BAGAIMANA JIKA MENJADI OBJEK GHIBAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Kehidupan memang selalu bergulir dan bergilir, ada sedih dan ada
bahagia, ada duka dan ada gembira, yang penting bagaimana seorang hamba
itu menyikapinya. Jika kehidupan bahagianya itu hilang berganti dengan
duka karena diterpa mushibah atau bencana, maka hendaknya ia mengetahui
bahwasanya hal itu hanyalah bahagian dari hidup yang harus dijalaninya
saja. Ia harus tetap bisa bertahan hidup sampai waktu yang telah
ditentukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana ada siang dan
malam, begitupun kehidupan niscaya ada masa terang dan riang namun ada
juga masa gelap dan duka menyergap. Di antara penyebab hilangnya
kebahagiaan seorang hamba adalah ketika ia diterpa badai ghibah dan
fitnah.
Jika ada seorang hamba muslim yang telah dijadikan objek ghibah dan
kehormatannya telah menjadi santapan lezat bagi sebahagian manusia, yang
daging kehormatannya tersebut diperebutkan sebagaimana diperebutkan
makanan nikmat penggugah selera. Lalu kehormatannya tersebut menjadi
terkoyak dan rusak hendaklah ia bersikap dengan sikap yang baik, tepat
lagi benar sesuai yang dituntunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga ia tidak hanya sekedar
lolos dari mushibah ghibah itu namun ia juga lulus dengan membawa nilai yang terbaik di sisi Allah Azza wa Jalla.
Karena pada umumnya mushibah itu tidak akan menetap pada seseorang,
tetapi suatu saat akan pergi meninggalkannya atau minimal berkurang dari
kadarnya. Begitupun ghibah, ketika seorang hamba menjadi bulan-bulanan
ghibah bahkan fitnah, suatu saat nanti ghibah tersebut juga akan hilang
darinya atau minimal kadar kedahsyatannya berkurang. Apakah lantaran
kejenuhan para pengghibahnya, sebahagian mereka mulai sadar bahwa ghibah
itu dilarang, teman ghibahnya sudah nggak asyik lagi, dan sebagainya.
Yang penting bagi seorang mukmin ketika diterpa ghibah ataupun
fitnah, hendaklah ia bersikap dengan baik dan benar serta berusaha
mencari pahala darinya. Sehingga ia tidak ditimpa keburukan dua kali,
yaitu keburukan di dunia lantaran depresi dan putus asa karena
dighibahatau difitnah. Dan keburukan akhirat karena ia tidak memperoleh
pahala kebaikan bahkan ia hanya mengeruk dosa-dosa.
Di antara beberapa sikap yang mesti dijalankan oleh seorang muslim ketika sedang menjadi bahan gunjingan adalah sebagai berikut,
1). Sabar dan ridlo
Sikap pertama dan yang paling utama bagi seorang muslim adalah sabar
dan ridlo ketika dighibah. Sebab koyak dan rusaknya kehormatan adalah
juga termasuk dari bentuk musibah. Sabar dengan musibah adalah dengan
tidak terpengaruh dengan musibah tersebut dan ia tetap melazimkan ibadah
kepada-Nya. Tidak sesak dadanya, akalnya tetap berpikir jernih,
lisannya tetap terkontrol dan terkendali, badannya tidak limbung ketika
berjalan dan sebagainya. Meskipun hujan ghibah melandanya, ia tetap
pada tujuan pokoknya yaitu beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, ia
tidak memperdulikan ghibah yang sedang berlangsung dan juga orang-orang
yang sedang ketagihan menyantap daging kehormatannya. Sebagaimana
dikatakan oleh sepenggal pepatah, “anjing menggonggong namun kafilah tetap berlalu”. Itulah bentuk kesabarannya yang telah tertanam di dalam hatinya.
Ridlo dengan musibah adalah dengan meyakini bahwa berbagai musibah
yang menimpanya itu adalah dari Allah ta’ala. Dan ia yakin bahwa ketika
Allah Tabaroka wa ta’ala menimpakan musibah itu kepadanya, niscaya Ia
mempunyai maksud atau tujuan yang baik apakah berupa menambahkan pahala
kebaikan kepadanya, menghapuskan sebahagian dosanya, meningkatkan
derajatnya, menganugerahkan kebaikan kepadanya, menampakkan rasa cinta
kepadanya dan sebagainya. Sehingga ia senang dan berbahagia dengan
musibah yang menimpanya.
Apalagi jika ia yakin dengan adanya hari pembalasan, bahwa ia akan
mendapatkan sebahagian pahala dari orang yang mengghibahinya, jika ada.
Tetapi jika tidak, maka sebahagian dosanya akan diletakkan di bahu orang
yang mengghibahinya tersebut sebagai balasan atas perbuatan zhalimnya.
Sehingga ia merasa beruntung dengan perbuatan zhalim orang lain terhadap
dirinya, sebab ia menangguk hasil pahala yang tidak pernah ia kerjakan.
Hal ini dikarenakan ia sabar di dalam menanggung musibah ghibah yang
menimpa dirinya. Artinya semakin banyak panah ghibah yang diarahkan
kepadanya untuk menembus jantung kemuliaannya maka akan semakin
banyaklah keuntungan yang ia akan raih dan kumpulkan, jika ia
mengetahuinya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam beberapa bab yang
lalu.
Adapun dalil-dalil tentang sabar di dalam alqur’an dan hadits adalah sebagai berikut,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَ سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَ قَبْلَ اْلغُرُوبِ
Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya). [QS. Qoof/ 50: 39].
وَ اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَ اهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا
Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. [QS. Al-Muzzammil/ 73: 10].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Susunan kalimat yang mulia ini senantiasa (menjelaskan) tentang
tarbiyah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan umatnya dengan berbagai
tarbiyah rabbaniyah yang khusus. Allah ta’ala berfirman kepada rosul-Nya
Shallallahu alaihi wa sallam, ((وَاصْبِرْ عَلىَ مَا يَقُوْلُوْنَ))
yakni orang-orang kafir Quraisy dari ucapan yang menyakitimu seperti
ucapan, “Ia adalah penyihir, penyair, dukun, orang gila dan selainnya”. [1]
Allah Subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan Rosul-Nya Shallallahu
alaihi wa sallam sebagai teladan umat agar bersabar dari apapun yang
dikatakan oleh orang kafir dari kalangan kaum musyrikin. Sabar terhadap
apapun tuduhan, cercaan, gunjingan (ghibah), pendustaan ataupun
pengingkaran mereka terhadapnya. Dan sifat terpuji ini mesti diteladani
dan diikuti oleh umatnya dari kaum muslimin. Yakni mereka sepatutnya
sabar terhadap cacian, hujatan, fitnah, ghibah, pendustaan, pengingkaran
dan yang sejenisnya yang dilakukan dan dipelopori oleh kalangan kaum
kafirin dari golongan Yahudi, Nashrani, Musyrikin ataupun dari kelompok
munafikin.
Maka mereka senantiasa bersabar terhadap apapun yang menimpa mereka
dari berbagai keburukan. Jika mereka telah merealisasikan atau
mewujudkan sifat sabar dalam kehidupan mereka, maka berarti mereka itu
adalah orang yang benar keimanannya tiada kepalsuan dan mereka adalah
orang-orang yang bertakwa.
وَ الصَّابِرِينَ عَلَى مَا أَصَابَهُمْ
Dan orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, [QS. Al-Hajj/ 22: 35].
وَ الصَّابِرِينَ فِى اْلبَأْسَاءِ وَ الضَّرَّاءِ وَ حِينَ
اْلبَأْسِ أَولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَ أُولَئِكَ هُمُ اْلمــُتَّقُونَ
Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa. [QS al-Baqarah/2: 177].
وَ بَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّـا لِلَّهِ وَ إِنَّــا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami adalah milik
Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). [QS. Al-Baqarah/2: 155-156].
Demikian beberapa dalil ayat alqur’an yang menerangkan tentang
keutamaan sifat sabar. Yang setiap muslim mesti memiliki dan menghiasi
dirinya dengan sifat yang mulia tersebut, sehingga ketika ditimpa oleh
kesulitan, bencana dan musibah, ia bergegas beristirja’, yakni mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.
Dengan ucapan itu, ia meyakini bahwasanya ia adalah milik-Nya artinya
Allah Jalla wa Ala berhak untuk menimpakan berbagai musibah kepada-Nya
untuk mencobanya lalu melenyapkan musibah tersebut sesuai dengan
kehendak-Nya atau membiarkannya berada padanya sampai kepada waktu yang
diinginkan-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah ia akan kembali yaitu suatu saat
nanti pada hari kiamat ia akan kembali ke hadapan Allah Subhanahu wa
ta’ala. Hanyasaja ketika ia menghadap kehadapan-Nya itu, apakah ia dalam
keadaan membawa dan memborong berbagai balasan kebaikan lantaran
kesabarannya di dalam menerima musibah?. Ataukah tidak membawa
sebutirpun pahala kebaikan yang disebabkan ketidaksabarannya atau bahkan
ia memikul banyak dosa dan kesalahan yang dikarenakan ia kesal, banyak
mengeluh, membalas keburukan orang yang bersikap buruk kepadanya,
berburuk sangka kepada Allah Azza wa Jalla dan selainnya?. Meyakini
bahwa ia milik Allah Jalla Jalaluhu dan hanya kepada-Nya ia akan kembali
itu adalah merupakan bentuk perwujudan dari sifat sabarnya.
Sifat sabar itu akan banyak menuai kebaikan, di dunia dan akhirat. Di
dunia seorang muslim dengan sifat sabarnya itu ia dapat hidup dengan
perasaan tentram, nyaman dan enjoy tiada beban dan rasa khawatir. Di
akhirat ia dapat mengais berbagai kenikmatan surga dan mendapatkan
pahala tanpa hisab, sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Azza wa
Jalla,
إِنَّـمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَـابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan disempurnakan pahala mereka tanpa batas. [QS’ az-Zumar/ 39: 10].
وَ جَزَاهُم بِمَا صَبَرُوا جَنَّةً وَ حَرِيرًا
Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera. [QS. Al-Insan/ 76: 12].
Dan masih banyak lagi ayat semakna yang menerangkan tentang keutamaan
dan balasan kebaikan bagi orang yang sabar. Bahkan Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam sangat mengagumi seorang mukmin yang selalu
melewati berbagai persoalannya dengan cara yang baik dan akhirnya
mendatangkan kebaikan pula. Hal ini tidak akan terjadi terkecuali hanya
bagi seorang mukmin. Yakni jika ia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan
dan membahagiakannya ia bersyukur, maka syukur adalah sikap yang baik
dan dengannya akan mendatangkan kebaikan pula berupa kehidupan yang baik
di dunia seperti disukai oleh orang lain, memiliki sifat qonaah
(nrimo) yang dapat melapangkan hidup dari kesempitan penghidupannya dan
sebagainya serta akan memperoleh pahala dan surga di akhirat kelak.
Lalu jika ditimpa oleh sesuatu yang menyusahkan ia bersabar, maka
sabar itu adalah sikap yang sangat baik dan akan mendatangkan kebaikan
pula semisal mempunyai perasaan tentram, nyaman dan enjoy di dunia atau
mendatangkan pahala kebaikan yang melimpah tiada terhingga dan surga
yang penuh dengan kenikmatan yang hakiki.
