulama salaf”. [7]

Ia berkata lagi, “Kemudian di dalam hadits ini jelas terdapat perbedaan antara mandi haidlnya seorang wanita dan mandi janabatnya ketika Beliau menguatkan atas mandi haidl agar bersungguh-sungguh di dalam menggosok-gosok dengan keras dan bersuci, yang Beliau tidak menguatkan yang semisalnya di dalam mandi janabat. Sebagaimana di dalam hadits Ummu Salamah radliyallahu anha yang telah disebutkan di dalam kitab merupakan dalil atas tidak wajibnya menguraikan (rambut) di dalam mandi janabat. Dan ini jugalah yang diinginkan di dalam hadits Ubaid bin Umair dari Aisyah radliyallahu anha dengan mengkaitkan mandinya Aisyah bersama dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Maka tiada perselisihan diantara hadits-hadits tersebut dengan rincian ini, yaitu wajib penguraian (rambut) di dalam mandi haidl dan tidak wajib di dalam mandi janabat, hal ini berbeda dengan yang dipegang oleh Mushannif (si penyusun kitab) [8]  dan madzhabnya yang menolak hadits Aisyah tanpa hujjah, dan hal ini tidak boleh. Al-Imam Ahmad berpegang kepada rincian tersebut dan dishahihkan oleh Ibnu al-Qoyyim rahimahullah di dalam Tahdzib as-Sunan. Rujuklah (I/ 165-168) dan ini juga madzhabnya Ibnu Hazm (II/ 37-40). [9]

6). Kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh.

            
 Yakni mengguyurkan air ke seluruh tubuh, ia mandi sebagaimana pada umumnya seseorang mandi. Di dalam hal ini, ia boleh menggunakan sabun untuk menggosok-gosok seluruh tubuhnya agar hilang semua bebauan yang tidak menyenangkan. Dan ia juga boleh menggunakan shampo untuk membersihkan, mengharumkan dan menyehatkan rambut dan kepalanya.

 7). Kemudian mengambil secarik kain yang diberi wewangian lalu mengoleskan dengannya yaitu mengikuti bekas-bekas darahnya.

Jika wanita itu telah selesai dari mandi haidl atau nifasnya, hendaknya ia mengambil secarik kain yang diberi wewangian lalu mengoleskannya pada kemaluannya dan pada bagian yang terkena sisa-sisa darah haidl atau nifas.

Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, ”(أثر الدم = sisa-sisa/ bekas-bekas darah) yang dimaksud dengannya menurut para ulama adalah farji. Berkata al-Muhamiliy, “Dianjurkan bagi wanita untuk memberi wewangian ke seluruh bagian badan yang terkena darah”. [10]

Katanya lagi, “Dan yang dimaksud dengan menggunakan wewangian adalah untuk mencegah atau menghilangkan bebauan yang tidak disukai (busuk), berdasarkan penjelasan yang shahih”. [11]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Yang benar adalah bahwa yang demikian itu dianjurkan bagi setiap wanita yang mandi dari sebab haidl atau nifas. Bagi wanita yang memiliki kesanggupan hukumnya makruh jika meninggalkan perbuatan tersebut.  Jika ia tidak mempunyai minyak kesturi maka boleh ia memakai wewangian (selainnya). Apabila juga tidak ada maka hendaklah ia menghilangkannya dengan menggunakan tanah lumpur, dan jikapun tidak ada maka dengan menggunakan airpun mencukupi”.  [12]

Perbedaan mandi haidl dengan mandi janabat

1). Mengurai rambutnya yang dikepang dan menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya pada mandi haidl. Sedangkan pada mandi janabat tidak disyariatkannya penguraian rambut tersebut.
2). Mengoleskan sepotong kain atau kapas yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah sesudah mandi haidl atau nifas. Sedangkan pada mandi janabat tidak disyariatkannya menggunakan wewangian. Karena pada saat haidl atau nifas keluar darah kewanitaan yang terkadang menimbulkan bau busuk, maka mandi saja kurang mencukupi, jadi hendaknya dengan mengoleskan wewangian pada bahagian bekas-bekas keluarnya darah.

Wallahu a’lam bish showab.

[1]  Nail al-Awthar: V/ 55.
[2]  HR al-Bukhoriy: 294, 305, 5548, 5559, Muslim: 1211 (119), Ibnu Majah: 2963 dan Ahmad: VI/ 273 dari Aisyah radliyallahu anha. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imaam al-Bukhoriy: 178, Shahih Sunan Ibni Majah: 2398 dan Irwa’ al-Ghalil: 191.
[3]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 177, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 177,  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 245, Shahih Sunan Abi Dawud: 306, 307, 308 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 525.
[4] Shahih Muslim bi Syar-h al-Imam an-Nawawiy: IV/ 15.
[5] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 414.
[6] Shahih Sunan Ibni Majah: 524, Irwa’ al-Ghalil: 134 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 188.
[7]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 139.
[8]  Maksudnya si peyusun kitab Fiqhus sunnah yaitu as-Sayyid Sabiq. Lalu kitab tersebut dita’liq (dikomentari) oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam kitab Tamam al-Minnah.
[9]  Tamam al-Minnah halaman 125.
[10] Fat-h al-Bariy: I/ 416 dan Shahih Muslim bi Syar-h al-Imam an-Nawawiy: IV/ 15.
[11] Fat-h al-Bariy: I/ 416.
[12] Fat-h al-Bariy: I/ 416.

SUDAH BENARKAH MANDI JANABATMU, WAHAI SAUDARAKU???

SHIFAT MANDI JANABAT DAN HAIDL (1)
 بسم الله الرحمن الرحيم

Berikut ini akan dijelaskan tentang kaifiyat atau tata cara mandi janabat dan mandi haidl sebagaimana yang telah diperagakan dan diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Banyak di kalangan kaum muslimin yang tidak memahami cara mandi janabat, bahkan juga orang yang telah menikah dalam kurun waktu yang lama. Mereka hanya mengetahui bahwa ‘mandi besar’ itu hanyalah mandi seperti biasa tanpa diawali oleh amalan tertentu yang disyariatkan. Bahwa mandi itu hanyalah mengguyurkan air keseluruh tubuh, dan disyaratkan di dalamnya dengan membersihkan rambut dengan shampoo dan menggosok seluruh tubuh dengan sabun.

Padahal anggapan yang telah turun menurun itu tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan dan diperintahkan oleh teladan kita yaitu Rosululllah Shallallahu alaihi wa sallam.

Bagaimanakah caranya mandi janabat?

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ شَعْرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ (و فى رواية: حَتىَّ إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ) عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيْضُ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila mandi dari janabat beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Lalu memasukkan jemarinya ke air kemudian menyela-nyela ujung rambutnya lalu menuangkan (dalam satu riwayat, sehingga apabila ia telah yakin telah mengairi kulit kepalanya, ia menuangkan) air atas kepalanya tiga cidukan dengan kedua tangannya kemudian ia menuangkan air ke seluruh kulitnya. [HR al-Bukhoriy: 248, 262, 272 dan lafazh hadits ini di dalam Mukhtashor Shahiih al-Imam al-Bukhooriy, Muslim: 316, Abu Dawud: 242, 243, at-Turmudziy: 104, an-Nasa’iy: I/ 134 dan Ahmad: I/ 307, 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ (وفى رواية: صَبَبْتُ) لِلنَّبِيِّ مَاءً لِلْغُسْلِ [مِنَ اْلجَنَابَةِ] [وَ سَتَرْتُهُ] فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفْرَغَ [بِيَمِيْنِهِ] عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرَهُ (و فى رواية: فَرْجَهُ وَ مَا أَصَابَهُ مِنَ اْلأَذَى) ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ (و فى رواية:  ثُمَّ دَلَّكَ بِهَا اْلحَائِطَ و فى أخرى: بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ) [مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا] [ثُمَّ غَسَلَهَا] ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ [وَ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا] (و فى رواية: تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ) ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ [ثُمَّ أَتيَ بِمِنْدِيْلٍ فَلَمْ يَنْفُضْ بِهَا (و فى رواية: فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَ لَمْ يُرِدْهَا) (و فى أخرى: فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ فَانْطَلَقَ وَ هُوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ)] فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ

Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, ”Aku yang meletakkan (di dalam satu riwayat: yang menuangkan) air bagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mandi (dari janabat). Aku menutupinya (dari pandangan manusia), maka Beliau membasuh kedua tangannya dua atau tiga kali kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya (di dalam satu riwayat, farjinya dan apa yang terkena kotoran). Lalu mengusap tangannya ke tanah (di dalam satu riwayat, lalu menggosok-gosokkan tangannya ke dinding, di dalam riwayat yang lain, ke tanah atau dinding), dua atau tiga kali. Kemudian membasuhnya, lalu berkumur-kumur, beristinsyaq, membasuh wajah, kedua tangan (dan membasuh kepalanya tiga kali) (di dalam satu riwayat, berwudlu seperti wudlunya untuk sholat kecuali kedua kakinya). Lalu menuangkan (air) ke seluruh tubuhnya kemudian berpindah dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya. Lalu didatangkan kepadanya handuk kecil tetapi Beliau tidak mengibaskan kain tersebut ke tubuhnya (di dalam satu riwayat, lalu aku ambilkan untuknya secarik kain, maka Beliau berkata dengan tangannya, ”Begini dan Beliau tidak menginginkannya”). (Di dalam riwayat yang lain, lalu aku mengambilkan sepotong kain tetapi Beliau tidak mengambilnya kemudian pergi sedangkan Beliau sedang mengibas-ngibaskan kedua tangannya). Maka Beliau mengibas-ngibaskan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 249, 257, 259, 260, 265, 266, 274, 276, 281 dan lafazh hadits ini dari Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy, Muslim: 317, Abu Dawud: 245, at-Turmudziy: 103, an-Nasa’iy: I/ 137, 138 dan Ibnu Majah: 573. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[2]

Dari dua hadits di atas, dapat diketahui tentang tata cara mandi janabat yang dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu;

1. Niat mandi di dalam hati tanpa mengucapkan niat dengan lisan. [3]
2 . Kemudian mengucapkan tasmiyah yaitu membaca; بسم الله
 3.Kemudian membasuh kedua (telapak) tangan sebanyak dua atau tiga kali.
4.Kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya kepada tangan kirinya lalu mencuci farjinya dengan tangan kirinya.

 عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم  غُسْلاً يَغْتَسِلُ بِهِ مِنَ اْلجَنَابَةِ فَأَكْفَأَ اْلإِنَاءَ عَلَى يَدِهِ اْليُمْنىَ فَغَسَلَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ صَبَّ عَلَى فَرْجِهِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ اْلأَرْضَ فَغَسَلَهَا ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِهِ وَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى نَاحِيَةً فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ
          
Dari Maimunah radliyallahu anhaberkata, ”Aku meletakkan air mandi untuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang Beliau mandi janabat dengannya. Lalu Beliau menuangkan bejana atas tangan kanannya dan membasuhnya dua atau tiga kali. Lalu menuangkan (air) atas farjinya lalu mencuci farjinya dengan tangan kirinya kemudian memukul (menepuk) lantai dengan tangannya, lalu mencuci (tangannya) kembali. Kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq, membasuh wajah dan kedua tangannya lalu menuangkan air di atas kepala dan tubuhnya. Kemudian menggeser pindah dan membasuh kedua kakinya”. [HR Abu Dawud: 245, Muslim: 317 dan an-Nasa’iy: I/ 132-133. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

5.Kemudian mengusap tangan ke tanah (lantai) atau dinding atau menggosok-gosokkan dinding dengannya sebanyak dua atau tiga kali.
 6.Kemudian membasuh kedua (telapak) tangannya kembali.
 7.Kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Dianjurkan menangguhkan pembasuhan kedua kaki di akhir mandi.

 عن ميمونة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  قَالَتْ: اغْتَسَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  مِنَ اْلجَنَابَةِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ وَ دَلَكَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهِ وَ سَائِرِ جَسَدِهِ
           
Dari Maimunah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi dari janabat. Lalu Beliau membasuh farjinya dan menggosok-gosokkan tangannya ke tanah atau dinding. Kemudian Beliau berwudlu seperti wudlunya untuk sholat lalu mengguyur air ke atas kepala dan seluruh tubuhnya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 208. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5] 

8.Kemudian memasukkan jari jemari ke dalam air lalu menyela-nyela akar-akar rambut dengannya dan menyiram kulit kepala di mulai dari sebelah kanan.

   عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيُفْرِغُ مِنْ يَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ –وَ قَالَ مُسَدَّدٌ: غَسَلَ يَدَيْهِ  يَصُبُّ اْلإِنَاءَ عَلَى يَدَهُ اْليُمْنىَ –فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ- قَالَ مُسَدَّدٌ: يُفْرِغُ عَلَى شِمَالِهِ وَ رُبمَّاَ كَنَتْ عَنِ اْلفَرْجِ- ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فىِ اْلإِنَاءِ فَيُخَلِّلُ شَعْرَهُ حَتىَّ إِذَا رَأَى أَنَّهُ قَدْ أَصَابَ اْلبَشَرَةَ أَوْ أَنْقَى اْلبَشَرَةَ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثًا فَإِذَا فَضَلَ فَضْلَةٌ صَبَّهَا عَلَيْهِ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila mandi dari janabat mulai dengan menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangannya yang kiri. -Berkata Musaddad, “Membasuh kedua tangannya untuk menuangkan bejana atas tangan kanannya lalu mencuci farjinya”. Berkata Musaddad, ”menuangkan atas tangan kirinya dan barangkali mengibaratkan farji”-. Kemudian Beliau berwudlu seperti wudlunya untuk sholat lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana kemudian menyela-nyela rambutnya sehingga apabila Beliau telah yakin telah mengenai kulit atau membersihkan kulit, Beliau menuangkan (air) atas kepalanya tiga kali. Apabila ada kelebihan air Beliau menuangkan atasnya”. [HR Abu Dawud: 242 dan an-Nasa’iy: I/ 205. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن عروة قال: حدثتني عائشة رضي الله عنها عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم مِنَ اْلجَنَابَةِ أَنَّهُ كَانَ يَغْسِلُ يَدَيْهِ وَ يَتَوَضَّأُ وَ يُخَلِّلُ رَأْسَهُ حَتىَّ يَصِلَ إِلىَ شَعْرِهِ ثُمَّ يُفْرِغُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ
           
Dari Urwah berkata, “Aisyah radliyallahu anha pernah menceritakan kepadaku tentang mandi janabatnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau membasuh kedua tangannya, berwudlu dan menyela-nyela kepalanya sehingga sampai ke rambutnya kemudian menuangkan (air) keseluruhan tubuhnya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 135. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ اْلحِلاَبِ بِكَفَّيْهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya apabila hendak mandi janabat Beliau menyuruh mengambil hilab (bejana). [8] Lalu Beliau mengambil dengan kedua telapak tangannya dan memulainya dari sebelah kanan kepalanya kemudian sebelah kiri. Beliau melakukannya dengan kedua tangannya atas kepalanya”. [HR al-Bukhoriy: 258, Muslim: 318 dan Ibnu Khuzaimah: 245. asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkan hadits ini]. [9]

9. Kemudian menuangkan (air) ke kepala sebanyak tiga cidukan dengan kedua tangan dan perempuan tidak perlu menguraikan rambutnya ketika mandi.

عن أم سلمة رضي الله عنها قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنىِّ امْرَأَةٌ  أَشَدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ اْلجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ إِنمَّاَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَحْثِىَ عَلَى رَأْسِكَ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكَ اْلمَاءَ فَتَطْهُرِيْنَ
           
Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata, aku berkata, “Wahai Rosulullah sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang berambut sangat tebal (sanggulannya), maka bolehkah aku menguraikannya untuk mandi janabat. Beliau bersabda, “Tidak perlu, cukuplah bagimu engkau menyiram kepalamu tiga kali siraman kemudian engkau mengguyur air ke tubuhmu maka engkau telah bersuci”. [HR Muslim: 105, at-Turmudziy: 105, an-Nasa’iy: I/ 13, Abu Dawud: 251 dan Ibnu Khuzaimah: 246. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[10]

عن عبيد بن عمير قَالَ: بَلَغَ عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ فَقَالَتْ: يَا عَجَبًا لِابْنِ عُمَرَ هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُؤُوْسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُؤُوْسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلَ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَ لاَ أَزِيْدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ

Dari Ubaid bin Umar berkata, telah sampai kepada Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Ibnu Umar radliyallahu anhuma menyuruh para perempuan untuk meguraikan rambut mereka apabila hendak mandi”. Aisyah berkata, “Sungguh mengherankan Ibnu Umar itu, tidakkah ia menyuruh mereka sekalian agar mencukur (rambut) kepala mereka. Sungguh-sungguh aku pernah mandi bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana dan aku tidak pernah menambah atas menuangkan ke atas kepalaku dengan tiga tuangan”. [HR Muslim: 331, Ibnu Majah: 604, Ibnu Khuzaimah: 247 dan Ahmad: VI/ 43. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عن عائشة قَالَتْ: لَقَدْ رَأَيْتُنيِ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ هَذَا فَإِذَا تَوْرٌ مَوْضُوْعٌ مِثْلُ الصَّاعِ أَوْ دُوْنَهُ فَنَشْرَعُ فِيْهِ جَمِيْعًا فَأُفِيْضُ عَلَى رَأْسِي بِيَدِي ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَ مَا أَنْقُضُ ليِ شَعْرًا
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh aku telah menyaksikan diriku dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi dari (sebab) ini. Tiba-tiba (aku lihat) ada bejana yang diletakkan berisi sekitar satu sha’ atau kurang. Lalu kami memasukkan (tangan kami) ke dalamnya bersama-sama. Lalu aku tuangkan ke atas kepalaku dengan kedua tanganku tiga kali dan aku sama sekali tidak menguraikan rambutku”. [HR an-Nasa’iy: I/ 203. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[12]

عن ثوبان أَ نَّهُمُ اسْتَفْتَوا النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَمَّا الرَّجُلُ فَلْيَنْشُرْ رَأْسَهُ فَلْيَغْسِلْهُ حَتىَّ يَبْلُغَ أُصُوْلَ الشَّعْرِ وَ أَمَّا اْلمـَرْأَةُ فَلاَ عَلَيْهَا أَنْ لاَّ تَنْقُضَهُ لِتَغْرِفَ عَلَى رَأْسِهَا ثَلاَثَ غَرَفَاتٍ بِكَفَّيْهَا
           
Dari Tsauban radliyallahu anhu bahwasanya mereka pernah meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang hal itu. Beliau bersabda, ”Adapun lelaki hendaklah ia menguraikan (rambut) kepalanya lalu ia membasuhnya sehingga sampai ke akar-akar rambutnya. Dan adapun perempuan maka tidak ada keharusan baginya, ia tidak perlu menguraikannya. Hendaklah ia menciduk (air) atas kepalanya sebanyak tiga kali cidukan dengan kedua telapak tangannya”. [HR Abu Dawud: 255. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

عن جبير بن مطعم قَالَ: َتمَارَوْا فىِ اْلغُسْلِ مِنَ اْلجَنَابَةِ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : أَمَّا أَنَا فَأُفِيْضُ عَلَى رَأْسِي ثَلاَثَ أَكُفٍّ
          
Dari Jubair bin Muth’im berkata, ”Mereka pernah berdebat tentang mandi janabat di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”adapun aku akan menuangkan (air) ke atas kepalaku sebanyak tiga telapak tangan”. [HR Ibnu Majah: 575, Muslim: 327, Abu Dawud: 239 dan an-Nasa’iy: I/ 135, 207. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

عن أبي سعيد أَنَّ رَجُلاً سَأَلَهُ عَنِ اْلغُسْلِ مِنَ اْلجَنَابَةِ فَقَالَ: ثَلاَثًا فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ شَعْرِي كَثِيْرٌ  فَقَالَ: رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ أَكْثَرُ شَعْرًا مِنْكَ وَ أَطْيَبُ
           
Dari Abu Said radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepadanya tentang mandi janabat. Ia berkata, ”tiga kali”. Lelaki itu bertanya lagi, ”Sesungguhnya rambutku lebih tebal”. Ia menjawab, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memilki rambut yang lebih tebal dan lebih bagus darimu”. [HR Ibnu Majah: 576 dan Muslim: 329 dari Jabir bin Abdullah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[15]

عن أبي هريرة سَأَلَهُ رَجُلٌ: كَمْ أُفِيْضُ عَلَى رَأْسِي وَ أَنَا جُنُبٌ؟ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَحْثُوْ عَلَى رَأْسِهِ ثِلاَثَ حَثَيَاتٍ قَالَ الرَّجُلُ: إِنَّ شَعْرِي طَوِيْلٌ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  أَكْثَرُ شَعْرًا مِنْكَ وَ أَطْيَبُ
           
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, ada seorang lelaki bertanya kepadanya, “Berapa kali aku harus menuangkan air ke kepalaku sedangkan aku junub?”. Ia menjawab, ”Rosulullah biasanya menuangkan (air) ke atas kepalanya tiga kali tuangan”. Lelaki itu berkata, ”Sesungguhnya rambutku panjang”. Abu Hurairah berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memilki rambut lebih banyak dan lebih bagus darimu”. [HR Ibnu Majah: 578 dan al-Hakim: 243 dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [16]

10.  Kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh.

 Yaitu ia menuangkan dan mengguyurkan air ke seluruh tubuh dan mandi seperti mandi pada biasanya. Di dalam amalan ini diperbolehkan menggunakan sabun untuk menggosok dan membersihkan seluruh tubuh terutama pada bagian-bagian yang sulit terkena air semisal di ketiak, pangkal paha, lipatan-lipatan kulit dan sebagainya. Diperbolehkan juga menggunakan shampoo untuk membersihkan, mengharumkan atau menyehatkan rambut sebagaimana yang diinginkan oleh orang yang mandi.

11. Kemudian berpindah tempat dan membasuh kedua kaki.

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, ”Hadits ini (yaitu hadits Maimunah radliyallahu anha) merupakan nash (atau dalil) atas bolehnya mengakhirkan pembasuhan kedua kaki dalam mandi berbeda dengan haditsnya Aisyah radliyallahu anha. Boleh jadi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukan kedua perkara itu yaitu sekali waktu membasuh kedua kaki berbarengan dengan wudlu dan sekali waktu mengakhirkan membasuh keduanya sampai akhir mandi. Wallahu a’lamu. [17]

Yaitu ketika orang yang mandi itu telah merasa cukup mandi karena yakin semua anggota tubuhnya kena basuhan air, maka hendaklah ia menggeser atau berpindah tempat ke arah kanan, kiri, ke depan ataupun belakang lalu membasuh kedua kakinya yang di mulai dengan kaki kanan lalu kedua kaki kirinya. Namun boleh juga membasuh kedua kaki itu di dahulukan dari menuangkan air ke seluruh tubuh dan yakni berbarengan dengan wudlu.

Demikian kaifiyat atau tata cara mandi janabat yang disyariatkan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan pembahasan ini akan berlanjut kepada kaifiyat mandi haidl dan nifas. In syaa Allah ta’ala.

[1] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 147, Shahih Sunan Abi Dawud: 222, 223, Shahih Sunan at-Turmudziy: 91, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 241 dan Irwa’ al-Ghalil: 132.
[2] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 153, Shahih Sunan Abi Dawud: 224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 90, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 404, 405, 406, Shahih Sunan Ibni Majah: 465 dan Irwa’ al-Ghalil: 131.
[3]  Biasanya orang-orang awam mengucapkan: … نويت رفع الحدث dan ini adalah bid’ah.
[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 224 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 237.
[5]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 415.
[6] Shahih Sunan Abi Dawud: 222 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 407.
[7] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 242 dan Irwa’ al-Ghalil: 132.
[8]  Tetapi ada juga hilab yang diartikan dengan wewangian. [Fat-h al-Bariy: I/ 369].
[9]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 154.
[10] Shahih Sunan at-Turmuziy: 92, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 235, Shahih Sunan Abi Dawud: 226 dan Irwa’ al-Ghalil: 136.
[11] Shahih Sunan Ibni Majah: 488.
[12] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 403.
[13] Shahih Sunan Abi Dawud: 230 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1343.
[14] Shahih Sunan Ibni Majah: 466, Shahih Sunan Abi Dawud: 220, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 244 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1344, 1345.
[15]  Shahih Sunan Ibni Majah: 467.
[16] Shahih Sunan Ibni Majah: 469.
[17] Irwa’ al-Ghalil: I/ 170.

JIKA PENYAKIT MENYERANG???…

DOA TERHINDAR DARI PENYAKIT
بسم الله الرحمن الرحيم

Penyakit adalah salah satu ujian yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada setiap hamba-Nya, baik yang beriman ataupun yang kafir.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ اْلمـَوْتِ وَ نَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَ اْلخَيْرِ فِتْنَةً وَ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai suatu cobaan. Dan kepada Kami-lah kalian akan dikembalikan. [QS al-Anbiya’/ 21: 35].
Berkata Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan, kesenangan, kesehatan, penyakit, kekayaan, kefakiran, yang halal, yang haram, ketaatan, maksiat, petunjuk dan kesesatan”. [1]

Jadi sehat dan sakit adalah merupakan ujian yang Allah ta’ala berikan kepada para hamba-Nya. Dan Allah ta’ala ketika menimpakan ujian penyakit kepada para hamba-Nya yang beriman itu bermaksud untuk memberikan kebaikan kepadanya, semisal menghapuskan sebahagian dosa darinya, menambahkan pahala kebaikan untuknya, mengangkat derajatnya dan selainnya.

Dari Abdullah bin mas’ud berkata, Aku pernah masuk menemui Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan beliau dalam keadaan demam yang sangat panas. Lalu aku menyentuhkan tanganku dan berkata, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya engkau terkena demam yang sangat panas”. Beliau bersabda, “Ya, sesungguhnya aku mendapatkan demam sebagaimana demamnya dua orang dari kalian”. Aku bertanya, “Oleh seba itukah, engkau mendapatkan pahala dua kali lipat?”. Maka Roslullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ya”. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللهُ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit atau sejenisnya melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya dengan (sebab)nya sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya”. [HR al-Bukhoriy: 5647, 5648, 5660, 5661, 5667, Muslim: 2571. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].

Dari Aisyah radliyallahu anha, “Janganlah kalian tertawa, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَ مُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ

“Tidaklah seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu melainkan ditetapkan baginya satu derajat dengan sebab itu dan dihapuskan pula satu kesalahan darinya”. [HR Muslim: 2572 dan at-Turmudziy: 965. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Dari Aisyah radliyallahu anha istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ تُصِيْبُ اْلمـُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا

“Tidak suatu mushibah menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapuskan  (dosa-dosa) dengan sebabnya darinya hingga duri yang melukainya”. [HR al-Bukhoriy: 5640, Muslim: 2572 (49) dan Ahmad. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radliyallahu anhuma bahwasanya keduanya mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيْبُ اْلمـُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَ لَا نَصَبٍ وَ لَا سَقَمٍ وَ لاَ حَزَنٍ حَتَّى اْلهَمِّ يُهَمُّهُ إِلَّا كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), keletihan, penyakit dan kesedihan bahkan sampai kesulitan yang menyusahkannya melainkan akan dihapuskan sebahagian dosa-dosanya dengannya”. [HR Muslim: 2573, al-Bukhoriy: 5641, 5642 dan at-Turmudziy: 966. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Allah Subhanahu wa ta’ala melalui Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kaum muslimin agar memiliki sikap yang baik terhadap penyakit, di antaranya;

1). Berdoa minta dihindarkan dan dijauhkan dari berbagai penyakit.

Dari Anas (bin Malik) radliyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berdoa,

اَللَّهُمَّ إِنىِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ اْلبَرَصِ وَ اْلجُنُوْنِ وَ اْلجُذَامِ وَ مِنْ سَيِّئِ اْلأَسْقَامِ

Alloohumma innii a’uudzu bika minal baroshi wal junuuni wal judzaami wa sayyi’il asqoom
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penyakit belang, gila, lepra dan dari keburukan berbagai macam penyakit”. [HR Abu Dawud: 1554, an-Nasa’iy: VIII/ 270 dan Ahmad: III/ 192. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Namun jika ternyata Allah Azza wa Jalla berkehendak lain, yakni hamba tersebut diberikan kenikmatan sakit, maka hendaklah ia banyak mengucapkan,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ لَهُ اْلمـُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ

“Tiada ilah yang pantas disembah melainkan Allah dan Allah Maha besar. Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah saja. Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Tiada ilah yang pantas disembah melainkan Allah, bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Tiada ilah yang pantas disembah melainkan Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”.

Sebab jika ternyata hidupnya berakhir dengan sakitnya tersebut sedangkan ia dalam keadaan mengucapkan kalimat tersebut, maka ia tidak akan tersentuh api neraka. Hal ini sebagaimana di dalam hadits di bawah ini,

Dari al-Aghorr Abu Muslim, bahwasanya ia pernah menyaksikan Abu Hurairah dan Abu Sa’id, bahwa keduanya menyaksikan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang hamba mengatakan ‘Laa ilaaha illallah wallahu akbar’. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku benar,karena tidak ada ilah yang berhak disembah selain Aku dan Aku adalah Yang Maha besar’. Apabila hamba itu berkata, ‘Laa ilaaha illallah wahdah (tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah saja)’. Allah berfirman, ‘Hamba-Ku benar, karena tiada ilah yang berhak disembah kecuali Aku saja’. Jika hamba itu berkata, ‘Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah (tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya)’. Allah berfirman, ‘Hamba-ku benar, karena tiada ilah yang berhak disembah melainkan Aku saja, tiada sekutu bagi-Ku’. Apabila hamba itu berkata, ‘Laa ilaaha illallah lahul mulku wa lahul hamdu (tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah, bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian)’. Allah berfirman, ‘Hamba-Ku benar, karena tiada ilah yang berhak disembah kecuali Aku, bagi-Ku lah segala kerajaan dan bagi-Ku segala pujian’. Jika hamba itu berkata, ‘Laa ilaaha illallah wa laa haula wa laa quwwata illa billah (tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)’. Allah berfirman, ‘Hamba-Ku benar, karena tiada ilah yang berhak disembah kecuali Aku, dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Ku’. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 مَنْ رُزِقَهُنَّ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ تَمَسَّهُ النَّارُ

“Barangsiapa yang dikaruniakan mengucapkan kalimat tersebut ketika wafatnya, maka ia tidak akan disentuh api neraka”. [HR Ibnu Majah: 3794, at-Turmudziy: 3430 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

2). Berusaha dengan berobat dan makan atau minum obat yang diperbolehkan syariat.

Dari Abu ad-Darda’ berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

    إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَ الدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَ لَا تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
           
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah dan janganlah kalian berobat dengan yang haram”. [HR ad-Dulabiy di dalam al-Kunya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [7]

Dari Usamah bin Syarik berkata, ‘Mereka bertanya, ‘Wahai Rosulullah, apakah kita harus berobat?’. Beliau bersabda,

 يَا عِبَادَ اللهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللهَ عز و جل لَمْ يَضَعْ دَاءًا إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءًا غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ قَالُوْا: وَ مَا هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اْلهَرَمَ
           
“Wahai hamba-hamba Allah berobatlah kalian, Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah membuat penyakit melainkan Ia juga telah membuat obatnya, kecuali satu penyakit”. Mereka bertanya, “Apakah itu, wahai Rosulullah?. Beliau menjawab, “Penyakit tua”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 291, Abu Dawud: 3855, Ibnu Majah: 3436, at-Turmudziy: 2038, Ahmad: IV/ 278, al-Hakim, Ibnu Hibban dan ath-Thayalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

3). Senantiasa memuji Allah ta’ala, meskipun ketika jiwa dan ruhnya keluar meninggalkan jasadnya menuju keharibaan-Nya.

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mengambil seorang anak perempuan asuh yang hampir mati. Beliau meletakkannya di atas dadanya (memeluknya), lalu ia meninggal dunia di dalam pelukannya. Maka Ummu Ayman radliyallahu anha pun berteriak menangis. Dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Iapun berkata, “Bukankah aku juga  melihatmu  menangis wahai Rosulullah?”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallampun bersabda, “Aku tidaklah menangis, ini hanyalah rahmat (rasa kasih sayang)”.

 إِنَّ اْلمـُؤْمِنَ بِكُلِّ خَيْرٍ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِنَّ نَفْسَهُ تَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ جَنْبَيْهِ وَ هُوَ يَحْمَدُ اللهَ عز و جل

“Sesungguhnya orang mukmin itu selalu di dalam kebaikan di atas setiap keadaan, sesungguhnya jiwanya keluar dari jasadnya sedangkan ia dalam keadaan memuji Allah Azza Wa Jalla”. [HR Ahmad: I/ 273-274. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih]. [9]

4). Sabar dan ridlo dengan ketetapan Allah ta’ala serta tidak pernah berburuk sangka kepada-Nya.
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata,

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلاَثٍ قَالَ: لَا يَمُوْتُ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَ هُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ

“Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan tiga hal sebelum wafatnya. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”. [HR Abu Dawud: 3113, Muslim, Ibnu Majah: 4167 dan Ahmad: III/ 293, 325, 330, 334, 390. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]

5). Selalu mengharap kebaikan kepada Allah Azza wa Jalla dan khawatir dengan keburukan yang ditimpakan kepadanya.

Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah masuk menemui seorang pemuda yang sedang mendekati kematian. Beliau bersabda, “Apa yang kamu rasakan?”. Ia menjawab, “Demi Allah, wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengharapkan Allah dan aku takut terhadap dosa-dosaku”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam  bersabda,

 لاَ يَجْتَمِعَانِ فىِ قَلْبِ عَبْدٍ فىِ مِثْلِ هَذَا اْلمـَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُوْ وَ آمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ

“Tidaklah keduanya terhimpun di dalam hati seorang hamba di semisal tempat ini melainkan Allah akan memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan mengamankannya dari apa yang ia takuti”. [HR at-Turmudziy: 983, Ibnu Majah: 4261 dan Ibnu Abi ad-Dunya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [11]

6). Bagi seseorang menjaga keluarganya yang sedang sakit, disunnahkan untuk menalkin kalimat syahadat kepadanya.
 
Begitu pula disyariatkan bagi setiap muslim yang sedang menemani atau menjaga keluarganya yang sedang sakit untuk selalu mentalkinkan kalimat syahadat baginya itu dengan ucapan “laa ilaaha illallah”. [12] Yakni muslim tersebut membimbing orang yang sakit itu untuk dapat melafazhkan atau mengucapkan kalimat syahadat itu dengan fasih dan benar, sebab jika akhir hidup saudaranya itu ditutup dengan ucapan tersebut maka ia akan masuk ke dalam surga, meskipun ia diadzab terlebih dahulu  di dalam neraka sesuai dengan perbuatan-dosa-dosa yang telah ia kerjakan.  Hal  ini pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika membesuk pamannya yaitu Abu Thalib dan seorang anak Yahudi yang sedang sakit. Beliau menawarkan Islam kepada keduanya dengan cara mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Abu Thalib menolak ajakan beliau dan anak Yahudi itu menerima ajakannya. [13]

 عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Talkinkan orang yang hendak mati di antara kalian dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. [HR Abu Dawud: 3117, Muslim: 916, 917, at-Turmudziy: 976, an-Nasa’iy: IV/ 5, Ibnu Majah: 1444, 1445 dan Ahmad: III/ 3. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ اْلجَنَّةَ

 Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Semoga bermanfaat bagiku, keluargaku, kerabatku, para shahabatku dan seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam.

[1] Tafsir Ibnu Jarir ath-Thobariy: IX/ 26 cetakan I Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut dan Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir: III/ 218 cetakan Dar al-Fikr.
[2] Mukhtashor Shahih Muslim: 1797, Shahih Sunan at-Turmudziy: 771 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5758.
[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5782.
[4] Shahih Sunan at-Turmudziy: 772, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2503 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5818.
[5] Shahih Sunan Abu Dawud: 1375, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5068, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1281, 1285 Irwa’ al-Ghalil: III/ 357 dan Misykah al-Mashobih: 2470.
[6] Shahih Sunan Ibnu Majah: 3061, Shahih Sunan at-turmudziy: 2727 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1390.
[7] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:  1754, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1633 dan Ghoyah al-maram: 292.
[8] Shahih al-Adab al-Mufrad: 223, Shahih Sunan Abu Dawud: 3264, Shahih Sunan Ibnu Majah, 2772, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1660, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7934, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 292 dan Misykah al-Mashobih: 4532, 5079.
[9]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1931 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1632.
[10]  Shahih Sunan Abii Dawud: 2670, Mukhtashor Shahih Muslim: 455, Shahih Sunan Ibni Majah: 3360, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7792 dan Ahkam al-Jana’iz halaman11.
[11]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 785, Shahih Sunan Ibni Majah: 3436, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1051, Misykah al-Mashobih: 1612 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 11.
[12]  Talkin itu bukan membacakan surat Yasin atau sejenisnya. Dari sebab itu pembacaan surat Yasin kepada orang yang sedang datang tanda-tanda kematiannya atau sesudahnya itu adalah perkara muhdats (yang baru diada-adakan) atau termasuk perkara bid’ah. (lihat Ahkaam al-Janaa’iz halaman 20 dan Mu’jam al-Bida’ halaman 533). Apalagi riwayat yang menyuruh membacakan surat Yasin untuk orang yang mendekati ajal adalah hadits dla’if (lemah), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 1488, Ahmad: V/ 26, 27, Abu Dawud: 3121, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar. [Lihat Dla’if Sunan Ibni Majah: 308, Dla’if Sunan Abi Dawud: 683, Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 1071, Misykah al-Mashobih: 1622 dan Irwa’ al-Ghalil: 688].
[13]  Ajakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap pamannya itu dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 1360, 3884, 4675, 4772, 6881, Muslim: 34 dan Ahmad: II/ 343, 441 dari al-Musayyab. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 680 dan Mukhtashor Shahih Muslim: 3. Adapun ajakan Beliau terhadap anak Yahudi dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 1356, 5657, al-Hakim dan Ahmad: III/ 175, 227, 260, 280 dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 676 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 21.
[14]  Mukhtashor Shahih Muslim: 453, Shahih Sunan Abi Dawud: 2674, Shahih Sunan at-Turmudziy: 781, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1722, Shahih Sunan Ibni Majah: 1185, 1186, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5148, Irwa’ al-Ghalil: 686 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 19.
[15] Shahih Sunan Abi Dawud: 2673, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6471, Misykah al-Mashobih: 1621, Ahkam al-Jana’iz halaman 48 dan Irwa’ al-Ghalil: 687.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Baz rahimahullah

ULAMA AHLI HADITS
بسم الله الرحمن الرحيم

Asy-Syaikh bin Baz, menurut asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’iy, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy juga seorang ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.

Asy-Syaikh mengatakan, “Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Muhammad bin Abdillah Ali (keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tidak sembuh-sembuh mata saya tidak dapat melihat sama sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350 Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi seorang tuna netra. Saya ucapkan alhamdulillah atas musibah yang menimpa diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya semoga Dia berkenan menganugerahkan bashirah (mata hati) kepada saya di dunia ini dan di akhirat serta balasan yang baik di akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya melalui nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa sallam atas musibah ini. Saya juga memohon kepadanya keselamatan di dunia dan akhirat.

Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak masa anak-anak. Saya hafal alqur’an al-Karim sebelum mencapai usia baligh. Hafalan itu diujikan di hadapan asy-Syaikh Abdullah bin Furaij. Setelah itu saya mempelajari ilmu-ilmu syariat dan bahasa Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota kelahiran saya sendiri. Para guru yang sempat saya ambil ilmunya adalah;

1). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Lathif bin Abdirrahman bin Hasan bin asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang hakim di kota Riyadh.
2). Asy-Syaikh Hamid bin Faris, seorang pejabat wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
3). Asy-Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid darinya pada tahun 1355 H.
4). Samahah asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathief Alu asy-Syaikh, saya bermuzalamah padanya untuk mempelajari banyak ilmu agama, antara lain; akidah, fikih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris), tafsir, sirah, selama kurang lebih 10 tahun. Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.


Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka dengan balasan yang mulia dan utama.

Dalam memahami fiqih saya memakai thariqah (mahdzab -red) Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Hal ini saya lakukan bukan semata-mata taklid kepada beliau, akan tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti dasar-dasar pemahaman yang beliau tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, saya memakai metodologi tarjih, kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil yang paling shahih. Demikian pula ketika saya mengeluarkan fatwa, khususnya bila saya temukan silang pendapat di antara para ulama baik yang mencocoki pendapat Imam Ahmad atau tidak. Karena alhaq (kebenaran) itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman (yang artinya -red), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah dia kepada Allah (alqur’an) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [an-Nisa/4: 59]”.

TUGAS-TUGAS SYAR’IY

”Banyak jabatan yang diamanahkan kepada saya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Saya pernah mendapat tugas sebagai,

1). Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14 tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil Akhir tahun1357H.
2). Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H dan dosen ilmu fikih, tauhid, dan hadits sampai pada tahun 1380 H.
3).  Wakil Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1381-1390 H.
4). Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1390 H menggantikan rektor sebelumnya yang wafat yaitu asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh. Jabatan ini saya pegang pada tahun 1389 sampai dengan 1395 H.
5). Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya diangkat menjadi pimpinan umum yang berhubungan dengan penelitian ilmiah, fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan keagamaan sampai sekarang. Saya terus memohon kepada Allah pertolongan dan bimbingan pada jalan kebenaran dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.
Disamping jabatan-jabatan resmi yang sempat saya pegang sekarang, saya juga aktif di berbagai organisasi keIslaman lain seperti,
-Anggota Kibarul Ulama di Makkah.
-Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap) terhadap penelitian dan fatwa dalam masalah keagamaan di dalam lembaga Kibarul Ulama tersebut.
-Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami.
-Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-masjid.
-Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di Makkah di bawah naungan organisasi Rabithah ‘Alam Islami.
-Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah (universitas Islam -red), Madinah.
-Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam yang berkedudukan di Makkah.
Mengenai karya tulis, saya telah menulis puluhan karya ilmiah antara lain,
1). Al-Faidl al-Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.
2). At-Tahqiq wa al-Idhah li Katsirin min Masa’ili al-Hajj wa al-Umrah Wa Ziarah (Taudlih al-Manasik – ini yang terpenting dan bermanfaat – aku kumpulkan pada tahun 1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia -pent).
3). At-Tahdzir min al-Bida’ mencakup 4 pembahasan (Hukmu al-Ihtifal bi al-Maulid Nabi wa Lailat al-Isra’ wa al-Mi’raj, wa Lailat an-Nifshi min asy-Sya’ban wa Takdzib ar-Ru’ya al-Mar’umah min Khadim al-Hijr an-Nabawiyah al-Musamma asy-Syaikh Ahmad).
4). Risalah Mujazah fi az-Zakat wa ash-Shiyam.
5). Al-Aqidah ash-Shahihah wama Yudloduha.
6). Wujub al-Amal bi Sunnah ar-Rasul Shalallahu Alaihi wa sallam wa Kufru man Ankaraha.
7). Ad-Dakwah Ilallah wa Akhlaq ad-Da’iyah.
8). Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma Khalafahu.
9). Hukmu as-Sufur wa al-Hijab wa Nikah asy-Syighar.
10). Naqdu al-Qawiy fi Hukmi at-Tashwir.
11). Al-Jawab al-Mufid fi Hukmi at-Tashwir.
12). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (Da’wah wa Siratuhu).
13). Tsalatsu Rasa’il fi ash-Sholah; Kaifa Sholat an-Nabiy Shalallahu alaihi wa sallam, Wujubu Ada’I ash-Sholah fi al-Jama’ah, Aina Yadla’u al-Mushalli yadaihi hina ar-Raf’i min ar-Ruku’.
14). Hukmu al-Islam fi man Tha’ana fi al-Qur’an au fi Rasulillah Shalallahu alaihi wa sallam.
15). Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fat-h al-Bariy – hanya sampai masalah haji.
16). Risalat al-Adilah an-Naqliyah wa Hissiyah ‘ala Jaryan asy-Syamsi wa Sukun al-‘Ardhi wa Amakin as-Su’ud al-Kawakib.
17). Iqamah al-Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa bi Ghairillah au Shaddaq al-Kawakib.
18). Al-Jihad fi Sabilillah.
19). Fatawa Muta’aliq bi Ahkam al-Hajj wa al-Umrah wa az-Ziarah.
20). Wujubu Luzum as-Sunnah wa al-Hadzr min al-Bid’ah.”
Sampai di sini perkataan beliau yang saya (Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari buku Fatwa wa Tanbihat wa Nasha’ih halaman 8-13.

Cara Pandang

Dalam hal fiqih, asy-Syaikh Bin Baz banyak menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal, namun beliau menegaskan bahwa hal ini bukan karena taklid (asy-Syaikh Bin Baz bukanlah termasuk pengikut mazhab tertentu diantara 4 mazhab para Imam). Dalam menghadapi ikhtilaf (perbedaan pendapat) fiqih dikalangan para Imam Mazhab dan para ulama, beliau menggunakan metode tarjih dan ijma’, yaitu manakah diantara pendapat Ulama itu yang memiliki hujjah paling kuat menurut sandaran utamanya (yaitu alqur’an dan as-Sunnah/Hadits), dan ketika sudah diketahui manakah yang kuat maka pendapat itulah yang akan diambil dan ikuti. Dan ketika menghadapi suatu persoalan yang belum disebutkan didalam alqur’an maupun Hadits secara terperinci, maka asy-Syaikh Bin Baz akan mengambil pendapat ijma’ (mayoritas) para ulama. Beliau sangat mengecam keras perselisihan diantara kaum muslimin yang berasal dari ikhtilaf para Imam Mazhab (yang disebabkan karena fanatisme Mazhab maupun taklid). Asy-Syaikh Bin Baz senantiasa menasehati ummat untuk selalu berpegang teguh pada alqur’an dan as-Sunnah serta bersatu dibawah panji para Salafus shalih agar ummat Islam bisa kembali bersatu sebagaimana Islam dimasa Rasulullah (Nabi Muhammad).
Aqidah dan manhaj (jalan) dakwahnya bisa dilihat dari tulisan maupun karya-karyanya. Misalnya dalam buku “al-Aqidah ash-Shahihah” yang menerangkan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, menegakkan Tauhid dan menjauhkan sekaligus memerangi kesyirikan. Syaikh Bin Baz benar-benar menyandarkan tafsir alqur’an dan syarah hadits-hadits yang dibawakan dalam kitab-kitabnya pada pemahaman Salafus Shalih (pemahaman para Shahabat) serta ulama-ulama ahlussunnah yang mengikuti mereka. Pembelaannya terhadap aqidah tauhid dan sunnah yang murni pun tertuang dalam banyak karyanya, salah satunya adalah “at-Tahdzir ‘alal Bida’”.

Beliau telah membangun halaqah (majlis) pengajaran di Jami’ al-Kabir (Masjid Jami’ Besar) di Riyadh sejak berpindah ke sana. Halaqah ini terus berjalan meskipun pada tahun-tahun akhir terbatas pada sebagian hari saja dalam sepekan, karena banyaknya kesibukan beliau. Banyak para penuntut ilmu yang memanfaatkan halaqah tersebut. Di tengah keberadaannya di Madinah dari tahun 1381 H sebagai Wakil Rektor Universitas Islam Madinah, dan menjadi Rektor sejak tahun 1390 – 1395 H, asy-Syaikh Bin Baz tetap mengadakan halaqah untuk mengajar di Masjid Nabawi. Karena semangatnya dalam berdakwah, maka setiap kali beliau pindah rumah maka beliau pun akan mendirikan sebuah halaqah pengajaran di daerah manapun yang beliau tinggali.

Guru-gurunya

Selain yang tersebut diatas, beberapa guru besar beliau yang lain adalah:
1). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif Alu Syaikh
2). Asy-Syaikh Hamid bin Faris
3). Asy-Syaikh Sa’d al-Bukhari
4). Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh
5). Dan lain-lain.

Murid-muridnya

1). Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
2). Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy
3). Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al-Abbad al-Badr
4). Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhaliy
5). Asy-Syaikh Abdullah al-Ghudayyan
6). Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin
7). Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Dhiya’i al-Farisiy
8). Asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jami
9). Asy-Syaikh Ali bin Yahya al-Haddadi
10). Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari
11). Dan Lain-lain.

Akidah Dan Manhaj Dakwah

Akidah dan manhaj dakwah asy-Syaikh ini tercermin dari tulisan atau karya-karyanya. Kita lihat misalnya buku Aqidah Shahihah yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menegakkan tauhid dan membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya kepada sunnah dan kebenciannya terhadap kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir ‘ala al-Bida’ (sudah diterjemahkan -pent). Sedangkan perhatian (ihtimam) dan pembelaan beliau terhadap dakwah salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah (golongan yang selamat -red) adalah para salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih memperjuangkan dakwah ini di tengah-tengah rongrongan syubhat para da’i penyeru ke pintu neraka di negerinya khususnya dan luar negeri beliau pada umumnya, hingga al-haq nampak dan kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah bukti kebenaran sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam (yang artinya), “Akan tetap ada pada umatku kelompok yang menampakkan kebenaran (al-haq), tidak memudharatkan mereka orang yang mencela atau menyelisihinya”.

KISAH-KISAH TENTANG ASY-SYAIKH rahimahullah

Rasyid ar-Rajih mengisahkan, “Suatu kali saat saya sedang bersama asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz, seorang laki laki mendatangi beliau dan meminta bantuan berupa uang. Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz pun memberi uang kepadanya dalam jumlah besar. Namun orang itu tidak puas dan berkata, “lni tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan saya.” Maka beliau menjawab dengan penuh keramahan,”Ambillah, di dalamnya nanti akan ada barakah, insya Allah.”
Laki-laki itu nampak memahami maksud asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan dia pun mengambil uang tersebut sambil mengucapkan terima kasih.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-Imam Abdul Aziz bin Baz halaman 231].

Menerapkan Sunnah dalam Semua Urusan

Ibrahim bin Abdul Aziz asy-Syithri menceritakan, “Saat itu saya sedang bersama asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ada telepon dari seseorang untuk meminta fatwa. Bertepatan dengan itu muadzin telah mengumandangkan adzan maka asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata kepada penelepon, “Kami akan menjawab adzan dulu,” sambil beliau meletakkan gagang telepon.
Setelah selesai menjawab adzan dan berdoa, beliau kembali berbicara kepada penelepon yang masih menunggu jawaban dari beliau.
Kejadian ini menggambarkan betapa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz sangat bersemangat dalam menerapkan sunnah di semua urusan.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam Abdul ‘Aziz bin Baz halaman 213].

Sedih saat teringat ulama lain yang telah meninggal dunia

Doktor Nashir bin Misfir Az-Zahrani mengisahkan, “Kapan saja asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz teringat kepada para ulama yang telah meninggal dunia, khususnya mereka yang dekat dengan beliau, maka beliau akan mengalami kesedihan yang demikian dalam. Beliau kemudian akan berdoa untuk mereka, menangis dan akan tercekat (tidak bias bicara karena sedih)”.
Suatu hari, beliau bercerita tentang gurunya asy-Syaikh al-Allammah Muhammad bin Ibrahim, beliau tidak mampu untuk menguasai diri agar tidak menangis. Saya duduk di samping beliau untuk beberapa saat, sementara asisten beliau membacakan fatwa-fatwa dari asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim. Dalam beberapa kasus asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim berbeda pandangan dengan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, maka beliau pun tersenyum dan mendoakan gurunya itu.
[Mawaqif Madhiyah fi Hayat al-Imam Abdul Aziz bin Baz halaman 215].

Ini hanya untuk mengisi waktu.”

Sa’ad Ad-Dawud menceritakan, “Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz sangat hati-hati dalam mengisi waktu. Bila beliau melakukan perjalanan dengan mobil untuk mengajar atau untuk menghadiri pertemuan, maka beliau akan membawa sejumlah buku untuk dibaca sambil jalan. Saya tidak tahu berapa buku yang telah beliau baca dimana beliau bisa mengambil catatan-catatan yang bermanfaat darinya. Ketika hal ini ditanyakan kepada beliau, beliau hanya menjawab singkat, “lni hanya untuk mengisi waktu.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam ‘Abdul Aziz binBaz halaman 194-195].

Nasehat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz untuk Presiden Qadhafi

Doktor Bassam Khidar Asy-Syati mengisahkan, “Diantara perbuatan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang terpuji adalah ketika beliau memberi tahu Presiden Libya, Muamar Qadhafi, tentang larangan menghilangkan kata Qul yang ada di dalam alquran dan bahwa mengucapkan kata tersebut adalah wajib. Beliau melakukan hal ini karena beliau mendengar bahwa Presiden Qadhafi telah memerintahkan stasiun radio dan para pembaca alqur’an agar menghilangkan kata Qul dan dia pun telah melakukan perubahan terhadap teks alqur’an yang asli (yaitu dengan rnenghilangkan kata Qul). Mendengar teguran ini, presiden Qadhafi mau menerima dan mengembalikan teks alqur’an sebagaimana asalnya.

Pada kejadian yang hampir serupa, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menegur Presiden Tiunisia, menjelaskan kepadanya tentang syariat Allah dalam hal kurban dan puasa, bahwa didalam kedua perintah itu tidak terdapat efek yang negatif terhadap proses pembangunan negara. Beliau memberikan fakta-fakta (dalil) yang meyakinkan untuk membuktikan hal tersebut.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam Abdul Aziz bin Baz halaman 189].

“Saya datang ke Riyadh di malam yang dingin".

Abdullah bin Muhammad Al-Mu’taz menceritakan, “Asy-Syaikh Muhammad Hamid, Ketua paguyuban Ashabul Yaman di negara Eretria berkisah, ‘Saya datang ke Riyadh di malam hari yang dingin dalam keadaan tidak punya uang untuk menyewa hotel. Saya kemudian berpikir untuk datang ke rumah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Saat itu waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Awalnya saya ragu, namun akhirnya saya putuskan untuk ke rumah beliau.
Saya tiba di rumah beliau yang sederhana dan bertemu seseorang yang tidur di pintu pagar. Setelah terbangun ia membukakan pintu untukku. Saya memberi salam padanya dengan pelan sekali supaya tidak ada orang lain mendengarnya karena hari begitu larut.
Beberapa saat kemudian aku melihat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berjalan menuruni tangga sambil membawa semangkuk makanan. Beliau mengucapkan salam dan memberikan makanan itu kepada saya. Beliau berkata, “Saya mendengar suara anda kemudian saya ambil makanan ini karena saya berpikiran anda belum makan malam ini”.
Demi Allah, saya tidak bisa tidur malam itu, menangis karena telah mendapat perlakuan yang demikian baik.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam Abdul Aziz bin Baz halaman 233].

“Demi Allah, beliau tidak pernah bercerita tentang hal itu…”

Doktor Nashir bin Misfir Az-Zahrani menceritakan, “Asy-Syaikh Abdurrahman bin Atiq, salah seorang yang mendapat bantuan finansial dari Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya, “Pernahkah beliau menceritakan tentang gajinya, bagaimana beliau membelanjakannya atau sesuatu yang berkaitan dengan itu? Atau pernahkah beliau member tahu anda berapa gaji beliau? “Asy-syaikh Abdurrahman menjawab, “Demi Allah, beriau tidak pemah bercerita tentang hal itu kepada saya, dan beriau pun tidak perah rnembicarakan gaji orang lain.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-Imam Abdur Aziz bin Baz halaman 223].

“Ya Syaikh, dia telah berkata tentang anda dan mencela anda…”

Doktor Nashir bin Misfir Az-Zahrani. Menceritakan, “Beberapa mahasiswa datang kepada Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz untuk melaporkan keadaan seseorang. Mereka menerangkan tentang kesalahan-kesalahan orang tersebut dan ketergelincirannya dalam beberapa penyimpangan. Maka beliaupun meminta asistennya Lntuk membuat catatan sehingga beliau nanti bisa menegur dan  menasehati orang tersebut.
Sementara asistennya sedang mencatat, salah seorang berkata, ‘Ya Syaikh, dia pernah berkata tentang anda dan mencela anda.”
Seketika itu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz meminta untuk berhenti mencatat karena beliau merasa apa yang akan dilakukan bisa dianggap sebagai tanda balas dendam (karena orang itu telah mencela beliau).
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam Abdul Aziz bin Baz halaman 204].

“Orang inilah yang berkata begini dan begitu tentang anda”.

Abdurrahman bin Muhammad Al-Baddah menceritakan, “Ada satu kejadian dimana asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berbeda pendapat dalam sebuah permasalahan dengan ulama dari luar Saudi. Suatu ketika ulama itu datang dan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengundangnya makan siang di rumahnya dan menjamunya. Dalam acara itu terdapat pula sejumlah pelajar (penuntut ilmu), yang kemudian berkata kepada asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, “Orang ini yang telah berkata begini dan begitu tentang anda.” Namun asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz meminta mereka untuk diam.
Beliau melanjutkan menemani tamunya, dan di akhir jamuan asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengantar sampai ke depan pintu dan mengucapkan kalimat perpisahan. Maka tamu itu berkata, “Jika dikatakan kepada saya bahwa ada seseorang di muka bumi ini yang berasal dari generasi Salafus Shaleh, sungguh saya akan mengatakan bahwa beliaulah (yakni asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz) orangnya.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam ‘Abdul Aziz bin Baz halaman 188].

“Ya, saya Abdul Aziz bin Baz”.

Shaleh bin Rasyid Al-Huwaimil bercerita tentang kewibawaan orang-orang yang mulia, “Suatu hari, seorang jamaah haji dari Rusia mendatangi kediaman asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz di Mina, dan ketika melihat beliau orang itu berkata, “Apakah anda asy-Syaikh Ibnu Baz?” Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz pun menjawab dengan ramah, ‘Ya, saya Abdul Aziz bin Baz.”
Jamaah haji itu pun mengucapkan salam, mendekat kepada beliau dan mencium pipi beliau. Ia berkata, “Demi Allah, saya selalu berdoa kepada Allah agar tidak mematikan saya sebelum bertemu dengan anda.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-Imam Abdul Aziz bin Baz halaman 12-13].

“…itu semua adalah atas hidayah dari AIIah dan kemudian atas pengaruh buku anda yang kami baca…”.

Asy-Syaikh Badar bin Nadir Al-Masyari menceritakan, “Saya teringat ketika ada sebuah surat datang dari seorang wanita Philipina yang dibacakan kepada asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Wanita itu menulis, “Saya dulunya adalah seorang penganut kristen dan kemudian masuk Islam, begitupun keluargaku (mereka kini masuk Islam) – dimana itu semua adalah atas hidayah dari Allah dan kemudian atas pengaruh buku anda yang kami baca…”
Sampai di sini asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz merasa demikian terharu dan beliau pun menangis.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-Imam Abdul Aziz bin Baz halaman 13].

Setiap tamu diajak makan malam

Fahd Al-Bakran menceritakan, “Telah banyak diceritakan bahwa. bila seseorang ingin berpamitan dari bertamu kepada asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz di malam hari, maka beliau pun akan segera meminta orang tersebut tinggal lebih dulu untuk diajak makan malam bersama beliau. Inilah kebiasaan beliau terhadap semua orang datang ke rumah beliau. Jika orang tersebut menolak, maka beliau akan berkata, “Bila engkau menolak maka hendaknya engkau takut kepadanya (yakni kepada istri beliau yang telah membuat makanan tersebut). Baiknya engkau tinggal dan makan bersama kami.”
aSernoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau dan memasukkan beliau ke dalam jannah-Nya. Amin.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam’Abdul Aziz bin Baz halaman 13].

“Sesungguhnya Allah itu Maha Pemurah dan senantiasa memberi kemudahan pada semua perkara yang telah ditetapkan-Nya.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Baz (saudara laki-laki Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz) menceritakan, “Saudara kandungku, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, senantiasa berusaha menjaga hubungan silaturahim (tali kekeluargaan) dengan saya dan dengan orang tua semenjak beliau masih muda.
Beliau selalu mengunjungiku secara teratur, bertanya tentang keadaanku, dan mencium keningku bila beliau dating ke tempat saya (daerah al-Badi’ah al-Qadimah, Riyadl).
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga selalu menanyakan anak-anak saya dan mendorong anak-anak beliau agar mengunjungiku, semoga Allah merahmati Abu Abdillah (asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz).
Semenjak muda beliau senang menuntut ilmu, senang bergaul dengan para ulama, dan menolong mereka. Seperti kebiasaan beliau yang sering meminta kepada ibunya agar beliau bisa membawa teman-temannya sesama penutut ilmu untuk makan siang atau makan malam bersama.
Saat itu saya pernah bertanya kepada saudaraku itu, “Mengapa engkau sering berbuat demikian?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha pemurah dan senantiasa memberi kemudahan pada semua perkara yang telah ditetapkan-Nya.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam ‘Abdul Aziz bin Baz halaman 29].

Nasehat untuk pendidik kaum wanita

Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-syuwai’ir mengisahkan, “Ketika saya dipilih untuk bertugas di lembaga pendidikan bagi kaum wanita, saya pergi ke Madinah untuk beberapa keperluan. Ketika di sana, saya sempatkan untuk mengunjungi Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz di Universitas Islam Madinah. Saya sampaikan salam saya dan kemudian beliau member beberapa nasehat dan arahan kepada saya. Beliau memintaagar saya menjalankan amanah yang saya emban dengan sebaik-sebaiknya (yaitu memberi pendidikan kepada kaum wanita), agar saya menjaga mereka dan urusan mereka.
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-Imam ‘Abdul Aziz bin Baz halaman 28].

“Inilah jalan yang saya tempuh ketika berhadapan dengan raja maupun bukan.".
 
Asy-Syaikh Abdullah bin Shaleh Al-’Ubaylan menceritakan, “Suatu ketika dalam sebuah pertemuan yang cukup besar, saya mengajukan pertanyaan kepada asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
“Ada beberapa ulama yang memiliki perbedaan pendapat dengan anda, namun mereka semua tetap mencintai anda. kami ingin tahu apa yang menyebabkan hal ini. Mengapa Allah melimpahkan kepada anda karunia berupa sesuatu yang menyebabkan tumbuhnya perasaan cinta di hati mereka kepada anda?”

Maka beliau menjawab,
“Aku tidak tahu apapun kecuali bahwa Alhamdulillah – saat saya mengetahui kebenaran semenjak saya muda maka saya merasa terpanggil (untuk memeganginya) saya berusaha untuk bersabar terhadap apapun yang menimpa saya sebagai konsekuensi dari sikap saya itu, Saya tidak membenci siapapun dan tidak pula memuji siapapun (yakni sesama makhluk) atas akibat yang menimpa saya. Saya hanya ingin nyampaikan kebenaran dan bersabar terhadap apa yang menimpa saya. Jika ia diterima, maka pujian itu hanya milik Allah. Begitupun bila ditolak, maka pujian itu pun milik Allah. Inilah jalan yang saya pegangi semampu saya, baik dalam ucapan maupun tulisan. Siapa yang menerima maka ia akan menerimanya dan siapa yang menolak maka ia akan menolaknya. Selama saya di atas kebenaran, selama itu pula saya akan menyuarakannya.

Bagi orang-orang yang memiliki perbedaan dengan saya, maka saya katakan, bagi mereka ijitihad mereka. Allah akan memberi balasan dua kepada seorang mujtahid bila ia benar dan akan memberi balasan satu bila ia salah. Maka saya tidak tahu (alasan lain) kecuali hal ini – bahwa saya menyeru kepada kebenaran sesuai dengan kemampuan saya, Alhamdulillah, dan saya pun berusaha untuk menyampaikannya, baik secara lisan maupun tindakan. Saya pun tidak pernah memvonis dan tidak pernah pula membuat sakit hati (tersinggung). Bila saya telah menyampaikan, maka saya berdoa semoga Allah memberi kemudahan dan petunjuk kepadanya.Inilah jalan yang saya tempuh ketika berhadapan dengan raja maupun bukan raja.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam ‘Abdul Aziz bin Baz halaman 25].

Bacalah alqur’an setiap hari

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Dawud menceritakan, “Saya pemah berjalan bersama asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dari Jami’ al-lmam Turki bin Abdullah menuju rumah beliau. Beliau bertanya tentang bacaan alqur’an saya. Saya jawab bahwa saya membacanya dari waktu ke waktu, namun tidak punya waktu khusus yang banyak dimana saya bias membacanya setiap hari. Maka beliau menasehatkan agar saya membaca alqur’an setiap hari, meskipun jumlahnya sedikit. Ini karena siapa saja yang membaca ayat alqur’an meskipun hanya sedikit namun dilakukan setiap hari, maka ia nantinya akan menyelesaikannya. Sebaliknya, siapapun yang tidak membaca setiap hari meski dia mampu menyelesaikan bacaan alqur’an dalam waktu singkat (hanya dalam beberapa bulan), maka ia bisa kehilangan hapalannya. Beliau kemudian memberi contoh, “Seseorang yang membaca satu juz setiap hari, maka ia akan mengkhatamkan bacaannya selama sebulan. Begitu pula dengan yang membaca dua juz setiap hari, maka ia akan menyelesaikannya dalam 15 hari, begitu seterusnya.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam Abdul Aziz bin Baz halaman 25].

“Di mana asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan kapan beliau datang?”

Dr. Muhammad bin Salad asy-Syuway’ir menceritakan, “Pada musim haji tahun 1406 H (1996), rombongan jamaah haji pertama yang tiba ke Saudi Arabia adalah dari negara Cina dan diantara mereka terdapat sejumlah ustad (dari Cina) yang melakukan kunjungan kepada asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Kepala rombongan adalah seorang lelaki yang sudah tua, lulusan dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia memimpin rombongan yang berjumlah 7 orang. Setelah menyampaikan salam kepada hadirin, kepala rombongan itu bertanya kepada saya, “Di mana asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan kapan beliau datang?” Saya berkata, “Beliau ada disebelah sana, orang yang baru saja anda beri salam.”

Namun orang ini tidak percaya. Dalam bahasa Arab yang fasih dia berkata, “Saya ingin bertemu beliau sekarang.” Maka saya menjawab. “Beliau di sana.” Sambil saya menunjuk ke arah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Saya kemudian memberi tahu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang keinginan orang tersebut. Maka beliau pun dengan segera menghampiri orang itu. Saya lihat orang tua dari Cina itu memeluk dengan erat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz sambil menangis. “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengabulkan keinginan saya untuk bertemu anda. Kami di Cina telah banyak mendengar tentang anda, yaitu perjuangan anda untuk kaum muslimin dan dorongan untuk mereka,” katanya.
Salah seorang anggota rombongan berkata, “Segala pujibagi Allah wahai Syaikh, dimana Dia telah menjadikan 10 tahun dalam umurku ini bersama-sama dengan anda (yakni dia telah masuk Islam setelah sebelumnya bukan Islam). Anda telah banyak memberi manfaat bagi Islam dan kaum muslimin sebagai mana juga kepada saya yang hanya seorang anak manusia seperti yang lain dari anak-anak Islam.”

Orang tua pimpinan rombongan pun menangis lagi dan memeluk kembali asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, “Segalapuji bagi Dzat yang telah mengijinkan saya untuk bertemu dengan anda sebelum saya mati. Saya telah lama menunggu kesempatan ini.”
[Mawaqif Madhiah fi Hayat al-lmam Abdul Aziz bin Baz halaman 8-9].

Hormat dan cinta kepada gurunya

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz biasa menangis bila teringat kepada guru beliau, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif Alu asy-Syaikh. Dalam keadaan demikian maka beliau pun akan mendoakan gurunya itu. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan bahwa beliau tidak mengenal se-orang manusia di muka bumi ini yang lebih berilmu dibanding gurunya, tidak ada yang lebih pandai dalam mengajar, dan gurunya juga seorang yang sangat perhatian terhadap murid-muridnya. Saat menceritakan hal ini biasanya kesedihan beliau akan berkurang dan beliau berdoa kepada Allah agar Dia merahmati gurunya.
[Al-lbriziyyah fi Tis’in Al-Baziyyah halaman 97].

Membangunkan anak-anaknya untuk shalat subuh

Putra asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Ahmad, menceritakan, “Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz biasa membangunkan anak-anaknya melalui telepon interal agar mereka mengerjakan Shalat Subuh. Saat membangunkan itu biasanya beliau sambil berdoa,
“Alhamdulillaahilladzi ahyanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihinnusyur.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kami kembali.”
Bila anak-anak beliau masih merasa mengantuk maka beliau akan meminta mereka mengulang-ulang bacaan doa tersebut sampai beliau yakin bahwa mereka telah benar-benar bangun.
[Al-lmam bin Baz – Durus wa Mawaaqif wa ‘lbar halaman 71].

Mimpi seorang shalih

Seorang murid asy-Syaikh Al-Albani menceritakan, “Ada seorang shalih dari Siria yang bermimpi beberapa saat sebelum kematian asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dalam mimpi, orang itu melihat dua buah bintang di langit yang bergerak dengan kecepatan tinggi menuju bumi. Bintang yang satu telah mencapai bumi, sementara yang satu lagi menunggu di dekat bumi.
Ketika bintang yang satu mencapai bumi, ia menimbulkan suara yang menggelegar dan orang-orang pun panik sambil bertanya-tanya, “Apa yang terjadi?”

Orang yang bermimpi itu kemudian terbangun dan kemudian menanyakan arti mimpinya kepada orang yang memahami tafsir mimpi. Mimpi itu ditafsirkan bahwa sesuatu akan terjadi yang menyebabkan manusia tersentak dan menimbulkan kesuraman. kejadian itu akan diikuti oleh kejadian yang sama, yaitu oleh bintang yang kedua.

Beberapa waktu kemudian datang sebuah berita tentang kematian Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang tidak lama kemudian diikuti oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
[Al-lmam Ibn Baz – Durus wa Mawaqif wa ‘lbar halaman 98].

Hati-hati dalam mengisi waktu

Putra Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang bernama Ahmad menceritakan, “Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah seorang yang sangat hati-hati dalam menghabiskan waktunya, dalam rangka menjadikan setiap detik dari waktu beliau memiliki nilai yang tinggi. Seperti saat sedang naik mobil, maka beliau akan mengisi waktu dengan kegiatan yang berkaitan dengan ilmu, menulis ataupun mendengarkan ceramah.
Buku-buku yang biasa dibaca asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz saat naik mobil antara lain Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Ighatsatul Lahfan karya Ibnu al-Qayyim, al-lqna’ Ibnu Al-Mundhir, Kitab Marwiyat al-La’an fi as-Sunnah. Juga beberapa kitab yang ukurannya lebih kecil.
[AI-Imam Ibn Baz – Durus wa Mawaqif wa’lbar halaman 13].

WAFAT BELIAU

Asy-Syaikh Bin Baz wafat pada hari Kamis, 27 Muharram 1420 H / 13 Mei 1999 M dan dihadiri oleh ratusan ribu pelayat, beberapa stasiun TV di beberapa negara pun meliputnya secara langsung, beliau disemayamkan di pekuburan Al-Adl Mekkah. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmatinya. Amin.

Links