SEMUA YANG BERNYAWA NISCAYA AKAN MERASAKAN KEMATIAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Kematian adalah sesuatu yang pasti menimpa siapapun manusia di dunia,
yang mukminnya ataupun yang munafik atau yang kafirnya, ulamanya
ataupun kaum awamnya, lelaki ataupun perempuannya, yang mudanya ataupun
yang tuanya, kaum kayaknya ataupun miskinnya, golongan pejabat ataupun
rakyat jelatanya dan selainnya, niscaya mereka semuanya akan mengalami
kematian. Hal tersebut sebagaimana yang telah banyak di alami oleh
umat-umat terdahulu dan sekang ini, dan juga pernah dialami oleh seorang
shahabat dari golongan Anshor yang diselenggarakan penguburannya oleh
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu
anhum, sebagaimana persaksian al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu di
dalam pembahasan dari hadits terdahulu. [1]
Hal inipun didukung oleh beberapa dalil berikut ini,
تَبَارَكَ الَّذِى بِيَدِهِ اْلمـُلْكُ وَ هُوَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِى خَلَقَ اْلـمَوْتَ وَ اْلحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَ هُوَ اْلعَزِيزُ اْلغَفُورُ
Maha berkah Allah, yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia
Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha perkasa lagi Maha pengampun. [QS. Al-Mulk/ 67: 1-2].
Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya Allah Subhanahu wa
ta’ala telah menciptakan mati dan hidup. Jika Allah Azza wa Jalla telah
menciptakan kehidupan bagi seorang manusia, maka Ia juga akan
menciptakan kematian baginya. Maka kematian adalah sesuatu yang
dipastikan akan dimiliki oleh setiap makhluk hidup sebagaimana Allah
Jalla wa Ala pernah memberikan kehidupan kepadanya. Sebab setiap yang
memiliki jiwa niscaya akan merasakan kematian, meskipun ia berusaha
dengan maksimal dan optimal untuk selalu menjauhi dan menghindarinya.
Kendatipun ia berada di dalam benteng kuat yang tak mudah dihancurkan
senjata canggih apapun yang dijumpai di muka bumi, bungker kokoh yang
keberadaannya sangat tersembunyi, istana megah yang diawasi oleh ribuan
penjaga perkasa tak tertandingi namun tetap kematian itu akan datang
menemui dan menghampirinya tiada peduli. Hal ini berdasarkan beberapa
dalil berikut ini,
وَ مَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ اْلخُلْدَ أَفَإِين مِّتَّ فَهُمُ اْلخَالِدُونَ
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum
kamu (Muhammad). Maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?. [QS
al-Anbiya’/21: 34].
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ اْلمـَوْتِ
Setiap yang berjiwa akan merasakan mati. [QS. Ali Imran/3: 185, al-Anbiya’/21: 35 dan al-Ankabut/29: 57].
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَ مَا يَسْتَئْخِرُونَ
Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya). [QS al-Hijr/ 15: 5].
قُلْ إِنَّ اْلمـَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ
مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ اْلغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ
فَيُنَبِّئُكَمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya,
sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan
dikembalikan kepada Allah, Yang mengetahui keghaiban dan yang nyata.
Lalu Ia akan beritakan kepada kalian apa yang kalian telah kerjakan.
[QS. Al-Jumu’ah/62: 8].
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ اْلمـَوْتُ وَ لَوْ كُنتُمْ فِى بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun
kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. [QS. An-Nisa’/ 4:
78].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna di dalam alqur’an
bahwasanya setiap yang berjiwa akan merasakan kematian dan
ketidak-abadian. Karena keabadian itu hanya ada di hari kiamat kelak, di
dalam surga dengan segala kenikmatannya atau di dalam neraka dengan
segala kesengsaraanya. Apakah kematian yang merenggut nyawanya itu
karena penyakit yang menimpanya, kecelakaan kendaraan atau pesawat yang
ditumpanginya, terbenam dalam kubangan air yang menenggelamkannya,
teruruk dalam bongkahan-bongkahan tanah yang menguburnya, terbakar oleh
api yang mengepungnya, terbunuh oleh lawan yang berseteru dengannya
ataupun dengan sebab-sebab lainnya.
Setiap manusia meskipun ia takut mati sehingga ia hanya berdiam diri
di rumahnya dalam rangka menghindar dari kematian maka jikalau telah
ditentukan kematian kepadanya niscaya ia akan mendatangi tempat dimana
ia akan mati di tempat tersebut dan akan tertimpa sesuatu peristiwa yang
menyebabkan kematian yang telah ditentukan baginya. Hal ini sebagaimana
telah diungkapkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat berikut,
قُلْ لَّوْ كُنتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ اْلقَتْلُ إِلَى مَضَاجَعِهِمْ
Katakanlah, “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang
yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat
mereka terbunuh”. [QS Alu Imran/ 3: 154].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat penetapan akan dasar qodlo dan qodar Allah. Bahwa orang yang
telah ditetapkan kematian baginya di suatu tempat maka ia pasti akan
mati di tempat tersebut”. [2]
Maka kematian itu niscaya akan menghampiri setiap jiwa dalam berbagai
keadaan, apakah matinya itu lantaran memperjuangkan agama Allah dengan
bentuk berjihad dengan harta, lisan dan jiwa, kelelahan tatkala
mengerjakan beberapa ibadah dari ibadah-ibadah yang disyariatkan oleh
agama, membantu dan mengajak orang lain untuk ikut berpartisipasi di
dalam menegakkan Islam sebagai agama yang paling bersahaja dan lain
sebagainya. Ini adalah kematian yang mengandung kemuliaan. Ataukah
matinya itu ketika sedang membela kebatilan yang selama ini ia yakini,
melakukan berbagai kemaksiatan yang selama ini ia sukai, membantu dan
mengajak orang lain untuk menentang dan melawan kebenaran yang selama
ini ia benci dan jauhi dan lain sebagainya. Ini adalah kematian yang
mengundang kenistaan. Mati berbalutkan kemuliaan ataukah mati
berselimutkan kenistaan, itulah dua pilihan yang mesti diambil oleh
setiap manusia yang niscaya akan melampaui dan memilih salah satu di
antara keduanya.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَ إِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. [QS. Al-Insan/ 76: 3].
Bahkan di dalam setiap kematian itu terdapat sekarat, yang mesti di
alami oleh setiap manusia baik yang mukmin, munafik ataupun kafirnya.
وَ جَآءَتْ سَكْرَةُ اْلـمَوْتِ بِاْلحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
Dan datanglah sekaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. [QS. Qof/ 50: 19].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat secara
pasti. Ya Allah mudahkanlah sekaratul maut atas kami”. [3]
وَ لَوْ تَرَى إِذِ اْلظَّالِمـُونَ فِى غَمَرَاتِ اْلمـَوْتِ وَ اْلمـَلَائِكَةُ بَاسِطُوا أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمْ
Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang
zhalim berada dalam tekanan sekaratul maut, sedangkan para malaikat
memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu”. [QS.
Al-An’am/ 6: 93].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat penetapan adanya adzab kubur dan sekaratul maut”. Di dalam
hadits, “Bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat”. [4]
عن عائشة كَانَتْ تَقُوْلُ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ - عُلْبَةٌ فِيْهَا مَاءٌ –
يَشُكُّ عُمَرُ – فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيَمْسَحُ بِهَا
وَجْهَهُ وَ يَقُوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ
سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُوْلُ: فىِ الرَّفِيْقِ
اْلأَعْلىَ حَتىَّ قُبِضَ وَ مَالَتْ يَدُهُ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sesungguhnya di hadapan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ada sebuah bejana (yang terbuat
dari kulit atau mangkuk) –Umar ragu-ragu- yang berisi air. Lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalam air itu dan membasuh wajahnya dengannya.