عن صهيب رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه و سلم: عَجَبًا لِأَمْرِ اْلمـُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
وَ لَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَ إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ
Dari Shuhaib radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, “Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin
itu, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak
akan terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika ia mendapatkan sesuatu yang
menggembirakan ia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya. Dan
jika ia mendapat sesuatu yang menyusahkan maka ia bersabar maka hal ini
merupakan kebaikan baginya”. [HR Muslim: 2999, Ahmad: VI/ 16 dan
ad-Darimiy: II/ 318. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [2]
Adapun dalil-dalil tentang ridlo dengan musibah sebagaimana telah
dituangkan di dalam alqur’an dan hadits yang tsabit adalah sebagai
berikut,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيـبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَ مَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan
ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. [QS. At-Taghobun/ 64: 11].
Berkata Alqamah, “Ia adalah seseorang yang ditimpa musibah, lalu ia
tahu bahwasanya musibah itu dari sisi Allah lalu iapun ridlo dan
menerima”. [3]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Wajibnya sabar ketika tertimpa musibah, ridlo dan menerima karena Allah
ta’ala di dalam ketetapan dan ketentuan-Nya. Barangsiapa yang
kondisinya seperti ini, maka Allah akan menunjuki hatinya dan
menganugerahkan kesabaran, pahala yang besar dan meringankannya di dalam
musibahnya tersebut. Jika ia beristirja’ yakni mengucapkan “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” maka Allah akan menggantikan untuknya apa yang hilang dan memberikan pahala kebaikan kepadanya”. [4]
عن أنس بن مالك رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: عِظَمُ اْلجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ اْلبَلاَءِ وَ
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ
الرِّضَا وَ مَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, bahwasanya ia bersabda, “Besarnya ganjaran itu
sebanding dengan besarnya cobaan. Maka sesungguhnya Allah apabila
mencintai suatu kaum, Ia akan memberikan cobaan kepada mereka.
Barangsiapa yang senang maka ia akan mendapatkan ridlo-Nya. Tetapi
barangsiapa yang marah maka ia akan mendapatkan murka-Nya”. [HR Ibnu
Majah: 4031, at-Turmudziy: 2396, Ahmad: V/ 427, 429 dan ath-Thabraniy.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan].[5]
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan
atas perkara tambahan terhadap (hadits) yang telah lalu, yakni bahwa
cobaan itu hanya menjadi kebaikan dan pelakunya akan menjadi orang yang
dicintai di sisi Allah ta’ala apabila ia sabar terhadap cobaan Allah
ta’ala dan ridlo dengan ketentuan Allah Azza wa Jalla “. [6]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajib
bagi seorang mukmin menjadi orang yang ridlo dengan cobaan yang
menimpanya, tidak berputus asa dan juga tidak marah karenanya”. [7]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Ini
adalah kabar gembira bagi seorang mukmin yaitu apabila ia diuji dengan
suatu musibah lalu ia tidak pernah menyangka bahwa Allah Subhanahu wa
ta’ala membencinya tetapi (ia tahu bahwa) terkadang musibah itu termasuk
dari tanda-tanda kecintaan Allah terhadap hamba-Nya yang diuji. Maka
apabila seseorang itu bersikap ridlo, sabar dan mengharap pahala
dari-Nya maka ia akan mendapatkan keridloan-Nya namun bila ia kesal maka
ia akan mendapatkan murka-Nya.
Di dalam hadits ini juga terdapat dorongan agar manusia itu
senantiasa sabar terhadap musibah sehingga akan ditetapkan baginya
keridloan dari Allah Azza wa Jalla. Wallahul muwaffiq”. [8]
Dalil dan penjelasan di atas menerangkan bahwa seorang mukmin itu
apabila ditimpa dengan berbagai musibah hendaklah ia menyadari bahwa
musibah itu merupakan bentuk ujian dari Allah Jalla Dzikruhu kepadanya,
lalu ridlo, menerima dan berusaha untuk mendulang pahala dari musibah
tersebut. Ia tidak bersangka buruk kepada-Nya, tidak pula berputus asa
dan meyakini bahwa musibah itu adalah salah satu bentuk rasa cinta atau
penganugerahan kebaikan dari Allah Azza wa Jalla yang ditunjukkan
kepadanya, lalu ia menyerahkan semuanya itu kepada Allah ta’ala sebab
musibah itu datangnya dari-Nya maka Ia pulalah yang dapat lagi berhak
untuk melenyapkannya darinya.
Jika demikian, maka setiap muslim ketika menjadi objek ghibah
hendaklah ia bersikap dengan sikap yang telah diterangkan di atas. Sebab
pengoyakan dan perusakan kehormatan atau harga diri itu termasuk dari
musibah yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya. Ridlo dengan
berbagai ghibah yang dilontarkan kepadanya sebagaimana telah dituangkan
di dalam penjelasan di atas, hendaknya menjadi hiasan kehidupannya
sehari-hari, sebab hal itu adalah sikap yang sangat elok dan terpuji.
Bagaimana tidak ridlo, jika berbagai amal salih yang dilakukan oleh si
pengghibah kelak pada hari kiamat akan diberikan kepadanya sebagai
bentuk kompensasi kepadanya. Maka hendaklah ia bergembira ketika menjadi
objek ghibah sebagaimana para pengghibah itu bergembira ketika menjadi
pelaku ghibah.
Sebab jika ia mengetahui dengan ilmu syar’iy yang shahih, niscaya ia
tahu bahwasanya cobaan dan ujian dalam bentuk musibah itu pada
hakikatnya adalah nikmat.Para golongan shalihin justru sangat gembira
ketika mendapatkan musibah, yang tak jauh berbeda jika seseorang
mendapatkan kesenangan. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah
menceritakan di dalam haditsnya tentang cobaan yang menimpa para nabi
dan orang-orang shalih yang biasanya berupa penyakit, kelaparan,
kemiskinan, gangguan dan lain-lainnya. Lalu Beliau Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda tentang sikap kaum shalihin,
عن أبى سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه و سلم: وَ إِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِاْلبَلاَءِ
كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dan sesungguhnya seseorang di
antara mereka (kaum shalihin) itu benar-benar merasa gembira lantaran
mendapat cobaan sebagaimana seseorang di antara kalian merasa gembira
karena mendapat kelapangan”. [HR Ibnu Majah: 4024, Ibnu Sa’d dan
al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]
Dan apalagi jika setiap muslim menilik dan memahami kenyataan dan
dalil syar’iy, ia akan mengetahui bahwa sekeras-kerasnya musibah yang
menimpanya niscaya ada orang lain yang mengalami musibah sebagaimana
dirinya atau bahkan lebih parah darinya. Dan Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan di dalam haditsnya, bahwa
beliau adalah orang yang paling besar ditimpa musibahnya, tidak ada
seorangpun manusia yang ditimpa musibah lebih besar darinya. Maka jika
ada seseorang di antara umatnya yang tertimpa musibah hendaklah ia
mengingat dan membandingkan musibah yang menimpanya dengan musibah yang
menimpa Rosulnya Shallallahu alaihi wa sallam, sehingga ia tahu bahwa
musibah yang menimpanya itu jika dibandingkan dengan musibah yang
menimpa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah tidak ada
apa-apanya. Lalu akhirnya ia tidak merasa sendirian dengan musibah itu
dan ia merasa lebih ringan di dalam menghadapinya.
عن عطاء (بن أبى رباح) رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ مُصِيْبَةٌ
فَلْيَذْكُرْ مُصَابَهُ بىِ فَإِنَّهَا مِنْ أَعْظَمِ اْلمـَصَائِبِ
Dari Atha’ (bin Abi Rabah) radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara
kalian ditimpa suatu musibah, maka hendaklah ia mengingat musibahnya itu
denganku. Sebab musibahku itu adalah termasuk musibah yang paling
berat”. [HR ad-Darimiy: I/ 40, Ibnu Sa’d dan Abu Nua’aim. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [10]
2). Serahkan segala persoalan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
Setiap muslim ketika mendapatkan musibah sekecil apapun hendaklah
menyerahkan semuanya kepada Allah Azza wa Jalla yang memang berkehendak
untuk menimpakannya kepadanya.
وَ أُفَوِّضُ أَمْرِى إِلَى اللهِ إِنَّ اللهَ بَصِيرٌ بِاْلعِبَادِ
Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya. [ QS. Al-Mukmin/ 40: 44].
قَالَ إِنَّمَـا أَشْكُـوا بَثِّى وَ حُزْنِى إِلَى اللهِ وَ أَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ya’qub berkata, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah, aku mengadukan
kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian
tiada mengetahuinya.” [QS. Yusuf/ 12: 86].
Dalil-dalil ayat di atas menerangkan sifat orang mukmin dari umat
nabi Musa alaihis Salam ketika dizholimi oleh Fir’aun dan sifat nabi
Ya’kub alaihis Salam tatkala mendapatkan musibah kehilangan putra
kesayangannya Yusuf alaihis Salam. Mereka bergegas menyerahkan urusan
berbagai musibah yang menimpa mereka kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
tanpa keraguan. Karena mereka tahu bahwa musibah itu didatangkan Allah
Jalla Jalaluhu kepada mereka untuk menguji keimanan mereka, dan
merekapun paham bahwa hanya Allah ta’ala sajalah yang dapat melenyapkan
musibah itu atau mengubahnya dari mereka.
وَ إِن يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلَا كَــاشِفَ لَهُ إِلَّا
هُوَ وَ إِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَن
يَشَـاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ هُوَ اْلغَفُورُ الرَّحِيمُ
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada
yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki
kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[QS. Yunus/ 10: 107].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Tidaklah sempurna iman seorang hamba sehingga ia yakin bahwa apa yang
dikehendaki Allah kepadanya berupa kebaikan atau keburukan. Tidak ada
seseorangpun yang dapat mencegah dan mengubahnya dari suatu kondisi dari
beberapa kondisi. Ini adalah makna hadits, “(Apa yang menimpamu itu
tidak akan luput darimu dan apa yang luput darimu maka tidak akan
menimpamu)”. [11]
Apalagi jika muslim tersebut melek terhadap banyak dalil yang
menerangkan akan takdir segala sesuatu lalu mengimaninya dengan keimanan
yang utuh tiada kebimbangan. Bahwa ketika ia mendapatkan ujian seperti
menjadi bahan atau objek ghibah bagi sebahagian orang, maka ia yakin
bahwa ketentuan musibah yang menimpanya itu telah ada sebelum terjadinya
musibah tersebut.
Akhirnya dengan keimanannya itu ia dapat merasa tentram dan tenang,
meskipun musibah datang bertubi-tubi dan silih berganti. Semuanya itu
sudah tertulis dan tidak dapat berubah sedikitpun. Sehingga dengan
memiliki keimanan kepada takdir atau ketentuan tersebut seorang muslim
tidak akan merasa bangga dan menyombongkan diri dari apa yang ia
dapatkan itu sesuai dengan keinginannya dan ia tidak akan kecewa dan
berputus asa terhadap sesuatu yang luput darinya.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى اْلأَرْضِ وَ لَا فِى
أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِـــتَابٍ مِن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَ
لَا تَفْرَحُوا بِمَــا ءَاتَكُمْ وَ اللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
فَخُورٍ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka
cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kamu tidak terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [QS.
