بسم الله الرحمن الرحيم
B). HAWA
NAFSU.
Penyebab lain terjadinya penolakan
dan penyimpangan terhadap kebenaran alqur’an dan al-Hadits adalah disebabkan
hawa nafsu. Telah banyak kisah di dalam alqur’an maupun hadits, tentang
kesesatan, kerusakan dan dibinasakannya umat terdahulu lantaran mereka berbuat
durhaka kepada Allah Azza wa Jalla dan para Rosul-Nya Sholawatullahi ‘alaihim
wa salamuhu. Misalnya berupa, membuat sembahan-sembahan selain Allah, mendustakan
para Rosul bahkan membunuh sebahagian mereka, memakan harta yang diperoleh
dengan cara batil, membunuh jiwa yang diharamkan Allah ta’ala, melakukan
perbuatan zina dan liwath (homo seksual), dan lain sebagainya. Yang semua
kedurhakaan atau kemaksiatan tersebut tumbuh dan berkembangnya adalah akibat
hawa nafsu yang bercokol di dalam dirinya bahkan telah mencemari dan
meracuninya. Misalnya beberapa ayat berikut ini,
إِنْ
هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوْهَا أَنْتُمْ وَ ءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلُ اللَّهُ
بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَّتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ مَا تَهْوَى
اْلأَنْفُسُ وَ لَقَدْ جَاءَ هُمْ مِّنْ رَّبِّهِمُ الْهُدَى
Itu
tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakan
namanya, Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan
oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka
dari Rabb mereka. [QS. an-Najm/53: 23].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Ada penjelasan
bahwasanya kaum musyrikin itu di setiap waktu dan tempat tidaklah di dalam
beribadah kepada selain Allah melainkan hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka”. [1]
Berkata
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Bahwasanya barangsiapa yang
menyelisihi Rosul, maka mestilah ia mengikuti zhonn (sangkaan-sangkaan) dan apa
yang diinginkan oleh hawa nafsu. Sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman
tentang kaum musyrikin yang menyembah Lata dan Uzza, ((Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu
mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.
QS. an-Najm/53: 23))”. [2]
Perhatikan
bagaimana telah disinggung dalam ayat tersebut di atas bahwasanya kaum
musyrikin itu ketika mereka beribadah kepada berhala-berhala yang mereka buat
sendiri dengan tangan mereka lalu mereka namakan bersama bapak-bapak mereka
dengan nama-nama yang sesuai dengan keinginan mereka. Bahwasanya mereka ketika
itu hanyalah mengikuti persangkaan dan hawa nafsu. Karena tidak ada satupun
keterangan dari Allah Jalla dzikruhu dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang membolehkan dibuatnya patung berhala, memberikan nama dan apalagi
kemudian menyembahnya.
لَقَدْ
أَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِى إِسْرَائِيْلَ وَأَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ رُسُلاً
كُلَّمَا جَاءَ هُمْ رَسُـوْلٌ بِمَا لاَ
تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيْقًا كَذَّبُوْا وَ فَرِيْقًا يَقْتُلُوْنَ
Sesungguhnya
Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan Kami telah mengutus para
Rosul kepada mereka. Tetapi setiap kali datang kepada mereka seorang Rosul yang
tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, maka sebahagian para Rosul itu mereka
dustakan dan sebahagian yang lain mereka bunuh. [QS. al-Ma’idah/5: 70].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala menyebutkan bahwasanya Dia
telah mengambil perjanjian dan janji atas Bani Israil untuk mendengar dan taat
kepada Allah dan Rosul-Nya. Lalu mereka melanggar janji dan perjanjian (yang
mereka buat) dan mengikuti ro’yu-ro’yu dan hawa-hawa nafsu mereka dan
mendahulukannya atas syariat. Maka apa yang menyesuaikan mereka darinya maka
mereka menerimanya dan apa yang menyelisihi mereka maka mereka menolaknya.[3]
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Senantiasa siyak (hubungan
kalimat) yang mulia di dalam pembicaraan mengenai ahli kitab, maka
sungguh-sungguh Allah ta’ala telah bersumpah bahwanya Dia telah mengambil
perjanjian Bani Israil dan yang demikian itu di dalam kitab Taurat yaitu agar
mereka mengibadahi Allah saja sesuai dengan apa yang disyariatkan kepada
mereka, lalu mereka mentaati-Nya di dalam perintah dan larangan-Nya, dan
mengutus kepada mereka beberapa orang Rosul secara berturut-turut. Setiap kali
datang kepada mereka seorang Rosul dengan apa yang tidak mencocoki hawa nafsu
mereka maka merekapun mendustakannya pada apa yang ia telah datang dan menyeru
mereka atau (bahkan) mereka membunuhnya. Dan mereka menyangka bahwasanya mereka
tidak akan dihukum dengan dosa-dosa mereka tersebut, lalu mereka buta dari
kebenaran dan tuli dari mendengarkan nashihat, lalu Rabb mereka menimpakan bala
(siksaan) kepada mereka dan memberi kekuasaan atas mereka orang yang akan
menimpakan kepada mereka seburuk-buruknya adzab.[4]
Ayat di
ataspun memberikan pemahaman kepada setiap orang yang mempunyai hati dan
mengarahkan pendengaran, bahwasanya Bani Israil itu mendustakan setiap Rosul
yang Allah utus kepada mereka dan bahkan mereka membunuhnya lantaran hawa nafsu
yang telah mengendap di dalam jiwa mereka. Jika sesuai dengan keinginan hawa
nafsu mereka maka merekapun menerimanya tetapi jika tidak sesuai dengan
keinginan hawa nafsu mereka maka merekapun bergegas untuk menolaknya dengan
cara mendustakan Rosul tersebut dan ada pula yang mereka bunuh.
Di samping
itu, akan dijumpai pula beberapa dalil yang menerangkan kesesatan orang yang
mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah Subhanahu meskipun ia bermaksud
beribadah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dengannya. Di antaranya adalah
sebagai berikut,
وَ
اتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِى ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا
فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ وَلَوْ شِئْنَا
لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَ اتَّبَعَ هَوَاهُ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِئـَايَاتِنَا فَاقْصُصِ
الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang Kami telah berikan kepadanya
ayat-ayat Kami, kemudian ia melepaskan diri darinya, lalu ia diikuti oleh
Syaitan maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan jikalau Kami
kehendaki, niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi
ia lebih condong kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka perumpamaannya
adalah seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia akan menjulurkan lidahnya dan
jika kamu membiarkannya maka iapun tetap menjulurkan lidahnya. Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. [QS. al-A’raf/7:
175-176].
يَا
دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِى اْلأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ
بِالْحَقِّ وَ لاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ إِنَّ
الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِمَا
نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ
Wahai
Dawud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi, maka
berilah keputusan hukum di antara manusia dengan benar (adil) dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan adzab
yang keras karena mereka telah melupakan hari perhitungan [QS. Shad/38: 26].
وَ
مَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ
لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
Dan
siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk
kepada orang-orang yang zholim. [QS. al-Qoshosh/28: 50].
Ayat-ayat di
atas menggambarkan kesesatan orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
meninggalkan dan menanggalkan ilmu atau petunjuk yang diberikan kepadanya. Ia
tidak mau terikat dan terkurung di dalam ilmunya tersebut maka ia berusaha
melepaskan dirinya dari ikatan, belitan dan belenggu ilmu yang selama ini
memenjarakan dan mengekang kebebasan hawa nafsunya. Hal ini akan tampak jelas
dari amal-amalnya yang senantiasa menyelisihi ilmu yang telah dimilikinya. Ilmu
yang semestinya bermanfaat membimbing orang yang memilikinya kepada petunjuk
Allah ta’ala, membentengi dirinya dari gangguan atau bisikan setan yang durjana
dan bahkan menyelamatkannya dari kesesatan, tidaklah nampak manfaatnya jika kecondongannya
kepada kehidupan dunia lebih berkuasa dan hawa nafsu lebih diikuti dan
diperturutkan. Oleh sebab itu orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
bid’ah dan syirik atau orang-orang yang mengerjakan segala macam perbuatan
maksiat setelah didatangkan hujjah yang nyata kepada mereka berupa alqur`an dan
hadits yang shahih lalu mereka tetap di dalam mengerjakannya, mereka disebut
sebagai ahlu al-Ahwaa’ (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu).
Maka pantaslah jikalah Allah ta`ala telah mengabadikan di dalam alqur’an yang
mulia ini bahwasanya tiada lagi orang yang lebih sesat dibandingkan dari orang
yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ma’adzallah.
Begitupula
seseorang yang memiliki kelebihan ilmu dan kekuasaan diperintahkan di dalam
menetapkan hukum di antara manusia
dengan cara yang benar yaitu adil dan sesuai dengan syariat dan
keridloan Allah ta’ala dan dilarang menurutkan hawa nafsu. Karena menurutkan
hawa nafsu itu dapat menggelincirkan dirinya kepada kesesatan dan menjauhkan
dirinya dari kebenaran. Sedangkan orang-orang yang berada di dalam kesesatan
itu dijanjikan mendapatkan adzab yang sangat keras pada hari kiamat. Hal ini
sebagaimana telah diwasiatkan kepada Nabi Dawud ‘Alaihi as-Salam yang telah dianugrahkan
kepadanya ilmu dan kekuasaan, juga yang telah diingatkan oleh Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut,
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ
قَاضِيَانِ فِى النَّارِ وَ قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ قَاضٍ قَضَى بِالْهَوَى فَهُوَ
فِى النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِغَيْرِ عِلْمٍ فَهُوَ فِى النَّارِ وَ قَاضٍ قَضَى
بِالْحَقِّ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ
Dari
Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qodli (Hakim) itu
ada tiga, dua qodli di dalam neraka dan satu qodli di dalam surga. Qodli yang
memutuskan (perkara) dengan hawa nafsu maka ia di dalam neraka, qodli yang
memutuskan (perkara) dengan tanpa ilmu maka ia di dalam neraka dan qodli yang
memutuskan (perkara) dengan kebenaran maka ia di dalam surga”. [HR
ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih].[5]
Namun sangat
disesalkan banyak manusia terjatuh ke dalam lembah kesesatan lantaran hawa
nafsunya sehingga ia menafikan dan menolak dalil-dalil yang telah nyata
kebenaran dan keabsahannya. Dan bahkan ada di antara mereka yang mempertuhankan
hawa nafsunya atau ia memperbudak dirinya kepada hawa nafsunya untuk kesenangan
yang sementara kemudian Allah ta’ala akan membiarkannya sesat yang ia tidak
akan mendapat petunjuk lagi selama-lamanya. Sebagaimana telah diungkapkan di
dalam ayat berikut ini,
أَفَرَأَيْتَ مَنِ
اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَ أَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلَى
سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِهِ مِنْ
بَعْدِ اللّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ
Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya
(sesembahannya) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. Dan Allah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya. Maka siapakah lagi yang akan memberikan petunjuk kepadanya
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran.
[QS. al-Jatsiyah/45: 23].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Kemudian Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “((Maka
pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya))
yaitu; ia hanyalah mengikuti perintah dengan hawa nafsunya. Apabila hawa
nafsunya memandangnya baik maka ia mengerjakannya, dan jika hawa nafsunya
memandangnya buruk maka ia meninggalkannya”.[6]
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Tercelanya hawa nafsu
dan perintah berhati-hati dari mengikutinya, karena kadang-kadang hawa nafsu
itu membawa seorang hamba untuk meninggalkan mengikuti petunjuk kepada mematuhi
hawa nafsu. Maka jadilah hawa nafsunya itu menjadi sesembahannya, bukan Allah
ta’ala pelindungnya”.[7]
Jika Allah
Subhanahu wa ta’ala telah mengabadikan ayat ini maka akan selalu ada di muka
bumi ini orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsunya atau mereka mau
diperbudak oleh hawa nafsu mereka. Hal tersebut sangat kentara di dalam
sikapnya sehari-hari, yaitu jika hawa nafsu condong untuk mengatakan sesuatu
maka iapun bergegas mengatakannya, bila hawa nafsu cenderung melakukan suatu
perbuatan maka iapun segera melakukannya dan seandainya hawa nafsu tertarik
kepada suatu keyakinan maka iapun dengan cepat berusaha meyakininya. Lalu
dengan sebab itulah Allah ta’ala mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan pada penglihatannya, maka siapakah lagi yang dapat memberi
hidayah kepadanya jikalau Allah ta’ala sendiri telah menyesatkannya dan
membiarkannya sesat?. Binasalah orang yang telah disesatkan dan dibiarkan sesat
oleh Allah Jalla wa ‘Ala lantaran mengikuti dan mempertuhankan hawa nafsunya. Maka
jika demikian sebanyak apapun nashihat dan teguran, sesering apapun ia aktif di
dalam majlis pengajian yang membahas ilmu-ilmu akhirat, sehebat apapun ulama
yang memberi nashihat dan memberi pengajaran kepadanya tidak akan bermanfaat
sedikitpun baginya, sebagaimana telah dituangkan di dalam dalil berikut ini,
فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوْا الصَّلاَةَ وَ اتَّبَعُوْا الشَّهَوَاتِ
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّـا
Maka
datanglah sesudah mereka suatu pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan sholat
dan mengikuti syahwat (atau hawa nafsu), maka kelak mereka akan menjumpai
kesesatan. [QS. Maryam/19: 59].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Tercelanya generasi
jelek, yaitu orang yang menyia-nyiakan sholat dan mengikuti hawa nafsu. (2)
Ancaman yang keras bagi orang yang tenggelam di dalam syahwat dan meninggalkan
sholat lalu ia mati di atas yang demikian itu”.[8]
وَمِنْهُمْ
مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدِكَ قَالُوْا
لِلَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ
طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَ اتَّبَعُوْا أَهْوَاءَ هُمْ
Dan
di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga ketika mereka
telah keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang-orang yang telah diberi
ilmu (maksudnya para shahabat); Apakah yang dikatakannya tadi?. Mereka itulah
orang-orang yang telah dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa
nafsu mereka. [QS. Muhammad/47: 16].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman,
((Mereka itu)) yaitu orang-orang yang binasa di dalam keburukan dan kemunafikan
yang telah dikunci mati hati mereka oleh Allah yaitu dengan sebab kekafiran dan
kemunafikan. Dan hal tersebut karena mereka telah banyak melumuri dengan
kotoran kekafiran dan kemunafikan sehingga yang demikian itu menutupi hati
mereka, maka hal tersebut menjadi penutup dan pengunci mati atas hati mereka
dan (di samping itu) mereka juga mengikuti hawa nafsu. Maka kedua-duanya adalah
merupakan penyebab (illat), yang pertama menjadi pengunci mati yang menahan
dari mencari hidayah (atau petunjuk) dan yang kedua adalah mengikuti hawa nafsu
dan mengikuti hawa nafsu itu membuat buta dan tuli (yaitu dari petunjuk). Oleh
sebab itulah mereka tidak mendapat petunjuk.[9]
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: ثَلاَثٌ
مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ
فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ فَشَحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَ إِعْجَابُ
الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ وَ أَمَّا الْمُنْجِيَاتُ فَالْعَدْلُ فِى الْغَضَبِ وَ
الرِّضَا وَ الْقَصْدُ فِى الْفَقْرِ وَ الْغِنَى وَخَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِي السِّرِّ وَ الْعَلاَنِيَةِ
Dari
Ibnu ‘Umar bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada
tiga yang membinasakan dan tiga yang menyelamatkan. Adapun tiga yang
membinasakan adalah kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan
kagumnya seseorang dengan dirinya (‘ujub). Dan tiga yang menyelamatkan adalah
adil di waktu marah dan ridlo (senang), sederhana di waktu fakir dan kaya dan
takut kepada Allah ta’aala di waktu sembunyi dan terang-terangan”. [HR
ath-Thabraniy dan selainnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Maka hadits ini
dengan sekumpulan jalannya adalah Hasan atas yang paling ringan derajatnya,
insya’ Allah].[10]
Mengambil
pelajaran dari dalil di atas maka sikap mengikuti hawa nafsu di dalam setiap
tindakan itu dapat menjerumuskan ke dalam kesesatan yang tiada bertepi. Hawa
nafsu hanyalah akan membawa pemiliknya kepada perkataan, perbuatan dan
keyakinan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, sehingga setiap
kali seseorang mengikuti hawa nafsunya maka semakin jauhlah ia dari kebenaran
yang hakiki dan akhirnya ia tenggelam di dalam kesesatan. Karena hawa nafsu
tersebut telah membutakan matanya dari kebenaran yang hadir di depan pelupuk
matanya, menyumbat dan memekakkan telinganya padahal kebenaran itu terdengar
amat jelas di gendang telinganya dan menutup dan mengunci mati hatinya
sedangkan kebenaran tersebut telah menyentuh relung hatinya. Maka pantaslah
jika mengikuti hawa nafsu itu termasuk salah satu yang membinasakan, karena
hawa nafsu itu mempunyai kecenderungan untuk menyuruh kepada perbuatan jahat
kecuali orang yang diberikan rahmat oleh Allah Jalla dzikruhu, sebagaimana
disebutkan di dalam ayat berikut,
وَ
مَا أُبَرِّئُ نَفْسِى إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا
رَحِمَ رَبِّى إِنَّ رَبِّى غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Dan
aku tidak dapat melepaskan diriku (dari hawa nafsu), sesungguhnya hawa nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.
Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Yusuf/12: 53].
Bahkan,
Allah Tabaroka wa ta’ala bukan sekedar melarang seseorang mengikuti hawa
nafsunya tetapi juga telah melarang mengikuti hawa nafsu orang yang tidak
berilmu atau hawa nafsu orang yang telah jelas kesesatannya dan mengajak kepada
kesesatan, karena hal itupun akan mengakibatkan kebinasaan. Perintah dan
larangan Allah Subhaanahu wa ta’ala sangat tegas kepada Rosul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mesti dipatuhi pula oleh seluruh umatnya, yaitu mesti
mengikuti syariat yang telah Allah ta’ala turunkan kepada Rosul-Nya dan tidak
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tiada berilmu.
ثُمَّ
جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَ لاَ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan agama, maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui (berilmu). [QS. al-Jatsiyah/45: 18].
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوْا فِىدِيْنِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَ لاَ
تَتَّبِعُوْا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوْا مِنْ قَبْلُ
وَ أَضّلُّوْا كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ
السَّبِيْلِ
Katakanlah!
Wahai Ahli kitab janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam agama kalian dengan
cara tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan dari manusia dan
mereka telah sesat dari jalan yang lurus. [QS. al-Ma’idah/5: 77].
إِنَّ
السَّاعَةَ آتِيَةٌ أكَادُ أُخْفِيْهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
فَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِهَا وَ اتَّبَعَ هَوَاهُ
فَتَرْدَى
Sesungguhnya
hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktu kedatangannya) agar
tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali
janganlah kamu dihalang-halangi dari (mengimani)nya oleh orang yang tidak
beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan
kamu menjadi binasa. [QS. Thoha/20: 15-16].
Memperhatikan
beberapa ayat di atas dan ayat lain yang semakna, jelaslah bagi setiap orang
yang mencari jalan lurus lagi tiada menyimpang bahwa mengikuti hawa nafsunya
atau hawa nafsu orang lain itu adalah dilarang dan diharamkan oleh Allah
Subhanahu wa ta’ala.
Karena hawa nafsu itu sebagaimana telah disebutkan mempunyai kecondongan
membawa manusia kepada perbuatan jahat berupa menimbulkan keraguan, menumbuhkan
ketidakpuasan, memunculkan kebencian dan pada akhirnya melahirkan penolakan dan
pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah ataupun hadits-hadits Nabi yang telah
tsabit, kecuali yang telah diberi rahmat oleh Allah ta’ala yaitu hawa nafsu yang
berada pada orang yang telah mendapat rahmat dari Allah Jalla wa ‘Ala. Sebab sebenarnya hawa
nafsu itu juga mempunyai manfaat yang besar bagi setiap orang yang memilikinya,
yaitu bagaimana mungkin seseorang itu punya keinginan makan, minum, memiliki
keturunan dan lain sebagainya jika tidak mempunyai hawa nafsu. Maka hanya orang
yang mendapatkan rahmat dari Allah ta’ala saja yang dapat memetik manfaat dari
hawa nafsunya dengan memperoleh pahala yang baik, sehingga seorang lelaki yang
menunaikan syahwat kepada istrinyapun mendapatkan pahala sedekah, sebagaimana
telah tsabit di dalam hadits.[11] Dan
orang-orang yang mendapatkan rahmat itu hanyalah orang-orang yang beriman di
antara yaitu yang memiliki sikap mendengar dan patuh kepada Allah Tabaroka wa
ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah mempunyai
pilihan yang lain dari apa yang telah ditetapkan oleh keduanya dan selalu
bersiap sedia menerima perintah ataupun larangan yang diberikan oleh keduanya.[12] Dan
semua kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu telah tertuang di dalam alqur’an yang mulia dan hadits-hadits Nabi
yang telah tsabit.
Dan termasuk
hawa nafsu adalah keinginan mencapai ketinggian kedudukan di muka bumi,
menggapai jenjang pendidikan yang tertinggi, meraih karir yang tak tertandingi,
menimbun harta benda yang tak terkira, memikat dan mengikat pasangan lawan
jenis yang terelok dan terhormat, dan lain sebagainya. Maka untuk memburu
ambisi tersebut berapa banyak di antara manusia bahkan tak sedikit yang
mengaku-ngaku beriman yang menjadikan alqur’an ataupun hadits itu sesuatu yang
diabaikan, bahkan mereka meletakkan keduanya di belakang punggung mereka agar
tak terlihat, atau yang lebih buruk lagi adalah menjadikan alqur’an dan hadits
itu sebagai sarana untuk meraih ambisi tersebut. Karena mereka beranggapan
bahwa kedua nara sumber tersebut hanyalah sebagai pengganjal, penghambat dan
perusak ambisi mereka. Mereka lebih memilih bercerai dengan alqur’an dan hadits
dari pada berpisah dengan ambisi dan angan-angan mereka yang belum teraih, maka
dengan sebab inilah akhirnya mereka kelak akan digiring oleh alqur’an pada hari
kiamat ke dalam neraka Jahannam. Ma’adzallah. Sebagaimana telah diterangkan di
dalam hadits di bawah ini,
عَنْ
جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم قَالَ: الْقُرْءَانُ شَافِعٌ
مُشَفَّعٌ وَ مَاهِلٌ مُصَدَّقٌ مَنْ جَعَلَهُ أَمَامَهُ قَادَهُ إِلَى الْجَنَّةِ
وَ مَنْ جَعَلَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ سَاقَهُ إِلَى النَّارِ
Dari
Jabir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alqur’an itu adalah
pemberi syafaat dan yang diterima syafaatnya dan pembela yang dibenarkan.
Barangsiapa yang menjadikannya di hadapannya maka ia akan menuntunnya ke dalam
surga, dan barangsiapa yang menjadikannya di belakang punggungnya maka ia akan
menggiringnya ke dalam neraka”. [HR Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [13]
Untuk
memenuhi semua ambisi hawa nafsu tersebut, di dalam usaha meraih kilauan dan
kenikmatan dunia ini tak sedikit dijumpai orang yang memiliki sifat
mementingkan diri sendiri (egois), tidak mau diremehkan dan direndahkan orang
lain (gengsi), memayah-mayahkan diri di dalam mencarinya, menghalalkan segala
cara dan lain sebagainya.
Dengan sifat
dan sikap mementingkan diri sendiri ini, seseorang tidak akan peduli dengan
kesusahan dan penderitaan orang lain apalagi ikut merasakannya bahkan ia
kadang-kadang senang dan puas dengan kesusahan dan penderitaan orang lain, ia
tidak dapat menjadi bahagian tubuh yang jika sakit sebahagiannya maka bahagian
yang ikut merasakan sakitnya sebagaimana telah diisyaratkan oleh Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam hadits.[14] Ia
tidak lagi memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada sesamanya bahkan ia
cenderung curiga dan waswas kepada orang yang mendekatinya dan mendekati orang
yang dekat dengannya, jika ia mencintai dan menyayangi seseorang hanyalah yang
dapat menguntungkan dirinya dan ia akan membenci dan memusuhi seseorang yang
hanya menimbulkan kerugian pada dirinya, ia tidak akan mencintai dan membenci
seseorang itu karena Allah Jalla dzikruhu.[15] Ia
tidak mungkin mempunyai keinginan berkorban untuk selainnya apalagi lebih
mengutamakannya bahkan ia akan mengorbankan orang lain untuk kepentingannya,
bilapun berkorban tentu jika mendatangkan keuntungan kepadanya atau ia akan
berkorban jika dalam keadaan terpaksa.[16] Ia
tidak akan mau bersama-sama orang lain berbagi rasa di dalam mengecap
kenikmatan dan kebahagiaan bahkan ia akan sempit dan sesak dadanya lantaran iri
dan dengki kepada orang lain yang mendapatkannya tetapi ia akan senang dan
gembira jika orang tersebut mendapatkan kesusahan dan kesengsaraan.[17] Ia
tidak akan mengakui dirinya jika bersalah akan tetapi ia akan mencari kesalahan
orang lain untuk dipersalahkan, apalagi untuk mengakui kebenaran orang lain,
jika pada akhirnya ia mengakui kesalahan dirinya itupun setelah tidak ada
alasan baginya untuk membela dirinya dan gaya bicaranyapun senantiasa
bertele-tele dan membawa-bawa orang lain untuk dipersalahkan,[18] dan
lain sebagainya.
Dengan sifat
dan sikap tidak mau diremehkan dan direndahkan orang lain, seseorang akan
merasa hina jika ada orang lain yang lebih tinggi kedudukkannya dan lebih mulia
darinya.[19] Ia
tidak mau menerima nashihat dan teguran orang lain yang lebih rendah
kedudukkannya kendatipun nashihat dan teguran itu benar dan berfaidah karena ia
telah ujub dengan dirinya sendiri, tetapi ia gemar memberi nashihat dan menegur
orang lain, jika hal tersebut dapat menambah mulia kedudukkannya. Ia mengintai
dan mencari kesalahan atau aib orang lain yang dianggap memiliki kedudukan lalu
ia menyebarluaskannya atau ikut membantu menyebarluaskannya agar orang tersebut
menjadi lebih rendah darinya. Enggan mengerjakan suatu perbuatan, mengatakan
suatu perkataan dan meyakini suatu keyakinan
meskipun dianjurkan bahkan
diperintahkan oleh Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam jika dengan perbuatan, perkataan dan keyakinan tersebut ia dipandang
remeh dan hina oleh orang lain tetapi ia sangat antusias mengerjakan suatu
perbuatan, mengatakan suatu perkataan dan meyakini suatu keyakinan walaupun
tidak dianjurkan bahkan dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam asalkan perbuatan, perkataan dan keyakinan tersebut dapat
mendongkrak dan menaikkan kedudukannya pada sisi orang lain. Ia memaksakan
dirinya tampil meyakinkan dan mengagumkan di depan orang lain dengan cara
memfasih-fasihkan ucapan yang ia tidak mengerti, meletakkan gelar-gelar
kebanggaan di antara namanya yang ia miliki ataupun yang tidak ia miliki,
memoles-moles penampilan wajah yang kurang menarik, perlente dalam pakaian yang
ia kenakan padahal kondisinya tidak layak dan tidak memungkinkan. Ia
mengaku-ngaku berkerabat atau berteman dengan orang lain yang mempunyai
kedudukan tinggi dunia, padahal ia kurang mengenalnya bahkan tidak mengenalnya.
Ia akan mudah tersinggung dan meledak dadanya, jika ia melihat orang-orang
berkerumun membicarakan sesuatu dengan suara perlahan atau berbisik padahal
mereka tidak sedang membicarakan dirinya atau melihat orang yang membuang ludah
di hadapannya atau ada orang yang tidak menyapanya. Ia menyimpan dendam dan
kebencian kepada setiap orang yang menyelisihinya, kadangkala Allah ta’ala
dengan cara-Nya sendiri menampakkan dendam dan kebencian orang tersebut di
hadapan manusia melalui mulut dan amalnya, apalagi yang tersimpan di dalam dada
tentu lebih besar lagi, dan lain sebagainya.
Dengan sifat
dan sikap memayah-mayahkan diri di dalam mencari kehidupan dunia,[20] seseorang
itu akan asyik tenggelam dalam kehidupan sehari-harinya menekuni dan menjalani
rutinitasnya di dalam mencari, mengumpulkan dan menimbun harta benda dunia
tanpa peduli kepada kehidupan akhiratnya. Ia menghabiskan sisa-sisa usianya
dengan menggeluti dan menelateni segala sesuatu dalam rangka menggapai segala
macam keinginan hawa nafsunya terhadap dunia, dengan mengorbankan diri dan
keluarganya sehingga ia dan keluarganya tersebut buta, tuli dan jauh dari
pengaruh dan perlindungan agama, tak terlintas di dalam benaknya sedikitpun
usaha untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari kobaran api neraka
sebagaimana diperintahkan oleh agama sehingga iapun bisu dan gagu dari
membicarakan masalah agama dan kehidupan akhirat dan bahkan “tidak nyambung”
jika diajak berbicara mengenai hal tersebut dan juga bersikap tidak senang dan
tanggap terhadap ajaran islam ini beserta para pengamal dan pendakwahnya. Ia
letihkan jasadnya menempuh perjalanan yang terkadang dipenuhi kemacetan,
kebisingan dan kesusahan dan ia lumatkan jasadnya tersebut duduk sepanjang hari
menekuni pekerjaannya tanpa terasa, tak terbetik secuilpun di dalam dirinya
usaha untuk memanfaatkan dan memayahkan jasadnya di jalan Allah. Tak
segan-segan ia merunduk memperhinakan dirinya atau mengagung-agungkan dan
mengagul-agulkan orang lain yang diharapkan dengannya dapat teraih ambisinya
tersebut dengan cara memuji, menyanjung dan menjilat, dan lain sebagainya.
