السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Kamis, 06 Juni 2013

SEMPURNAKAN PEMAHAMAN ANDA TENTANG MANDI !!!

HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN MANDI
بسم الله الرحمن الرحيم

Meninggalkan wudlu setelah mandi

Apabila mandi janabat atau mandi haidl telah ditunaikan maka orang yang mandi tersebut tidak lagi perlu untuk berwudlu sebab wudlu pertama sebelum mandi telah mencukupinya.

عن عائشة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ اْلغُسْلِ (و فى رواية: مِنَ اْلجَنَابَةِ)

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak berwudlu lagi setelah mandi (di dalam satu riwayat, dari janabat). [HR at-Turmudziy: 107, an-Nasa’iy: I/ 137, 209, Ibnu Majah: 579, Ahmad: VI/ 68 dan al-Hakim: 563. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْتَسِلُ وَ يُصَلِّى الرَّكْعَتَيْنِ وَ صَلاَةَ اْلغَدَاةِ وَ لاَ أَرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ اْلغُسْلِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Biasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi lalu sholat dua rakaat dan sholat shubuh. Aku tidak melihatnya memperbaharui wudlu setelah mandi”. [HR Abu Dawud: 250 dan al-Hakim: 562. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah, “tidak diragukan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa berwudlu di dalam mandi. Maka wudlu sebelum menyempurnakan mandi adalah sunah yang tsabit (tetap) darinya dan adapun wudlu setelah selesai dari mandi maka hal tersebut tidak terjaga dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pula tsabit”. [3]

Maka dalil di atas menunjukkan bahwasanya setelah mandi tidak perlu memperbaharui wudlu lagi, karena wudlu pertama sebelum mandi telah mencukupinya.

Apakah sekali mandi itu mencukupi untuk dua mandi apabila meniatkan semuanya?

Maksudnya bolehkah mengerjakan sekali mandi dengan dua niat untuk dua mandi?. Hal ini telah dijawab oleh ulama yang memang kompeten dalam bidangnya, yakni,

Asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah menjawabnya, “Yang demikian itu tidaklah mencukupi. Bahkan sudah seharusnya mandi untuk setiap yang diwajibkan mandi sekali mandi atas satu batas. Sekali mandi untuk haidl dan sekali mandi yang lain untuk janabat. Atau sekali mandi untuk janabat dan untuk jum’at ada mandi yang lain karena mandi-mandi tersebut telah dikatakan oleh dalil atas wajibnya masing-masing darinya atas kesendiriannya. Maka tidak boleh menyatukannya di dalam satu amalan. Tidakkah engkau perhatikan bahwa andai kata seseorang mengganti shaum bulan Ramadlan ia tidak boleh meniatkan menggantinya bersamaan dengan menunaikan shaum Ramadlan. Demikian pula dikatakan tentang sholat dan yang semisalnya, dan memisahkan antara perkara-perkara ibadah dan mandi adalah tidak ada dalilnya, dan barangsiapa yang berdasarkan atas dugaan-dugaan maka silahkan ia (datang) dengan (membawa) keterangan.

  عن عبد الله بن أبي قتادة قَالَ:دَخَلَ عَلَيَّ أَبيِ وَ أَنَا أَغْتَسِلُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَقَالَ: غُسْلٌ مِنْ جَنَابَةٍ أَوْ لِلْجُمُعَةِ؟ قَالَ: قُلْتُ: مِنْ جَنَابَةٍ قَالَ: أَعِدْ غُسْلاً آخَرَ فَإِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ كَانَ فىِ طَهَارَةٍ إِلىَ اْلجُمُعَةِ اْلأُخْرَى

Dari Abdullah bin Abi Qotadah berkata, “Ayahku pernah masuk menemuiku sedangkan aku sedang mandi pada hari jum’at”. Ia berkata, “Apakah engkau mandi dari janabat ataukah untuk jum’at?”. Ia (yaitu Abdullah), aku berkata, “Dari sebab janabat”. Ayahku berkata, “Ulangilah mandi yang lain karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at maka ia di dalam keadaan suci sampai jum’at berikutnya”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Hakim: 1083 dan Ibnu Khuzaimah: 1760. Ia berkata: hadits shahih atas syarat dua syaikh dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya].

Andaikan Abu Qotadah memandang cukupnya satu mandi atas dua mandi tentulah ia tidak akan menyuruh putranya untuk mengulangi satu mandi lagi yaitu mandi jum’at. Tetapi ia akan mengatakan kepadanya, “niatkanlah di dalam mandimu dari janabat dan mandi jum’at juga”. [4]

Ringkasannya jika ada seseorang hendak melakukan suatu perbuatan yang mengharuskan dua kali mandi, maka ia hendaklah melakukannya dua kali mandi, dan sekali mandi tidaklah mencukupinya. Misalnya seseorang hendak sholat jum’at tetapi sebelumnya ia dalam keadaan junub dari sebab mimpi atau jimak, maka ia mesti mandi dua kali yaitu mandi janabat dan jum’at. Yakni ia berniat mandi janabat untuk mandi janabat, setelah ia selesai dari mandi janabat tersebut ia berniat lagi mandi jum’at untuk mandi jum’at. Atau seorang perempuan hendak sholat ied namun sebelumnya ia baru selesai dari haidl atau nifas, maka ia mesti mandi dua kali yaitu mandi haidl atau nifas dan kemudian mandi ied, dan begitu seterusnya. Yaitu ia berniat mandi haidl atau nifas untuk mandi haidl atau nifas, setelah selesai dari mandi tersebut lalu ia berniat lagi untuk mandi ied untuk sholat ied. Wallahu a’lam.

Bersembunyi dari penglihatan mata bagi orang yang mandi dan bolehnya telanjang di tempat sunyi

Ketika mandi, hendaknya setiap muslim itu bersembunyi dari penglihatan orang lain agar tidak nampak atau kelihatan auratnya. Hal ini telah diperintahkan oleh Nabi r di dalam dalil hadits-hadits berikut ini,

     عن يعلى (بن أمية) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِاْلبَرَازِ فَصَعِدَ اْلمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللهَ وَ أَثْنىَ عَلَيْهِ وَ قَالَ: إِنَّ اللهَ U حَلِيْمٌ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ اَلحَيَاَء وَ السِّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ

Dari Ya’la bin Umayyah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki mandi di tanah lapang. Maka beliau naik mimbar, memuji Allah dan menyanjung-Nya lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha pemurah, Maha pemalu lagi Maha penutup aib, menyukai sifat pemalu dan menutup (aib). Apabila seseorang di antara kalian hendak mandi maka bertabirlah”. [HR an-Nasa’iy: I/ 200, Abu Dawud: 4012 dan Ahmad: VI: 224. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

 عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم مَاءً قَالَتْ: فَسَتَرْتُهُ فَذَكَرَتِ اْلغُسْلَ قَالَتْ: ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا

Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, “Aku meletakkan air untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Ia berkata, “lalu aku menutupinya kemudian ia menceritakan tentang mandi (Beliau)”. Ia berkata, “Lalu aku berikan kepadanya secarik kain tapi Beliau tidak menginginkannya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 200 dan Muslim: 337. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

      عن أبي السمح قَالَ: كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ: وَلِّنيِ فَأُوِلِّيْهِ قَفَاهُ وَ أَنْشُرُ الثَّوْبَ فَأَسْتُرُهُ بِهِ

Dari Abu as-Samh radliyallahu anhu berkata, aku pernah melayani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka apabila Beliau ingin mandi, Beliau berkata, “Belakangi aku”. Maka aku pun membelakangi tengkuknya dan aku membentangkan kain lalu menutupi Beliau dengannya. [HR Ibnu Majah: 613, Abu Dawud: 376 dan an-Nasa’iy: I/ 126. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

 عن أبي مرة مولى عقيل حَدَّثَهُ  أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبيِ طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لمـــَّا كَانَ عَامَ اْلفَتْحِ أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلىَ غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى

Dari Abu Murrah maulanya Aqil, ia menceritakan kepadanya bahwasanya Ummu Hani binti Abi Thalib radliyallahu anha menceritakan kepadanya bahwasanya ketika tahun Fat-hu Makkah (penaklukan kota Mekkah) Ummu Hani adliyallahu anha pernah datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang berada di atas kota Mekkah. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri menuju mandi, maka Fathimah menutupinya kemudian Beliau mengambil bajunya lalu menyelimuti dirinya dengan baju tersebut. Kemudian Beliau sholat delapan rakaat sunat dluha. [HR Muslim: 336 (71), al-Bukhoriy: 280, 357, 3171, 6158, an-Nasa’iy: I/ 126 dan Ibnu Majah: 465, 614. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ يَغْتَسِلُوْنَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلىَ بَعْضٍ وَ كَانَ مُوْسَى يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوْا: وَ اللهِ مَا يَمْنَعُ مُوْسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلاَّ أَنَّهُ آدَرُ فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ اْلحَجَرُ بِثَوْبِهِ فَخَرَجَ مُوْسَى فىِ إِثْرِهِ يَقُوْلُ: ثَوْبيِ يَا حَجَرُ حَتىَّ نَظَرَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ إِلىَ مُوْسَى فَقَالُوْا: وَ اللهِ مَا مُوْسَى مِنْ بَأْسٍ وَ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِاْلحَجَرِ ضَرْبًا فَقَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَ اللهِ إِنَّهُ لَنَدَبٌ بِاْلحَجَرِ سِتَّةٌ أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبًا بِاْلحَجَرِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bani Israil biasa mandi dalam keadaan telanjang bulat yang sebahagian mereka melihat kepada sebahagian yang lain. Sedangkan nabi Musa alaihi as-Salam (mandi) menyendiri. Mereka berkata, “Demi Allah tiada yang mencegah Musa mandi bersama kita melainkan ia seorang yang terkena penyakit hernia (kondor)”. Suatu kali ia mandi dan meletakkan bajunya di atas batu, tiba-tiba batu itu lari membawa bajunya. Maka keluarlah Musa dengan segera seraya berkata, “Wahai batu, (berikan) bajuku!”. Sehingga Bani Israil melihat Musa lalu mereka berkata, “Demi Allah, ternyata tidak ada sesuatu kelainan pada Musa”. Maka nabi Musa mengambil bajunya dan memukul batu itu sekali pukul. Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ada bekas di batu itu yaitu enam atau tujuh pukulan di batu”. [HR al-Bukhoriy: 278, 3404, 4799 dan Muslim: 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: بَيْنَا أَيُّوْبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ أَيُّوْبُ يَحْتَثِي فىِ ثَوْبِهِ فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا أَيُّوْبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى؟ قَالَ: بَلَى وَ عِزَّتِكَ وَ لَكِنْ لاِ غِنىَ بيِ عَنْ بَرَكَتِكَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ketika nabi Ayyub alaihi as-Salam sedang mandi telanjang tiba-tiba jatuhlah ke hadapannya seekor belalang dari emas. Lalu nabi Ayyub alaihi as-Salam segera menangkapnya ke dalam bajunya. Rabbnya menyerunya, “Wahai Ayyub tidakkah aku telah mencukupimu dari apa yang engkau lihat?”. Ia berkata, “Benar, demi kemulian-Mu tetapi aku tidak pernah merasa cukup dari berkah-Mu”. [HR al-Bukhoriy: 279, 3391, 7493, an-Nasa’iy: I/ 201 dan Ahmad: II/ 314. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [10]

Dalil-dalil di atas menjelaskan tentang pensyariatan menutupi diri dari penglihatan orang lain dengan sesuatu ketika mandi misalnya dengan membentangkan kain, dihalangi oleh tubuh manusia yang membelakanginya atau yang lebih utama adalah mandi di kamar mandi dan sejenisnya. Namun jika keadaan memaksakan ia harus menanggalkan seluruh pakaiannya, maka hendaklah ia menghindari pandangan orang dan menyendiri.

Maka diharapkan bagi setiap muslim yang berpegang kepada kebenaran untuk menanamkan sifat malu di dalam dirinya karena Allah Azza wa Jalla menyukai sifat malu dan malu itu adalah bahagian dari iman. Hendaklah ia menutupi auratnya kecuali yang boleh atau kepada orang yang dihalalkan untuk melihatnya dan begitu juga sebaliknya ia mesti menjaga pandangan dari melihat aurat orang lain kecuali yang diperbolehkan.

Masuk ke tempat pemandian umum

Oleh sebab itulah Islam melarang umatnya untuk mandi di tempat pemandian umum yang terbuka, yang setiap mata dapat melihat atau memandang ke tempat tersebut lalu tampak jelaslah aurat orang-orang yang mandi padanya.

Seorang muslim dilarang memasuki tempat pemandian umum yang akan terlihat auratnya kecuali dengan menggunakan sarung. Dan juga dilarang baginya untuk membiarkan seseorang dari istri atau anak perempuannya untuk memasuki tempat pemandian umum kecuali jika aman dari penglihatan dan pandangan orang lain.

عن جابر رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ بِغَيْرِ إِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ

Dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memasukkan istrinya ke pemandian umum. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum tanpa sarung. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di atasnya”. [HR at-Turmudziy: 2801, an-Nasa’iy: I/ 198 dan Ahmad: III/ 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[11]

عن قاص الأجناد بالقسطنطينية أَنَّهُ حَدَّثَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِإِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ

Dari Qosh al-Ajnad di Qosthanthiniyah bahwasanya ia menceritakan bahwa Umar bin al-Khothob radliyallahu anhu berkata, “Wahai manusia sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di atasnya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah memasukkan istrinya ke pemandian umum”. [HR Ahmad: I/ 20, Abu Ya’la dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[12]

عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِمِئْزَرٍ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ مِنْ نِسَائِكُمْ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ قَالَ: فَنَمَيْتُ بِذَلِكَ إِلىَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ رضي الله عنه فىِ خِلاَفَتِهِ فَكَتَبَ إِلىَ أَبيِ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَازِمٍ أَنْ سَلْ مُحَمَّدَ بْنَ ثَابِتٍ عَنْ حَدِيْثِهِ فَإِنَّهُ رَضِيٌّ فَسَأَلَهُ ثُمَّ كَتَبَ إِلىَ عُمَرَ فَمَنَعَ النِّسَاءَ عَنِ اْلحَمَّامِ

Dari Abu Ayyub al-Anshoriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka di antara istri-istri kalian jangan dibiarkan masuk ke pemandian umum”. Berkata (Abu Ayyub), “Maka aku sampaikan hal tersebut kepada Umar bin Abdulaziz radliyallahu anhu di masa kekhalifahannya”. Lalu ia menulis (surat) kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazim bahwa, “Tanyakan kepada Muhammad bin Tsabit tentang hadits tersebut”. Maka iapun senang lalu menanyakannya kemudian menulis (surat) kembali kepada Umar (bin Abdulaziz). Lalu Ia melarang para perempuan (memasuki) pemandian umum. [HR Ibnu Hibban, al-Hakim:7853 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

عن أبي المليح الهذلي: أَنَّ نِسَاءً مِنْ أَهْلِ حِمْصَ أَوْ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ دَخَلْنَ عَلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ: أَنْتُنَّ اللاَّتيِ يَدْخُلْنَ نِسَاؤُكُنَّ اْلحَمَّامَاتِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيِاَبهَا فىِ غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ هَتَكَتِ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ رَبهِّاَ

Dari Abu al-Mulaih al-Hadzaliy, “Bahwasanya para perempuan dari penduduk Him-sh atau penduduk Syam pernah masuk (menemui) Aisyah radliyallahu anha”. Aisyah berkata, “Kaliankah yang memasukkan para perempuan ke pemandian umum. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang perempuan meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya melainkan dibukalah tirai penutup (rasa malu) antaranya dan antara Rabbnya”. [HR at-Turmudziy: 2803, Abu Dawud: 4010 dan Ibnu Majah: 3750. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

عن أم الدرداء رضي الله عنها قَالَتْ: خَرَجْتُ مِنَ اْلحَمَّامِ فَلَقِيَنىِ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ يَا أُمَّ الدَّرْدَاءِ؟ فَقُلْتُ: مِنَ اْلحَمَّامِ فَقَالَ: وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَنْزِعُ ثِيَاَبهَا فىِ غَيْرِ بَيْتِ أَحَدٍ مِنْ أُمَّهَاِتهَا إِلاَّ وَ هِيَ هَاتِكَةٌ كُلَّ سِتْرٍ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ الرَّحْمَنِ عز و جل

Dari Ummu ad-Darda’ radliyallahu anhu berkata, “aku pernah keluar dari pemandian umum. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menemuiku dan bersabda, “Dari manakah engkau wahai Ummu ad-Darda’?”. Aku jawab, “Dari pemandian umum”. Maka beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, tidaklah seorang perempuan menanggalkan pakaiannya di selain rumah seorang dari ibunya melainkan ia telah membuka tirai penutup antara dirinya dan antara ar-Rahman Azza wa Jalla”. [HR ini Ahmad: VI/ 361-362 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[15]

عن ابن عباس أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اتَّقُوْا بَيْتًا يُقَالُ لَهُ اْلحَمَّامُ فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّرَنَ وَ يَنْفَعُ اْلمـَرِيْضَ قَالَ: فَمَنْ دَخَلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah dirimu terhadap ruangan yang disebut dengan pemandian umum!”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah sesungguhnya ia dapat menghilangkan kotoran dan bermanfaat untuk orang sakit. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang memasukinya maka bertabirlah”. [HR al-Hakim: 7848 dan ia berkata: Shahih atas syarat Muslim dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلىَ عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَ لاَ اْلمــَرْأَةُ إِلىَ عَوْرَةِ اْلمــَرْأَةِ وَ لاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلىَ الرَّجُلِ فىِ ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ لاَ تُفْضِي اْلمــَرْأَةُ إِلىَ اْلمــَرْأَةِ فىِ الثَّوْبِ اْلوَاحِدِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “janganlah seorang lelaki memandang aurat lelaki yang lain dan janganlah pula seorang perempuan memandang aurat perempuan yang lain. Janganlah seorang lelaki bertelanjang dengan lelaki yang lain di dalam satu selimut. Dan janganlah pula seorang perempuan bertelanjang dengan wanita lain dalam satu selimut”. [HR Muslim: 338, Abu Dawud: 4018, at-Turmudziy: 2793, Ibnu Majah: 661, Ahmad: III/ 63 dan Ibnu Khuzaimah: 72. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[17]

Maksudnya seorang lelaki dilarang melihat aurat lelaki yang lain sebagaimana seorang perempuan dilarang melihat aurat perempuan yang lainnya. Jika demikian, bagaimana dengan melihat aurat lawan jenisnya, tentu lebih dilarang lagi. Namun perilaku ini sering dijumpai di tempat pemandian umum, apakah di sungai, pancuran air yang mengalir dari gunung, kolam renang untuk umum dan lain sebagainya.

Dalil-dalil di atas menunjukan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar berhati-hati mendatangi pemandian umum khususnya kaum perempuan. Karena di tempat tersebut banyak terdapat orang-orang yang menampakkan auratnya sehingga terjadilah saling melihat antara yang satu dengan yang lainnya. Atau banyak orang yang akan memandangi lekuk-lekuk tubuhnya dari kalangan lawan jenisnya dengan cara mengintip atau menatap secara langsung. Dari sebab itu pula, kaum lelaki dari umat ini dicegah memasuki pemandian umum kecuali dengan mengenakan sarung untuk menutupi auratnya. Dan bahkan dilarang membiarkan apalagi menyuruh para perempuan yang dibawah pengawasannya di antara istri-istri dan anak-anak perempuannya untuk memasukinya. Maka siapapun di antara para perempuan itu membuka dan menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya atau rumah suaminya maka berarti ia telah menyingkap tirai penutup rasa malu antara dirinya dengan Rabbnya Jalla wa Ala.

Mandinya seorang lelaki dengan salah seorang istrinya dari satu bejana

Namun dibolehkan seorang muslim mandi dengan salah seorang istrinya, yang masing-masing dari mereka dapat melihat aurat pasangannya. Bagaimana tidak boleh, sebab keduanya telah halal untuk saling bersentuhan, berpelukan, bercumbu rayu dan bahkan berhubungan intim (jimak), yang tidak boleh tidak tentu mereka akan saling melihat aurat pasangannya. [18]

Hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mandi bersama salah seorang dari istri-istrinya. Jika beliau melakukannya dan tidak mengkhususkan amal tersebut hanya untuk dirinya maka hal ini boleh diamalkan oleh umatnya, dan di dalam mengikuti perilaku belliau tersebut niscaya mengandung banyak kebaikan. Namun menghimpun beberapa istri untuk mandi bersama dirinya itu jelas tidak boleh dan terlarang.

     عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاٍء وَاحِدٍ يُبَادِرُنيِ وَ أُبَادِرُهُ حَتىَّ يَقُوْلُ: دَعِيْ ليِ وَ أَقُوْلُ أَنَا: دَعْ ليِ قَالَ سُوَيْد: يُبَادِرُنيِ وَ أُبَادِرُهُ فَأَقُوْلُ: دَعْ ليِ دَعْ ليِ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah mandi bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana”. Beliau mendahuluiku dan akupun mendahuluinya sehingga Beliau berkata, “Sisakan untukku” dan akupun berkata, ‘Sisakan untukku”. Berkata Suwaid, “Beliau mendahuluiku dan akupun mendahuluinya”. Lalu aku berkata, “Sisakan untukku, sisakan untukku”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 202 dan Muslim: 321 (46). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم كَانَ يَغْتَسِلُ وَ أَنَا مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْتَرِفُ مِنْهُ جَمِيْعًا
          
Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi bersama denganku dari satu bejana, kami menciduk (air) bersama-sama darinya. [HR an-Nasa’iy: I/ 128, 201. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ رَسُوْلُ للهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلجَنَابَةِ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ‘Aku pernah mandi janabat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 201-202, al-Bukhoriy: 263, Ibnu Majah: 376, Abu Dawud: 77 dan al-Hakim: 250. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: لَقَدْ رَأَيْتُنيِ أُنَازِعُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم اْلإِنَاءَ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ هُوَ مِنْهُ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh aku telah rebutan bejana dengan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang aku dan Beliau mandi darinya”. [HR  an-Nasa’iy: I/ 130, 202. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[22]

عن ميمونة رضي الله عنها أَنهَّاَ كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فىِ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
           
Dari Maimunah radliyallahu anha bahwasanya ia pernah mandi bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam satu bejana. [HR Muslim: 322 dan Ibnu Majah: 377. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

عن أم سلمة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَتْ هِيَ وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْتَسِلاَنِ فىِ اْلإِنَاءِ اْلوَاحِدِ مِنَ اْلجَنَابَةِ
           
Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata, “Ia pernah mandi janabat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam satu bejana”. [HR Muslim: 324 dan Ibnu Majah: 380. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

عن ناعم مولى أم سلمة رضي الله عنها أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ سُئِلَتْ: أَتَغْتَسِلُ اْلمَرْأَةُ مَعَ الرَّجُلِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ  إِذَا كَانَتْ كَيِّسَةً رَأَيْتُنيِ وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَغْتَسِلُ مِنْ مِرْكَنٍ وَاحِدٍ نُفِيْضُ عَلَى أَيْدِيْنَا حَتىَّ نُنْقِيَهُمَا ثُمَّ نُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ  قَالَ اْلأَعْرَجُ: لاَ تَذْكُرُ فَرْجًا وَ لاَ تَبَالَهُ
           
Dari Na’im maulanya Ummu Salamah radliyallahu anha, “Bahwasanya Ummu Salamah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang perempuan mandi bersama suaminya?”. Ia menjawab, “Ya, apabila ia dapat mempergunakan air. [25] Aku melihat diriku bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mandi di satu ruang mandi. Kami menuangkan (air) ke tangan-tangan kami sehingga kami membersihkan keduanya. Kemudian kami menuangkan air ke atas tubuh kami”. Berkata al-A’raj, “Ia (yaitu Ummu Salamah) tidak menyebutkan farji dan juga tidak bertindak masa bodoh”. [HR an-Nasa’iy: I/ 129-130. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ أَزْوَاجُهُ يَغْتَسِلُوْنَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para istrinya mandi dari satu bejana”. [HR Ibnu Majah: 379. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

عن أنس بن مالك يَقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَ اْلمــَرْأَةُ مِنْ نِسَائِهِ يَغْتَسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
           
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan salah seorang dari istrinya mandi dari satu bejana”. [HR al-Bukhoriy: 264 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [28]

Dalil-dalil di atas membuktikan bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah mandi bersama dengan seseorang dari para istrinya dari satu bejana, satu hari bersama yang ini dan di hari lain dengan yang itu. Maka tiada perkara yang mencegah pasangan suami istri yang menteladani Beliau untuk mencontohnya di dalam keseharian, sebagai bentuk kecintaan terhadap sunnah Rosul Shallallahu alaihi wa sallam, tiada bedanya pasangan muda atau yang mulai menua. Rasa malu dan sungkan jangan menjadi penghambat untuk mengerjakan sunnah tersebut, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan, misalnya: mendapatkan pahala karena mengikuti sunnah, makin mempererat hubungan di antara keduanya, saling membantu membersihkan tubuh dan sebagainya. Sebab sebagaimana dipahami bahwasanya tidaklah mungkin Nabi r memerintahkan atau mencontohkan sesuatu amalan jika tidak ada kemashlahatan atau kebaikan padanya, dan tidaklah mungkin pula Beliau melarang dan meninggalkan sesuatu amalan jika tidak ada kemudlaratan dan keburukan padanya.

Ucapan ketika memasuki kamar mandi

Berikut ini terdapat dalil dari hadits Anas bin Malik radliyallahu anhu tentang doa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika memasuki tempat atau kamar mandi,

     عن أنس يقول: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا دَخَلَ اْلخَلاَءَ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
           
Dari anas berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya jika masuk ke dalam kamar mandi Beliau mengucapka, “اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan lelaki dan perempuan)”. [HR al-Bukhoriy: 142, 6322, Muslim: 375, Abu Dawud: 4, at-Turmudziy: 5, 6, an-Nasa’iy: I/ 20, Ibnu Majah: 298, Ahmad: III/ 99, 101, 282 dan ad-Darimiy: I/ 171. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [29]

Jadi jika seorang muslim bermaksud ke kamar mandi untuk menunaikan sebahagian hajatnya maka disyariatkan baginya untuk melangkahkan kaki kirinya masuk ke kamar mandi seraya membaca,

اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
            
 Apabila telah menyelesaikan hajatnya dan bermaksud hendak keluar darinya disyariatkan untuk melangkahkan kaki kanannya seraya membaca,

غُفْرَانَكَ

Ucapan ketika keluar dari kamar mandi

Begitu pula dianjurkan baginya untuk berdoa tatkala keluar dari tempat atau kamar mandi sebagaimana telah diajarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini,

  عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ قَالَ: غُفْرَانَكَ
           
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya jika keluar dari keluar kamar mandi Beliau mengucapkan, غُفْرَانَكَ (Ya Allah aku mengharapkan ampunan-Mu)”. [HR at-Turmudziy: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300, Ahmad: VI/ 155 dan ad-Darimiy: I/ 174. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[30]

Demikian pembahasan tentang mandi janabat dan haidl atau nifas dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Selanjutnya adalah pembahasan tentang tayammum dan hal-hal yang berhubungan dengannya.

[1] Shahih Sunan at-Turmudziy: 93, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 246, 417, Shahih Sunan Ibni Majah: 470 dan Misykah al-Mashobih: 445.
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 225.
[3] Aun al-Ma’bud: I/ 292.
[4] Tamam al-Minnah halaman 126, 128 dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.
[5] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 393, Shahih Sunan Abi Dawud: 3387, Misykah al-Mashobih: 447, Irwa’ al-Ghalil: 2335 dan Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 1756.
[6] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 395.
[7] Shahih Sunan Ibni Majah: 497, Shahih Sunan Abi Dawud: 362 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 218.
[8] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 219 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 377, 498.
[9] Mukhtashor Shahih Muslim: 158 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2239, 4467.
[10] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 396, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2863 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3613.
[11] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2246, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 388, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6505, 6506, Ghoyah al-Maram: 190 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 159.
[12] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 162 dan Irwa’ al-Ghalil: 1949.
[13] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 160.
[14] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2247, Shahih Sunan Abi Dawud: 3386, Shahih Sunan Ibni Majah: 3021, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 165 dan Ghoyah al-Maram: 194.
[15] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 164 dan Ghoyah al-Maram: halaman 136-137.
[16] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 161, Irwa’ al-Ghalil: VIII/ 206, Ghoyah al-Maram: 193 dan Shahih al-Jaai’ ash-Shaghir: 116.
[17] Mukhtashor Shahih Muslim: 159, Shahih Sunan Abi Dawud: 3392, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2243, Shahih Sunan Ibni Majah: 538, Irwa’ al-Ghalil: 1808, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7800 dan Ghoyah al-Maram: 185.
[18] Adapun atsar dari Aisyah radliyallahu anha, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat aurat (farji)nya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedikitpun”. Di antara perawinya ada seorang pendusta lagi pemalsu hadits yaitu Barokah bin Muhammad al-Halabiy. [Lihat Adab az-Zifaf halaman 109 dan Tuhfah al-Arus halaman163].
[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 233, 401 dan Adab az-Zifaf halaman 108.
[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 226, 398.
[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 227, 399, Shahih Sunan Ibni Majah: 301 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 70.
[22] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 228, 400.
[23] Shahih Sunan Ibni Majah: 302.
[24] Shahih Sunan Ibni Majah: 305.
[25] Kayyisah artinya dapat mempergunakan air (dengan benar). [Catatan kaki pada Shahiih Sunan an-Nasa’iy: I/ 50].
[26] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 231.
[27] Shahih Sunan Ibni Majah: 304.
[28]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 155.
[29] Mukhtashor Shahih Muslim: 108, Shahih Sunan Abi Dawud: 3, Shahih Sunan at-Turmudziy: 5, 6, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 19, Shahih Sunan Ibni Majah: 243, Irwa’ al-Ghalil: 51, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4712, Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 66 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 329.
[30] Shahih Sunan at-Turmudziy: 7, Shahih Sunan Abi Dawud: 23 (1), Shahih Sunan Ibni Majah: 244, Irwa’ al-Ghalil: 52, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4707, Misykah al-Mashobih: 359, Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 73 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 333.

ADA APA DENGAN SYA’BAN (1) ???

AMALAN DI BULAN SYA’BAN
بسم الله الرحمن الرحيم

Alasan kenapa bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban

Sudah sepatutnya setiap muslim mengetahui jumlah dan nama-nama bulan dalam Islam, dari bulan Muharram sampai dengan bulan Dzulhijjah. Alhamdulillah, sebahagian mereka telah mengetahui bahwa bulan Ramadlan itu berada di urutan ke sembilan dalam bulan Islam dan Sya’ban bulan ke delapannya. Oleh sebab itu, sebelum kita memasuki gerbang bulan Ramadlan, kita mesti melewati dan menjalani bulan Sya’ban ini terlebih dahulu.

Namun apakah mereka mengetahui kenapa bulan Sya’ban itu dinamakan Sya’ban?.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau, “As-Sakhowiy rahimahullah mengatakan bahwa Sya’ban berasal dari berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang, mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan”. [1]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah berkata, “Bulan Sya’ban disebut Sya’ban karena pada bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air atau untuk melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk mencari air)”. [2]

 SYA’BAN ADALAH PINTU GERBANG RAMADLAN

Bulan Ramadlan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta’ala dan keberkahan, bagi orang yang dapat memanfaatkan bulan itu untuk mengerjakan berbagai jenis ibadah yang disyariatkan. Karena di bulan itulah alqur’an diturunkan, diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh, dianjurkan untuk giat bersedekah karena Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pada bulan itu lebih dermawan daripada di bulan-bulan lainnya, ditegakkan sholat tarawih berjamaah, dianjurkan untuk membaca alqur’an, mentadarusi dan mentadabburinya, ifthar jama’iy (buka puasa bersama), dan lain sebagainya.

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu”. [HR al-Bukhoriy: 1901, 2014, Muslim: 760, Ibnu Majah: 1641, 1326 dan at-Turmudziy: 683. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan keutamaan bulan Ramadlan dan ketinggian kedudukannya. Bahwasanya bulan itu adalah bulan (diwajibkannya) berpuasa. Maka barangsiapa yang berpuasa (pada bulan itu) maka akan diampuni kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya meskipun sebanyak buih lautan”. [4]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Apabila seseorang berpuasa lantaran iman kepada Allah dan dalam rangka mencari pahala Allah, maka Allah ta’ala akan mengampuni dosanya yang telah lalu”. [5]

Maka untuk mencapai ampunan yang Allah Subhanahu wa ta’ala janjikan maka diperlukan kesungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di bulan Sya’ban. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mencontohkan dengan banyak melakukan ibadah puasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan dan latihan untuk memasuki bulan Ramadlan.

Dan bulan Sya’ban ibaratnya adalah pintu gerbang yang mesti dilalui oleh setiap muslim dalam keadaan telah siap menunaikan berbagai anjuran yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata,

لَمْ يكن النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
         
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” [HR al-Bukhoriy: 1970, Muslim: 1156 (176) dan at-Turmudziy: 736, 737]. [6]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat dalil akan keutamaan berpuasa pada bulan Sya’ban. Puasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu boleh diteladani oleh orang yang mampu (berpuasa) selama ia sanggup, adapun orang dikhawatirkan payah atau puasanya itu berpengaruh (buruk) pada bulan Ramadlan maka dimakruhkan untuk berpuasa baginya setelah pertengahan bulan Sya’ban”. [7]

Oleh karena itu, tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang bisa jadi akan melewatkan bulan Ramadlan sebagaimana bulan-bulan lainnya tanpa faidah, tanpa nilai dan tanpa mashlahat sedikitpun apalagi jika dosa-dosanyapun tersebut tidak diampuni.

SUNNAH-SUNNAH DI BULAN SYA’BAN

 Hendaknya setiap muslim mengetahui bahwa ada beberapa sunnah di bulan Sya’ban yang hendaknya diperhatikan,

 1. Memperbanyak shaum/ puasa di bulan Sya’ban

Yakni hendaknya bagi setiap muslim yang sudah terbiasa melakukan puasa sunnah untuk tetap melakukan kebiasaan baik itu seperti biasanya, bahkan sampai menjelang akhir bulan Sya’ban, kecuali jika sudah mendekati satu atau dua harinya maka hendaknya mereka menghentikannya karena dikhawatirkan jatuh ke dalam larangan yang telah disebutkan dalam hadits-hadits dari Abu Hurairah radliyallahu anhu yang akan disebutkan sebentar lagi. Apalagi jika mendekati yaumusy syakk (hari yang diragukan), hendaknya mereka meninggalkan berpuasa pada hari itu karena adanya larangan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Namun bagi muslim yang tidak terbiasa melakukan puasa-puasa sunnah, jika mereka ingin melakukan anjuran berpuasa pada bulan Sya’ban hendaknya sampai pertengan bulan saja sebagaimana akan datang penjelasannya di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallahu anhu.

Yang perlu diperhatikan lagi, bahwa jika memasuki bulan Sya’ban hendaknya setiap muslim memperhatikan apakah puasa Ramadlannya yang terdahulu sudah dibayar (diqodlo) sejumlah hari-hari yang ia tinggalkan, apakah karena masalah darah wanita, tertimpa sakit, dalam safar atau selainnya. Jika masih tersisa hutang puasanya maka hendaklah ia segera membayarnya, karena tidak adalagi bulan sesudah Sya’ban ketika memasuki Ramadlan.

Anjuran banyak berpuasa di bulan Sya’ban ini telah dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu anha yang telah berlalu. Aisyah radliyallahu anha berkata,

     لَمْ يكن النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
         
 “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.”

Maksud ucapan Ummahat al-Mukminin Aisyah radhiyallahu anha “Beliau Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya” adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya’ban, bukan pada keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadlan. Dan terkadang dalam kebiasaan bahasa Arab, jika hendak mengungkapkan sesuatu perbuatan yang mayoritas seseorang lakukan dalam kurun waktu tertentu, dengan menggunakan kata ‘seluruhnya’, padahal yang dimaksud adalah sebahagian besar waktunya (mayoritas).

Berkata Ibnu al-Mubarak rahimahullah, “Di dalam ucapan bahasa Arab, boleh apabila seseorang berpuasa di kebanyakan bulan untuk dikatakan ‘ia berpuasa pada bulan itu seluruhnya’”. [8] Begitu pula yang dikatakan oleh al-Imam at-Tirmidziy. [9]

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa sehingga kami berkata ‘Beliau tidak pernah berbuka’. Dan Beliau juga berbuka hingga kami berkata ‘Beliau tidak pernah berpuasa’.

وَ مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَ مَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Aku tidak pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sempurna di dalam berpuasa selama sebulan kecuali Ramadlan. Dan aku juga tidak melihat Beliau lebih banyak berpuasa dari bulan Ramadlan selain bulan Sya’ban”. [HR al-Bukhoriy: 1969].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Oleh sebab itu sudah sepantasnya bagi seseorang untuk memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan lainnya, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa padanya. Para ahli ilmu menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban ini adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadlan seperti sholat rawatib dan sholat wajib (maksudnya agar seseorang menjadikan puasa di bulan Sya’ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum masuk ke dalam puasa Ramadlan)”. [10]

 2. Menghitung hari bulan Sya’ban

Maksudnya, setiap muslim khususnya orang-orang yang berkompeten dalam hal ini hendaknya mereka memperhatikan dan melihat (ru’yat) hilal akhir bulan Sya’ban dengan teliti agar dapat menentukan tanggal 1 dari bulan Ramadlan. Jika ternyata langit tertutup awan, atau tetesan air karena hujan deras atau yang semisalnya maka hendaklah mereka menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan hendaklah mereka menghindari penentuan akhir dan awal bulan itu berdasarkan hisab, karena hal tersebut bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tigapuluh hari.” [HR al-Bukhoriy: 1909 dan Muslim: 1081 (19)]. [11]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Puasa itu berkaitan erat dengan melihat bulan dengan mata secara langsung. Bahwa tidak boleh berpuasa dengan melalui ilmu hisab dan yang menyerupainya. Demikian yang dikatakan oleh para ulama umat ini.
Demikian pula dengan berbuka (menentukan hari raya fithri) dengan melihat melalui mata secara langsung.
Mendung, jika menutupi ru’yat (pandangan), maka mesti melazimkan penyempurnaan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ini adalah dalil bahwa ilmu hisab tidak boleh masuk ke dalam (menghitung) Ramadlan dan juga akhir (bulan tersebut). Karena di dalam kondisi mendung dan tidak dapat menyaksikan hilal (bulan) maka tidak boleh menggunakan ilmu hisab, namun menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban dan juga menyempurnakan bilangan bulan Ramadlan”. [12]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Yaitu wajib bagi kaum muslimin untuk berpuasa apabila mereka melihat hilal –yaitu hilal Ramadlan (yaitu tanggal 1 Ramadlan)-. Lalu jika mereka tidak melihatnya maka mereka tidak boleh berpuasa. Oleh karena itu Beliau bersabda, ‘Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tigapuluh hari’, yaitu seandainya hilal tertutup oleh mendung atau tetesan air hujan dan yang serupa dengan itu maka wajib untuk menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari”. [13]

Maka, sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadlan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadlan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. [14]

 3. Tidak mendahului Ramadlan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya

Yaitu, setiap muslim dilarang untuk berpuasa terlebih dahulu satu atau dua hari sebelum datangnya bulan Ramadlan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

   لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
          
“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadlan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut.” [HR al-Bukhoriy: 1914, Abu Dawud: 2335, at-Turmudziy: 684, an-Nasa’iy: III/ 684 dan Ahmad: II/ 521. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, 

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan sehari atau dua hari berpuasa, kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa lalu ia berpuasa.” [HR. Muslim: 1082 dan Ibnu Majah: 1650. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [16]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang untuk mendahului Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa yang sudah menjadi kebiasaan seseorang. Misalnya seseorang yang sudah terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadlan maka tidak mengapa baginya untuk berpuasa”. [17]

4. Tidak berpuasa pada hari yang diragukan

Jika timbul keraguan bagi kaum muslimin, apakah hari itu sudah masuk awal bulan Ramadlan atau belum, maka hendaknya mereka tetap harus meninggalkannya dan tidak boleh berpuasa pada hari tersebut. Jika ternyata ada di antara mereka yang tetap bersikukuh atau bersikeras untuk mengerjakannya pada hari yang telah diragukan tersebut berarti ia telah mendurhakai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Namun jika ternyata yaumusy syakk (hari yang diragukan) tersebut itu benar-benar awal Ramadlan dan diwajibkannya mulai berpuasa sebagaiman kesaksian orang lain dan diakui oleh Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, maka ia tidak berdosa namun ia harus mengqodlo atau membayar puasa tersebut pada hari lainnya di selain bulan Ramadlan.

Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu berkata,

            مَنْ صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صلى الله عليه وسلم

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu Rosulullah) Shallallahu alaihi wa sallam.” [Atsar riwayat al-Bukhoriy, Abu Dawud: 2334, Ibnu Majah: 1645, at-Tirmidziy: 686, an-Nasa’iy: IV/ 153, Ibnu Khuzaimah: 1914, ad-Darimiy: II/ 2, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih). [18]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Hadits ini dijadikan sebagai dalil haramnya berpuasa pada hari syakk (yang diragukan). Karena shahabat itu tidaklah mengatakan hal tersebut dari pendapat dirinya sendiri. Namun, ucapan tersebut dapat digolongkan sebagai riwayat marfu’. Ibnu  Abdil Barr berkata, “Menurut mereka riwayat tersebut adalah musnad (yaitu riwayat yang mempunyai rantai sanad) dan mereka tidak berselisih dalam hal tersebut”. [19]

Yaumuys syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya’ban apabila hilal tertutup mendung atau karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [20]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diharamkan untuk berpuasa pada hari syakk (yang diragukan) karena shahabat tidak mungkin mengatakan hal itu dari arah pemikirannya sendiri. Maka hadits init dihukumi marfu’ meskipun nampaknya mauquf secara lafazh. [21]

Berkata al-Imam at-Turmudziy rahimahullah, “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan para Shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para Tabi’in setelah mereka. Dengan ini pula, berpendapat Sufyan ats-Tsauriy, Malik bin Anas, Abdullah bin al-Mubarak, asy-Syafi’iy, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat akan makruhnya berpuasa pada hari yang diragukan. Menurut pendapat mayoritas mereka, jika seseorang berpuasa pada hari itu, dan ternyata hari itu benar-benar telah masuk bulan Ramadlan, maka ia harus menggantinya pada hari yang lain”. [22]

HARAP DIPERHATIKAN

1). Puasa setelah pertengahan Sya’ban

Di dalam hal ini para ahli ilmu rahimahumullah telah menerangkan tentang pembahasan ini dengan terang.

Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

      إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا

“Ketika masih tersisa separuh dari bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” [HR. at-Tirmidziy: 738. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

Berkata al-Imam at-Turmudziy rahimahullah, “Makna hadits ini menurut sebahagian ahli ilmu adalah seseorang dalam keadaan tidak berpuasa (dari awal bulan Sya’ban) namun setelah tersisa sedikit hari dari bulan Sya’ban ia berpuasa karena keadaannya untuk menyambut bulan Ramadlan”. [24]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dimakruhkan berpuasa sunnah setelah pertengahan Sya’ban bagi orang yang dapat dilemahkan oleh puasanya. Dan apabila datang hari Syakk (yang diragukan dalam berpuasa) maka diharamkan untuk berpuasa”. [25]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Meski al-Imam at-Tirmidziy rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang dla’if (lemah). Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini syadz. [Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya]. Hadits ini menyelisihi riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَصُوْمُوْا قَبْلَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ أَوْ بِيَوْمَيْنِ

“Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya.”
Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadlan, atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya.

Kalaupun haditsnya shahih, maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan sebagaimana pendapat sebagian ahli ilmu. Kecuali apabila dia sudah memiliki kebiasaan berpuasa, maka boleh baginya untuk berpuasa meski setelah pertengahan bulan Sya’ban.

Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga,
1). Setelah pertengahan Sya’ban sampai tanggal dua puluh delapan, maka ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya kebiasaan berpuasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits larangan puasa tersebut adalah shahih. Namun al-Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini, maka dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama sekali.
2). Satu atau dua hari sebelum Ramadlan, maka ini hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya kebiasaan berpuasa sebelumnya.
3). Pada yaumus syakk (hari yang diragukan). Maka ini hukumnya haram secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syakk karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya. [26]

Juga ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah kalian berpuasa.” [HR Abu Dawud: 2337. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

  إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadlan.” (HR Ibnu Majah: 1651. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [28]

Dalam lafazh yang lain lagi,

إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan Ramadlan.” [HR. Ahmad: II/ 442].

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.

Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah at-Tirmidziy, Ibnu Hibban, al-Hakim, ath-Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin  Mahdiy, al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar-Rozi, dan al-Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, 

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan sehari atau dua hari berpuasa, kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa lalu ia berpuasa.” [HR. Muslim: 1082 dan Ibnu Majah: 1650. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [29]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
            
“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadlan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada hari tersebut.” [HR al-Bukhoriy: 1914, Abu Dawud: 2335, at-Turmudziy: 684, an-Nasa’iy: III/ 684 dan Ahmad: II/ 521. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

Jika dipahami dari hadits-hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadlan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al-Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadlan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadlan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”

Al-Imam at-Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan al-Imam ath-Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.

Namun ada pendapat dari al-Imam asy-Syafi’iy dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. [31]

2). Puasa satu atau dua hari sebelum Ramadlan

Begitu pula tentang berpuasa di akhir bulan Sya’ban pada tanggal 28 atau 29, yang berarti satu atau dua hari menjelang Ramadlan. Para ulama atau ahli ilmu juga telah membahas tentang hal itu dengan jelas agar kita sebagai umat Islam dapat melakoni ajaran agama kita, khususnya masalah puasa dengan tenang dan baik karena berdasarkan ilmu dan hujjah.

Dari Abu Hurairah, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah mendahulukan Ramadlan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” [HR. Muslim:1082]

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model,
1). Jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadlan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.
2). Jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.
3). Jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadlan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah al-Hasan al-Bashriy. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadlan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Imam Asy-Syafi’iy, al-Imam Ahmad dan al-Awza’iy. [32]

 3). Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadlan?

Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadlan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadlan yang tidak dituntunkan.

Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang menyambungkan sholat wajib dengan sholat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. [33]

Selain itu sebagai umat Islam, kita wajib dan tunduk terhadap berbagai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang kita untuk berpuasa satu atau dua hari menjelang Ramadlan maka hendaknya kita segera meninggalkannya tanpa keraguan dan bantahan sedikitpun. Wallahu a’lam bish showab.

In syaa Allah pembahasan tentang bulan Sya’ban masih bersambung. Semoga bermanfaat bagiku, keluargaku dan kaum muslimin seluruhnya.

[1] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: II/ 432, Cetakan Dar al-Fikr tahun1412H/ 1992M.
[2] Fat-h al-Bariy: IV/ 213.
[3] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1091, 1330, Shahih Sunan at-Turmudziy: 550, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 982.
[4] Bahjah an-Nazhirin: II/ 362.
[5] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 486.
[6] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 966 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 588, 589.
[7] Bahjah an-Nazhirin: II/ 381.
[8] Fat-h al-Bariy: IV/214 dan Nail al-Awthar: IV/ 291 cetakan Dar Zamzam Riyadl.
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 225.
[10] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/502.
[11] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 924 dan Misykah al-Mashobih: 1970.
[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 363-364.
[13] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 487.
[14] Shifat Shaum an-Nabiy Shallallahu alaihi wasallam, oleh asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy dan asy-Syaikh Ali Hasan al-Halabiy, halaman 27.
[15] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 928, Shahih Sunan Abu Dawud: 2047 dan Misykah al-Mashobih: 1973.
[16] Mukhtashor Shahih Muslim: 573, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7395 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2395.
[17]  Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 491.
[18] Fat-h al-Bariy: IV/ 119, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 444 (294), Shahih Sunan Abu Dawud: 2046, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1334, Shahih Sunan at-Turmudziy: 553, Irwa’ al-Ghalil: 961 dan Misykah al-Mashobih: 1977.
[19] Fat-h al-Bariy: IV/ 120.
[20] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 491.
[21] Bahjah an-Nazhirin: II/ 367.
[22] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 210.
[23] Shahih Sunan at-Turmudziy: 590.
[24] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 225.
[25] Bahjah an-Nazhirin: II/ 367.
[26] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 491.
[27] Shahih Sunan Abi Dawud: 2049, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 397 dan Misykah al-Mashobih: 1974.
[28] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1339.
[29] Mukhtashor Shahih Muslim: 573, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1338, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7395 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2395.
[30] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 928, Shahih Sunan Abu Dawud: 2047 dan Misykah al-Mashobih: 1973.
[31] Latho’if al-Ma’arif halaman 244-245.
[32] Latho’if Al-Ma’arif halaman 257-258.
[33] Latho’if al-Ma’arif halaman 258-259.