Al-Hadid/ 57: 22-23].
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah
membuat dan menentukan musibah di muka bumi berupa banjir, gempa bumi,
tanah longsor, kebakaran hutan dan sebagainya sebagai bentuk ujian atau
hukuman bagi penghuninya. Begitu pula Allah Azza wa Jalla telah
menetapkan bagi setiap manusia musibah berupa sakit, kehilangan harta,
jiwa dan kerja, dirusak kehormatannya akibat kena fitnah dan ghibah, dan
lain sebagainya juga sebagai bentuk cobaan atau siksaan. Jika musibah
tersebut menimpa kaum mukminin maka musibah itu berfungsi sebagai ujian
yang bertujuan untuk menaikkan derajat keimanan, menambah kebaikan,
menghapus sebahagian kesalahan dan selainnya. Atau bertujuan untuk
menegur dan mengingatkan mereka dari melakukan kemaksiatan sehingga
mereka sadar dan bersegera meninggalkan kemaksiatan mereka tersebut.
Namun jika musibah itu menimpa kaum munafikin dan kafirin maka musibah
itu berfungsi untuk menghukum dan menimpakan siksaan dunia bagi mereka
sebagaimana yang pernah Allah Tabaroka wa ta’ala timpakan kepada
umat-umat terdahulu.
Semua musibah tersebut telah tertulis dan tercatat di dalam kitab lauh mahfuzh
dengan lengkap dan jelas sebelum peristiwa musibah itu terjadi. Hal ini
sangat mudah bagi Allah Jalla wa Ala yang mampu melakukan apapun yang
Ia kehendaki. Hal tersebut telah diterangkan oleh-Nya di dalam kitab-Nya
bertujuan agar setiap mukmin tidak kecewa dan berputus asa dari sesuatu
yang luput darinya dan supaya tidak sombong dan berbangga dengan
sesuatu yang ia dapatkan. Sebab semuanya itu telah tertulis dan
ditentukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Maka ia menghadapi takdir-Nya yang baik ataupun yang buruk, dan
menerima ketetapan-Nya yang manis ataupun yang pahit dengan dada yang
lapang, pikiran yang terang atau sikap yang lempang.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ
صلى الله عليه و سلم يَوْمًا فَقَالَ: يَا غُلاَمُ إِنىِّ أُعَلِّمُكَ
كَلِمَاتٍ: وَ اعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلىَ أَنْ
يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍلَمْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ إِلاَّ قَدْ كَتَبَهُ
اللهُ لَكَ وَ إِنِ اجْتَمَعُوْا عَلىَ أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍلَمْ
يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَتِ
اْلأَقْلاَمُ وَ جَفَّتِ الصُّحُفُ
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, aku pernah berada di
belakang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu beliau bersabda, “Wahai
ghulam (anak kecil), aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.
Ketahuilah, seandainya umat ini berhimpun untuk memberikan manfaat
kepadamu akan sesuatu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat
kepadamu kecuali sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika
mereka berkumpul untuk memberikan bahaya kepadamu akan sesuatu maka
mereka tidak akan dapat memberikan bahaya kepadamu melainkan sesuatu
yang telah ditetapkannya atasmu. Pena telah di angkat dan kertas catatan
(takdir) telah kering. [HR at-Turmudziy: 2516, Ahmad: I/ 293, 303,
307-308 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [12]
Setiap mukmin setelah memahami dan meyakini akan takdir dan ketetapan
Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tepat lagi benar, maka niscaya ia akan
memiliki hidup yang tentram dan nyaman. Ia tidak akan khawatir jika
banyak orang berkumpul dan bersekutu, berusaha untuk mencelakakan dan
menimpakan mudlarat kepadanya dengan berbagai kezhaliman semisal
menebarkan dan menyebarkan ghibah dan fitnah tentang dirinya. Sebab ia
yakin, bila Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki dan tidak mengidzinkan
mushibah itu menimpa dirinya maka mushibah itu niscaya tidak akan
pernah terjadi.
عن ابن الديلمى قَالَ: أَتَيْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ فَقُلْتُ
لَهُ: وَقَعَ فىِ نَفْسىِ شَيْءٌ مِنَ اْلقَدَرِ فَحَدِّثْنىِ بِشَيْءٍ
لَعَلَّ اللهَ أَنْ يُذْهِبَهُ مِنْ قَلْبىِ فَقالَ: لَوْ أَنَّ اللهَ
عَذَّبَ أَهْلَ سَمَاوَاتِهِ وَ أَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَ هُوَ
غَيْرُ ظَالِمِهِمْ لَهُمْ وَ لَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا
لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ وَ لَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فىِ
سَبِيْلِ اللهِ مَا قَبِلَهُ اللهُ مِنْكَ حَتىَّ تُؤْمِنَ بِاْلقَدَرِ وَ
تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَ أَنَّ مَا
أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ وَ لَوْ مُتَّ عَلىَ غَيْرِ هَذَا
لَدَخَلْتَ النَّارَ قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ
فَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ حُذَيْفَةَ بْنَ اْليَمَانِ
فَقاَلَ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ: ثُمَّ أَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ
فَحَدَّثَنىِ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم مِثْلَ ذَلِكَ
Dari Ibnu ad-Dailamiy berkata, aku pernah mendatangi Ubay bin Ka’b
lalu aku berkata kepadanya, “Sungguh telah terjadi sesuatu di dalam
diriku dari takdir. Ceritakanlah kepadaku tentang sesuatu mudah-mudahan
Allah akan menghilangkannya dari hatiku!”. Berkata (Ubay), “Seandainya
Allah mengadzab penduduk langit dan bumi maka Ia akan mengadzabnya tanpa
berbuat zhalim kepada mereka. Seandainya Allah memberikan rahmat kepada
mereka niscaya rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka dari amal
perbuatan mereka. Seandainya engkau infakkan emas sebesar gunung Uhud di
jalan Allah maka Allah tidak akan menerimanya darimu sehingga engkau
beriman kepada takdir dan engkau mengetahui bahwa apa yang menimpamu itu
tidak akan luput darimu dan apa yang luput darimu maka tidak akan
menimpamu. Seandainya engkau mati berada di atas selain (keyakinan) ini
maka engkau akan masuk neraka. Berkata (Ibnu ad-Dailamiy), “Lalu aku
mendatangi Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu maka ia berkata seperti
itu”. Ia berkata, “lalu aku mendatangi Hudzaifah bin al-Yaman
radliyallahu anhu, maka ia berkata seperti itu”. Ia berkata, “lalu aku
mendatangi Zaid bin Tsabit maka ia menceritakan kepadaku dari Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam seperti itu pula”. [HR Abu Dawud: 4699,
Ibnu Majah: 77, Ahmad: V/ 185, 189, ath-Thabraniy, Ibnu Abi Ashim dan
Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [13]
Bahkan keimanan terhadap takdir dan ketetapan Allah ta’ala ini wajib
dimiliki oleh setiap muslim, sebagaimana rukun iman lainnya. Jika ada
seorang muslim telah mampu menginfakkan emas sebesar atau seharga gunung
Uhud di jalan Allah, namun ia belum atau tidak beriman kepada takdir
Allah Azza wa Jalla yang baik dan yang buruknya niscaya Allah Subhanahu
wa ta’ala tidak akan menerima infaknya tersebut sehingga ia
mengimaninya.
Bahkan, di dalam dalil tersebut selanjutnya menegaskan bahwa sesuatu
apapun yang telah ditentukan akan menimpa seorang muslim maka sesuatu
itu tidak akan pernah luput darinya. Begitu pula jika sesuatu apapun
yang luput darinya maka sesuatu itu tidak akan pernah menimpanya.
Misalnya teror ghibah atau fitnah yang dilakukan oleh orang terhadap
dirinya, jika Allah Jalla Dzikruhu telah menentukannya baginya maka
niscaya teror itu tidak akan pernah luput darinya, yakni akan mengenai
dan menimpanya dimanapun, bersama siapapun dan kapanpun ia berada. Atau
jika teror ghibah atau fitnah itu telah ditentukan oleh-Nya luput dan
terhindar darinya maka terror itu niscaya tidak akan pernah menimpanya
meskipun banyak orang berhimpun dan bersekutu untuk menimpakannya
kepadanya.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ لِابْنِهِ : يَا
بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ اْلإِيْمَانِ حَتىَّ تَعْلَمَ أَنَّ
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ
لِيُصِيْبَكَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ اْلقَلَمُ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ:
يَارَبِّ وَ مَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيْرَ كُلِّ شَيْءٍ
حَتىَّ تَقُوْمَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنىِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ مَاتَ عَلىَ غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ
مِنىِّ
Dari Ubadah bin ash-Shamit radliyallahu anhu berkata kepada anaknya,
“Wahai putraku sesungguhnya engkau tidak akan mendapati lezatnya iman
sehingga engkau mengetahui bahwa apa yang menimpamu itu tidak akan luput
darimu dan apa yang luput darimu itu tidak akan menimpamu. Aku pernah
mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan itu adalah pena”. Allah
berfirman kepadanya, “Tulislah!”. Ia bertanya, “Wahai Rabbku, apakah
yang aku akan tulis?”. Allah berfirman, “Tulislah takdir-takdir segala
sesuatu sehingga tegaknya hari kiamat”. (Berkata Ubadah), “Wahai putraku
sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati di atas selain dari (keyakinan)
ini maka ia bukan termasuk dari golonganku”. [HR Abu Dawud: 4700 dan
Ahmad: V/ 317. Berkata sy-Syaikh al-Albaniy: shahih].[14]
Keimanan terhadap ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa ta’ala itu
menjadi kartu wajib bagi setiap muslim. Sehingga jika ada seseorang yang
mati di antara mereka dalam keadaan tidak di atas keyakinan itu maka ia
bukan termasuk umat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan akan masuk ke
dalam neraka.
Dengan sebab itu, setiap muslim hendaklah berambisi untuk berusaha
dan mendapatkan sesuatu yang dapat memberikan manfaat dan kebaikan
kepadanya di dunia dan akhirat. Seraya meminta pertolongan kepada Allah
Tabarokasmuhu atas usahanya tersebut kemudian jangan bersikap lemah dan
mudah menyerah dalam usahanya agar ia mendapatkan takdir atau ketentuan
Allah Jalla Jalaluhu yang baik bagi dunia dan akhiratnya.
Namun jika ternyata usahanya itu gagal atau hanya membuahkan
keburukan, janganlah ia kecewa dan berputus asa darinya sebab itu juga
adalah merupakan kehendak dan ketentuan-Nya. Lalu jangan pula
berandai-andai dalam menyikapi ketentuan-Nya yang tidak berkenan di
hatinya. Yakni berucap, “Andaikan aku berbuat ini niscaya orang-orang
akan menyukaiku atau seandainya aku tidak berbuat ini tentu orang-orang
tidak akan mengghibahiku dengan begini dan begitu, dan yang semisalnya”.
Sebab kata, “andaikan, seandainya, jikalau dan sejenisnya itu” dapat
membuka amalan setan, yakni setan meletakkan ke dalam hati dan aliran
darah orang tersebut sikap kecewa, buruk sangka, keingkaran atau
penolakan terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla itu.
Tetapi hendaklah ia mengatakan, “ قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ “
yakni semuanya itu adalah ketentuan Allah, apa yang Ia kehendaki niscaya
Ia akan lakukan. Artinya Allah ta’ala jika menghendaki sesuatu perkara
kepada seseorang niscaya Ia akan lakukan kendatipun orang itu tidak
menghendaki dan tidak pula menyukainya. Maka hendaklah ia menjadi
seorang muslim yang pasrah setelah usaha terhadap ketentuan Allah
Subhanahu wa ta’ala. Kemudian berserah diri kepada-Nya dengan penuh
ketundukan dan menyerahkan urusan tersebut kepada-Nya pula, seraya
berharap supaya Allah Azza wa Jalla segera menghilangkan keburukan dan
kesulitan hidupnya lalu menggantinya dengan yang lebih baik.
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: احْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ وَ اسْتَعِنْ بِاللهِ وَ
لاَ تَعْجِزْ وَ إِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنىِّ فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَ كَذَا وَ لَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَ مَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Hendaklah engkau berambisi
terhadap sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepadamu, mintalah
pertolongan kepada Allah dan janganlah bersikap lemah. Apabila engkau
ditimpa sesuatu (mushibah) janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku
melakukan (hal ini) niscaya akan menjadi begini dan begitu. Tetapi
hendaklah engkau mengatakan, “Qodarullah wa maa syaa’a fa’ala”
(semuanya adalah ketentuan Allah, apa yang Ia kehendaki niscaya Ia akan
lakukan). Karena sesungguhnya kata “law” (seandainya) itu dapat membuka
amalan setan”. [HR Muslim: 2664 dan Ahmad: II/ 366, 370. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [15]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat
petunjuk cara pengobatan ketika terjadi ketentuan takdir, yaitu tunduk
terhadap perkara Allah, ridlo terhadap ketentuan-Nya dan berpaling dari
menengok kepada apa yang telah lalu. Karena hal tersebut akan
membawa(nya) kepada kerugian. Yaitu dengan sabdanya, Qodarullah wa maa syaa’a fa’ala”. َ[16]
3). Tidak marah dan benci kepada si pengghibah.
Tindakan dan sikap terpuji lainnya dari seorang hamba muslim jika
dighibah adalah merajut hati yang lapang, pikiran yang tenang dan sikap
yang matang atau membentuk hati yang bersih, pikiran yang jernih dan
sikap yang terlatih sehingga ia tidak akan mudah terbawa emosi, tidak
terpancing kondisi dan tidak pula terbakar provokasi. Maka dalam situasi
apapun ia tidak akan marah, benci dan dendam kepada si pengghibah
dirinya tersebut.
Ia paham dan berbaik sangka bahwa orang yang mengghibahi dirinya itu
masih bodoh dan tidak mengerti akan makna ghibah, larangan dan akibat
buruknya. Maka ia tidak akan menghadapi kebodohan dengan kebodohan lagi,
tetapi kebodohan harus dilawan dan dihadapi dengan ilmu dan
kelemah-lembutan. Jika ia menghadapinya dengan kebodohan maka apa
bedanya ia dengannya. Tapi jika ternyata si pengghibah itu sudah
mengerti akan maksud dari ghibah, tahu akan larangannya dan paham akan
akibatnya, ia tetap akan menyikapinya dengan baik namun tegas dalam
bersikap. Yakni ia akan tetap menerima kunjungan dan sapaan saudaranya
itu dengan baik tetapi ia akan tegas dalam berkata, menasihatinya agar
menghentikan perbuatannya, meminta kepada kaum muslimin yang lainnya
agar berhati-hati dari lisannya karena boleh jadi suatu saat nanti
mereka akan menjadi objek ghibah seperti dirinya, dan sebagainya.
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memuliakan orang yang mampu
mengendalikan emosi dan amarahnya tersebut padahal ia mampu untuk
meluapkannya kepada orang lain karena ia adalah orang yang memiliki
kelebihan atas orang tersebut. Niscaya Allah ta’ala akan menyapa dan
memanggilnya dari kumpulan para pemimpin lalu ia akan dipersilahkan
memilih bidadari mana yang ia sukai untuk menjadi pasangannya di surga,
kelak pada hari kiamat.
عن سهل بن معاذ بن أنس عن أبيه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَظُمَ غَيْظًا وَ هُوَ قَادِرٌ عَلىَ أَنْ
يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ عَلىَ رُؤُوْسِ اْلخَلاَئِقِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
حَتىَّ يُخَيِّرَهُ فىِ أَيِّ اْلحُوْرِ شَاءَ
Dari Sahl bin Mu’adz bin Anas dari Ayahnya bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu
mengendalikan amarahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, Allah akan
memanggilnya atas pemimpin makhluk pada hari kiamat sehingga ia memilih
bidadari mana yang ia kehendaki”. [HR Ibnu Majah: 4186, Abu Dawud: 4777
dan at-Turmudziy: 2021, 2493. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [17]
عن ابن عمر قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
مَا مِنْ جُرْعَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ جُرْعَةِ غَيْظٍ كَظَمَهَا
عَبْدٌ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ
Dari Ibnu Umar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam, “Tidak ada pertahanan yang lebih besar pahalanya daripada
menahan amarah yang dikendalikan oleh seorang hamba dalam rangka mencari
wajah Allah”. [HR Ibnu Majah: 4189. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [18]
Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan
bahwa orang yang mampu menahan amarahnya kelak akan mendapatkan pahala
yang paling besar dibandingkan dari bentuk pertahanan manapun yang ada.
Tetapi menahan amarahnya tersebut dilakukan hanyalah semata-mata mencari
ridlo Allah Azza wa Jalla, bukan lantaran takut terhadap orang lain,
menjaga kewibawaan, khawatir menjadi bahan omongan, dan sebagainya.
Di samping itu pula beliau Shallallahu alaihi wa sallam menerangkan
bahwa menahan nafsu amarah itu adalah kekuatan yang hakiki, bukan
seperti anggapan sebahagian orang bahwa kekuatan itu diukur dengan
kekuatan fisik dan ilmu bela diri berupa gulat, silat, karate, tinju,
taekwodo, wushu dan sebagainya. Sebab jika seorang muslim itu hanya
mengandalkan kekuatan fisik tanpa dapat mengendalikan amarah maka
kekuatan itu hanya akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) dan mudlarat
(bahaya). Berapa banyak terjadi perselisihan, pertengkaran yang kemudian
berlanjut dengan perkelahian dan tawuran antar kelompok yang hanya
disebabkan oleh masalah sepele tetapi dapat mengundang amarah sekelompok
orang yang gemar menyelesaikan masalah hanya dengan adu pisik sehingga
menimbulkan pertumpahan darah, perusakan wilayah, penghancuran rumah
lalu pada akhirnya menimbulkan kegelisahan, ketidak-amanan dan
ketidak-nyamanan sebahagian warga karena daerahnya terusik, jalan dan
tanamannya rusak atau sebahagian rumah dan kendaraannya ringsek.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم: لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصَّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ
الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ اْلغَضَبِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, bersabda Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, “Yang kuat itu bukanlah dengan gulat, yang
kuat itu hanyalah yang mampu menahan hawa nafsunya ketika marah”. [HR
al-Bukhoriy: 6114, Muslim: 2609, Abu Dawud: 4779 dan Ahmad: II/ 236,
268, 507. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[19]
Berkata Ibnu Baththol, “Di dalam hadits ini[20] (terdapat
penjelasan) bahwa memerangi hawa nafsu itu lebih keras dari pada
memerangi musuh. Sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah
menjadikan orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ketika marah
sebagai orang yang paling kuat”. [21]
Sepatutnya setiap muslim dapat mengendalikan amarahnya dengan baik,
sehingga jikapun ia marah maka marahnyapun lantaran membela agamanya
yang diganggu oleh orang jahil. Dari itulah, tatkala ada seseorang
meminta nashihat kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka
beliau menashihatinya agar tidak marah, bahkan beliau mengatakannya
berulang-ulang, sebagaimana hadits berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ
صلى الله عليه و سلم: أَوْصِنىِ قَالَ: لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا
قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang pria
berkata kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Wasiatkan aku”. Maka
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau marah”.
Orang itu mengulangi (perkataannya) berkali-kali. Beliau (tetap)
bersabda, “Janganlah engkau marah”. [HR al-Bukhoriy: 6116 dan
at-Turmudziy: 2020. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, [23]
“Besarnya kerusakan marah dan apa-apa yang ditimbulkan olehnya,
Bahwasanya marah itu tidak akan datang dengan membawa kebaikan kecuali
jika karena Allah.
Tercelanya marah dan jauh dari sebab-sebabnya karena menjaga diri darinya adalah merupakan himpunan kebaikan.
Marah yang tercela adalah marah dalam perkara-perkara dunia,
sedangkan marah yang terpuji adalah selama karena Allah dan dalam rangka
menolong agamanya. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidaklah
marah melainkan apabila kehormatan Allah dilanggar.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh dari sebab rasa marah itu
untuk mengambil penyebab yang dapat menolak timbulnya rasa marah dan
menenangkannya. Di antaranya adalah,
a). Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh untuk meminta
perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari setan yang terkutuk.
عن سليمان بن صُرَدٍ رضي الله عنه قَالَ:اسْتَبَّ رَجُلاَنِ
عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ َنحْنُ عِنْدَهُ جُلُوْسٌ وَ
أَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضِبًا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ
النَّبيُّ صلى الله عليه و سلم: إِنىِّ لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا
لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ فَقَالُوْا لِلرَّجُلِ: أَلاَ تَسْمَعُ مَا
يَقُوْلُ النَّبيُّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنىِّ لَسْتُ
بِمَجْنُوْنٍ
Dari Sulaiman bin Shurad radliyallahu anhu berkata, “Ada dua orang
saling mencela disisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan kami
sedang duduk-duduk di sisinya. Salah satunya mencela kawannya dalam
keadaaan marah dan telah memerah wajahnya”. Maka Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu
kalimat yang jika ia ucapkan akan hilanglah darinya rasa marahnya.
Seandainya ia mengucapkan A’uudzu billaah minasy syaithoonir rojiim
(aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk)”. Lalu mereka
berkata kepada orang itu, “Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam”. Ia berkata, “Aku bukanlah orang gila”.
[HR al-Bukhoriy: 6115, Muslim: 2610, Abu Dawud: 3781, at-Turmudziy: 3452
dan Ahmad: VI/ 394. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [24]
b). Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh untuk diam.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ (مرتين)
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara
kalian sedang marah maka hendaklah ia diam”. (Beliau mengucapkannya dua
kali) [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 245, Ahmad: I/ 239,
283, 365, Ibnu Adiy dan al-Qudlo’iy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih]. [25]
c). Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh untuk duduk atau berbaring.
عن أبي ذر رضي الله عنه قَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ لَنَا : إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَ هُوَ قَائِمٌ
فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ اْلغَضَبُ وَ إِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ
Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian sedang marah
sedangkan ia dalam keadaan berdiri maka duduklah. Maka akan hilanglah
rasa marah itu, tetapi jika tidak maka berbaringlah”. [HR Abu Dawud:
4782, Ahmad: V/ 152 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [26]
Demikian penjelasan singkat dari asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy
hafizhohullah tentang menyikapi timbulnya rasa amarah jika menyerang
seorang muslim agar rasa marah itu hilang. Yakni dengan ta’awwudz
(berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala), diam dan duduk atau
berbaring.
4). Memaafkan kesalahan dan menghilangkan dendam kepadanya
Selanjutnya dituntut dari seorang muslim untuk dapat memaafkan
kesalahan saudaranya serta menghilangkan dendam yang membara di dalam
dadanya.
Telah dijelaskan tentang, diantara keburukan ghibah adalah dapat
menimbulkan dendam atau terkadang pula perbuatan ghibah seseorang itu
disebabkan oleh dendam kepada saudaranya agar saudaranya yang mengghibah
itu dapat merasakan kepedihan dan kesusahan seperti yang pernah ia
alami atau bahkan lebih dari itu.
Sebagaimana telah diketahui bahwa perilaku dendam itu amat dilarang
oleh agama dan tidak disukai oleh setiap manusia, sebagaimana telah
berlalu penjelasannya. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa ta’ala telah
menerangkan tentang sifat kaum mukminin di antaranya adalah suka
memaafkan kesalahan orang yang meminta maaf kepadanya. Sebab jika ia
memiliki dendam kesumat niscaya ia tidak akan mau memaafkan kesalahan
saudaranya, kalaupun memaafkan tentulah dengan hati yang terpaksa tiada
kerelaan. Jadi syarat masuk surga adalah keimanan, syarat menjadi
mukimin diantaranya adalah menjadi pemaaf sedangkan dendam menjadi
penghalang pemberian maaf. Maka hati yang sunyi dari dendam, bersih dari
hasrat mengancam dan kosong dari kedengkian yang kelam adalah salah
satu dari sifat kaum mukminin.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى السَّرَّاءِ وَ الضَّرَّاءِ وَ
اْلكَــاظِمِينَ اْلغَيْظَ وَ اْلعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَ اللهُ يُحِبُّ
اْلمــُحْسِنِينَ
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
[QS. Alu Imran/ 3: 134].
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Yakni disamping menahan
keburukan, mereka memaafkan orang yang menzholimi mereka di dalam hati
mereka. Tidak dijumpai rasa dendam di dalam hati mereka terhadap
seseorangpun. Ini adalah keadaan yang paling sempurna”. [27]
خُذِ اْلعَفْوَ وَ أْمُرْ بِاْلعُرْفِ وَ أَعْرِضْ عَنِ اْلجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. [QS. Al-A’raf/ 7:
199].
وَ جَزَاؤُا سَيِّـــئَةٍ سَيِّـــئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ
عَفَا وَ أَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa
memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. [QS.
Asy-Syura/42: 40].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat keutamaan memberi maaf kepada saudara-saudara sesama muslim
dan mengadakan perdamaian di antara mereka”. [28]
Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyuruh setiap muslim untuk selalu
membuka pintu hati di dalam memaafkan kesalahan saudaranya. Sebab
sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada seorangpun manusia yang
luput dari kesalahan. Maka ketika ada kesalahan saudaranya yang
ditimpakan kepadanya lalu saudaranya itu meminta maaf kepadanya, maka
hendaklah ia membuka simpul hatinya yang telah terkekang amarah untuk
segera memaafkan kesalahannya. Apalagi sikap mudah dan cepat memaafkan
kesalahan orang lain itu adalah salah satu dari beberapa sifat mulia
dari golongan orang-orang bertakwa yang telah dijanjikan ampunan dari
Allah ta’ala dan surga yang luasnya adalah seluas langit dan bumi.
Keutamaan lain dari sifat pemaaf adalah Allah Jalla wa Ala akan
menempatkan pelakunya sebagai orang yang paling mulia di sisi-Nya. Namun
sikap mudah memaafkan itu hanya dapat dimotivasi oleh hilangnya dendam
dan dengki dari hatinya. Mustahil dan sulit bagi seorang muslim untuk
memberi maaf terhadap kesalahan orang yang menzholiminya jika hatinya
masih diliputi oleh perasaan dendam dan jiwanya dikuasai oleh
kedengkian.
عن عبد الله بن عمرو قَالَ: قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله
عليه و سلم: أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: كُلُّ مَخْمُوْمِ اْلقَلْبِ
صَدُوْقِ اللِّسَانِ قَالُوْا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا
مَخْمُوْمُ اْلقَلْبِ؟ قَالَ: هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لاَ إِثْمَ
فِيْهِ وَلاَ بَغْيَ وَ لاَغِلَّ وَ لاَ حَسَدَ
Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhuma berkata, pernah ditanyakan
kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang
paling utama?”. Beliau menjawab, “Setiap makhmum al-qolbi (yang bersih
hatinya) lagi pula jujur ucapannya”. Mereka bertanya, “Kami telah
mengerti tentang jujur ucapannya maka apakah makhmum al-qolbi itu?”.
Beliau menjawab, “Ia adalah orang yang bertakwa lagi bersih, tiada dosa,
perbuatan aniaya, dendam dan tidak pula dengki”. [HR Ibnu Majah: 4216
dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [29]
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwasanya
seutama-utama manusia adalah yang jujur dalam berkata lagi bersih
hatinya. Lalu beliau menegaskan bahwa orang yang bersih hatinya adalah
orang bertakwa lagi bersih tiada dosa, perbuatan zhalim, dendam dan
dengki. Maka setiap muslim hendaklah menimbang dirinya dengan penjelasan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di atas, apakah ia telah
menjadi orang yang paling utama di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala?. Jika
ada di antara mereka yang telah merasa bahwa dirinya adalah orang yang
paling utama lantaran telah meraih kedudukan mulia di sisi manusia
sebagai seorang ustadz kondang, kyai langitan, habibul mahbub, syaikh
mukarrom dan sebagainya. Tetapi pada kenyataannya ia adalah orang yang
menyeru manusia kepada kebatilan dan kesesatan. Sebab ia hanya mengajak
umat kepada berbagai perkara syirik dan bid’ah yakni meninggalkan tauhid
dan sunnah dengan dasar taklid tiada hujjah. Bahkan ia telah mengotori
hatinya dengan berbagai kemaksiatan semisal sifat ujub, sombong, riya
dan lainnya, gemar berbuat aniaya dengan menyebarkan kedustaan (fitnah)
tentang saingannya tanpa dalil dan fakta, nafsunya telah dibelit dendam
membara kepada orang yang menyalahi ajakannya dan menasihatinya terhadap
kekeliruan dalam dakwahnya serta arah dakwahnyapun telah dipasung oleh
kedengkian terhadap orang lain yang lebih berhasil diterima oleh kaum
muslimin dalam dakwah sebab berdasarkan kepada alqur’an dan sunnah.
Jika demikian, maka pengakuannya sebagai orang yang mulia atau bahkan
paling mulia itu adalah dusta lagi palsu, sebab pengakuan itu hanya
muncul dari dirinya atau dari para pengikutnya bukan berdasarkan dalil.
5). Membalas keburukannya dengan kebaikan
Pada umumnya, sulit bagi siapapun muslim untuk memposisikan dirinya
untuk bersikap baik terhadap orang yang bersikap buruk kepadanya. Namun
jika ia telah dipoles dengan keimanan dan ketundukkan kepada alqur’an
dan sunnah, maka kesulitan itu niscaya akan teratasi. Sebab keimanan
yang sempurna itu akan menjadikan seorang muslim bersikap tunduk kepada
kebenaran sepahit apapun. Sebagaimana dikatakan di dalam alqur’an,
إِنَّمَــا كَانَ قَوْلَ اْلمـــُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا
إِلَى اللهِ وَ رَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَ أَطَعْنَا وَ أُولَئِكَ هُمُ اْلمـــُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (memutuskan) di antara mereka
ialah ucapan, “kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka Itulah
orang-orang yang beruntung. [QS. An-Nur/ 24: 51].
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Kemudian Allah ta’ala
mengkhabarkan beberapa sifat orang-orang beriman yaitu menerima seruan
Allah dan Rosul-Nya. Yaitu mereka tidak mencari agama selain dari kitab
Allah dan sunnah Rosul-Nya”. [30]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Wajibnya berhukum kepada alqur’an dan sunnah. Barangsiapa yang
dipanggil kepada alqur’an dan sunnah lalu ia berpaling maka ia adalah
orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya”. [31]
وَ مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ اْلخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَ
مَن يَعْصِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka tersebut. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. [QS. Al-Ahzab/
33: 36].
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini umum mengenai
seluruh perkara. Bahwa apabila Allah dan Rosul-Nya menetapkan suatu
(perkara), maka tiada seorangpun yang diperbolehkan untuk
menyelisihinya. Tidak ada ikhtiar (pilihan) bagi seseorang dalam hal
ini, tidak dalam bentuk pendapat dan tidak pula pandangan”. [32]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat penjelasan bahwa orang mukmin yang benar adalah orang yang
tidak mempunyai pilihan lain di sisinya di dalam perkara yang telah
ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya dengan bentuk pembolehan atau
penolakan. Terdapat penjelasan bahwa barangsiapa yang mendurhakai Allah
dan rosul-Nya berarti ia telah keluar dari jalan petunjuk menuju jalan
yang sesat”. [33]
Beberapa ayat dan penjelasannya di atas menerangkan tentang sifat
mukmin yaitu senantiasa bersikap dengar dan patuh. Ia selalu bersedia
untuk mendengar dan menyimak apa yang diterangkan dan diinginkan oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala dan rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam di
dalam alqur’an dan hadits, dengan penuh ketekunan dan perhatian. Lalu
mematuhi semua ketetapan dan keputusan yang terdapat di dalamnya
kemudian berusaha mengamalkan setiap perintah dan meninggalkan segenap
larangan dengan kadar kesanggupan dan kemampuannya secara maksimal dan
optimal.
Di samping itu sifat mukmin lainnya adalah menerima apapun keputusan
Allah U dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam dengan penerimaan
yang penuh tanpa penolakan, sanggahan ataupun takhyir (mengadakan
pilihan lain).
Maka tatkala ia dianjurkan dan diperintahkan untuk membalas kebaikan
orang yang bersikap buruk kepadanya, maka iapun segera melakukannya
dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Ia tidak menyanggah, membantah, takhyir
apalagi menolak. Oleh sebab itu, kendatipun ada orang yang dengan giat
mengghibah bahkan memfitnah dirinya, ia tidak akan terpengaruh oleh
perbuatan orang tersebut dengan membalas ghibahnya. Namun ia akan
berusaha sabar menanggung ghibah tersebut seraya memberikan konfirmasi
kepada orang yang mau bertabayyun atau tatsabbut kepadanya. Dan ia akan
tetap berbuat baik kepada orang tersebut dengan penuh keikhlasan dan
semata-mata mencari pahala dan ridlo-Nya.
Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa dalil berikut ini,
وَ يَدْرَءُونَ بِاْلحَسَنَةِ السَّيِّــئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
Serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). [ QS. Ar-Ro’d/ 13: 22].
أُولَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَــا
صَبَرُوا وَ يَدْرَءُونَ بِاْلحَسَنَةِ السَّيِّــئَةَ وَ مِمَّــا
رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan
mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang
telah Kami rizkikan kepada mereka, mereka nafkahkan. [ QS.
Al-Qoshshosh/28: 54].
Ayat-ayat di atas menerangkan tentang salah satu dari sifat kaum
mukminin, yaitu membalas keburukan yang ditimpakan kepadanya dengan
kebaikan.
Jika kehormatan seorang mukmin telah menjadi hidangan yang mengundang
selera para penyantapnya maka disaat itulah terjadinya ghibah. Maka
mukmin tersebut akan berusaha menyikapi orang-orang yang sedang
mengghibahi kehormatannya tersebut dengan sikap yang baik. Ia tidak akan
mudah terpancing emosi untuk membalasnya, tidak gampang terprovokasi
untuk membencinya bahkan ia berusaha untuk menangguk pahala dari ghibah
dan fitnah yang dialamatkan kepadanya tersebut. Ia bersihkan hatinya
dari dendam kesumat, amarah pembawa mafsadat, kedengkian yang mengandung
mudlarat, buruk sangka yang sudah gawat dan berbagai penyakit hati
lainnya.
Panutan terbaik umat ini yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam telah disifati di dalam kitab Taurat sebagaimana dituturkan oleh
seorang shahabat yaitu Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma
sebagai seorang yang tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi ia memaafkan dan mengampuni.
عن عطاء بن يسار قال: لَقِيْتُ عَبْدَ اللهِ ابن عمرو بن
العاص قُلْتُ: أَخْبِرْنىِ عَنْ صِفَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم
فىِ التَّوْرَاةِ قَالَ: أَجَلْ وَ اللهِ إِنَّهُ لَمَوْصُوْفٌ فىِ
التَّوْرَاةِ بِبَعْضِ صِفَتِهِ فىِ اْلقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا النَّبيُّ
إِنَّا أَرْسَالْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَ نَذِيْرًا وَ حِرْزًا
لِلْأُمِّيِّيْنَ أَنْتَ عَبْدِى وَ رَسُوْلىِ سَمَّيْتُكَ اْلمـُتَوَكِّلَ
لَيْسَ بِفَظٍّ وَ لاَ غَلِيْظٍ وَ لاَ سَخَّابٍ فىِ اْلأَسْوَاقِ وَ لاَ
يَدْفَعُ بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ وَ لَكِنْ يَعْفُو وَ يَغْفِرُ وَ
لَنْ يَقْبِضَهُ اللهُ حَتىَّ يُقِيْمَ بِهِ اْلمِلَّةَ اْلعَوْجَاءَ
بِأَنْ يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ يُفْتَحُ بِهَا عَيْنٌ
عُمْيٌ وَ آذَانٌ صُمٌّ وَ قُلُوْبٌ غُلْفٌ
Dari Atho bin Yasar, aku bertemu dengan Abdullah bin Amr bin al-Ash,
aku berkata, “Kabarkan kepadaku tentang sifat Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam di dalam kitab Taurat!”. Ia (yaitu Ibnu Amr) menjawab,
“Ya, Demi Allah, sesungguhnya Beliau benar-benar disifati di dalam
Taurat dengan sebahagian sifatnya di dalam alqur’an, “Wahai Nabi,
sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita
gembira, pembawa ancaman dan penjaga bagi golongan ummiy.[34] Engkau adalah hamba dan utusan-Ku. Aku menamakanmu mutawakkil. [35] Dia tidak kasar, keras (kejam), berteriak-teriak di pasar dan tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi ia memaafkan dan mengampuni.
Allah tidak akan mewafatkannya hingga ia menegakkan agama yang bengkok
agar mereka mengucapkan “Laa ilaaha illallah”. Dibuka dengannya, mata
yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup”. [HR al-Bukhoriy:
2125, 4838. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy]. [36]
Begitulah sebahagian sifat dan akhlak mulia Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam yang mesti ditiru dan dicontoh oleh setiap orang yang
mengaku dinisbahkan kepada umatnya. Namun banyak orang di antara umat
ini yang mengaku-ngaku sebagai umatnya tetapi perilakunya jauh dari
sifat mulia tersebut.
Bahkan beliau Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan jika ada
seorang muslim dicaci dan dijelek-jelekkan di hadapan orang banyak
dengan sesuatu yang memang orang itu ketahui tentangnya, maka janganlah
ia membalas perlakuan orang tersebut dengan menjelek-jelekannya dengan
apa yang ia ketahui tentang orang tersebut.
عن أبى جري جابر بن سليم أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و
سلم قَالَ: وَ إِنِ امْرَؤٌ شَتَمَكَ وَ عَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيْكَ
فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيْهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ
عَلَيْهِ
Dari Abu Jariy Jabir bin Sulaim radliyallahu anhu bahwasanya
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan jika seseorang
mencaci dan menjelek-jelekkanmu dengan apa yang ia ketahui tentangmu,
maka janganlah engkau menjelek-jelekkannya dengan apa yang engkau
ketahui tentangnya. Maka akibat bencana itu akan menimpanya”. [HR Abu
Dawud: 4084 dan Ahmad: IV/ 65, V/ 63, 64, 378. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [37]
Jika demikian keadaannya, maka tidak ada bedanya antara muslim
tersebut dengan orang yang mencaci atau menjelek-jelekkannya.
Istilahnya, perbuatan dosa dibalas dengan dosa yang serupa.
Jika saja muslim itu bersabar maka ia akan memperoleh pahala dan
keuntungan dengan mengambil pahala orang tersebut kelak pada hari
kiamat. Namun karena ia membalasnya dengan perbuatan yang serupa
lantaran ketidak-sabarannya yaitu menjelek-jelekkan orang tersebut, maka
pahala itu sirna dan raib dari hadapannya dan iapun berdosa dengan
perbuatannya tersebut.
Pernah dikatakan kepada salah seorang ulama salaf, “Sesungguhnya si
Fulan telah mengghibahimu”. Lalu ia mengirimkan semangkok dari ruthob
(kurma basah dan matang) kepadanya dan berkata, “Telah sampai berita
kepadaku bahwa engkau telah menghadiahkan kebaikan-kebaikanmu padaku,
maka aku ingin membalas kebaikanmu itu dengannya. Namun maaf, aku tidak
bisa membalas kebaikanmu dengan sempurna”. (Yaitu ia tidak mau
membalasnya dengan memberikan kebaikan-kebaikannya kepada orang tersebut
dengan membalas mengghibahnya). [38]
عن عَلِيٍّ قَالَ: َلمــَّا ضَمَمْتُ إِلَيَّ سِلاَحَ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَجَدْتُ فىِ قَائِمِ سَيْفِ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم رِقْعَةً فِيْهَا: صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَ
أَحْسِنْ إِلىَ مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ وَ قُلِ اْلحَقَّ وَ لَوْ عَلىَ
نَفْسِكَ
Dari Ali radliyallahu anhu berkata, “Ketika aku memegang senjata
(pedang) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam aku dapati pada gagang
pedang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam terdapat riq’ah
(tulisan), “Sambunglah silaturahmi orang yang memutuskannya darimu,
berbuat baiklah kepada orang yang bersikap buruk kepadamu dan katakanlah
kebenaran meskipun terhadap dirimu sendiri”. [HR Abu Amr bin as-Samak
dan Ibnu an-Najar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [39]
Yakni hendaklah seorang muslim itu tetap berbuat baik kepada orang
yang bersikap buruk kepadanya. Mengucapkan dan menjawab salam, menjenguk
ketika sakit, mengantarkan jenazah, menerima kunjungan, menjawab doa
tatkala bersin, menerima undangan, membantu kesusahan dan selainnya
kepada orang yang selama ini berbuat buruk kepadanya. Hendaklah ia tidak
memperhatikan perilaku buruk orang tersebut kepadanya tetapi perhatikan
dan harapkan pahala dari perbuatan baiknya itu kepada orang zholim
tersebut.
Jika terasa sulit dalam menjalankannya maka hendaklah ia tetap
bersabar sampai Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan pertolongan
kepadanya selama ia bersikap mulia seperti itu.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِنَّ لىِ قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَ يَقْطَعُوْنىِ وَ أُحْسِنُ
إِلَيْهِمْ وَ يُسِيْئُوْنَ إِلَيَّ وَ أَحْلُمُ عَنْهُمْ وَ يَجْهَلُوْنَ
عَلَيَّ فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ
اْلمـَلَّ وَ لاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ عَلَيْهِمْ مَا
دُمْتَ عَلىَ ذَلِكَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki
berkata, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku
menyambung silaturahmi kepada mereka tetapi mereka memutuskannya, aku
berbuat baik kepada mereka namun mereka berlaku buruk kepadaku dan aku
bermurah hati kepada mereka tapi mereka tidak peduli kepadaku”. Beliau
bersabda, “Jika engkau sebagaimana yang engkau ucapkan, maka seolah-olah
engkau menyuapkan kejemuan kepada mereka. Senantiasa akan ada penolong
bagimu dari Allah untuk menghadapi mereka selama engkau seperti itu”.
[HR Muslim: 2558. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [40]
6). Introspeksi dan memperbaiki diri
Berkata Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu, “Introspeksilah diri
kalian sebelum kalian dihisab dan timbanglah diri kalian sebelum kalian
ditimbang. Sesungguhnya hal itu lebih mudah bagi kalian di dalam hisab
esok yakni kalian mengintrospeksi diri kalian pada hari ini. Berhiaslah
kalian untuk tujuan yang sangat besar yaitu,
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنكُمْ خَافِيَةٌ
Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tiada sesuatupun dari
keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya). [QS. Al-Haaqqah/69: 18 ]. [41]
Berkata al-Hasan, “Orang mukmin itu adalah penopang atas dirinya, ia
mengintrospeksi dirinya karena Allah. Hisab itu akan menjadi ringan bagi
suatu kaum yang mengintrospeksi diri mereka di dunia ini. Dan hisab
menjadi sulit pada hari kiamat bagi kaum yang menjadikan perkara ini
tanpa pengintrospeksian diri”. [42]
Jika setiap muslim terbiasa mengintrospeksi dirinya karena rasa takut
terhadap hukuman dan balasan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, niscaya ia
akan selalu bertindak dan bersikap hati-hati dalam setiap langkah
menuju arah yang hendak ia jalani.
Apalagi boleh jadi, sebab muncul dan timbulnya ghibah yang menimpa
dirinya itu juga disebabkan lantaran berbagai perbuatan dosa dan
kesalahan yang ia lakukan. Maka untuk menghilangkan atau meminimalkan
kadar ghibah yang menimpa dirinya itu ia mesti menjauhi dan
menghindarkan diri dari berbagai perbuatan yang dilarang oleh Allah Azza
wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Dan juga
melaksanakan dengan maksimal dan optimal berbagai perintah dan anjuran
dari Allah Jalla Jalaluhu dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Atau hendaklah ia memperhatikan dengan seksama gunjingan atau ghibah
yang beredar di masyarakat itu. Sebab ucapan mereka itu boleh jadi ada
benarnya, lalu ia bertanya kepada ahli ilmu tentang perkara itu. Maka
jika ternyata ghibah yang beredar di masyarakat itu yang benar dan
dirinya yang salah maka hendaklah ia merubah dan memperbaiki
amal-amalnya. Namun jika ternyata amalnya benar sesuai syar’iy dan
masyarakat yang salah maka hendaklah ia bersabar dan tetap berhubungan
baik dengan mereka dengan akhlak yang santun lagi mulia.
Sebab masyarakat pada masa sekarang ini, tidak hanya puas dengan
mengghibah dosa dan keburukan orang lain, tetapi juga berbagai kebaikan
yang dikerjakan oleh seseorang. Kebaikan tersebut terkadang dibahas
dengan nada dan tanggapan negatif lantaran kebodohannya dengan
perkara-perkara agamanya sendiri.
Misalnya, jika ada seorang muslim melakukan kajian-kajian agama di
rumahnya atau masjid dekat rumahnya, menjual buku-buku ahlus sunnah atau
obat-obatan herbal, membuka praktek hijamah (bekam), melakukan ta’addud
(poligami), atau melakukan nikah sirri, berjenggot, celananya
cingkrang, mengenakan pakaian jubah, anaknya banyak atau seorang
muslimah memakai pakaian muslimah, bercadar, menerima dipoligami dan
yang semisalnya. Atau muslim dan muslimah tersebut tidak pernah
mengikuti berbagai kegiatan bid’ah berupa maulidan, isra’ mi’rajan,
nuzulul qur’anan, nisfu sya’banan, nyekar di awal ramadlan atau lebaran
ke makam para kerabat dan shahabat, nyekar dan ziarah ke kuburan para
wali di waktu-waktu tertentu, tahlilan, tahun baruan, sholawatan
bid’iyyatan dan semisalnya. Apalagi melakukan perayaan valentine day,
hallowen day, ulang tahun dirinya atau salah satu kerabat atau
shahabatnya, pacaran, tunangan dan selainnya. Maka banyak masyarakat
awam yang memperbincangkannya dengan nada dan tanggapan yang negatif
lagi sinis. Seakan-akan yang muslim atau muslimah lakukan tersebut
keliru, menyimpang dari agama, sesat dan menyesatkan dan mesti
diluruskan pemahaman dan perilakunya. Dan mereka tidak sadar bahwa
dengan sikap itu sebenarnya mereka telah memusuhi dan menentang ajaran
dari agama yang mereka sendiri menganutnya. Hal ini karena
ketidak-pahaman mereka terhadap Islam dan juga karena pengaruh
propaganda kaum kafirin dalam menjauhkan Islam dari para pemeluknya.
Jika berbagai kebaikan saja bisa menjadi sorotan publik meskipun
dipandang dari sisi yang berbeda. Maka bagaimana dengan keburukan dan
aib yang dikerjakan oleh sebahagian kaum muslimin, tentu hal ini akan
lebih mudah untuk menjadi bahan ghibah.
Maka dengan tidak menafikan akibat jelek dari melakukan berbagai
keburukan tersebut di dunia, yang terpenting setiap muslim semestinya
mulai mengintrospeksi dirinya terhadap semua amalnya yang pernah dan
yang akan ia lakukan. Apakah amalnya tersebut bisa mendatangkan kebaikan
atau keburukan, apakah amalnya itu akan menghasilkan pahala atau dosa
dan apakah amalnya tersebut dapat memasukkannya ke dalam surga atau ke
neraka?.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ
لْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ
خَبِيرٌ بِمَــا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. [QS. Al-Hasyr/ 59: 18].
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu introspeksilah diri
kalian sebelum kalian dihisab dan perhatikanlah oleh kalian apa yang
telah kalian simpan untuk keuntungan diri kalian dari amal-amal shalih
untuk hari kembalinya kalian dan hari digiringnya kalian ke hadapan Rabb
kalian (yaitu terjadinya hari kiamat)”. [43]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Wajibnya bertakwa dengan cara mengerjakan perintah-perintah dan
meninggalkan larangan-larangan. Wajibnya bermuraqabah kepada Allah
ta’ala dan melakukan pengawasan harian terhadap apa telah dikerjakan
oleh manusia dari amalan-amalan yang terdahulu ataupun yang terkemudian
untuk persiapan hari akhir”. [44]
Ayat di atas beserta penjelasannya telah memerintahkan setiap mukmin
untuk senantiasa mengintrospeksi dirinya dengan penuh perhatian terhadap
setiap amal yang telah diamalkannya supaya amal selanjutnya lebih baik
dan lebih bernilai di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan juga
menyeleksi dan menaruh perhatian terhadap setiap amal yang akan
dikerjakannya, apakah amal tersebut akan membawa keberuntungan dan
kebahagian baginya atau bahkan sebaliknya?.
Hal tersebut harus dilakukan sebelum dirinya dihisab dan
diperhitungkan segala amalnya yang pernah ia lakukan di dunia. Dan pada
hari itu tidak berguna baginya penyesalan dan keinginan untuk kembali ke
dunia untuk memperbaiki amal-amalnya. Sebab semua amalnya yang pernah
ia kerjakan yang baik dan yang buruknya, sekecil apapun akan dihadapkan
ke hadapannya pada waktu itu.
يَوْمَ تَجِدُ كُــلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ
مُّحْضَرًا وَ مَا عَمِلَتْ مِن سُـوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَ
بَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَ يُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَ اللهُ
رَءُوفٌ بِاْلعِبَادِ
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan
(dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin
kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang
kepada hamba-hamba-Nya. [QS. Ali Imran/ 3: 30].
وَ وُضِعَ اْلكِــتَابُ فَتَرَى اْلمــُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ
مِمَّــا فِيهِ وَ يَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا اْلكِــتَابِ
لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَ لَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَ وَجَدُوا
مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَ لَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Dan diletakkanlah kitab (catatan), lalu engkau akan melihat
orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya.
Dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun”. [QS. Al-Kahfi/
18: 49].
Maka tatkala seluruh manusia mendatangi Penciptanya pada hari kiamat,
pada hari itu setiap mereka akan dibalas sesuai dengan amal-amal
mereka. Maka pada hari itu akan diserahkan kepada masing-masing mereka
kitab catatan mereka, dan tidak ada seorangpun manusia melainkan ia akan
dihadapkan ke hadapan-Nya dan akan diberikan kitab catatannya, dengan
tangan kanannya atau dari balik punggungnya. Pada hari itu ada wajah
yang berseri-seri penuh kebahagiaan, yang dikarenakan kitab catatannya
penuh dengan kebaikan. Dan ada wajah yang bermuram durja penuh
penyesalan dan kesengsaraan, yang disebabkan kitab catatannya penuh
dengan berbagai keburukan. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak
memiliki sedikitpun catatan kebaikan lantaran mereka hiasi lembar
kehidupan mereka tersebut dengan kekufuran, kemusyrikan ataupun
kemunafikan.
Dengan menilik ayat-ayat yang diutarakan di atas dan yang semakna,
sudah sepatutnya setiap muslim mempersiapkan diri sejak dini dengan
mengerjakan berbagai amal shalih dan meninggalkan berbagai amal salah,
agar selamat kelak dari kerugian dan kebinasaan pada hari kiamat. Atau
sudah selayaknya ia mengintrospeksi setiap amalnya lalu memperbaikinya
jika selama ini amalnya tidak atau kurang sesuai dengan ajaran agamanya
yang bersandarkan kepada alqur’an dan hadits-hadits yang tsabit dari
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Jika hal tersebut sudah dijalankan dengan maksimal dan optimal, maka
tanpa disadari hal itupun akan berdampak baik yaitu terhindarnya ia dari
bahan gunjingan atau objek ghibah orang lain.
7). Menjauhkan diri dari berbagai kemaksiatan karena Allah Subhanahu wa ta’ala.
Menyambung penjelasan di atas, yakni keharusan setiap muslim untuk
selalu mengintrospeksi dirinya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala dan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin
untuk bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dengan cara mengerjakan
berbagai perintah dan meninggalkan berbagai larangan di dalam agama ini.
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَ اسْمَعُوا وَ
أَطِيعُوا وَ أَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ وَ مَن يُوقَ شُحَّ
نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ اْلمـــُفْلِحُونَ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan
dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu
dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka
itulah orang-orang yang beruntung. [QS.at-Taghobun/ 64: 16].
Allah Jalla Dzikruhu telah menyuruh kaum muslimin untuk selalu
bertakwa kepada-Nya sesuai dengan kesanggupan mereka masing-masing.
Mewujudkannya di dalam keseharian mereka dan menghiasi keyakinan, amalan
dan ucapan dengannya lalu mempertahankan dan memperjuangkannya sampai
tetes darah terakhir dan nyawa berpisah dengan raga bertemu dengan Sang
Pencipta Subhanahu wa ta’ala.
وَ مَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ اْلعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya. [QS. Al-Hasyr/ 59: 7].
Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah
Subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk
mengerjakan apa yang diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam dan menjauhi apa yang telah dilarang olehnya. Sebab Beliau
hanyalah menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari keburukan”. [45]
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: ذَرُوْنىِ مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهَمْ وَ اخْتِلاَفِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ وَ إِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Biarkanlah apa yang telah aku
tinggalkan bagi kalian. Hanyalah binasanya umat terdahulu sebelum kalian
adalah lantaran mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi
mereka. Maka bila aku perintahkan kalian dari mengerjakan sesuatu maka
kerjakanlah sesanggup kalian dan jika aku larang kalian dari melakukan
sesuatu maka tinggalkanlah”. [HR Muslim: 1337, al-Bukhoriy: 7288,
an-Nasa’iy: V/ 110, 111, at-Turmudziy: 2679, Ibnu Majah: 2 dan Ahmad:
II/ 247, 258, 313, 328, 447-448, 457, 467, 482, 495, 503, 508, 517.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [46]
Berkata asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Sepantasnya bagi muslim untuk senantiasa mencari apa yang telah datang
dari Allah Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian bersungguh-sungguh di dalam memahaminya dan diam di dalam
keinginan Allah lalu menyibukkan diri di dalam mengamalkannya”. [47]
Ayat dan hadits shahih di atas memerintahkan setiap muslim untuk
mengerjakan berbagai amalan yang telah didatangkan oleh Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dengan ukuran kesanggupannya. Dan juga
memerintahkannya untuk meninggalkan dan menjauhi berbagai larangannya,
sedikitnya ataupun banyaknya. Bahkan jika ia sudah terlanjur mengerjakan
suatu amalan yang dilarang olehnya, maka hendaklah ia bersegera untuk
menghentikan, meninggalkan dan menanggalkannya. Sehingga akhirnya dengan
demikian, kecil kemungkinan baginya untuk menjadi objek ghibah atau ia
telah berusaha untuk meminimalkan dirinya dighibah oleh selainnya.
Ini adalah keuntungan dunia yaitu selamat dari fitnah dan ghibah.
Adapun keuntungan akhirat tentu lebih besar lagi, yaitu ia akan
dijauhkan dan dihindarkan dari neraka yang apinya dahsyat bergejolak dan
dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan berbagai kenikmatan yang
tak mungkin ditolak.
8). Berdoa.
Lalu untuk menyempurnakan usaha di dalam menyikapi musibah ghibah
adalah berdoa. Sebab seringkali terjadi seorang muslim ketika dihujani
berbagai ghibah bahkan fitnah, hatinya menjadi gundah, jiwanya menjadi
resah, lisannya kelu banyak berkeluh kesah, pandangannya nanar tiada
gairah dan langkahnyapun memayah limbung tiada arah. Dikala itulah ia
sangat membutuhkan perhatian dan pertolongan dari Rabbnya ta’ala Yang
Maha kuasa atas segala sesuatu. Maka di bawah ini ada beberapa doa yang
dipanjatkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk
diteladani oleh umatnya.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبيُّ صلى الله
عليه و سلم إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ
بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam apabila dibuat susah oleh suatu perkara, beliau
berdoa, “ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ ” (Wahai
Yang Mahahidup, wahai Yang Mahaberdiri sendiri, dengan rahmat-Mulah aku
meminta bantuan). [HR at-Turmudziy: 3524 dan al-Hakim. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [48]
عن سعد بن أبى وقاص رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: دَعْوَةُ ذِي النُّوْنِ إِذْ دَعَا وَ هُوَ فىِ
بَطْنِ اْلحُوْتِ ((لَا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنتُ
مِنَ الظَّالِمِينَ)) فَإِنَّهُ لَمْ يَدْعُ بِهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ فىِ
شَيْءٍ قَطٌّ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ لَهُ
Dari Sa’d bin Abi Waqqash radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Doanya nabi Yunus ketika ia
berada di dalam perut ikan paus
لَا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
(tiada ilah yang pantas disembah kecuali Engkau, Maha suci Engkau sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zholim). [49]
Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengan doa tersebut tentang
sesuatu perkara apapun melainkan Allah niscaya akan mengabulkannya”.
[HR at-Turmudziy: 3505 dan Ahmad: I/ 170. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [50]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه و سلم يَتَعَوَّذُ مِنْ جَهْدِ اْلبَلاَءِ وَ دَرَكِ الشَّقَاءِ وَ
سُوْءِ اْلقَضَاءِ وَ َشمَاتَةِ اْلأَعْدَاءِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, adalah Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam berlindung dari payahnya cobaan, hinanya kesengsaraan,
buruknya ketetapan (qodlo) dan kegembiraan para musuh. [HR al-Bukhoriy:
6347, 6616, Muslim: 2707 dan an-Nasa’iy: VIII/ 269, 270. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [51]
Jadi mengucap doanya adalah,
اَللَّهُمَّ إِنىِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ اْلبَلاَءِ وَ دَرَكِ الشَّقَاءِ وَ سُوْءِ اْلقَضَاءِ وَ َشمَاتَةِ اْلأَعْدَاءِ
(Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari payahnya cobaan,
hinanya kesengsaraan, buruknya ketetapan (qodlo) dan kegembiraan para
musuh).
عن ابن عباس رضي الله عنهما قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه و سلم يَدْعُوْ: رَبِّ أَعِنىِّ وَ لاَ تُعِنْ عَلَيَّ وَ انْصُرْنىِ
وَ لاَ تَنْصُرْ عَلَيَّ وَ امْكُرْ لىِ وَ لاَ َتمْكُرْ عَلَيَّ
وَاهْدِنىِ وَ يَسِّرْ هُدَايَ إِلَيَّ وَ انْصُرْنىِ عَلَى مَنْ بَغَى
عَلَيَّ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنىِ لَكَ شَاكِرًا لَكَ ذَاكِرًا لَكَ رَاهِبًا
لَكَ مِطْوَاعًا إِلَيْكَ مُخْبِتًا –أَوْ مُنِيْبًا- رَبِّ تَقَبَّلْ
تَوْبَتىِ وَ اغْسِلْ حَوْبَتىِ وَ أَجِبْ دَعْوَتىِ وَ ثَبِّتْ حُجَّتىِ
وَ اهْدِ قَلْبىِ وَ سَدِّدْ لِسَانىِ وَ اسْلُلْ سَخِيْمَةِ قَلْبىِ
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, adalah Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam berdoa, “Wahai Rabbku, tolonglah aku dan janganlah
Engkau tolong (orang yang akan menimbulkan bahaya) atas diriku. Bantulah
aku dan janganlah Engkau bantu (orang yang akan menimbulkan mudlarat)
kepadaku. Buatlah rencana (yang baik) untukku dan janganlah Engkau
membuat rencana (yang buruk) untukku. Berilah aku hidayah dan
mudahkanlah hidayahku itu untukku. Tolonglah aku terhadap orang yang
ingin berbuat zholim kepadaku. Ya Allah, jadikanlah aku orang yang
selalu bersyukur kepada-Mu, berdzikir kepada-Mu, takut kepada-Mu, taat
lagi tunduk kepada-Mu. Ya Rabbku terimalah taubatku, bersihkanlah
dosa-dosaku, kabulkanlah doaku, teguhkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku,
luruskanlah lisanku dan hilangkanlah belenggu hatiku. [HR Abu Dawud:
1510, at-Turmudziy: 3551, Ibnu Majah: 3830, Ahmad: I/ 227 dan al-Hakim.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [52]
Demikian sebahagian doa yang dipanjatkan oleh Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam untuk dicontoh dan diamalkan oleh setiap muslim. Jika
ada seorang muslim ditimpa oleh satu musibah berupa ghibah misalnya,
lalu ia memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan salah
satu doa yang diajarkan oleh rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam
dengan penuh keikhlasan dan harapan untuk dikabulkan, maka mudah-mudahan
Allah Azza wa Jalla akan mengeluarkannya dari kesulitan tersebut dan
menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Atau paling tidak ia telah
mendapatkan pahala dengan berdoa kepada-Nya sebab doa itu adalah ibadah.
Dan tidak ada satu ibadahpun jika dikerjakan oleh seorang muslim karena
Allah ta’ala melainkan orang tersebut akan mendapatkan balasan pahala
yang baik.
Wahai saudara-saudara muslimku tercinta, hendaknya kita tidak
beranggapan bahwa ghibah yang ditimpakan kepada kita itu suatu
keburukan, karena boleh jadi di dalamnya itu banyak sekali
kebaikan-kebaikannya. Hendaklah kita bersikap dengan sikap-sikap yang
baik lagi benar supaya kita dapat memetik hasil yang bermanfaat untuk
kita di dunia dan akhirat.
Mudah-mudah bermanfaat untukku, keluargaku tercinta, para kerabat dan
shahabatku dan seluruh kaum muslimin di tempat manapun dan kapanpun
mereka berada.
Insyaa’ Allah masih berlanjut di GHIBAH 8.
[1] Aysar at-Tafasir: V/ 459.
[2] Mukhtashor Shahih Muslim: 3980, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3980 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 147.
[3]
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsirnya.
Lihat Tafsir alQur’an al-Azhim: IV/ 451, Tazkiyyah an-Nufus halaman 102,
al-Qoul al-Mufid Syarh Kitaa at-Tauhid: II/ 66 dan Fat-h al-Majid Syarh
Kitaab ay-Tauhid halaman 437.
[4] Aysar at-Tafasir: V/ 367.
[5]
Shahih Sunan Ibnu Majah: 3256, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1954, Shahih
al-Jami ash-Shaghir: 4013, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 146 dan
Misykah al-Mashabih: 1566.
[6] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 228.
[7] Bahjah an-Nazhirin: I/ 106.
[8] Syarh Riyadl ash-Shalihin: I/ 131.
[9] Shahih Sunan Ibni Majah: 3250, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 995 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 144.
[10] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 347 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1106.
[11] Aysar at-Tafasir: II/ 516.
[12] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2043, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7957 dan Misykah al-Mashobih: 5302.
[13] Shahih Sunan Abi Dawud: 3932, Shahih Sunan Ibni Majah: 62, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5244 dan Misykah al-Mashobih: 115.
[14] Shahih Sunan Abi Dawud: 3933, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2018 dan Misykah al-Mashobih: 94.
[15] Mukhtashor Shahih Muslim: 1840 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6650.
[16] Bahjah an-Nazhirin: I/ 183.
[17]
Shahih Sunan Ibni Majah: 3375, Shahih Sunan Abi Dawud: 3997, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 1645, 2026, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6518, 6522
dan Misykah al-Mashobih: 5088.
[18] Shahih Sunan Ibni Majah: 3377 dan al-Adab: 178.
[19] Shahih Sunan Abi Dawud: 3997, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5375, Misykah al-Mashobih: 5105.
[20] Ada perubahanan, asalnya: di dalam hadits pertama ini.
[21] Fat-h al-Bariy: X/ 520.
[22] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1644, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7373 dan Misykah al-Mashobih: 5104
[23] Bahjah an-Nazhirin: I/ 112.
[24]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1792, Shahih Sunan Abi Dawud: 3999, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 2746 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2491
[25] Shahih al-Adab al-Mufrad: 184, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 693 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1375.
[26] Shahih Sunan Abi Dawud: 4000, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 694 dan Misykah al-Mashobih: 5114.
[27] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: I/ 499.
[28] Aysar at-Tafasir: IV/ 618.
[29] Shahih Sunan Ibni Majah: 3397 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 948.
[30] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: III/ 363.
[31] Aysar at-Tafasir: III/ 582.
[32] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: III/ 592.
[33] Aysar at-Tafasir: IV/ 274.
[34] Mereka adalah orang arab. Atau orang-orang yang buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis.
[35]
Orang yang berserah diri kepada Allah sebab merasa qona’ah (nrimo)
dengan yang sedikit dan sabar dengan apa yang tidak disukai. (Fat-h
al-Bariy: VIII/ 586).
[36] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 1003 dan Fat-h al-Bariy: IV/ 342-343, VIII/ 585.
[37] Shahih Sunan Abi Dawud: 3442, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 98 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 770.
[38] Fiq-h ad-Da’wah wa at-Tazkiyyah an-Nufus oleh Husain bin Audah al-Awayisyah halaman 463.
[39] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3769 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1911.
[40] Mukhtashor Shahih Muslim: 1763 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5055.
[41] Tazkiyah an-Nufus halaman 69 oleh al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaliy, al-‘Allamah Ibnu al-Qoyyim dan al-Imam al-Ghazaliy.
[42] Tazkiyah an-Nafus halaman 69.
[43] Tafsir al-Qur’an al-Azhim: IV/ 411.
[44] Aysar at-Tafasir: V/ 316.
[45]
Bahjah an-Nazhirin: I/ 233 dan semakna apa yang dikatakan oleh
al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 404.
[46]
Mukhtashor Shahih Muslim: 639, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2456, 2457,
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2158, Shahih Sunan Ibni Majah: 2, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 91, 3430, Silisilah al-Ahadiis ash-Shahihah: 850,
Irwa’ al-Ghalil: 155, 314 dan Misykah al-Mashobih: 2505.
[47] Bahjah an-Nazhirin: I/ 237.
[48] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2796, Shahih al-Kalim ath-Thayyib: 119 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4791.
[49] QS. al-Anbiya’/ 21: 87.
[50]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2785, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3383,
Shahih al-Kalim ath-Thayyib: 123 dan Misykah al-Mashobih: 2292.
[51] Mukhtashor Shahih Muslim: 1912, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5066, 5067 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4903.
[52]
Shahih Sunan Abii Dawud: 1337, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2816, Shahih
Sunan Ibni Majah: 3088, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3485 dan Misykah
al-Mashobih: 2488.