Beliau bersabda, “Laa ilaaha illallah (tiada ilah yang berhak
disembah kecuali Allah), sesungguhnya kematian itu memiliki sekarat”.
Kemudian beliau mengangkat tangannya seraya bersabda, “Berada di tempat
yang tinggi”. Sehingga beliau wafat sedangkan tangannya mengendur/
terkulai. [HR al-Bukhoriy: 6510. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih].
[5]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat
penjelasan bahwasanya kematian itu mempunyai sekarat dan kesulitan
sehingga para Nabi Alaihim as-Salam pun meminta diringankan dari sekarat
ini”. [6]
Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwasanya setiap
kematian yang menimpa seseorang itu niscaya terdapat sekarat, yaitu
suatu tekanan yang amat berat lagi menyulitkan ketika menjelang
kematiannya sehingga orang tersebut seperti orang yang kehilangan akal
dan kesadarannya sebagaimana keadaan orang yang sedang mabuk.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala meringankan kita dari sekaratul
maut ini seringan-ringannya.
Hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas menjadi dalil akan
bolehnya bagi orang yang sakit untuk mempergunakan air pada bagian
kepalanya (ngompres) untuk meringankan sakit panas yang menimpanya dan
juga disunnahkan baginya untuk selalu memohon ampunan dan rahmat
dari-Nya. Hal ini juga didukung oleh dalil berikut ini,
عن عائشة قَالَتْ: سَمِعْتُ النَّبِيِّ وَ هُوَ مُسْتَنِدٌ
إِلَيَّ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لىِ وَ ارْحَمْنىِ وَ أَلْحِقْنىِ
بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah mendengar Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam berkata sedangkan beliau sedang bersandar
kepadaku, “Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan himpunkan aku di
tempat yang tinggi”. [HR al-Bukhoriy: 5674 dan Muslim: 2444. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [7]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Sepatutnya bagi orang yang sakit itu untuk meminta ampunan dan rahmat.
Ia tidak boleh berputus asa dari pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala
dan tidak boleh berputus harapan dari rahmat-Nya”. [8]
Maka dianjurkan bagi setiap muslim, ketika tertimpa sakit apalagi
sakitnya itu mendekati tanda-tanda kematian untuk memperbanyak meminta
ampun dan rahmat kepada Allah Jalla dzikruhu, selalu memuji-Nya,
menghiasi diri dengan berbaik sangka kepada-Nya dan senantiasa berharap
berjumpa dengan-Nya dan takut terhadap akibat dari dosa-dosa yang telah
dikerjakannya. Hal ini sebagaimana telah disinyalir di dalam dalil-dalil
hadits berikut ini,
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam pernah mengambil seorang anak perempuan asuh yang hampir
meninggal dunia. Beliau meletakkannya di atas dadanya (memeluknya), lalu
ia meninggal dunia di dalam pelukannya. Maka Ummu Ayman radliyallahu
anha pun berteriak menangis. Dikatakan kepadanya, “Mengapa kamu menangis
di sisi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Iapun berkata,
“Bukankah aku juga melihatmu menangis wahai Rosulullah?”. Beliau
Shallallahu alaihi wa sallampun bersabda, “Aku tidaklah menangis, ini
hanyalah rahmat (rasa kasih sayang)”.
إِنَّ اْلمـُؤْمِنَ بِكُلِّ خَيْرٍ عَلَى كُلِّ حَالٍ إِنَّ
نَفْسَهُ تَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ جَنْبَيْهِ وَ هُوَ يَحْمَدُ اللهَ عز و جل
“Sesungguhnya orang mukmin itu selalu di dalam kebaikan di atas
setiap keadaan, sesungguhnya jiwanya keluar dari jasadnya sedangkan ia
dalam keadaan memuji Allah Azza wa Jalla”. [HR Ahmad: I/ 273-274.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy shahih]. [9]
عن جابر رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم يَقُوْلُ قَبْلَ وَفَاتِهِ بِثَلاَثٍ قَالَ: لاَ يَمُوْتُ
أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَ هُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan tiga hal
sebelum wafatnya. Beliau bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian
mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”. [HR Abu
Dawud: 3113, Muslim, Ibnu Majah: 4167 dan Ahmad: III/ 293, 325, 330,
334, 390. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]
Dari Anas radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam pernah masuk menemui seorang pemuda yang sedang mendekati
kematian. Beliau bersabda, “Apa yang kamu rasakan?”. Ia menjawab, “Demi
Allah, wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mengharapkan Allah dan aku
takut terhadap dosa-dosaku”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ يَجْتَمِعَانِ فىِ قَلْبِ عَبْدٍ فىِ مِثْلِ هَذَا اْلمـَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ مَا يَرْجُوْ وَ آمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
“Tidaklah keduanya terhimpun di dalam hati seorang hamba di semisal
tempat ini melainkan Allah akan memberikan kepadanya apa yang ia
harapkan dan mengamankannya dari apa yang ia takuti”. [HR at-Turmudziy:
983, Ibnu Majah: 4261 dan Ibnu Abi ad-Dunya. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: hasan]. [11]
Begitu pula disyariatkan bagi setiap muslim yang sedang menemani atau
menjaga keluarganya yang sedang sakit untuk selalu mentalkinkan kalimat
syahadat baginya itu dengan ucapan “laa ilaaha illallah”. [12]
Yakni muslim tersebut membimbing orang yang sakit itu untuk dapat
melafazhkan atau mengucapkan kalimat syahadat itu dengan fasih dan
benar, sebab jika akhir hidup saudaranya itu ditutup dengan ucapan
tersebut maka ia akan masuk ke dalam surga, meskipun ia diadzab terlebih
dahulu di dalam neraka sesuai dengan perbuatan-dosa-dosa yang telah ia
kerjakan. Hal ini pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam ketika membesuk pamannya yaitu Abu Thalib dan seorang anak
Yahudi yang sedang sakit. Beliau menawarkan Islam kepada keduanya dengan
cara mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Abu Thalib menolak ajakan
beliau dan anak Yahudi itu menerima ajakannya. [13]
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه و سلم : لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ قَوْلَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Talkinkan orang yang hendak mati di antara kalian dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah”. [HR Abu Dawud: 3117, Muslim: 916, 917, at-Turmudziy: 976, an-Nasa’iy: IV/ 5, Ibnu Majah: 1444, 1445 dan Ahmad: III/ 3. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]
عن معاذ بن جبل قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ
اْلجَنَّةَ
Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang akhir
ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR Abu
Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]
Hal ini mesti dijaga oleh setiap muslim sebab setan tidak pernah
lalai di dalam menyesatkan dan menggelincirkan manusia di setiap
keadaannya, sehingga ia berusaha menutupi akhir kehidupannya dengan
kesudahan yang buruk (su’ul khatimah). Ma’adzallah.
عن جابر رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله
عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتىَّ يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا
سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمْطِ مَا كَانَ بِهَا مِنْ
أَذًى ثُمَّ لِيَأْكُلْهَا وَ لاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ
فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فىِ أَيِّ طَعَامِهِ
تَكُوْنُ اْلبَرَكَةُ
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setan mendatangi salah seorang dari kalian pada setiap
keadaannya, hingga akan mendatanginya disaat makan. Sebab itu apabila
jatuh sepotong makanan, maka hendaklah ia membuang (membersihkan)
kotorannya lalu memakannya. Dan hendaklah ia tidak membiarkannya dimakan
oleh setan Dan jika telah selesai makan, hendaklah ia menjilati jari
jemarinya, karena ia tidak tahu pada bahagian makanan yang manakah
adanya berkah”. [HR Muslim: 2033. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [16]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Setan
selalu mengamati hamba di segala gerak geriknya. Apabila seseorang lalai
dari manhaj Allah maka setan akan dapat menguasainya”. [17]
Jika setan senantiasa berusaha menggelincirkan setiap hamba di segala
keadaannya, bahkan tatkala sedang makan yang ia berusaha menghilangkan
atau melenyapkan berkah dari orang tersebut. Maka kesungguhannya untuk
memalingkan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tentu akan lebih
tatkala ada di antara mereka yang sedang meregang nyawa hendak
meninggalkan dunia yang fana ini.
Dari sebab itu, hendaknya setiap hamba selalu ingat kepada Allah Azza
wa Jalla dengan selalu memuji-Nya, memohon rahmat dan ampunan-Nya,
berbaik sangka kepada-Nya, meminta kepada-Nya agar diwafatkan dalam
keadaan Islam dan Iman, dimudahkan dari sekaratul maut dan melazimkan
lisan untuk berdzikir kepada-Nya. Begitupun keluarga yang mendampinginya
ketika sakitnya, hendaknya membimbingnya dengan mentalkinkan kalimat “laa ilaaha illallah”
kepadanya, menashihati dan menyuruhnya agar selalu sabar dan ridlo
terhadap ketetapan-Nya. Janganlah mereka membiarkan celah sedikitpun
bagi setan untuk dapat memalingkannya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Malaikat maut alaihi as-Salam adalah malaikat yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa.
Hadits dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu di atas juga
menerangkan tentang nama Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa
setiap orang yang telah ditentukan kematian atasnya dengan nama Malaikat
maut Alaihim as-Salam. Hal inipun sebagaimana telah disebutkan di dalam
ayat berikut ini,
قُلْ يَتَوَفَّاكُم مَّلَكُ اْلمـَوْتِ الَّذِى وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi tugas untuk (mencabut
nyawa)mu akan mematikanmu. Kemudian hanya kepada Rabbmulah, kamu akan
dikembalikan.” [QS. As-Sajadah/ 32: 11].
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ini (yaitu Malaikat
maut) adalah merupakan namanya di dalam alqur’an dan sunnah. Adapun
penamaan malaikat Izrail itu tidak ada asalnya, (hal ini jelas)
berbeda dengan apa yang telah mahsyur (terkenal) di sisi manusia.
Barangkali nama tersebut adalah termasuk dari cerita israilliyat”. [18]
Kedatangan Malaikat maut ini diawali dengan datangnya beberapa
malaikat yang menyertainya, apakah para malaikat yang berwajah putih
bersinar laksana mentari, yang pada tangan mereka ada kain kafan dari
kain kafan surga dan balsem dari balsem surga. Ataukah para malaikat
yang berwajah hitam kelam, yang keras lagi bengis yang pada tangan
mereka ada semacam karung goni dari neraka. Manakah di antara dua
golongan malaikat itu yang datang?, maka itu menunjukkan keadaan orang
yang hendak mati. Jika yang datang itu adalah golongan malaikat yang
pertama maka yang hendak meninggal dunia itu adalah termasuk orang
mukmin yang gemar beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, yang kelak akan
menempati surga dan meraih keridloan-Nya. Namun jika yang datang itu
golongan malaikat yang kedua maka niscaya yang akan meninggal dunia itu
adalah orang kafir atau munafik yang kerap berbuat dosa, yang kelak akan
menempati neraka dan mendapatkan kemurkaan-Nya.
حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَكُمُ اْلمـَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَ هُمْ لَا يُفَرِّطُونَ
Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu,
ia diwafatkan oleh para utusan Kami (yaitu para Malaikat), dan
utusan-utusan Kami itu tidak pernah melalaikan kewajibannya. [QS.
Al-An’am/ 6: 61].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((ia
diwafatkan oleh utusan-utusan Kami)) yaitu Malaikat maut dan
kawan-kawannya”. [19]
Demikian sekilas penjelasan tentang kematian yang pasti akan datang
menghampiri setiap makhluk hidup, khususnya umat manusia. Kaum pria
ataupun para wanita, para penguasa ataupun rakyat jelata, kaum
berpendidikan ataupun kaum yang terhimpit kebodohan, para ulama ataupun
kaum awamnya, golongan mukminin ataupun kaum munafikin dan kafirin, dan
selainnya. Semuanya mereka pasti akan didatangi oleh maut tanpa
terkecuali dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita sebagai umat
Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam sebagai orang-orang yang siap
menghadapi kematian dengan keimanan dan amal-amal shalih dan
meninggalkan dunia yang fana ini dengan husnul khatimah.
[2] Aysar at-Tafasir: I/ 399.
[3] Aysar at-Tafasir: V/ 145.
[4] Aysar at-Tafasir: II/ 93.
[5] Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 7175.
[6] Bahjah an-Nazhirin: II/ 168.
[7] Mukhtashor Shahih Muslim: 1664 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1267.
[8] Bahjah an-Nazhirin: II/ 167.
[9] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1931 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1632.
[10] Shahih
Sunan Abi Dawud: 2670, Mukhtashor Shahih Muslim: 455, Shahih Sunan Ibni
Majah: 3360, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7792 dan Ahkam al-Jana’iz
halaman 11.
[11] Shahih
Sunan at-Turmudziy: 785, Shahih Sunan Ibni Majah: 3436, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1051, Misykah al-Mashobih: 1612 dan Ahkam
al-Jana’iz halaman 11.
[12] Talkin
itu bukan membacakan surat Yasin atau sejenisnya. Dari sebab itu
pembacaan surat Yasin kepada orang yang sedang datang tanda-tanda
kematiannya atau sesudahnya itu adalah perkara muhdats (yang baru
diada-adakan) atau termasuk perkara bid’ah. (lihat Ahkam al-Jana’iz
halaman 20 dan Mu’jam al-Bida’ halaman 533). Apalagi riwayat yang
menyuruh membacakan surat Yasin untuk orang yang mendekati ajal adalah hadits dla’if (lemah),
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 1488, Ahmad: V/ 26, 27, Abu
Dawud: 3121, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar. [Lihat
Dla’if Sunan Ibni Majah: 308, Dla’if Sunan Abi Dawud: 683, Dla’if
al-Jami’ ash-Shaghir: 1071, Misykah al-Mashobih: 1622 dan Irwa’
al-Ghalil: 688].
[13] Ajakan
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap pamannya itu dikeluarkan
oleh al-Bukhoriy: 1360, 3884, 4675, 4772, 6881, Muslim: 34 dan Ahmad:
II/ 343, 441 dari al-Musayyab. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di
dalam Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 680 dan Mukhtashor Shahiih
Muslim: 3. Adapun ajakan Beliau terhadap anak Yahudi dikeluarkan oleh
al-Bukhoriy: 1356, 5657, al-Hakim dan Ahmad: III/ 175, 227, 260, 280
dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam
Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 676 dan Ahkam al-Jana’iz halaman
21.
[14]
Mukhtashor Shahih Muslim: 453, Shahih Sunan Abi Dawud: 2674, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 781, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1722, Shahih Sunan
Ibni Majah: 1185, 1186, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5148, Irwa’
al-Ghalil: 686 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 19.
[15] Shahih
Sunan Abi Dawud: 2673, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6471, Misykah
al-Mashobih: 1621, Ahkam al-Jana’iz halaman 48 dan Irwa’ al-Ghalil: 687.
[16] Mukhtashor Shahih Muslim: 1304 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1659.
[17] Bahjah an-Nazhirin: I/ 246.
[18] Ahkam al-Jana’iz halaman 199.
[19] Aysar at-Tafasir: II/ 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar