السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 09 Oktober 2012

SEBAIKNYA ANDA TAHU 2 !!...


BARANGSIAPA YANG BERITIKAD BAHWA SELAIN PETUNJUK NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam LEBIH SEMPURNA DARI PETUNJUKNYA ATAU HUKUM SELAINNYA LEBIH BAIK DARI HUKUMNYA, MAKA IA TELAH KAFIR.
بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagaimana telah diketahui dan diyakini oleh setiap mukmin, bahwasanya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mesti dijadikan landasan hukum baginya di dalam setiap amal. Hal ini pernah disampaikan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam khutbahnya,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ كَانَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم يَقُوْلُ : أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ ((و فى رواية: إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ)) كِتَـابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ ((و فى رواية: وَ أَحْسَنَ الْهَدْيِ)) هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (( و فى رواية: وَ شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلًّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلًّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّـارِ ))
Dari Jabir bin ‘Abdullah radliyallahu ‘anhuma berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amma ba’du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan (di dalam suatu riwayat, sesungguhnya sebenar-benar perkataan) adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wa sallam), seburuk-buruk perkara adalah yang baru diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat (di dalam suatu riwayat, dan seburuk-buruk perkara adalah yang baru diada-adakan, setiap perkara yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka). [HR Muslim: 867 dinukil secara ringkas dan lafazh ini baginya, an-Nasa’iy: III/ 188-189 dan tambahan ini baginya, Ibnu Majah: 45 dan Ahmad: III/ 319, 371. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
Sepatutnyalah seorang mukmin itu mempunyai itikad seperti yang telah disabdakan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam riwayat hadits di atas, yaitu bahwasanya ucapan yang paling baik dan benar adalah ucapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ia mesti menghilangkan keragu-raguan di dalam hal itu agar keyakinannya tersebut dapat mendorongnya untuk senantiasa beramal sesuai dengan petunjuk Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu berlandaskan kepada alqur’an dan hadits-hadits yang shahih. Oleh sebab itu, jika ada orang yang beritikad bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya atau hukum selainnya lebih baik dari hukumnya maka ia telah terjerumus ke dalam salah satu yang menggugurkan keislamannya.
Di samping itu Allah ta’ala sendiri telah menjadikan Islam ini sebagai agama yang sempurna ditinjau dari segala segi dan menjadikan satu-satunya agama yang diridloi-Nya, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa ta’ala,
اْليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَ رَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kalian untuk kalian, Aku telah cukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan Aku telah ridlo Islam itu sebagai agama bagi kalian. [al-Ma’idah/5: 3].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini adalah sebesar-besarnya nikmat Allah ta’ala atas umat ini, ketika Allah ta’ala menyempurnakan agama mereka bagi mereka, maka mereka tidak membutuhkan kepada agama selainnya dan tidak memerlukan nabi selain nabi mereka Sholawatullah wa salamuhu ‘alaihi. Oleh sebab itu Allah ta’ala telah menjadikannya sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada golongan manusia dan jin. Maka tiada halal melainkan apa yang ia halalkan, tiada haram kecuali apa yang ia haramkan dan tiada agama selain apa yang ia syariatkan, dan segala sesuatu yang ia khabarkan adalah hak, benar, tiada kedustaan dan tiada kekeliruan, sebagaimana firman Allah ta’ala, ((Telah sempurna kalimat Rabbmu  sebagai kalimat yang benar dan adil. QS. al-An’am/6: 15)) yaitu benar di dalam khabar-khabar dan adil di dalam perintah dan larangan”. [2]
              Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Maka ini merupakan pengkhabaran dari Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman berupa pemberian nikmat dan anugrah kepada mereka dari-Nya. (1) Penyempurnaan agama dengan segenap akidah-akidahnya, ibadah-ibadahnya, hukum-hukumnya, dan adab-adabnya, sehingga dikatakan bahwasanya ayat ini turun di sore hari pada hari Arafah pada tahun Haji Wada’,[3] dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah hidup sesudahnya melainkan selama 81 malam kemudian Allah ta’ala mewafatkannya. (2) Penyempurnaan nikmat Allah ta’ala kepada mereka, yaitu Allah memberikan rasa aman kepada mereka setelah dicekam rasa takut, menguatkan mereka setelah mengalami kelemahan, menolong dan memuliakan mereka setelah dikuasai dan dihinakan, membanyakkan bilangan mereka, menaklukkan negeri-negeri untuk mereka, memenangkan agama mereka dan menjauhkan kekafiran dan orang-orang kafir dari mereka, mengajarkan ilmu kepada mereka setelah mengalami masa kebodohan dan memberi petunjuk kepada mereka setelah mengalami kesesatan. Maka ini adalah sebahagian dari nikmat yang Allah telah menyempurnakannya atas mereka. (3) Allah ridlo Islam itu sebagai agama bagi mereka, tatkala Allah mengutus Rosul-Nya dan menurunkan kitab-Nya, lalu ia menerangkan akidah-akidah dan syariat-syariatnya. Lalu menjauhkan mereka dari agama-agama yang batil seperti; Yahudi, Nashrani dan Majusi. Allah mencukupkan mereka darinya dengan apa yang Ia telah ridloi untuk mereka, ingatlah! dia itu adalah Islam yang tegak di atas ketundukkan kepada Allah ta’ala, lahir maupun batin”. [4]
      عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ مَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِى اْلهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ صلى الله عليه و سلم مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَ يُبَاعِدُ مِنَ النَّـارِ إِلاَّ  وَ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Abu Dzarr berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kita (wafat), dan tiada seekorpun burung yang (terbang) membolak-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan Beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami. Berkata (Abu Dzarr), “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak tinggal sesuatupun yang mendekatkan (kalian) ke sorga dan menjauhkan (kalian) dari neraka, melainkan sungguh-sungguh telah dijelaskan kepada kalian”. [HR ath-Thabraniy di dalam kitab “al-Mu’jam al-Kabiir” dan Ahmad: V/ 153, 162 tanpa kalimat yang kedua. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya shahih].[5]
Itulah sebahagian dalil di dalam alqur’an dan hadits yang menerangkan kesempurnaan dan keunggulan Islam di atas agama-agama lain, yang tidak membutuhkan kepada penyempurnaan lagi dari satupun makhluk berupa penambahan, pengurangan, perubahan ataupun penggantian. Karena apa yang dapat memasukkan umat Islam ini ke dalam surga dan apa yang dapat menjauhkan mereka dari neraka di dalam itikad, perkataan ataupun perbuatan sungguh-sungguh telah diterangkan di dalam agama ini.
Karena kesempurnaannya itulah Allah Azza wa Jalla telah meridloi Islam sebagai satu-satunya agama bagi umat manusia, khususnya umat Muhammad Shallallahu  alaihi wa sallam. Maka siapapun manusia yang mencari agama selain Islam dan beramal selain dengan ajarannya maka amal-amalnya tersebut tidak akan diterima dan ia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi. 
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridloi) disisi Allah hanyalah Islam. [QS Ali Imran/ 3: 19].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Batilnya semua agama selain Islam dan semua ajaran selain dari ajarannya. Hal ini karena persaksian Allah ta’ala di dalam firman-Nya ((Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. QS Ali Imran/ 3: 85)). Ayat ini dan berikutnya adalah merupakan tafsirnya insya Allah ta’ala”. [6]
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Terdapat pengkhabaran dari Allah ta’ala bahwa tidak ada agama di sisi-Nya yang akan diterima dari seseorang (agama dan amal-amalnya) selain Islam. Yaitu mengikuti para Rosul terhadap apa yang Dia utus di setiap waktu sampai kepada penutup (para Rosul) yaitru Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Agama yang telah menutup semua jalan kecuali dari arah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang menjumpai Allah ta’ala setelah pengutusan Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan membawa agama selain dari yang disyariatkannya maka agama tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana firman Allah ta’ala ((Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya)). [7]
وَ مَن يَّبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلَامِ دَينًا فَلَن يُّقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِى اْلآخِرَةِ مِنَ اْلخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [QS Ali Imran/ 3: 85].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Batilnya seluruh agama dan ajaran selain dari agama Islam dan ajaran nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam”. [8]
Telah dipahami bahwa kesempurnaan Islam ini dikarenakan apa yang Allah ta’ala wahyukan kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjelaskannya kepada umat manusia telah disampaikan seluruhnya tanpa ditambah, dikurangi, dirubah atau diganti sedikitpun. Karena Beliau memiliki sifat amanah yang tidak mungkin menyembunyikan satu ayat dan haditspun, melainkan ia pasti telah menyampaikannya, dan para Shahabat Ridlwanullah ‘alaihim telah mengakuinya, sebagaimana di dalam hadits panjang yang dinukil secara ringkas di bawah ini,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلّى اللّه عليه و سلّم قَالَ: وَ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَـابُ اللَّهِ وَ أَنْتُمْ تُسْأَلُوْنَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُوْنَ ؟ قَالُوْا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَ أَدَّيْتَ وَ نَصَحْتَ فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَـاءِ وَ يَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
 Dari Jabir bin Abdullah dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sungguh-sungguh aku telah tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak sesat sesudahnya selama berpegang teguh dengannya yaitu kitab Allah (alqur’an). Dan kalian nanti akan ditanya mengenai diriku, maka apakah yang kalian akan katakan?”. Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwasanya engkau telah menyampaikan dan menunaikan (risalah Allah) serta engkau telah memberi nashihat”. Lantas Beliau bersabda sembari mengangkat jari telunjuknya ke arah langit dan menggerak-gerakkannya ke hadapan manusia, “Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah”. (Beliau mengucapkannya) tiga kali. [HR Muslim: 1218 lafazh ini baginya dan Abu Dawud: 1905. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [9]
يَا أَيُّهَا الرَّسُـوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَـا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. [QS. al-Ma’idah/5: 67].
Dari Masruq dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata, “Barangsiapa menceritakan kepadamu bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari yang telah diturunkan kepadanya, maka sungguh-sungguh ia telah berdusta, karena Allah (ta’ala) berfirman, ((Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu”. QS. al-Ma’idah/5: 67)). [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 4612, 7531].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Berfirman Allah ta’ala berbicara kepada hamba dan rosul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama risalah dan memerintahkannya untuk menyampaikan seluruh apa yang diutus oleh Allah. Dan sungguh-sungguh Rosul ‘alaihi afdlol ash-sholat wa as-Salam telah mengikuti yang demikian tersebut, dan tegak dengan sesempurna-sesempurnanya penegakan”. [10]
Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada umatnya semua yang telah Allah Azza wa Jalla perintahkan kepadanya untuk menyampaikannya. Tidak ada satupun surat ataupun ayat atau bahkan satupun huruf dari alqur’an melainkan beliau telah menyampaikannya kepada umat ini tanpa penambahan, pengurangan, perubahan dan penggantian sebagai bentuk sifat amanah Beliau dalam risalah ini.
وَ إِذَا تُتلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَرْجُوْنَ لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُوْنُ لِى أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَائِ نَفْسِى إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوْحَى إِلّيَّ إِنِّى أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّى عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ قُلْ لَوْ شَـاءَ اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَ لاَ أَدْرَاكُمْ بِهِ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ 
 Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: datangkanlah alqur’an yang lain dari ini atau gantilah dia. Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidaklah mengikut melainkan apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Rabbku kepada siksa hari yang besar (kiamat). Katakanlah: Jikalau Allah menghendaki niscaya aku tidak akan membacakannya kepada kalian, dan Allah juga tidak akan memberitahukannya kepada kalian. Sesungguhnya aku telah tinggal bersama kalian beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kalian tidak memikirkannya ?. [QS. Yunus/10: 15-16].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Katakanlah, tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri)) yaitu bahwasanya tidaklah pantas bagiku karena suatu keadaan menggantinya dari arah diriku, karena aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya, tidaklah aku mengikut melainkan apa yang diwahyukan kepadaku”. [11]
وَ إِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِأَيَةٍ قَالُوْا لَوْ لاَ اجْتَبَيْتَهَا قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوْحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّى هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَ هُدًى وَ رَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
Dan jika kamu tidak membawa suatu ayat (dari alqur’an) kepada mereka, mereka berkata, mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?. Katakanlah, Sesungguhnya aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dari Rabbku. Al-Qur’an ini adalah bukti-bukti nyata dari Rabb kalian, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. [Qs. al-A’raf/7: 203].
