BARANGSIAPA YANG BERITIKAD BAHWA SELAIN
PETUNJUK NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam LEBIH SEMPURNA DARI PETUNJUKNYA
ATAU HUKUM SELAINNYA LEBIH BAIK DARI HUKUMNYA, MAKA IA TELAH KAFIR.
بسم الله الرحمن الرحيم
Sebagaimana
telah diketahui dan diyakini oleh setiap mukmin, bahwasanya sebenar-benar
perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mesti dijadikan landasan hukum baginya di dalam setiap
amal. Hal ini pernah disampaikan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam khutbahnya,
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ كَانَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى
الله عليه و سلّم يَقُوْلُ : أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ ((و فى
رواية: إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ)) كِتَـابُ اللَّهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ ((و فى
رواية: وَ أَحْسَنَ الْهَدْيِ)) هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَ شَرَّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (( و فى رواية: وَ شَرُّ اْلأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلًّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ
كُلًّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّـارِ ))
Dari
Jabir bin ‘Abdullah radliyallahu ‘anhuma berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Amma ba’du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan
(di dalam suatu riwayat, sesungguhnya sebenar-benar perkataan) adalah
kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu
‘alaihi wa sallam), seburuk-buruk perkara adalah yang baru diada-adakan dan
setiap bid’ah adalah sesat (di dalam suatu riwayat, dan seburuk-buruk perkara
adalah yang baru diada-adakan, setiap perkara yang baru diada-adakan adalah
bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka). [HR
Muslim: 867 dinukil secara ringkas dan lafazh ini baginya, an-Nasa’iy: III/
188-189 dan tambahan ini baginya, Ibnu Majah: 45 dan Ahmad: III/ 319, 371.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
Sepatutnyalah seorang mukmin itu
mempunyai itikad seperti yang telah disabdakan oleh Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam riwayat hadits di atas, yaitu bahwasanya ucapan yang
paling baik dan benar adalah ucapan Allah Subhanahu wa ta’ala dan petunjuk yang
paling baik adalah petunjuk nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ia
mesti menghilangkan keragu-raguan di dalam hal itu agar keyakinannya tersebut
dapat mendorongnya untuk senantiasa beramal sesuai dengan petunjuk Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu berlandaskan kepada alqur’an dan hadits-hadits yang
shahih. Oleh sebab itu, jika ada orang yang beritikad bahwa selain petunjuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya atau hukum
selainnya lebih baik dari hukumnya maka ia telah terjerumus ke dalam salah satu
yang menggugurkan keislamannya.
Di samping
itu Allah ta’ala sendiri telah menjadikan Islam ini sebagai agama yang sempurna
ditinjau dari segala segi dan menjadikan satu-satunya agama yang diridloi-Nya,
sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa ta’ala,
اْليَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَ رَضِيْتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
Pada
hari ini Aku telah sempurnakan agama kalian untuk kalian, Aku telah cukupkan
kepada kalian nikmat-Ku dan Aku telah ridlo Islam itu sebagai agama bagi
kalian. [al-Ma’idah/5: 3].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini adalah sebesar-besarnya nikmat
Allah ta’ala atas umat ini, ketika Allah ta’ala menyempurnakan agama mereka
bagi mereka, maka mereka tidak membutuhkan kepada agama selainnya dan tidak
memerlukan nabi selain nabi mereka Sholawatullah wa salamuhu ‘alaihi. Oleh
sebab itu Allah ta’ala telah menjadikannya sebagai penutup para nabi dan
mengutusnya kepada golongan manusia dan jin. Maka tiada halal melainkan apa
yang ia halalkan, tiada haram kecuali apa yang ia haramkan dan tiada agama
selain apa yang ia syariatkan, dan segala sesuatu yang ia khabarkan adalah hak,
benar, tiada kedustaan dan tiada kekeliruan, sebagaimana firman Allah ta’ala, ((Telah
sempurna kalimat Rabbmu sebagai kalimat
yang benar dan adil. QS. al-An’am/6: 15)) yaitu benar di dalam khabar-khabar
dan adil di dalam perintah dan larangan”. [2]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Maka ini merupakan pengkhabaran dari Allah ta’ala
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman berupa pemberian nikmat dan anugrah kepada
mereka dari-Nya. (1) Penyempurnaan agama dengan segenap akidah-akidahnya,
ibadah-ibadahnya, hukum-hukumnya, dan adab-adabnya, sehingga dikatakan
bahwasanya ayat ini turun di sore hari pada hari Arafah pada tahun Haji Wada’,[3] dan
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah hidup sesudahnya melainkan
selama 81 malam kemudian Allah ta’ala mewafatkannya. (2) Penyempurnaan nikmat
Allah ta’ala kepada mereka, yaitu Allah memberikan rasa aman kepada mereka
setelah dicekam rasa takut, menguatkan mereka setelah mengalami kelemahan,
menolong dan memuliakan mereka setelah dikuasai dan dihinakan, membanyakkan
bilangan mereka, menaklukkan negeri-negeri untuk mereka, memenangkan agama
mereka dan menjauhkan kekafiran dan orang-orang kafir dari mereka, mengajarkan
ilmu kepada mereka setelah mengalami masa kebodohan dan memberi petunjuk kepada
mereka setelah mengalami kesesatan. Maka ini adalah sebahagian dari nikmat yang
Allah telah menyempurnakannya atas mereka. (3) Allah ridlo Islam itu sebagai
agama bagi mereka, tatkala Allah mengutus Rosul-Nya dan menurunkan kitab-Nya,
lalu ia menerangkan akidah-akidah dan syariat-syariatnya. Lalu menjauhkan
mereka dari agama-agama yang batil seperti; Yahudi, Nashrani dan Majusi. Allah
mencukupkan mereka darinya dengan apa yang Ia telah ridloi untuk mereka,
ingatlah! dia itu adalah Islam yang tegak di atas ketundukkan kepada Allah
ta’ala, lahir maupun batin”. [4]
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ قَالَ تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ مَا طَائِرٌ
يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِى اْلهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا
قَالَ فَقَالَ صلى الله عليه و سلم مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ
وَ يُبَاعِدُ مِنَ النَّـارِ إِلاَّ وَ
قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
Abu Dzarr berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kita (wafat), dan tiada seekorpun
burung yang (terbang) membolak-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan
Beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami. Berkata (Abu Dzarr), “Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak tinggal sesuatupun yang
mendekatkan (kalian) ke sorga dan menjauhkan (kalian) dari neraka, melainkan
sungguh-sungguh telah dijelaskan kepada kalian”. [HR ath-Thabraniy di dalam
kitab “al-Mu’jam al-Kabiir” dan Ahmad: V/ 153, 162 tanpa kalimat yang kedua.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya shahih].[5]
Itulah
sebahagian dalil di dalam alqur’an dan hadits yang menerangkan kesempurnaan dan
keunggulan Islam di atas agama-agama lain, yang tidak membutuhkan kepada
penyempurnaan lagi dari satupun makhluk berupa penambahan, pengurangan,
perubahan ataupun penggantian. Karena apa yang dapat memasukkan umat Islam ini
ke dalam surga dan apa yang dapat menjauhkan mereka dari neraka di dalam
itikad, perkataan ataupun perbuatan sungguh-sungguh telah diterangkan di dalam
agama ini.
Karena
kesempurnaannya itulah Allah Azza wa Jalla telah meridloi Islam sebagai
satu-satunya agama bagi umat manusia, khususnya umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Maka siapapun manusia yang
mencari agama selain Islam dan beramal selain dengan ajarannya maka
amal-amalnya tersebut tidak akan diterima dan ia di akhirat kelak termasuk
orang-orang yang merugi.
إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلَامُ
Sesungguhnya
agama (yang diridloi) disisi Allah hanyalah Islam. [QS Ali Imran/ 3: 19].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Batilnya semua agama
selain Islam dan semua ajaran selain dari ajarannya. Hal ini karena persaksian
Allah ta’ala di dalam firman-Nya ((Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. QS Ali Imran/ 3: 85)). Ayat ini dan
berikutnya adalah merupakan tafsirnya insya Allah ta’ala”. [6]
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Terdapat pengkhabaran dari Allah ta’ala
bahwa tidak ada agama di sisi-Nya yang akan diterima dari seseorang (agama dan
amal-amalnya) selain Islam. Yaitu mengikuti para Rosul terhadap apa yang Dia
utus di setiap waktu sampai kepada penutup (para Rosul) yaitru Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam. Agama yang telah menutup semua jalan kecuali dari
arah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang menjumpai
Allah ta’ala setelah pengutusan Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan
membawa agama selain dari yang disyariatkannya maka agama tersebut tidak akan
diterima. Sebagaimana firman Allah ta’ala ((Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya)).
[7]
وَ
مَن يَّبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلَامِ دَينًا فَلَن يُّقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِى
اْلآخِرَةِ مِنَ اْلخَاسِرِينَ
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [QS
Ali Imran/ 3: 85].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Batilnya seluruh agama
dan ajaran selain dari agama Islam dan ajaran nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam”. [8]
Telah
dipahami bahwa kesempurnaan Islam ini dikarenakan apa yang Allah ta’ala
wahyukan kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjelaskannya
kepada umat manusia telah disampaikan seluruhnya tanpa ditambah, dikurangi,
dirubah atau diganti sedikitpun. Karena Beliau memiliki sifat amanah yang tidak
mungkin menyembunyikan satu ayat dan haditspun, melainkan ia pasti telah
menyampaikannya, dan para Shahabat Ridlwanullah ‘alaihim telah mengakuinya,
sebagaimana di dalam hadits panjang yang dinukil secara ringkas di bawah ini,
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلّى اللّه عليه و سلّم قَالَ:
وَ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ
كِتَـابُ اللَّهِ وَ أَنْتُمْ تُسْأَلُوْنَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُوْنَ ؟
قَالُوْا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَ أَدَّيْتَ وَ نَصَحْتَ فَقَالَ
بِإِصْبَعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَـاءِ وَ يَنْكُتُهَا إِلَى
النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Dari Jabir bin Abdullah dari Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sungguh-sungguh aku telah tinggalkan pada
kalian sesuatu yang kalian tidak sesat sesudahnya selama berpegang teguh dengannya
yaitu kitab Allah (alqur’an). Dan kalian nanti akan ditanya mengenai diriku,
maka apakah yang kalian akan katakan?”. Mereka menjawab, “Kami bersaksi
bahwasanya engkau telah menyampaikan dan menunaikan (risalah Allah) serta
engkau telah memberi nashihat”. Lantas Beliau bersabda sembari mengangkat jari
telunjuknya ke arah langit dan menggerak-gerakkannya ke hadapan manusia, “Ya
Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah”. (Beliau mengucapkannya) tiga kali. [HR
Muslim: 1218 lafazh ini baginya dan Abu Dawud: 1905. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy Shahih]. [9]
يَا
أَيُّهَا الرَّسُـوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ وَ إِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَمَـا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. [QS.
al-Ma’idah/5: 67].
Dari Masruq dari ‘Aisyah
radliyallahu ‘anha berkata, “Barangsiapa menceritakan kepadamu bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari yang telah
diturunkan kepadanya, maka sungguh-sungguh ia telah berdusta, karena Allah
(ta’ala) berfirman, ((Wahai Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Rabbmu”. QS. al-Ma’idah/5: 67)). [Telah mengeluarkan atsar ini
al-Bukhoriy: 4612, 7531].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Berfirman Allah ta’ala berbicara kepada
hamba dan rosul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nama risalah
dan memerintahkannya untuk menyampaikan seluruh apa yang diutus oleh Allah.
Dan sungguh-sungguh Rosul ‘alaihi afdlol ash-sholat wa as-Salam telah mengikuti
yang demikian tersebut, dan tegak dengan sesempurna-sesempurnanya penegakan”. [10]
Allah ta’ala
telah menjelaskan bahwa Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam telah
menyampaikan kepada umatnya semua yang telah Allah Azza wa Jalla perintahkan
kepadanya untuk menyampaikannya. Tidak ada satupun surat ataupun ayat atau
bahkan satupun huruf dari alqur’an melainkan beliau telah menyampaikannya
kepada umat ini tanpa penambahan, pengurangan, perubahan dan penggantian
sebagai bentuk sifat amanah Beliau dalam risalah ini.
وَ
إِذَا تُتلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِيْنَ لاَ يَرْجُوْنَ
لِقَاءَنَا ائْتِ بِقُرْءَانٍ غَيْرِ هَذَا أَوْ بَدِّلْهُ قُلْ مَا يَكُوْنُ لِى
أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَائِ نَفْسِى إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوْحَى
إِلّيَّ إِنِّى أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّى عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ قُلْ لَوْ
شَـاءَ اللَّهُ مَا تَلَوْتُهُ عَلَيْكُمْ وَ لاَ أَدْرَاكُمْ بِهِ فَقَدْ
لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِنْ قَبْلِهِ أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat
Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami
berkata: datangkanlah alqur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.
Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku
tidaklah mengikut melainkan apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku
takut jika mendurhakai Rabbku kepada siksa hari yang besar (kiamat).
Katakanlah: Jikalau Allah menghendaki niscaya aku tidak akan membacakannya
kepada kalian, dan Allah juga tidak akan memberitahukannya kepada kalian.
