السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Jumat, 13 Juli 2012

ADA APA DENGAN AKHRAQ ?


KASIHILAH AKHRAQ YANG ADA DI SISIMU

بسم الله الرحمن الرحيم

Setiap muslim seharusnya bersyukur dengan segala karunia yang telah Allah Subhanahu wa ta’ala limpahkan kepadanya. Sehingga ia boleh jadi lebih banyak memiliki kelebihan daripada selainnya. Maka dengan berbagai kelebihan itulah seharusnya ia banyak membantu orang lain yang tidak seberuntung dirinya, misalnya berupa membagi ilmu dan keterampilannya, menginfakkan sebahagian hartanya, memanfaatkan tenaganya untuk membantu orang yang membutuhkannya dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu mereka juga dianjurkan untuk senantiasa menolong dan membantu orang fakir dan akhraq yang digolongkan termasuk dari amal yang paling utama. Amal yang paling utama itu sebagaimana telah disebutkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang akan datang diantaranya adalah beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad pada jalan-Nya, lalu membebaskan budak yang paling mahal dan bernilai di sisi pemiliknya, kemudian menolong orang fakir dan akhraq dan setelah itu menahan diri dari berbuat buruk kepada orang lain.

Al-Imam Ad-Daruquthniy rahimahullah berkata, “Akhraq adalah orang yang tidak (bisa) bekerja dan tidak bagus pekerjaannya”. [Fat-h al-Bariy: V/ 149].

Berkata al-Imam Ibnu al-Atsir rahimahullah, “(Akhraq) adalah orang yang bodoh dengan apa yang semestinya ia kerjakan dan tidak mempunyai pekerjaan yang ia mesti lakukan”. [An-Nihayah: II/ 26 bab: kho’-ro’- dan qof].

Misalkan, seorang majikan memiliki seorang khadimat (pembantu wanita) yang datang dari desa, yang belum mengerti pekerjaan-pekerjaannya di rumah majikannya. Maka sang majikan seharusnya bersabar mengajarinya cara mencuci dengan mesin cuci yang baru ia kenal, menyetrika dan melipat pakaian. Menemaninya berbelanja, mengolah dan memasak makanan dengan peralatan dapur yang masih asing baginya hingga menyajikannya. Melatih menyapu dan mengepel lantai dan lain sebagainya dari berbagai pekerjaan rumah. Majikan itu sebaiknya tidak hanya pandai menyuruh, mengomel, memaki, menyalah-nyalahkan dan menghukumnya apalagi menggunjingnya kepada orang lain. Sebab pembantu itu juga adalah manusia yang mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan hingga terbatas segala apa yang ia kerjakan. Ia juga mempunyai perasaan sebagaimana sang majikan, sehingga ia bisa saja tersinggung dan kesal dengan omelan, celaan dan cacian majikannya tersebut. Dan boleh jadi si pembantu itupun jika pandai dan terampil tentu tidak akan menjadi pembantu di rumahnya. Dan siapapun dia, tentu tidak pernah menginginkan dan membayangkan bahwa ia akan bekerja pada orang lain sebagai pembantu rumah tangga.

Maka akhraq, dalam contoh ini adalah seorang pembantu rumah tangga yang perlu mendapatkan perlindungan dan bantuan dari orang lain, khususnya tuannya. Caranya adalah dengan mengajari dan mendidiknya  dengan pengajaran agama dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Tidak memberi tugas pekerjaan kepadanya diluar batas kemampuannya, memberi upah yang pantas kepadanya dan tidak mencaci atau mencelanya apalagi memukuli dan menyiksanya jika ia berbuat keliru dan salah tetapi hendaklah menasihatinya dengan sabar, lemah lembut dan santun. Tidak menggunjing (mengghibahi) kekurangan dan kebodohannya kepada orang lain baik kepada karib kerabat, teman sejawat atau para tetangganya hingga ia merasa aman, nyaman dan boleh jadi kerasan tinggal bersama majikannya yang shalihah itu.

Jika ia tidak atau belum mampu melakukannya, maka tidak mengapa ia mengembalikan pembantunya tersebut dengan cara yang ma’ruf (baik) ke daerah asalnya. Sebab janganlah seorang muslim itu memetik dosa dan kesalahan yang disebabkan oleh kekurangan dan kebodohan orang lain.

Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyanjung orang yang mampu bersosialisasi dengan baik kepada pembantunya, sehingga sang majikan tersebut dijumpai bersikap baik dengan mengajak makan bersamanya atau jika si pembantu itu enggan, maka si majikan tersebut mengambilkan makanan itu untuknya. Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggolongkan si majikan tersebut sebagai orang yang tidak berbuat sombong. Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memerintahkan seorang muslim yang memiliki pembantu untuk tidak membebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu ia kerjakan atau jika juga harus ia kerjakan maka sebaiknya si majikan tersebut berusaha untuk membantunya. Juga jika si pembantu itu banyak melakukan kesalahan dan kekeliruan dalam pekerjaanya karena kekurangan dan kebodohannya sebagai akhraq, maka si majikan diharapkan untuk selalu memaafkannya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil di bawah ini,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَا اسْتَكْبَرَ مَنْ أَكَلَ مَعَهُ خَادِمُهُ وَ رَكِبَ اْلحِمَارَ بِاْلأَسْوَاقِ وَ اعْتَقَلَ الشَّاةَ فَحَلَبَهَا

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah sombong orang yang makan bersama pembantunya, mengendarai keledai di pasar dan mengikat kambing lalu memerah susunya”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 550 dan ad-Dailamiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 428, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5527 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2218].



  عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَلْيُجْلِسْهُ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ فَلْيُنَاوِلْهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila datang kepada salah seorang dari kalian, pembantunya maka hendaklah ia mempersilahkan duduk (untuk makan bersamanya). Jika ia menolak maka hendaklah ia meraihkan untuknya (dalam satu riwayat, satu atau dua suapan)”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 200, di dalam shahihnya: 5460, Muslim: 1663, Ibnu Majah: 3289, 3290, 3291, ad-Darimiy: II/ 107, Ahmad: II/ 473. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 2660, 2661, 2662, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 469 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1042, 1043. 1285, 1297].

عن أبي محذورة قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عُمَرَ رضي الله عنه إِذَا جَاءَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةٍ  بِجَفْنَةٍ يَحْمِلُهَا نَفَرٌ فىِ عَبَاءَةٍ فَوَضَعُوْهَا بَيْنَ يَدَيْ عُمَرَ فَدَعَا عُمَرُ نَاسًا مَسَاكِيْنَ وَ أَرِقَّاءَ مِنْ أَرِقَّاءِ النَّاسِ حَوْلَهُ فَأَكَلُوْا مَعَهُ ثُمَّ قَالَ عِنْدَ ذَلِكَ: فَعَلَ اللهُ بِقَوْمٍ أَوْ قَالَ: لَحَا اللهُ بِقَوْمٍ يَرْغَبُوْنَ عَنْ أَرِقَّائِهِمْ أَنْ يَأْكُلُوْا مَعَهُمْ فَقَالَ صَفْوَانُ: أَمَا وَ اللهِ مَا نَرْغَبُ عَنْهُمْ وَلَكِنَّا نَسْتَاْثِرُ عَلَيْهِمْ لاَ نَجِدُ وَ اللهِ مِنَ الطَّعَامِ الطَّيِّبِ مَا نَأْكُلُ وَ نُطْعِمُهُمْ

Dari Abu Mahdzurah berkata, “Aku pernah duduk di sisi Umar radliyallahu ‘anhu, tiba-tiba datanglah Shofwan bin Umayyah membawa sebuah baskom yang dibawa oleh sekelompok orang di atas sebuah kain. Lalu mereka meletakkannya di hadapan Umar radliyallahu ‘anhu. Lalu Umar mengundang (makan) beberapa kaum miskin dan kaum budak dari budak-budak manusia disekitarnya. Lalu merekapun makan bersamanya. Ketika itu Umar berkata, “Semoga Allah mengutuk suatu kaum yang tidak menyukai makan bersama mereka”. Berkata Shofwan, “Demi Allah, kami tidak benci mereka tetapi kami memperhatikan (keadaan) mereka. Kami tidak menjumpai makanan yang thayyib (baik) yang dapat kami makan dan kami beri kepada mereka”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 201. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sanadnya, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 148].

Di dalam Beberapa hadits di atas dan semisalnya, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tentang kewajiban orang yang mempunyai kelebihan dalam status di dunia yakni berupa majikan dari budak atau pembantunya. Ia mesti selalu berlaku baik kepadanya. Misalnya, tidak memberikan pekerjaan diluar batas kemampuannya, membantunya jika pekerjaannya itu sangat memberatkannya, memberikan upah yang layak untuk kebutuhannya sesuai dengan pekerjaannya, tidak memperlakukannya dengan semena-mena, tidak menyakiti perasaannya jika menegurnya, mengajaknya makan bersamanya jika memungkinkan dan sebagainya. Apabila ia telah mampu menunaikan kewajibannya kepada pembantunya tersebut maka ia telah banyak meraih kebaikan di dunia dan akhirat dan boleh jadi Allah Subhanahu wa ta’ala telah mencabut sifat sombong dari hatinya.

عن أبي ذر رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ امْرَؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمُ اللهُ  تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَأَطْعِمُوْهُمْ مِمَّا تَأْكُلُوْنَ وَ أَلْبِسُوْهُمْ مِمَّا تَلْبَسُوْنَ وَ لاَ تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ

Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Abu Dzarr sesungguhnya di dalam dirimu itu masih ada perkara jahiliyyah. Sesungguhnya mereka (yakni budakmu) itu adalah saudaramu juga. Allah telah menjadikan mereka dibawah kekuasaanmu. Maka berilah mereka makan dari yang biasa kalian makan, berilah mereka pakaian dari yang biasa kalian pakai dan janganlah kalian membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak kuasai. Tetapi jika kalian hendak membebani mereka juga maka bantulah mereka”. [HR Muslim: 1661, al-Bukhoriy: 84, 2545, 6050 dan Abu Dawud: 5158. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 4297].

Perilaku Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu yang mencela budaknya (dengan ibunya) adalah merupakan perkara jahiliyyah yang mesti disingkirkan oleh setiap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab hal itu termasuk mencela nasab (keturunan). Oleh sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menegurnya dengan suatu teguran yang tentu diterima oleh orang mukmin sekaliber Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu. Bahkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahwa budak yang dimilikinya itu adalah juga saudara baginya yang mesti ia beri makan sebagaimana ia makan dan diberi pakaian seperti yang ia pakai. Lalu tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup untuk mengerjakannya kecuali ia mau membantunya. Ini keadaan seorang budak yang memiliki strata yang rendah di dalam tingkatan masyarakat saat itu, lalu bagaimana dengan keadaan pembantu yang merdeka yang jelas berbeda dengan status budak atau hamba sahaya??.

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَمْ نَعْفُوْ عَنِ اْلخَادِمِ؟ فَصَمَتَ ثُمَّ أَعَادَ عَلَيْهِ اْلكَلاَمَ فَصَمَتَ فَلَمَّا كَانَ فىِ الثَّالِثَةِ قَالَ: اعْفُوْا عَنْهُ فىِ كُلِّ يَوْمٍ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berkata, “pernah seorang pria datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rosulullah? Berapa banyakkah kita memaafkan pembantu?”. Lalu Beliau diam. Kemudian ia mengulangi ucapannya, tetapi Beliau tetap diam. Ketika sampai kepada (pertanyaan) yang ketiga, Beliau bersabda, “Maafkanlah ia sebanyak tujuh puluh kali setiap hari”. [HR Abu Dawud: 5164, at-Turmudziy: 1949 dan Ahmad: II/ 90, 111. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 4301, Shahih Sunan at-Turmudziy:1590 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 488].

Bahkan jika ternyata si pembantu yang akhraq itu kurang daya tangkapnya, lambat dalam nalarnya dan lemah dalam pekerjaannya sehingga banyak perintah-perintah dari majikannya yang disalah pahami, lamban dalam melakukan tugasnya, terkadang merusak sebahagian peralatan rumah dan dapur dan akhirnya membuat sang majikan kesal dan marah. Maka hendaklah sang majikan selalu memiliki sabar di dalam mengajarkan dan mempekerjakannya, bahkan menyiapkan segudang maaf untuknya jika ia meminta maaf. Namun jika si majikan tidak dapat lagi bersabar dengannya, maka hendaklah ia menegur dan menashihatinya dengan lemah lembut dan menerangkan kepadanya beberapa kesalahannya agar menjadi pelajaran berharga untuknya suatu saat kelak lalu mengembalikannya kembali ke tempat asalnya.

عن أنس رضي الله عنه قَالَ: خَدِمْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم عَشْرَ سِنِيْنَ فَمَا قَالَ لىِ أُفٍّ قَطٌّ وَ مَا قَالَ لىِ لِشَيْءٍ َلمْ أَفْعَلْهُ: أَلاَ كُنْتَ فَعَلْتَهُ ؟ وَ لاَ لِشَيْءٍ فَعَلْتُهُ: لِمَ فَعَلْتَهُ ؟

Dari Anas radliyallahu ‘anhu berkata, “Aku melayani (menjadi pembantu) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah mengatakan kepadaku, “Uff (ahh) sedikitpun”, tidak pula mengatakan kepadaku terhadap sesuatu yang tidak aku kerjakan, “Tidakkah kamu melakukan ini”?. Dan juga tidak mengatakan terhadap sesuatu yang aku kerjakan, “Mengapakah kamu melakukan itu?”.  [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 277, di dalam shahihnya: 6038 dan Muslim: 2309. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 211].

Beberapa dalil di atas menerangkan tentang sebahagian kewajiban majikan terhadap pelayan atau pembantunya untuk selalu berbuat baik kepadanya, sebagaimana telah dijelaskan sebagiannya. Sehingga ketika ada seorang majikan muslim memberi pengajaran kepada pembantunya dengan pengajaran yang baik, yang menuai kebaikan itu juga adalah majikannya. Ia mendapat pahala dengan perbuatannya itu dan iapun dapat mengambil faidah dari pembantunya tersebut. Sebagaimana penuturan seorang shahabat yaitu Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu yang telah melayani Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun. Lantaran Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidiknya dengan baik maka Beliau dapat mengambil manfaat darinya, yakni Beliau tidak pernah mengatakan “ahh” sebagai bentuk ucapan berkeluh kesah terhadap pekerjaan Anas radliyallahu ‘anhu dan juga tidak menegur pekerjaannya dengan ucapan, “Kenapa kamu mengerjakan yang ini bukan yang itu?”, dan seterusnya. Sebab Anas radliyallahu ‘anhu telah memahami tugasnya sebagai pembantu dan berusaha menunaikan amanah semampunya dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak pernah membebaninya dengan pekerjaan yang tidak ia sanggupi.

Sebagaimana telah disebutkan dimuka, amal paling utama yang telah disebutkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantaranya adalah beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad pada jalan-Nya, lalu membebaskan budak yang paling mahal dan bernilai di sisi pemiliknya, kemudian menolong orang fakir dan akhraq yang dalam contoh ini adalah pembantu dan setelah itu menahan diri dari berbuat buruk kepada orang lain.

Dari sebab itu, jika ada seorang muslim yang gemar melakukan berbagai kebaikan dan kebajikan, sedangkan ia belum mampu untuk membebaskan budak yang paling mahal dan bernilai di sisi majikannya itu, dianjurkan untuk menolong dan membantu akhraq, sebagai bentuk meraih amal yang paling utama.

Untuk itu, simaklah hadits di bawah ini yang menerangkan urutan tentang amal yang paling utama, mudah-mudahan memberi ibrah dan hikmah bagi orang mempunyai hati, mengarahkan penglihatan dan pendengarannya kepada kebenaran,

عن أبي ذرّ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم: أَيُّ اْلعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: إِيْمَانٌ بِاللهِ وَ جِهَادٌ فىِ سَبِيْلِهِ قُلْتُ: فَأَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَعْلاَهَا ثَمَنًا وَ أَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ؟ قَالَ: تُعِيْنُ ضَائِعَا أَوْ تَصْنَعُ لِأَخْرَقَ قَالَ: فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ قَالَ: تَدَعُ النَّاسَ مِنَ الشَّرِّ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ تَصَدَّقُ بِهَا عَلى نَفْسِكَ

Dari Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu berkata, aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan berjihad pada jalan-Nya”. Aku bertanya, “Budak manakah yang paling utama (dibebaskan)?”. Beliau menjawab, “Yang paling mahal harganya dan yang paling bernilai di sisi pemiliknya”. Aku bertanya, “Jika aku tidak dapat melakukannya?”. Beliau menjawab, “Engkau menolong dlo’i 1) atau mengerjakan (sesuatu kebaikan) untuk akhraq”. Aku bertanya lagi, “Jika aku tidak dapat melakukannya?”. Beliau menjawab, “Engkau hindari manusia dari kejahatan, maka hal itu merupakan sedekah yang engkau lakukan untuk dirimu”. [HR al-Bukhoriy di dalam shahihnya: 2518 dan di dalam al-Adab al-Mufrad: 220, Muslim: 84 dan Ahmad: V/ 150, 171. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 162 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: II/ 116].

Demikian semestinya sikap seorang muslim terhadap saudaranya yang akhraq yakni yang tidak cakap dan pandai dalam bekerja. Tetapi jika tidak, yakni sang majikan lebih suka mengomel, mencela, memaki, menyiksa dan bahkan mengghibahinya kepada selainnya. Lalu si pembantu yang akhraq itu merasa dizhalimi hak dan harga dirinya kemudian ia bermunajat memohon bantuan kepada Sang Khalik Subhanahu wa ta’ala  sebagai bentuk ketidak sanggupannya menghadapi sang majikan, maka doanya tersebut niscaya terkabul sebab tiada pembatas antara doa tersebut dengan Allah Jalla Jalaaluhu.

عن ابن عباس  رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: وَ اتَّقِ دَعْوَةَ اْلمـَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ اللهِ حِجَابٌ

                Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan jagalah dirimu terhadap doanya orang yang teraniaya (dizholimi), karena tiada dinding pembatas di antara doa tersebut dan Allah “. [HR al-Bukhoriy: 1395, 1458, 1496, 4347,  7371,  7372,  Muslim: 19,  at-Tirmidziy: 625, an-Nasa’iy: V/ 2-4, : V/ 55, Abu Dawud: 1584, Ibnu Majah: 1783, Ahmad: I/ 233, ad-Darimiy: I/ 379, ad-Daruquthniy: 2039, 2040  dan Ibnu Khuzaimah: 2275. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Mukhtashor  shahih al-Imam al-Bukhoriy: 745, Mukhtashor shahih Muslim: 501, Shahih sunan at-Tirmidziy: 511, Shahih sunan  an-Nasa’iy: 2284, 2362, Shahih sunan Abu Dawud: 1402, Shahih sunan Ibnu Majah: 1442, Shahih al-jami’ ash-shaghir: 2296, 2298, Tahqiq riyadl ash-sholihin: 213, 1084, Misykah al-mashobih: 1772 dan Irwa’ al-ghalil : 782, 855].

Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Orang yang teraniaya itu doanya tidak akan ditolak apakah ia seorang muslim ataupun kafir. Di dalam hadits Anas radliyallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan, 2) ia berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jagalah diri kalian terhadap doa orang yang teraniaya meskipun ia adalah seorang kafir, sebab tiada dinding pembatas di hadapannya”. Di dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan, 3) ia berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Doa orang yang teraniaya itu mustajab (dikabulkan) kendatipun ia seorang yang berdosa, adapun dosanya itu kembali kepada dirinya”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 304].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya doa orang yang teraniaya itu dikabulkan karena sabdanya, “karena tiada dinding pembatas di antara doa tersebut dan Allah “. Di dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa manusia itu wajib menjaga dirinya dari perbuatan aniaya dan khawatir terhadap doanya orang yang teraniaya itu, lantaran Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan dengan hal itu, Beliau bersabda, “Jagalah dirimu terhadap doanya orang yang teraniaya, karena tiada dinding pembatas di antara doa tersebut dan Allah “. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 65].

Dari sebab itu, hendaknya setiap mukmin itu bertakwa kepada Allah dari bertindak aniaya kepada orang-orang yang seharusnya dilindungi dan diperhatikan hak-haknya, dan berlaku adillah, sebab bertindak adil itu lebih mendekatkan diri kepada ketakwaan.

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَ اتَّقُوا اللهَ

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah. [QS. Al-Maidah/ 5: 8].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Di dalam ayat (tersebut) Allah ta’ala memerintahkan kaum mukminin agar menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan karena Allah ta’ala semata dengan seluruh hak-hakNya berupa ketaatan-ketaatan. Dan agar mereka menjadi saksi dengan adil, tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak pula berbuat aniaya di dalam suatu urusan baik orang yang dipersaksikan itu adalah kawan ataupun lawan. Allah Subhanallahu wa ta’ala juga telah melarang mereka bahwa kebencian dan permusuhan mereka kepada suatu kaum membawa mereka dari meninggalkan perbuatan adil, padahal mereka telah diperintahkan dengannya. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala  memerintahkan mereka untuk berlaku adil dan mengabarkan kepada mereka bahwasanya orang-orang yang berlaku adil itu adalah orang yang paling dekat kepada ketakwaan. Sebab orang yang memiliki keadilan itu niscaya mempunyai sifat yang lebih sanggup untuk dapat menunaikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban”. [Aysar at-Tafasir: I/ 602-603].

Jika demikian, maka seorang mukmin bila ada di sisinya seorang yang telah dikenal sebagai akhraq hendaknya ia bersabar di dalam mempekerjakannya. Tidak bertindak sewenang-wenang dan berbuat aniaya kepadanya  dalam bentuk apapun, apakah dalam bentuk perintah yang diluar kesanggupannya, memberi upah yang sangat minim apalagi tidak memberikan atau menahan upahnya, tidak memberi waktu istirahat yang cukup, mencaci dan mencelanya dengan perkataan-perkataan yang keji, mengghibahnya kepada tetangga, kerabat ataupun keluarga akan kebodohan dan berbagai kekurangannya, menyakiti fisik dan mentalnya, dan lain sebagainya. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan perbuatan zhalim atau aniaya ini bagi para hamba-Nya, apalagi doa orang yang teraniaya itu niscaya akan di dengar dan dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla sebagaimana telah berlalu keterangannya,

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَ اْلإِحْسَانِ وَ إِيتَاءِ ذِى اْلقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَ اْلمــُنكَرِ وَ اْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan perbuatan aniaya. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [QS. An-Nahl/ 16: 90].

عن أبي ذر عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فِيْمَا رَوَى عَنِ اللهِ تبارك و تعالى أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنىِّ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسىِ وَ جَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا

Dari Abu Dzarr dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada apa yang diriwayatkan dari Allah tabaroka wa ta’ala (hadits qudsiy), bahwasanya Ia berfirman, “Wahai para hamba-Ku sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya diharamkan pula di antara kalian, dari sebab itu janganlah kalian saling berbuat zhalim”. [Telah mengeluarkan hadits ini Muslim: 2577, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 490, Ahmad: V/ 154, 160, 177 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtasor Shahih Muslim: 1828, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4345, Shahih al-Adab al-Mufrad: 377 dan Shahih al-Ahadits al-Qudsiyyah: 167].

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mengharamkan perbuatan zhalim (aniaya) di antara kita. Ia berfirman, “Dan Aku menjadikannya diharamkan pula di antara kalian”. Hal ini meliputi perbuatan zhalim seseorang terhadap dirinya dan selainnya. Namun pada makna yang kedua lebih jelas karena firman-Nya, “dari sebab itu janganlah kalian saling berbuat zhalim”, yakni janganlah sebahagian kalian berbuat zhalim kepada sebahagian yang lain. [Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah halaman  269].

Katanya lagi, “Adapun di dalam kemuliaan maka hal ini juga diharamkan. Yaitu tidak halal bagi seorang muslim merusak kemuliaan saudaranya. Yakni meng-ghibahinya di dalam majlis-majlis atau juga mencelanya. Karena hal tersebut termasuk dari dosa-dosa besar”. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/ 425].

عن جابر بن عبد الله أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اتَّقُوْا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Waspadalah kalian dari perbuatan zhalim, sebab kezhaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat”. [Telah mengeluarkan hadits ini Muslim: 2578, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 483 dan Ahmad: III/ 323. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahiih Muslim: 1829, Shahiih al-Adab al-Mufrad: 373, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 858 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 102].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diharamkannya perbuatan zhalim dan perintah waspada darinya”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 299].

Katanya lagi, “Perbuatan zhalim dan sifat kikir itu termasuk dosa-dosa besar yang menyebabkan kebinasaan di dunia dan kesusahan yang sangat berat pada hari kiamat?. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 300].
Ringkasnya, setiap muslim diharamkan untuk berbuat aniaya atau zhalim kepada setiap manusia umumnya dan kaum muslimin khususnya, apalagi orang yang telah dikenal sebagai akhraq. Yakni tidak sewenang-wenang bersikap kepadanya, tidak mengghibahnya kepada selainnya atas segala kekurangannya, tidak menyakiti phisik dan psikisnya dan sebagainya. Dan sudah menjadi keharusan pula baginya untuk melindungi, berlaku adil dan berbuat baik kepadanya, sebagaimana telah diperintahkan oleh syariat, agar ia memperoleh balasan kebaikan dari amalnya yang paling utama.

Wahai saudara-saudara muslimku, jika engkau kebetulan kurang beruntung duniamu, sehingga engkau sulit mencari nafkah sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah Subahanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam maka tetaplah engkau bekerja dengan kadar kesanggupanmu. Meskipun akhirnya engkau bekerja sebagai pembantu rumah tangga, supir, buruh, kuli bangunan, tukang angkut sampah dan yang semisalnya. Niatkanlah bekerja dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan mencari keridloan-Nya sehingga engkau tidak akan merasa terhina dan rendah diri dengan pekerjaanmu. Setiap orang sudah ditetapkan oleh Allah Jalla Jalaaluhu akan ukuran penghidupannya. Bagaimana pendapatmu wahai saudaraku jika semua orang ditetapkan sebagai orang kaya, mempunyai tempat tinggi dalam kedudukan atau status sosialnya, tinggi dalam status pendidikannya dan selainnya. Lalu siapakah yang akan membantu pekerjaan orang itu di kantornya, lingkungannya dan rumahnya?. Tidak mungkin ia dapat mengerjakan semua pekerjaannya tanpa bantuanmu. Jadi engkau sebenarnya juga ikut membantu kesuksesannya.

Namun engkau juga harus membekali dirimu dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan pekerjaanmu. Jangan malu dan sungkan untuk belajar kepada orang lain akan pekerjaanmu, meskipun dari juniormu. Jangan lekas tersinggung dan marah jika majikan atau bossmu memarahimu, karena boleh jadi pekerjaanmu itu memang keliru atau tidak sesuai dengan keinginannya. Jangan dendam kepada majikanmu jika memang majikanmu itu telah bersikap keliru dan berbuat zhalim kepadamu, niscaya engkau akan beruntung di dunia dan akhirat. Selalu berbaik sangkalah kepada majikanmu dikala ia sedang memarahi atau menghardikmu, karena terkadang ada orang yang mengajarkan orang lain dengan cara seperti itu. Periharalah akhlak dan sikapmu kepada majikanmu, jika majikanmu itu berusaha bersikap baik padamu dan ingin mendekat akrab kepadamu. Jagalah kemuliaan dan harta majikanmu. Janganlah engkau nodai kemuliaannya dengan perbuatan burukmu berupa menggibahi atau memfitnahnya kepada teman-temanmu. Jangan pula engkau mengambil sebahagian hartanya dengan sembunyi-sembunyi, niscaya engkau nanti merugi pada hari kiamat. Turutilah semua perintah majikanmu dengan baik selama ia tidak menyuruhmu kepada perbuatan maksiat. Kerjakanlah tugas-tugasmu dengan baik sebelum majikanmu itu menyuruhmu untuk mengerjakannya. Jauhi semua perilaku yang tidak disukai oleh majikanmu, niscaya engkau akan disayang olehnya dan juga oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kerjakan semua pekerjaanmu dengan ikhlas semata-mata karena Allah ta’ala niscaya engkau akan tentram dan enjoy dengan pekerjaanmu. Jika engkau demikian, maka engkau adalah orang mulia meskipun menurut sebahagian orang pekerjaanmu itu hina. Saudaraku, engkau lebih baik dari pada pencuri, koruptor, peminta-peminta, tukang palak dan semisalnya, jika engkau selalu beribadah kepada Allah ta’alla dan berbuat baik kepada majikanmu.

Wahai saudara-saudara muslimku, jika kebetulan Allah ta’ala memberikan kepadamu kelapangan rizki, ketinggian kedudukan dan pendidikan. Sehingga dengan mudah engkau dapat memperoleh apapun yang engkau inginkan, janganlah engkau bersikap angkuh lagi sombong dengan gampang merendahkan orang lain, sewenang-wenang tanpa aturan, mau didengar ucapanmu tapi tak mau mendengar orang lain dan pahamilah perasaan orang lain sebagaimana engkaupun ingin dipahami perasaanmu oleh orang lain.

Jika engkau memiliki pembantu rumah tangga, sopir atau anak buah yang boleh jadi ia adalah seorang akhraq, bersikap baiklah kepadanya niscaya iapun akan bersikap baik padamu. Perintahkan ia bekerja sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya dan jangan membebaninya dengan pekerjaan yang tidak ia sanggupi. Jika engkau memerintahkannya juga untuk mengerjakannya maka bantulah pekerjaannya itu agar ia dapat mengerjakan pekerjaan itu dengan baik. Berilah upah kepadanya dengan layak dan sebelum kering keringatnya. Berilah kepadanya waktu untuk beribadah kepada Allah ta’ala dan waktu istirahat, agar hidupnya menjadi tenang dan tentram. Berilah kepadanya makan, minum dan pakaian sebagaimana engkaupun merasakannya. Janganlah engkau memarahi dan memakinya hanya karena kesalahan yang tidak ia sengaja. Janganlah engkau membuat jarak terlalu lebar dengan pembantu atau sopirmu yang akan menyebabkan engkau menjadi semakin angkuh. Akrabilah pembantumu dengan sewajarnya, agar ia tidak terlalu sungkan kepadamu. Didik dan ajarkan pembantumu itu semua pekerjaan yang tidak ia pahami dengan cara yang baik dan penuh kesabaran dan janganlah engkau hanya bisa memarahinya saja. Persiapkanlah segudang maaf untuknya, karena boleh jadi ia akan sering melakukan kesalahan dan kekeliruan.

Tetapi jika engkau tidak lagi nyaman dengan pembantu ataupun sopirmu karena ia sering melakukan kesalahan dan sulit untuk dinashihati maka nyatakanlah perpisahan dengannya dengan cara yang baik dan santun. Jika engkau mengambilnya dari kampung halamannya maka kembalikanlah ia dari tempat mana engkau mengambilnya. Berikanlah upah yang selama ini menjadi haknya tanpa engkau kurangi serupiahpun. Jangan mengghibahinya dengan menceritakan segala kekurangan dan kebodohannya kepada orang lain hanya sekedar ingin melampiaskan kekesalanmu kepadanya, niscaya engkau akan merugi. Saudara-saudaraku janganlah engkau berbuat dosa lantaran kesalahan dan kekeliruan orang lain.

Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan bagi saudara-saudara muslimku dalam bersikap kepada majikannya atau kepada pembantu rumah tangga atau sopirnya..
_______________________________________________________________________
Catatan kaki,
1). Yaitu orang yang kehilangan, fakir dan miskin, Fat-h al-Bariy: V/ 149.
2). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad: III/ 153 dan adl-Dliya’. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 767 dan semakna di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 119, 2682.
3). Diriwayatkan oleh ath-Thoyalisiy dengan sanad yang hasan. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3382 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: II/ 408.