السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Rabu, 22 Agustus 2012

JANGAN MENIKAM SAUDARAMU DENGAN FITNAH


BUHTAN ADALAH FITNAH YANG KEJI

بسم الله الرحمن الرحيم

Ghibah atau gunjing telah disepakati akan larangan dan pengharamannya di dalam syariat. Namun perilaku tersebut masih saja terjadi dan berkembang di masyarakat dan seakan sudah menjadi kebutuhan bagi sebahagian mereka padahal akibat ghibah itu sudah memakan korban yang tidak sedikit. Yah, barangkali demikian itulah tabiat manusia, semakin dilarang maka akan semakin dicari dan dinikmati sampai mereka merasakan sendiri hukuman dari akibat perbuatan tersebut berupa kena bala di dunia atau mendapatkan siksaan di dalam kubur dan neraka.

Terkadang ghibah itu berkembang dengan banyak bumbu tambahan yang tidak sepatutnya ada. Bumbu tambahan tersebut seringkali tak terkendali sehingga ketika setiap orang menafsirkan suatu peristiwa atau berita sesuai dengan kehendak dan kemauannya maka akan semakin rusak dan kejilah berita-berita yang tersebar itu. Terkadang pula ghibah itu direkayasa oleh orang-orang tertentu untuk memojokkan dan menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang yang lain. Perbuatan merekayasa dan menafsirkan suatu peristiwa dengan tujuan merusak dan menghancurkan kehormatan seorang muslim itu dapat menjurus dan mengarah kepada perbuatan buhtan, yang dalam bahasa sehari-hari kita suka disebut dengan fitnah.

Buhtan adalah engkau menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain dengan maksud merusak kemuliaannya, namun perbuatan buruk tersebut tidak pernah ia lakukan. Dengan persangkaan buruk dan kedengkianmu, engkau merekayasa perbuatan buruknya dan berdusta atasnya untuk memfitnahnya.

عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فىِ أَخِي مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya pernah ditanyakan, “Wahai Rosulullah, apakah ghibah itu?”. Beliau menjawab, “Kamu  menceritakan saudaramu apa yang dia tidak suka”. Ditanyakan lagi, “Bagaimana pendapatmu, jika pada saudaraku itu seperti apa yang aku katakan?”. Beliau menjawab, “Jika ada padanya sebagaimana yang kamu katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya, tetapi jika tidak ada padanya, maka berarti kamu telah mem-buhtannya”. [HR Muslim: 2589, Abu Dawud:  4874, at-Turmudziy: 1935, ad-Darimiy: II/ 299 dan Ahmad: II/ 384, 386. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Di dalam ayat tersebut (QS al-Hujurat/ 49 ayat 12) terdapat larangan ghibah, yaitu engkau menyebutkan tentang apa yang ada pada saudaramu dengan apa yang ia tidak suka. Namun jika engkau menyebutkannya tentang apa yang tidak ada padanya, maka itu namanya buhtan”. [2]

Katanya lagi, “Barangsiapa yang membicarakan saudaranya dengan sesuatu yang tidak dikerjakan olehnya maka hal tersebut termasuk dari perbuatan batil dan mengada-adakan kebohongan atasnya”. [3]
Ghibah dan buhtan adalah dua perilaku yang diharamkan oleh syar’i  dalam alqur’an dan sunnah karena telah jelas kerusakan dan bahayanya. Keduanya dapat merusak kemuliaan dan harga diri seorang muslim yang sangat dijunjung tinggi di dalam Islam karena kesuciannya, hanya saja buhtan mengandung unsur dusta dan fitnah.

 Jika engkau melakukan buhtan maka engkau telah menghimpun dua kejahatan, yakni ghibah dan dusta. Tidak ada balasan dari perbuatan buruk melainkan keburukan pula.

Maka tidaklah patut bagi setiap muslim menganggap enteng dan remeh perilaku buhtan ini, bahkan memandang ringan tiada bernilai. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala tidak suka dan mengharamkan buhtan sebagaimana di dalam kisah Aisyah radliyallahu anha tentang hadits ifki. Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun mengancam pelakunya dengan radghah al-Khabal  sebagaimana di dalam dalil-dalil berikut ini,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُو بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ سَرًّا لَّكُم بَلْ هُوُ خُيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَ الَّذِى تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهَ عَذَابٌ عَظِيمٌ لَو لَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ اْلمـُؤْمِنُونَ وَ اْلمـُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَّ قَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُّبِينٌ

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. [4] Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." [QS. An-Nur/ 24: 11-12].

Berkata asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat celaan dari Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang berkata tentang perkara ini. Allah berfirman, “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri”. Yang demikian itu dikarenakan Ummul mukminin itu adalah ibu mereka, [5] bagaimana mungkin mereka dapat menyangkanya dengan sesuatu yang tidak patut. Kewajiban bagi mereka ketika mendengar berita ini adalah bersangka baik di dalam diri mereka dan berlepas diri darinya dan dari orang yang mengatakannya”. [6]

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ تَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَ هُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ وَ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ يَعِظُكُمُ اللهُ أَن تَعُودُوا لِمـِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

 (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), Ini adalah dusta yang besar."  Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. [QS. An-Nur/ 24: 15-17].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairiy hafizhohullah, “Wajibnya seorang mukmin untuk tidak membenarkan orang yang menuduh orang mukmin lain berbuat keji. Hendaklah ia berkata kepada si penuduh, “Apakah engkau mampu mendatangkan empat orang saksi atas ucapanmu tersebut?”. Jika ia mengatakan, “Tidak”, maka katakan kepadanya, “Kalau demikian kamu di sisi Allah termasuk dari golongan pendusta”. [7]

Dari kisah Ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu anha di atas setiap muslim hendaknya mengambil ibrah dan hikmah, di antaranya ia tidak boleh begitu saja terpengaruh dengan suatu tuduhan keji yang dialamatkan kepada muslim yang lain, apalagi jika sudah dikenal akan keshalihannya. Hendaknya ia bersangka baik terlebih dahulu sebelum bersikap dan berkata, “ini tentu suatu berita bohong”. Lalu ia bertanya kepada yang menyebarkan fitnah tersebut, “Apakah tuduhan itu benar dan jika benar, adakah empat orang saksi yang menguatkan tuduhan tersebut?”. Jika tuduhan itu benar dan ada empat orang saksi, maka tetap tidak ada hak baginya untuk mengghibah dan menyebarkan aibnya dan perkara tersebut dikembalikan kepada yang berwenang. Tetapi jika tidak, maka berarti si penuduh tersebut termasuk dari para pendusta, berhak mendapatkan had dan tidak akan diterima lagi persaksiannya selama-lamanya.

Namun jika tuduhan itu tidak ada sangsi had (hukuman pidana) dan tidak disyaratkan adanya persaksian, maka cukup tabayyun kepada muslim yang dituduh tersebut. Jika ia mengaku perbuatan buruknya maka hendaknya ia menashihatinya dengan santun dan rasa kasih sayang agar ia meninggalkannya lalu merahasiakan keburukannya tersebut dari orang lain. Tetapi jika tidak, ia sebaiknya percaya kepada ucapan si tertuduh tersebut, dan kembalikan urusannya kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana kisah tabayyunnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada pentolan munafikin Abdullah bin Ubay bin Salul dari pengaduan Zaid bin Arqom di dalam riwayat berikut ini,
عن زيد بن أرقم رضي الله عنه قاَلَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيْهِ شِدَّةٌ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ لِأَصْحَابِهِ: لاَ تُنْفِقُوْا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ حَتىَّ يَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِهِ وَ قَالَ: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلىَ اْلمـَدِيْنَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ قَالَ: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَأَرْسَلَ إِلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُبَيٍّ فَسَأَلَهُ فَاجْتَهَدَ يَمِيْنَهُ مَا فَعَلَ فَقَالُوْا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَوَقَعَ فىِ نَفْسِى مِمَّا قَالُوْهُ شِدَّةٌ حَتىَّ أَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقِى (إِذَا جَاءَكَ اْلمـُنَافِقُوْنَ) قَالَ:  ثُمَّ دَعَاهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ  قَالَ: فَلَوَّوْا رُؤُوْسَهُمْ 

Dari Zaid bin Arqom radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam suatu perjalanan. Lalu di dalam perjalanan itu manusia tertimpa kesulitan. Abdullah bin Ubay berkata kepada kawan-kawannya, “Janganlah kalian berinfak kepada orang-orang yang berada di sisi Rosulullah sehingga mereka bubar dari sisinya”. Dan juga berkata, “Benar-benar jika kami telah kembali ke kota Madinah, orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah darinya”. Berkata Zaid, “Lalu aku mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian mengkhabarkannya”. Maka Beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seorang utusan) kepada Abdullah bin Ubay (bin Salul), lalu bertanya kepadanya. Maka ia bersungguh-sungguh dengan sumpahnya bahwa ia tidak melakukannya. Sehingga orang-orangpun berkata, “Zaid telah berdusta kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Terjadilah kesempitan pada diriku dari apa yang mereka telah ucapkan, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ((إذا جاءك المنافقون)) [8] untuk membenarkanku. Berkata Zaid, “Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memanggil mereka untuk memohonkan ampun (kepada Allah) untuk mereka, namun mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka. [HR Muslim: 2772, al-Bukhoriy: 4900, 4901, 4902, 4903, 4904 dan at-Turmudziy: 3312, 3313. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]

Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan di atas, maka hendaklah setiap muslim wajib meninggalkan dan menanggalkan perbuatan ghibah apalagi buhtan, sebab pada keduanya ada banyak keburukan, dan tidak ada balasan keburukan melainkan keburukan pula bahkan lebih buruk lagi.  Maka jika seseorang melakukan buhtan yakni menuduh seorang muslim, padahal tuduhan itu tidak berdasarkan fakta dan kenyataan, apalagi tidak ada saksi dan bukti, maka tuduhan itu akan membawanya kepada keburukan di hari kiamat, yakni Allah Subhanahu wa ta’ala akan menempatkannya di rodghah al-khabal yaitu keringat atau perasan para penghuni neraka, sampai ia keluar dari ucapannya tersebut. معاذ الله

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنها قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَ مَنْ قَالَ فىِ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ اْلخَبَالِ حَتىَّ  يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkata mengenai seorang mukmin yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkannya pada rodghah al-Khabal [10] sehingga ia keluar dari apa yang ia katakan”. [HR Abu Dawud: 3597, Ahmad: II/ 70 dan al-Hakim: 2269. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Di dalam hadits di atas terdapat ancaman keras bagi seseorang yang menuduh seorang mukmin dengan suatu tuduhan yang tidak pernah orang itu lakukan yakni Allah Jalla wa Ala akan menempatkan dan meletakkannya pada rodghah al-Khabal, yakni tempat yang berisi perasan cairan dari penduduk neraka berupa keringat, darah, nanah, kotoran dan sebagainya dari mereka sampai ia keluar dari apa yang ia katakan atau mencabut tuduhannya tersebut.

Oleh sebab itu, wahai kaum muslimin jauhi dan hindarilah perbuatan buhtan atau fitnah ini, karena akan menyusahkan pelakunya di dunia dengan dibenci dan dijauhi oleh manusia dan juga akan menyengsarakannya pada hari kiamat dengan dimasukkannya ke dalam neraka dan ditempatkan pada rodghah al-khobal.

Wallahu a’lam.



[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 1806, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1578, Shahih Sunan Abi Dawud: 4079, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 86, 4187, Misykah al-Mashobih: 4828 dan Ghoyah al-Maram: 426
[2] Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 6.
[3]  Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 24.
[4] Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. yakni Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu anha, sehabis perang dengan Bani Mushthaliq bulan Sya'ban 5 H. Peperangan ini diikuti oleh kaum munafikin, dan turut pula Aisyah radliyallahu anha dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada dalam sekedup (sejenis kemah kecil di atas kendaraan unta). Setelah Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shofwan bin Mu'aththal as-Sulamiy, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, isteri Rasul!" lalu Aisyahpun terbangun. Kemudian dia dipersilahkan oleh Shofwan untuk menunggangi untanya. Shofwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka, membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus. Kemudian kaum munafikin membesar-besarkannya, maka fitnahan atas Aisyah radliyallahu anha itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. [Lihat Sirah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh Ibnu Hisyam: III/  341-342, Aysar at-Tafasir: III/ 553 dan Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 130-131].
[5] QS. Al-Ahzab/ 33: 6.
[6] Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 132.
[7] Aysar at-Tafasir: III/ 555.
[8] Al-Qur’an surat al-Munafiqun surat ke 63.
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2639, 2640
[10] Keringat atau perasan penghuni neraka.
[11] Shahih Sunan Abi Dawud: 3066, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6196, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 437 dan Irwa’ al-Ghalil: 2318.