Sesungguhnya aku telah tinggal bersama kalian beberapa lama sebelumnya. Maka
apakah kalian tidak memikirkannya ?. [QS. Yunus/10: 15-16].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Katakanlah, tidaklah
patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri)) yaitu bahwasanya tidaklah
pantas bagiku karena suatu keadaan menggantinya dari arah diriku, karena aku
adalah hamba Allah dan utusan-Nya, tidaklah aku mengikut melainkan apa yang
diwahyukan kepadaku”. [11]
وَ
إِذَا لَمْ تَأْتِهِمْ بِأَيَةٍ قَالُوْا لَوْ لاَ اجْتَبَيْتَهَا قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ
مَا يُوْحَى إِلَيَّ مِنْ رَبِّى هَذَا بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ وَ هُدًى وَ
رَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
Dan jika kamu
tidak membawa suatu ayat (dari alqur’an) kepada mereka, mereka berkata, mengapa
tidak kamu buat sendiri ayat itu?. Katakanlah, Sesungguhnya aku hanyalah
mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dari Rabbku. Al-Qur’an ini adalah
bukti-bukti nyata dari Rabb kalian, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman. [Qs. al-A’raf/7: 203].
وَ
لَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوْيْلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِيْنِ
ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِيْنَ فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ
حَاجِزِيْنَ
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan
sebahagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada
tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka
sekali-kali tidak ada seorangpun di antara kalian yang dapat menghalangi (Kami)
dari pemotongan urat nadi tersebut. [QS. al-Haqqah/69: 44-47].
Berdasarkan
kepada bebarapa dalil dan penjelasannya di atas dapatlah dipahami bahwasanya
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana diperintahkan telah dengan
utuh dan sempurna menyampaikan semua risalah Allah tanpa penyimpangan
sedikitpun, sebab Beliau senantiasa mengikut kepada apa yang diwahyukan
kepadanya. Dan seandainya Beliau mengada-adakan perkataan atas nama Allah Jalla
dzikruhu apa yang tidak pernah difirmankan oleh-Nya maka Allah ta’ala telah
mengancamnya dengan memotong urat tali jantungnya. Maka bagaimanakah halnya
jika ini dilakukan oleh orang selain Rosul Shallallahu alaihi wa sallam
terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala?.
Maka jika
ada seseorang mengaku sebagai seorang mukmin tetapi ia menganggap Islam ini
belum sempurna sehingga memerlukan penyempurnaan berupa penambahan,
pengurangan, perubahan ataupun penggantian atau ia menomor duakan bahkan
meninggalkan dan menanggalkan serta menolak berhukum dengan apa yang telah
Allah ta’ala turunkan dan yang Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan
sebagai suatu hujjah yang sempurna, lalu di samping itu ia masih berhukum
kepada hukum-hukum jahiliyah atau kepada selain apa yang telah Allah turunkan,
maka ia bukanlah seorang mukmin dan Allah Jalla wa ‘Ala sangat benci kepadanya.
Dan bahkan jika ada di antara para imam yang tidak berkehendak melaksanakan
hukum dengan apa yang Allah turunkan maka akan ditimpakan kesengsaraan di
antara mereka.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : أَبْغَضُ
النَّـاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلاَثَةٌ مُلْحِدٌ فِى الْحَرَمِ وَ مُبْتَغٍ فِى
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَ مُطَّلِبٌ دَمَ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
لِيُهْرِيْقَ دَمَهُ
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dibenci oleh Allah itu ada tiga,
Orang yang menyimpang (dari kebenaran) di tanah haram, orang yang mencari
sunnah jahiliyyah di dalam islam dan orang yang berlebihan di dalam menuntut
darah seseorang dengan tidak benar agar meneteskan darahnya”. [HR al-Bukhoriy:
6882 lafazh ini baginya dan ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]
Berkata
al-Muhallab dan selainnya, “Yang dimaksud dengan tiga orang itu adalah
bahwasanya mereka adalah ahli maksiat yang paling dibenci oleh Allah, sama
seperti; أكبر الكبـائر (dosa besar yang
paling besar), dan jika tidak maka perbuatan syirik itu adalah yang paling
dibenci oleh Allah daripada seluruh maksiat”. [13]
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ اْلكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِاْلجِبْتِ
وَ الطَّاغُوتِ وَ يَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا سِبْيلًا
Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari alkitab? mereka percaya
kepada jibti dan thaghut dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik
Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
[QS. An-Nisa’/ 4: 51].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu mereka (Ahli kitab) mengutamakan
orang-orang kafir (musyrik Quraisy) atas kaum muslimin karena kebodohan mereka,
sedikitnya (pemahaman) agama mereka dan kekafiran mereka terhadap kitab Allah
yang berada pada tangan mereka”. [14]
Begitu keadaan
ahli kitab dimasa dahulu yang menganggap bahwa kaum musyrikin itu lebih baik
dan lebih terbimbing jalannya dari pada kaum muslimin. Padahal ahli kitab,
mempunyai persamaan dengan kaum muslimin yaitu mereka mempunyai kitab Allah
(taurat) yang dianugrahkan Allah untuk mereka sebagaimana alqur’an diberikan
kepada umat Islam dan agama mereka adalah agama samawi (agama langit)
sebagaimana Islam. Namun karena kebodohan dan kedengkian merekalah yang
menyebabkan mereka mempunyai anggapan bahwa kaum musyrikin itu lebih baik dan
terbimbing jalannya daripada kaum muslimin.
Namun amat
disayangkan pada masa sekarang ini, banyak diantara kaum muslimin yang
beranggapan bahwa keadaan orang-orang kafir Yahudi, Nashrani dan berbagai
kelompok dari kaum musyrikin itu lebih baik dan lebih lurus jalannya daripada
kaum muslimin yang berpegang teguh dengan alqur’an dan sunnah Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam. Mereka memuji-muji dan memuja-muja budaya barat yang
mengusung hak asasi dan kebebasan, dan menghujat hukum Islam yang mereka anggap
memasung kreatifitas manusia. Mereka menyanjung-nyanjung dan menjunjung tinggi
teori-teori orang kafir dan merendahkan ajaran Nabi mereka Shallallahu alaihi
wa sallam yang mulia. Mereka berprinsip, hidup di atas gaya hidup dan budaya
orang barat lebih mulia dan bermartabat daripada mengikuti manhaj Islam yang
kerdil dan tradisionil. Subhanallah amat buruk apa yang mereka pahami.
Sehingga
wajarlah jika mereka beritikad dan berkata bahwa, “selain petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya atau hukum
selainnya lebih baik dari hukumnya”. Hal ini karena mereka masih bodoh
dengan ajaran agamanya sendiri dan bodoh pula dengan kebusukan ajaran
orang-orang kafir. Andaikan mereka mau belajar agama mereka dengan kontinyu dan
cara yang benar dengan memahami alqur’an, hadits-hadits shahih dan atsar para
shahabat dengan pemahaman ulama salaf niscaya mereka akan semakin mencintai,
merapat kepada agama yang mereka anut dan berpegang teguh kepadanya. Juga
jikalau mereka telah mengetahui kedangkalan, keterbatasan dan kejahilan ajaran
kaum barat yang kafir niscaya mereka akan tahu betapa dengki dan dendamnya kaum
barat itu kepada ajaran Islam yang sangat sempurna dan kepada para pembelanya.
Dan mereka juga akan ‘ngeh’ akan kejahatan kaum kuffar terhadap Islam dan para
pemeluknya, hal ini sudah banyak disaksikan akan kejahatan dan kesadisan mereka
yang menjajah dan membantai umat Islam di berbagai negara Islam. Atau telah
terbukti pula akan intimidasi mereka terhadap umat Islam yang minoritas ketika
tinggal di negara mereka yang mayoritas anti terhadap Islam.
Wahai umat
Islam, apakah kalian harus merasakan terlebih dahulu kejahatan dan kesadisan
orang-orang kafir kepada kalian dengan membunuh kalian, anak, istri, kerabat
dan shahabat kalian, baru kalian menyadari akan kebusukan mereka. Atau kalian
menyaksikan istri, anak-anak gadis dan wanita-wanita muslimah kalian diperkosa
dihadapan kalian dengan tanpa ampun, baru kalian tahu betapa bejadnya mereka
itu?. Atau kalian terpaku melihat masjid-masjid yang kalian cintai
diinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang penuh najis, dihancurkan dengan
senjata-senjata berat mereka yang diambil dari ribanya uang-uang yang kalian
simpan di bank-bank mereka sehancur-hancurnya dan rata dengan tanah, baru
kalian menyesali kebodohan kalian akan kejamnya orang-orang kafir terhadap
agama kalian yang mulia?. Dan kebanyakan penyesalan itu datangnya kemudian,
ketika nyawa kalian sudah hampir mendekati tenggorokan.
Maka dari
itu, kita harus tahu dan yakin bahwa semua ajaran dan hukum yang berada diluar
ajaran Islam meskipun dianggap modern dan diproduksi oleh orang-orang yang
dunianya maju dinamakan hukum Jahiliyyah. Begitu pula semua ajaran dan
hukum Islam yang datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam meskipun dianggap kuno, terkebelakang dan ‘sudah nggak relevan’
dinamakan hukum Islamiyyah, dan inilah yang paling baik, benar dan
sempurna.
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًـا لِقَوْمٍ
يُوْقِنُوْنَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin [QS. al-Ma’idah/5: 50].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala mengingkari orang yang keluar
dari hukum Allah yang jelas lagi sempurna, mencakup segala kebaikan, melarang
dari segala keburukan dan berpaling kepada (hukum) selainnya, berupa hukum
(yang terbentuk) dari pendapat-pendapat, hawa-hawa nafsu dan istilah-istilah
yang digubah oleh beberapa tokoh manusia tanpa bersandarkan kepada syariat
Allah. Sebagaimana hukum yang berlaku pada orang-orang jahiliyah yang
menerapkan hukum berdasarkan dari kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan
yaitu sebahagian dari apa-apa yang mereka gubah sesuai dengan pendapat-pendapat
dan hawa-hawa nafsu mereka. Dan sebagaimana juga yang dilakukan oleh bangsa
Tartar di dalam tatanan politik kekuasan mereka yang diambil dari raja mereka
yaitu Jengis Khan yang dibuat oleh el-Yasiq yaitu sebuah rangkaian kitab yang
dikumpulkan dari berbagai syariat dari agama Yahudi, Nashrani, Islam dan
sebagainya. Dan di dalamnya terdapat juga hukum-hukum yang diambil dari
pandangannya semata dan hawa nafsunya, maka jadilah hukum-hukum tersebut
sebagai syariat yang diikuti oleh keturunannya, mereka mengutamakan buku
tersebut melebihi atas kitabullah dan sunnah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka barangsiapa di antara mereka yang berbuat itu, berarti ia telah
kafir yang wajib diperangi, sehingga ia mau kembali kepada hukum Allah dan
Rosul-Nya, lalu ia tidak mau berhukum dengan hukum selainnya itu, sedikit
maupun banyak”. [15]
Berkata
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Tidak diragukan bahwasanya
barangsiapa yang tidak beritikad wajibnya berhukum dengan apa diturunkan oleh
Allah kepada Rosul-Nya maka ia adalah orang kafir. Barangsiapa yang
menghalalkan (membolehkan) berhukum di antara manusia dengan apa yang
dipandangnya adil tanpa mengikuti apa yang diturunkan Allah maka ia adalah
orang kafir. Sesungguhnya tiada suatu umat melainkan menyuruh berhukum secara
adil, dan kadangkala keadilan di dalam agamanya adalah apa yang dipandang para
pembesar mereka. Bahkan mayoritas dari orang yang menisbahkan diri mereka
kepada Islam berhukum dengan adat-adat mereka yang tidak diturunkan oleh Allah,
seperti sawalif (adat tradisi yang diikuti) dari kaum badui dan seolah-olah perintah para
mutho’ (yaitu orang yang ingin ditaati). Dan
mereka memandang bahwasanya inilah yang pantas dijadikan hukum bukan alqur’an dan
Sunnah. Dan pandangan ini merupakan kekufuran. Maka mayoritas dari manusia
telah masuk Islam tetapi mereka tidaklah berhukum melainkan dengan adat-adat
tradisi yang berlaku, yang diperintahkan oleh para mutho’ (yaitu orang yang ingin ditaati). Maka mereka itu jika mengetahui
bahwasanya tidak boleh bagi mereka untuk berhukum kecuali dengan apa yang Allah
turunkan tetapi mereka tidak melazimkan yang demikian itu, bahkan mereka
menghalalkan berhukum dengan sesuatu yang menyelisihi apa yang Allah turunkan
maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. [16]
Berkata
asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat
perintah berhati-hati dari hukum jahiliyah dan memilihnya atas hukum Allah dan
Rosul-Nya. Maka barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut berarti ia telah
berpaling dari hukum yang terbaik yaitu yang hak (kebenaran) menuju kepada
hukum yang batil”. [17]
أَفَغَيْرَ
اللَّهِ أَبْتَغِى حَكَمًا وَ هُوَ الَّذِى أَنْزَلَ إَِلَيْكُمُ الْكِتَابَ
مُفَصَّلاً وَ الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ
مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Maka
patutkah aku mencari hakim selain dari Allah, padahal Dia-lah yang telah
menurunkan kitab (alqur’an) kepada kalian dengan terperinci. Orang-orang yang
telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa alqur’an itu
diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kalian sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu. [QS. al-An’am/6: 114].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Dan ayat ini adalah
bentuk pengajaran bagi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berkata
kepada kaum musyrikin, “Apakah aku akan condong dan merasa cukup kepada
kebatilan kalian? Lalu aku mencari selain Allah sebagai hakim di antaraku dan
di antara kalian. Di dalam sangkaan kalian, aku bukanlah seorang rosul dan
bahwasanya apa yang telah kudatangkan bukanlah wahyu dari Allah?”. Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingkari menjadikan selain Allah ta’ala sebagai hakim, dan
atas dasar apa ia menjadi hakim. Padahal Allah yang telah menurunkan kitab (alqur’an)
kepada mereka secara rinci. Maka ayat manakah yang dapat mengalahkan alqur’an
yang dia itu berjumlah ribuan ayat”. [18]
وَ
مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَ رَسُـوْلُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ مَنْ يَعْصِ اللَّهَ
وَ رَسُـوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مَبِيْنًا
Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila
Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan yang lain tentang urusan mereka tersebut. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rosul-Nya maka sungguh-sungguh ia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata. [Al-Ahzab/33: 36].
Dengan
dasar-dasar ini, tidaklah pantas seorang mukmin itu masih mau mengambil
hukum-hukum jahiliyah yang terbentuk dari pendapat-pendapat dan hawa-hawa nafsu
yang jahil lagi sesat dan menomor-duakan atau bahkan menanggalkan dan
meninggalkan kitabullah dan sunnah Rosulullah yang jelas lagi sempurna menuju
kepada hukum jahiliyah yang batil. Dan tidak patut baginya mengambil dan
menjadikan selain Allah menjadi hakim terhadap perkara yang diperselisihkan,
dan memilih suatu perkara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya kepada
perkara lain yang sesuai dengan logika atau hawa nafsunya. Maka barangsiapa ada
di antara umat ini yang berbuat demikian, berarti ia telah kafir yang wajib
diperangi sampai ia mau kembali kepada keduanya dan meninggalkan selain keduanya,
sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah.
وَيَقُوْلُوْنَ
ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَ بِالرَّسُـوْلِ وَ أَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيْقٌ
مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَ مَا أُوْلَئِكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ وَ إِذَا
دُعُوْا إِلَى اللَّهِ وَ رَسُـوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيْقٌ
مِنْهُمْ مُعْرِضُوْنَ
Dan mereka berkata, Kami telah beriman kepada
Allah dan Rosul, dan kami taat. Kemudian sebahagian dari mereka berpaling
sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan
apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rosul-Nya, agar Rosul menghukum di
antara mereka, tiba-tiba sebahagian dari mereka berpaling (menolak). [QS.
an-Nur/24: 47-48].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Wajib berhukum
kepada alqur’an dan Sunnah, (2) Barangsiapa yang diajak kepada alqur’an dan
Sunnah lalu ia berpaling, maka ia adalah orang munafik yang telah diketahui
kemunafikannya dan (3) Menjadikan undang-undang buatan (manusia) untuk berhukum
kepadanya dengan meninggalkan kitabullah (alqur’an) dan sunnah Rosul-Nya adalah
tanda-tanda kekafiran dan kemunafikan”. [19]
فَلَا
وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِى أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًــا
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya)
tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim (pembuat keputusan)
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. [QS. an-Nisa’4/ 65].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(4) Wajib berhakim
kepada al-Kitab dan Sunnah dan haram berhukum kepada selain keduanya. (5) Wajib
ridlo dengan hukum (keputusan) Allah dan Rosul-Nya serta menerimanya”. [20]
Berkata al-‘Allamah
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Bahwasanya mereka tidaklah beriman
sehingga mereka menjadikanmu hakim (pembuat keputusan) dan sehingga hilang
perasaan berat dari hati mereka dari hukumnya tersebut dan sehingga mereka
menerima hukumnya dengan penerimaan yang sepenuhnya. Inilah hakikat ridlo
dengan hukumnya”. [21]
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُـوْلُ اللهِ صلّى الله
عليه و سلّم فَقَالَ: يَـا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِيْنَ ! خَمْسٌ إِذَا
ابْتُلِيْتُمْ بِهِنَّ وَ أَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوْهُنَّ: (5) وَ مَـا
لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَ يَتَخَيَّرُوْا مِمَّـا أَنْزَلَ
اللهُ إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
Dari Abdullah bin Umar berkata, Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menghadap kami, lalu bersabda, “Wahai golongan
Muhajirin!, ada lima perkara, yang jika kalian diuji dengannya sedangkan aku
berlindung kepada Allah dari perjumpaan kalian dengannya; (5) dan selama para
imam mereka tidak berhukum dengan kitabullah dan memohon kebaikan dari apa-apa
yang telah Allah turunkan, melainkan Allah akan timpakan kesengsaraan di antara
mereka. [HR Ibnu Majah: 4019 dan lafazh ini baginya, Abu Nu’aim dan al-Hakim.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [22]
Berkata
asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah, “Wajib bagi kaum muslimin
untuk mengabaikan undang-undang asing dari negara-negara mereka seperti
undang-undang Perancis, Inggris dan selainnya yang menyelisihi hukum Islam.
Tidak berlindung kepada mahkamah (lembaga hukum) yang berhukum dengan
undang-undang yang menyelisihi Islam. Dan agar mereka berhukum kepada Islam di
sisi orang-orang tsiqot (terpercaya) dari ahli Ilmu, itu adalah lebih baik bagi
mereka. Karena Islam itu akan memberi kesadaran kepada mereka, berlaku adil di
antara mereka dan sangat efisien di dalam pemakaian harta dan waktu atas mereka,
yang senantiasa disia-siakan oleh mahkamah (lembaga hukum) negeri, yang tiada
manfaatnya untuk disebutkan. Tetapi hanya akan menyeret kepada adzab yang besar
pada hari kiamat, karena ia telah berpaling dari hukum Allah yang adil dan
berlindung kepada hukum makhluk yang zholim”. [23]
أَلَـمْ
تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى
الطَّاغُوْتِ وَ قَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ وَ يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيْدًا وَ إِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا
أَنْزَلَ اللَّهُ وَ إِلَى الرَّسُـوْلِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ
عَنْكَ صُدُوْدًا
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya beriman kepada apa yang telah Allah turunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelummu?. Mereka hendak berhakim kepada thoghut,
padahal mereka telah diperintah untuk mengkufurinya. Dan setan itu bermaksud
menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. [QS. an-Nisa’/4:
60-61].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ini adalah merupakan bentuk pengingkaran
dari Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengaku-ngaku beriman kepada apa yang
Allah turunkan kepada Rosul-Nya (alqur’an) dan kepada para nabi terdahulu,
sedangkan ia di samping itu ingin untuk berhukum di dalam pokok perselisihan kepada
selain kitabullah (alqur’an) dan sunnah Rosul-Nya (al-Hadits)”. [24]
Berkata
asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Dan demikianlah, barangsiapa
yang menyeru bertahkim (berhukum) kepada selain Allah dan Rosul-Nya maka
sungguh-sungguh ia telah meninggalkan apa yang telah dibawa oleh Rosul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, benci kepadanya, menjadikan sekutu bagi Allah di dalam
ketaatan (syirk ath-Tho’ah) dan menyelisihi apa yang telah didatangkan
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada apa yang diperintahkan Allah
ta’ala kepadanya di dalam firman-Nya, ((Dan putuskan perkara olehmu di antara
mereka sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau ikuti hawa
nafsu mereka. Dan berhati-hatilah dirimu terhadap mereka agar mereka tidak
memalingkanmu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. …Dan
seterusnya ayat. QS. al-Ma’idah/5: 49)) dan firman-Nya ta’ala, ((Maka demi
Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman sehingga mereka menjadikanmu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. QS. an-Nisa’/4: 65)). Maka barangsiapa yang
menyelisihi apa yang diperintahkan Allah dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berupa menetapkan hukum di antara mereka dengan selain apa yang telah
diturunkan Allah atau menuntut yang demikian itu lantaran mengikuti apa yang
diselerakan dan diinginkannya maka sungguh-sungguh ia telah menanggalkan ikatan
Islam dan Iman dari lehernya. Kendatipun ia menyangka bahwasanya ia beriman.
Karena sesungguhnya Allah ta’ala telah mengingkari orang yang menghendaki yang
demikian itu dan mendustakan mereka di dalam sangkaan iman mereka karena
kandungan firman-Nya, ((mereka menyangka)) dari meniadakan iman mereka. Maka
perkataan ((mereka menyangka)) hanyalah diucapkan kebanyakan bagi orang yang
menyangka suatu sangkaan dalam keadaan dusta sebab menyelisihi ketetapannya dan
amalnya dengan sesuatu yang meniadakannya. Mewujudkan keterangan ini
firman-Nya, ((Padahal mereka sungguh-sungguh telah diperintahkan untuk
mengkufurinya)). Karena kufur kepada thoghut merupakan rukun iman.
Sebagaimana di dalam ayat al-Baqarah, jika ia tidak memperoleh rukun ini maka
ia bukan muwahhid (orang yang bertauhid) dan tauhid itu merupaka asas (pondasi)
iman yang akan menjadi shalih (baik) seluruh amal dengannya dan akan menjadi
rusak tanpanya. Sebagaimana telah jelas yang demikian itu di dalam firman-Nya
ta’ala, ((Maka barangsiapa yang kufur kepada thoghut dan beriman kepada Allah,
maka sungguh-sungguh ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. QS. al-Baqarah/2: 256)). Dan hal itu berarti bahwa berhukum
kepada thoghut itu merupakan bentuk iman kepadanya”. [25]
Berkata
asy-Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah rahimahullah, “Dan ucapan ((Dan setan bermaksud
untuk menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya)), yaitu
keinginan berhukum kepada selain kitab Allah dan sunnah Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah termasuk mentaati setan, sedangkan ia (setan itu) senantiasa
mengajak golongannya agar termasuk penghuni neraka sa’ir. Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwasanya meninggalkan berhukum kepada
thoghut yaitu sesuatu selain dari Kitab (alqur’an) dan Sunnah adalah
termasuk dari perkara wajib dan sesungguhnya berhukum kepadanya adalah
bukan seorang mukmin dan bahkan bukan pula seorang muslim”. [26]
Berkata
al-‘Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Ayat ini merupakan dalil
bahwasanya orang yang di ajak untuk berhukum kepada al-Kitab (alqur’an) dan
Sunnah lalu ia enggan (tidak mau) maka ia termasuk golongan orang-orang munafik”.
[27]
Berkata
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Di dalam beberapa ayat ini
terdapat beberapa macam pelajaran dari bukti atas kesesatan orang yang berhukum
kepada selain al-kitab (alqur’an) dan Sunnah, dan juga atas kemunafikannya.
Walaupun ia menyangka bahwasanya ia ingin menyesuaikan antara dalil syar’iy dan
sesuatu yang di sebut dengan aqliyah (logika) dari perkara-perkara yang di
ambil dari sebahagian thoghut dari golongan kaum musyrikin, ahli kitab dan
selain itu dari beberapa macam pengambilan pelajaran”. [28]
Dengan dalil
ayat dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa siapapun yang menganggap
dirinya beriman kepada alqur’an (dan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam) namun disamping itu ia masih berkeinginan untuk mengambil hukum kepada
thaghut yakni segala sesembahan yang disembah selain Allah ta’ala berupa
hukum-hukum kaum kafirin dari Inggris, Perancis, Belanda, Amerika, Australia
dan selainnya. Maka keimanannya itu patut diragukan dan dipertanyakan, dan
boleh jadi ia telah menanggalkan ikatan Islamnya dari lehernya dan memasang
belenggu kekafiran padanya dengan belitan yang sangat kuat.
Berkenaan
dengan masalah ini, asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah menjelaskan
keadaan-keadaan yang apabila dilakukan oleh seorang hakim, akan menyebabkannya
masuk di dalam kekufuran yang mengeluarkannya dari agama, yaitu;
1. Apabila Hakim yang berhukum kepada
selain apa yang diturunkan oleh Allah mengingkari kebenaran hukum Allah dan
Rosul-Nya. Inilah makna apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan yang dipilih oleh
Ibnu Jarir. Pengingkaran terhadap apa yang diturunkan Allah dari segi hukum
syar’iy
tiada perdebatan padanya di antara ahli ilmu, maka sesungguhnya pokok-pokok
tersebut telah diakui lagi disepakati di antara mereka. Yaitu bahwasanya
barangsiapa yang mengingkari satu pokok dari pokok-pokok agama (ushul) atau
salah satu cabang (furu’), atau
mengingkari satu huruf dari apa yang telah didatangkan oleh Rosul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hal tersebut telah disepakati secara pasti bahwasanya ia adalah orang
kafir dengan kekufuran yang keluar dari millah (agama).
2. Jika Hakim yang berhukum dengan selain
apa yang diturunkan Allah tersebut tidak mengingkari kebenaran hukum Allah dan
Rosul-Nya, tetapi ia beritikad (berkeyakinan) bahwasanya hukum selain Rosul Shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih baik dari hukumnya, lebih sempurna dan lebih utuh bagi
sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia dan apa yang diperbaharui bagi mereka dari
beberapa peristiwa yang muncul dari perkembangan zaman dan perubahan kondisi.
Maka hal ini juga tidak diragukan lagi di dalam kekafirannya lantaran
mengutamakan hukum-hukum makhluk yang merupakan ingatan yang cupet dan pikiran
yang kotor atas hukumnya yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya
tidak ada satupun persoalan yang terjadi pada kehidupan melainkan ketentuan
hukumnya sudah ditetapkan di dalam alqur’an dan Sunnah Rosul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam berupa nash, atau sesuatu yang lahir (nampak) atau
kesimpulan. Maka mengetahui orang yang mengetahui dan tidak mengetahui orang
yang tidak mengetahui.
3. Kendatipun ia tidak beritikad keadaan
hukum (selain apa yang diturunkan Allah) itu lebih baik dari hukum Allah dan
Rosul-Nya, tetapi ia beritikad bahwasanya hukum tersebut sama (dengan hukum
Allah dan Rosul-Nya). Maka hal ini juga sama seperti dua macam yang sebelumnya
yaitu kafir dengan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, lantaran ia di dalam
hal ini mempersamakan makhluk dengan al-Kholik (Allah).
4. Barangsiapa yang beritikad bolehnya
berhukum dengan apa yang menyelisihi hukum Allah dan Rosul-Nya, maka ia sama
seperti yang sebelumnya (yaitu kafir dengan kekufuran yang mengeluarkan dari
agama).
5. Termasuk dari yang paling besar dan
yang paling nyata penentangannya terhadap syariat, kesombongannya terhadap
hukum-hukum-Nya dan penyelisihannya terhadap Allah dan Rosul-Nya adalah
mengadakan lembaga-lembaga hukum buatan yang rujukannya berupa undang-undang
buatan (manusia), seperti undang-undang Perancis, Amerika, Inggris atau
selainnya dari madzhab (buah pikiran) orang-orang kafir. Maka kekufuran manakah
yang melebihi kekufuran ini?. Pembatalan syahadat bahwasanya Muhammad itu
utusan Allah manakah setelah pembatalan ini?.
6. Apa yang ditetapkan oleh kebanyakan
dari para pemimpin keluarga dan kabilah dari penduduk desa dan yang semisalnya
berupa hikayat-hikayat orang-orang tua dan leluhur mereka serta adat tradisi
mereka yang mereka namakan ‘salum’ (orang suci). Lalu mereka saling
mewariskan hal tersebut dari antara mereka dan berhukum dengannya lantaran
kebencian dan berpaling dari hukum Allah”. [29]
Adapun
kekufuran yang tidak mengeluarkan dari millah (agama) adalah yang telah datang
dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma yaitu “kufrun duna kufrin”
(kekufuran yang bukan kekufuran, maksudnya kekufuran yang tidak mengeluarkannya
dari agama) dan ucapannya juga, “bukanlah dengan kekufuran yang kalian
maksudkan”. Hal tersebut misalnya; seseorang yang dikuasai oleh syahwat dan
hawa nafsunya untuk berhukum di dalam suatu keputusan dengan selain apa yang
Allah turunkan dengan disertai keyakinannya bahwasanya hukum Allah dan
Rosul-Nya adalah yang benar, dan ia mengakui dirinya keliru dan jauh dari
petunjuk. Hal ini, kendatipun kekufuran ini tidak mengeluarkannya dari agama,
maka sesungguhnya perbuatan ini merupakan kemaksiatan yang terbesar, yang lebih
besar dari “kaba’ir” (dosa-dosa besar) seperti zina, minum khomer,
mencuri dan selainnya. Sebab sesungguhnya kemaksiatan yang dinamakan Allah
dengan kekufuran di dalam kitab-Nya itu lebih (besar dosanya) dari pada
kemaksiatan yang tidak dinamakan kekufuran oleh Allah. [30]
Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ اْلكَافِرُوْنَ
وَ مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
Dan barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. [QS.
al-Ma’idah/5: 44].
Dan barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang zholim. [QS.
al-Ma’idah/5: 45].
Dan barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang fasik. [QS.
al-Ma’idah/5: 47].
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu
‘anhuma, “Barangsiapa yang mengingkari berhukum dengan apa yang Allah turunkan
maka sungguh-sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengakuinya
(berhukum dengan apa yang Allah turunkan) tetapi ia tidak berhukum dengannya
maka ia zholim lagi fasik”.[31] Demikian
pula yang dikatakan ‘Ikrimah. [32]
Berkata Ibnu
‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, “Bukanlah dengan kekufuran yang kalian maksudkan,
dan sesungguhnya ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama tetapi di
bawah kekufuran tersebut”.[33] Begitu
pula yang dikatakan oleh Thowus.[34]
Berkata Ibnu
‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, tentang firman Allah ((Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan ….QS.
al-Ma’idah/5: 44)), ia berkata, “Ini merupakan bentuk kekufuran kepadanya”.
Berkata Ibnu Thowus, “Dan (kekufuran tersebut) bukanlah seperti kekufuran
kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rosul-Nya”. [35]
Berkata
‘Atho’ bin Abi Ribah, “Kufrun duna kufrin, zhulmun duna zhulmin dan fisqun duna
fisqin”. (Maksudnya kekufuran yang bukan lazimnya kekufuran yang mengeluarkan
dari agama, kezholiman yang bukan lazimnya kezholiman dan kefasikan yang bukan
lazimnya kefasikan). [36]
Berkata
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Dan yang shahih (benar) bahwasanya
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah itu mengandung dua
kekufuran, yaitu kecil dan besar dengan ukuran keadaan orang yang berhukum
tersebut. Jika ia beritikad wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah
pada peristiwa ini dan ia menyimpang darinya lantaran perbuatan maksiat
disertai pengakuannya bahwasanya ia akan mendapatkan hukuman, maka ini adalah kufur
ashghor (kufur kecil). Lalu jika ia beritikad bahwasanya hal tersebut
(yaitu berhukum dengan apa yang Allah turunkan) adalah tidak wajib, tetapi
hanyalah suatu alternatif (pilihan), disertai keyakinannya bahwasanya itu
adalah hukum Allah maka ini adalah kufur akbar (kufur besar). Dan jika
ia tidak mengetahuinya dan keliru, maka orang tersebut adalah keliru, baginya
dihukumi sebagai orang-orang yang keliru.[37] Dan
senada dengannya, telah berkata al-‘Allamah Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafiy di dalam
kitabnya”.[38]
Maka
dengan dasar penjelasa di atas, kita tidak boleh memudah-mudahkan diri di dalam
menghukumi umat Islam dengan kekafiran jika ia tidak melaksanakan hukum Allah
ta’ala. Namun kita juga mesti melihat gelagat dan itikad mereka di dalam menyikapi
hukum-hukum Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Misalnya,
kita jumpai para pemimpin negara ini, mereka tidak melaksanakan dan menerapkan
hukum Allah ta’ala dan bahkan seakan-akan tidak peduli kepadanya. Maka kita
tidak boleh tergesa-gesa menuduh mereka kafir keluar dari Islam, yang kita
wajib memerangi mereka dan menghalalkan darah mereka atau memberontak dari
kekuasaan mereka. Sebagaimana kaum khowarij yang gemar mengkafir-kafirkan
orang-orang tidak sepaham dan tidak sekelompok dengan mereka atau juga
mengkafir-kafirkan orang-orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa besar. Mereka
menghalalkan darah, harta dan kehormatan selain mereka dengan atas nama amar
ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Jatuhlah mereka ke dalam sikap ifrath
yakni sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam agama. Ini adalah
sikap yang sangat tercela, yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam banyak
perbuatan dosa besar, semisal mengkafir-kafirkan orang yang masih memiliki
keimanan, merampas harta umat Islam yang diharamkan untuk mengambilnya, merusak
kehormatan dan kemuliaan muslim yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan
Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk menjaganya, membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah ta’ala untuk membunuhnya, memberontak kepada pemerintah
yang seharusnya untuk ditaati dalam perkara-perkara ma’ruf, berbuat anarkis dan
kerusakan di muka bumi setelah Allah ta’ala memperbaikinya dan lain sebagainya.
Namun
kita juga tidak boleh bersikap tafrith, yakni meremehkan perbuatan orang-orang
yang berhukum kepada selain hukum Islam. Yaitu kita menganggap perbuatan
orang-orang yang menolak hukum Islam dan memuliakan hukum kaum kuffar sebagai
bentuk kebebasan dan hal biasa. Karena hal ini juga dapat menjerumuskan kita
kepada beberapa dosa besar, semisal meridloi hukum selain hukum Allah dan
Rosul-Nya, tidak mau beramar ma’ruf dan nahi munkar, menjadi penyebab
tersebarnya berbagai kemaksiatan kepada Allah ta’ala dan sebagainya.
Tetapi
hendaklah kita bersikap sebagaimana diperintahkan oleh Islam, yakni berusaha
menolak, mengingkari, membenci dan menyelisihi berbagai ajaran dan hukum yang
menyelisihi alqur’an dan hadits-hadits shahih. Namun kita tidak boleh
mengkafir-kafirkan pelakunya, menyatakan ia telah keluar dari Islam dan halal
darah, harta dan kehormatannya sampai orang itu meyakini dan beritikad bahwa selain
petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuknya
atau hukum selainnya lebih baik dari hukumnya. Maka kita boleh menganggapnya
kafir seukuran dengan keyakinan dan itikadnya itu dengan batas-batas yang telah
ditentukan, apalagi jika ada fatwa ulama yang memang kompeten dalam bidangnya
yang memfatwakan seperti itu.
Oleh
sebab itu, wahai saudara-saudara seagama dan seiman, marilah kita mempelajari
agama kita secara kontinyu dan berkesinambungan dari para ustadz yang memang
ahli dalam bidangnya dengan dasar alqur’an dan hadits-hadits shahih dengan
pemahaman ulama salaf. Agar kita dapat memahami agama yang kita anut dengan
benar lagi shahih, sehingga kita akan beritikad bahwa apa yang dibawa Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dari akidah, ibadah, akhlak, hukum dan selainnya
dari ajaran Islam adalah yang paling sempurna, paling baik dan paling layak
dijadikan pedoman hidup. Adapun hukum selainnya, kendatipun dianggap modern dan
keren maka hukum itu tidaklah bernilai dan juga tidak berbobot sedikitpun jika
dibandingkan dengan hukum Islam. Bobrok, rusak, nyleneh dan tidak universal
berbagai ajarannya jika dipandang dari berbagai sudut sehingga pantas untuk
ditinggalkan, ditanggalkan bahkan dilupakan dari kehidupan manusia, karena
keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya dan bahkan tidak ada kebaikannya
sama sekali. Wallahu a’lam bi ash-Showab.
[1]
al-Jami’
ash-Shahih: III/ 11, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: VI/ 153-154,
Mukhtashor Shahih Muslim: 410, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1487, Shahih Sunan Ibnu
Majah: 43, Irwa’ al-Ghalil: 608, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1353 dan Zad
al-Ma’ad: I/ 186, 426.
[2] Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 18.
[3]
Peristiwa
ayat ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 45, 4407, 4606, 7268, Muslim: 3017, dan
at-Turmudziy: 3043, 3044, dari Thoriq bin Syihab, dari Umar bin al-Khoththob
bahwasanya seorang Yahudi pernah berkata kepadanya, “Wahai Amir al-Mukminin,
ada satu ayat di dalam kitab kalian yang kalian baca, andaikata ayat itu turun
atas kami, maka niscaya kami akan menjadikan hari tersebut menjadi hari raya”.
Umar berkata, “Ayat yang mana?”. Ia berkata, “((Pada hari ini, Aku telah
sempurnakan untuk kalian agama kalian, ...al-ayat))”. Umar berkata, “Sungguh-sungguh
kami mengetahui hari dan tempat yang ayat tersebut turun padanya atas Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu Beliau berdiri di Arafah pada hari Jum’at. Lihat Fath
al-Bariy: I/ 1105, VIII/ 108, 270, XIII/ 245, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/
17 hadits nomor 35, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 239, Shahih Muslim bi Syar-h
an-Nawawiy: XVIII/ 153, Mukhtashor Shahih Muslim: 2135, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2437, 2438 dan Tuhfah al-Ahwadziy: VIII/ 344-345.
[4] Aysar
at-Tafasir: I/ 591-592.
[5] Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1803.
[6]
Aysar at-Tafasir: I/ 298.
[7]
Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 435.
[8] Aysar
at-Tafasir: I/ 342.
[9]
al-Jami’
ash-Shahih: IV/ 41, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: VIII/ 184, Mukhtashor
Shahih Muslim: 707, Shahih Sunan Abu Dawud: 1676, Irwa’ al-Ghalil: 1017 (IV/
206) dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2068.
[10] Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 96.
[11]
Aysar
at-Tafasir: II/ 456-466.
[12]
Fat-h
al-Bariy: XII/ 210, Silsilah al-Ahadits as-Shahihah: 778, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 40 dan Misykah al-Mashobih: 142.
[13]
Fat-h
al-Bariy: XII/ 210.
[14]
Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 635.
[15]
Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 84-85.
[16]
Majmu`ah
at-Tauhid halaman 362 dan al-Wala` wa al-Baro`
fii al-Islam halaman 69.
[17]
Fat-h
al-Majid halaman 477.
[18] Aysar
at-Tafasir: II/ 108-109.
[19] Aysar
at-Tafasir: III/ 582.
[20] Aysar
at-Tafasir: I/ 503.
[21] Madarij
as-Salikin: II/ 201.
[22]
Shahih
Ibnu Majah: 3246, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7978 dan Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 106.
[23]
Majmu`ah
Rosa`il at-Tawjihat al-Islamiyyah halaman187.
[24]
Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: I/ 642.
[25] Fat-h
al-Majid halaman 473.
[26]
Taysir
al-`Aziz al-Hamid halaman 494.
[27]
Fat-h
al-Majid halaman 474 dan Taysir al-`Aziz al-Hamid halaman 494.
[28]
Majmu’ Fatawa: III/ 37.
[29]
al-Wala’
wa al-Bara’ fi al-Islam halaman 81-82.
[30]
al-Wala’
wa al-Bara’ fi al-Islam halaman 82.
[31]
Fat-h
al-Qodir: II/ 53 dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77.
[32]
Tafsir
al-Baghowiy: II/ 41.
[33]
al-Iman
halaman 309, Fat-h al-Qodir: II/ 53 dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77.
[34]
Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 59 dan
al-Iman halaman 310.
[35]
Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77, Fat-h al-Qodir: II/ 40-41, Madarij as-Salikin: I/
364-365, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 58-59 dan al-Iman halaman
310, dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih.
[36]
Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 77, Fat-h al-Qodir: II/ 53, Tafsiir al-Baghowiy: II/
41, Madarij as-Salikin: I/ 365, al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 59 dan
al-Iman halaman 310.
[37]
Madarij
as-Salikin: I/ 365.
[38]
Syar-h
al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah halaman 323-324.