السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 07 Agustus 2012

AYO HIDUPKAN AMAR MA'RUF DAN NAHI MUNKAR DENGAN BENAR


AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR YANG TERABAIKAN

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagaimana telah diketahui, bahwa tidak ada seorangpun manusia melainkan niscaya ia melakukan kesalahan dan dosa, baik yang disadarinya ataupun tidak. Sehingga terkadang perbuatan dosanya itu mengundang penilaian dan sikap dari orang lain, ada yang memaklumi kesalahannya sebagai manusia, ada yang mencemoohnya, ada yang mengucilkannya, ada yang menegurnya dengan keras tanpa kasih sayang, ada yang mengingatkannya dengan dalil dan lemah lembut, ada yang meng-ghibahinya di berbagai tempat dan kepada segenap orang dan sebagainya. 

Yakni tidak sedikit manusia yang menjadikannya sebagai santapan lezat dalam percakapan mereka. Mereka sibuk membongkar dan membuka aib orang tersebut kepada sesama mereka tanpa rasa sungkan dan bersalah, seakan dengan perbuatan menggunjing mereka itu, mereka telah bertindak benar dan tepat.

Membiasakan ghibah atau gunjing ini akan menghilangkan faidah amar ma’ruf dan nahi munkar. Seorang hamba mukmin ketika melihat dan menyaksikan orang lain meninggalkan perbuatan ma’ruf atau mengerjakan yang mungkar maka semestinya ia mengingatkannya dengan mendorongnya untuk melakukan perbuatan ma’ruf yang ditinggalkannya. Dan mencegahnya dari perbuatan munkar yang selama ini mungkin telah menjadi amalan sehari-harinya dengan cara yang santun dan lemah lembut.

Amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu sendi ajaran Islam, yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah melebihkan agama ini dari agama-agama lainnya. Tiada suatu keutamaan dan kelebihan dalam satu agama melainkan wajib dibangun atasnya.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أَخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِاْلمـَعْرُوفِ وَ تَنْهَوْنَ عَنِ اْلمـُنْكَرِ وَ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. [QS. Ali Imran/3: 110].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhabarkan tentang umat Islam ini bahwasanya mereka itu adalah sebaik-baik umat. Umat ini meraih banyak keunggulan melalui Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Sebab dia adalah pemimpin para anak Adam dan Rosul yang paling mulia di sisi Allah. Allah telah mengutusnya dengan syariat yang sempurna lagi agung, yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun nabi sebelumnya dan tidak pula kepada seorangpun rosul di antara para rosul”. [1]

Keunggulan Islam di atas agama selainnya adalah lantaran Allah Subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan mereka melalui Rosul-Nya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar sehingga mereka menjadi umat yang terbaik sepanjang masa. Dan hendaknya umat ini senantiasa menjaga amalan tersebut sepanjang hidup mereka supaya keutamaan ini tetap berada pada mereka. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh umat terdahulu sebelum mereka yakni golongan kafirin dari Bani Israil. Mereka tidak saling melarang dan mencegah dari perbuatan munkar yang dilakukan oleh sebahagian mereka. Lantaran itulah Allah Jalla Dzikruhu murka dan mengutuk mereka melalui lisan Nabi Dawud dan Isa putra Maryam Alaihima as-Salam. Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhi kita dari kemurkaan dan laknat-Nya yang disebabkan meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

لُعِنَ الَّذِينَ كَــــفَرُوا مِن بَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا وَّ كَانُوا يَعْتَدُونَ كَـــانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَــانُوا يَفْعَلُونَ

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. [QS. Al-Ma’idah/5: 78-79].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengkhabarkan bahwasanya Dia telah mengutuk orang-orang kafir dari Bani Israil dari masa yang panjang terhadap apa yang telah diturunkannya melalui lisan Nabi Dawud Alaihi as-Salam dan juga lisan Nabi Isa putra Maryam Alaihi as-Salam dengan sebab kedurhakaan mereka kepada Allah dan melampaui batas kepada makhluk-Nya. Dan tidak ada pada mereka, orang yang melarang mereka dari mengerjakan perbuatan dosa dan hal-hal yang haram. Lalu Allah mencela mereka atas perbuatan tersebut agar berhati-hati dari mengerjakan perbuatan seperti yang mereka telah kerjakan.

Ayat ini juga menerangkan bahwa meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan tetapnya ia memperoleh kemurkaan dan laknat Allah. Kita memohon kepada Allah akan keselamatan (darinya)”. [2]

Perhatikan lalu ambil pelajaran!, bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala telah melaknat orang-orang kafir dari Bani Israil, di antara penyebabnya adalah mereka tidak saling melarang perbuatan munkar yang mereka lakukan.
 
Jika itu telah terjadi pada umat terdahulu, maka bagaimana dengan umat Islam sekarang ini. Akankan kutukan dan laknat itu akan terulang kembali. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.
 
Namun di beberapa tempat pelosok bumi, fenomena yang ada hampir menyerupai peristiwa masa lalu. Masih banyak kaum muslimin yang meninggalkan lagi menanggalkan amar ma’ruf nahi munkar di saat saudara mereka melakukan beberapa kemungkaran dan mereka lebih disibukkan dengan urusan mereka sendiri. Jikapun ada di antara mereka yang perhatian kepada orang lain, hanya sebatas melihat atau mendengar, menghimpun dan menyebarkan aib saudaranya itu kepada selainnya. 

Keengganan atau mungkin juga rasa takut kepada orang itu yang menyebabkan seseorang itu meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Menghindar dari amar ma’ruf nahi mungkar dan mengedepankan ghibah atau fitnah adalah merupakan sifat pengecut yang tumbuh di dalam hati anak Adam yang belum dihiasi dengan keimanan dan tauhid. Ia hanya bisa melempar dari jarak yang sangat jauh dan tidak terlihat, bersembunyi dalam liangnya. Rasa takut dan pengecut telah menghimpitnya tanpa belas kasih sehingga ia laksana seekor himar yang gemetar ketakutan ketika melihat dan berhadapan dengan seekor singa yang sedang mengaum, menggetarkan hati, melemaskan urat sendi dan menciutkan nyali.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ اْلعَبْدَ يَوْمَ اْلقِيَامَةَ حَتَّى يَقُوْلَ: مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ اْلمـُنْكَرَ أَنْ تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ: رَبِّ رَجَوْتُكَ وَ فَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah benar-benar akan bertanya kepada hamba pada hari kiamat, sehingga berfirman, “Apakah yang mencegahmu ketika melihat kemungkaran untuk mengingkarinya?”. Maka apabila Allah telah mengajarkan kepada hamba cara berhujjahnya, ia menjawab, “Wahai Rabbku, aku mengharapkan-Mu tetapi aku sangat takut kepada manusia”. [HR Ibnu Majah: 4017, Ahmad: III/ 27, 29, 77, Ibnu Hibban dan al-Humaidiy: 739. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [3]

Pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wa ta’ala akan menanyakan kepada setiap manusia yang melihat dan mendengar kemungkaran tetapi ia tidak ambil peduli terhadapnya, bersikap tak acuh terhadap pelakunya dan bahkan seakan kemungkaran tersebut tak pernah ada di hadapannya. Pada saat itulah, Allah Jalla jalaluhu akan meminta pertanggung-jawaban terhadapnya dikarenakan ia tidak mau mengingkari kemungkaran tersebut. Jika orang yang tidak mau mengingkari kemungkaran lantaran rasa takut yang ada padanya itu saja diminta tanggung jawabnya, maka bagaimana terhadap orang yang duduk tenang mendengar dan menyaksikan kemungkaran lalu menyebarluaskannya kepada manusia dengan cara mengghibah??.  

Tanyakan kepada para tukang ghibah, “Mengapa kalian disibukkan dengan menggunjing saudara kalian dan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar?”. Jika mereka menjawab, “Kami merasa tidak enak dan takut  orang itu marah atau tersinggung”. Maka katakanlah, “Mengapa kalian merasakan nikmat tatkala menceritakan aib saudara kalian dan tidak merasa takut kepada murka Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sebab perbuatan kalian?. Akankah kalian lebih memilih ghibah yang dilarang dan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan. Amat buruk apa yang kalian kerjakan..

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: أَخْرَجَ مَرْوَانُ اْلمـِنْبَرَ فىِ يَوْمَ عِيْدٍ فَبَدَأَ بِاْلخُطْبَةِ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَقَالَ رَجُلٌ: يَا مَرْوَانُ! خَالَفْتَ السُّنَّةَ أَخْرَجْتَ اْلمِنْبَرَ فىِ هَذَا اْليَوْمِ وَ لَمْ يَكُنْ يُخْرَجُ وَبَدَأْتَ بِاْلخُطْبَةِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَ لَمْ يَكُنْ يُبْدَأُ بِهَا فَقَالَ أَبُوْ سَعِيْدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَاسْتَطَاعَ أَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Dari Abu Sa’id al-khudriy radliyallahu anhu[4] berkata, “Marwan pernah mengeluarkan mimbar pada hari raya ied”. Lalu ia memulai khutbah sebelum sholat. Seseorang berkata, “Wahai Marwan, sungguh-sungguh engkau telah menyelisihi sunnah, engkau telah mengeluarkan mimbar pada hari raya ied yang selama ini tidak pernah dikeluarkan, dan juga engkau telah memulai khutbah sebelum sholat yang selama ini tidak pernah dimulai dengannya”. Abu Sa’id berkata, “Adapun orang ini sungguh-sungguh telah menunaikan apa yang diwajibkan kepadanya”. Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun di antara kalian ada yang melihat kemungkaran lalu ia mampu merubah dengan tangannya maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya. Hal ini adalah selemah-lemahnya iman”. [HR Muslim: 49,  at-Turmudziy: 2172, an-Nasa’iy: VIII/ 111-112, 112, Abu Dawud: 1140, Ibnu Majah: 1275, 4013 dan Ahmad: III/ 10, 20,49, 52, 54, 92. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [5]

Abu Sa’id al-khudriy radliyallahu anhu seorang shahabat mulia ketika menyaksikan ada seseorang yang menegur Marwan disaat berkhutbah pada hari raya ied yang keliru sebab menggunakan mimbar dan mendahulukan khutbah sebelum sholat. Dan hal ini tidak pernah dikerjakan pada masa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkomentar, “Sungguh orang ini telah menunaikan kewajibannya yakni telah beramar ma’ruf dan nahi munkar”. 

Orang itu telah bertindak tepat lagi benar, yakni menegur. Bukannya mendiamkan kekeliruannya lalu menyebarluaskannya kepada khalayak dalam bentuk ghibah. Sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak di antara manusia melihat atau mendengar kemungkaran yang dikerjakan orang lain namun ia diam menyaksikan saja. Ketika pelaku kemungkaran itu telah pergi berlalu atau ia tidak berada lagi disisinya, ia segera menyampaikannya kepada orang lain, dengan penuh percaya diri seolah-olah dengan meng-ghibah, ia telah melakukan perbuatan yang baik, tepat dan benar.

Padahal perbuatan tersebut dapat menjerumuskannya kepada siksaan Allah Jalla jalaluhu di dunia maupun akhirat, dan juga menjadi penghalang terkabulnya doa, sebagaimana dalil hadits di bawah ini,

عن حذيفة بن اليمن عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ الَّذِى نَفْسىِ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِاْلمـَعْرُوْفِ وَ لَتَنْهَوُنَّ عَنِ اْلمـُنْكَرِ وَ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ فَتَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

Dari Hudzaifah bin al-Yaman dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, benar-benar kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah benar-benar hampir mengirimkan siksaan dari-Nya, lalu kalian berdoa dan tidak akan dikabulkan”. [HR at-Turmudziy: 2169 dan Ahmad: V/ 388, 391. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [6]

Tindakan yang tepat lagi benar jika melihat saudaranya yang berbuat salah atau keliru adalah menashihati dan mengingatkannya dengan cara yang santun lagi lembut agar ia meninggalkan perbuatannya tersebut dan kemudian memperbaiki dirinya, bukan dengan menambah kerusakannya dengan cara meng-ghibah dan memfitnahnya. Sebab seorang mukmin itu adalah cermin bagi mukmin yang lain. Maksudnya seorang mukmin itu sulit untuk melihat kesalahan dan aibnya sendiri, maka saudara disekitarnyalah yang dapat mengingatkan dan menegur kesalahannya tersebut, sebagaimana telah diketahui akan fungsi dan kegunaan cermin. 

Hal ini didasarkan kepada atsar berikut ini, 

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: اْلمـُؤْمِنُ مِرْآةُ أَخِيْهِ إِذَا رَأَى فِيْهِ عَيْبًا أَصْلَحَهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Mukmin itu adalah cermin bagi saudaranya, apabila ia melihat aib pada (saudara)nya tersebut maka ia akan memperbaikinya”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 238. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan isnadnya]. [7]

Islam telah mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa menghidupkan amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan mereka, sebab tiada seorangpun dari mereka yang luput dan lepas dari perbuatan salah dan dosa. Maka jika seorang dari mereka tidak menyadari telah berbuat salah maka saudaranya akan berusaha untuk menyelamatkannya darinya dengan cara menegur dan mengingatkanya, sebab mukmin itu adalah cermin bagi mukmin yang lain.  

Allah Jalla Jalaluhu telah berfirman,

وَ لْتَكُن مِّنكُمْ أَمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى اْلخَيْرِ وَ يَأْمُرُونَ بِاْلمـَعْرُوفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ اْلمـُنكَرِ وَ أُولَئِكَ هُمُ اْلمـُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. [QS. Ali Imran/ 3: 104].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Harus ada sekelompok orang dari umat Islam yang mengajak umat dan bangsa kepada Islam dan menawarkannya kepada mereka serta memerangi mereka jika mereka memeranginya. Mesti ada sekumpulan orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar di setiap kota dan desa kaum muslimin. [8]

وَ اْلمـُؤْمِنُونَ وَ اْلمـُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِاْلمـَعْرُوفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ اْلمـُنكَرِ وَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَ يُطِيعُونَ اللهَ وَ رَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS. Al-Bara’ah/ 9: 71].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan mengenai sifat orang mukmin laki-laki dan perempuan dan hal itu merupakan wujud dan bukti keimanan mereka. Pentingnya sifat ahli iman itu yakni berupa wala (loyalitas) sebahagian mereka terhadap sebahagian lainnya, amar ma’ruf dan nahi munkar, menegakkan sholat, membayar zakat dan taat kepada Allah dan Rosul-Nya”. [9]

التَّائِبُونَ اْلعَابِدُونَ اْلحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ اْلآمِرُونَ بِاْلمـَعْرُوفِ وَ النَّاهُونَ عَنِ اْلمـُنكَرِ وَ اْلحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللهِ وَ بَشِّرِ اْلمـُؤْمِنِينَ

Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu. [QS. Al-Bara’ah/9: 112].

Ayat-ayat di atas beserta penjelasannya, dengan gamblang menerangkan akan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap umat Islam agar menghidupkan kebiasaan amar ma’ruf dan nahi munkar di setiap tempat dan waktu. Bahkan sudah sepatutnya di antara mereka membuat suatu kumpulan yang senantiasa menegakkan aturan ini di tengah-tengah komunitas kaum muslimin dengan cara dan manhaj yang benar dan tepat. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla telah memuliakan dan menyanjung mereka dengan memasukkan mereka ke dalam golongan ahli iman karena amar ma’ruf dan nahi munkar ini, oleh Allah Jalla wa Ala dikategorikan sebagai salah satu dari sembilan sifat kaum mukminin dan kelak akan mendapat keberuntungan pada hari kiamat. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa amar maruf dan nahi munkar ini adalah salah satu dari tanda atau rambu ajaran Islam sebagaimana jalan mempunyai banyak rambu. Setiap muslim mesti mematuhi rambu-rambu tersebut dengan tepat lagi ikhlas, jika di antara mereka ada yang melanggarnya maka akan terjadi kekacauan dan kesemrawutan sebagaimana jika rambu jalan atau rambu lalu lintas dilanggar.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ لِلْإِسْلاَمِ صُوًى وَ مَنَارًا كَمَنَارِ الطَّرِيْقِ مِنْهَا أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَ لاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَ إِقَامُ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءُ الزّكَاةِ وَ صَوْمُ رَمَضَانَ وَ حَجُّ اْلبَيْتِ وَ اْلأَمْرُ بِاْلمـَعْرُوْفِ و النَّهْيُ عَنِ اْلمـُنْكَرِ  وَ أَنْ تُسَلِّمَ عَلىَ أَهْلِكَ إِذَا دَخَلْتَ عَلَيْهِمْ  وَ أَنْ تُسَلِّمَ عَلىَ اْلقَوْمِ إِذَا مَرَرْتَ بِهِمْ فَمَنْ تَرَكَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَقَدْ تَرَكَ سَهْمًا مِنَ اْلإِسْلاَمِ وَ مَنْ تَرَكَهُنَّ كُلَّهُنَّ فَقَدْ وَلِيَ اْلإِسْلاَمُ ظَهْرَهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam itu mempunyai tanda dan rambu sebagaimana rambu jalan. Di antaranya adalah engkau beriman kepada Allah, tidak berbuat syirik, menegakkan sholat, membayar zakat, shaum bulan Ramadlan, haji ke Baitullah, amar ma’ruf, nahi munkar, mengucapkan salam kepada keluargamu jika kamu masuk ke (tempat) mereka dan mengucapkan salam kepada suatu kaum jika kamu melewati mereka. Barangsiapa yang meninggalkan satu dari hal itu maka sungguh-sungguh ia telah meninggalkan satu bahagian dari (ajaran) Islam. Dan barangsiapa yang meninggalkan seluruhnya maka Islam itu telah meninggalkan punggung (diri)nya”. [HR Abu Ubaid al-Qosim bin Salam, Ibnu Basyran, Abdul Ghaniy al-Muqaddisiy dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]

Di dalam hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa rambu-rambu Islam adalah beriman kepada Allah Jalla Dzikruhu, tidak berbuat syirik, menegakkan sholat, membayar zakat, menunaikan shaum Ramadlan, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, amar ma’ruf, nahi munkar dan mengucapkan salam kepada keluarga atau suatu kaum. Barangsiapa di antara umat ini yang meninggalkan satu darinya maka berarti ia telah meninggalkan satu bahagian dari ajaran Islam dan jika ia meninggalkan seluruhnya berarti Islam telah pergi meninggalkannya, yakni ia telah keluar dari Islam. Maka hal itu berarti amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu ajaran Islam yang mesti dijaga oleh setiap penganutnya dengan penjagaan yang semestinya.


عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَ اْلجُلُوْسَ عَلىَ الطُّرُقَاتِ فَقاَلُوْا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ: فَإِذَا أَتَيْتُمْ إِلىَ اْلمـَجَالِسِ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهَا قَالُوْا: وَ مَا حَقُّ الطَّرِيْقِ؟ قَالَ: غَضُّ اْلبَصَرِ وَ كَفُّ اْلأَذَى وَ رَدُّ السَّلاَمِ وَ أَمْرٌ بِاْلمـَعْرُوْفِ وَ نَهْيٌ عَنِ اْلمـُنْكَرِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah duduk-duduk di (tepi) jalan”. Mereka bertanya, “Kami tidak ada jalan keluar (pilihan).  Tepi jalan itu adalah majlis kami yang kami dapat berbincang-bincang padanya”. Beliau bersabda, “Apabila kalian mendatang majlis (tersebut) maka berikanlah untuk jalan itu haknya!”. Mereka bertanya, “Apakah hak jalan itu?”. Beliau menjawab, “Menahan pandangan, mencegah gangguan, membalas salam, amar ma’ruf dan nahi munkar”. [HR al-Bukhoriy: 2465, 6229, Muslim: 2121, Abu Dawud: 4815 dan Ahmad: III/ 36, 47. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [11]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Menahan pandangan, mencegah gangguan, membalas salam, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah perkara-perkara yang diwajibkan”. [12]

Mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu mesti konsisten dan kontinyu tidak hanya sebatas di satu tempat dan waktu, yakni tidak hanya di majlis pengajian saja tetapi juga ketika sedang bercengkrama dan berbincang-bincang dengan orang lain di berbagai tempat, misalnya; di tepi jalan bersama beberapa rekan yang mesti dilakukan di tempat tersebut. Maka dikala itulah, setiap muslim mesti memberikan hak bagi jalan yakni; menahan pandangan dari yang haram dan syubhat, mencegah gangguan yang terjadi di hadapannya, membalas salam ketika ada orang yang mengucapkannya dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Misalnya; mengingatkan jika dalam perbincangan itu lalu masuk waktu sholat, menolong orang buta menyeberang jalan, menunjuki jalan bagi orang yang sedang tersesat jalan dan tidak mempersempit jalan bagi penggunanya. Juga mencegah terjadinya tindak kejahatan semisal mencopet, membegal, memalak dan semisalnya, memisahkan para remaja yang hendak tawuran dan mencegah seseorang yang hendak mengganggu kaum wanita atau anak-anak dan selainnya.

Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Dan setiap kaum muslimin yang telah mampu mengerjakannya, ia akan mendapatkan pahala dan balasan kebaikan untuknya kelak di hari kiamat sebagai imbalan atas amal perbuatannya. Sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar itu adalah merupakan pahala sedekah bagi pelakunya, sebagaimana kebaikan-kebaikan lainnya.

. عن أبي ذرّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: تَبَسُّمُكَ فىِ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ وَ أَمْرُكَ بِاْلمـَعْرُوْفِ وَ نَهْيُكَ عَنِ اْلمـُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَ إِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فىِ أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَةٌ وَ بَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ وَ إِمَاطَتُكَ اْلحَجَرَ وَ الشَّوْكَ وَ اْلعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ وَ إِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فىِ دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Senyummu di hadapan wajah saudaramu adalah sedekah bagimu, engkau beramar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, engkau menunjuki seseorang yang tersesat adalah sedekah bagimu, engkau membimbing orang buta adalah sedekah bagimu, engkau menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan adalah sedekah bagimu dan engkau memenuhi ember saudaramu (dengan air) dari embermu adalah sedekah bagimu”. [HR at-Turmudziy: 1956 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [13]

عن أبي ذرّ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلىَ كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ  صَدَقَةً فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَ كُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَ كُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَ كُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَ أَمْرٌ بِاْلمـَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَ نَهْيٌ عَنِ اْلمـُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَ يُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda, “Di waktu pagi, diwajibkan bagi tiap persendian seorang di antara kalian untuk bersedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah dan nahi munkar juga adalah sedekah. Dan hal itu mencukupi dengan sholat dua rakaat dari dluha”. [HR Muslim: 720, Abu Dawud: 1285, 5243 dan Ahmad: V/ 167, 168. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]

Jalan menuju kebenaran itu hanya satu yakni mengikuti alqur’an dan hadits shahih dengan bimbingan yang benar dan tepat dari para ulama yang meniti jalannya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum. Sedangkan jalan menuju kebaikan itu banyak, selama telah dicontohkan dan diperintahkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Di antaranya adalah tersenyum kepada orang lain, menunjuki orang yang sedang sesat jalan, membimbing orang buta, menyingkirkan gangguan berupa batu, ranting, duri dan selainnya dari jalan, memenuhi ember orang lain dari embernya dengan air, mengucapkan tasbih (subhaanallah), tahmid (alhamdulillah), tahlil (laa ilaaha illallaah), takbir (allaahu akbar), amar ma’ruf dan nahi munkar dan masih banyak lainnya.

Jika setiap muslim berambisi dengan berbagai kebaikan hendaknya mengikuti perintah dan contoh dari panutan dan teladannya yang terbaik yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada umatnya maka hendaklah ia mencontoh dan mengikutinya bukan menyelisihinya dengan melakukan ghibah, fitnah atau namimah. Maka ini adalah perilaku jauh api dari panggang.

Semoga kita dapat meneladani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam berbagai amal perbuatannya, tidak terkecuali dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan.

Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Bahjah an-Nazhirin: I/ 273.
[2] Bahjah an-Nazhirin: I/ 274.
[3] Shahih Sunan Ibni Majah: 3244, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1818, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 929 dan Shahih al-Ahadits al-Qudsiyyah: 123.
[4] Juga diriwayatkan dari Thariq bin Syihab radliyallahu anhu.
[5] Mukhtashor Shahih Muslim: 34, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1764, Shahih Sunan Abi Dawud: 1009, Shahih Sunan Ibni Majah: 1053, 3242, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4635, 4636 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6250.
[6] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1762, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7070 dan Misykah al-Mashobih: 5140.
[7] Shahih al-Adab al-Mufrad: 177.
[8] Aysar at-Tafasir: I/ 358.
[9] Aysar at-Tafasir: II/ 397.
[10] Shahih al-Jami ash-Shaghir: 2162 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 333.
[11] Mukhtashor Shahih Muslim: 1419, Shahih Sunan Abi Dawud: 4030 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2675.
[12] Bahjah an-Nazhirin: I/ 281.
[13] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1594, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2908 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 572.
[14] Mukhtashor Shahih Muslim: 364, Shahih Sunan Abi Dawud: 1143, 4366, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8097, 8098, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 577 dan Irwa’ al-Ghalil: 461.

JANGAN ENGKAU MEMATA-MATAI SAUDARAMU !!


JAUHILAH TAJASSUS

  بسم الله الرحمن الرحيم

Banyak keburukan yang dilakukan oleh manusia kecuali orang yang dirahmati oleh Allah ta’ala. Biasanya suatu keburukan jika mengendap di dalam diri seseorang maka akan menimbulkan keburukan lainnya. Misalnya, jika seorang manusia sudah terbiasa suka meng-ghibah atau menggunjing keburukan orang lain maka ia akan senang dengan kesusahan yang menimpa objek ghibahnya dan sedih dengan kebaikan yang didapat olehnya. Atau si peng-ghibah akan selalu berburuk sangka kepada objek ghibahnya, suka merendahkan orang lain terutama objek ghibahnya tersebut dan menyombongkan dirinya darinya dan sebagainya. 

Keburukan lain yang ditimbulkan oleh ghibah adalah tajassus dan tahassus. Jika seseorang sudah terbiasa di dalam membicarakan sisi negatif saudaranya yang muslim, maka ia merasa tidak nyaman dan tidak pula puas jika hanya membicarakan keburukan saudaranya yang itu-itu saja. Hal inilah yang mendorong dirinya untuk selalu mencari tahu dan menyelidiki segala kekurangan dan aib si objek ghibah. 

Dan iapun seringkali tidak puas jika yang menjadi objek ghibahnya itu hanyalah satu atau dua orang, ia selalu mencari mangsa baru untuk dighibah. Apalagi kalau mengghibah itu sudah menjadi profesi dirinya untuk mencari nafkah, sebab ia adalah seorang wartawan sebuah tabloid, surat kabar atau majalah yang selalu mengumbar aib dan keburukan seorang selebritis, pejabat, tokoh masyarakat dan selainnya. Atau juga ia adalah seorang reporter televisi untuk tayangan acara ghibahtainment atau buhtantainment.

Padahal Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-haditsnya yang shahih telah melarang dah mengharamkan tajassus dan tahassus, sebab keduanya ini merupakan jalan penghubung terjadinya ghibah.


وَ لاَ تَجَسَّسُوْا
 
Dan janganlah kalian mencari-cari (menyelidiki) keburukan orang lain. [QS. al-Hujurat/ 49: 12].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Tajassus itu pada umumnya kebanyakan dalam perbuatan buruk. Di antaranya kata “Jasus” yakni mata-mata atau spionase. Maksud (ayat tersebut) adalah janganlah sebahagian kalian menyelidiki aib sebahagian yang lain atau menguping pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukainya atau menguping melalui pintu-pintu (rumah) mereka”. [1]

Di dalam suatu hadits, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga telah melarang perbuatan tajassus dan tahassus,

عن أبي هريرة رضي الله عنه  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ وَ لاَ تَحَسَّسُوْا وَ لاَ تَجَسَّسُوْا

Dari Abu Hurairah radliyallahu anu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Janganlah kalian bertahassus dan jangan bertajassus. [HR Muslim: 2653, al-Bukhoriy: 6064 dan Abu Dawud: 4917. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [2]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Tajassus adalah mencari-cari atau menyelidiki aib kaum muslimin.

Sedangkan tahassus adalah menguping ucapan suatu kaum sedangkan mereka tidak menyukainya”. [3]

Berkata Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, “Tajasuus dengan huruf jiim, adalah (menyelidiki) aib orang, sedangkan tahassus, dengan huruf haa’ adalah menguping pembicaraan kaum”. [4]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diharamkan tajassus dan tahassus, bahwa barangsiapa yang mempunyai persangkaan terhadap saudaranya, maka ia tidak berhak untuk bertanya tentang keadaan saudaranya tersebut”. [5]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Tajassus adalah seseorang menyelidiki saudaranya supaya terlihat aibnya, sama saja yang demikian itu dengan cara langsung yakni ia pergi untuk memata-matai agar ia dapat mengetahui kesusahan dan aibnya. Atau dengan cara menggunakan alat-alat rekam suara atau juga dengan cara menyadap telepon. Maka segala sesuatu yang dapat menghubungkan seseorang kepada aib saudaranya maka hal tersebut termasuk dari tajassus yang diharamkan. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman, ((و لا تجسسوا )) (janganlah kalian bertajassus).  Jadi Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang dari tajassus”.  [6]

عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ مَنِ اسْتَمَعَ إِلىَ حَدِيْثِ قَوْمٍ وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ أَوْ يَفِرُّوْنَ مِنْهُ صُبَّ فىِ أُذُنِهِ اْلآنَكُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ 

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan barangsiapa yang menguping pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka tidak menyukainya atau mereka lari menghindar darinya akan dituangkan timah cair di telinganya pada hari kiamat”. [HR al-Bukhoriy: 7042, Abu Dawud: 5024, at-Turmudziy: 1751, ad-Darimiy: II/ 298, Ahmad: I/ 216, 246, 359. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [7]

Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya siapapun orangnya yang suka menguping pembicaraan orang lain sedangkan mereka tidak menyukai diketahui pembicaraannya bahkan akhirnya lari menghindar darinya. Baik secara langsung ataupun dengan alat bantu elektronik, misalnya berupa alat rekam, alat penyadap, menggunakan satelit ataupun yang sejenisnya maka berarti ia telah melakukan dosa besar, yakni akan dituangkan cairan timah panas pada telinganya pada hari kiamat nanti di dalam neraka. 

Di dalam satu kisah Nabi Isa Alaihi as-Salam pernah melihat ada seseorang mencuri lalu ia menanyakan terlebih dahulu untuk memastikannya, apakah benar orang itu mencuri atau tidak. Untuk lebih jelasnya kisah tersebut adalah sebagai berikut, 

عن أبي هريرة رضي الله عنه  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : رَأَى عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ رَجُلاً يَسْرِقُ فَقَالَ لَهُ عِيْسَى: سَرَقْتَ؟ قَالَ: كَلاَّ وَ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَقَالَ عِيْسىَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَ كَذَّبْتُ نَفْسِي 

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Nabi Isa putra Maryam Alaihi as-Salam pernah melihat seseorang sedang mencuri. Lalu ia bertanya, “Apakah engkau mencuri?”. Ia menjawab, “Sekali-kali tidak, demi Dzat Yang tiada ilah yang patut disembah kecuali Dia”. Berkata Isa Alaihi as-Salam, “Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan diriku (di dalam satu riwayat, penglihatanku)”. [HR Muslim: 2368, al-Bukhoriy: 3444, an-Nasa’iy: VIII/ 249 dan Ahmad: II/ 314, 383.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]

Nabi Isa Alaihi as-Salam membangun dirinya dalam kehati-hatian agar tidak mudah terjerumus dalam kekeliruan atau kesalahan, sehingga ketika ia melihat seseorang menjulurkan tangannya seperti mengambil sesuatu, yang di dalam pandangannya orang itu seperti sedang mencuri, tapi Beliau tidak tergesa-gesa menuduhnya mencuri, sebab boleh jadi pandangannya tertipu. Maka ia bertanya kepada orang itu, “apakah engkau mencuri?”. Namun ketika orang itu menyanggahnya dan bahkan bersumpah dengan nama Allah untuk menguatkan ucapannya, seketika itu pula Nabi Isa Alaihi as-Salam menarik tuduhannya dan mendustakan penglihatannya maka selamatlah ia dari tuduhan tersebut. Jikalau ternyata orang itu benar-benar mencuri lalu selamat dari tuduhan Nabi Isa Alaihi as-Salam dan hukuman dunia tetapi ia tidak akan selamat dari persaksian Allah Jalla Jalaluh dan hukuman-Nya kelak pada hari kiamat.

Mencontoh kisah di atas, agar akurat dan tepat, ketelitian itu sangat penting sebelum bersikap maka tidak boleh seorang muslim itu sekenanya saja dan tergesa-gesa di dalam menentukan sikap dari apa yang hanya ia lihat atau dengar. Sebab sifat tergesa-gesa itu dari setan yang memang selalu bertekad hendak menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa dan kesalahan, kebencian dan permusuhan dan semua perilaku yang dapat mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla serta menjauhkannya dari ridlo-Nya. Sedangkan sifat teliti dan cermat itu dari Allah Subhanahu wa ta’ala, yang dengan sifat elok ini seorang muslim dapat menjadi lebih berhati-hati di dalam beritikad, beramal, berucap maupun bersikap. Jika dengan keyakinan, amal, ucapan atau sikap itu dapat mendatangkan ridlo dan balasan kebaikan dari-Nya yang disebabkan adanya hujjah kuat dari alqur’an dan hadits shahih yang disertai niat ikhlas maka ia segera merealisasikannya, namun jika hanya akan mendatangkan murka-Nya dan balasan keburukan maka ia tidak akan mewujudkannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam dalil berikut ini,

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: التَّأَنىِّ مِنَ اللهِ وَ اْلعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sifat perlahan-lahan (teliti/ cermat) itu dari Allah dan sifat tergesa-gesa itu dari setan”. [HR  Abu Ya’la dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]

Oleh sebab itu kaum salaf shalih terdahulu, amat membenci perbuatan menyelidik dan menguping ini. Suatu ketika dihadirkan kepada seorang shahabat yaitu Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu, seseorang yang kedapatan pada jenggotnya menetes khomer. Maka iapun berkata, “Kita umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dilarang dari tajassus yakni menyelidik dan mencari-cari tahu akan keadaan seseorang, tetapi jika sesuatu itu telah jelas bagi kami, maka kamipun akan menghukuminya”.

عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ: أُتَيِ  ابْنُ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه فَقِيْلَ: هَذَا فُلاَنٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: إِنَّا قَدْ نُهِيْنَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَ لَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَناَ شَيْءٌ نَأْخُذْ بِهِ 

Dari Zaid bin Wahb berkata, “Pernah didatangkan kepada Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu (seorang lelaki)”. Lalu dikatakan kepadanya, “Si fulan ini, pada jenggotnya menetes khomer”. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya kami dilarang dari tajassus. Tetapi jika sesuatu telah jelas bagi kami, maka kami akan menghukuminya”. [Telah mengeluarkan atsar ini Abu Dawud: 4890. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ]. [10]  
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Barangsiapa yang datang dengan membawa tuduhan kepada selainnya dalam rangka bertajassus kepadanya, maka tuduhannya tersebut tidak boleh diterima”. [11]

Yang tidak disukai oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu adalah perbuatan tajassus sebahagian mereka kepada seseorang yang dijumpai pada jenggotnya menetes khomer. Yakni mereka menyelidik padahal mereka sendiri tidak melihatnya secara langsung dengan mata kepala mereka bahwa orang itu meneguk khomer itu. Mereka hanya menduga saja lalu membawanya kepada Ibnu Mas’ud  radliyallahu anhu untuk ditegakkan hadd atasnya, tetapi karena kearifan, sifat kehati-hatian dan keluasan ilmunyalah yang mendorongnya untuk menolak dan tidak mendukung tuduhan itu.

عن أبي برزة الأسلمي قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فىِ بَيْتِهِ 

Dari Abu Barzah al-Aslamiy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai golongan orang yang beriman dimulutnya tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian meng-ghibah kaum muslimin dan jangan pula kalian menyelidiki aib mereka. Barangsiapa yang menyelidiki aib mereka, maka Allah akan menyelidiki aibnya. Dan barangsiapa yang diselidiki aibnya oleh Allah, maka Allah akan membongkar (aib)nya (yang dikerjakan) di rumahnya”. [HR Abu Dawud: 4880 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [12]

عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: صَعِدَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم اْلمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيْعٍ قَالَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلىَ قَلْبِهِ وَ لاَ تُؤْذُوْا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تُعَيِّرُوْهُمْ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتْبَعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ اْلمـُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَ لَوْ فىِ جَوْفِ رَحْلِهِ
قال: وَ نَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْماً إِلىَ اْلبَيْتِ أَوْ إِلىَ اْلكَعْبَةِ فَقَالَ: مَا أَعْظَمُكَ وَ أَعْظَمُ حُرْمَتِكَ وَ اْلمـُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةٍ عِنْدَ اللهِ مِنْكَ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah naik mimbar lalu menyeru dengan suara yang keras dan bersabda, “Wahai golongan orang yang Islam pada lisannya namun keimanan belum mencapai hatinya janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, jangan menjelek-jelekkan mereka dan jangan menyelidiki aib-aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang menyelidik aib saudaranya yang muslim maka Allah juga akan menyelidiki aibnya. Dan barangsiapa yang diselidiki aibnya oleh Allah maka Allah akan membuka aibnya kendatipun ia (ketika mengerjakannya itu) berada di tengah-tengah tempat kediamannya”.

Suatu hari Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah melihat Baitullah atau Ka’bah, lalu berkata, “Alangkah agungnya dirimu dan alangkah agungnya kehormatanmu, namun orang mukmin itu lebih agung kehormatannya darimu di sisi Allah”. [HR at-Turmudziy: 2032. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [13]

Hadits-hadits di atas menerangkan bahwasanya yang gemar menyelidiki aib-aib kaum muslimin adalah orang yang imannya hanya di lisan dan tidak masuk ke dalam relung hatinya di antara kaum munafikin. Maka barangsiapa di antara mereka yang suka menyelidiki aib dan keburukan seorang muslim, lalu menyingkap dan menyebarluaskannya kepada khalayak manusia maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan membalasnya dengan menyelidik aib dan keburukannya pula lalu akan membuka aib tersebut dan menyebarluaskannya kepada orang banyak. Allah Azza wa Jalla mengancam akan menyingkap tabir semua aibnya bahkan sampai aib yang tersembunyi dan tersimpan rapi yang ia kerjakan di dalam rumahnya sendiri dalam keadaan sunyi sepi. Subhaanallah, hal ini telah banyak terbukti di masyarakat. Al-Iyadzu billah.

عَنْ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ – فَقَالَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ: كَلِمَةٌ َسمِعَهَا مُعَاوِيَةُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَفَعَهُ اللهُ تَعالى بِهَا
Dari Mu’awiyah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau jika menyelidik (atau mencari-cari) aib cela manusia maka engkau akan merusak mereka atau hampir-hampir merusak mereka”. Berkata Abu Darda’, “Suatu kalimat yang didengar oleh Mu’awiyah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dengannya, Allah ta’ala memberi manfaat kepadanya”. [HR Abu Dawud: 4888. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Perintah waspada dari tajassus (mencari-cari) aib kaum muslimin dan para hakim dilarang dari mentajassusi rakyat (masyarakat)”. [15]

Tidak diragukan lagi, perilaku tajassus ini akan mendatangkan berbagai kesusahan dan kepedihan bagi orang yang sedang diintai dan ditajassusi itu. Sebab kehidupannya tidak lagi menjadi nyaman, privasinya terganggu, ia merasa banyak mata mengintai dan telinga menguping, keluar masuk rumahnya sendiri bagaikan seorang pencuri yang takut ketahuan petugas keamanan dan sebagainya. Bukan hanya itu, akan terusik pula kehidupan anak, istri dan keluarganya, hingga mereka dipenuhi dengan kewaspadaan dari pengintaian dan penyelidikan orang lain. Berbicara berbisik-bisik khawatir terdengar, melangkah mengendap-ngendap takut ketahuan, keluar rumahpun terkadang dengan kawalan atau penyamaran bahkan menelpon sanak kerabatpun menjadi enggan lantaran khawatir disadap. Sehingga iapun mengucilkan diri, lari dari perhatian setiap insani dan akhirnya tenggelam dari keramaian kepada kesunyian. Rusaklah kehidupannya atau paling tidak hampir-hampir para tukang tajassus itu merusaknya. Duhai malang nian nasibnya, coba andaikan kemalangan itupun menimpa para tukang tajassus!!.

Sebagaimana telah diketahui bahwa para tukang tajassus itu hanya akan mencari dan mengincar keburukan seseorang dan mengabaikan kebaikannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Zanjiy al-Baghdadiy, [16]


يَمْشُوْنَ فىِ النَّاسِ يَبْغُوْنَ اْلعُيُوْبَ لِمَنْ   لاَ عَيْبَ فِيْهِ لِكَيْ يَسْتَشْرِفَ اْلعَطَبَ
إِنْ يَعْلَمُوا اْلخَيْرَ يُخْفُوْهُ وَ إِنْ عَلِمُوْا       شَرًّا أَذَاعُوْا وَ إِنْ لَمْ يَعْلَمُوْا كَذِبُوْا


Mereka melewati manusia dalam rangka mencari aib
Bagi orang yang tidak memiliki aib cela
Agar orang yang mulia menjadi binasa
Apabila mereka mengetahu kebaikan mereka menutupinya
Apabila mereka mengetahui keburukan mereka menyiarkannya
Namun bila mereka tidak mengetahuinya maka merekapun berdusta.

Demikian sekelumit penjelasan tentang tajassus dan tahassus yang banyak dilakukan oleh umat manusia, tidak terkecuali umat Islam yang lemah imannya lagi ternoda oleh kemunafikan.

Maka hendaknya setiap mukmin untuk selalu menjauhi kebiasaannya yang buruk untuk mencari-cari tahu apalagi menyelidiki aib saudaranya yang muslim. Bahkan jika ia terlanjur mengetahui aib saudaranya itu, hendaknya ia mengabaikan dan melupakannya seakan ia tidak pernah mendengar dan mengetahuinya. 

Semoga ilmu agama yang senantiasa dituntut olehnya itu dapat memberi manfaat kepadanya dengan menjaganya dari kekeliruan dan dosa dan melindunginya dari siksa kubur dan neraka.

Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Bahjah an-Nazhirin: III/ 92.
[2] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.
[3] Bahjah an-Nazhirin: III/ 93.
[4] Kaba’ir halaman 249.
[5] Bahjah an-Nazhirin: III/ 93.
[6] Al-Kaba’ir halaman 389.
[7] Shahih Sunan Abi Dawud: 4202, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1432, al-Jami’ ash-Shaghir: 6028 dan Ghoyah al-Maram: 120, 422.
[8] Mukhtashor Shahih Muslim: 1620 , Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5016, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3450 dan Misykah al-Mashobih: 5050.
[9] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3011, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1795 dan Misykah al-Mashobih: 5055..
[10] Shahih Sunan Abi Dawud: 4090.
[11] Bahjah an-Nazhirin: III/ 94.
[12] Shahih Sunan Abi Dawud: 4083, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7982, Miyskah al-Mashobih: 5044 dan Ghoyah al-Maram: 420
[13] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1655 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7985.
[14] Shahih Sunan Abi Dawud: 4088, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2295  dan Ghoyah al-Maram: 424.
[15] Bahjah an-Nazhirin: III/ 94.
[16] Raudlah al-Uqala oleh al-Imam Ibnu Hibban halaman 178.