وَ لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوْيْلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِيْنَ
 Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebahagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun di antara kalian yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi tersebut. [QS. al-Haqqah/69: 44-47].
Berdasarkan kepada bebarapa dalil dan penjelasannya di atas dapatlah dipahami bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana diperintahkan telah dengan utuh dan sempurna menyampaikan semua risalah Allah tanpa penyimpangan sedikitpun, sebab Beliau senantiasa mengikut kepada apa yang diwahyukan kepadanya. Dan seandainya Beliau mengada-adakan perkataan atas nama Allah Jalla dzikruhu apa yang tidak pernah difirmankan oleh-Nya maka Allah ta’ala telah mengancamnya dengan memotong urat tali jantungnya. Maka bagaimanakah halnya jika ini dilakukan oleh orang selain Rosul Shallallahu alaihi wa sallam terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala?.
Maka jika ada seseorang mengaku sebagai seorang mukmin tetapi ia menganggap Islam ini belum sempurna sehingga memerlukan penyempurnaan berupa penambahan, pengurangan, perubahan ataupun penggantian atau ia menomor duakan bahkan meninggalkan dan menanggalkan serta menolak berhukum dengan apa yang telah Allah ta’ala turunkan dan yang Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan sebagai suatu hujjah yang sempurna, lalu di samping itu ia masih berhukum kepada hukum-hukum jahiliyah atau kepada selain apa yang telah Allah turunkan, maka ia bukanlah seorang mukmin dan Allah Jalla wa ‘Ala sangat benci kepadanya. Dan bahkan jika ada di antara para imam yang tidak berkehendak melaksanakan hukum dengan apa yang Allah turunkan maka akan ditimpakan kesengsaraan di antara mereka.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : أَبْغَضُ النَّـاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلاَثَةٌ مُلْحِدٌ فِى الْحَرَمِ وَ مُبْتَغٍ فِى اْلإِسْلاَمِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَ مُطَّلِبٌ دَمَ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهْرِيْقَ دَمَهُ   
 Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dibenci oleh Allah itu ada tiga, Orang yang menyimpang (dari kebenaran) di tanah haram, orang yang mencari sunnah jahiliyyah di dalam islam dan orang yang berlebihan di dalam menuntut darah seseorang dengan tidak benar agar meneteskan darahnya”. [HR al-Bukhoriy: 6882 lafazh ini baginya dan ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]
Berkata al-Muhallab dan selainnya, “Yang dimaksud dengan tiga orang itu adalah bahwasanya mereka adalah ahli maksiat yang paling dibenci oleh Allah, sama seperti; أكبر الكبـائر (dosa besar yang paling besar), dan jika tidak maka perbuatan syirik itu adalah yang paling dibenci oleh Allah daripada seluruh maksiat”. [13]
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ اْلكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِاْلجِبْتِ وَ الطَّاغُوتِ وَ يَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سِبْيلًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari alkitab? mereka percaya kepada jibti dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. [QS. An-Nisa’/ 4: 51].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu mereka (Ahli kitab) mengutamakan orang-orang kafir (musyrik Quraisy) atas kaum muslimin karena kebodohan mereka, sedikitnya (pemahaman) agama mereka dan kekafiran mereka terhadap kitab Allah yang berada pada tangan mereka”. [14]
Begitu keadaan ahli kitab dimasa dahulu yang menganggap bahwa kaum musyrikin itu lebih baik dan lebih terbimbing jalannya dari pada kaum muslimin. Padahal ahli kitab, mempunyai persamaan dengan kaum muslimin yaitu mereka mempunyai kitab Allah (taurat) yang dianugrahkan Allah untuk mereka sebagaimana alqur’an diberikan kepada umat Islam dan agama mereka adalah agama samawi (agama langit) sebagaimana Islam. Namun karena kebodohan dan kedengkian merekalah yang menyebabkan mereka mempunyai anggapan bahwa kaum musyrikin itu lebih baik dan terbimbing jalannya daripada kaum muslimin.
Namun amat disayangkan pada masa sekarang ini, banyak diantara kaum muslimin yang beranggapan bahwa keadaan orang-orang kafir Yahudi, Nashrani dan berbagai kelompok dari kaum musyrikin itu lebih baik dan lebih lurus jalannya daripada kaum muslimin yang berpegang teguh dengan alqur’an dan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka memuji-muji dan memuja-muja budaya barat yang mengusung hak asasi dan kebebasan, dan menghujat hukum Islam yang mereka anggap memasung kreatifitas manusia. Mereka menyanjung-nyanjung dan menjunjung tinggi teori-teori orang kafir dan merendahkan ajaran Nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam yang mulia. Mereka berprinsip, hidup di atas gaya hidup dan budaya orang barat lebih mulia dan bermartabat daripada mengikuti manhaj Islam yang kerdil dan tradisionil. Subhanallah amat buruk apa yang mereka pahami.
Sehingga wajarlah jika mereka beritikad dan berkata bahwa, “selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya atau hukum selainnya lebih baik dari hukumnya”. Hal ini karena mereka masih bodoh dengan ajaran agamanya sendiri dan bodoh pula dengan kebusukan ajaran orang-orang kafir. Andaikan mereka mau belajar agama mereka dengan kontinyu dan cara yang benar dengan memahami alqur’an, hadits-hadits shahih dan atsar para shahabat dengan pemahaman ulama salaf niscaya mereka akan semakin mencintai, merapat kepada agama yang mereka anut dan berpegang teguh kepadanya. Juga jikalau mereka telah mengetahui kedangkalan, keterbatasan dan kejahilan ajaran kaum barat yang kafir niscaya mereka akan tahu betapa dengki dan dendamnya kaum barat itu kepada ajaran Islam yang sangat sempurna dan kepada para pembelanya. Dan mereka juga akan ‘ngeh’ akan kejahatan kaum kuffar terhadap Islam dan para pemeluknya, hal ini sudah banyak disaksikan akan kejahatan dan kesadisan mereka yang menjajah dan membantai umat Islam di berbagai negara Islam. Atau telah terbukti pula akan intimidasi mereka terhadap umat Islam yang minoritas ketika tinggal di negara mereka yang mayoritas anti terhadap Islam.
