BUHTAN ADALAH FITNAH YANG KEJI
بسم الله الرحمن الرحيم
Ghibah atau gunjing telah disepakati akan larangan
dan pengharamannya di dalam syariat. Namun perilaku tersebut masih saja terjadi
dan berkembang di masyarakat dan seakan sudah menjadi kebutuhan bagi sebahagian
mereka padahal akibat ghibah itu sudah memakan korban yang tidak sedikit. Yah,
barangkali demikian itulah tabiat manusia, semakin dilarang maka akan semakin
dicari dan dinikmati sampai mereka merasakan sendiri hukuman dari akibat perbuatan
tersebut berupa kena bala di dunia atau mendapatkan siksaan di dalam kubur dan
neraka.
Terkadang ghibah itu
berkembang dengan banyak bumbu tambahan yang tidak sepatutnya ada. Bumbu
tambahan tersebut seringkali tak terkendali sehingga ketika setiap orang
menafsirkan suatu peristiwa atau berita sesuai dengan kehendak dan kemauannya maka
akan semakin rusak dan kejilah berita-berita yang tersebar itu. Terkadang pula
ghibah itu direkayasa oleh orang-orang tertentu untuk memojokkan dan
menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang yang lain. Perbuatan merekayasa
dan menafsirkan suatu peristiwa dengan tujuan merusak dan menghancurkan
kehormatan seorang muslim itu dapat menjurus dan mengarah kepada perbuatan
buhtan, yang dalam bahasa sehari-hari kita suka disebut dengan fitnah.
Buhtan adalah engkau menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain dengan
maksud merusak kemuliaannya, namun perbuatan buruk tersebut tidak pernah ia
lakukan. Dengan persangkaan buruk dan kedengkianmu, engkau merekayasa perbuatan
buruknya dan berdusta atasnya untuk memfitnahnya.
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ
أَنَّهُ قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فىِ أَخِي مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ
فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ
فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya pernah ditanyakan, “Wahai
Rosulullah, apakah ghibah itu?”. Beliau menjawab, “Kamu menceritakan saudaramu apa yang dia tidak
suka”. Ditanyakan lagi, “Bagaimana pendapatmu, jika pada saudaraku itu seperti
apa yang aku katakan?”. Beliau menjawab, “Jika ada padanya sebagaimana yang
kamu katakan berarti kamu telah meng-ghibahnya, tetapi jika tidak ada padanya,
maka berarti kamu telah mem-buhtannya”. [HR Muslim: 2589,
Abu Dawud: 4874, at-Turmudziy: 1935, ad-Darimiy: II/ 299
dan Ahmad: II/ 384, 386. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1]
Berkata
asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Di dalam ayat tersebut (QS
al-Hujurat/ 49 ayat 12) terdapat larangan ghibah, yaitu engkau menyebutkan
tentang apa yang ada pada saudaramu dengan apa yang ia tidak suka. Namun jika
engkau menyebutkannya tentang apa yang tidak ada padanya, maka itu namanya buhtan”.
[2]
Katanya
lagi, “Barangsiapa yang membicarakan saudaranya dengan sesuatu yang tidak
dikerjakan olehnya maka hal tersebut termasuk dari perbuatan batil dan mengada-adakan
kebohongan atasnya”. [3]
Ghibah dan buhtan
adalah dua perilaku yang diharamkan oleh syar’i
dalam alqur’an dan sunnah karena telah jelas kerusakan dan bahayanya.
Keduanya dapat merusak kemuliaan dan harga diri seorang muslim yang sangat
dijunjung tinggi di dalam Islam karena kesuciannya, hanya saja buhtan
mengandung unsur dusta dan fitnah.
Jika engkau melakukan buhtan maka engkau telah
menghimpun dua kejahatan, yakni ghibah dan dusta. Tidak ada balasan dari
perbuatan buruk melainkan keburukan pula.
Maka tidaklah patut
bagi setiap muslim menganggap enteng dan remeh perilaku buhtan ini, bahkan
memandang ringan tiada bernilai. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala tidak suka dan
mengharamkan buhtan sebagaimana di dalam kisah Aisyah radliyallahu anha tentang hadits ifki. Dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun mengancam pelakunya dengan radghah al-Khabal sebagaimana di dalam dalil-dalil berikut ini,
إِنَّ الَّذِينَ
جَاءُو بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ سَرًّا لَّكُم بَلْ هُوُ
خُيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَ
الَّذِى تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهَ عَذَابٌ عَظِيمٌ لَو لَا إِذْ
سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ اْلمـُؤْمِنُونَ وَ اْلمـُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا
وَّ قَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُّبِينٌ
Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.
Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. [4]
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan
mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata, "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." [QS. An-Nur/
24: 11-12].
Berkata asy-Syaikh al-Utsaimin
rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat celaan dari Allah Azza wa Jalla kepada orang-orang yang berkata tentang perkara ini. Allah berfirman, “Mengapa
di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat
tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri”. Yang demikian itu
dikarenakan Ummul mukminin itu adalah ibu mereka, [5]
bagaimana mungkin mereka dapat menyangkanya dengan sesuatu yang tidak patut.
Kewajiban bagi mereka ketika mendengar berita ini adalah bersangka baik di
dalam diri mereka dan berlepas diri darinya dan dari orang yang mengatakannya”.
[6]
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَ تَقُولُونَ
بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَ تَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَ هُوَ
عِندَ اللهِ عَظِيمٌ وَ لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا
أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ يَعِظُكُمُ اللهُ
أَن تَعُودُوا لِمـِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan
kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu
menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu,
"Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakan ini, Maha Suci Engkau
(Ya Rabb kami), Ini adalah dusta yang besar." Allah memperingatkan kamu agar (jangan)
kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang
beriman. [QS. An-Nur/ 24: 15-17].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jazairiy hafizhohullah, “Wajibnya seorang mukmin untuk tidak membenarkan
orang yang menuduh orang mukmin lain berbuat keji. Hendaklah ia berkata kepada
si penuduh, “Apakah engkau mampu mendatangkan empat orang saksi atas ucapanmu
tersebut?”. Jika ia mengatakan, “Tidak”, maka katakan kepadanya, “Kalau
demikian kamu di sisi Allah termasuk dari golongan pendusta”. [7]
Dari kisah Ummu al-Mukminin
Aisyah radliyallahu anha di atas setiap muslim hendaknya mengambil ibrah
dan hikmah, di antaranya ia tidak boleh begitu saja terpengaruh dengan suatu
tuduhan keji yang dialamatkan kepada muslim yang lain, apalagi jika sudah
dikenal akan keshalihannya. Hendaknya ia bersangka baik terlebih dahulu sebelum
bersikap dan berkata, “ini tentu suatu berita bohong”. Lalu ia bertanya
kepada yang menyebarkan fitnah tersebut, “Apakah tuduhan itu benar dan jika
benar, adakah empat orang saksi yang menguatkan tuduhan tersebut?”. Jika
tuduhan itu benar dan ada empat orang saksi, maka tetap tidak ada hak baginya
untuk mengghibah dan menyebarkan aibnya dan perkara tersebut dikembalikan
kepada yang berwenang. Tetapi jika tidak, maka berarti si penuduh tersebut
termasuk dari para pendusta, berhak mendapatkan had dan tidak akan diterima
lagi persaksiannya selama-lamanya.
Namun jika tuduhan itu tidak
ada sangsi had (hukuman pidana) dan tidak disyaratkan adanya persaksian, maka
cukup tabayyun kepada muslim yang dituduh tersebut. Jika ia mengaku perbuatan
buruknya maka hendaknya ia menashihatinya dengan santun dan rasa kasih sayang
agar ia meninggalkannya lalu merahasiakan keburukannya tersebut dari orang
lain. Tetapi jika tidak, ia sebaiknya percaya kepada ucapan si tertuduh
tersebut, dan kembalikan urusannya kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana
kisah tabayyunnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada pentolan
munafikin Abdullah bin Ubay bin Salul dari pengaduan Zaid bin Arqom di dalam
riwayat berikut ini,
عن زيد بن أرقم رضي الله عنه قاَلَ: خَرَجْنَا مَعَ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيْهِ شِدَّةٌ فَقَالَ
عَبْدُ اللهِ بْنُ أُبَيٍّ لِأَصْحَابِهِ: لاَ تُنْفِقُوْا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُوْلِ
اللهِ حَتىَّ يَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِهِ وَ قَالَ: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلىَ اْلمـَدِيْنَةِ
لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ قَالَ: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى
الله عليه و سلم فَأَخْبَرْتُهُ بِذَلِكَ فَأَرْسَلَ إِلىَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُبَيٍّ
فَسَأَلَهُ فَاجْتَهَدَ يَمِيْنَهُ مَا فَعَلَ فَقَالُوْا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه و سلم فَوَقَعَ فىِ نَفْسِى مِمَّا قَالُوْهُ شِدَّةٌ حَتىَّ
أَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيْقِى (إِذَا جَاءَكَ اْلمـُنَافِقُوْنَ) قَالَ: ثُمَّ دَعَاهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم
لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ قَالَ: فَلَوَّوْا
رُؤُوْسَهُمْ
Dari Zaid bin Arqom radliyallahu anhu berkata, “Kami
pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam
di dalam suatu perjalanan. Lalu di dalam perjalanan itu manusia tertimpa
kesulitan. Abdullah bin Ubay berkata kepada kawan-kawannya, “Janganlah kalian berinfak
kepada orang-orang yang berada di sisi Rosulullah sehingga mereka bubar dari
sisinya”. Dan juga berkata, “Benar-benar jika kami telah kembali ke kota
Madinah, orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah darinya”. Berkata Zaid,
“Lalu aku mendatangi Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam
kemudian mengkhabarkannya”. Maka Beliau Shallallahu
alaihi wa sallam
mengutus (seorang utusan) kepada Abdullah bin Ubay (bin Salul), lalu bertanya
kepadanya. Maka ia bersungguh-sungguh dengan
sumpahnya bahwa ia tidak melakukannya. Sehingga orang-orangpun berkata, “Zaid
telah berdusta kepada Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam”.
Terjadilah kesempitan pada diriku dari apa yang mereka telah ucapkan, sehingga
Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ((إذا جاءك المنافقون)) [8] untuk
membenarkanku. Berkata Zaid, “Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
memanggil mereka untuk memohonkan ampun (kepada Allah) untuk mereka, namun
mereka menggeleng-gelengkan kepala mereka. [HR Muslim: 2772, al-Bukhoriy: 4900, 4901, 4902, 4903, 4904 dan
at-Turmudziy: 3312, 3313. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]
Berdasarkan dalil-dalil dan
penjelasan di atas, maka hendaklah setiap muslim wajib meninggalkan dan
menanggalkan perbuatan ghibah apalagi buhtan, sebab pada keduanya ada banyak
keburukan, dan tidak ada balasan keburukan melainkan keburukan pula bahkan
lebih buruk lagi. Maka jika seseorang
melakukan buhtan yakni menuduh seorang muslim, padahal tuduhan itu tidak
berdasarkan fakta dan kenyataan, apalagi tidak ada saksi dan bukti, maka tuduhan
itu akan membawanya kepada keburukan di hari kiamat, yakni Allah Subhanahu wa
ta’ala akan menempatkannya di rodghah al-khabal yaitu keringat atau
perasan para penghuni neraka, sampai ia keluar dari ucapannya tersebut. معاذ الله
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنها قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَ مَنْ قَالَ فىِ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ
فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ اْلخَبَالِ حَتىَّ يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu
anhuma berkata, aku
pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang berkata mengenai seorang mukmin yang tidak ada padanya, maka Allah akan
menempatkannya pada rodghah al-Khabal [10]
sehingga ia keluar dari apa yang ia katakan”. [HR Abu Dawud: 3597, Ahmad: II/
70 dan al-Hakim: 2269. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]
Di dalam
hadits di atas terdapat ancaman keras bagi seseorang yang menuduh seorang
mukmin dengan suatu tuduhan yang tidak pernah orang itu lakukan yakni Allah Jalla
wa Ala akan menempatkan dan meletakkannya pada rodghah al-Khabal,
yakni tempat yang berisi perasan cairan dari penduduk neraka berupa keringat,
darah, nanah, kotoran dan sebagainya dari mereka sampai ia keluar dari apa yang
ia katakan atau mencabut tuduhannya tersebut.
Oleh sebab
itu, wahai kaum muslimin jauhi dan hindarilah perbuatan buhtan atau fitnah ini,
karena akan menyusahkan pelakunya di dunia dengan dibenci dan dijauhi oleh
manusia dan juga akan menyengsarakannya pada hari kiamat dengan dimasukkannya
ke dalam neraka dan ditempatkan pada rodghah al-khobal.
Wallahu a’lam.
[1]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1806, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1578, Shahih Sunan
Abi Dawud: 4079, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 86, 4187, Misykah al-Mashobih:
4828 dan Ghoyah al-Maram: 426
[2]
Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 6.
[3] Bahjah an-Nazhirin Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 24.
[4] Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam. yakni Aisyah Ummul
Mukminin radliyallahu anha, sehabis perang dengan
Bani Mushthaliq bulan Sya'ban 5 H. Peperangan ini diikuti oleh kaum munafikin,
dan turut pula Aisyah radliyallahu anha
dengan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam berdasarkan
undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan mereka kembali
dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. Aisyah keluar dari
sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa
kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan
berangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada dalam sekedup (sejenis
kemah kecil di atas kendaraan unta). Setelah Aisyah mengetahui, sekedupnya
sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengharapkan sekedup itu akan
kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi,
Shofwan bin Mu'aththal as-Sulamiy, diketemukannya seseorang sedang tidur
sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi raaji'uun, isteri Rasul!" lalu Aisyahpun terbangun. Kemudian dia dipersilahkan oleh Shofwan untuk menunggangi untanya.
Shofwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang
melihat mereka, membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul
desas-desus. Kemudian kaum munafikin membesar-besarkannya, maka fitnahan atas
Aisyah radliyallahu anha itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan
kegoncangan di kalangan kaum muslimin. [Lihat Sirah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa
sallam oleh Ibnu
Hisyam: III/ 341-342, Aysar at-Tafasir:
III/ 553 dan Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 130-131].
[5] QS. Al-Ahzab/ 33: 6.
[6] Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 132.
[7]
Aysar at-Tafasir: III/ 555.
[8] Al-Qur’an
surat al-Munafiqun surat ke 63.
[9]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2639, 2640
[10]
Keringat atau perasan penghuni neraka.
[11]
Shahih Sunan Abi Dawud: 3066, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6196, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 437 dan Irwa’ al-Ghalil: 2318.