Dengan sifat
dan sikap menghalalkan segala cara, seseorang itu akan mampu melakukan tindakan
diluar batas kewajarannya sebagai manusia yang terdidik dan beradab. Tak jarang
dijumpai ada seorang anak durhaka bahkan sampai melukai dan membunuh orang
tuanya karena ingin memiliki kendaraan atau orang tuanya tersebut menjadi
penghalang baginya di dalam memenuhi ambisinya tersebut. Juga akan didapati ada
banyak orang menebarkan segala macam bentuk kejahatan untuk meraih dan
merasakan kenikmatan dunia yang fana tanpa mempertimbangkan akibatnya di dunia
dan akhirat. Bahkan tak sedikit dijumpai di antara para dai’, ulama, syaikh
ataupun ustadz yang melakukan perbuatan menyembunyikan atau memanipulasi
ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi, atau mengada-ngadakan dalil yang dibuat
untuk membenarkan dan mendukung tindak perbuatannya. Sehingga dengan demikian
setiap orang menjadi terkecoh, lalu mereka kagum, mengidolakan dan
mengkultuskannya, maka terpenuhilah ambisinya untuk dimuliakan orang atau
mengumpulkan dan menimbun harta benda. Ada pula di antara mereka yang
membuat-buat kedustaan terhadap seseorang
yang berada di atas manhaj salaf yang berdiri sebagai penegak kebenaran
dan pengganyang kebatilan, lalu lantaran tidak sepemahaman dengannya iapun
menghembuskan fitnah dan menebarkan sumpah serapah kepada orang tersebut di
hadapan para pemerhati dan pendengarnya agar mereka terhanyut dan termakan oleh
ucapannya yang berbau busuk tersebut, kemudian karena hasutan tersebut
terlintas di dalam diri mereka terhadap orang yang berada di atas manhaj salaf
tersebut sangkaan buruk dan timbullah pula rasa benci pada diri mereka dan pada
akhirnya mereka berpaling darinya, dan lain sebagainya.
Jauh sudah tuntunan dan bimbingan Allah Jalla
dzikruhu dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mereka jika
demikian. Semuanya itu timbul karena hawa nafsu yang telah mempengaruhi dan
menguasai diri mereka, sehingga akhirnya suka ataupun tidak suka dan sadar
ataupun tidak, hawa nafsu tersebut telah menjadi ilah (sesembahan) bagi diri
mereka. Maka disinilah salah satu letak terjadinya penolakan, pengingkaran dan
kebencian kepada petunjuk yang telah diturunkan kepada umat manusia melalui
Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ayat-ayat suci alqur’an dan
hadits-hadits yang telah tsabit dari Nabi. Maka renungkanlah.
Termasuk hawa nafsu adalah rasa tidak enak dan
sungkan kepada orang lain baik orang dekat maupun orang jauh di dalam
mengamalkan dan mendakwahkan dalam bentuk menyampaikan ataupun menegur salah
satu atau bahkan seluruh yang telah disyariatkan oleh Allah Tabaroka wa ta’ala
dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa rikuh dan malu di dalam
melaksanakan syariat tersebut karena sorotan orang lain terhadap dirinya, dan rasa khawatir dan takut dari celaan,
penolakan dan gangguan orang lain akibat perbuatannya tersebut dan lain sebagainya
yang bukan di sini pembahasannya jika dikupas secara luas. Padahal semua sikap
dan keadaan tersebut dapat mengakibatkan seseorang tidak memiliki sifat dan
sikap istiqomah (bersikap teguh) di dalam menerapkan sebahagian atau seluruh
apa yang telah dipahaminya dari kebenaran alqur’an dan hadits-hadits Nabi yang
shahih dan bahkan menyimpang dan menyimpangkannya dari keduanya.
فَلِذَلِكَ
فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَ
لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ هُمْ
Maka
karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan istiqomahlah (teguhkanlah)
dirimu sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. [QS. asy-Syura/42: 15].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((Maka
istiqomahlah dirimu sebagaimana diperintahkan kepadamu)) yaitu dan istiqomahlah
engkau bersama orang yang mengikutimu di dalam beribadah kepada Allah ta’ala
sebagaimana Allah ‘Azza
wa Jalla memerintah kalian. Dan firman-Nya ta’ala, ((Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka)) yaitu kaum musyrikin terhadap apa-apa yang mereka
berselisih padanya, mendustakannya dan mengada-ngadakan (kedustaan) terhadapnya
dari menyembah berhala-berhala”. [21]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy
hafizhohullah, “(1) Wajibnya berdakwah kepada Islam di antara umat-umat di
dunia karena tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan Islam. (2)
Diharamkan mengikuti hawa nafsu ahli al-Ahwa’ (yaitu orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsu
mereka), mengadakan perjalanan bersama mereka dan menyepakati mereka di dalam
kebatilan mereka. (3) Wajibnya istiqomah di atas Islam berupa akidah, ibadah,
hukum ketetapan, adab dan akhlak”.[22]
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ
رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم: أَقِيْمُوْا حُدُوْدَ اللَّهِ فِى
الْقَرِيْبِ وَ الْبَعِيْدِ وَ لاَ تَأْخُذْكُمْ فِى اللَّهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ
Dari Ubadah bin ash-Shomit berkata: telah bersabda Rosulullah Shallallahu
`alaihi wa sallam, “Tegakkan had-had (hukum-hukum) Allah pada orang dekat dan
orang jauh, dan janganlah celaan orang yang mencela itu mencegah kalian pada
Allah”. [HR Ibnu Majah: 2540 dan Ahmad: V/ 314, 316, 326, 330. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[23]
Sedangkan di antara lafazh al-Imam Ahmad (V/
316, 326), “Dan jihadilah manusia pada Allah Tabaroka wa ta’ala di orang dekat
dan jauh dan janganlah kalian pedulikan celaan orang yang mencela pada Allah”.
Demikian itulah gambaran dari syariat yang
memberi penekanan kepada setiap orang yang ingin meniti jejak Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam agar mau dan mampu menegakkan hukum syariat apa adanya tanpa
melihat bayangan hawa nafsunya yang selalu menyertainya atau hawa nafsu orang
lain yang selalu siap menyergapnya dan kemudian berlaku istiqomah sampai akhir
hayatnya. Karena meniti jejak Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
menegakkan hukum syariat tersebut jelas lebih aman dan selamat dari bias-bias
hawa nafsu berdasarkan jaminan yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala di
dalam hujjah di bawah ini,
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ
هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى عَلَّمَهُ شَدِيْدُ الْقُوَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya, yang
diajarkan kepadanya oleh (Malaikat Jibril) yang sangat kuat. [QS. an-Najm/53:
3-5].
Berkomentar asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Diakuinya kenabian bagi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menetapkannya dengan sesuatu yang tidak ada ruangan bagi
keraguan dan perdebatan padanya. (2) Membersihkan Rosul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari (tuduhan) berkata dengan dasar hawa nafsu dan (menjernihkan
dakwaan) timbulnya sesuatu dari perbuatan dan perkataannya dari sebab mengikuti
hawa nafsu”.[24]
Maka untuk dapat istikomah di jalan Allah dalam
bentuk mengamalkan ayat-ayat Allah Ta’ala dan hadits-hadits Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam yang shahih, hendaknya seorang muslim selain dari menundukkan
logikanya dengan keimanan ia juga harus berusaha untuk mengendalikan hawa
nafsunya dari mengejar dunia. Ia harus memahami bahwa harta yang selama ini
dikumpulkannya, tahta yang diraihnya, kemuliaan yang diperolehnya, wanita yang dinikahinya
dan anak-anak yang dihasilkannya, semuanya itu akan ia tinggalkan atau
meninggalkan dirinya. Ia akan tinggal sendirian di dalam liang kuburnya dalam
keadaan gelap gulita lalu tubuhnya akan dimakan belatung, ulat dan serangga
tanah lainnya.
Begitupun jika seorang muslim ingin memahami
agamanya dengan benar maka ia harus menyingkirkan peran logika dan partisipasi
hawa nafsu di dalamnya. Sebab sejelas apapun ayat-ayat Allah ta’ala di dalam
alqur’an dan seterang apapun sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam
hadits, jika logika dan hawa nafsu ikut andil apalagi menjadi pengendali di
dalamnya maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesesatan dan penyesatan pada
dirinya. Ia wajib mendahulukan keimanan dan ketundukkan di dalam memahami
keduanya dengan pemahaman para ulama salafush shalih yang memang ahli dalam
bidangnya. (Bersambung ke Sebaiknya anda tahu 3 c).
Wallahu a’lam bi ash-Showab..
[10] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah:
1802, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3045 dan Misykah al-Mashobih: 5122. Adapun
riwayat tersebut adalah dari sekumpulan para Shahabat yaitu Anas, Ibnu ‘Abbas,
Abu Hurairah, Ibnu Abi Awfa’ dan Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhum sebagaimana di
dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 412-416.
[11] HR Muslim: 1006, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad halaman 52
dan Ahmad: V/ 154, 167, 168, 178. Dari Abu Dzarr, Bahwasanya orang-orang
berkata, “Wahai Rosulullah, orang-orang yang mempunyai harta telah pergi
membawa pahala, mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka shoum sebagaimana
kami shoum dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Beliau
bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang kalian dapat
bersedekah dengannya. Sesungguhnya tiap-tiap tasbih itu sedekah, tiap-tiap
takbir itu sedekah, tiap-tiap tahmid itu sedekah, tiap-tiap tahlil itu sedekah,
perintah berbuat ma’ruf itu sedekah, melarang dari perbuatan munkar itu sedekah
dan seseorang di antara kalian menggauli istrinya adalah sedekah”. Mereka
bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah seseorang di antara kami menunaikan
syahwatnya, lalu ia mendapatkan pahala?”. Beliau menjawab, “Bagaimana pandangan
kalian jikalau ia meletakkan (maksudnya; menunaikan)nya pada tempat yang haram,
apakah ia akan mendapatkan dosa?. Maka
demikian pula jika diletakkan pada tempat yang halal tentulah ia akan
mendapatkan pahala”. [Lihat al-Jami’ ash-Shahih: III/ 82, Shahih Muslim bi
Syarh an-Nawawiy: VII/ 91-92, Mukhtashor Shahiih Muslim: 545, Shahih al-Adab
al-Mufrad: 167, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 454 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2588]. Begitu pula telah tsabit bahwasanya Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menunaikan syahwatnya kepada sebahagian istrinya. Dari Abu
Kabsyah al-Anmariy berkata, “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah duduk bersama para shahabatnya, lalu Beliau masuk kemudian keluar
(kembali) sedangkan Beliau sungguh-sungguh telah mandi (janabat). Lalu kami
bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah telah terjadi sesuatu?”. Beliau menjawab, “Ya,
Fulanah telah lewat dihadapanku, maka terjadilah di dalam hatiku syahwat
terhadap wanita, lalu aku mendatangi sebahagian istri-istriku dan akupun
mencampurinya. Maka demikianlah hendaknya kalian berbuat, karena sesungguhnya
sebahagian dari amal-amal kalian yang paling
utama adalah mendatangi yang halal”. [HR Ahmad: IV/ 231 dan
ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya adalah hasan
insya’ Allah ta’ala. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 235].
[12] Untuk lebih jelasnya, silahkan
pelajari QS. al-A’raf/7: 204, QS. al-An’am/6: 155, QS. an-Nur/24: 56, QS. Ali
Imran/3: 132, QS. al-Bara’ah/9: 71, QS. an-Nur/24: 51, QS. al-Ahzab/33: 36, dan
lain sebagainya.
[14] Sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Imam Muslim: 2586, al-Bukhoriy: 6011 dan Ahmad: IV/ 70, 274 dari an-Nu’man
bin Basyir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih:
VIII/ 20, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XVI/ 140, Mukhtashor Shahih
Muslim: 1774, Fat-h al-Bariy: X/ 438, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5849 dan
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1083. Lafazhnya adalah, “Perumpamaan kaum
mukminin di dalam saling cinta, saling sayang dan saling lemah lembut di antara
mereka adalah laksana jasad (tubuh). Jika sakit salah satu anggota tubuh maka
yang akan terasa sakit pulalah segenap anggota tubuh dengan sebab begadang
(tidak tidur) dan demam”.
[15] Padahal Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
seorang mukmin untuk mencintai (kebaikan bagi) saudaranya sebagaimana ia
mencintai (kebaikan bagi) dirinya, sebagaimana di dalam hadits dari Anas bin
Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang di antara
kalian tidaklah beriman sehingga ia mencintai (kebaikan bagi) saudaranya
sebagaimana ia mencintai (kebaikan bagi) dirinya”. [HR al-Bukhoriy: 13,
Muslim: 45, an-Nasa’iy: VIII/ 115,
at-Turmudziy: 2515, Ibnu Majah: 66, Ahmad: III/ 177, 207, 275, 278 dan
ad-Darimiy: II/ 307. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy:
I/ 56-57, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 49, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: II/
16, 17, Mukhtashor Shahih Muslim: 24, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4643, 4644,
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2042, Shahih Sunan Ibni Majah: 55, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 7583 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 73].
[16]Berbeda
yang dilakukan para shahabat dari golongan Muhajirin dan Anshor radliyallahu
‘anhum. Para Shahabat golongan Muhajirin mampu mengorbankan harta, benda dan
keluarganya yang mereka tinggalkan di kota Mekkah, sedangkan para Shahabat dari
golongan Anshor menerima, mencintai dan membantu keperluan saudaranya yang
berhijrah kepada mereka dengan menyerahkan sebahagian harta benda yang mereka
miliki dan bahkan mereka lebih mengutamakan saudara mereka ketimbang diri
mereka sendiri padahal merekapun dalam kehidupan yang susah. Dan para Shahabat
Anshor itu melakukan perbuatan tersebut tanpa pamrih atau tidak memiliki
keperluan dari apa yang telah mereka berikan, dan kisah mereka tersebut
diabadikan oleh Allah ta’ala di dalam surat al-Hasyr/59 ayat 8 dan 9.
[17] Sifat ini adalah sifat orang
munafik sebagaimana di dalam alqur’an surat al-Baro’ah/9 ayat 50 atau sifat
orang kafir dari kalangan Yahudi sebagaimana di dalam surat Ali Imran/3 ayat
120.
[18] Begitulah keadaan kaum munafikin
yang tidak dapat melihat kesalahan diri mereka sendiri sehingga ketika
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mengajak mereka beriman agar
beliau memohonkan ampun untuk mereka, mereka membuang muka mereka dalam keadaan
sombong. sebagaimana dikisahkan keadaan mereka itu di dalam alqur’an, hal itu
dikarenakan hati mereka telah tertutup oleh hawa nafsu mereka. Lihat QS.
al-Munafiqun/63: 5. Dan juga di dalam hadits, “Ada empat perkara yang jika
keempatnya ada di dalam diri seseorang ia adalah seorang munafik tulen, dan
barangsiapa ada padanya salah satu dari keempatnya maka telah ada padanya satu
bahagian dari kemunafikan sampai ia meninggalkannya: Apabila diberi amanah ia
khianat, apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia ingkar dan apabila
bertikai ia fujur (yaitu: mau menang sendiri)”. [HR al-Bukhoriy: 34, 2459,
3178, Muslim: 58, Abu Dawud: 4688, at-Turmudziy: 2632, an-Nasa’iy: VIII/ 116
dan Ahmad: II/ 189, 198 dari Ibnu Amr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih.
Lihat Fath al-Bariy: I/ 89, V/ 107, VI/ 279, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/
14 hadits nomor 25, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 56, Shahih Muslim bi Syarh
an-Nawawiy: II/ 46, Mukhtashor Shahih Muslim: 26, Shahih Sunan Abi Dawud: 3922,
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2122, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4647 dan Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 889, 890]. Ini berbeda dengan sifat orang beriman yang
lekas melihat kesalahannya sendiri baik karena dari dalil-dalil yang telah
diketahuinya atau dari teguran dan nashihat orang lain kepadanya, lihat QS.
al-A’raf/7: 201.
[19]Padahal
Allah ta’ala telah menjadikan kampung akhirat itu untuk orang-orang yang tidak
menginginkan ketinggian di muka bumi sebagaimana dituangkan di dalam surat
al-Qoshosh/28 ayat 83. Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir, “Allah ta’ala
mengkhabarkan bahwasanya kampung akhirat dan kenikmatannya yang abadi yang
tidak akan berubah dan hilang itu dijadikan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman
yang tawadlu’ (rendah hati) lagi tidak menginginkan uluw’ di muka bumi yaitu
ketinggian di atas makhluk Allah,
kebesaran atas mereka, sewenang-wenang terhadap mereka dan kerusakan
pada mereka. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: III/ 487). Sufyan bin Uyainah
meriwayatkan bahwasanya Ali bin al-Husain sedangkan ia berkendaraan melewati
sekelompok orang miskin sedang makan kisr (potongan tulang yang
berdaging) mereka, maka ia mengucapkan salam kepada mereka. Lalu mereka
mengundangnya kepada makanan mereka, maka iapun mambaca ayat ini ((Kampung
akhitrat itu, dan seterusnya. QS. al-Qoshosh/28: 83)), kemudian ia turun (dari
kendaraannya) dan makan bersama mereka. (Lihat di dalam hasyiyah/ catatan kaki
nomor dua di dalam kitab Aysar at-Tafasir: IV/ 104, ketika asy-Syaikh Abu Bakar
Jabir al-Jaza’iriy mengomentari ayat ini).
[20] Padahal Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
akan bergeser kaki anak Adam di sisi Rabbnya sehingga ia ditanya tentang lima
perkara; tentang umurnya pada apa ia habiskan, tentang masa muda pada apa ia
musnahkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan dan
apa yang ia amalkan pada apa yang ia telah ketahui. [HR at-Turmudziy: 2416 dari
Ibnu Mas’ud dan 2417 dari Abu Barzah dan ath-Thabraniy: 747 di dalam al-Mu’jam
ash-Shaghiir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy:
1969, 1970, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7299, 7300, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 946 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 122-124.
[23]Shahih
Sunan Ibnu Majah: 2058, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1190, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 670, 1942, 1972 dan Misykah al-Mashobih: 3587.