Wahai umat Islam, apakah kalian harus merasakan terlebih dahulu kejahatan dan kesadisan orang-orang kafir kepada kalian dengan membunuh kalian, anak, istri, kerabat dan shahabat kalian, baru kalian menyadari akan kebusukan mereka. Atau kalian menyaksikan istri, anak-anak gadis dan wanita-wanita muslimah kalian diperkosa dihadapan kalian dengan tanpa ampun, baru kalian tahu betapa bejadnya mereka itu?. Atau kalian terpaku melihat masjid-masjid yang kalian cintai diinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang penuh najis, dihancurkan dengan senjata-senjata berat mereka yang diambil dari ribanya uang-uang yang kalian simpan di bank-bank mereka sehancur-hancurnya dan rata dengan tanah, baru kalian menyesali kebodohan kalian akan kejamnya orang-orang kafir terhadap agama kalian yang mulia?. Dan kebanyakan penyesalan itu datangnya kemudian, ketika nyawa kalian sudah hampir mendekati tenggorokan.
Maka dari itu, kita harus tahu dan yakin bahwa semua ajaran dan hukum yang berada diluar ajaran Islam meskipun dianggap modern dan diproduksi oleh orang-orang yang dunianya maju dinamakan hukum Jahiliyyah. Begitu pula semua ajaran dan hukum Islam yang datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meskipun dianggap kuno, terkebelakang dan ‘sudah nggak relevan’ dinamakan hukum Islamiyyah, dan inilah yang paling baik, benar dan sempurna.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًـا لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ
 Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin [QS. al-Ma’idah/5: 50].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang jelas lagi sempurna, mencakup segala kebaikan, melarang dari segala keburukan dan berpaling kepada (hukum) selainnya, berupa hukum (yang terbentuk) dari pendapat-pendapat, hawa-hawa nafsu dan istilah-istilah yang digubah oleh beberapa tokoh manusia tanpa bersandarkan kepada syariat Allah. Sebagaimana hukum yang berlaku pada orang-orang jahiliyah yang menerapkan hukum berdasarkan dari kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan yaitu sebahagian dari apa-apa yang mereka gubah sesuai dengan pendapat-pendapat dan hawa-hawa nafsu mereka. Dan sebagaimana juga yang dilakukan oleh bangsa Tartar di dalam tatanan politik kekuasan mereka yang diambil dari raja mereka yaitu Jengis Khan yang dibuat oleh el-Yasiq yaitu sebuah rangkaian kitab yang dikumpulkan dari berbagai syariat dari agama Yahudi, Nashrani, Islam dan sebagainya. Dan di dalamnya terdapat juga hukum-hukum yang diambil dari pandangannya semata dan hawa nafsunya, maka jadilah hukum-hukum tersebut sebagai syariat yang diikuti oleh keturunannya, mereka mengutamakan buku tersebut melebihi atas kitabullah dan sunnah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa di antara mereka yang berbuat itu, berarti ia telah kafir yang wajib diperangi, sehingga ia mau kembali kepada hukum Allah dan Rosul-Nya, lalu ia tidak mau berhukum dengan hukum selainnya itu, sedikit maupun banyak”. [15]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Tidak diragukan bahwasanya barangsiapa yang tidak beritikad wajibnya berhukum dengan apa diturunkan oleh Allah kepada Rosul-Nya maka ia adalah orang kafir. Barangsiapa yang menghalalkan (membolehkan) berhukum di antara manusia dengan apa yang dipandangnya adil tanpa mengikuti apa yang diturunkan Allah maka ia adalah orang kafir. Sesungguhnya tiada suatu umat melainkan menyuruh berhukum secara adil, dan kadangkala keadilan di dalam agamanya adalah apa yang dipandang para pembesar mereka. Bahkan mayoritas dari orang yang menisbahkan diri mereka kepada Islam berhukum dengan adat-adat mereka yang tidak diturunkan oleh Allah, seperti sawalif (adat tradisi yang diikuti) dari  kaum badui dan seolah-olah perintah para mutho (yaitu orang yang ingin ditaati). Dan mereka memandang bahwasanya inilah yang pantas dijadikan hukum bukan alquran dan Sunnah. Dan pandangan ini merupakan kekufuran. Maka mayoritas dari manusia telah masuk Islam tetapi mereka tidaklah berhukum melainkan dengan adat-adat tradisi yang berlaku, yang diperintahkan oleh para mutho (yaitu orang yang ingin ditaati). Maka mereka itu jika mengetahui bahwasanya tidak boleh bagi mereka untuk berhukum kecuali dengan apa yang Allah turunkan tetapi mereka tidak melazimkan yang demikian itu, bahkan mereka menghalalkan berhukum dengan sesuatu yang menyelisihi apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. [16]
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat perintah berhati-hati dari hukum jahiliyah dan memilihnya atas hukum Allah dan Rosul-Nya. Maka barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut berarti ia telah berpaling dari hukum yang terbaik yaitu yang hak (kebenaran) menuju kepada hukum yang batil”. [17]
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَ هُوَ الَّذِى أَنْزَلَ إَ‎ِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً وَ الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain dari Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan kitab (alqur’an) kepada kalian dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa alqur’an itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. [QS. al-An’am/6: 114].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Dan ayat ini adalah bentuk pengajaran bagi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berkata kepada kaum musyrikin, “Apakah aku akan condong dan merasa cukup kepada kebatilan kalian? Lalu aku mencari selain Allah sebagai hakim di antaraku dan di antara kalian. Di dalam sangkaan kalian, aku bukanlah seorang rosul dan bahwasanya apa yang telah kudatangkan bukanlah wahyu dari Allah?”. Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari menjadikan selain Allah ta’ala sebagai hakim, dan atas dasar apa ia menjadi hakim. Padahal Allah yang telah menurunkan kitab (alqur’an) kepada mereka secara rinci. Maka ayat manakah yang dapat mengalahkan alqur’an yang dia itu berjumlah ribuan ayat”. [18]
وَ مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَ رَسُـوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَ رَسُـوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مَبِيْنًا
 Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka tersebut. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rosul-Nya maka sungguh-sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [Al-Ahzab/33: 36].
Dengan dasar-dasar ini, tidaklah pantas seorang mukmin itu masih mau mengambil hukum-hukum jahiliyah yang terbentuk dari pendapat-pendapat dan hawa-hawa nafsu yang jahil lagi sesat dan menomor-duakan atau bahkan menanggalkan dan meninggalkan kitabullah dan sunnah Rosulullah yang jelas lagi sempurna menuju kepada hukum jahiliyah yang batil. Dan tidak patut baginya mengambil dan menjadikan selain Allah menjadi hakim terhadap perkara yang diperselisihkan, dan memilih suatu perkara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya kepada perkara lain yang sesuai dengan logika atau hawa nafsunya. Maka barangsiapa ada di antara umat ini yang berbuat demikian, berarti ia telah kafir yang wajib diperangi sampai ia mau kembali kepada keduanya dan meninggalkan selain keduanya, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah.
       وَيَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَ بِالرَّسُـوْلِ وَ أَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيْقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَ مَا أُوْلَئِكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ وَ إِذَا دُعُوْا إِلَى اللَّهِ وَ رَسُـوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيْقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُوْنَ
 Dan mereka berkata, Kami telah beriman kepada Allah dan Rosul, dan kami taat. Kemudian sebahagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rosul-Nya, agar Rosul menghukum di antara mereka, tiba-tiba sebahagian dari mereka berpaling (menolak). [QS. an-Nur/24: 47-48].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Wajib berhukum kepada alqur’an dan Sunnah, (2) Barangsiapa yang diajak kepada alqur’an dan Sunnah lalu ia berpaling, maka ia adalah orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya dan (3) Menjadikan undang-undang buatan (manusia) untuk berhukum kepadanya dengan meninggalkan kitabullah (alqur’an) dan sunnah Rosul-Nya adalah tanda-tanda kekafiran dan kemunafikan”. [19]
فَلَا وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِى أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًــا
 Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim (pembuat keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [QS. an-Nisa’4/ 65].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(4) Wajib berhakim kepada al-Kitab dan Sunnah dan haram berhukum kepada selain keduanya. (5) Wajib ridlo dengan hukum (keputusan) Allah dan Rosul-Nya serta menerimanya”. [20]
Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Bahwasanya mereka tidaklah beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim (pembuat keputusan) dan sehingga hilang perasaan berat dari hati mereka dari hukumnya tersebut dan sehingga mereka menerima hukumnya dengan penerimaan yang sepenuhnya. Inilah hakikat ridlo dengan hukumnya”. [21]
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُـوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم فَقَالَ: يَـا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِيْنَ ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيْتُمْ بِهِنَّ وَ أَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوْهُنَّ: (5) وَ مَـا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَ يَتَخَيَّرُوْا مِمَّـا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ  
 Dari Abdullah bin Umar berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menghadap kami, lalu bersabda, “Wahai golongan Muhajirin!, ada lima perkara, yang jika kalian diuji dengannya sedangkan aku berlindung kepada Allah dari perjumpaan kalian dengannya; (5) dan selama para imam mereka tidak berhukum dengan kitabullah dan memohon kebaikan dari apa-apa yang telah Allah turunkan, melainkan Allah akan timpakan kesengsaraan di antara mereka. [HR Ibnu Majah: 4019 dan lafazh ini baginya, Abu Nu’aim dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [22]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah, “Wajib bagi kaum muslimin untuk mengabaikan undang-undang asing dari negara-negara mereka seperti undang-undang Perancis, Inggris dan selainnya yang menyelisihi hukum Islam. Tidak berlindung kepada mahkamah (lembaga hukum) yang berhukum dengan undang-undang yang menyelisihi Islam. Dan agar mereka berhukum kepada Islam di sisi orang-orang tsiqot (terpercaya) dari ahli Ilmu, itu adalah lebih baik bagi mereka. Karena Islam itu akan memberi kesadaran kepada mereka, berlaku adil di antara mereka dan sangat efisien di dalam pemakaian harta dan waktu atas mereka, yang senantiasa disia-siakan oleh mahkamah (lembaga hukum) negeri, yang tiada manfaatnya untuk disebutkan. Tetapi hanya akan menyeret kepada adzab yang besar pada hari kiamat, karena ia telah berpaling dari hukum Allah yang adil dan berlindung kepada hukum makhluk yang zholim”. [23]
أَلَـمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَ قَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَ يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيْدًا وَ إِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَ إِلَى الرَّسُـوْلِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًا
 Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang telah Allah turunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu?. Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengkufurinya. Dan setan itu bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. [QS. an-Nisa’/4: 60-61].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ini adalah merupakan bentuk pengingkaran dari Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengaku-ngaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rosul-Nya (alqur’an) dan kepada para nabi terdahulu, sedangkan ia di samping itu ingin untuk berhukum di dalam pokok perselisihan kepada selain kitabullah (alqur’an) dan sunnah Rosul-Nya (al-Hadits)”. [24]
Berkata asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Dan demikianlah, barangsiapa yang menyeru bertahkim (berhukum) kepada selain Allah dan Rosul-Nya maka sungguh-sungguh ia telah meninggalkan apa yang telah dibawa oleh Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, benci kepadanya, menjadikan sekutu bagi Allah di dalam ketaatan (syirk ath-Tho’ah) dan menyelisihi apa yang telah didatangkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada apa yang diperintahkan Allah ta’ala kepadanya di dalam firman-Nya, ((Dan putuskan perkara olehmu di antara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dirimu terhadap mereka agar mereka tidak memalingkanmu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. …Dan seterusnya ayat. QS. al-Ma’idah/5: 49)) dan firman-Nya ta’ala, ((Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. QS. an-Nisa’/4: 65)). Maka barangsiapa yang menyelisihi apa yang diperintahkan Allah dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa menetapkan hukum di antara mereka dengan selain apa yang telah diturunkan Allah atau menuntut yang demikian itu lantaran mengikuti apa yang diselerakan dan diinginkannya maka sungguh-sungguh ia telah menanggalkan ikatan Islam dan Iman dari lehernya. Kendatipun ia menyangka bahwasanya ia beriman. Karena sesungguhnya Allah ta’ala telah mengingkari orang yang menghendaki yang demikian itu dan mendustakan mereka di dalam sangkaan iman mereka karena kandungan firman-Nya, ((mereka menyangka)) dari meniadakan iman mereka. Maka perkataan ((mereka menyangka)) hanyalah diucapkan kebanyakan bagi orang yang menyangka suatu sangkaan dalam keadaan dusta sebab menyelisihi ketetapannya dan amalnya dengan sesuatu yang meniadakannya. Mewujudkan keterangan ini firman-Nya, ((Padahal mereka sungguh-sungguh telah diperintahkan untuk mengkufurinya)). Karena kufur kepada thoghut merupakan rukun iman. Sebagaimana di dalam ayat al-Baqarah, jika ia tidak memperoleh rukun ini maka ia bukan muwahhid (orang yang bertauhid) dan tauhid itu merupaka asas (pondasi) iman yang akan menjadi shalih (baik) seluruh amal dengannya dan akan menjadi rusak tanpanya. Sebagaimana telah jelas yang demikian itu di dalam firman-Nya ta’ala, ((Maka barangsiapa yang kufur kepada thoghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh-sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. QS. al-Baqarah/2: 256)). Dan hal itu berarti bahwa berhukum kepada thoghut itu merupakan bentuk iman kepadanya”. [25]
Berkata asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah, “Dan ucapan ((Dan setan bermaksud untuk menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya)), yaitu keinginan berhukum kepada selain kitab Allah dan sunnah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam adalah termasuk mentaati setan, sedangkan ia (setan itu) senantiasa mengajak golongannya agar termasuk penghuni neraka sair. Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwasanya meninggalkan berhukum kepada thoghut yaitu sesuatu selain dari Kitab (alqur’an) dan Sunnah adalah termasuk dari perkara wajib dan sesungguhnya berhukum kepadanya adalah bukan seorang mukmin dan bahkan bukan pula seorang muslim”. [26]
Berkata al-‘Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Ayat ini merupakan dalil bahwasanya orang yang di ajak untuk berhukum kepada al-Kitab (alqur’an) dan Sunnah lalu ia enggan (tidak mau) maka ia termasuk golongan orang-orang munafik”. [27]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Di dalam beberapa ayat ini terdapat beberapa macam pelajaran dari bukti atas kesesatan orang yang berhukum kepada selain al-kitab (alqur’an) dan Sunnah, dan juga atas kemunafikannya. Walaupun ia menyangka bahwasanya ia ingin menyesuaikan antara dalil syar’iy dan sesuatu yang di sebut dengan aqliyah (logika) dari perkara-perkara yang di ambil dari sebahagian thoghut dari golongan kaum musyrikin, ahli kitab dan selain itu dari beberapa macam pengambilan pelajaran”. [28]
Dengan dalil ayat dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa siapapun yang menganggap dirinya beriman kepada alqur’an (dan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam) namun disamping itu ia masih berkeinginan untuk mengambil hukum kepada thaghut yakni segala sesembahan yang disembah selain Allah ta’ala berupa hukum-hukum kaum kafirin dari Inggris, Perancis, Belanda, Amerika, Australia dan selainnya. Maka keimanannya itu patut diragukan dan dipertanyakan, dan boleh jadi ia telah menanggalkan ikatan Islamnya dari lehernya dan memasang belenggu kekafiran padanya dengan belitan yang sangat kuat.
Berkenaan dengan masalah ini, asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah menjelaskan keadaan-keadaan yang apabila dilakukan oleh seorang hakim, akan menyebabkannya masuk di dalam kekufuran yang mengeluarkannya dari agama, yaitu;
1.  Apabila Hakim yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan oleh Allah mengingkari kebenaran hukum Allah dan Rosul-Nya. Inilah makna apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Pengingkaran terhadap apa yang diturunkan Allah dari segi hukum syariy tiada perdebatan padanya di antara ahli ilmu, maka sesungguhnya pokok-pokok tersebut telah diakui lagi disepakati di antara mereka. Yaitu bahwasanya barangsiapa yang mengingkari satu pokok dari pokok-pokok agama (ushul) atau salah satu cabang (furu), atau mengingkari satu huruf dari apa yang telah didatangkan oleh Rosul Shallallahu alaihi wa sallam, hal tersebut telah disepakati secara pasti bahwasanya ia adalah orang kafir dengan kekufuran yang keluar dari millah (agama).
2.  Jika Hakim yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah tersebut tidak mengingkari kebenaran hukum Allah dan Rosul-Nya, tetapi ia beritikad (berkeyakinan) bahwasanya hukum selain Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik dari hukumnya, lebih sempurna dan lebih utuh bagi sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dan apa yang diperbaharui bagi mereka dari beberapa peristiwa yang muncul dari perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Maka hal ini juga tidak diragukan lagi di dalam kekafirannya lantaran mengutamakan hukum-hukum makhluk yang merupakan ingatan yang cupet dan pikiran yang kotor atas hukumnya yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya tidak ada satupun persoalan yang terjadi pada kehidupan melainkan ketentuan hukumnya sudah ditetapkan di dalam alqur’an dan Sunnah Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa nash, atau sesuatu yang lahir (nampak) atau kesimpulan. Maka mengetahui orang yang mengetahui dan tidak mengetahui orang yang tidak mengetahui.
3.  Kendatipun ia tidak beritikad keadaan hukum (selain apa yang diturunkan Allah) itu lebih baik dari hukum Allah dan Rosul-Nya, tetapi ia beritikad bahwasanya hukum tersebut sama (dengan hukum Allah dan Rosul-Nya). Maka hal ini juga sama seperti dua macam yang sebelumnya yaitu kafir dengan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, lantaran ia di dalam hal ini mempersamakan makhluk dengan al-Kholik (Allah).
4.  Barangsiapa yang beritikad bolehnya berhukum dengan apa yang menyelisihi hukum Allah dan Rosul-Nya, maka ia sama seperti yang sebelumnya (yaitu kafir dengan kekufuran yang mengeluarkan dari agama).
5.  Termasuk dari yang paling besar dan yang paling nyata penentangannya terhadap syariat, kesombongannya terhadap hukum-hukum-Nya dan penyelisihannya terhadap Allah dan Rosul-Nya adalah mengadakan lembaga-lembaga hukum buatan yang rujukannya berupa undang-undang buatan (manusia), seperti undang-undang Perancis, Amerika, Inggris atau selainnya dari madzhab (buah pikiran) orang-orang kafir. Maka kekufuran manakah yang melebihi kekufuran ini?. Pembatalan syahadat bahwasanya Muhammad itu utusan Allah manakah setelah pembatalan ini?.
6.  Apa yang ditetapkan oleh kebanyakan dari para pemimpin keluarga dan kabilah dari penduduk desa dan yang semisalnya berupa hikayat-hikayat orang-orang tua dan leluhur mereka serta adat tradisi mereka yang mereka namakan ‘salum’ (orang suci). Lalu mereka saling mewariskan hal tersebut dari antara mereka dan berhukum dengannya lantaran kebencian dan berpaling dari hukum Allah”. [29]
Adapun kekufuran yang tidak mengeluarkan dari millah (agama) adalah yang telah datang dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma yaitu “kufrun duna kufrin” (kekufuran yang bukan kekufuran, maksudnya kekufuran yang tidak mengeluarkannya dari agama) dan ucapannya juga, “bukanlah dengan kekufuran yang kalian maksudkan”. Hal tersebut misalnya; seseorang yang dikuasai oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk berhukum di dalam suatu keputusan dengan selain apa yang Allah turunkan dengan disertai keyakinannya bahwasanya hukum Allah dan Rosul-Nya adalah yang benar, dan ia mengakui dirinya keliru dan jauh dari petunjuk. Hal ini, kendatipun kekufuran ini tidak mengeluarkannya dari agama, maka sesungguhnya perbuatan ini merupakan kemaksiatan yang terbesar, yang lebih besar dari “kaba’ir” (dosa-dosa besar) seperti zina, minum khomer, mencuri dan selainnya. Sebab sesungguhnya kemaksiatan yang dinamakan Allah dengan kekufuran di dalam kitab-Nya itu lebih (besar dosanya) dari pada kemaksiatan yang tidak dinamakan kekufuran oleh Allah. [30]
  Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ اْلكَافِرُوْنَ
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. [QS. al-Ma’idah/5: 44].
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang zholim. [QS. al-Ma’idah/5: 45].
Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang fasik. [QS. al-Ma’idah/5: 47].
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, “Barangsiapa yang mengingkari berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka sungguh-sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengakuinya (berhukum dengan apa yang Allah turunkan) tetapi ia tidak berhukum dengannya maka ia zholim lagi fasik”.[31] Demikian pula yang dikatakan ‘Ikrimah. [32]
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, “Bukanlah dengan kekufuran yang kalian maksudkan, dan sesungguhnya ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama tetapi di bawah kekufuran tersebut”.[33] Begitu pula yang dikatakan oleh Thowus.[34]
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, tentang firman Allah ((Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan .QS. al-Ma’idah/5: 44)), ia berkata, “Ini merupakan bentuk kekufuran kepadanya”. Berkata Ibnu Thowus, “Dan (kekufuran tersebut) bukanlah seperti kekufuran kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rosul-Nya”. [35]
Berkata ‘Atho’ bin Abi Ribah, “Kufrun duna kufrin, zhulmun duna zhulmin dan fisqun duna fisqin”. (Maksudnya kekufuran yang bukan lazimnya kekufuran yang mengeluarkan dari agama, kezholiman yang bukan lazimnya kezholiman dan kefasikan yang bukan lazimnya kefasikan). [36]
Berkata Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Dan yang shahih (benar) bahwasanya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah itu mengandung dua kekufuran, yaitu kecil dan besar dengan ukuran keadaan orang yang berhukum tersebut. Jika ia beritikad wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah pada peristiwa ini dan ia menyimpang darinya lantaran perbuatan maksiat disertai pengakuannya bahwasanya ia akan mendapatkan hukuman, maka ini adalah kufur ashghor (kufur kecil). Lalu jika ia beritikad bahwasanya hal tersebut (yaitu berhukum dengan apa yang Allah turunkan) adalah tidak wajib, tetapi hanyalah suatu alternatif (pilihan), disertai keyakinannya bahwasanya itu adalah hukum Allah maka ini adalah kufur akbar (kufur besar). Dan jika ia tidak mengetahuinya dan keliru, maka orang tersebut adalah keliru, baginya dihukumi sebagai orang-orang yang keliru.[37] Dan senada dengannya, telah berkata al-‘Allamah Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafiy di dalam kitabnya”.[38]
Maka dengan dasar penjelasa di atas, kita tidak boleh memudah-mudahkan diri di dalam menghukumi umat Islam dengan kekafiran jika ia tidak melaksanakan hukum Allah ta’ala. Namun kita juga mesti melihat gelagat dan itikad mereka di dalam menyikapi hukum-hukum Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Misalnya, kita jumpai para pemimpin negara ini, mereka tidak melaksanakan dan menerapkan hukum Allah ta’ala dan bahkan seakan-akan tidak peduli kepadanya. Maka kita tidak boleh tergesa-gesa menuduh mereka kafir keluar dari Islam, yang kita wajib memerangi mereka dan menghalalkan darah mereka atau memberontak dari kekuasaan mereka. Sebagaimana kaum khowarij yang gemar mengkafir-kafirkan orang-orang tidak sepaham dan tidak sekelompok dengan mereka atau juga mengkafir-kafirkan orang-orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa besar. Mereka menghalalkan darah, harta dan kehormatan selain mereka dengan atas nama amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Jatuhlah mereka ke dalam sikap ifrath yakni sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam agama. Ini adalah sikap yang sangat tercela, yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam banyak perbuatan dosa besar, semisal mengkafir-kafirkan orang yang masih memiliki keimanan, merampas harta umat Islam yang diharamkan untuk mengambilnya, merusak kehormatan dan kemuliaan muslim yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk menjaganya, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah ta’ala untuk membunuhnya, memberontak kepada pemerintah yang seharusnya untuk ditaati dalam perkara-perkara ma’ruf, berbuat anarkis dan kerusakan di muka bumi setelah Allah ta’ala memperbaikinya dan lain sebagainya.
Namun kita juga tidak boleh bersikap tafrith, yakni meremehkan perbuatan orang-orang yang berhukum kepada selain hukum Islam. Yaitu kita menganggap perbuatan orang-orang yang menolak hukum Islam dan memuliakan hukum kaum kuffar sebagai bentuk kebebasan dan hal biasa. Karena hal ini juga dapat menjerumuskan kita kepada beberapa dosa besar, semisal meridloi hukum selain hukum Allah dan Rosul-Nya, tidak mau beramar ma’ruf dan nahi munkar, menjadi penyebab tersebarnya berbagai kemaksiatan kepada Allah ta’ala dan sebagainya.
Tetapi hendaklah kita bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Islam, yakni berusaha menolak, mengingkari, membenci dan menyelisihi berbagai ajaran dan hukum yang menyelisihi alqur’an dan hadits-hadits shahih. Namun kita tidak boleh mengkafir-kafirkan pelakunya, menyatakan ia telah keluar dari Islam dan halal darah, harta dan kehormatannya sampai orang itu meyakini dan beritikad bahwa selain petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya atau hukum selainnya lebih baik dari hukumnya. Maka kita boleh menganggapnya kafir seukuran dengan keyakinan dan itikadnya itu dengan batas-batas yang telah ditentukan, apalagi jika ada fatwa ulama yang memang kompeten dalam bidangnya yang memfatwakan seperti itu.
Oleh sebab itu, wahai saudara-saudara seagama dan seiman, marilah kita mempelajari agama kita secara kontinyu dan berkesinambungan dari para ustadz yang memang ahli dalam bidangnya dengan dasar alqur’an dan hadits-hadits shahih dengan pemahaman ulama salaf. Agar kita dapat memahami agama yang kita anut dengan benar lagi shahih, sehingga kita akan beritikad bahwa apa yang dibawa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dari akidah, ibadah, akhlak, hukum dan selainnya dari ajaran Islam adalah yang paling sempurna, paling baik dan paling layak dijadikan pedoman hidup. Adapun hukum selainnya, kendatipun dianggap modern dan keren maka hukum itu tidaklah bernilai dan juga tidak berbobot sedikitpun jika dibandingkan dengan hukum Islam. Bobrok, rusak, nyleneh dan tidak universal berbagai ajarannya jika dipandang dari berbagai sudut sehingga pantas untuk ditinggalkan, ditanggalkan bahkan dilupakan dari kehidupan manusia, karena keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya dan bahkan tidak ada kebaikannya sama sekali. Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] al-Jami’ ash-Shahih: III/ 11, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: VI/ 153-154, Mukhtashor Shahih Muslim: 410, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1487, Shahih Sunan Ibnu Majah: 43, Irwa’ al-Ghalil: 608, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1353 dan Zad al-Ma’ad: I/ 186, 426.
[2] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 18.
[3] Peristiwa ayat ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 45, 4407, 4606, 7268, Muslim: 3017, dan at-Turmudziy: 3043, 3044, dari Thoriq bin Syihab, dari Umar bin al-Khoththob bahwasanya seorang Yahudi pernah berkata kepadanya, “Wahai Amir al-Mukminin, ada satu ayat di dalam kitab kalian yang kalian baca, andaikata ayat itu turun atas kami, maka niscaya kami akan menjadikan hari tersebut menjadi hari raya”. Umar berkata, “Ayat yang mana?”. Ia berkata, “((Pada hari ini, Aku telah sempurnakan untuk kalian agama kalian,  ...al-ayat))”. Umar berkata, “Sungguh-sungguh kami mengetahui hari dan tempat yang ayat tersebut turun padanya atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Beliau berdiri di Arafah pada hari Jum’at. Lihat Fath al-Bariy: I/ 1105, VIII/ 108, 270, XIII/ 245, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 17 hadits nomor 35, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 239, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVIII/ 153, Mukhtashor Shahih Muslim: 2135, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2437, 2438 dan Tuhfah al-Ahwadziy: VIII/ 344-345.
[4] Aysar at-Tafasir: I/ 591-592.
[5] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1803.
[6] Aysar at-Tafasir: I/ 298.
[7] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 435.
[8] Aysar at-Tafasir: I/ 342.
[9] al-Jami’ ash-Shahih: IV/ 41, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: VIII/ 184, Mukhtashor Shahih Muslim: 707, Shahih Sunan Abu Dawud: 1676, Irwa’ al-Ghalil: 1017 (IV/ 206) dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2068.
[10] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 96.
[11] Aysar at-Tafasir: II/ 456-466.
[12] Fat-h al-Bariy: XII/ 210, Silsilah al-Ahadits as-Shahihah: 778, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 40 dan Misykah al-Mashobih: 142.
[13] Fat-h al-Bariy: XII/ 210.
[14] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 635.
[15] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 84-85.
[16] Majmu`ah at-Tauhid halaman 362  dan al-Wala`  wa al-Baro`  fii al-Islam halaman 69.
[17] Fat-h al-Majid halaman 477.
[18] Aysar at-Tafasir: II/ 108-109.
[19] Aysar at-Tafasir: III/ 582.
[20] Aysar at-Tafasir: I/ 503.
[21] Madarij as-Salikin: II/ 201.
[22] Shahih Ibnu Majah: 3246, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7978 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 106.
[23] Majmu`ah Rosa`il at-Tawjihat al-Islamiyyah halaman187.
[24] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: I/ 642.
[25] Fat-h al-Majid halaman 473.
[26] Taysir al-`Aziz al-Hamid halaman 494.
[27] Fat-h al-Majid halaman 474 dan Taysir al-`Aziz al-Hamid halaman 494.
[28] Majmu’  Fatawa: III/ 37.
[29] al-Wala’ wa al-Bara’ fi al-Islam halaman 81-82.
[30] al-Wala’ wa al-Bara’ fi al-Islam halaman 82.
[31] Fat-h al-Qodir: II/ 53 dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77.
[32] Tafsir al-Baghowiy: II/ 41.
[33] al-Iman halaman 309, Fat-h al-Qodir: II/ 53 dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77.
[34] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 59 dan al-Iman halaman 310.
[35] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77, Fat-h al-Qodir: II/ 40-41, Madarij as-Salikin: I/ 364-365, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 58-59 dan al-Iman halaman 310, dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih.
[36] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77, Fat-h al-Qodir: II/ 53, Tafsiir al-Baghowiy: II/ 41, Madarij as-Salikin: I/ 365, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 59 dan al-Iman halaman 310.
[37] Madarij as-Salikin: I/ 365.
[38] Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah halaman 323-324.