MACAM-MACAM BID'AH DAN KEMUNGKARAN DI BULAN RAMADLAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Bulan Ramadlan
adalah bulan yang penuh dengan berkah dan penuh dengan banyak keutamaan. Allah subhanahu
wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan
ibadah yang banyak agar manusia semakin bertakwa dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin berpaling dari keutamaan
ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Seakan mereka lupa atau memang
melupakan firman Allah ta’ala,
اْليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah/ 5: 3).
Mereka lalai dan ingin
melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup
dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in. Sehingga banyak
dijumpai sebahagian besar mereka berlomba-lomba mengerjakan berbagai hal yang
tidak pernah diteladankan Nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam. Jika
ditanya, tujuan mereka sebenarnya hanya ingin beribadah dan menghidupkan bulan
suci tersebut dengan berbagai ibadah yang mulia menurut sangkaan mereka,
padahal semuanya itu adalah bid’ah yang tercela. Sungguh mereka telah menodai
kesucian bulan Ramadlan ini tanpa mereka sadari.
Satu hal yang
menodai bulan Ramadlan adalah bermunculannya amalan-amalan bid’ah yang banyak
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Karena hal itu sudah sudah dilakukan
secara turun temurun dan menjadi tradisi di masyarakat. Merekapun menganggap
baik bid’ah tersebut. Itulah sebabnya setan lebih menyukai bid’ah daripada
maksiat. Khususnya di bulan Ramadlan ini, salah satu cara setan untuk
menghalangi kebaikan di bulan ini adalah menebar amalan-amalan bid’ah. Para
pelaku bid’ah itu merasa mereka lebih dekat kepada Allah ta’ala dari yang
lainnya, padahal mereka semakin jauh dari-Nya. Yang sangat menyedihkan adalah
amalan-amalan bid’ah ini justru menjamur di bulan Ramadlan dan menjadi hal yang
lumrah dan biasa.
Padahal
bid’ah itu telah dilarang oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak
dalil, di antaranya,
عن
العرباض بن سارية رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
وَإِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةِ بِدْعَةٌ وَ
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dari al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu berkata,
telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Waspadalah kalian
terhadap perkara-perkara yang baru diada-adakan, karena setiap perkara yang
baru diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. [HR Abu
Dawud: 4607, Ibnu Majah: 42, at-Turmudziy: 2676, Ahmad: IV/ 126, 127, al-Hakim:
333, 338 dan ad-Darimiy: I/ 44-45. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat
Shahih Sunan Abi Dawud: 3851, Shahih
Sunan Ibni Majah: 40, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2157, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2549, Irwa’ al-Ghalil: 2455 dan Misykah al-Mashobih: 165].
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه
قال: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
يَقُوْلُ فىِ خُطْبَتِهِ يَحْمَدُهُ وَ يُثْنىِ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ
يَقُوْلُ: مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ اْلحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَ أَحْسَنَ اْلهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَ شَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فىِ النَّارِ
Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu
berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di dalam
khutbahnya, memuji-Nya dan menyanjung-Nya yang Dia memang adalah Pemiliknya.
Kemudian beliau bersabda: Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka
tiada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tiada
yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan
adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad.
Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, setiap perkara yang baru
diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan itu
(tempatnya) di dalam neraka. [HR an-Nasa’iy: III: 188-189, Muslim: 867, Ibnu
Majah: 45, Ahmad: III: 319, 371 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1487, Shahih
Sunan Ibni Majah: 43, Irwa’ al-Ghalil: 607, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1353].
Perhatikan bagaimana Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam memerintahkan umatnya agar senantiasa waspada terhadap segala
sesuatu, baik keyakinan, perbuatan ataupun ucapan yang diada-adakan, tidak
diperintahkan, tidak dicontohkan ataupun tidak diisyaratkan oleh Beliau Shallallahu
alaihi wa sallam di dalam perkara-perkara syariat agama ini. Karena semua itu
adalah merupakan bid’ah, yang kejahatannya lebih tersamar lagi
bias dari kemungkaran yang lainnya, sesat bahkan menyesatkan, yang akan
menyeret setiap pelakunya ke dalam neraka. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala
menjauhkan kita dan seluruh kaum muslimin darinya.
Secara
syar’iy, bid’ah bermakna cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syariat,
bertujuan dengan berjalan di atasnya untuk berlebih-lebihan di dalam beribadah
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. [Al-I’tishom: I/ 37 dan Ushul fii al-Bida’ wa
as-Sunan halaman 21].
“Cara baru dalam agama itu” maksudnya adalah bahwa cara yang dibuat itu
disandarkan oleh pembuatnya kepada agama, meskipun tidak akan dijumpai dasar
dan dalilnya sedikitpun di dalam syariat. Maka bid’ah itu adalah sesuatu
perkara agama yang tidak ada dan keluar dari apa yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Dan
makna “yang dibuat menyerupai syariat” [Ushul
fii al-Bida’ wa as-Sunan halaman 22]
maksudnya bahwa (sesuatu perkara agama
yang dibuat itu) menyerupai cara syar’iy yang pada hakikatnya tidak ada dalam
syariat, bahkan mungkin bertentangan dengan syariat dari beberapa segi,
misalnya,
1). Membuat-buat hukum sendiri, seperti; puasa untuk berdiri tidak mau duduk,
berjemur di panas terik matahari tidak mau berteduh, puasa mutih dan lain
sebagainya.
2).
Atau menentukan cara dan bentuk tertentu di dalam ibadah yang tidak akan
ditemui di dalam syariat, seperti; dzikir berjamaah dengan satu suara di tempat
tertentu, menjadikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan isra’ dan mi’rajnya sebagai hari raya
dengan melakukan kegiatan tertentu semisal membaca kitab barzanziy, membaca
sholawat-sholawat bid’ah dan lain sebagainya.
3).
Atau menentukan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu yang tidak
dijumpai di dalam syariat. Seperti; Shoum nisfu sya’aban dan menghidupkan
malamnya, menghidupkan malam nuzulul qur’an, nyekar ke kuburan keluarga atau
orang-orang shalih di awal bulan ramadlan atau syawal, meramaikan tahun baru Islam
1 muharram dengan berbagai kegiatan yang meniru kaum jahiliyah dan lain
sebagainya.
Dan
masih banyak lagi berbagai jenis dan contoh bid’ah yang dapat kita jumpai,
mungkin ratusan, ribuan atau bahkan tak berbilang lagi. [Baca buku-buku: Mu’jam
al-Bida’ susunan Ro’id bin Shobriy bin Abi ‘Alafah cetakan dar al-‘Ashimah,
al-Bida’ wa al-Muhdatsat wa maa la ashla lahu oleh Hammud bin Abdullah
al-Mathor cetakan Dar Ibnu Khuzaimah, as-Sunan wa al-Mubtadi’at susunan
asy-Syaikh Muhammad Abdussalam cetakan Dar al-Fikr dan lain sebagainya].
Asy-Syaikh
al-Albaniy rahimahullah di dalam kitabnya
[Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 306] berkata, “Sesungguhnya bid’ah yang
dinyatakan sesat oleh pembuat syariat adalah sebagai berikut;
a). Semua yang bertentangan dengan
as-sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan ataupun keyakinan, meskipun ia
merupakan ijtihad.
b). Semua perkara yang dijadikan
sebagai sarana untuk mendekatkan diri (bertaqorrub) kepada Allah, sedangkan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarangnya.
c). Semua perkara yang tidak mungkin
disyariatkan, kecuali dengan nash atau tauqif, dan tidak ada nashnya, maka ia
adalah bid’ah kecuali amalan yang dikerjakan oleh shahabat, dimana amalan
tersebut dilakukan berulang kali dan tidak ada penentangan sama sekali.
d). Berbagai adat istiadat orang-orang
kafir yang dimasukkan ke dalam ibadah.
e). Apa yang ditetapkan sunnah (atau
anjuran) oleh beberapa ulama, apalagi ulama muta’akhirin, tetapi tidak ada
dalilnya.
f). Setiap ibadah yang tata caranya
tidak dijelaskan melainkan di dalam hadits dlo’if (lemah) dan maudlu’ (palsu).
g). Berlebih-lebihan di dalam ibadah.
h). Setiap ibadah yang ditetapkan oleh
pembuat syariat tanpa batas, tetapi kemudian dibatasi oleh manusia dengan
beberapa batasan seperti; tempat, waktu, sifat atau jumlah.
Adapun
pembagian bid’ah, al-Imam asy-Syathibiy [Al-I’tishom: I/ 286 dan Ushul fi
al-Bida’ wa as-Sunan halaman 25-31 dan kitab-kitab lain yang berkaitan dengan
pembahasan bid’ah] membagi dua macam yaitu,
1).
Bid’ah haqiqiyyah yakni yang tidak
ada dasarnya sama sekali dari dalil syar’iy, baik dari alqur’an, sunnah, ijma’
dan juga dari istidlal yang mu’tabar menurut ahli ilmu, tidak secara global dan
tidak pula secara rinci.
Misalnya;
(1). Mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan cara melakukan
rahbaniyah (kerahiban) yakni tidak ingin menikah sebagaimana dilakukan oleh
para rahib dari kaum nashrani. (2). Menyerupakan riba dengan jual beli
sebagaimana dilakukan oleh golongan yahudi. (3). Menyiksa diri dengan
memukul-mukulkan punggung dengan cambuk atau menguruskan keringkan badan atau
semisalnya sebagaimana yang dilakukan orang-orang syi’ah atau Hindu dengan
tujuan meningkatkan derajat. (4). Mengukuhkan akal dan menolak nash-nash di
dalam agama Allah sebagaimana dilakukan oleh para ahli filsafat, dan lain
sebagainya.
2). Bid’ah idlofiyyah yakni bid’ah yang mempunyai dua campuran,
yaitu salah satunya mempunyai dalil-dalil yang terkait dan dari segi ini ia
bukanlah bid’ah, dan yang lainya tidak memiliki dalil yang terkait kecuali
seperti yang ada pada bid’ah haqiqiyyah. Maka tatkala ada suatu amal (ibadah)
yang mempunyai dua campuran yang tidak bersih pada salah satu dari dua
sudutnya, maka ia ditempatkan pada julukan ini yaitu bid’ah idlofiyyah.
Maksudnya bahwa bid’ah ini berhubungan dengan salah satu dari dua sisinya
adalah sunnah sebab berdasarkan kepada dalil, dan berhubungan dengan yang
lainnya adalah bid’ah karena bersandarkan kepada syubhat, tidak kepada dalil
atau tidak bersandar kepada sesuatu. Dan perbedaan diantara keduanya adalah
dari sisi makna. Bahwa dari sisi asalnya, dalilnya tegak berdiri tetapi dari
sisi cara, kondisi dan rinciannya tidak ada, padahal ia membutuhkannya, sebab
lazimnya terjadi bid’ah itu di dalam peribadatan bukan di dalam masalah adat
yang murni.
Misalnya;
(1). mengerjakan sholat ragha’ib, yaitu sholat sunnah 12 rakaat pada malam
jum’at pertama bulan Rajab dengan cara-cara tertentu. Amalan ini dinyatakan
bid’ah oleh para ulama dan termasuk bid’ah idlofiyyah, sebab sholat malam itu
ada syariatnya tetapi tanpa rincian pengajaran yang ditentukan pada sholat
ragha’ib. Begitu pula yang terjadi pada sholat nisfu Sya’ban. (2) Adzan untuk
dua sholat ied dan sholat gerhana. (3) Ucapan istighfar di penghujung sholat
secara berjamah dan dengan suara keras. Dan lain sebagainya.
Banyak
dari kaum muslimin karena keawaman dan kejahilan mereka terhadap bimbingan dan
petunjuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang jatuh kedalam berbagai
jenis bid’ah, baik bid’ah dalam masalah wudlu, sholat, shoum, haji,
kepengurusan jenazah, pernikahan dan lain sebagainya. Banyak diantara mereka
menduga bahwa perkara tersebut merupakan sunnah dan dianjurkan oleh agama, dan
bahkan menganggap orang-orang yang mengamalkan sunnah Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam sebagai para pelaku bid’ah, alangkah buruk dugaan mereka itu. Namun
di hari akhir nanti, akan tampak jelaslah keadaan mereka yang selalu
mengada-adakan perkara agama atau mengganti-gantinya sesuai dengan hawa nafsu
mereka, bahwa mereka nanti akan diusir dari telaga alkautsar, suatu tempat
dimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam akan menunggu umatnya disana sebagaimana
diusirnya unta yang nyasar.
Di
dalam dalil yang lain, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengancam
siapapun dari umatnya yang mengamalkan atau membuat-buat sesuatu perkara agama
yang tidak berdasarkan kepada syariat, meskipun dikerjakan dengan penuh
keikhlasan dan pengorbanan serta banyak dikerjakan oleh kaum muslimin, maka
amal tersebut tidak akan diterima dan tidak mendapatkan balasan kebaikan
sedikitpun.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُـوْلَ
اللَّهِ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari ‘Aisyah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal, yang tidak ada syariat kami di
atasnya maka ia (yaitu amal tersebut) tertolak”. [HR al-Bukhoriy secara ta’liq
lihat Fat-h al-Bariy: XIII/ 317, Muslim: 1718 lafazh ini baginya, Ahmad: VI/
146, 180, 256 dan ad-Daruquthniy: 4491. Berkata asy-Syaikh al-Albani: Shahih,
lihat Mukhtashor Shahiih Muslim: 1237, Irwaa’ al-Ghaliil: 88, Shahiiih
al-Jaami’ ash-Shaghiir: 6398 dan Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib: 47].
Berkata Ibnu Baththol rahimahullah, “Maksudnya adalah barangsiapa yang berhukum
dengan selain sunnah lantaran kejahilan (tidak tahu) atau karena suatu
kesalahan, maka wajiblah baginya merujuk kepada hukum sunnah dan meninggalkan
apa yang menyelisihinya, lantaran mengikut perintah Allah ta’ala yang menetapkan taat kepada rosul-Nya, dan
inilah maksudnya berpegang teguh dengan sunnah”. [Fat-h al-Bariy: XIII/ 317].
عن عائشة قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَنْ أَحْدَثَ فىِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dari
Aisyah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu
yang tidak ada syariatnya maka hal tersebut tertolak”. [HR Muslim: 1718,
al-Bukhoriy: 2697, Abu Dawud: 4606, Ibnu Majah: 14 dan Ahmad: VI/ 240, 270.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3850,
Shahih Sunan Ibni Majah: 14, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5970 dan Shahih
at-Targhib wa at-Tarhib: 47].
Berkata asy-Syaikh Hammud bin Abdullah
al-Mathor rahimahullah, “Di dalam hadits
ini, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkhabarkan dengan “jumlah
syarthiyyah” bahwa barangsiapa yang mengada-adakan di dalam agama Allah
sesuatu yang tidak ada darinya, maka hal tersebut tertolak lagi ditolak atas
pelakunya. Hatta jika ia mengada-adakannya dari niat yang baik, maka
sesungguhnya tidak akan diterima darinya, karena sesungguhnya Allah tidak akan
menerima dari perkara agama ini melainkan dengan apa yang Ia syariatkan. [Al-Bida’
wa al-Muhdatsat wa Ma la ashla lahu halaman 64].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy rahimahullah, “Hadits ini adalah termasuk beberapa hadits
yang peranan Islam berada di atasnya. Maka sepatutnya untuk menghafal dan
memasyhurkannya. Karena hal ini adalah kaidah yang agung di dalam menggugurkan
perkara-perkara yang baru diada-adakan dan bid’ah-bid’ah”. [Bahjah an-Nazhirin:
I/ 254].
عن عائشة قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَنْ صَنَعَ أَمْرًا مِنْ غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Aisyah
berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang membuat suatu perkara yang bukan dari urusan (agama) kami, maka ia
tertolak”. [HR Ahmad: VI/ 73 dan Abu Dawud: 4606. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3850, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 6369 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47].
Dengan
beberapa dalil di atas, sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk melazimkan
ibadah dengan apa yang telah didatangkan dan dicontohkan oleh Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam sebagai bentuk ketaatan, kecintaan dan pengagungan kepada
Beliau. Sebab sedikit amal di dalam mengikuti sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam adalah lebih baik dan lebih bernilai daripada mengerjakan banyak amal
namun mengandung perkara bid’ah.
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: اْلاِقْتِصَادُ فىِ السُّنَّةِ أَحْسَنُ
مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فىِ اْلبِدْعَةِ
Dari Ibnu
Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Sederhana di dalam sunnah adalah lebih baik
daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah”. [Telah mengeluarkan atsar ini
al-Hakim: 358 secara mauquf. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat
Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 37, al-Ibanah: 201, 246, 247, Talbis Iblis
halaman 19 dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadli-lihi: 1306].
Dan Abdullah
bin Mas’ud dan al-Fudloil bin ‘Iyadl
berkata,
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فىِ
سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فىِ بِدْعَةٍ
Amal sedikit di dalam sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal namun di dalam bid’ah. [Al-Ibanah: 245, 249].
عن ابن مسعود رضي الله
عنه قَالَ: ِاتَّبِعُوْا وَ لاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَ كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dari Ibnu
Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Hendaklan kalian mengikuti (ittiba’) dan
janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (oleh Islam ini) dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ahmad dan ad-Darimiy:
I/ 69 lihat Al-Ibanah: 175].
عن
ابن مسعود رضي الله عنه قال: سَتَجِدُوْنَ أَقْوَامًا يَدْعُوْنَ إِلىَ كِتَابِ
اللهِ وَ قَدْ نَبَذُوْهُ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ فَعَلَيْكُمْ بِاْلعِلْمِ وَ
إِيَّاكُمْ وَ التَّبَدُّعَ وَ التَّنَطُّعَ وَ عَلَيْكُمْ بِاْلعَتِيْقِ
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu
berkata, Kalian akan jumpai beberapa kaum yang mengajak (kalian) kepada kitab
Allah padahal mereka (sendiri) meninggalkannya) di belakang mereka. Maka sebab
itu, wajib atas kalian (berpegang) kepada ilmu dan waspadalah kalian terhadap
(perbuatan) bid’ah dan sikap berlebih-lebihan. Wajib atas kalian (berpegang)
dengan perkara yang kuno [Telah mengeluarkan atsar ini ad-Darimiy: I/ 54, lihat
Jami’
Bayan al-Ilmi wa Fadli-lihi: 1325 dan al-Ibanah: 189, 192].
Camkan
bagaimana seorang shahabat yang bernama Ibnu Mas’ud Radliyallahu anhu, karena
pahamnya beliau terhadap bahayanya bid’ah dan keutamaan sunnah Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam, beliau beritikad bahwasanya sederhana di dalam mengamalkan
sunnah lebih utama dan lebih baik disisi Allah Subhanahu wa ta’ala daripada
melakukan bid’ah kendatipun dikerjakan dengan sungguh-sungguh, ada pengorbanan
dan banyak dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin. Sebab mengerjakan sunnah itu
akan mendatangkan pahala dan balasan kebaikan di akhirat kelak meskipun
sedikit. Sedangkan mengamalkan bid’ah kendatipun mengorbankan banyak harta dan
tenaga serta penuh keikhlasan adalah perkara yang sia-sia, tiada mendatangkan
balasan kebaikan di akhirat nanti, bahkan akan menjerumuskannya ke dalam dosa
dan api neraka. Ma’adzallah.
Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam juga mengajak umat Islam untuk senantiasa ittiba’
yakni mengikuti Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di segenap ibadahnya
dengan bimbingan alqura’n dan hadits-hadits yang telah tsabit darinya. Dan
mengajak pula untuk meninggalkan perkara-perkara bid’ah, sebab Allah Azza wa
Jalla telah mencukupi umat ini dengan islam yang lengkap dan sempurna, tidak
butuh kepada penambahan, pengurangan, pengubahan ataupun penggantian. Semua
perkara bid’ah yang telah dinyatakan sesat oleh Rosul Shallallahu alaihi wa
sallam di dalam sabda-sabdanya, tidak ada penamaan bid’ah hasanah
sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas kaum muslimin. Sebab jika disebut
bid’ah di dalam syar’iy maka yang dimaksud adalah bid’ah dalam agama atau
ibadah yang telah nyata-nyata kesesatan dan kerusakannya. Dan sabda Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam, “Semua bid’ah adalah sesat”, menunjukkan lafazh ‘amm
yakni menyeluruh tidak bermakna ‘sebahagian atau diantaranya’. Namun jika yang
dimaksud mereka adalah perkara keduniaan yang senantiasa berkembang sesuai
kebutuhan dan pemikiran manusia semisal adanya pesawat terbang, komputer, internet,
mobil, telepon dan lain sebagainya,
hal itu tidak dinamakan bid’ah. Kalau sekiranya dinamakan bid’ah juga, itu
hanya sebatas ungkapan bahasa saja.
Hendaknya
setiap muslim, terlebih para dainya agar senantiasa berhati-hati di dalam
menyikapi, meyakini dan mengamalkan suatu amalan, sebab bisa jadi hal itu
merupakan bid’ah, jika tidak memiliki dasar yang akurat dari alqur’an dan
hadits yang shahih. Lalu jika bid’ah itu mereka anggap suatu kebaikan, maka
mereka boleh jadi telah menuduh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam
mengkhianati risalah Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana telah dikatakan
oleh Imam Malik bin Anas,
مَنِ ابْتَدَعَ فىِ
اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ ُمحَمَّدًا صلى الله عليه و سلم
خَانَ الرِّسَالَةَ ِلأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ((اْليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِيْنَكُمْ)) فَمَا َلمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ اْليَوْمَ
دِيْنًا
Barangsiapa
yang melakukan bid’ah di dalam Islam yang ia menganggapnya sebagai suatu
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam telah berkhianat di dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya
Allah telah berfirman ((Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagimu agamamu)).
Maka, apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi
agama pada hari ini. [Al-I’tishom: I/ 49].
Pernyataan
di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya siapapun yang melakukan bid’ah di
dalam Islam lalu ia menganggap perbuatan bid’ah itu adalah suatu kebaikan,
berarti ia telah menuduh dan menyangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam telah berkhianat di dalam menyampaikan risalah Allah ta’ala. Ia telah
menuduh bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah lupa atau sengaja tidak
menyampaikan suatu perkara bid’ah yang dianggap olehnya sebagai risalah Allah.
Lalu dengan kejahilan atau kejumudannya yang beratas namakan logika, hawa nafsu
ataupun juga persangkaan-persangkaan, ia membuat-buat atau mengamalkan bid’ah
demi bid’ah sehingga tersebar luas di tengah-tengah masyarakat muslim sebagai
suatu ajaran dari Islam. Yakni kaum muslimin karena keawamannya lebih mengenal
perkara-perkara bid’ah ini sebagai ajaran Islam yang dianjurkan untuk
diamalkan, sedangkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena
bertentangan dengan kebiasaan mereka, diperkenalkan sebagai bid’ah yang
dianjurkan untuk ditinggalkan dan dijauhi. Perilaku mereka yang telah menistai
lagi menodai perilaku Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang amanah di
dalam risalah ini, telah dibantah oleh Allah Azza wa Jalla di dalam ayat
berikut ini,
ياَأَيُّهَا الرَّسُـوْلُ بَلِّغْ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَـا بَلَّغْتَ
رِسَالَتَهُ
Wahai
Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika kamu
tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
risalah-Nya. [QS. al-Maa’idah/5: 67].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah,
“Berfirman Allah ta’ala
dalam keadaan berbicara kepada hamba dan rosul-Nya Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam dengan
nama risalah dan memerintahkannya untuk menyampaikan
seluruh apa yang diutus oleh Allah. Dan sungguh-sungguh Rosul Shallallahu
alaihi wa sallam telah mengikuti
yang demikian tersebut, dan tegak dengan penegakan yang paling sempurna”. [Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 96].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi
golongan rafidloh yang mengatakan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
telah menyembunyikan sesuatu dari apa yang telah diperintahkan untuk
menyampaikannya sebagai bentuk taqiyyah. Mereka telah berdusta, demi Rabb ka’bah,
Aisyah ummul mukminin radliyallahu anha telah berkata, “Seandainya ada
kemungkinan Rosul Shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu, tentulah
ia akan menyembunyikan ((عبس و تولى)) karena ayat ini berisi celaan terhadapnya Shallallahu
alaihi wa sallam”. [Aysar at-Tafasir: I: 654, dari catatan kaki ].
Dari
Masruq dari ‘Aisyah radliyallahu anha berkata,
“Barangsiapa menceritakan kepadamu bahwasanya Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam menyembunyikan sesuatu dari yang telah diturunkan kepadanya, maka
sungguh-sungguh ia telah berdusta, karena Allah ta’ala berfirman, ((Wahai
Rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. QS. al-Ma’idah/5:
67)). [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 4612, 7531, lihat Fat-h al-Bariy:
VIII/ 275, XIII/ 503].
Maka
bid’ah sudah pasti kesesatannya meskipun dipandang oleh mayoritas manusia
sebagai kebaikan, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam tidak membutuhkan kepada penilaian, pandangan dan pendapat
manusia di dalam menetapkan suatu bentuk dan tata cara ibadah maupun akidah.
Dan setiap kesesatan itu akan bermuara dan bertempat di dalam neraka
sebagaimana telah dituangkan di dalam hadits-hadits terdahulu, dan juga
sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Umar [Al-Ibanah: 205 dan Ahkam al-Jana’iz
halaman 258],
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً
“Semua bid’ah itu sesat,
meskipun dipandang manusia sebagai suatu kebaikan”.
وَ إِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فىِ اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ
اللهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ هُمْ إِلاَّ َيخْرُصُوْنَ
Dan jika
kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak mengikuti melainkan persangkaan belaka dan
mereka hanyalah mengadakan-adakan kebohongan. [al-An’am/ 6: 116].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy rahimahullah, “((Dan jika
engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah)) yaitu seandainya engkau mendengar
(ucapan) mereka, mengambil ro’yu-ro’yu (pendapat/ akal) mereka dan mengabulkan
usulan-usulan mereka pastilah mereka menyesatkanmu dari jalan Allah.
Penyebabnya adalah bahwasanya kebanyakan mereka tidak ada hujjah dan juga tidak
ada padanya ilmu yang sebenarnya dan semua yang mereka katakan adalah hawa
nafsu dan bisikan-bisikan setan. Sesungguhnya tidaklah mereka mengikuti
melainkan ucapan-ucapan persangkaan dan tidaklah mereka itu pada apa yang
mereka ucapkan melainkan para pendusta lagi pembohong. Dan memadai bagimu ilmu
Rabbmu tentang mereka, karena sesunggguhnya Allah ta’ala lebih mengetahui orang yang sesat dari
jalan-Nya dan Ia pula lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk. [Aysar
at-Tafaasiir: II/109].
Beberapa
keterangan tafsir di atas memberi penjelasan bahwasanya ‘illat (penyebab)
dilarangnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengikuti mayoritas (orang
kebanyakan) adalah lantaran mereka senantiasa mengikuti persangkaan mereka
bukan ilmu yakin yang diambil dan disalin dari firman Allah ta’ala dan sabda Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa
sallam, dan juga karena bisikan dan tipu daya setan sebagai musuh yang paling
utama bagi mereka, sehingga yang keluar dari lisan mereka hanyalah kebohongan
belaka. Setan mengemas dan membungkus segala keburukan dengan berbagai kemasan
yang indah dan menarik sehingga dipandang oleh sebahagian manusia sebagai
kebaikan. Dan mengemas berbagai kebaikan dengan kemasan yang buruk dan menakutkan
sehingga dilihat oleh sebahagian mereka sebagai suatu keburukan dan kejahatan.
Tertipulah mereka di dunia dan celakalah mereka di akhirat.
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنىِ لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فىِ
اْلأَرْضِ وَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ اْلمـُخْلَصِيْنَ
Iblis berkata, “Wahai Rabbku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa
aku sesat, niscaya aku akan hiasi (amal buruk) untuk mereka di bumi dan
aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas
di antara mereka”. [QS. Al-Hijr/ 15: 39-40].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Senjata yang paling tajam yang dipergunakan
Iblis untuk menyesatkan anak Adam adalah menghiasi segala sesuatu. Jika
sesuatu itu tercela lagi buruk maka dengan bisikannya, ia akan menjadikannya
indah lagi elok sehingga manusia mengerjakannya”. [Aysar at-Tafasir: II/ 83].
Bid’ah
adalah salah satu dari sekian banyak senjata ampuh dan tajam setan untuk
menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan dan kesesatan. Jika ada di antara
mereka yang tersayat atau tertusuk dengannya maka sulit baginya untuk
menyembuhkan dirinya, sebab ia tidak merasa sakit, menderita dan dalam bahaya,
bahkan ia merasa sehat, bahagia dan dalam keamanan. Sampai suatu saat yaitu pada
hari kiamat ketika segala tirai terbuka lebar, rahasia terungkap tuntas, dan
semua orang sudah mendapatkan akibat, maka tampak jelaslah bahwa bid’ah yang
mereka yakini dan amalkan itu adalah suatu keburukan dan kejahatan yang
mendatangkan kebinasaan kelak sebab tertuduh sebagai kesesatan. Dan sunnah yang
diitikadkan dan dijauhi mereka itu adalah suatu kebaikan yang akan mendatangkan
keselamatan kelak sebab ditetapkan oleh syariat sebagai kebenaran.
Berkata
asy-Syaikh Hammud bin Abdullah al-Mathor rahimahullah, “Oleh sebab itu, bid’ah itu lebih disukai
oleh setan dari perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Sebab perbuatan maksiat
itu memungkinkan bertaubat darinya, maka hal itu akan memungkinkan bagi
pelakunya untuk mengetahui bahwasanya ia telah berbuat dosa, merenungi taubat
dan memulainya. Kadang-kadang ia menyepakatinya dan kadang-kadang tidak. Adapun
orang yang berbuat bid’ah, maka sesungguhnya setan membaguskan perbuatan bid’ah
itu kepadanya dan menjelaskan kepadanya bahwasanya siapapun yang menyelisihinya
maka dia adalah orang sesat, bahwa barangsiapa yang berada di atas selain
jalannya maka dia adalah batil dan bahwasanya kebenaran itu ada disisinya. [Al-Bida’u
wa al-Muhdatsat wa ma la ashla lahu halaman 49].
Berkata
Sufyan ats-Tsauriy [Talbis Iblis halaman 26, Syu’ab al-Iman: VII/ 59 (9455) dan
Alam al-Jin wa asy-Syayathin halaman 68],
اْلبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلىَ إِبْلِيْسَ مِنَ
اْلمـَعْصِيَةِ لِأَنَّ اْلمـَعْصِيَةَ يُتَابُ مِنْهَا وَ
اْلبِدْعَةَ لاَ
يُتَابُ مِنْهَا
Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis dari pada perbuatan maksiat, sebab perbuatan maksiat masih diharapkan taubat darinya, sedangkan bid’ah tidak diharapkan taubat darinya.
Maka siapapun yang mengerjakan bid’ah, sulit
diharapkan taubat darinya sebab ia tidak merasa bersalah dan tidak akan
mengakui kesesatannya. Lalu ia akan terus, terus dan terus mengamalkan dan
menyebar-luaskannya keberbagai penjuru dunia dan kepada tiap manusia yang ada,
sampai akhirnya ajal menjemputnya, kecuali jika Allah Jalla Jalaluhu menghendaki
kebaikan dan rahmat kepadanya dengan memberikan hidayah kepadanya. Sebab
bagaimana mungkin seseorang bertaubat dan memohon ampun kepada Allah Tabaroka
wa ta’ala jika ia tidak menyadari kesalahan dan kekeliruannya, orang yang
mengakui bersalah saja kadang-kadang berat baginya untuk bertaubat dan memohon
ampun kepada-Nya apalagi yang tidak mengakuinya. Begitu pula reaksi dari
masyarakat karena keawaman mereka, jika diberitakan akan adanya kejadian
kriminal berupa pencurian, pesta minuman keras atau bahkan narkoba, perjudian,
prostitusi dan lain-lain kemungkaran maka mereka bergegas datang untuk mencegah
dan menolaknya, tetapi jika terjadi keramaian berupa acara-acara yang bernuansa
bid’ah maka mereka tidak akan peduli dan bahkan mereka akan ikut bergabung untuk meramaikannya. Maka bagaimana mungkin
mereka diharapkan dapat bertaubat dari bid’ah jika demikian.
Hal ini
sebagaimana telah dijelaskan bahwa bid’ah ini adalah kemungkaran yang amat
tersamar lagi bias dengan ibadah sehingga banyak manusia yang tidak menyadari
kesalahannya ketika mengerjakannya. Sebab bid’ah adalah kemungkaran yang
dikemas indah dan menarik oleh iblis la’anahullah dan kawan-kawannya dari golongan manusia lalu
dibuat menyerupai syariat, sehingga orang yang tidak tahu menganggap dan
meyakininya sebagai bentuk ibadah yang dianjurkan dan akan diberi balasan
kebaikan. Maka jika mereka sudah meyakininya sebagai ibadah yang diajarkan dan
dianjurkan bukan bid’ah dilarang dan ditentang maka bagaimana mereka dapat
berpaling darinya dan bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh sebab itu melalui
tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid'ah yang banyak dilakukan oleh kaum
muslimin pada bulan Ramadlan, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi
tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para
sahabat beliau. Semoga dengan mengetahui hal ini, kaum muslimin bisa
meninggalkan dan menanggalkan perbuatan tersebut, minimal jadi bahan
pertimbangan bagi mereka.
1]. Menyambut
Ramadlan
1). Bid’ah hisab.
Yakni
menentukan awal Ramadhan dengan perhitungan hisab. Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa telah menegaskan bahwa cara seperti itu adalah
bid’ah dalam agama. Silakan lihat Majmu’ Fatawa (XXV/179-183).
Karena penentuan awal bulan Ramadlan danSyawal adalah dengan melihat hila (bulan sabit) sebagaimana telah mafhun dari banyak hadits yang menerangkan masalah tersebut.
Karena penentuan awal bulan Ramadlan danSyawal adalah dengan melihat hila (bulan sabit) sebagaimana telah mafhun dari banyak hadits yang menerangkan masalah tersebut.
2). Mendahului puasa
satu hari atau dua hari sebelumnya
Rasulullah telah
melarang mendahului puasa ramadlan dengan melakukan puasa pada dua hari
terakhir di bulan Sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa puasa pada
jadwal tersebut, misalnya puasa senin kamis atau puasa Dawud. Rasulullah bersabda, “Janganlah
kalian mendahului puasa ramadlan dengan melakukan puasa satu hari atau dua
hari sebelumnya. Kecuali bagi yang terbiasa melakukan puasa pada hari tersebut
maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perbuatan
seperti itu merupakan kedurhakaan terhadap Rasulullah Shallallahu álaihi wa
Sallam. Rasulullah melarang mendahului Ramadlan dengan berpuasa satu atau dua
hari sebelumnya, kecuali bagi yang bertepatan dengan hari puasanya. [Lihat
kitab Al-Ibdaa’ fi Madhaar Al-Ibtidaa’ karangan Syeikh Ali Mahfuzh].
3). Nyekar atau ziarah
kubur ketika memasuki bulan Ramadlan
Tradisi nyekar
atau ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadlan ini banyak dilakukan oleh kaum
muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan
perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan. Ziarah kubur dianjurkan agar kita
teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi mengkhususkannya karena acara
tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maupun para sahabat radliyallahu
anhum.
4). Mandi besar/
janabat.
Yaitu mandi yang
dikhusukan menyambut bulan Ramadlan, biasa juga disebut padusan. Biasanya pada
satu hari menjelang satu ramadlan dimulai, dan dikerjakan pada sore hari
sebelum maghrib ketika memasuki bulan Ramadlan. Terkadang mandinya juga asal
mandi, yaitu mandi dengan mengguyurkan air ke seluruh tubuh dan yang penting
pakai shampo dengan niat mandi besar. Perbuatan ini tidak disyariatkan dalam
agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadlan adalah niat untuk
berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi janabat untuk puasa
Ramadhan tidak pernah ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
5). Bid’ah makan-makan sebelum puasa Ramadlan.
Yakni
makan-makan atau kenduri di masjid atau surau satu hari menjelang Ramadlan,
biasa juga disebut dengan punggahan. Di beberapa tempat, masyarakat
berbondong-bondong membawa makanan beraneka ragam untuk kenduri di masjid
menyambut datangnya bulan Ramadlan. Hal ini tidak ada contohnya dari
Rasulullah, para Shahabat maupun Salafus Shalih.
6). Bid’ah pesta ru’yah.
Yaitu
berkeliling kota atau desa menyambut malam pertama bulan Ramadlan sebagaimana
biasa dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat dan orang awam. [Lihat kitab
Al-Ibda’ fi Madharr Al-Ibtida’ karangan asy-Syaikh Ali Mahfuzh].
2].
Bid’ah
Sahur dan Adzan.
1). Bid’ah
Tashir
(membangunkan orang-orang untuk sahur).
Yakni membangunkan
orang untuk sahur dengan berteriak, “Sahuuur….sahuuur. Perbuatan seperti ini
tidak ada contohnya di zaman Rasulullah dan tidak pula diperintahkan oleh
beliau. Dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.
Di negeri
Mesir, para muadzdzin menyerukan lewat menara masjid, “Sahuuur… sahuuur…
makan…. minum…., kemudian membaca firman Allah,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershiyam
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS.
2:183)
Di negeri
Syam lebih parah lagi, mereka membangunkan sahur dengan membunyikan alat musik,
bernyanyi, menari dan bermain.
Tidak
ketinggalan di Indonesia, berbagai macam cara dilakukan oleh orang-orang awam.
Ada yang keliling kampung sambil teriak-teriak, “Sahuuuur….sahuuuur. Di sebagian daerah dengan membunyikan musik
lewat mikrofon masjid atau dengan membunyikan tape dan
membawanya keliling kampung, ada yang membunyikan mercon, atau meriam bambu, memukul
kentongan, kaleng, dan lain sebagainya.
Perbuatan ini
merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah
memerintahkan hal ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap
daerah juga menunjukkan tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya
perkara ini disyariatkan maka tentunya mereka tidak akan berselisih.
2).
Menyegerakan makan sahur.
Yaitu banyak di antara kaum muslimin yang makan sahurnya satu atau
dua jam sebelum adzan shubuh bahkan lebih. Terkadang tujuannya adalah supaya
dapat melakukan jalan-jalan pagi lebih awal setelah makan sahur atau sholat
shubuh.
Padahal sunnahnya makan sahur adalah diakhirkan, yaitu sekitar 50
ayat dari alqur’an yang dibaca tartil.
3). Imsak (menahan diri) dari makan dan
minum ketika adzan pertama, yang mereka namakan “adzan Imsak”. [Mu’jam al-Bida’
halaman 268].
Tradisi imsak,
sudah menjadi tren dan budaya yang dilakukan kaum muslimin ketika ramadhan.
Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan “imsak,
imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu adalah
waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum. Begitu
pula, imsak ini juga diumumkan di stasiun bebagai televisi dan radio.
Bagaimana
mungkin manusia mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa ta’ala,
dimana Allah ta’ala melalui Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam telah menghalalkan
manusia untuk makan dan minum sampai terdengar adzan shubuh, namun ada sebagian
orang yang mengharamkannya 10-15 menit sebelum adzan shubuh.
Dari Anas dari
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami makan sahur bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka Anas bertanya,
“Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?”. Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat
membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari: 1921 dan Muslim: 1097).
4). Memuntahkan makanan dan minuman dari mulut ketika suara adzan shubuh
terdengar.
Banyak di antara kaum muslimin, karena keawamannya terhadap agama
yang bersikap berlebihan dalam agama dan menyelisihinya. Misalnya, ketika
mereka sedang sahur, tiba-tiba terdengar adzan shubuh berkumandang maka
seketika itu juga memerka memuntahkan makanan dan minuman mereka yang berada di
mulut mereka. Hal ini bertentangan dengan hadits berikut,
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا
سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَ اْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى
يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila seseorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan
bejana (makanan dan minuman mereka) berada pada tangan mereka, maka janganlah
ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya”. [HR Ahmad: II/ 423, 510,
Abu Dawud: 2350 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih,
lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 2060, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 607, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1394 dan Misykah al-Mashobih: 1988].
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Di dalam hadits ini terdapat dalil
bahwasanya orang yang mendapatkan munculnya fajar sedangkan bejana makanan dan
minumannya itu ada pada tangannya, maka boleh baginya untuk tidak meletakkannya
sehingga ia menunaikan hajatnya itu (yaitu makan dan minum). [Tamam al-Minnah
halaman 417].
Katanya lagi, “Di antara faidah hadits ini adalah adanya batilnya bid’ah
imsak sebelum fajar seukuran seperempat jam. Karena mereka mengerjakannya itu
lantaran khawatir datangnya adzan subuh sedangkan mereka dalam keadaan sahur.
Seandainya mereka mengetahui rukhsoh tersebut niscaya mereka tidak akan
terjatuh ke dalam bid’ah tersebut. Maka perhatikanlah. [Tamam al-Minnah halaman
418].
5).
Mandahulukan adzan dari waktu fajar shodiq, dengan alasan untuk hati-hati.
6). Melafazhkan niat ketika sahur atau dibaca ketika selesai sholat
tarawih dan witir yang dibaca bersama-sama. Yaitu lafazh,
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ
عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
"Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadlan tahun ini karena Allah ta'ala".
Melafazhkan niat
ketika hendak melaksanakan puasa Ramadlan adalah tradisi yang dilakukan oleh
banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara yang kita
jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan shalat witir
mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat itu dengan suara keras untuk
melakukan puasa besok harinya.
Perbuatan ini
adalah perbuatan yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga orang-orang shalih setelah beliau. Yang sesuai tuntunan
adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan
meniatkannya dalam hati saja, tanpa dilafazhkan.
3]. Bid’ah-bid’ah ketika
Berbuka dan selainnya.
1). Mengakhirkan
berbuka dengan alasan untuk menepatkan waktu.
2). Menunda adzan
maghrib dengan alasan kehati-hatian
Hal ini
bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka.
Dari Sahl bin
Sa’d radliyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia
senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari: 1957, Muslim: 1098,
at-Turmudziy: 699, Ibnu Majah dan Ahmad: V/ 331, 334, 336, 337, 339. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 593, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 563, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7694, Irwa’ al-Ghalil:
917 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1065).
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ
اْلفِطْرَ لِأَنَّ اْليَهُوْدَ وَ
النَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan senantiasa unggul selama kaum muslimin
menyegerakan berbuka. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani suka
mengakhirkannya”. [HR. Abu Dawud: 2353, Ahmad: II/ 450, Ibnu Hibban, al-Hakim
dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih Sunan Abu
Dawud: 2063, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7689, Misykah al-Mashobih: 1995 dan
Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 1067].
Dari Anas bin
Malik radliyallahu anhu berkata, “Aku tidak pernah melihat Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam sedikitpun sholat maghrib sehingga berbuka, walaupun hanya seteguk
minuman dari air”. [Telah mengeluarkan atsar ini Abu Ya’ala dan Ibnu Khuzaimah.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib:
1068].
Dari Amr bin
Maimun al-Audiy berkata, “Para shahabat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
adalah orang yang paling menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur”. [HR
Abdurrazzaq di dalam al-Mushannaf dengan sanad yang sahih].
3). Puasanya para wanita sedangkan mereka dalam keadaan haidl
sepanjang siang hari di bulan Ramadlan, dan (ketika) mendekati terbenamnya
matahari mereka membatalkan puasa mereka dengan sesuap atau seteguk air.
4). Menahan diri untuk tidak bersiwak/ gosok gigi sampai
tergelincirnya matahari.
Padahal bersiwak atau gogok gigi ini sangat dianjurkan bagi setiap
muslim, terutama ketika hendak berwudlu, meskipun dalam keadaan berpuasa.
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى
أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ
سِوَاكٌ وَ لَأَخَّرْتُ عِشَاءَ اْلآخِرَةِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ
Dari
Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “telah bersabda Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, “Andaikan aku tidak menyusahkan umatku niscaya aku
perintahkan mereka berwudlu setiap kali sholat, bersiwak setiap kali wudlu dan
menangguhkan sholat isya terakhir hingga mencapai sepertiga malam”. [Ahmad: II/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan,
lihat Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 5318 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 200 ].
عن
عائشة عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Dari
Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siwak
itu pembersih bagi mulut dan diridloi oleh Rabb”. [HR an-Nasa’iy: I/ 10, Ahmad: VI/ 47, 62, 124, 238, ad-Darimiy: I/ 174 dan
Ibnu Khuzaimah: 135. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5, Irwa’ al-Ghalil: 66, Misykah
al-Mashobih: 381 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3695].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Bersiwak adalah penyebab mendapatkan ridlo Rabb Azza
wa Jalla. Siwak adalah alat untuk membersihkan mulut.
Allah Subhanahu wa ta’ala menyukai kebersihan dan mencintai orang-orang yang
suka membersihkan diri, oleh karena itulah Allah telah mensyariatkan sesuatu
untuk mereka yang dapat membantu mereka untuk mendapatkan ridlo-Nya”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 342].
5). Bepergian pada bulan Ramadlan dengan maksud agar tidak
berpuasa.
4]. Bid’ah-bid’ah shalat
tarawih pada bulan ramadlan.
1). Cepatnya gerakan tarawih sebagaimana cepatnya gerakan burung
gagak (mematuk makanan). Bahkan sebagian imam melakukan shalat tarawih 23
rakaat, dalam waktu kurang dari 20 menit.
2). Ucapan muadzdzin sebelum memulai shalat tarawih atau
disela-sela shalat tarawih, “Sholaatut taraawih rahimakumullah” atau “Sholaatut
taraawih aajarokumullah”. Lalu para berjamaah menyahut dengan
teriakan2 tidak jelas, biasanya dengan kalimat, “Yaa Tawwaab Ya Waasi’al
maghfiraoh Yaa Arhamar Raahimiin irhamnaa”.
Perbuatan ini
juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak pula oleh para sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Oleh karena itu hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah
mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan
segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru yang tidak ada
tuntunannya dari mereka.
3). Menyewa qori (pembaca alqur’an) untuk menjadi imam sholat tarawih
di bulan Ramadlan.
Perbuatan ini
termasuk bid’ah makruh, silakan lihat kitab As-Sunan wal Mubtada’at halaman 161, Mu’jam al-Bida’ halaman 268 dan
kitab Bida’ Al-Qurra’ karangan Muhammad Musa halaman 42.
4). Membatasi membaca surat tertentu dalam shalat tarawih.
Sebagian imam membaca surat al-Fajr atau surat al-A’la atau seperempat surat
ar-Rahman. Diantara keanehan-keanehan lainnya, ada sebagian thariqat
shufiyah mengajarkan pada pengikut-pengikut mereka untuk membaca dalam
shalat tarawih surat al-Buruj, dimana imam membaca pada setiap
rakaat hanya satu ayat dari surat tersebut.
5). Memisahkan antara dua rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas,
al-Falaq, an-Nas, kemudian mengucapkan shalawat dan salam atas Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
6). Bersalaman dan berjabat tangan dengan cara memutar bergiliran
setelah sholat tarawih.
7). Bid’ah memilih-milih masjid untuk shalat tarawih di bulan Ramadlan,
hingga terkadang harus bersafar karenanya. Rasulullah
Shallallahu álaihi wa Sallam memerintahkan kita untuk shalat di masjid yang
terdekat dengan kita dan melarang memilih-milih masjid.
5].
Bid’ah perayaan tertentu pada bulan Ramadlan.
1). Perayaan
Nuzulul Qur’an.
Yaitu
melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang saat-saat
diturunkannya alqur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat
sepeninggal beliau.
2). Bid'ahnya penutupan pengajian karena memasuki bulan Ramadlan.
Banyak di antara kaum muslimin yang biasanya mengadakan pengajian-pengajian, lalu ketika datang bulan Ramadlan mereka menutup pengajian tersebut. Biasanya dengan alasan supaya bisa fokus beribadah di bulan tersebut, lalu membukanya kembali setelah sebulan atau lebih masa lewatnya bulan Ramadlan.
Banyak di antara kaum muslimin yang biasanya mengadakan pengajian-pengajian, lalu ketika datang bulan Ramadlan mereka menutup pengajian tersebut. Biasanya dengan alasan supaya bisa fokus beribadah di bulan tersebut, lalu membukanya kembali setelah sebulan atau lebih masa lewatnya bulan Ramadlan.
3). Bid’ah perayaan malam khatam Alqurán dalam sholat tarawih.
Yakni berdoa
dengan suara keras secara berjama’ah atau sendiri-sendiri setelah mengkhatamkan
alqurán.
Sebagian imam
ada yang berlebihan dalam masalah ini. Mereka sengaja menyusun doa-doa dengan
irama tertentu, mengikuti sajak, berusaha menangis atau memaksakan diri
menangis dan khusyuk serta merubah-rubah suara dengan cara yang tidak pantas
menjadi contoh dalam membaca Alqurán.
4). Takbiran
Yaitu menyambut
datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan memukul bedug pada malam
ied. Terkadang banyak di antara mereka yang meng-arak bedug sambil bertakbir keliling
kampung/ kota dengan kendaraan sampai menjelang malam dan bahkan shubuh. Perbuatan
ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan sunah adalah melakukan takbir ketika
keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied sampai tiba di lapangan tempat
melaksanakan sholat ied.
5). Bid’ah Wada’ Ramadhan.
Salah satu
bid’ah yang diada-adakan di bulan Ramadlan adalah bid’ah wada’ (perpisahan)
Ramadlan. Yakni lima malam atau tiga malam terakhir di bulan Ramadlan para
muadzdzin dan wakil-wakilnya berkumpul, setelah imam mengucapkan salam pada
shalat witir, mereka melantunkan syair-syair berisi kesedihan mereka dengan
kepergian bulan Ramadlan. Syair ini dilantunkan secara bergantian tanpa putus
dengan suara keras. Tujuannya untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa malam
ini adalah malam perpisahan bulan Ramadlan.
6). Bid’ah perayaan mengenang perang Badar.
6). Bid’ah perayaan mengenang perang Badar.
Salah satu
perayaan bid’ah yang diada-adakan oleh manusia adalah peringatan perang Badar
pada malam ke tujuh belas Ramadlan. Orang-orang awam dan yang mengaku pintar
berkumpul di masjid pada malam itu. Perayaan dibuka dengan pembacaan ayat-ayat
suci Alqurán kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kisah perang Badar.
7). Banyak di
antara mereka yang mempunyai kebiasaan membakar petasan/ mercon, kembang api
dan sejenisnya, bahkan bermain bleguran yang terbuat dari bambu atau
tanah. Semuanya itu hanya untuk kesenangan semata yang tidak ada faidahnya
sedikitpun. Bahkan di dalamnya terdapat menyia-nyiakan harta dan membahayakan
keselamatan dirinya dan orang lain.
6].
Shalat-shalat bid’ah yang dilakukan pada bulan Ramadlan.
1). Shalat
pada malam al-qadar yang dinamakan “Shalat Lailatul qadar”.
Yakni
mengerjakan shalat dua rakaat berjama’ah setelah shalat tarawih, kemudian di
penghujung malam mereka mengerjakan shalat seratus rakaat di malam yang mereka
yakini sebagai malam Lailatul Qadar, karena itulah mereka menamakannya shalat
Al-Qadar.
Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyah menyatakannya sebagai amalan bid’ah berdasarkan kesepatakan para
ulama. [Lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa: XXIII/122].
2).
Shalat “Jum’at Yatimah”, yaitu shalat jum’at pada jum’at terakhir dari bulan
Ramadlan, dan seluruh penduduk negeri melaksanakan shalat jum’at itu pada
masjid yang khusus. (Misalnya) penduduk Mesir shalat di Masjid Amr bin Ash dan
penduduk Palestina shalat di Masjid Ibrahimi atau Masjidil Aqsa. [Atau penduduk
Jawa sholat di Masjid Ampel].
3). (Melaksanakan) Shalat wajib 5 waktu sehabis shalat jum’at
yatimah,
dengan sangkaan bahwasanya shalat-shalat itu menghapus dosa-dosa, atau
menghapus shalat yang ditinggalkan.
4). shalat tasbih dalam
bulan Ramadlan.
Sebahagian
kaum muslimin suka mengkhususkan shalat tasbih hanya pada bulan Ramadlan,
karena anggapan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bahkan ada juga di antara
mereka yang lebih mengkhususkan lagi yaitu pada malam lailatul qodar.
Mereka
mengerjakan sholat tersebut dengan berjamaah, yang dikerjakan setelah
menunaikan sholat tarawih dan witir. Ini adalah bid’ah yang diada-adakan oleh
sebahagian mereka tanpa ada dasarnya sedikitpun.
Demikianlah
beberapa bid’ah yang dapat kami rangkum dalam kesempatan kali ini. Sebenarnya
masih banyak lagi bentuk-bentuk bid’ah lainnya yang tidak mungkin kami sebutkan
satu persatu di sini. Hendaknya kaum muslimin dapat menghindari amalan-amalan
bid’ah tersebut agar bulan Ramadlan yang suci ini tidak ternodai dengannya.
Semua bid’ah-bid’ah ini terdapat pada sebagian besar negeri
muslim, dan sebagiannya didapati pada suatu negeri dan tidak terdapat pada
negeri yang lainnya. Sekiranya kita menyebutkan bid’ah-bid’ah secara
keseluruhan pada seluruh negeri, tentulah akan menyita waktu dan tempat yang
tidak sedikit. Dan juga akan keluar dari tujuan dan maksudnya, karena tujuan
dan maksud tulisan ini hanya untuk mewaspadai dan mengingatkan kaum muslimin
dari berbagai bid’ah, tradisi dan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada
saat menjelang Ramadlan , ketika memasukinya dan setelah melewatinya.
Semoga menjadi bahan renungan dan pertimbangan bagi orang yang memiliki
hati yang bersih, akal yang jernih dan sikap yang memilih. Marilah mengamalkan
berbagai amalan di bulan Ramadlan ini yang telah diperintahkan dan dicontohkan
oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan jauhi, hindari, tinggalkan
dan tanggalkan segala macam amalan yang tidak pernah ada syariatnya di dalam
Islam agar kita selamat di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish showab.