HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN MANDI
بسم الله الرحمن الرحيم
Meninggalkan wudlu setelah mandi
Apabila mandi
janabat atau mandi haidl telah ditunaikan maka orang yang mandi
tersebut tidak lagi perlu untuk berwudlu sebab wudlu pertama sebelum
mandi telah mencukupinya.
عن عائشة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ اْلغُسْلِ (و فى رواية: مِنَ اْلجَنَابَةِ)
Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam tidak berwudlu lagi setelah mandi (di dalam satu riwayat, dari
janabat). [HR at-Turmudziy: 107, an-Nasa’iy: I/ 137, 209, Ibnu Majah:
579, Ahmad: VI/ 68 dan al-Hakim: 563. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [1]
عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
يَغْتَسِلُ وَ يُصَلِّى الرَّكْعَتَيْنِ وَ صَلاَةَ اْلغَدَاةِ وَ لاَ
أَرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوْءًا بَعْدَ اْلغُسْلِ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Biasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mandi lalu sholat dua rakaat dan sholat
shubuh. Aku tidak melihatnya memperbaharui wudlu setelah mandi”. [HR Abu
Dawud: 250 dan al-Hakim: 562. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]
Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah, “tidak diragukan
bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa berwudlu di dalam
mandi. Maka wudlu sebelum menyempurnakan mandi adalah sunah yang tsabit
(tetap) darinya dan adapun wudlu setelah selesai dari mandi maka hal
tersebut tidak terjaga dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak
pula tsabit”. [3]
Maka dalil di atas menunjukkan bahwasanya setelah mandi tidak perlu
memperbaharui wudlu lagi, karena wudlu pertama sebelum mandi telah
mencukupinya.
Apakah sekali mandi itu mencukupi untuk dua mandi apabila meniatkan semuanya?
Maksudnya bolehkah mengerjakan sekali mandi dengan dua niat untuk dua
mandi?. Hal ini telah dijawab oleh ulama yang memang kompeten dalam
bidangnya, yakni,
Asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah menjawabnya, “Yang demikian itu
tidaklah mencukupi. Bahkan sudah seharusnya mandi untuk setiap yang
diwajibkan mandi sekali mandi atas satu batas. Sekali mandi untuk haidl
dan sekali mandi yang lain untuk janabat. Atau sekali mandi untuk
janabat dan untuk jum’at ada mandi yang lain karena mandi-mandi tersebut
telah dikatakan oleh dalil atas wajibnya masing-masing darinya atas
kesendiriannya. Maka tidak boleh menyatukannya di dalam satu amalan.
Tidakkah engkau perhatikan bahwa andai kata seseorang mengganti shaum
bulan Ramadlan ia tidak boleh meniatkan menggantinya bersamaan dengan
menunaikan shaum Ramadlan. Demikian pula dikatakan tentang sholat dan
yang semisalnya, dan memisahkan antara perkara-perkara ibadah dan mandi
adalah tidak ada dalilnya, dan barangsiapa yang berdasarkan atas
dugaan-dugaan maka silahkan ia (datang) dengan (membawa) keterangan.
عن عبد الله بن أبي قتادة قَالَ:دَخَلَ عَلَيَّ أَبيِ وَ
أَنَا أَغْتَسِلُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ فَقَالَ: غُسْلٌ مِنْ جَنَابَةٍ أَوْ
لِلْجُمُعَةِ؟ قَالَ: قُلْتُ: مِنْ جَنَابَةٍ قَالَ: أَعِدْ غُسْلاً آخَرَ
فَإِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنِ
اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ كَانَ فىِ طَهَارَةٍ إِلىَ اْلجُمُعَةِ
اْلأُخْرَى
Dari Abdullah bin Abi Qotadah berkata, “Ayahku pernah masuk menemuiku
sedangkan aku sedang mandi pada hari jum’at”. Ia berkata, “Apakah
engkau mandi dari janabat ataukah untuk jum’at?”. Ia (yaitu Abdullah),
aku berkata, “Dari sebab janabat”. Ayahku berkata, “Ulangilah mandi yang
lain karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari jum’at maka
ia di dalam keadaan suci sampai jum’at berikutnya”. [Telah mengeluarkan
atsar ini al-Hakim: 1083 dan Ibnu Khuzaimah: 1760. Ia berkata: hadits
shahih atas syarat dua syaikh dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya].
Andaikan Abu Qotadah memandang cukupnya satu mandi atas dua mandi
tentulah ia tidak akan menyuruh putranya untuk mengulangi satu mandi
lagi yaitu mandi jum’at. Tetapi ia akan mengatakan kepadanya,
“niatkanlah di dalam mandimu dari janabat dan mandi jum’at juga”. [4]
Ringkasannya jika ada seseorang hendak melakukan suatu perbuatan yang
mengharuskan dua kali mandi, maka ia hendaklah melakukannya dua kali
mandi, dan sekali mandi tidaklah mencukupinya. Misalnya seseorang hendak
sholat jum’at tetapi sebelumnya ia dalam keadaan junub dari sebab mimpi
atau jimak, maka ia mesti mandi dua kali yaitu mandi janabat dan
jum’at. Yakni ia berniat mandi janabat untuk mandi janabat, setelah ia
selesai dari mandi janabat tersebut ia berniat lagi mandi jum’at untuk
mandi jum’at. Atau seorang perempuan hendak sholat ied namun sebelumnya
ia baru selesai dari haidl atau nifas, maka ia mesti mandi dua kali
yaitu mandi haidl atau nifas dan kemudian mandi ied, dan begitu
seterusnya. Yaitu ia berniat mandi haidl atau nifas untuk mandi haidl
atau nifas, setelah selesai dari mandi tersebut lalu ia berniat lagi
untuk mandi ied untuk sholat ied. Wallahu a’lam.
Bersembunyi dari penglihatan mata bagi orang yang mandi dan bolehnya telanjang di tempat sunyi
Ketika mandi, hendaknya setiap muslim itu bersembunyi dari
penglihatan orang lain agar tidak nampak atau kelihatan auratnya. Hal
ini telah diperintahkan oleh Nabi r di dalam dalil hadits-hadits berikut
ini,
عن يعلى (بن أمية) أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و
سلم رَأَى رَجُلاً يَغْتَسِلُ بِاْلبَرَازِ فَصَعِدَ اْلمِنْبَرَ فَحَمِدَ
اللهَ وَ أَثْنىَ عَلَيْهِ وَ قَالَ: إِنَّ اللهَ U حَلِيْمٌ حَيِيٌّ
سِتِّيْرٌ يُحِبُّ اَلحَيَاَء وَ السِّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ
فَلْيَسْتَتِرْ
Dari Ya’la bin Umayyah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seorang lelaki mandi di
tanah lapang. Maka beliau naik mimbar, memuji Allah dan menyanjung-Nya
lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha pemurah, Maha
pemalu lagi Maha penutup aib, menyukai sifat pemalu dan menutup (aib).
Apabila seseorang di antara kalian hendak mandi maka bertabirlah”. [HR
an-Nasa’iy: I/ 200, Abu Dawud: 4012 dan Ahmad: VI: 224. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]
عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
و سلم مَاءً قَالَتْ: فَسَتَرْتُهُ فَذَكَرَتِ اْلغُسْلَ قَالَتْ: ثُمَّ
أَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا
Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, “Aku meletakkan air untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam”. Ia berkata, “lalu aku menutupinya
kemudian ia menceritakan tentang mandi (Beliau)”. Ia berkata, “Lalu aku
berikan kepadanya secarik kain tapi Beliau tidak menginginkannya”. [HR
an-Nasa’iy: I/ 200 dan Muslim: 337. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [6]
عن أبي السمح قَالَ: كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ صلى
الله عليه و سلم فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ: وَلِّنيِ
فَأُوِلِّيْهِ قَفَاهُ وَ أَنْشُرُ الثَّوْبَ فَأَسْتُرُهُ بِهِ
Dari Abu as-Samh radliyallahu anhu berkata, aku pernah melayani Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, maka apabila Beliau ingin mandi, Beliau
berkata, “Belakangi aku”. Maka aku pun membelakangi tengkuknya dan aku
membentangkan kain lalu menutupi Beliau dengannya. [HR Ibnu Majah: 613,
Abu Dawud: 376 dan an-Nasa’iy: I/ 126. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [7]
عن أبي مرة مولى عقيل حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ
أَبيِ طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لمـــَّا كَانَ عَامَ اْلفَتْحِ أَتَتْ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلىَ غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ
فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ
رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى
Dari Abu Murrah maulanya Aqil, ia menceritakan kepadanya bahwasanya
Ummu Hani binti Abi Thalib radliyallahu anha menceritakan kepadanya
bahwasanya ketika tahun Fat-hu Makkah (penaklukan kota Mekkah) Ummu Hani
adliyallahu anha pernah datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam yang sedang berada di atas kota Mekkah. Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam berdiri menuju mandi, maka Fathimah menutupinya
kemudian Beliau mengambil bajunya lalu menyelimuti dirinya dengan baju
tersebut. Kemudian Beliau sholat delapan rakaat sunat dluha. [HR Muslim:
336 (71), al-Bukhoriy: 280, 357, 3171, 6158, an-Nasa’iy: I/ 126 dan
Ibnu Majah: 465, 614. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: كَانَتْ
بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ يَغْتَسِلُوْنَ عُرَاةً يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلىَ
بَعْضٍ وَ كَانَ مُوْسَى يَغْتَسِلُ وَحْدَهُ فَقَالُوْا: وَ اللهِ مَا
يَمْنَعُ مُوْسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلاَّ أَنَّهُ آدَرُ فَذَهَبَ
مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ اْلحَجَرُ
بِثَوْبِهِ فَخَرَجَ مُوْسَى فىِ إِثْرِهِ يَقُوْلُ: ثَوْبيِ يَا حَجَرُ
حَتىَّ نَظَرَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ إِلىَ مُوْسَى فَقَالُوْا: وَ اللهِ
مَا مُوْسَى مِنْ بَأْسٍ وَ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِاْلحَجَرِ ضَرْبًا
فَقَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَ اللهِ إِنَّهُ لَنَدَبٌ بِاْلحَجَرِ سِتَّةٌ
أَوْ سَبْعَةٌ ضَرْبًا بِاْلحَجَرِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Bani Israil biasa mandi dalam keadaan telanjang bulat
yang sebahagian mereka melihat kepada sebahagian yang lain. Sedangkan
nabi Musa alaihi as-Salam (mandi) menyendiri. Mereka berkata, “Demi
Allah tiada yang mencegah Musa mandi bersama kita melainkan ia seorang
yang terkena penyakit hernia (kondor)”. Suatu kali ia mandi dan
meletakkan bajunya di atas batu, tiba-tiba batu itu lari membawa
bajunya. Maka keluarlah Musa dengan segera seraya berkata, “Wahai batu,
(berikan) bajuku!”. Sehingga Bani Israil melihat Musa lalu mereka
berkata, “Demi Allah, ternyata tidak ada sesuatu kelainan pada Musa”.
Maka nabi Musa mengambil bajunya dan memukul batu itu sekali pukul. Abu
Hurairah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ada bekas di batu itu yaitu
enam atau tujuh pukulan di batu”. [HR al-Bukhoriy: 278, 3404, 4799 dan
Muslim: 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: بَيْنَا
أَيُّوْبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا فَخَرَّ عَلَيْهِ جَرَادٌ مِنْ ذَهَبٍ
فَجَعَلَ أَيُّوْبُ يَحْتَثِي فىِ ثَوْبِهِ فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا
أَيُّوْبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى؟ قَالَ: بَلَى وَ
عِزَّتِكَ وَ لَكِنْ لاِ غِنىَ بيِ عَنْ بَرَكَتِكَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Ketika nabi Ayyub alaihi as-Salam sedang mandi
telanjang tiba-tiba jatuhlah ke hadapannya seekor belalang dari emas.
Lalu nabi Ayyub alaihi as-Salam segera menangkapnya ke dalam bajunya.
Rabbnya menyerunya, “Wahai Ayyub tidakkah aku telah mencukupimu dari apa
yang engkau lihat?”. Ia berkata, “Benar, demi kemulian-Mu tetapi aku
tidak pernah merasa cukup dari berkah-Mu”. [HR al-Bukhoriy: 279, 3391,
7493, an-Nasa’iy: I/ 201 dan Ahmad: II/ 314. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [10]
Dalil-dalil di atas menjelaskan tentang pensyariatan menutupi diri
dari penglihatan orang lain dengan sesuatu ketika mandi misalnya dengan
membentangkan kain, dihalangi oleh tubuh manusia yang membelakanginya
atau yang lebih utama adalah mandi di kamar mandi dan sejenisnya. Namun
jika keadaan memaksakan ia harus menanggalkan seluruh pakaiannya, maka
hendaklah ia menghindari pandangan orang dan menyendiri.
