HINDARI PERMUSUHAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Tidak diragukan
lagi, ghibah tidak akan mendatangkan kebaikan sekecil apapun meskipun dengan niat yang baik. Sebab
keburukan itu tidak akan menghasilkan apapun kecuali keburukan pula.
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’udradliyallahu anhu kepada para
ahli bid’ah [1]
yang berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdurrahman, [2] demi Allah kami tidaklah
menghendaki (dengan perbuatan ini) kecuali hanya untuk kebaikan”. Lalu Beliau radliyallahu anhu berkata dengan
perkataannya yang telah masyhur,
وَ كَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ
Kaitannya dengan hal ini, banyak di antara para pengghibah atau
para pemburu berita keburukan
(misalnya, wartawan) yang mengungkap dan
menyebarkan berita-berita miring atau keburukan seseorang itu berdalih bahwa
semuanya itu dilakukan untuk kebaikan dan mashlahat semua orang. Padahal semua
perbuatan mereka itu nyata-nyata telah dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shalllallahu alaihi wa sallam sebagai panutan yang terbaik bagi
mereka. Oleh sebab itu akibat yang dihasilnyapun berupa keburukan pula bahkan
lebih buruk lagi.
Di antara
keburukan yang dapat ditimbulkan oleh ghibah adalah adanya permusuhan,
kebencian, dendam, pemutusan silaturrahmi, hilangnya rasa kasih sayang di
antara mereka dan selainnya.
Meskipun timbulnya perselisihan
dan permusuhan itu penyebabnya tidak hanya dari ghibah. Banyak penyebab
terjadinya permusuhan, misalnya; sifat sombong dan gemar merendahkan/ mencela
orang lain, menawar dagangan yang sedang ditawar orang lain, meminang pinangan
yang sedang dipinang orang lain, hajr (boikot), dan lain sebagainya. Tetapi larangan-larangan
Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu dapat mengakibatkan
larangan lainnya yaitu berupa perselisihan dan permusuhan. Padahal
dalil-dalil tentang larangan saling bermusuhan banyak sekali di antaranya;
عن
أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ تَحَسَّسُوْا
وَ لاَ تَجَسَّسُوْا وَ لاَ تَنَافَسُوْا
وَ لاَ تَحَاسَدُوْا وَ لاَ تَبَاغَضُوْا
وَ لاَ تَدَابَرُوْا وَ كُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
bertahassus, jangan bertajassus, jangan saling bersaing, jangan saling dengki,
jangan saling membenci, jangan saling bermusuhan dan jadilah kalian sebagai
hamba-hamba Allah yang bersaudara. [HR. Muslim: 2653, al-Bukhoriy: 6064 dan Abu Dawud: 4917. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih]. [4]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Boikot (hajr)
diantara kaum muslimin yang dapat membawa kepada saling permusuhan dan
saling memutuskan silaturahmi adalah
haram. Sebab kaum muslimin itu dijadikan oleh Allah untuk bersaudara. Dan
saudara itu saling mencintai di antara mereka, tidak saling membenci”. [5]
Katanya lagi, [6]
“Larangan terhadap
kaum muslimin dari saling membenci di antara mereka bukan karena Allah ta’ala
bahkan karena hawa nafsunya. Sebab kaum muslimin itu telah dijadikan oleh Allah
menjadi bersaudara. Sedangkan saudara itu saling mencintai di antara mereka
tidak saling membenci”.
Allah
Azza wa Jalla telah mengharamkan kaum mukminin akan sesuatu
yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian, sebagaimana
firman Allah ta’ala,
إِنَّـمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ اْلعَدَاوَةَ وَ اْلبَغْضَاءَ فِى اْلخَمْرِ
وَ اْلمـَيْسِرِ وَ يَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللهِ وَ عَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ
أَنتُم مُّنتَهُون
Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khomer dan berjudi, dan
menghalangi kalian dari mengingat Allah dan sholat; maka berhentilah kalian
(dari mengerjakan pekerjaan itu). [QS. Al-Maidah/5: 91].
Dan
Allah juga telah menganugrahkan kepada para hamba-Nya berupa ta’lif (pertautan
atau kerukunan) di antara hati mereka. Sebagaimana
Allah ta’ala telah berfirman,
وَ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan ingatlah akan
nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (di masa jahiliyah) saling
bermusuhan, lalu Allah mempertautkan hati kalian, maka jadilah kalian karena
nikmat Allah, menjadi orang-orang yang bersaudara. [QS. Ali Imran/3: 103].
هُوَ الَّذِى أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَ
بِاْلمـُؤْمِنِينَ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِى
اْلأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَ لَكِـــنَّ اللهَ
أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dialah yang
memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan kaum mukminin, dan yang
mempertautkan hati mereka (orang-orang yang beriman) walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempertautkan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempertautkan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. [QS. Al-Anfal/8: 62-63].
Inilah
makna diharamkannya berjalan menghamburkan namimah karena di dalamnya akan
mengakibatkan permusuhan dan kebencian. Allah telah memberi rukhsah
(keringanan) pada dusta dalam hal memperbaiki hubungan antar manusia [7]
dan Allah memberikan dorongan di dalamnya. Sebagaimana Allah ta’ala telah
berfirman,
لَا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن
نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ
النَّاسِ وَ مَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian karena
mencari keridhoan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.
[QS. An-Nisa’/4: 114].
وَ إِن طَائِفَتَانِ مِنَ اْلمـُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
Dan kalau ada dua
golongan dari orang-orang beriman itu berperang hendaklah kalian damaikan
antara keduanya. [QS. Al-Hujurat/49: 9].
فَاتَّقُوا اللهَ وَ أَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
Bertakwalah kepada
Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian. [QS. Al-Anfal/8: 1].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah,
“Terdapat larangan
dari saling bermusuhan, sama saja apakah secara phisik ataukah hati.
Permusuhan secara phisik adalah seseorang
membalikkan punggungnya atas punggung saudaranya. Sebab ini merupakan adab yang
buruk, menunjukkan atas ketidak peduliannya terhadap saudaranya tersebut,
meremehkannya dan membawa kepada kebencian.
Permusuhan secara hati adalah masing-masing dari
kita menghadap ke arah yang lain, yaitu yang ini menghadap ke arah kanan dan
yang itu menghadap ke arah kiri.
Berdasarkan atas ini maka,
Wajibnya berhimpun atas satu kalimat sesuai
dengan kemampuan lalu berusaha mendekatkan jurang pemisah di antara kita
sehingga kita berada di atas tujuan, manhaj dan jalan yang satu. Jika tidak,
maka hal itu akan menghasilkan permusuhan.
Perhatikan sekarang ini, beberapa partai yang
terdapat pada umat ini, bagaimana mereka dapat saling bermusuhan sekarang ini.
Masing-masing satu dari mereka ingin menjatuhkan yang lainnya ke dalam
perangkap keburukan, lantaran mereka saling bermusuhan.
Maka dari sebab itu, saling bermusuhan itu haram,
terlebih-lebih permusuhan di dalam hati
karena akan mengakibatkan kerusakan. [8]
Berdasarkan dalil hadits dan penjelasannya di
atas dapatlah dipahami bahwasanya permusuhan atau saling bermusuhan di antara
kaum muslimin adalah diharamkan. Oleh sebab itu, khomer dan judi yang telah
dijadikan oleh setan sebagai sarana yang dapat menyebabkan timbulnya permusuhan
itupun diharamkan pula. Begitu pula setiap sarana yang dipergunakan oleh setan
untuk memecah belah dan mencerai-beraikan umat Islam, semisal perdebatan,
ghibah, buhtan (fitnah) dan selainnya diharamkan pula.
Setan tak pernah kenal lelah dan selalu giat
menyusun strategi di dalam menyesatkan dan menjerumuskan manusia ke dalam api
neraka. Ia bahkan mengirim pasukannya ke berbagai penjuru dunia untuk menggoda
mereka sehingga terjatuh ke dalam perpecahan dan permusuhan. Sehingga ketika
manusia sudah berpecah belah dan saling bermusuhan, setan dengan bantuan
pasukannya dari golongan manusia yang kafir akan lebih mudah menggelincirkan
mereka ke dalam kesesatan dan akan lebih gampang pula mencampakkan mereka ke
dalam kebinasaan di dalam neraka Jahannam.
عن
جابر قَالَ: َسمِعْتُ النَّبِيِّ
صلى الله عليه و سلم
يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ اْلمُصَلُّوْنَ فىِ
جَزِيْرَةِ اْلعَرَبِ وَ لَكِنْ فىِ التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan telah berputus asa dari
disembah oleh orang-orang yang sholat di Jazirah Arab, tetapi di dalam
permusuhan di antara mereka”. [HR
Muslim: 2812, at-Turmudziy: 1937, Ahmad: III/ 313, 354, 366 dan
Abu Ya’la. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan itu mempunyai
cara beraneka yang dipergunakan untuk melawan kaum muslimin, dalam upaya
memecah belas persatuan mereka dan mencerai beraikan himpunan mereka”. [10]
وَ أَطِيعُوا اللهَ
وَ رَسُولَهُ وَ لَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَ تَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَ اصْبِرُوا
إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada
Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar. [QS. al-Anfal/8: 46].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan tentang beberapa penyebab
memperoleh kemenangan dan amalannya serta keharusan berpegang dengannya di setiap pertempuran, yaitu; teguh, ingat kepada Allah ta’ala, mentaati Allah
dan rosul-Nya, mematuhi pimpinan, meninggalkan perbantahan dan perselisihan,
sabar dan ikhlas”. [11]
Berbantah-bantahan
dan perselisihan adalah perilaku yang menyebabkan tercerai berainya persatuan
dan kesatuan kaum muslimin lalu lemah dan hilanglah kekuatan mereka di dalam
menghadapi musuh-musuh mereka. Seperti seikat sapu lidi yang putus atau lepas
ikatannya, lalu menjadi tercerai berai. Maka setiap batang dari lidi tersebut
tidak dapat dipergunakan untuk menyapu dan membersihkan kotoran atau sampah
kecuali jika dipersatukan kembali dengan satu ikatan.
Jadi
politik memecah-belah dan mencerai berai melalui perbantahan dan perselisihan
tersebut adalah cara dan taktik yang paling jitu yang dipergunakan oleh
orang-orang kafir di dalam upaya untuk mengalahkan kaum muslimin dan
memurtadkan mereka.
Perpecahan dan saling bermusuhan itu juga
dijadikan strategi paling ampuh dan tangguh yang dipergunakan oleh Iblis la’anahullah
di dalam menguasai dan menghancurkan umat ini. Ketika ia telah berputus asa
untuk disembah oleh orang-orang yang menunaikan sholat maka ia masih mempunyai
ambisi untuk menggelincirkan mereka ke dalam kesesatan melalui perpecahan dan
permusuhan diantara mereka. Bahkan ketika pasukan penggoda manusia yang
dikirimnya itu ada yang mampu memisahkan antara seseorang dengan istrinya,
Iblis sangat senang dan salut kepadanya dan bahkan mendekatkan kedudukan
pasukannya tersebut kepadanya, sebagai tanda ia memuliakannya.
عن
جابر قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ
عَلىَ اْلمـَاءِ
ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ يَفْتِنُوْنَ
النَّاسَ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً َيجِيْءُ
أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ : فَعَلْتُ كَذَا وَ كَذَا فَيَقُوْلُ:
مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ: ثُمَّ
َيجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتىَّ فَرَّقْتُ بَيْنَهُ
وَ بَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ: فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَ يَقُوْلُ: نَعَمْ أَنْتَ
(قَالَ اْلأَعْمَشُ: أَرَاهُ قَالَ:) فَيَلْتَزِمُهُ
Dari
Jabir berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Iblis meletakkan arsynya di atas
air, lalu mengirim pasukannya untuk menggoda manusia. Yang paling dekat
kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar dari mereka godaannya. Di
antara pasukannya ada yang berkata, “Aku telah berbuat ini dan itu”. Iblis berkata, “Engkau tidak
melakukan sesuatu apapun”. Berkata (Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam), “Datang lagi yang
lain lalu berkata, “Aku tidak meninggalkan seseorang sehingga aku
berhasil memisahkannya dengan istrinya”. Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Maka iblis mendekatkannya kepadanya lalu berkata, “Ya, kamulah orangnya”. (Berkata al-A’masy, “Aku menduga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata,) “Kemudian ia
memeluknya”. [HR Muslim: 2813 dan
Ahmad: III/ 314. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ]. [12]
Perpecahan dan
berpisahnya seseorang dengan istrinya adakalanya dengan sikap istri yang suka
memudah-mudahkan mengghibah suaminya kepada orang lain, tidak bersyukur atau
bahkan mencela pemberiannya, kurang menaruh rasa hormat kepadanya dan
sebagainya. Atau sikap suami yang mudah emosi kepada istrinya, kurang peduli
terhadap kebutuhannya, suka mencacinya di depan orang lain dan sebagainya. Lalu
setan mengadu domba keduanya sehingga mereka selalu dalam pertikaian dan
permusuhan kemudian dalam benak mereka terlintas: tidak ada satupun jalan keluar dari kemelut ini
kecuali harus berpisah. Na’uudzu billah min dzalik.
Padahal, jika
setiap mereka mau menengok dan melihat ajaran agama mereka, niscaya mereka akan
jumpai bahwa yang menyebabkan mereka berselisih, bertikai, bermusuhan dan pada
akhirnya mengambil jalan perpisahan adalah Iblis atau setan ini. Maka tak ada cara dan jalan untuk keluar dari
kemelut tersebut selain mengingkari atau tidak memperdulikan bujukan dan godaan
setan tersebut. Hal tersebut dengan cara
menghindar dan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang dapat menyebabkan
perselisihan dan permusuhan sebagaimana yang diinginkan oleh setan. Misalnya
tidak saling mengghibah keburukan satu dengan lainnya, saling berkomunikasi
dengan cara ma’ruf, saling memperhatikan kebutuhan antara satu dengan lainnya,
jika ada perselisihan hendaknya segera menyelesaikan dengan adil kalau perlu
mendatangkan hakim atau penengah yang adil di antara mereka, saling pengertian
dan memahami dan lain sebagainya yang dapat memicu keharmonisan antara
keduanya.
Tapi yang paling
penting adalah perlunya keluarga tersebut untuk saling berkomunikasi di antara
mereka dengan tenang dan adil. Saling berkomusikasi untuk menjelaskan segala
sesuatu yang menyebabkan mereka saling berselisih, bertikai dan bermusuhan.
Meskipun kebanyakan perselisihan dan permusuhan itulah yang menjadi sebab tidak
adanya komunikasi di antara mereka. Setiap mereka tidak boleh memaksa agar
selainnya harus mengikuti kehendaknya dan hendaklah mereka menghormati perbedaan
di antara mereka selama tidak keluar dari jalur dan manhaj ajaran Islam.
Hendaknya setiap mereka, membuat bangga dan bahagia orang tua atau keluarga
mereka dengan kerukunan dan keharmonisan di antara mereka meskipan di antara
mereka masih ada beberapa perbedaan. Bahkan mereka hendaknya juga menjaga
hubungan dengan saudara suami atau istri (ipar) dengan hubungan yang baik.
Mereka tidak boleh melakukan suatu tindakan yang dapat menyebabkan putusnya
silaturrahmi di antara saudara kandung. Misalnya; seorang istri yang melarang suaminya untuk
bersilaturrahmi dan membantu orang tua atau saudaranya yang mengalami kesulitan
hidup atau begitu pula kebalikannya.
Juga diharapkan
kepada mereka untuk selalu berinteraksi dan berjamaah dengan kaum muslimin
lainnya, sebab jika ada kesalahan atau kekeliruan dari mereka maka kaum
muslimin yang lainnya akan mengingatkannya dan menyelamatkannya dari godaan
setan. Karena setan itu akan bersama dengan orang yang sendirian, yakni yang
tidak memiliki kawan yang dapat menyelamatkan dirinya dari gangguan dan
godaannya. Maka setan akan dengan mudah dan leluasa menggoda lalu
menjerumuskannya ke dalam kesalahan dan dosa. Dan ia lebih jauh dari orang yang
berdua apalagi lebih, yakni setan mengalami kesulitan di dalam menggodanya, sebab
jikapun ia telah berhasil di dalam menggoda dan menggelincirkannya ke dalam
kesalahan maka kawannya akan menashihati dan mengingatkannya lalu menuntunnya
kembali kepada kebenaran.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: خَطَبَنَا عُمَرُ رضي الله عنه بِاْلجَابِيَةِ فَقَالَ: يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنىِّ قُمْتُ فِيْكُمْ كَمَقَامِ رَسُوْلِ اللهِ صلى
الله عليه و سلم فِيْنَا فَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِاْلجَمَاعَةِ وَ إِيَّاكُمْ
وَ اْلفُرْقَةِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ اْلوَاحِدِ وَ هُوَ مَعَ اْلاِثْنَيْنِ
أَبْعَدُ مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ اْلجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ اْلجَمَاعَةَ
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, Umar radliyallahu
anhu pernah berkhutbah
di al-Jabiyah, lalu berkata, “Wahai manusia,
sesungguhnya aku berdiri pada kalian sebagaimana berdirinya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada kami, lalu Beliau bersabda, “Maka wajiblah atas
kalian berjamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan itu
bersama dengan orang yang sendirian dan ia bersama dengan dua orang lebih jauh.
Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya surga maka hendaklah ia
melazimkan jamaah”. [HR at-Turmudziy:
2165 dan Ahmad: I/ 18, 26, III/ 446. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [13]
Dengan dalil di atas
maka sepatutnya bagi setiap muslim itu untuk selalu berjamaah dengan muslim
lainnya, merapatkan barisan, saling memahami terhadap kelebihan dan kekurangan
saudaranya, saling melindungi dan menyelamatkan dari gangguan orang lain dan
juga dari perbuatan salah dan dosa, saling tolong menolong dan dukung mendukung
dalam kebaikan dan ketakwaan dan lain sebagainya. Dan juga hendaklah ia
mengerjakan perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan yang dapat menimbulkan
rasa kasih sayang dan cinta kasih di antara mereka, semisal saling memberi
hadiah, menyebarkan salam di antara mereka dan selainnya.
عن أبي هريرة رضي
الله عنه
عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم
قَالَ: تَهَادَوْا َتحَابُّوْا
Dari Abu Hurairah radliyallahu
anhu dari Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian
saling memberi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”. [HR. al-Bukhoriy di
dalam al-Adab al-Mufrad: 594, ad-Dulabiy, Ibnu Adiy, Ibnu Asakir dan
al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [14]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: لاَ تَدْخُلُوْنَ اْلجَنَّةَ حَتىَّ تُؤْمِنُوْا وَ لاَ
تُؤْمِنُوْا حَتىَّ َتحَابُّوْا أَوَ لاَ
أَدُلُّكُمْ عَلىَ شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ
َتحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian
beriman dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling cinta mencintai.
Maukah kutunjukkan kepada kalian suatu amalan yang jika kalian lakukan niscaya
kalian akan saling cintai mencintai?, yakni sebar-luaskan salam di antara
kalian”. [HR Muslim: 54,
al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 980, Abu Dawud: 5193, Ibnu Majah: 68,
3692, Ahmad: II/ 391, 442, 477, 495, 512 dan Abu Uwanah. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [15]
Berdasarkan dalil di atas, yang menjadi syarat
seorang muslim masuk ke dalam surga adalah keimanannya. Namun keimanan itu
tidak ada atau belum sempurna pada seorang muslim sehingga ia saling mencintai
dengan muslim yang lain. Sedangkan kecintaan itu akan tumbuh dengan melakukan
suatu amalan yakni menyebarluaskan salam dan saling memberi hadiah.
Selain itu pula setiap mereka hendaknya menjauh
dan menghindar dari segala perkataan dan perbuatan yang dapat menyebabkan
perselisihan, pertikaian dan permusuhan di antara mereka. Semisal, minum
khomer, berjudi, berdebat, saling mencela, saling mengghibah, saling memfitnah
dan lain sebagainya.
Sudah sepatutnya seorang muslim itu menjauhi
pertikaian dan permusuhan dengan saudaranya. Apalagi seorang adik terhadap
kakaknya atau kebalikannya, mereka wajib menjaga hubungan keluarga dan kerabat
dengan baik. Keduanya mesti menempatkan posisi pada tempatnya, sang adik mesti
menghormati kakaknya dan sang kakak juga harus menyayangi adiknya. Keduanya
tidak boleh saling mengghibah dan memfitnah apalagi namimah yang dapat merusak
hubungan keduanya. Dan jika salah seorang atau bahkan kedua orang tuanya masih
hidup lalu mereka mengeluhkan salah seorang putranya dengan mengghibbah, maka
kedua saudara itu sudah sepatutnya menanggapi pengaduan orang tuanya dengan
bijak dan santun, bukan malah memperkeruhnya. Atau sebagai orang tua sepatutnya
mereka tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak hubungan di antara
putra-putri mereka apalagi sampai menimbulkan dendam, pertikaian dan
permusuhan. Mereka mesti memilih dan memilah dalam melakukan tindakan dan
perilaku terhadap sebahagian anak mereka yang dapat memporak-porandakan atau
mencarut-marutkan keluarga mereka. Karena seringkali terjadi, pertikaian dan
permusuhan antara saudara itu yang disebabkan oleh orang tua mereka yang gemar
melakukan ghibah atau fitnah terhadap sebahagian anaknya hanya semata-mata ingin
mendapat perhatian lebih dari putra-putri mereka. Namun tatkala di antara
putra-putri mereka berselisih dan bermusuhan, apakah dalam bentuk saling
memutuskan silaturrahmi atau saling mencaci dan menghujat, mengeraskan suara
dalam berdebat dan bahkan memalingkan muka tanpa bertatap, maka merekapun
terdiam penuh sesal, sedih bercampur kesal dan berharap permusuhan tersebut
tiada kekal.
Jika demikian hendaknya seorang muslim wajib
menyingkirkan perselisihan dan permusuhan beserta penyebabnya khususnya dari
dirinya, istrinya, anak menantunya dan keluarganya. Sebab permusuhan ini adalah
suatu dosa yang tidak akan diampuni meskipun dengan istighfar (memohon ampun)
kecuali dengan bertaubat dan berdamai. Sebagaimana telah diberitakan oleh
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya setiap sejum’at pada hari senin dan
kamis pintu-pintu surga akan dibuka lalu setiap hamba yang tidak berbuat syirik
akan diampuni segala dosa-dosanya kecuali jika ada perselisihan dan permusuhan
di antaranya dengan saudaranya sehingga ia berdamai dan rukun dengannya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: تُفْتَحُ أَبْوَابُ اْلجَنَّةِ يَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ وَ
يَوْمَ اْلخَمِيْسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ
عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ
أَخِيْهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ: انْظُرُوْا هَذَيْنِ حَتىَّ يَصْطَلْحَا
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Pintu-pintu surga akan dibuka
pada hari senin dan kamis. Lalu akan diampuni setiap hamba yang tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu kecuali seseorang yang ada permusuhan di
antaranya dan saudaranya”. Dikatakan, “Perhatikan kedua orang ini
sehingga mereka berdamai”. [HR Muslim: 2565, Abu Dawud: 4916, at-Turmudziy: 2023, Ahmad: II/ 389, 400, 465 dan Malik. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [16]
Berkata asy-Syaikh Salim bin
Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Semua dosa akan diampuni dengan istighfar (memohon ampun) kecuali syirik
dan permusuhan.
Terdapat penjelasan akan
kerasnya pengharaman permusuhan, hal itu dikarenakan dikaitkannya dengan
perbuatan syirik.
Memusuhi muslim dan
memutuskan silaturrahmi dengannya tanpa sebab syar’i akan mencegahnya masuk
surga pada hari akhir.
Wajibnya memperbaiki hubungan
kekerabatan, menolong orang yang dianiaya dan menghalangi orang yang berbuat
aniaya lagi jahat”. [17]
Bahkan jika perselisihan dan
permusuhan itu sampai mendorong seorang muslim untuk menghajr (memboikot
atau menjauhi) saudaranya tanpa alasan syar’iy lebih dari tiga hari lalu ia
mati dalam keadaan seperti itu, maka ia akan masuk neraka.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: لاَ َيحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ
ثَلاَ ثٍ فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjauhi
saudaranya lebih dari tiga (hari). Barangsiapa yang menjauhi (saudaranya) lebih
dari tiga (hari) lalu dia mati, maka ia akan masuk neraka”. [HR. Abu Dawud: 4914.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [18]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan
akan akibat buruk dari terus menerus dalam melakukan hajr (boikot).
Terus menerus dalam hajr dan memutuskan (hubungan) tanpa sebab syar’iy termasuk
dari dosa-dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dalam neraka Jahannam.
Al-Iyaadzu billah”. [19]
عن
أبي أيوب الأنصاري أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم
قَالَ: لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ
أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَ يُعْرِضُ هَذَا
وَ خَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
Dari Abu Ayyub
al-Anshoriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi
saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berjumpa lalu ia perpaling dari ini dan
berpaling dari itu. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang terlebih dahulu
mengucapkan salam”. [HR Muslim: 2560, al-Bukhoriy: 6077, 6237, juga di
dalam al-Adab al-Mufrad: 406, Abu Dawud:
4911, Ahmad: V/ 416, 421, 422,
Malik dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [20]
عن
أبي خراش السلمي أَنَّهُ َسمِعَ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ
سَنَةً فَهُوَ كَسَفَكِ دَمِهِ
Dari Abu Khirasy
as-Sulamiy radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menjauhi saudaranya selama setahun
maka ia bagaikan menumpahkan darahnya”. [HR
al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 404, Abu
Dawud: 4915 dan Ahmad: IV/ 220. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ]. [21]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat
penjelasaan akan besarnya dosa hajr (boikot). Beliau menyerupakannya dari sisi
hukuman dengan hukuman pembunuhan. Karena hajr itu adalah pembunuhan secara
maknawiy (tidak berwujud) yang tidak sedikit keburukan yang ditimbulkan olehnya
sebagaimana pembunuhan yang sebenarnya”. [22]
Berdasarkan beberapa dalil dan penjelasannya di
atas dapatlah dipahami akan larangan dari meng-hajr (boikot atau
menjauhi) saudara seiman lebih dari tiga hari apalagi tak kenal batas masa.
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengancamnya dengan masuk ke dalam neraka
dan bahkan jika telah mencapai setahun maka diserupakan dengan menumpahkan
darahnya atau membunuhnya. Perbuatan meng-hajr saudaranya ini biasanya
disebabkan oleh adanya saling perselisihan, pertikaian dan permusuhan di antara
mereka. Sedangkan permusuhan itu muncul dikarenakan oleh beberapa sebab pula,
misalnya dengan saling mencela, mengghibah dan memfitnah dan lain sebagainya.
Maka seorang muslim, jika ingin dijauhkan dari
neraka hendaknya ia tidak memudah-mudahkan dirinya untuk melakukan perbuatan
meng-hajr saudaranya kecuali dengan sebab syar’iy. Bahkan yang terbaik
di antara mereka yang sedang berjauhan lagi bermusuhan itu adalah yang terlebih
dahulu mengucapkan salam dan ucapan. Untuk itu pulalah ia harus menghindari
permusuhan dan berbagai macam penyebabnya, agar ia dapat hidup berdampingan
dengan saudara-saudaranya seiman dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang,
rukun bersama saling membutuhkan dan silih akur saling menjaga dan melindungi.
Dan yang terpenting adalah ia selamat dari berbagai keburukan dan kebinasaan di
dunia dan akhirat.
Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi umat
Islam untuk meminimalkan perselisihan dan permusuhan di antara mereka. Hal ini
dengan cara menjauhi dan menghidari dari amal-amal buruk yang dapat membawa
mereka kepada perilaku tersebut. Dan hendaknya mereka membiasakan diri merujuk
kepada ajaran alqur’an yang mulia dan hadits-hadits shahih sesuai dengan
pemahaman para ulama salaf.
Wallahu a’lam bi ash-Showab.
[1] Mereka duduk
membentuk halakah (lingkaran) sambil mengucapkan takbir, tahlil dan tasbih
masing-masing seratus kali dengan menggunakan batu kerikil yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
[3] Diriwayatkan
oleh ad-Darimiy: I/ 68-69 dengan
kisah yang panjang. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya shahih,
sebagaimana di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2005 dan kitab Al-Ikhlash oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqar halaman 164.
[4] Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.
[7] HR. al-Bukhoriy:
2692, Muslim: 2605, Abu Dawud: 4921, at-Turmudziy: 1938 dan Ahmad: VI/ 404 dari Ummu
Kultsum binti Uqbah radliyallahu anha. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam
Mukhtashor Shahih Muslim: 1810, Shahih Sunan Abi Dawud: 4112, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 1583, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 545 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 5379.
[9] Mukhtashor Shahih
Muslim: 1804, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1581, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
1651, Silisilah al-Ahadiits ash-Shahihah: 1608 dan Misykah al-Mashobih: 72.
[12] Mukhtashor Shahih
Muslim: 1991, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1526 dan Misykah al-Mashobih: 71.
[13] Shahih Sunan
at-Turmudziy: 1758, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2546 dan Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 430.
[14] Shahih al-Adab
al-Mufrad: 462, Irwa’ al-Ghalil: 1601 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3004.
[15] Mukhtashor Shahih
Muslim: 42, Shahih al-Adab al-Mufrad: 751, Shahih Sunan Abi Dawud: 4325, Shahih
Sunan Ibni Majah: 57, 2977 dan Irwa’ al-Ghalil: 777.
[16] Mukhtashor Shahih
Muslim: 1802, Shahih Sunan Abi Dawud: 4108, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1646,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2958, 2970, Irwa’ al-Ghalil: 949, Ghoyah al-Maram:
412 dan Misykah al-Mashobih: 5029.
[18] Shahih Sunan Abi
Dawud: 4107, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7659, Misykah al-Mashobih: 5035 dan
Irwa’ al-Ghalil: 2029
[20] Shahih al-Adab
al-Mufrad: 314, Shahih Sunan Abi Dawud: 4104, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
7660, Irwa’ al-Ghalil: 2029, Ghoyah al-Maram: 405 dan Misykah al-Mashobih:
5035.
[21] Shahih al-Adab
al-Mufrad: 313, Shahih Sunan Abi Dawud: 4107, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah:
928 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6581.