TAUBAT DARI GHIBAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Apabila pada seorang muslim telah tumbuh rasa takut terhadap akibat dari perbuatannya mengghibah atau memfitnah saudaranya berupa adzab kubur atau siksa neraka dan juga berbagai keburukan lainnya, maka tidak ada yang dapat melepaskannya dari berbagai keburukan tersebut kecuali segera bertaubat darinya dan memohon ampun kepada Allah Tabaroka wa ta’ala atas segala perbuatannya.
Terkadang ada orang yang menyadari perbuatan salah dan kelirunya itu karena mendapat teguran dan nashihat dari seseorang dengan teguran yang lemah lembut dan penuh kesantunan. Teguran itu masuk menembus sanubarinya yang paling dalam dan membekas di dalam jiwanya, sehingga tumbuh kesadarannya untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan taubat yang sebenar-benarnya. Karena tidak semua teguran itu identik dengan kasar, keras, judes dan tanpa perasaan lalu diharapkan untuk dapat diterima oleh setiap orang. Teguran yang lemah lembut namun tegas, nashihat yang santun tapi mudah dipahami dan peringatan yang baik tutur bahasanya tetapi berdasarkan dalil dan hujjah yang nyata, biasanya lebih mudah diterima dan masuk ke dalam relung hati yang paling dalam.
Telah datang perintah dari Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits yang shahih tentang menyegerakan bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana di dalam dalil-dalil berikut ini,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ
تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَـفِّرَ عَنكُم
سَيِّـــئَاتِكُمْ وَ يُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا
اْلأَنْهَارُ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Wajibnya bertaubat dengan segera bagi setiap orang yang berdosa dari kaum mukminin dan mukminat, yaitu menanggalkan dosa dengan segera yakni meninggalkannya dan bersih darinya. Kemudian bertekad dengan benar untuk tidak kembali kepadanya lalu menetapkan penyesalan dan permohonan ampun setiap kali teringat akan dosanya dan memohon ampun kepada Rabbnya dan menyesal telah melakukannya. Dan jika dosa itu berkaitan dengan hak manusia seperti mengambil hartanya, memukul badannya atau merusak kehormatannya wajib terlepas darinya sehingga ia mengampuni dan memaafkan”. [Aysar at-Tafasir: V/ 388-389].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: وَاللهِ إِنىِّ لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ
أَتُوْبُ إِلَيْهِ فىِ اْليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat dorongan terhadap umat untuk bertaubat dan minta ampun. Sebab dengan keadaan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang kemudian, Beliau tetap memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Terdapat perintah untuk memohon ampun dan bertaubat. Sebab seorang hamba itu tidak pernah terpisah atau terlepas dari dosa atau aib. Maka hendaklah ia mengetahui bahwasanya tempat kembali itu hanya kepada Allah”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 52].
عن ابن عمر قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلىَ اللهِ فَإِنىِّ أَتُوْبُ فىِ
اْليَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya bertaubat bagi setiap orang. Karena perintah itu (pada asalnya) menetapkan wajib dan orang yang diajak bicara itu adalah seluruh manusia tanpa kecuali”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 53].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam dua hadits ini terdapat dalil akan wajibnya bertaubat, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkannya. Beliau bersabda, “Wahai manusia bertaubatlah kalian kepada Allah”. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: I/ 57].
Dalil-dalil di atas telah memerintahkan setiap muslim untuk senantiasa memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan bertaubat kepada-Nya dari berbagai dosa dan kesalahan. Sebab tidak satupun manusia yang hidup di muka bumi ini yang luput dari dosa dan kesalahan. Hal itu dikarenakan banyak hal, semisal nafsu syahwat yang tak mau taat, akal logika yang telah menjadi dewa, lingkungan buruk yang membentuk dan apalagi Iblispun tidak pernah berdiam diri untuk menggelincirkan mereka ke dalam berbagai dosa dan kesalahan. Maka pintu ampunan dan taubat dari Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa terbuka selama mereka bertaubat kepada-Nya sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya atau nyawa orang yang bertaubat itu belum mencapai kerongkongannya.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ قَالَ: وَ عِزَّتِكَ يَا رَبِّ
لاَ أَبْرَحُ أَغْوِى عِبَادَكَ مَا دَامَتْ أَرْوَاحُهُمْ فىِ
أَجْسَادِهِمْ فَقَالَ الرَّبُّ تَبَارَكَ وَ تَعاَلى: وَ عِزَّتِى وَ
جَلاَلِى لاَ أَزَالُ أَغْفِرُ لَهُمْ مَا اسْتَغْفَرُوْنىِ
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ
مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
Berkata asy-Syaikh Salim bin ied al-Hilaliy hafizhohullah, ,“Allah menerima taubat dari para hamba-Nya dan memaafkan sebahagian kesalahannya apabila terjadi di dalam keadaan yang memungkinkan. Dan dari sebab itulah saat terjadinya orang yang bertaubat itu sebelum terbitnya matahari dari barat (tempat terbenamnya)”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 55-56].
عن ابن عمر رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ اْلعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Taubat tidak akan diterima dalam keadaan sekarat yaitu dalam keadaan naza’ (tercabutnya nyawa), Allah ta’aala berfirman,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ
اللهُ عَلَيْهِمْ وَ كَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Semua orang yang bertaubat sebelum matinya maka berarti ia bertaubat dengan segera, kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَ لَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السَّيِّـــئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدُهُمُ اْلمـــَوْتُ قَالَ
إِنِّى تُبْتُ اْلآنَ وَ لاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَ هُمْ كُـفَّارٌ
أَولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dengan dalil hadits di atas dan penjelasannya, hendaklah seorang muslim itu tidak menunda-nunda diri untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan memohon ampunan kepada-Nya atas segala kesalahan dan kekeliruannya selama ini, agar kelak di hari kiamat Allah Jalla wa ala tidak lagi memperhitungkannya. Sebab Allah Jalla Jalaluhu sangat menyukai dan senang jika ada di antara hamba-hamba-Nya yang menyadari kesalahan dan kekeliruannya lalu segera kembali bertaubat kepada-Nya. Bahkan lebih senang dari pada seorang hamba yang mengadakan perjalanan dengan membawa bekal makanan, minuman, pakaian dan yang lainnya yang diletakkan di atas kendaraannya. Lalu tiba-tiba kendaraannya itu terlepas dan hilang tak tentu rimbanya. Sehingga ketika ia telah berputus asa dari mendapatkannya, tiba-tiba disaat ia sedang duduk istirahat di bawah sebatang pohon, kendaraannya yang hilang itu telah berada di hadapannya. Ia berkata saking gembiranya, “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu”. Ia keliru berucap karena sangat senangnya.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: ِللهِ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ
يَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلىَ رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ
فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَ عَلَيْهَا طَعَامُهُ وَ شَرَابُهُ
فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتىَ شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فىِ ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ
مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً
عِنْدَهَا فَأَخَذَ بِخِطاَمِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ اْلفَرَحِ:
اَللَّهُمَّ اَنْتَ عَبْدِى وَ أَنَا رَبُّكَ أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ
اْلفَرَحِ
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil mengenai kebahagiaan Allah Azza wa Jalla dengan taubat dari hamba-Nya apabila ia bertaubat kepada-Nya. Bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sangat menyukai hal tersebut dengan kecintaan yang besar tetapi bukan karena membutuhkan amal dan taubat kita, sebab Allah tidak membutuhkan kita. Tetapi Allah Tabaroka wa ta’ala semata-mata menyukainya lantaran kemurahan hati. Allah suka memaafkan dan mengampuni itu lebih disukai oleh-Nya daripada menyiksa dan menghukum. Oleh karena itulah Allah sangat senang dengan taubatnya manusia”. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: I/ 60].
Ketika ada orang berbuat dosa dan kesalahan dengan mengghibah atau memfitnah orang lain misalnya, maka berarti ia menjauh dan hilang dari rahmat dan hidayah-Nya, yang diserupakan dengan hilangnya kendaraan seorang hamba yang berisi perbekalannya. Lalu ketika ia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala melalui taubat dan memohon ampunan-Nya sebagai bentuk kesadarannya terhadap kesalahannya, yang berarti ia telah berada kembali di dalam pangkuan rahmat dan hidayah-Nya. Maka Allah Jalla dzikruhu sangat senang dengannya bahkan lebih senang daripada hamba yang ketika kehilangan perbekalan yang berada di atas kendaraannya dan telah berputus asa untuk mendapatkannya kembali, tiba-tiba kendaraannya tersebut telah kembali berada di hadapannya bersama perbekalannya.
Jika setiap muslim telah memahami bahwa taubat dan memohon ampunan itu adalah perilaku yang dapat menimbulkan rasa senang dan cinta bagi Allah Azza wa Jalla, maka hendaklah mereka berusaha dengan maksimal dan optimal untuk meraup dan meraih rasa senang dan cinta Allah Subhanahu wa ta’ala dengan cara bertaubat dengan taubat nashuha. Apalagi jika orang yang bertaubat dari dosa itu diserupakan dan disejajarkan dengan orang yang tidak berbuat dosa.
عن أبى عبيدة بن عبد الله عن أبيه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ
لَهُ
Penjelasan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang bertaubat dari segala dosanya akan menyebabkan dirinya diampuni dan diterima taubatnya bahkan ia di anggap seperti orang yang tidak berbuat dosa. Namun agar taubat itu diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai Penerima taubat dan Pengampun dosa, mempunyai beberapa syarat yang mesti dipenuhi oleh orang yang hendak bertaubat.
SYARAT-SYARAT TAUBAT
1).Ikhlas di dalam taubatnya.
Syarat pertama dan utama adalah ikhlas yakni ketika seorang berbuat dosa semisal ghibah atau fitnah lalu ia bertekad untuk bertaubat maka taubatnya itu dikarenakan mengharapkan ridlo dan ampunan dari Allah Jalla jalaluhu semata. Bukan karena ia sudah jenuh di dalam mengghibah orang lain, takut terhadap ancaman dan intimidasi dari orang yang dighibahinya, mendapatkan penghasilan dan pendapatan yang sangat minim yang tidak dapat mencukupi keperluannya dan keluarganya, tidak memperoleh kemuliaan dari orang lain bahkan ia dicela dan dihina karenanya, banyak orang yang memusuhi, menjauhi dan mengucilkannya lantaran kebiasaannya yang gemar mengghibah orang lain, dan diperkarakan ke pengadilan oleh orang yang dighibah atau difitnah karena dianggap mencemarkan nama baik dan lain sebagainya. Maka taubat dari ghibah yang didasarkan kepada beberapa penyebab tersebut tidak akan diterima lagi tertolak sehingga bertujuan karena Allah Azza wa Jalla semata.
Jika taubatnya hanya semata-mata karena Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam meraih ridlo dan ampunan-Nya, maka Allah Azza wa Jalla akan mengampuni dan memaafkan dosa dan kesalahannya di dalam perbuatan ghibahnya tersebut. Tetapi jika tidak, maka kendatipun ia sudah meninggalkan dan menanggalkan ghibah tersebut maka dosanya tersebut akan tetap melekat padanya sampai hari kiamat sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala akan memperhitungkannnya dan kelak akan mendatangkan hukuman dan siksaan-Nya.
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ikhlas ketika bertaubat adalah syarat di dalam penerimaannya”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 53].
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنمَّاَ
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنمَّاَ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى … الخ
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa faidah, di antaranya [3]; Terdapat dorongan atau motivasi untuk ikhlas karena Allah Azza wa Jalla, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah membagi manusia kepada dua golongan, yaitu; 1). Orang yang menginginkan ridlo Allah dan kampung akhirat dengan amalnya tersebut. 2). Kebalikannya”. [Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman 20].
Taubat dari dosa adalah merupakan salah satu dari amal shalih yang diperintahkan oleh Allah Jalla wa ala dan juga Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dari sebab itu sebagaimana mengerjakan amal-amal shalih lainnya maka di dalam bertaubat juga harus ikhlas, semata-mata untuk mencari ridlo dan ampunan-Nya serta menginginkan tempat yang baik di kampung akhirat nanti.
2).Menanggalkan dan meninggalkan perbuatan maksiat tersebut.
Syarat taubat yang kedua adalah orang yang melakukan ghibah tersebut mesti meninggalkan dan menanggalkan perbuatan ghibahnya. Jika ia menyangka telah bertaubat tetapi perilaku ghibahnya masih tetap ia lakukan maka taubatnya batil dan tidak sah.
وَ لَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَ هُمْ يَعْلَمُونَ
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yakni mereka bertaubat dari dosa-dosa mereka dan kembali kepada Allah dalam waktu segera dan tidak terus menerus di atas perbuatan maksiat tersebut dan tidak pula berkelanjutan di atasnya tanpa terlepas darinya dan seandainya dosa itu terulang lagi dari mereka, maka merekapun segera bertaubat darinya”. [Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 501].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah (Aysar at-Tafasir: I/ 380), “Terdapat keutamaan istighfar (memohon ampun) dan tidak berkelanjutan di atas perbuatan maksiat karena ayat tersebut dan juga karena hadits,
مَا أَصَرَّ مَنِ اسْتَغْفَرَ وَ لَوْ عَادَ فىِ اْليَوْمِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً
“Orang yang memohon ampun itu tidak akan melanjutkan (perbuatan dosanya) meskipun ia kembali sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari”. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud: 1514 dan at-Turmudziy: 3559 dari Abu Bakar ash-Shiddiq. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: dla’if, lihat Dla’if Sunan Abi Dawud: 326, Dla’if Sunan at-Turmudziy: 712, Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 5004 dan Misykah al-Mashobih: 2340].
Ayat di atas menetapkan bahwa orang yang bertaubat itu disyaratkan untuk menghentikan perbuatan dosanya apabila ia bertekad untuk bertaubat dan tidak melanjutkannya sedangkan ia mengetahuinya. Jika ada di antara para hamba muslim yang bertaubat dari dosa ghibah namun ia masih terus melakukannya, maka taubatnya itu tertolak dan tiada guna.
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Jika (perbuatan maksiat itu berupa) ghibah, maka (taubatnya itu) wajib untuk menanggalkan perbuatan mengghibahi manusia dan membicarakan kehormatan mereka. Adapun ia mengatakan bahwa ia telah bertaubat kepada Allah sedangkan ia masih terus meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka taubat ini tidak akan diterima. Bahkan taubat ini sama seperti mengejek Allah Azza wa Jalla. Bagaimana kamu bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla sedangkan kamu masih terus mendurhakainya”. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: I/ 51].
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه و سلم قَالَ: ارْحَمُوْا تُرْحَمُوْا وَ اغْفِرُوْا
يَغْفِرِ اللهُ لَكُمْ وَيْلٌ ِلأَقْمَاعِ اْلقَوْلِ وَيْلٌ
لِلْمُصِرِّيْنَ الَّذِيْنَ يُصِرُّوْنَ عَلَى مَا فَعَلُوْا وَ هُمْ
يَعْلَمُوْنَ
Dari sebab itulah, orang yang masih terus berbuat dosa (mushirr) semisal ghibah dan fitnah sedangkan ia telah berkeinginan untuk bertaubat maka taubatnya niscaya tertutup dan boleh jadi ia telah menjadi orang yang celaka. Hal itu juga berdasarkan kepada hadits berikut,
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ
بِدْعَةٍ حَتىَّ يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Meskipun hadits di atas tentang masalah bid’ah yang tidak diampuni pelakunya dari perbuatan tersebut sehingga ia meninggalkan perbuatannya tersebut. Namun dari dalil hadits ini dapat juga dipahami bahwa berbagai perbuatan dosa itu tidak akan dibuka pintu taubat dan ampunan untuknya selama orang yang ingin bertaubat itu tidak berusaha untuk meninggalkan dan menanggalkan perbuatan dosa tersebut. Dengan demikian, jika ada seorang muslim yang gemar mengghibah atau menyebarkan aib orang lain untuk mencari nafkah dengannya semisal pemburu berita, reporter atau hostnya di dalam suatu acara ghibahtainment, maka taubat dan permohonan ampunannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala itu akan selalu tertutup untuknya selama ia masih bergelut dan berkutat dengan perbuatan atau pekerjaannya tersebut.
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ
بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَ أَصْلَحُوا إِنَّ رَبَّكَ
مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Pintu taubat itu selalu terbuka bagi setiap orang yang berdosa, besar ataupun kecil dengan syarat taubatnya benar, yaitu dengan cara menanggalkan (dosa) dengan segera, adanya penyesalan dan selalu memohon ampun serta memperbaiki kerusakan”. [Aysar at-Tafasir: III/ 169].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)) yaitu mereka menghindar dari apa yang mereka lakukan dari perbuatan maksiat dan menghadap kepada perbuatan taat”. [Tafsir al-Qur’an al-Azhim: II/ 718].
Maka bagi seorang muslim yang hendak bertaubat dari ghibah tidak hanya cukup dengan menghindar dan menanggalkannya saja, tetapi hendaklah memperbaiki amal-amalnya dengan amal shalih dalam rangka taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan perbuatan baik yang berdasarkan ketaatan kepada Allah Jalla dzikruhudan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam itu dapat menghapuskan sebahagian dari dosa-dosa, sebagaimana difirmankan oleh Allah tabaroka wa ta’ala,
إِنَّ اْلحَسَنَــاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّــئَاتِ ذَلِكَ ذِكْـرَى لِلذَّاكِرِينَ
Dan juga sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam haditsnya,
وَ أَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَة َتَمْحُهَا
Iringilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik niscaya akan menghapusnya. [HR at-Turmudziy: 1987 dan Ahmad: V/ 153, 158, 228, 236. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1618, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 97 dan Misykah al-Mashobih: 5083].
عن أبي ذرّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوْصِنىِ
قَالَ: إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنَةً تَمْحُهَا قَالَ:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمِنَ اْلحَسَنَاتِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
قَالَ: هِيَ أَفْضَلُ اْلحَسَنَاتِ
Dalil-dalil di atas memberi dorongan kepada setiap muslim yang masih berbuat salah dan dosa semisal ghibah, buhtan dan namimah dan selainnya untuk segera bertaubat dengan taubat nashuha, meninggalkan dan menanggalkan perbuatan dosa tersebut dan selalu mengiringi perbuatan dosanya itu dengan perbuatan-perbuatan baik, sebab perbuatan-perbuatan baiknya itu niscaya akan menghapusnya.
3). Menyesal dari melakukannya.
Syarat selanjutnya adalah menyesal akan perbuatan ghibahnya yang selama ini ia kerjakan. Apalagi jika ia tahu dari akibat perbuatannya itu ia akan mendapatkan berbagai keburukan di dunia dan akhirat dan juga dari perilaku jeleknya itu ia dapat mencelakakan dan menyusahkan saudaranya.
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa penyesalan itu adalah merupakan bahagian dari taubat. Bahkan kiffarat atau penghapus dosa adalah penyesalan, yakni dengan penyesalan yang tulus itu dapat menghapus dosa-dosa yang telah dikerjakan.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كَفَّارَةُ الذَّنْبِ النَّدَامَةُ
عن ابن معقل قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ أَبىِ عَلَى عَبْدِ اللهِ
فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
النَّدَمُ تَوْبَةٌ فَقَالَ لَهُ أَبىِ: أَنْتَ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صلى
الله عليه و سلم يَقُوْلُ: النَّدَمُ تَوْبَةٌ؟ قَالَ: نَعَمْ
Dengan dalil-dalil di atas maka sudah sepatutnya seorang muslim itu jika ingin bertaubat dari perbuatan ghibahnya hendaklah menyertakannya dengan penyesalan yang murni dari hati sanubarinya. Namun penyesalan itu tidak akan tumbuh di dalam diri hamba muslim tersebut jika ia tidak mengetahui bahwa perbuatan ghibahnya itu dilarang oleh agama dan mengandung dosa yang dapat berdampak buruk dan merugikan dirinya di dunia dan akhirat kelak.
Penyesalan yang menimbulkan pengaruh mendalam bagi orang yang memilikinya berupa, kesedihan tatkala melihat ada orang yang berbuat seperti dirinya, terkadang tidurpun tiada pulas ketika ia teringat segala perbuatan dosanya yang pernah ia kerjakan, makanpun bagaikan mengunyah duri dan terasa pahit setiap kali teringat akan berbagai kesalahan yang pernah ia lakoni, berkhulwat dengan pasanganpun terasa tidak lagi indah dan menyenangkan disaat teringat akan segala kekeliruan yang pernah ia lalui dan sebagainya. Sehingga yang terpikir olehnya hanyalah lari menghindar dari segala kesalahannya dan memperbaiki dirinya di masa-masa mendatang.
Hendaklah setiap muslim bertaubat dan menyesal akan kelalaiannya di dalam meninggalkan kewajibannya terhadap Allah Azza wa Jalla dan juga terhadap kealpaannya di dalam mengerjakaan perbuatan yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam, sebelum datangnya suatu hari dimana pada hari itu yakni hari kiamat akan banyak orang yang menyesal namun tidak akan bermanfaat sedikitpun penyesalan tersebut bagi mereka.
أَن تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَى عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِى جَنبِ اللهِ وَ إِن كُنتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Wajib menyegerakan taubat dan bergegas dengannya sebelum ditimpa adzab di dunia atau (datangnya) kematian. Dan kematian itu lebih dahsyat dan lebih pahit ketika taubat tidak diterima setelah kematian untuk selamanya”. [Aysar at-Tafasir: IV/ 502].
Dengan keimanan kepada datangnya hari akhir dan keyakinan akan adanya pembalasan pada hari itu, maka sudah suatu kemestian setiap muslim yang suka menyelidik kekurangan dan kesalahan saudaranya yang muslim lalu mengghibahnya agar segera hengkang, menjauhi dan menghindar dari perbuatan tersebut. Bahkan wajib bagi mereka untuk bergegas bertaubat, menanggalkan dan meninggalkan perilaku ghibah tersebut yang dibarengi dengan rasa penyesalan yang mendalam dari lubuk hatinya atas perbuatannya selama itu.
4). Bertekad tidak akan kembali kepadanya lagi selamanya.
Di antara syarat taubat lainnya adalah tekad untuk tidak mengulangi dan kembali kepada perbuatan ghibah tersebut. Sebagaimana telah diisyaratkan di dalam ayat berikut ini,
يَعِظُكُمُ اللهُ أَن تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِن كُنتُمْ مُؤْمِنِينَ
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ
يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَ يَتَنَاجَوْنَ بِاْلإِثْمِ وَ
اْلعُدْوَانِ وَ مَعْصِيَتِ الرَّسُولِ
Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada rasul. [ QS. Al-Mujadilah/ 58: 8].
Dalil ayat di atas menjelaskan tentang larangan Allah Subhanahu wa ta’ala yang berkenaan dengan buhtan atau fitnah tatkala terjadinya hadits ifki yang menimpa istri tercintanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yakni ummu al-Mukminin Aisyah radliyallahu anha. Dan ayat selanjutnya berisikan larangan tentang berkumpul untuk membicarakan suatu rahasia yang mengandung dosa, permusuhan dan menentang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Setelah datang teguran dan larangan dari Allah Azza wa Jalla tersebut, bukannya mereka menjauhi dan menghindar tetapi malah kembali melakukan larangan tersebut.
Maka seandainya mereka beriman niscaya mereka akan bertaubat dari ghibah yang menjadi hidangan lezat bagi mereka setiap saat tersebut dengan penuh penyesalan lalu bergegas menanggalkan dan meninggalkannya kemudian mereka bertekad untuk tidak akan mengulangi perbuatan tersebut untuk selamanya. Tapi lantaran keimanan itu belum merasuk dan berurat akar di dalam hati mereka yang disebabkan kemunafikan atau kekufuran mereka, maka hal inilah yang menyebabkan mereka mengulanginya kembali, lagi, lagi dan lagi. Tempat yang sesuai bagi mereka adalah neraka Jahannam sedangkan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
5). Bebas dari hak orang yang dizholiminya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ
أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اْليَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ
دِيْنَاٌر وَ لاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ
بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَ إِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَـنَاتٌ أُخِذَ مِنْ
سَـيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ مَا زَادَ اللهُ رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
Minta maaf kepada orang pernah ia zholimi adalah bentuk kemuliaan akhlak bukan bentuk menghinakan diri, yang dengannya sebenarnya akan menghilangkan permusuhan dan dendam di antara mereka. Apalagi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan menambah kepada orang yang meminta maaf kepada orang lain selain kemuliaan di dunia dan akhirat.
Namun jika tidak memungkinkan, yakni dengan meminta maaf dan memberitahukan kepada orang yang dighibah itu akan perbuatan mengghibahnya tersebut dapat menimbulkan kerusakan hubungan, amarah, dendam, permusuhan, kebencian dan yang semisalnya atau orang yang dighibah itu telah meninggal dunia atau berpindah tempat yang tidak diketahui lagi rimbanya, maka tidak mengapa ia tidak memberitahukan dan meminta maaf kepadanya. Tetapi hendaklah ia memuji atau menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang pernah dighibahinya itu di majlis-majlis yang pernah ia mengghibahinya serta memohonkan ampun dan kebaikan untuknya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh beberapa ulama, di antaranya;
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Berkata beberapa ulama yang lain, “Tidak disyaratkan (bagi pelaku ghibah) untuk meminta penghalalan dari orang yang dighibah. Sebab, jika ia memberitahu orang yang dighibah itu tentang perbuatan ghibahnya tersebut, boleh jadi ia akan merasakan sakit lebih dari apabila ia tidak mengetahuinya. Kalau begitu solusinya adalah sebaiknya pelaku ghibah menyanjungnya dengan kebaikan-kebaikan yang dimilikinya di majlis-majlis yang pernah ia mencelanya dan juga membelanya dari ghibah yang ditujukan kepadanya seukuran dengan kesanggupannya, agar perbuatan yang ini untuk menebus yang itu.[ Tafsir al-Qur’an al-Azhim: IV/ 261].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat dalam perkara ini. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa engkau (maksudnya yang mengghibah) harus mendatanginya (yakni objek ghibah) lalu berkata, “Wahai Fulan sesungguhnya aku telah membicarakanmu di hadapan manusia, maka aku berharap engkau memaafkanku dan menghalalkanku”.
Ada sebahagian lain yang berpendapat, “Kamu tidak perlu mendatanginya (untuk menceritakan hal tersebut), tetapi hal ini ada rincian lebih lanjut”. Jika ia (si objek ghibah) telah mengetahui tentang ghibah tersebut, maka sepatutnya engkau mendatanginya dan meminta halal kepadanya. Namun jika ia tidak mengetahuinya maka kamu tidak perlu pergi menemuinya. Tetapi cukup engkau memohonkan ampun untuknya dan menceritakan kebaikan-kebaikannya di majlis-majlis yang engkau pernah mengghibahinya. Karena kebaikan-kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan-keburukan. Dan pendapat ini adalah yang paling shahih (benar). Yakni jika objek ghibah tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya maka cukuplah bagimu untuk menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majlis yang pernah engkau mengghibahinya dan memohonkan ampun untuknya, yaitu engkau berdoa, “Ya Allah ampunilah dia!”. Sebagaimana di dalam hadits,
كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ
“Kiffarat (penghapus dosa) orang yang engkau ghibahi adalah engkau memohonkan ampunan untuknya”. [Diriwayatkan oleh al-Harits bin Abu Usamah, Ibnu Abi ad-Dunya, al-Khara’ithiy dan selainnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: dla’if, lihat Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 4190 dan Silsilah al-Ahadits adl-Dla’ifah wa al-Maudlu’ah: 1519].
Maka sepatutnya dari melakukan taubat itu engkau menyambung hak-hak itu kepada ahlinya. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: I/ 53].
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Maka adapun apabila ia mengghibah atau menuduhnya sedangkan orang yang dighibah itu tidak mengetahuinya. Maka dikatakan, “termasuk syarat taubat adalah memberitahukannya”. Dikatakan lagi, “hal itu tidak disyaratkan, dan ini adalah pendapat mayoritas”. Keduanya diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad. Tetapi pendapatnya tentang perkara seperti ini adalah hendaknya orang yang mengghibah itu berbuat kebaikan-kebaikan untuk orang yang dizholiminya itu, seperti mendoakan kebaikan, memohonkan ampun dan mengerjakan amal shalih untuknya yang dapat menggantikan tempat ghibah dan tuduhannya. Sebagaimana dikatakan oleh al-Hasan al-Bashri, “kiffarat ghibah itu adalah memohonkan ampun untuk orang yang dighibahinya”. [Majmu’ Fatawa: XVIII/ 189 dan III/ 291].
Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Pendapat lainnya, Bahwasanya tidak disyaratkan untuk memberitahukan perbuatan mencela, menuduh (memfitnah) dan mengghibah sebahagian dari kehormatannya. Tetapi cukup taubat itu ada di antaranya dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu hendaklah ia menyebutkan orang yang dighibahi dan yang dituduh itu dengan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang ia pernah sebutkan sewaktu mengghibah di tempat-tempat ghibah dan tuduhan tersebut. Jadi ia mengganti ghibahnya itu dengan pujian dan sanjungan kepadanya dan juga menyebutkan kebaikan-kebaikannya serta mengganti tuduhannya tersebut dengan menyebutkan iffah dan sifat penjagaannya terhadap (kehormatannya) serta memohonkan ampun untuknya seukuran dengan ghibah yang pernah ia lakukan. Dan pendapat inilah yang telah dipilih oleh syaikh kami, Abu al-Abbas Ibnu Taimiyah -semoga Allah mensucikan ruhnya-.
Orang-orang yang berpendapat seperti ini berhujjah bahwa memberitahukan kepada orang tersebut hanya akan menimbulkan kerusakan semata dan tidak mengandung mashlahat (kebaikan). Sebab hal tersebut tidak akan menambahkan baginya selain rasa sakit, kemarahan dan kedukaan. Sebelum mendengar (pemberitahuan tersebut) ia dapat beristirahat namun sesudah mendengarnya boleh jadi ia tidak lagi mampu sabar untuk menanggungnya dan hal tersebut dapat mewariskan bahaya pada jiwa (psikis) dan badan (fisik)nya.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair,
فَإِنَّ الَّذِي يُؤْذِيْكَ مِنْهُ سِمَاعُهُ وَ إِنَّ الَّذِي قَالُوْا وَرَاءَ كَ لَمْ يُقَلْ
Sesungguhnya yang mereka katakan dibelakangmu itu tidak pernah dikatakan.
Jika terjadi seperti ini, maka sesungguhnya Pembuat syariat (yakni Allah Subhanahu wa ta’ala) tentu tidak akan memperbolehkannya apalagi sampai mewajibkan dan menyuruhnya.
Mereka juga berkata, “Boleh jadi pemberitahuan perbuatan itu dapat menjadi penyebab permusuhan dan peperangan di antaranya dengan orang yang mengatakannya, sehingga ia tidak akan senang kepadanya untuk selamanya. Dan pengetahuannya (tentang ghibah terhadap dirinya) itu dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian yang bisa melahirkan keburukan yang lebih besar dari kejahatan ghibah dan tuduhan. Maka hal ini amat berlawanan dengan tujuan Pembuat syariat (yakni Allah Azza wa Jalla) yaitu mempertautkan hati, saling berkasih sayang, saling berlemah lembut dan saling cinta mencintai”. [Madaarij as-Saalikiin: I/ 316-317 dan Tazkiyyah an-Nufuus halaman 129].
Demikian sebahagian penjelasan tentang perintah taubat dari perbuatan ghibah dan beberapa syaratnya agar taubat tersebut diterima oleh Allah Tabaroka wa ta’ala dan mendapatkan ampunan dari-Nya.
Mudah-mudahan penjelasan ini dapat membantuku, keluargaku, kerabat dan para shahabatku serta umat Islam seluruhnya untuk dapat keluar dari dosa ghibah yang telah mengepung kehidupan manusia sejak dahulu kala.
Saudara-saudaraku tercinta, marilah kita jauhi, tinggalkan dan tanggalkan perbuatan ghibah, namimah ataupun buhtan (fitnah). Karena semuanya itu akan membawa kita kepada kesengsaraan dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Namun jika kita telah terlanjur dari melakukannya bahkan sudah menjadi santapan kita sehari-hari, maka segeralah menyadari kesalahan tersebut, bertaubatlah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan taubat nashuha dan mohonlah ampunan dari-Nya agar kita semuanya selamat di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lamu bish showab..