Maka diharapkan bagi setiap muslim yang berpegang kepada kebenaran
untuk menanamkan sifat malu di dalam dirinya karena Allah Azza wa Jalla
menyukai sifat malu dan malu itu adalah bahagian dari iman. Hendaklah ia
menutupi auratnya kecuali yang boleh atau kepada orang yang dihalalkan
untuk melihatnya dan begitu juga sebaliknya ia mesti menjaga pandangan
dari melihat aurat orang lain kecuali yang diperbolehkan.
Masuk ke tempat pemandian umum
Oleh sebab
itulah Islam melarang umatnya untuk mandi di tempat pemandian umum yang
terbuka, yang setiap mata dapat melihat atau memandang ke tempat
tersebut lalu tampak jelaslah aurat orang-orang yang mandi padanya.
Seorang muslim dilarang memasuki tempat pemandian umum yang akan
terlihat auratnya kecuali dengan menggunakan sarung. Dan juga dilarang
baginya untuk membiarkan seseorang dari istri atau anak perempuannya
untuk memasuki tempat pemandian umum kecuali jika aman dari penglihatan
dan pandangan orang lain.
عن جابر رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم
قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ
حَلِيْلَتَهُ اْلحَمَّامَ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ
اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ بِغَيْرِ إِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ
يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ
Dari Jabir radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
maka janganlah ia memasukkan istrinya ke pemandian umum. Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia masuk ke
pemandian umum tanpa sarung. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan
khomer di atasnya”. [HR at-Turmudziy: 2801, an-Nasa’iy: I/ 198 dan
Ahmad: III/ 339. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[11]
عن قاص الأجناد بالقسطنطينية أَنَّهُ حَدَّثَ أَنَّ عُمَرَ
بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنيِّ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ كَانَ
يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ
يُدَارُ عَلَيْهَا اْلخَمْرُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَاْليَوْمِ
اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِإِزَارٍ وَ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُدْخِلْ حَلِيْلَتَهُ
اْلحَمَّامَ
Dari Qosh al-Ajnad di Qosthanthiniyah bahwasanya ia menceritakan
bahwa Umar bin al-Khothob radliyallahu anhu berkata, “Wahai manusia
sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
maka janganlah ia duduk di suatu meja hidangan yang diedarkan khomer di
atasnya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
janganlah ia masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah
memasukkan istrinya ke pemandian umum”. [HR Ahmad: I/ 20, Abu Ya’la dan
al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[12]
عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ
اْلآخِرِ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ إِلاَّ بِمِئْزَرٍ وَ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ مِنْ
نِسَائِكُمْ فَلاَ يَدْخُلِ اْلحَمَّامَ قَالَ: فَنَمَيْتُ بِذَلِكَ إِلىَ
عُمَرَ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ رضي الله عنه فىِ خِلاَفَتِهِ فَكَتَبَ
إِلىَ أَبيِ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَازِمٍ أَنْ سَلْ
مُحَمَّدَ بْنَ ثَابِتٍ عَنْ حَدِيْثِهِ فَإِنَّهُ رَضِيٌّ فَسَأَلَهُ
ثُمَّ كَتَبَ إِلىَ عُمَرَ فَمَنَعَ النِّسَاءَ عَنِ اْلحَمَّامِ
Dari Abu Ayyub al-Anshoriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia
masuk ke pemandian umum kecuali dengan sarung. Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka di antara
istri-istri kalian jangan dibiarkan masuk ke pemandian umum”. Berkata
(Abu Ayyub), “Maka aku sampaikan hal tersebut kepada Umar bin Abdulaziz
radliyallahu anhu di masa kekhalifahannya”. Lalu ia menulis (surat)
kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazim bahwa, “Tanyakan kepada
Muhammad bin Tsabit tentang hadits tersebut”. Maka iapun senang lalu
menanyakannya kemudian menulis (surat) kembali kepada Umar (bin
Abdulaziz). Lalu Ia melarang para perempuan (memasuki) pemandian umum.
[HR Ibnu Hibban, al-Hakim:7853 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [13]
عن أبي المليح الهذلي: أَنَّ نِسَاءً مِنْ أَهْلِ حِمْصَ أَوْ
مِنْ أَهْلِ الشَّامِ دَخَلْنَ عَلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ: أَنْتُنَّ
اللاَّتيِ يَدْخُلْنَ نِسَاؤُكُنَّ اْلحَمَّامَاتِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيِاَبهَا فىِ
غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ هَتَكَتِ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ
رَبهِّاَ
Dari Abu al-Mulaih al-Hadzaliy, “Bahwasanya para perempuan dari
penduduk Him-sh atau penduduk Syam pernah masuk (menemui) Aisyah
radliyallahu anha”. Aisyah berkata, “Kaliankah yang memasukkan para
perempuan ke pemandian umum. Karena sesungguhnya aku pernah mendengar
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang
perempuan meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya melainkan
dibukalah tirai penutup (rasa malu) antaranya dan antara Rabbnya”. [HR
at-Turmudziy: 2803, Abu Dawud: 4010 dan Ibnu Majah: 3750. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]
عن أم الدرداء رضي الله عنها قَالَتْ: خَرَجْتُ مِنَ
اْلحَمَّامِ فَلَقِيَنىِ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: مِنْ
أَيْنَ يَا أُمَّ الدَّرْدَاءِ؟ فَقُلْتُ: مِنَ اْلحَمَّامِ فَقَالَ: وَ
الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَنْزِعُ ثِيَاَبهَا فىِ
غَيْرِ بَيْتِ أَحَدٍ مِنْ أُمَّهَاِتهَا إِلاَّ وَ هِيَ هَاتِكَةٌ كُلَّ
سِتْرٍ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ الرَّحْمَنِ عز و جل
Dari Ummu ad-Darda’ radliyallahu anhu berkata, “aku pernah keluar
dari pemandian umum. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menemuiku
dan bersabda, “Dari manakah engkau wahai Ummu ad-Darda’?”. Aku jawab,
“Dari pemandian umum”. Maka beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada
pada tangan-Nya, tidaklah seorang perempuan menanggalkan pakaiannya di
selain rumah seorang dari ibunya melainkan ia telah membuka tirai
penutup antara dirinya dan antara ar-Rahman Azza wa Jalla”. [HR ini
Ahmad: VI/ 361-362 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih].[15]
عن ابن عباس أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ:
اتَّقُوْا بَيْتًا يُقَالُ لَهُ اْلحَمَّامُ فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّرَنَ وَ يَنْفَعُ اْلمـَرِيْضَ قَالَ: فَمَنْ
دَخَلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah dirimu terhadap ruangan yang
disebut dengan pemandian umum!”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah
sesungguhnya ia dapat menghilangkan kotoran dan bermanfaat untuk orang
sakit. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang memasukinya maka bertabirlah”.
[HR al-Hakim: 7848 dan ia berkata: Shahih atas syarat Muslim dan
al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [16]
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلىَ عَوْرَةِ الرَّجُلِ
وَ لاَ اْلمــَرْأَةُ إِلىَ عَوْرَةِ اْلمــَرْأَةِ وَ لاَ يُفْضِي
الرَّجُلُ إِلىَ الرَّجُلِ فىِ ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَ لاَ تُفْضِي
اْلمــَرْأَةُ إِلىَ اْلمــَرْأَةِ فىِ الثَّوْبِ اْلوَاحِدِ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “janganlah seorang lelaki
memandang aurat lelaki yang lain dan janganlah pula seorang perempuan
memandang aurat perempuan yang lain. Janganlah seorang lelaki
bertelanjang dengan lelaki yang lain di dalam satu selimut. Dan
janganlah pula seorang perempuan bertelanjang dengan wanita lain dalam
satu selimut”. [HR Muslim: 338, Abu Dawud: 4018, at-Turmudziy: 2793,
Ibnu Majah: 661, Ahmad: III/ 63 dan Ibnu Khuzaimah: 72. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[17]
Maksudnya seorang lelaki dilarang melihat aurat lelaki yang lain
sebagaimana seorang perempuan dilarang melihat aurat perempuan yang
lainnya. Jika demikian, bagaimana dengan melihat aurat lawan jenisnya,
tentu lebih dilarang lagi. Namun perilaku ini sering dijumpai di tempat
pemandian umum, apakah di sungai, pancuran air yang mengalir dari
gunung, kolam renang untuk umum dan lain sebagainya.
Dalil-dalil di atas menunjukan bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar berhati-hati mendatangi pemandian
umum khususnya kaum perempuan. Karena di tempat tersebut banyak
terdapat orang-orang yang menampakkan auratnya sehingga terjadilah
saling melihat antara yang satu dengan yang lainnya. Atau banyak orang
yang akan memandangi lekuk-lekuk tubuhnya dari kalangan lawan jenisnya
dengan cara mengintip atau menatap secara langsung. Dari sebab itu pula,
kaum lelaki dari umat ini dicegah memasuki pemandian umum kecuali
dengan mengenakan sarung untuk menutupi auratnya. Dan bahkan dilarang
membiarkan apalagi menyuruh para perempuan yang dibawah pengawasannya di
antara istri-istri dan anak-anak perempuannya untuk memasukinya. Maka
siapapun di antara para perempuan itu membuka dan menanggalkan
pakaiannya di selain rumahnya atau rumah suaminya maka berarti ia telah
menyingkap tirai penutup rasa malu antara dirinya dengan Rabbnya Jalla
wa Ala.
Mandinya seorang lelaki dengan salah seorang istrinya dari satu bejana
Namun dibolehkan seorang muslim mandi dengan salah seorang istrinya,
yang masing-masing dari mereka dapat melihat aurat pasangannya.
Bagaimana tidak boleh, sebab keduanya telah halal untuk saling
bersentuhan, berpelukan, bercumbu rayu dan bahkan berhubungan intim
(jimak), yang tidak boleh tidak tentu mereka akan saling melihat aurat
pasangannya. [18]
Hal ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
yang mandi bersama salah seorang dari istri-istrinya. Jika beliau
melakukannya dan tidak mengkhususkan amal tersebut hanya untuk dirinya
maka hal ini boleh diamalkan oleh umatnya, dan di dalam mengikuti
perilaku belliau tersebut niscaya mengandung banyak kebaikan. Namun
menghimpun beberapa istri untuk mandi bersama dirinya itu jelas tidak
boleh dan terlarang.
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ
أَنَا وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاٍء وَاحِدٍ
يُبَادِرُنيِ وَ أُبَادِرُهُ حَتىَّ يَقُوْلُ: دَعِيْ ليِ وَ أَقُوْلُ
أَنَا: دَعْ ليِ قَالَ سُوَيْد: يُبَادِرُنيِ وَ أُبَادِرُهُ فَأَقُوْلُ:
دَعْ ليِ دَعْ ليِ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah mandi
bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu bejana”.
Beliau mendahuluiku dan akupun mendahuluinya sehingga Beliau berkata,
“Sisakan untukku” dan akupun berkata, ‘Sisakan untukku”. Berkata Suwaid,
“Beliau mendahuluiku dan akupun mendahuluinya”. Lalu aku berkata,
“Sisakan untukku, sisakan untukku”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 202 dan
Muslim: 321 (46). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]
عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و
سلم كَانَ يَغْتَسِلُ وَ أَنَا مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْتَرِفُ مِنْهُ
جَمِيْعًا
Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mandi bersama denganku dari satu bejana,
kami menciduk (air) bersama-sama darinya. [HR an-Nasa’iy: I/ 128, 201.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَ
رَسُوْلُ للهِ صلى الله عليه و سلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ مِنَ اْلجَنَابَةِ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ‘Aku pernah mandi
janabat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dari satu
bejana”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 201-202, al-Bukhoriy: 263, Ibnu Majah:
376, Abu Dawud: 77 dan al-Hakim: 250. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [21]
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: لَقَدْ رَأَيْتُنيِ
أُنَازِعُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم اْلإِنَاءَ أَغْتَسِلُ أَنَا
وَ هُوَ مِنْهُ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh
aku telah rebutan bejana dengan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
yang aku dan Beliau mandi darinya”. [HR an-Nasa’iy: I/ 130, 202.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[22]
عن ميمونة رضي الله عنها أَنهَّاَ كَانَتْ تَغْتَسِلُ هِيَ وَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم فىِ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
Dari Maimunah radliyallahu anha bahwasanya ia pernah
mandi bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam satu bejana.
[HR Muslim: 322 dan Ibnu Majah: 377. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [23]
عن أم سلمة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَتْ هِيَ وَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم يَغْتَسِلاَنِ فىِ اْلإِنَاءِ اْلوَاحِدِ مِنَ
اْلجَنَابَةِ
Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata, “Ia pernah
mandi janabat bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam
satu bejana”. [HR Muslim: 324 dan Ibnu Majah: 380. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [24]
عن ناعم مولى أم سلمة رضي الله عنها أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ
سُئِلَتْ: أَتَغْتَسِلُ اْلمَرْأَةُ مَعَ الرَّجُلِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ
إِذَا كَانَتْ كَيِّسَةً رَأَيْتُنيِ وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم نَغْتَسِلُ مِنْ مِرْكَنٍ وَاحِدٍ نُفِيْضُ عَلَى أَيْدِيْنَا حَتىَّ
نُنْقِيَهُمَا ثُمَّ نُفِيْضُ عَلَيْهَا اْلمـَاءَ قَالَ اْلأَعْرَجُ: لاَ
تَذْكُرُ فَرْجًا وَ لاَ تَبَالَهُ
Dari Na’im maulanya Ummu Salamah radliyallahu anha,
“Bahwasanya Ummu Salamah pernah ditanya, “Apakah boleh seorang perempuan
mandi bersama suaminya?”. Ia menjawab, “Ya, apabila ia dapat
mempergunakan air. [25]
Aku melihat diriku bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
mandi di satu ruang mandi. Kami menuangkan (air) ke tangan-tangan kami
sehingga kami membersihkan keduanya. Kemudian kami menuangkan air ke
atas tubuh kami”. Berkata al-A’raj, “Ia (yaitu Ummu Salamah) tidak
menyebutkan farji dan juga tidak bertindak masa bodoh”. [HR an-Nasa’iy:
I/ 129-130. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]
عن جابر بن عبد الله قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ أَزْوَاجُهُ يَغْتَسِلُوْنَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dan para istrinya mandi dari satu bejana”.
[HR Ibnu Majah: 379. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
عن أنس بن مالك يَقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَ اْلمــَرْأَةُ مِنْ نِسَائِهِ يَغْتَسِلاَنِ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, “Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan salah seorang dari istrinya mandi dari
satu bejana”. [HR al-Bukhoriy: 264 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh
al-Albaniy]. [28]
Dalil-dalil di atas membuktikan bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam pernah mandi bersama dengan seseorang dari para
istrinya dari satu bejana, satu hari bersama yang ini dan di hari lain
dengan yang itu. Maka tiada perkara yang mencegah pasangan suami istri
yang menteladani Beliau untuk mencontohnya di dalam keseharian, sebagai
bentuk kecintaan terhadap sunnah Rosul Shallallahu alaihi wa sallam,
tiada bedanya pasangan muda atau yang mulai menua. Rasa malu dan sungkan
jangan menjadi penghambat untuk mengerjakan sunnah tersebut, karena di
dalamnya terdapat banyak kebaikan, misalnya: mendapatkan pahala karena
mengikuti sunnah, makin mempererat hubungan di antara keduanya, saling
membantu membersihkan tubuh dan sebagainya. Sebab sebagaimana dipahami
bahwasanya tidaklah mungkin Nabi r memerintahkan atau mencontohkan
sesuatu amalan jika tidak ada kemashlahatan atau kebaikan padanya, dan
tidaklah mungkin pula Beliau melarang dan meninggalkan sesuatu amalan
jika tidak ada kemudlaratan dan keburukan padanya.
Ucapan ketika memasuki kamar mandi
Berikut ini terdapat dalil dari hadits Anas bin Malik radliyallahu
anhu tentang doa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika memasuki
tempat atau kamar mandi,
عن أنس يقول: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم
إِذَا دَخَلَ اْلخَلاَءَ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ
اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Dari anas berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
biasanya jika masuk ke dalam kamar mandi Beliau mengucapka, “اَللَّهُمَّ
إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ (Ya Allah aku
berlindung kepada-Mu dari gangguan setan lelaki dan perempuan)”. [HR
al-Bukhoriy: 142, 6322, Muslim: 375, Abu Dawud: 4, at-Turmudziy: 5, 6,
an-Nasa’iy: I/ 20, Ibnu Majah: 298, Ahmad: III/ 99, 101, 282 dan
ad-Darimiy: I/ 171. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [29]
Jadi jika seorang muslim bermaksud ke kamar mandi untuk menunaikan
sebahagian hajatnya maka disyariatkan baginya untuk melangkahkan kaki
kirinya masuk ke kamar mandi seraya membaca,
اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذَ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Apabila telah menyelesaikan hajatnya dan bermaksud
hendak keluar darinya disyariatkan untuk melangkahkan kaki kanannya
seraya membaca,
غُفْرَانَكَ
Ucapan ketika keluar dari kamar mandi
Begitu pula dianjurkan baginya untuk berdoa tatkala keluar dari
tempat atau kamar mandi sebagaimana telah diajarkan oleh Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini,
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ قَالَ: غُفْرَانَكَ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam biasanya jika keluar dari keluar kamar mandi Beliau
mengucapkan, غُفْرَانَكَ (Ya Allah aku mengharapkan ampunan-Mu)”. [HR
at-Turmudziy: 7, Abu Dawud: 30, Ibnu Majah: 300, Ahmad: VI/ 155 dan
ad-Darimiy: I/ 174. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[30]
Demikian pembahasan tentang mandi janabat dan haidl atau nifas dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Selanjutnya adalah pembahasan tentang
tayammum dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
[1] Shahih Sunan at-Turmudziy: 93, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 246, 417, Shahih Sunan Ibni Majah: 470 dan Misykah al-Mashobih: 445.
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 225.
[3] Aun al-Ma’bud: I/ 292.
[4] Tamam al-Minnah halaman 126, 128 dan Bahjah an-Nazhirin: II/ 315.
[5]
Shahih Sunan an-Nasa’iy: 393, Shahih Sunan Abi Dawud: 3387, Misykah
al-Mashobih: 447, Irwa’ al-Ghalil: 2335 dan Shahih al-Jaami’
ash-Shaghir: 1756.
[6] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 395.
[7] Shahih Sunan Ibni Majah: 497, Shahih Sunan Abi Dawud: 362 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 218.
[8] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 219 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 377, 498.
[9] Mukhtashor Shahih Muslim: 158 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2239, 4467.
[10] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 396, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2863 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3613.
[11]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2246, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 388, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 6505, 6506, Ghoyah al-Maram: 190 dan Shahih
at-Targhib wa at-Tarhib: 159.
[12] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 162 dan Irwa’ al-Ghalil: 1949.
[13] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 160.
[14]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2247, Shahih Sunan Abi Dawud: 3386, Shahih
Sunan Ibni Majah: 3021, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 165 dan Ghoyah
al-Maram: 194.
[15] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 164 dan Ghoyah al-Maram: halaman 136-137.
[16] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 161, Irwa’ al-Ghalil: VIII/ 206, Ghoyah al-Maram: 193 dan Shahih al-Jaai’ ash-Shaghir: 116.
[17]
Mukhtashor Shahih Muslim: 159, Shahih Sunan Abi Dawud: 3392, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 2243, Shahih Sunan Ibni Majah: 538, Irwa’ al-Ghalil:
1808, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7800 dan Ghoyah al-Maram: 185.
[18] Adapun atsar dari Aisyah radliyallahu anha, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat aurat (farji)nya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedikitpun”.
Di antara perawinya ada seorang pendusta lagi pemalsu hadits yaitu
Barokah bin Muhammad al-Halabiy. [Lihat Adab az-Zifaf halaman 109 dan
Tuhfah al-Arus halaman163].
[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 233, 401 dan Adab az-Zifaf halaman 108.
[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 226, 398.
[21] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 227, 399, Shahih Sunan Ibni Majah: 301 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 70.
[22] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 228, 400.
[23] Shahih Sunan Ibni Majah: 302.
[24] Shahih Sunan Ibni Majah: 305.
[25] Kayyisah artinya dapat mempergunakan air (dengan benar). [Catatan kaki pada Shahiih Sunan an-Nasa’iy: I/ 50].
[26] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 231.
[27] Shahih Sunan Ibni Majah: 304.
[28] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 155.
[29]
Mukhtashor Shahih Muslim: 108, Shahih Sunan Abi Dawud: 3, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 5, 6, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 19, Shahih Sunan Ibni
Majah: 243, Irwa’ al-Ghalil: 51, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4712, Nail
al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: 66 dan al-Wabil
ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 329.
[30]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 7, Shahih Sunan Abi Dawud: 23 (1), Shahih
Sunan Ibni Majah: 244, Irwa’ al-Ghalil: 52, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
4707, Misykah al-Mashobih: 359, Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab
al-Adzkar: 73 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman
333.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar