السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Rabu, 22 Agustus 2012

JANGAN MENIKAM SAUDARAMU DENGAN FITNAH


BUHTAN ADALAH FITNAH YANG KEJI

بسم الله الرحمن الرحيم

Ghibah atau gunjing telah disepakati akan larangan dan pengharamannya di dalam syariat. Namun perilaku tersebut masih saja terjadi dan berkembang di masyarakat dan seakan sudah menjadi kebutuhan bagi sebahagian mereka padahal akibat ghibah itu sudah memakan korban yang tidak sedikit. Yah, barangkali demikian itulah tabiat manusia, semakin dilarang maka akan semakin dicari dan dinikmati sampai mereka merasakan sendiri hukuman dari akibat perbuatan tersebut berupa kena bala di dunia atau mendapatkan siksaan di dalam kubur dan neraka.

Terkadang ghibah itu berkembang dengan banyak bumbu tambahan yang tidak sepatutnya ada. Bumbu tambahan tersebut seringkali tak terkendali sehingga ketika setiap orang menafsirkan suatu peristiwa atau berita sesuai dengan kehendak dan kemauannya maka akan semakin rusak dan kejilah berita-berita yang tersebar itu. Terkadang pula ghibah itu direkayasa oleh orang-orang tertentu untuk memojokkan dan menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang yang lain. Perbuatan merekayasa dan menafsirkan suatu peristiwa dengan tujuan merusak dan menghancurkan kehormatan seorang muslim itu dapat menjurus dan mengarah kepada perbuatan buhtan, yang dalam bahasa sehari-hari kita suka disebut dengan fitnah.

Buhtan adalah engkau menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain dengan maksud merusak kemuliaannya, namun perbuatan buruk tersebut tidak pernah ia lakukan. Dengan persangkaan buruk dan kedengkianmu, engkau merekayasa perbuatan buruknya dan berdusta atasnya untuk memfitnahnya.

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فىِ أَخِي مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya pernah ditanyakan, “Wahai Rosulullah, apakah ghibah itu?”. Beliau menjawab, “Kamu  menceritakan saudaramu apa yang dia tidak suka”. Ditanyakan lagi, “Bagaimana pendapatmu, jika pada saudaraku itu seperti apa yang aku katakan?”. Beliau menjawab, “Jika ada padanya sebagaimana yang kamu katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya, tetapi jika tidak ada padanya, maka berarti kamu telah mem-buhtannya”. [HR Muslim: 2589, Abu Dawud:  4874, at-Turmudziy: 1935, ad-Darimiy: II/ 299 dan Ahmad: II/ 384, 386. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Di dalam ayat tersebut (QS al-Hujurat/ 49 ayat 12) terdapat larangan ghibah, yaitu engkau menyebutkan tentang apa yang ada pada saudaramu dengan apa yang ia tidak suka. Namun jika engkau menyebutkannya tentang apa yang tidak ada padanya, maka itu namanya buhtan”. [2]

Katanya lagi, “Barangsiapa yang membicarakan saudaranya dengan sesuatu yang tidak dikerjakan olehnya maka hal tersebut termasuk dari perbuatan batil dan mengada-adakan kebohongan atasnya”. [3]
Ghibah dan buhtan adalah dua perilaku yang diharamkan oleh syar’i  dalam alqur’an dan sunnah karena telah jelas kerusakan dan bahayanya. Keduanya dapat merusak kemuliaan dan harga diri seorang muslim yang sangat dijunjung tinggi di dalam Islam karena kesuciannya, hanya saja buhtan mengandung unsur dusta dan fitnah.

 Jika engkau melakukan buhtan maka engkau telah menghimpun dua kejahatan, yakni ghibah dan dusta. Tidak ada balasan dari perbuatan buruk melainkan keburukan pula.

Maka tidaklah patut bagi setiap muslim menganggap enteng dan remeh perilaku buhtan ini, bahkan memandang ringan tiada bernilai. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala tidak suka dan mengharamkan buhtan sebagaimana di dalam kisah Aisyah radliyallahu anha tentang hadits ifki. Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun mengancam pelakunya dengan radghah al-Khabal  sebagaimana di dalam dalil-dalil berikut ini,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُو بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ سَرًّا لَّكُم بَلْ هُوُ خُيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَ الَّذِى تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهَ عَذَابٌ عَظِيمٌ لَو لَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ اْلمـُؤْمِنُونَ وَ اْلمـُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَّ قَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُّبِينٌ

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. [4] Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." [QS. An-Nur/ 24: 11-12].

Berkata asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat celaan dari Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang berkata tentang perkara ini. Allah berfirman, “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri”. Yang demikian itu dikarenakan Ummul mukminin itu adalah ibu mereka, [5] bagaimana mungkin mereka dapat menyangkanya dengan sesuatu yang tidak patut. Kewajiban bagi mereka ketika mendengar berita ini adalah bersangka baik di dalam diri mereka dan berlepas diri darinya dan dari orang yang mengatakannya”. [6]

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ تَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَ هُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ وَ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ يَعِظُكُمُ اللهُ أَن تَعُودُوا لِمـِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

 (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), Ini adalah dusta yang besar."  Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. [QS. An-Nur/ 24: 15-17].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairiy hafizhohullah, “Wajibnya seorang mukmin untuk tidak membenarkan orang yang menuduh orang mukmin lain berbuat keji. Hendaklah ia berkata kepada si penuduh, “Apakah engkau mampu mendatangkan empat orang saksi atas ucapanmu tersebut?”. Jika ia mengatakan, “Tidak”, maka katakan kepadanya, “Kalau demikian kamu di sisi Allah termasuk dari golongan pendusta”. [7]

Dari kisah Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu anha di atas setiap muslim hendaknya mengambil ibrah dan hikmah, di antaranya ia tidak boleh begitu saja terpengaruh dengan suatu tuduhan keji yang dialamatkan kepada muslim yang lain, apalagi jika sudah dikenal akan keshalihannya. Hendaknya ia bersangka baik terlebih dahulu sebelum bersikap dan berkata, “ini tentu suatu berita bohong”. Lalu ia bertanya kepada yang menyebarkan fitnah tersebut, “Apakah tuduhan itu benar dan jika benar, adakah empat orang saksi yang menguatkan tuduhan tersebut?”. Jika tuduhan itu benar dan ada empat orang saksi, maka tetap tidak ada hak baginya untuk mengghibah dan menyebarkan aibnya dan perkara tersebut dikembalikan kepada yang berwenang. Tetapi jika tidak, maka berarti si penuduh tersebut termasuk dari para pendusta, berhak mendapatkan had dan tidak akan diterima lagi persaksiannya selama-lamanya.

Namun jika tuduhan itu tidak ada sangsi had (hukuman pidana) dan tidak disyaratkan adanya persaksian, maka cukup tabayyun kepada muslim yang dituduh tersebut. Jika ia mengaku perbuatan buruknya maka hendaknya ia menashihatinya dengan santun dan rasa kasih sayang agar ia meninggalkannya lalu merahasiakan keburukannya tersebut dari orang lain. Tetapi jika tidak, ia sebaiknya percaya kepada ucapan si tertuduh tersebut, dan kembalikan urusannya kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana kisah tabayyunnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada pentolan munafikin Abdullah bin Ubay bin Salul dari pengaduan Zaid bin Arqom di dalam riwayat berikut ini,
عن زيد بن أرقم رضي الله عنه قاَلَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيْهِ شِدَّةٌ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ لِأَصْحَابِهِ: لاَ تُنْفِقُوْا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ حَتىَّ يَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِهِ وَ قَالَ: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلىَ اْلمـَدِيْنَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ قَالَ: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَأَرْسَلَ إِلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُبَيٍّ فَسَأَلَهُ فَاجْتَهَدَ يَمِيْنَهُ مَا فَعَلَ فَقَالُوْا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَوَقَعَ فىِ نَفْسِى مِمَّا قَالُوْهُ شِدَّةٌ حَتىَّ أَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقِى (إِذَا جَاءَكَ اْلمـُنَافِقُوْنَ) قَالَ:  ثُمَّ دَعَاهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ  قَالَ: فَلَوَّوْا رُؤُوْسَهُمْ 

Dari Zaid bin Arqom radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan. Lalu di dalam perjalanan itu manusia tertimpa kesulitan. Abdullah bin Ubay berkata kepada kawan-kawannya, “Janganlah kalian berinfak kepada orang-orang yang berada di sisi Rosulullah sehingga mereka bubar dari sisinya”. Dan juga berkata, “Benar-benar jika kami telah kembali ke kota Madinah, orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah darinya”. Berkata Zaid, “Lalu aku mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian mengkhabarkannya”. Maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seorang utusan) kepada Abdullah bin Ubay (bin Salul), lalu bertanya kepadanya. Maka ia bersungguh-sungguh dengan sumpahnya bahwa ia tidak melakukannya. Sehingga orang-orangpun berkata, “Zaid telah berdusta kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Terjadilah kesempitan pada diriku dari apa yang mereka telah ucapkan, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ((إذا جاءك المنافقون)) [8] untuk membenarkanku. Berkata Zaid, “Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memanggil mereka untuk memohonkan ampun (kepada Allah) untuk mereka, namun mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka. [HR Muslim: 2772, al-Bukhoriy: 4900, 4901, 4902, 4903, 4904 dan at-Turmudziy: 3312, 3313. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]

Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan di atas, maka hendaklah setiap muslim wajib meninggalkan dan menanggalkan perbuatan ghibah apalagi buhtan, sebab pada keduanya ada banyak keburukan, dan tidak ada balasan keburukan melainkan keburukan pula bahkan lebih buruk lagi.  Maka jika seseorang melakukan buhtan yakni menuduh seorang muslim, padahal tuduhan itu tidak berdasarkan fakta dan kenyataan, apalagi tidak ada saksi dan bukti, maka tuduhan itu akan membawanya kepada keburukan di hari kiamat, yakni Allah Subhanahu wa ta’ala akan menempatkannya di rodghah al-khabal yaitu keringat atau perasan para penghuni neraka, sampai ia keluar dari ucapannya tersebut. معاذ الله

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنها قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَ مَنْ قَالَ فىِ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ اْلخَبَالِ حَتىَّ  يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkata mengenai seorang mukmin yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkannya pada rodghah al-Khabal [10] sehingga ia keluar dari apa yang ia katakan”. [HR Abu Dawud: 3597, Ahmad: II/ 70 dan al-Hakim: 2269. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Di dalam hadits di atas terdapat ancaman keras bagi seseorang yang menuduh seorang mukmin dengan suatu tuduhan yang tidak pernah orang itu lakukan yakni Allah Jalla wa Ala akan menempatkan dan meletakkannya pada rodghah al-Khabal, yakni tempat yang berisi perasan cairan dari penduduk neraka berupa keringat, darah, nanah, kotoran dan sebagainya dari mereka sampai ia keluar dari apa yang ia katakan atau mencabut tuduhannya tersebut.

Oleh sebab itu, wahai kaum muslimin jauhi dan hindarilah perbuatan buhtan atau fitnah ini, karena akan menyusahkan pelakunya di dunia dengan dibenci dan dijauhi oleh manusia dan juga akan menyengsarakannya pada hari kiamat dengan dimasukkannya ke dalam neraka dan ditempatkan pada rodghah al-khobal.

Wallahu a’lam.



[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 1806, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1578, Shahih Sunan Abi Dawud: 4079, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 86, 4187, Misykah al-Mashobih: 4828 dan Ghoyah al-Maram: 426
[2] Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 6.
[3]  Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 24.
[4] Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. yakni Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu anha, sehabis perang dengan Bani Mushthaliq bulan Sya'ban 5 H. Peperangan ini diikuti oleh kaum munafikin, dan turut pula Aisyah radliyallahu anha dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada dalam sekedup (sejenis kemah kecil di atas kendaraan unta). Setelah Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shofwan bin Mu'aththal as-Sulamiy, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, isteri Rasul!" lalu Aisyahpun terbangun. Kemudian dia dipersilahkan oleh Shofwan untuk menunggangi untanya. Shofwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka, membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafikin membesar-besarkannya, maka fitnahan atas Aisyah radliyallahu anha itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. [Lihat Sirah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh Ibnu Hisyam: III/  341-342, Aysar at-Tafasir: III/ 553 dan Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 130-131].
[5] QS. Al-Ahzab/ 33: 6.
[6] Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 132.
[7] Aysar at-Tafasir: III/ 555.
[8] Al-Qur’an surat al-Munafiqun surat ke 63.
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2639, 2640
[10] Keringat atau perasan penghuni neraka.
[11] Shahih Sunan Abi Dawud: 3066, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6196, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 437 dan Irwa’ al-Ghalil: 2318.

Senin, 20 Agustus 2012

NAMIMAH PERUSAK KEHARMONISAN


BAHAYA NAMIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم


Telah berlalu penjelasan tentang larangan meng-ghibah atau gunjing, karena di dalamnya banyak terdapat keburukan di dunia dan akhirat. Ghibah adalah membicarakan keburukan atau aib seseorang kepada orang lain, yang akan mengakibatkan orang yang dighibah itu kehilangan kemuliaan dan harga dirinya.

Seringkali ghibah disampaikan kepada seseorang dan seseorang yang lain untuk tujuan mengadu domba dan merusak hubungan antara mereka, satu dengan lainnya. Yang pada mulanya, ada dua orang atau lebih mempunyai hubungan harmonis dan erat, tapi dengan adanya seseorang yang giat meng-gibah dari satu orang ke orang lainnya, maka hubungan tersebut dapat menjadi renggang, retak, berantakan dan bahkan bermusuhan.

Perilaku ini di sebut dengan namimah, jadi namimah itu lebih buruk dari ghibah. Sebab ghibah hanya menceritakan dan menggunjing seorang muslim agar kehormatan dan harga dirinya rusak. Tetapi namimah itu melakukan banyak ghibah dengan tujuan agar hubungan di antara mereka rusak dan saling bermusuhan.
Namimah adalah seseorang menyampaikan ucapan orang lain, sebahagian mereka terhadap sebahagian yang lain dengan tujuan merusak (hubungan) di antara mereka. Dan perbuatan ini termasuk dari dosa-dosa besar. [1]

Berkata asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah,[2] “Hukum namimah ini adalah haram sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin. Dalil-dalil syar’i dari alqur’an dan sunnah telah tampak jelas atas keharamannya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَ لَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِيْنٍ هَمَّازٍ مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah (namimah). [QS. Al-Qolam/ 68: 10-11].

Diriwayatkan bahwa pernah seseorang menceritakan seorang yang lain kepada Umar bin Abdul Aziz tentang sesuatu. Maka berkata Umar, “Wahai Fulan jika engkau mau, kami akan perhatikan urusanmu ini. Jika engkau benar (dengan ucapanmu) maka engkau termasuk dari ahli ayat ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَـإٍ فَتَبَـيَّـنُوا

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti. [QS. Al-Hujurat/49: 6].

tetapi jika engkau dusta maka engkau termasuk dari ahli ayat ini,

هَمَّازٍ مَّشَّــاءٍ بِنَمِيـمٍ

Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah (namimah). [QS. Al-Qolam/ 68: 10-11].

Jika engkau mau, kami memaafkanmu. Iapun berkata, “(aku menghendaki) maaf, wahai Amirul mukminin, aku tidak akan mengulanginya selama-lamanya”. [3]

Pelaku namimah (nammam) adalah orang yang menyampaikan perkataan di antara manusia atau antara dua orang dengan sesuatu yang dapat mengganggu salah satunya atau tidak menyenangkan hatinya atas kawan atau temannya tersebut. Misalnya ia mengatakan, “Si fulan mengatakan ini dan itu tentangmu dan juga melakukan begini dan begitu”. [4]

عن ابن مسعود رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ مَا اْلعَضْهُ؟ هِيَ النَّمِيْمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ

 Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kuberitakan kepada kalian apakah adl-h [5] itu?. Dia adalah namimah yaitu orang yang suka berbicara di antara manusia (untuk merusak hubungan diantara mereka)”. [HR Muslim: 2606, ad-Darimiy: II/ 300, Ahmad: I/ 437, ath-Thohawiy dan al-Baihaqiy. Berkata sy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن أنس رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا اْلعَضْهُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ: نَقْلُ اْلحَدِيْثِ مِنْ بَعْضِ النَّاسِ إِلىَ بَعْضٍ لِيُفْسِدُوْا بَيْنَهُمْ

 Dari Anas radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian apakan ‘adl-h itu?”. Mereka menjawab, “Allah dan Rosul-nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “(‘adl-h) itu adalah menyampaikan ucapan sebahagian manusia kepada sebahagian yang lain untuk merusak (hubungan) di antara mereka”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 425, ath-Thohawiy dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عن أسماء بنت يزيد قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَفَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِشِرَارِكُمْ؟ قَالُوْا: بَلىَ قَالَ: اْلمـَشَّاؤُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ اْلمـُفْسِدُوْنَ بَيْنَ اْلأَحِبَّةِ اْلبَاغُوْنَ اْلبُرَآءَ اْلعَنَتَ
  
Dari Asma’ binti Yazid berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Maukah kukabarkan kepada kalian tentang orang yang terburuk  dari kalian?”. Mereka menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang suka berjalan kian kemari dengan melakukan namimah untuk merusak (hubungan) diantara orang-orang kecintaan, lagi mencari-cari kesusahan bagi orang yang bersih (dari kesalahan)”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 323, Ahmad: VI/ 459 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [8]

Dalil-dalil di atas dengan jelas memaparkan akan keburukan namimah yakni mengganggu dan merusak hubungan antara seorang muslim dengan saudaranya yang lain. Sehingga di antara mereka terjadi perselisihan, pertengkaran, permusuhan bahkan peperangan, sehingga pantaslah jika Allah Azza wa Jalla mengancam pelakunya tidak akan masuk ke dalam surga.

Sekarang ini banyak umat manusia bahkan kaum musliminnya yang mengerjakan namimah, baik disadari atau tidak oleh mereka. Misalnya, para wartawan jika ada pernyataan dari seorang tokoh masyarakat maka si wartawan itu mengadu pernyataan tersebut dengan pernyataan atau pendapat tokoh yang lainnya di dalam sebuah tulisan, artikel dan sejenisnya. Sehingga dari artikel tersebut akhirnya mengundang polemik yang tak kunjung selesai. Lalu polemik itu membawa kepada perselisihan, permusuhan dan pertikaian pribadi dan kelompok.

Atau ketika ada pasangan suami istri yang sedang berselisih, maka banyak pemburu berita yang berusaha –katanya sih untuk konfirmasi- mencari-cari berita dengan menceritakan kepada salah satu dari keduanya akan ucapan pasangannya. Tujuannya untuk mencari kebenaran berita namun yang terjadi, justru menambah kisruh hubungan keduanya sehingga akhirnya membawa kerusakan hubungan pada  keduanya. Mereka saling membenci, memaki, mengobral aib masing-masing pasangannya, berusaha menguasai harta dan anak-anak mereka dan bahkan perceraian. Subhanallah amat buruk apa yang mereka kerjakan.

Namun perilaku namimah itu tidak hanya dikerjakan oleh kaum pemburu berita saja, banyak juga anggota masyarakat yang disibukkan untuk memprovokasi perselisihan dan permusuhan antar dua manusia atau lebih. Tidakkah dengan perbuatan itu mereka membantu setan untuk menjadikan umat manusia saling bermusuhan. Maka dengannya itu pulalah, mereka menjadi setan-setan dari jenis manusia.

عن جابر قَالَ: َسمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ اْلمـُصَلُّوْنَ فىِ جَزِيْرَةِ اْلعَرَبِ وَ لَكِنْ فىِ التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan telah berputus asa dari disembah oleh orang-orang yang sholat di Jazirah Arab, tetapi (masih berharap) di dalam permusuhan di antara mereka”. [HR Muslim: 2812, at-Turmudziy: 1937, Ahmad: III/ 313, 354, 366 dan Abu Ya’la. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan itu mempunyai cara beraneka yang dipergunakan untuk melawan kaum muslimin, dalam upaya memecah belas persatuan mereka dan mencerai beraikan himpunan mereka”. [10]

عن جابر قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلىَ اْلمـَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ يَفْتِنُوْنَ النَّاسَ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ : فَعَلْتُ كَذَا وَ كَذَا فَيَقُوْلُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ:  ثُمَّ َيَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتىَّ فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ: فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَ يَقُوْلُ: نَعَمْ أَنْتَ (قَالَ اْلأَعْمَشُ: أَرَاهُ قَالَ:) فَيَلْتَزِمُهُ

Dari Jabir berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Iblis meletakkan arsynya di atas air, lalu mengirim pasukannya untuk menggoda manusia. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar dari mereka godaannya. Di antara pasukannya ada yang berkata, “Aku telah berbuat ini dan itu. Iblis berkata, “Engkau tidak melakukan sesuatu apapun”. Berkata (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam), “Datang lagi yang lain lalu berkata, “aku tidak meninggalkan seseorang sehingga aku berhasil memisahkannya dengan istrinya”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Maka iblis mendekatkannya kepadanya lalu berkata, “Ya, kamulah orangnya”. (Berkata al-A’masy, aku menduga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,) “Kemudian ia memeluknya”. [HR Muslim: 2813 dan Ahmad: III/ 314. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [11]

Jika ghibah saja dilarang apalagi namimah. Sebab ghibah hanyalah sekedar menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak harga diri atau kemuliaannya. Tapi namimah adalah menyampaikan dan menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain dan begitu juga sebaliknya dengan tujuan memprovokasi, menghasut dan mengadu domba serta merusak hubungan di antara mereka.

      عن همام بن الحارث قَالَ: مَرَّ رَجُلٌ عَلَى حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ فَقِيْلَ لَهُ: هَذَا يُبَلِّغُ اْلأُمَرَاءَ عَنِ النَّاسِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ قَتَّاتٌ
      قَالَ أَبُو عِيْسَى: قَالَ سُفْيَانٌ: وَاْلقَتَّاتُ النَّمَّامُ

Dari Hammam bin al-Harits berkata, “Seorang pria pernah melewati Hudzaifah bin al-Yaman”. Dikatakan kepadanya, “Orang ini yang menyampaikan (perkara-perkara) kepada para umara dari manusia”. Berkata Hudzaifah, Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Pengadu domba tidak akan masuk ke dalam surga”. [HR Muslim: 105, al-Bukhoriy: 6056 dan juga di dalam al-Adab al-Mufrad: 322, at-Turmudziy: 2026 dan Ahmad: V/ 391, 396. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Sepatutnya bagi orang yang mendapati namimah untuk tidak membenarkan orang yang bernamimah kepadanya. Tidak berprasangka kepada orang yang dinamimah dan tidak mencari-cari tahu tentangnya untuk merealisasikannya seperti yang diceritakan. Tetapi hendaklah ia melarangnya dan mencela perbuatannya. Untuk itulah, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menyuruh berhati-hati darinya.
Barangsiapa yang menganggap namimah itu halal padahal ia mengetahui tentang keharamannya maka Allah akan mengharamkan surga atasnya. Namun jika ia tidak menganggap halal maka ia berada di dalam masyi’ah (kehendak) Allah. Jika Allah mau maka Ia akan mengadzabnya dan jika mau maka Ia akan memaafkannya.
Wajib membenci tukang namimah sebab Allahpun membencinya”. [13]

عن ابن عباس قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم بِحَائِطٍ مِنْ حِيْطَانِ اْلمدِيْنَةِ –أو مَكَّةَ- فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فىِ قُبُوْرِهِمَا فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: يُعَذَّبَانِ وَ مَا يُعَذَّبَانِ  فىِ كَبِيْرٍ ثُمَّ قَالَ: بَلىَ كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَ كَانَ اْلآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ ثُمَّ دَعَا بِجَرِيْدِةٍ فَكَسَرَهَا كِسْرَتَيْنِ فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كِسْرَةً فَقِيْلَ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا أوْ إِلَى أَنْ يَيْبَسَا


Dari Ibnu Abbas berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah melewati satu kebun dari beberapa kebun Madinah –atau Mekkah-. Lalu Beliau mendengar suara dua orang yang sedang diadzab di dalam kubur mereka. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Keduanya sedang diadzab, dan tidaklah keduanya diadzab karena perkara yang besar. Kemudian Beliau bersabda, “Yang pertama (diadzab) lantaran tidak bersih dari buang air kecilnya, dan yang lain karena suka berjalan kian kemari dengan menyebarkan namimah (adu domba). Lalu Beliau menyuruh mengambil pelepah (korma) dan membelahnya menjadi dua bagian. Kemudian meletakkan di atas setiap kubur keduanya satu bagian. Ditanyakan (kepada Beliau), “Wahai Rosulullah, mengapakah engkau melakukan hal ini?. Beliau menjawab, “Mudah-mudahan kedua orang ini diringankan dari (adzab) selama kedua bagian pelepah ini masih basah. [HR al-Bukhoriy: 216, 218, 1361, 1378, 6052, 6055, Muslim: 292, at-Turmudziy: 70, Abu Dawud: 20, an-Nasa’iy: I/ 28-30, Ibnu Majah: 347, Ahmad: I/ 225, Ibnu Khuzaimah: 56 dan ad-Darimiy: I/ 188. Berkata ay-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa orang perbuatan namimah (mengadu domba) itu menyebabkan pelakunya tidak akan masuk surga dan mendapatkan siksa kubur yang mengerikan.

Disamping itu perilaku mendatangi seseorang lalu berkata, “Si Fulan mengatakan ini dan itu tentangmu”. Lalu mendatangi si Fulan itu dan mengatakan, “Si Anu mengatakan ini dan itu tentangmu”. Ia tidak hanya bermaksud mengadu domba dan merusak hubungan keduanya, tetapi juga ia mencoba mengambil keuntungan dari keduanya. Ia mendatangi si Fulan dengan satu muka dan kepada si Anu dengan muka yang lain. Ia berkata kepada si Fulan dengan satu cabang lidahnya dan berkata kepada si Anu dengan cabang lidah yang lain. Perilaku ini adalah sifat dari kaum munafikin yang mempunyai dua wajah, yang dikategorikan sebagai seburuk-buruk manusia dan kelak ia akan memiliki dua cabang lidah dari api neraka pada hari kiamat.  Al-Iyadzu billah.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُـوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : إِنَّ شَرَّ النَّـاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ الَّذِى يَأْتِى هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ وَ هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah dzul wajhain (orang yang memiliki dua wajah), yang datang kepada mereka ini dengan satu wajah dan datang kepada mereka itu dengan satu wajah yang lain”. [HR al-Bukhoriy: 3494, 6058, 7179 dan lafazh ini baginya, Muslim: 2526, at-Turmudziy: 2025, Abu Dawud: 4872 dan Ahmad: II/ 336. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[15]

عَنْ عَمَّارَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ كَانَ لَهُ وَجْهَانِ فِى الدُّنْـيَا كَانَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِسَـانَانِ مِنْ نَارٍ
Dari ‘Ammar radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mempunyai dua wajah di dunia, maka pada hari kiamat ia akan memiliki dua lidah dari api neraka”. [HR Abu Dawud: 4873 dan lafazh ini baginya, ad-Darimiy: II/ 314 dan al-Baihaqiy: 507 di dalam kitab al-Adab. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]
 Padahal berkata Ibnu Abi Mulaikah, “Aku jumpai tiga puluh orang dari shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, semuanya mereka takut terhadap penyakit nifak atas dirinya, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwasanya ia berada di atas keimanan malaikat Jibril dan Mikail alaihima as-Salam”. [17]

Ringkasnya, namimah yakni menyampaikan ucapan buruk tentang seseorang, sebahagian mereka terhadap sebahagian yang lain dengan tujuan merusak hubungan atau juga untuk menimbulkan perselisihan dan permusuhan di antara mereka. Hukumnya adalah haram, termasuk dari dosa-dosa besar dan pelakunya adalah dari kalangan kaum munafikin.

Oleh sebab itu, wahai istriku, anak-anakku, para kerabat dan shahabatku serta kaum muslimin seluruhnya jauhilah ghibah, fitnah (buhtan) ataupun namimah. Karena boleh jadi perilaku itu akan merugikan orang yang dighibah dan namimah di dunia ini, namun ia akan beruntung di akhirat kelak. Dan boleh jadi perbuatan ghibah dan namimah yang kita kerjakan ini akan menguntungkan kita di dunia, namun kelak akan merugikan kita di akhirat.

Wallahu a’lam.


[1] Al-Kaba’ir halaman 251 syarah oleh asy-Syaikh al-Utsaimin.
[2] Al-Kaba’ir halaman 251.
[3] Al-Kabair halaman 253.
[4] Al-Kaba’ir halaman 337.
[5] Al-‘adl-h adalah dusta atau buhtan.
[6] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2630 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 846.
[7] Shahih al-Adab al-Mufrod: 328, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 85 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 845.
[8] Shahih al-Adab al-Mufrad: 246.
[9] Mukhtashor Shahih Muslim: 1804, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1581, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1651, Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1608 dan Misykah al-Mashobih: 72.
[10] Bahjah an-Nazhirin: III/ 110.
[11] Mukhtashor Shahih Muslim: 1991, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1526 dan Misykah al-Mashobih: 71.
[12] Mukhtashor Shahih Muslim: 1808, Shahih al-Adab al-Mufrad: 245, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1649, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7672, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1034, Misykah al-Mashobih: 4823 dan Ghoyah al-Maram: 433.
[13] Bahjah an-Nazhirin: III/ 56.
[14] Shahih Sunan at-Turmudziy: 60, Shahih Sunan Abi Dawud: 20, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 31, Shahih Sunan Ibni Majah: 277, Irwa’ al-Ghalil: 178, 283, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2440 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 151.
[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 1744,  Shahih Sunan at-Turmudziy: 1648,  Shahih Sunan Abu Dawud: 4077, dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2226.
[16] Shahih Sunan Abu Dawud: 4078, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 892 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6496.
[17] Atsar ini dikeluarkan oleh al-Bukhoriy, kitab [ الإيمـان ], bab [ خوف المؤمن أن يحبط عمله و هو لا يشعر ] lihat Fat-h al-Bariy: I/ 109 dan kitab al-Iman oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah halaman 194-195.