AMALAN DI BULAN SYA’BAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Alasan kenapa bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban
Sudah sepatutnya setiap muslim mengetahui jumlah dan nama-nama bulan
dalam Islam, dari bulan Muharram sampai dengan bulan Dzulhijjah.
Alhamdulillah, sebahagian mereka telah mengetahui bahwa bulan Ramadlan
itu berada di urutan ke sembilan dalam bulan Islam dan Sya’ban bulan ke
delapannya. Oleh sebab itu, sebelum kita memasuki gerbang bulan
Ramadlan, kita mesti melewati dan menjalani bulan Sya’ban ini terlebih
dahulu.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau,
“As-Sakhowiy rahimahullah mengatakan bahwa Sya’ban berasal
dari berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang,
mereka lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan”. [1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah berkata, “Bulan
Sya’ban disebut Sya’ban karena pada bulan tersebut para kabilah Arab
saling berpencar untuk mencari air atau untuk melakukan penyerbuan
kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar dari bulan Rajab (yang
diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan untuk berperang
inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama (untuk
mencari air)”. [2]
SYA’BAN ADALAH PINTU GERBANG RAMADLAN
Bulan Ramadlan adalah bulan penuh ampunan dari Allah ta’ala dan
keberkahan, bagi orang yang dapat memanfaatkan bulan itu untuk
mengerjakan berbagai jenis ibadah yang disyariatkan. Karena di bulan
itulah alqur’an diturunkan, diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh,
dianjurkan untuk giat bersedekah karena Rosulullah Shallalahu alaihi wa
sallam pada bulan itu lebih dermawan daripada di bulan-bulan lainnya,
ditegakkan sholat tarawih berjamaah, dianjurkan untuk membaca alqur’an,
mentadarusi dan mentadabburinya, ifthar jama’iy (buka puasa bersama),
dan lain sebagainya.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadlan dengan penuh keimanan
dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
telah berlalu”. [HR al-Bukhoriy: 1901, 2014, Muslim: 760, Ibnu Majah:
1641, 1326 dan at-Turmudziy: 683. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [3]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat
penjelasan keutamaan bulan Ramadlan dan ketinggian kedudukannya.
Bahwasanya bulan itu adalah bulan (diwajibkannya) berpuasa. Maka
barangsiapa yang berpuasa (pada bulan itu) maka akan diampuni
kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya meskipun sebanyak buih lautan”. [4]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Apabila seseorang berpuasa lantaran iman kepada Allah dan dalam rangka
mencari pahala Allah, maka Allah ta’ala akan mengampuni dosanya yang
telah lalu”. [5]
Maka untuk mencapai ampunan yang Allah Subhanahu wa ta’ala janjikan
maka diperlukan kesungguhan, persiapan dan latihan terlebih dahulu di
bulan Sya’ban. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
telah mencontohkan dengan banyak melakukan ibadah puasa di bulan Sya’ban
sebagai persiapan dan latihan untuk memasuki bulan Ramadlan.
Dan bulan Sya’ban ibaratnya adalah pintu gerbang yang mesti dilalui
oleh setiap muslim dalam keadaan telah siap menunaikan berbagai anjuran
yang disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan.
لَمْ يكن النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa
dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” [HR al-Bukhoriy: 1970, Muslim:
1156 (176) dan at-Turmudziy: 736, 737]. [6]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat
dalil akan keutamaan berpuasa pada bulan Sya’ban. Puasanya Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam itu boleh diteladani oleh orang yang mampu
(berpuasa) selama ia sanggup, adapun orang dikhawatirkan payah atau
puasanya itu berpengaruh (buruk) pada bulan Ramadlan maka dimakruhkan
untuk berpuasa baginya setelah pertengahan bulan Sya’ban”. [7]
Oleh karena itu, tanpa persiapan yang matang sebelumnya, seseorang
bisa jadi akan melewatkan bulan Ramadlan sebagaimana bulan-bulan lainnya
tanpa faidah, tanpa nilai dan tanpa mashlahat sedikitpun apalagi jika
dosa-dosanyapun tersebut tidak diampuni.
SUNNAH-SUNNAH DI BULAN SYA’BAN
Hendaknya setiap muslim mengetahui bahwa ada beberapa sunnah di bulan Sya’ban yang hendaknya diperhatikan,
Yakni hendaknya bagi setiap muslim yang sudah terbiasa melakukan
puasa sunnah untuk tetap melakukan kebiasaan baik itu seperti biasanya,
bahkan sampai menjelang akhir bulan Sya’ban, kecuali jika sudah
mendekati satu atau dua harinya maka hendaknya mereka menghentikannya
karena dikhawatirkan jatuh ke dalam larangan yang telah disebutkan dalam
hadits-hadits dari Abu Hurairah radliyallahu anhu yang akan disebutkan
sebentar lagi. Apalagi jika mendekati yaumusy syakk (hari yang
diragukan), hendaknya mereka meninggalkan berpuasa pada hari itu karena
adanya larangan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Namun bagi muslim yang tidak terbiasa melakukan puasa-puasa sunnah,
jika mereka ingin melakukan anjuran berpuasa pada bulan Sya’ban
hendaknya sampai pertengan bulan saja sebagaimana akan datang
penjelasannya di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radliyallahu anhu.
Yang perlu diperhatikan lagi, bahwa jika memasuki bulan Sya’ban
hendaknya setiap muslim memperhatikan apakah puasa Ramadlannya yang
terdahulu sudah dibayar (diqodlo) sejumlah hari-hari yang ia tinggalkan,
apakah karena masalah darah wanita, tertimpa sakit, dalam safar atau
selainnya. Jika masih tersisa hutang puasanya maka hendaklah ia segera
membayarnya, karena tidak adalagi bulan sesudah Sya’ban ketika memasuki
Ramadlan.
Anjuran banyak berpuasa di bulan Sya’ban ini telah dicontohkan oleh
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana hadits dari Aisyah
radhiyallahu anha yang telah berlalu. Aisyah radliyallahu anha berkata,
لَمْ يكن النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ
شَهْرًا أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa
dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Dahulu beliau
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.”
Maksud ucapan Ummahat al-Mukminin Aisyah radhiyallahu anha “Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya”
adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya’ban, bukan pada
keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah
pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadlan. Dan terkadang
dalam kebiasaan bahasa Arab, jika hendak mengungkapkan sesuatu
perbuatan yang mayoritas seseorang lakukan dalam kurun waktu tertentu,
dengan menggunakan kata ‘seluruhnya’, padahal yang dimaksud adalah sebahagian besar waktunya (mayoritas).
Berkata Ibnu al-Mubarak rahimahullah, “Di dalam ucapan bahasa Arab,
boleh apabila seseorang berpuasa di kebanyakan bulan untuk dikatakan ‘ia
berpuasa pada bulan itu seluruhnya’”. [8] Begitu pula yang dikatakan oleh al-Imam at-Tirmidziy. [9]
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam berpuasa sehingga kami berkata ‘Beliau tidak pernah berbuka’.
Dan Beliau juga berbuka hingga kami berkata ‘Beliau tidak pernah
berpuasa’.
وَ مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم
اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَ مَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ
صِيَامً مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
Aku tidak pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
sempurna di dalam berpuasa selama sebulan kecuali Ramadlan. Dan aku juga
tidak melihat Beliau lebih banyak berpuasa dari bulan Ramadlan selain
bulan Sya’ban”. [HR al-Bukhoriy: 1969].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Oleh sebab itu sudah sepantasnya bagi seseorang untuk memperbanyak
berpuasa di bulan Sya’ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan
lainnya, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berpuasa padanya.
Para ahli ilmu menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban ini adalah
agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadlan seperti sholat
rawatib dan sholat wajib (maksudnya agar seseorang menjadikan puasa di
bulan Sya’ban ini sebagai ibadah tambahan sebelum masuk ke dalam puasa
Ramadlan)”. [10]
2. Menghitung hari bulan Sya’ban
Maksudnya, setiap muslim khususnya orang-orang yang berkompeten dalam
hal ini hendaknya mereka memperhatikan dan melihat (ru’yat) hilal akhir
bulan Sya’ban dengan teliti agar dapat menentukan tanggal 1 dari bulan
Ramadlan. Jika ternyata langit tertutup awan, atau tetesan air karena
hujan deras atau yang semisalnya maka hendaklah mereka menyempurnakan
bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan hendaklah mereka menghindari
penentuan akhir dan awal bulan itu berdasarkan hisab, karena hal
tersebut bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأكمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian ketika melihat hilal dan berbukalah ketika
melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka
sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tigapuluh hari.” [HR
al-Bukhoriy: 1909 dan Muslim: 1081 (19)]. [11]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Puasa itu berkaitan erat dengan melihat bulan dengan mata secara
langsung. Bahwa tidak boleh berpuasa dengan melalui ilmu hisab dan yang
menyerupainya. Demikian yang dikatakan oleh para ulama umat ini.
Demikian pula dengan berbuka (menentukan hari raya fithri) dengan melihat melalui mata secara langsung.
Mendung, jika menutupi ru’yat (pandangan), maka mesti melazimkan
penyempurnaan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ini adalah dalil
bahwa ilmu hisab tidak boleh masuk ke dalam (menghitung) Ramadlan dan
juga akhir (bulan tersebut). Karena di dalam kondisi mendung dan tidak
dapat menyaksikan hilal (bulan) maka tidak boleh menggunakan ilmu hisab,
namun menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban dan juga menyempurnakan
bilangan bulan Ramadlan”. [12]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Yaitu wajib bagi kaum muslimin untuk berpuasa apabila mereka melihat
hilal –yaitu hilal Ramadlan (yaitu tanggal 1 Ramadlan)-. Lalu jika
mereka tidak melihatnya maka mereka tidak boleh berpuasa. Oleh karena
itu Beliau bersabda, ‘Apabila hilal tersebut tertutup atas kalian, maka
sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tigapuluh hari’, yaitu
seandainya hilal tertutup oleh mendung atau tetesan air hujan dan yang
serupa dengan itu maka wajib untuk menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban
menjadi 30 hari”. [13]
Maka, sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya’ban
sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadlan. Karena satu bulan itu
terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka
puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadlan. Jika terhalang
awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan
tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab.
Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. [14]
3. Tidak mendahului Ramadlan dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya
Yaitu, setiap muslim dilarang untuk berpuasa terlebih dahulu satu atau dua hari sebelum datangnya bulan Ramadlan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ
يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ
صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului
Ramadlan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali
seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada
hari tersebut.” [HR al-Bukhoriy: 1914, Abu Dawud: 2335, at-Turmudziy:
684, an-Nasa’iy: III/ 684 dan Ahmad: II/ 521. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [15]
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan sehari atau dua
hari berpuasa, kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa lalu ia
berpuasa.” [HR. Muslim: 1082 dan Ibnu Majah: 1650. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [16]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang untuk mendahului
Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa
yang sudah menjadi kebiasaan seseorang. Misalnya seseorang yang sudah
terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu
atau dua hari sebelum Ramadlan maka tidak mengapa baginya untuk
berpuasa”. [17]
4. Tidak berpuasa pada hari yang diragukan
Jika timbul keraguan bagi kaum muslimin, apakah hari itu sudah masuk
awal bulan Ramadlan atau belum, maka hendaknya mereka tetap harus
meninggalkannya dan tidak boleh berpuasa pada hari tersebut. Jika
ternyata ada di antara mereka yang tetap bersikukuh atau bersikeras
untuk mengerjakannya pada hari yang telah diragukan tersebut berarti ia
telah mendurhakai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Namun jika ternyata yaumusy syakk (hari yang diragukan) tersebut itu
benar-benar awal Ramadlan dan diwajibkannya mulai berpuasa sebagaiman
kesaksian orang lain dan diakui oleh Pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan, maka ia tidak berdosa namun ia harus mengqodlo atau membayar
puasa tersebut pada hari lainnya di selain bulan Ramadlan.
Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu berkata,
مَنْ صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka
sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu Rosulullah)
Shallallahu alaihi wa sallam.” [Atsar riwayat al-Bukhoriy, Abu Dawud:
2334, Ibnu Majah: 1645, at-Tirmidziy: 686, an-Nasa’iy: IV/ 153, Ibnu
Khuzaimah: 1914, ad-Darimiy: II/ 2, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih). [18]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Hadits ini dijadikan sebagai dalil haramnya berpuasa pada hari syakk (yang diragukan). Karena shahabat itu tidaklah mengatakan hal tersebut dari pendapat dirinya sendiri. Namun, ucapan tersebut dapat digolongkan sebagai riwayat marfu’. Ibnu Abdil Barr berkata, “Menurut mereka riwayat tersebut adalah musnad (yaitu riwayat yang mempunyai rantai sanad) dan mereka tidak berselisih dalam hal tersebut”. [19]
Yaumuys syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari bulan
Sya’ban apabila hilal tertutup mendung atau karena langit berawan pada
malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan ini
apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat dari pendapat
para ulama adalah pengharamannya. [20]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Diharamkan untuk berpuasa pada hari syakk (yang diragukan) karena
shahabat tidak mungkin mengatakan hal itu dari arah pemikirannya
sendiri. Maka hadits init dihukumi marfu’ meskipun nampaknya mauquf
secara lafazh. [21]
Berkata al-Imam at-Turmudziy rahimahullah, “Inilah yang diamalkan
oleh mayoritas ahli ilmu dari kalangan para Shahabat Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dan para Tabi’in setelah mereka. Dengan ini pula,
berpendapat Sufyan ats-Tsauriy, Malik bin Anas, Abdullah bin al-Mubarak,
asy-Syafi’iy, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat akan makruhnya
berpuasa pada hari yang diragukan. Menurut pendapat mayoritas mereka,
jika seseorang berpuasa pada hari itu, dan ternyata hari itu benar-benar
telah masuk bulan Ramadlan, maka ia harus menggantinya pada hari yang
lain”. [22]
HARAP DIPERHATIKAN
1). Puasa setelah pertengahan Sya’ban
Di dalam hal ini para ahli ilmu rahimahumullah telah menerangkan tentang pembahasan ini dengan terang.
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
“Ketika masih tersisa separuh dari bulan Sya’ban, maka janganlah
kalian berpuasa.” [HR. at-Tirmidziy: 738. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [23]
Berkata al-Imam at-Turmudziy rahimahullah, “Makna hadits ini menurut sebahagian ahli ilmu adalah seseorang dalam keadaan tidak berpuasa (dari awal bulan Sya’ban) namun setelah tersisa sedikit hari dari bulan Sya’ban ia berpuasa karena keadaannya untuk menyambut bulan Ramadlan”. [24]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Dimakruhkan berpuasa sunnah setelah pertengahan Sya’ban bagi orang yang
dapat dilemahkan oleh puasanya. Dan apabila datang hari Syakk (yang
diragukan dalam berpuasa) maka diharamkan untuk berpuasa”. [25]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Meski al-Imam at-Tirmidziy rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini
adalah hasan shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang dla’if
(lemah). Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini syadz.
[Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah,
akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi
sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya]. Hadits ini menyelisihi
riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
لَا تَصُوْمُوْا قَبْلَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ أَوْ بِيَوْمَيْنِ
“Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya.”
Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadlan, atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya.
Kalaupun haditsnya shahih, maka larangan di sini bukanlah bersifat
pengharaman, hanya saja dimakruhkan sebagaimana pendapat sebagian ahli
ilmu. Kecuali apabila dia sudah memiliki kebiasaan berpuasa, maka boleh
baginya untuk berpuasa meski setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dengan demikian, puasa pada kondisi ini terbagi menjadi tiga,
1). Setelah pertengahan Sya’ban sampai tanggal dua puluh delapan,
maka ini hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya kebiasaan
berpuasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits
larangan puasa tersebut adalah shahih. Namun al-Imam Ahmad tidaklah
menshahihkan hadits ini, maka dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama
sekali.
2). Satu atau dua hari sebelum Ramadlan, maka ini hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya kebiasaan berpuasa sebelumnya.
3). Pada yaumus syakk (hari yang diragukan). Maka ini hukumnya haram
secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syakk karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya. [26]
Juga ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah kalian berpuasa.” [HR Abu Dawud: 2337. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai datang Ramadlan.” (HR Ibnu Majah: 1651. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [28]
Dalam lafazh yang lain lagi,
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan Ramadlan.” [HR. Ahmad: II/ 442].
Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.
Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah at-Tirmidziy,
Ibnu Hibban, al-Hakim, ath-Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara
ulama belakangan yang menshahihkannya adalah asy-Syaikh
al-Albaniy rahimahullah.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah
hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang
lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman
bin Mahdiy, al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar-Rozi, dan al-Atsrom. Alasan
mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadlan dengan sehari atau dua
hari berpuasa, kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa lalu ia
berpuasa.” [HR. Muslim: 1082 dan Ibnu Majah: 1650. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [29]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ إِلاَّ أنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ
فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului
Ramadlan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali
seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa pada
hari tersebut.” [HR al-Bukhoriy: 1914, Abu Dawud: 2335, at-Turmudziy:
684, an-Nasa’iy: III/ 684 dan Ahmad: II/ 521. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [30]
Jika dipahami dari hadits-hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadlan dengan berpuasa dua hari atau lebih.
Al-Atsrom mengatakan, “Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri
berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau
lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadlan. Dan hadits di atas juga
bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum
Ramadlan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz,
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.”
Al-Imam at-Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah
dihapus). Bahkan al-Imam ath-Thohawiy menceritakan bahwa telah ada
ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut.
Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.
Namun ada pendapat dari al-Imam asy-Syafi’iy dan ulama Syafi’iyah,
juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali.
Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban
adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu.
Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis),
boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. [31]
2). Puasa satu atau dua hari sebelum Ramadlan
Begitu pula tentang berpuasa di akhir bulan Sya’ban pada tanggal 28
atau 29, yang berarti satu atau dua hari menjelang Ramadlan. Para ulama
atau ahli ilmu juga telah membahas tentang hal itu dengan jelas agar
kita sebagai umat Islam dapat melakoni ajaran agama kita, khususnya
masalah puasa dengan tenang dan baik karena berdasarkan ilmu dan hujjah.
Dari Abu Hurairah, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahulukan Ramadlan dengan sehari atau dua hari
berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka
berpuasalah.” [HR. Muslim:1082]
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model,
1). Jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa
Ramadlan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas
terlarang.
2). Jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan
yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas
ulama membolehkannya.
3). Jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan
harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadlan melarang hal ini
walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah
al-Hasan al-Bashriy. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut
adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna
tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadlan
adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu
dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah
yang dipilih oleh al-Imam Asy-Syafi’iy, al-Imam Ahmad dan al-Awza’iy. [32]
3). Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadlan?
Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadlan adalah
dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari
berpuasa Ramadlan yang tidak dituntunkan.
Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan
memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang
disyariatkan. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang menyambungkan sholat wajib dengan sholat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. [33]
Selain itu sebagai umat Islam, kita wajib dan tunduk terhadap
berbagai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam melarang kita untuk berpuasa satu atau dua hari
menjelang Ramadlan maka hendaknya kita segera meninggalkannya tanpa
keraguan dan bantahan sedikitpun. Wallahu a’lam bish showab.
In syaa Allah pembahasan tentang bulan Sya’ban masih bersambung.
Semoga bermanfaat bagiku, keluargaku dan kaum muslimin seluruhnya.
[1] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: II/ 432, Cetakan Dar al-Fikr tahun1412H/ 1992M.
[2] Fat-h al-Bariy: IV/ 213.
[3] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1091, 1330, Shahih Sunan at-Turmudziy: 550, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 982.
[4] Bahjah an-Nazhirin: II/ 362.
[5] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 486.
[6] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 966 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 588, 589.
[7] Bahjah an-Nazhirin: II/ 381.
[8] Fat-h al-Bariy: IV/214 dan Nail al-Awthar: IV/ 291 cetakan Dar Zamzam Riyadl.
[9] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 225.
[10] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/502.
[11] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 924 dan Misykah al-Mashobih: 1970.
[12] Bahjah an-Nazhirin: II/ 363-364.
[13] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 487.
[14]
Shifat Shaum an-Nabiy Shallallahu alaihi wasallam, oleh asy-Syaikh
Salim bin Ied al-Hilaliy dan asy-Syaikh Ali Hasan al-Halabiy, halaman
27.
[15] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 928, Shahih Sunan Abu Dawud: 2047 dan Misykah al-Mashobih: 1973.
[16]
Mukhtashor Shahih Muslim: 573, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1338, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 7395 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2395.
[17] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 491.
[18]
Fat-h al-Bariy: IV/ 119, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 444
(294), Shahih Sunan Abu Dawud: 2046, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1334,
Shahih Sunan at-Turmudziy: 553, Irwa’ al-Ghalil: 961 dan Misykah
al-Mashobih: 1977.
[19] Fat-h al-Bariy: IV/ 120.
[20] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 491.
[21] Bahjah an-Nazhirin: II/ 367.
[22] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 210.
[23] Shahih Sunan at-Turmudziy: 590.
[24] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 225.
[25] Bahjah an-Nazhirin: II/ 367.
[26] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 491.
[27] Shahih Sunan Abi Dawud: 2049, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 397 dan Misykah al-Mashobih: 1974.
[28] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1339.
[29]
Mukhtashor Shahih Muslim: 573, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1338, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 7395 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2395.
[30] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 928, Shahih Sunan Abu Dawud: 2047 dan Misykah al-Mashobih: 1973.
[31] Latho’if al-Ma’arif halaman 244-245.
[32] Latho’if Al-Ma’arif halaman 257-258.
[33] Latho’if al-Ma’arif halaman 258-259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar