MARI BERSILATURRAHMI..!!
بسم الله الرحمن الرحيم
Banyak sekali dijumpai
sekarang ini, di antara kaum muslimin yang terhalang dan tercegah dari
saling bersilaturrahmi, dengan berbagai sebab. Telah menjadi rahasia
umum bahwa didapati antar tetangga sesama satu komplek tidak saling
mengenal satu sama lainnya. Jarang terjadi di antara mereka saling
berkunjung untuk mempererat hubungan antar tetangga, antar warga dan
antar sesama umat Islam. Yang saling mengenal, biasanya hanya antara
pembantu dan supir yang bekerja pada mereka. Itupun jika mereka sebagai
majikan tidak melarang para pembantu dan supir untuk saling mengenal
sesama pembantu rumah tangga.
Bukan hanya kepada sesama tetangga dan warga, terkadang banyak juga
yang sulit bersilaturrahmi dengan orang tua, saudara, kerabat ataupun
shahabat. Mungkin disebabkan kesibukan mereka dalam urusan dunia
sehingga bersilaturrahmi dengan semuanya itu jadi sulit dan bahkan telah
menjadi barang langka. Di antara mereka ada yang beranggapan, “Cukup
bagi kami bersilaturrahmi dengan tekhnologi canggih, semisal telepon, HP
dengan kontak suara dan pesan singkat, twitter, fesbuk dan selainnya.
Kami bisa bersilaturrahmi dan bertemu dengan semuanya itu hanya pada
waktu-waktu tertentu saja semisal undangan pernikahan, acara kematian
dan lebaran yang merupakan acara tahunan”. Subhanallah..
Silaturrahmi itu seakan hanya dilaksanakan dan bahkan seolah telah
menjadi budaya setiap memasuki hari idul fithri atau yang lebih dikenal
dengan lebaran. Tak sedikit orang yang pulang kampung/ mudik
hanya untuk bertemu dengan sanak famili, kerabat ataupun shahabat dalam
rangka lebaran bersama dan saling bersilaturrahmi dengan sesama mereka.
Begitupun di kota-kota besar, banyak di antara mereka yang membuat
acara-acara setelah lebaran untuk saling bersilaturrahmi dengan aneka
acara dan di aneka tempat. Sedangkan pada hakikatnya, bersilaturrahmi
itu tidak terikat waktu dan tempat. Dimana ada kesempatan, waktu luang
meskipun dadakan dan ditunjang pula oleh kesehatan dan keuangan meskipun
pas-pasan maka bersilaturrahmilah dengan seukuran kesanggupan dan
kemampuan.
Hal tersebut telah terpampang jelas dan telah menjadi pemandangan
yang biasa dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin, meskipun tidak
semuanya seperti itu. Boleh jadi sikap dan perilaku seperti itu telah
menjadikan mereka sebagai orang yang memutuskan silaturrahmi atau paling
tidak mendekati perbuatan tersebut.
Padahal memutuskan silaturrahmi itu telah dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-hadits yang shahih. Bahkan
setiap muslim diperintahkan untuk senantiasa menyambung silaturrahmi
kepada setiap manusia, khususnya kepada sesama muslim, sebagaimana telah
datang dalil-dalilnya di dalam alqur’an dan hadits yang tsabit, di
antaranya adalah,
وَ الَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَهُمُ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَ يَخَافُونَ سُوءَ اْلحِسَابِ
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan
supaya dihubungkan (yakni silaturahmi) dan mereka takut kepada Rabbnya
dan takut kepada hisab yang buruk. [QS ar-Ra’d/ 13: 21].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ayat ini
datang meliputi beberapa ayat yang berisi pemberitaan Allah swt tentang
orang yang bersifat dengan sifat-sifat terpuji ini. Bahwa mereka akan
mendapatkan tempat kesudahan yang baik yaitu balasan dan pertolongan di
dunia dan akhirat. Di antaranya adalah bahwa mereka menyambung sesuatu
yang telah diperintahkan oleh Allah untuk disambung yaitu silaturrahmi
kepada kerabat dan berbuat baik kepada mereka, orang-orang fakir dan
miskin serta melakukan perbuatan ma’ruf”. [Bahjah an-Nazhirin: I/
390].
عن زرارة بن أوفى حَدَّثَنىِ عَبْدُ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ
قَالَ: لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم اْلمـَدِيْنَةَ
انْجَفَلَ النَّاسُ قِبَلَهُ وَ قِيْلَ: قَدْ قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم قَدْ قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ قَدْ قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ
ثَلاَثًا فَجِئْتُ فىِ النَّاسِ لِأَنْظُرَ فَلَمَّا تَبَيَّنْتُ وَجْهَهُ
عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ فَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ
سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا
السَّلاَمَ وَ أَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَ صِلُوا اْلأَرْحَامَ وَ صَلُّوا
بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
Dari Zurarah bin Awfa, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Salam
berkata, “Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, manusia berlari ke
arahnya”. Dikatakan, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah datang, Rosulullah telah
datang, Rosulullah telah datang !!” (tiga kali). Lalu akupun datang
bersama manusia untuk melihatnya. Ketika telah jelas (aku lihat)
wajahnya, aku tahu bahwa wajahnya itu bukanlah wajah pendusta. Dan yang
pertama-tama aku dengar dari ucapannya adalah, “Wahai manusia,
sebarluaskanlah salam, berikanlah makan, sambunglah silaturrahmi dan
sholatlah kalian di waktu malam ketika manusia sedang tidur terlelap
niscaya kalian akan masuk ke dalam surga dengan selamat”. [HR Ibnu Majah: 3251, ad-Darimiy: I/ 340, Ahmad: V/
451 dan al-Hakim: 7359. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat
Shahih Sunan Ibni Majah: 2630, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7865,
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 569 dan Misykah al-Mashobih: 1907].
Hadits di atas dengan jelas menggambarkan bahwa di antara keutamaan
menyambung silaturrahmi adalah pelakunya akan dimasukkan ke dalam surga,
yang disejajarkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan menyebarluaskan salam, memberi
makan dan sholat malam ketika orang lain tertidur pulas. Maka setiap
muslim hendaknya memiliki ambisi untuk masuk ke dalam surga dengan cara
yang dibenarkan dan dianjurkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yakni seorang manusia
yang telah dikenal sebagai orang suka berkata benar dan bukan pendusta
sebagaimana telah dikatakan oleh Abdullah bin Salam radliyallahu anhu. Di antaranya
adalah dengan cara menyambung silaturrahmi meskipun kepada kerabat,
shahabat ataupun sejawat yang telah memutuskannya darinya dan kendatipun
hanya dengan sekedar mengucapkan salam kepadanya.
عن سويد بن عامر بن يزيد الأنصاري عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: بُلُّوْا أَرْحَامَكُمْ وَ لَوْ بِالسَّلاَمِ
Dari Suwaid bin Amir bin Yazid al-Anshoriy dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sambunglah (silaturrahmi) terhadap kerabat kalian walaupun hanya dengan
mengucapkan salam”. [HR Waki’, Ibnu Hibban,
Ibnu Asakir, al-Bazzar dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2838 dan Silsilah al-Ahadiits
ash-Shahihah: 1777].
Begitu pula di antara keutamaan lainnya adalah dilapangkan rizki bagi
orang yang melakukannya, ditunda ajalnya atau dipanjangkan usianya,
dicintai oleh keluarganya dan juga dijauhkan dari neraka. Maka bagi
setiap muslim yang ingin meraih dan mendapatkan keutamaan-keutamaan
tersebut hendaknya senantiasa menyambung silaturrahmi, baik kepada
kerabat dekat ataupun jauh dan sahabat lekat ataupun rapuh.
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فىِ رِزْقِهِ وَ
يُنْسَأُ لَهُ فىِ أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya
(dipanjangkan umurnya), maka hendaklah menyambung silaturrahmi”. [HR al-Bukhoriy: 5985, 5986 juga di dalam al-Adab
al-Mufrad: 56, 57, Muslim: 2557 dan Abu Dawud: 1693. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 41, 42, Shahih Sunan
Abu Dawud: 1485, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5956, 6291 dan Misykah
al-Mashobih: 4918. Selain dari Anas radliyallahu anhu, hadits ini juga diriwayatkan
dari Abu Hurairah radliyallahu anhu].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Silaturrahmi merupakan penyebab di dalam kelapangan dan keluasan rizki
serta berkah di dalam usia”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 395].
Berkata Ibnu Umar radliyallahu anhuma, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Rabbnya dan
menyambung silaturrahmi niscaya akan ditunda ajalnya, melimpah hartanya
dan disukai keluarganya”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di
dalam al-Adab al-Mufrad: 58. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat
Shahih al-Adab al-Mufrad: 43].
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: تَعَلَّمُوْا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُوْنَ بِهِ
أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فىِ اْلأَهْلِ مَثْرَاةٌ
فىِ اْلمـَالِ مَنْسَأَةٌ فىِ اْلأَثَرِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Pelajarilah nasab
kalian, sesuatu yang dapat menyambung silaturrahmi. Sesungguhnya
silaturrahmi itu adalah (menimbulkan) kecintaan pada keluarga,
kelimpahan dalam harta dan menambah usia”. [HR at-Turmudziy: 1979, Ahmad: II/ 374 dan al-Hakim: 7366. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1612,
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 276 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
2965].
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم : اعْرِفُوْا أَنْسَابَكُمْ تَصِلُوْا أَرْحَامَكُمْ
فَإِنَّهُ لاَ قُرْبَ بِالرَّحِمِ إِذَا قُطِعَتْ وَ إِنْ كَانَتْ
قَرِيْبَةً وَ لاَ بُعْدَ بِهَا إِذَا وُصِلَتْ وَ إِنْ كَانَتْ بَعِيْدَةً
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
“Kenalilah nasab kalian yang kalian dapat menyambung silaturrahmi.
Karena sesungguhnya tiada kedekatan terhadap kerabat apabila
silaturrahmi itu telah diputus meskipun terhadap kerabat dekat. Dan juga
tidak ada jarak yang jauh terhadap kerabat apabila silaturrahmi telah
disambung kendatipun terhadap kerabat jauh. [HR Abu Dawud ath-Thoyalisiy di dalam kitab musnadnya dan al-Hakim: 308,
7365. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, lihat Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 277 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1051].
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan umatnya untuk mempelajari,
mengenali dan menjaga nasab atau garis keturunan seseorang agar ia dapat
mengetahui hubungan kekerabatannya dengan yang lainnya. Yang dengan
itu, ia dapat senantiasa melakukan silaturrahmi kepada kerabatnya dikala
memiliki waktu luang, rizki lapang dan kesehatan yang menunjang di
setiap waktu dan kesempatan. Dan dengannya pula dapat menjadikan kerabat
yang jauh menjadi dekat sebagaimana jika silaturrahmi itu telah diputus
dapat menjadikan kerabat dekat menjadi jauh.
عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أَنَّ أَعْرَابِيًّا
عَرَضَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فىِ مَسِيْرِهِ فَقَالَ:
أَخْبِرْنىِ مَا يُقَرِّبُنىِ مِنَ اْلجَنَّةِ وَ يُبَاعِدُنىِ مِنَ
النَّارِ قَالَ: تَعْبُدُ اللهَ وَ لاَ تُشْرَكُ بِهِ شَيْئًا وَ تُقِيْمُ
الصَّلاَةَ وَ تُؤْتىِ الزَّكَاةَ وَ تَصِلُ الرَّحِمَ
Dari Abu Ayyub al-Anshoriy radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang Arab Baduwiy
datang menghadap kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam perjalanannya. Lalu berkata,
“Beritakan kepadaku tentang sesuatu yang dapat mendekatkanku ke surga
dan menjauhkanku dari neraka!”. Beliau bersabda, “Beribadahlah kepada
Allah, tidak berbuat syirik kepada-Nya, menunaikan sholat, membayar
zakat dan menyambung silaturrahmi” [HR
al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 49, di dalam kitab shahihnya:
1396, 5983 dan Muslim: 13. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat
Shahih al-Adab al-Mufrad: 35 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 746].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Tauhid,
menegakkan sholat, membayar zakat dan menyambung silaturrahmi adalah di
antara penyebab yang menetapkan masuk ke dalam surga dan jauh dari
neraka”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 403].
Demikian sebahagian dalil dari sekian banyak dalil serta
penjelasannya tentang perintah menyambung silaturrahmi dan beberapa
keutamaannya. Namun berapa banyak di antara umat ini yang enggan dan
berat hati di dalam menjalani dan melakoni sikap dan sifat yang terpuji
ini. Bahkan tak sedikit dari mereka yang lebih suka memutuskan
silaturrahmi dari kerabat dan sahabatnya demi gengsi dan harga diri.
Di antara sikap memutuskan silaturrahmi adalah enggan mengunjungi
saudaranya meskipun saudaranya itu sedang mendapat mushibah dan bencana,
tidak menjawab sapaannya dikala disapa apalagi berinisiatif menegur dan
menyapanya disaat bertemu muka, berpaling wajah ketika bersua dengannya
di suatu tempat atau jalan yang ia tidak dapat menghindarinya dan tidak
maumembalas salam yang dialamatkan kepadanya apalagi sampai
mengucapkannya, dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang pula dijumpai
perilaku mengganggu saudaranya dengan berbagai cara melalui lisan dan
tangannya. Sehingga sikap jelek dan tercela ini terkadang akan sangat
membekas di dalam kehidupan seseorang maupun masyarakat.
Padahal dalil-dalil alqur’an dan hadits banyak memperbincangkan
tentang larangan memutuskan silaturrahmi dan kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkan darinya, di antaranya sebagai berikut,
الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَ
يَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَ يُفْسِدُونَ فِى
اْلأَرْضِ أَولَئِكَ هُمُ اْلخَاسِرُونَ
(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka
bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. [ QS. al-Baqarah/2: 27].
وَ الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ
وَ يَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَ يُفْسِدُونَ فِى
اْلأَرْضِ أَولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَ لَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diteguhkan dan
memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan
mengadakan kerusakan di muka bumi, mereka itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). [QS. Ar-Ra’d/
13: 25].
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِى
اْلأَرْضِ وَ تُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ
اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَ أَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di
muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka Itulah
orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan telinga mereka dan
dibutakan penglihatan mereka. [QS. Muhammad/ 47: 22-23].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah swt
telah mengabarkan bahwasanya orang yang berpaling dari janji Allah
yakni dari aturan-aturan syar’iy dan hukum-hukum Islam maka ia kembali
ke masa orang-orang jahil di jaman jahiliyah berupa menumpahkan darah
dan memutuskan silaturrahmi. Yaitu tidak berbuat baik kepada kerabat
dalam perkataan, perbuatan dan pemberian harta. Oleh karena itulah Allah
Azza wa Jalla telah melarang perbuatan membuat kerusakan di muka bumi
secara umum dan khususnya memutuskan silaturrahmi”. [Bahjah
an-Nazhirin: I/ 407].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ini merupakan larangan
dari membuat kerusakan di muka bumi umumnya dan dari memutuskan
silaturrahmi khususnya. Bahkan Allah ta’ala telah memerintah supaya
melakukan perbaikan di muka bumi dan menyambung silaturrahmi yaitu
berbuat baik kepada kerabat dalam ucapan, perbuatan dan mendermakan
harta”. [Tasir al-Qur’an al-Azhim: IV/ 217].
عن جبير بن مطعم عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ قَاطِعٌ
Dari Jubair bin Muth’im dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk ke
dalam surga, orang yang memutuskan (silaturahmi)”. [HR al-Bukhoriy: 5984 dan juga di dalam al-Adab al-Mufrad: 64,
Muslim: 2556, Abu Dawud: 1696, at-Turmudziy: 1909 dan Ahmad: III/ 14,
IV/ 80, 83, 84, 399. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat
Mukhtashor Shahiih Muslim: 1765, Shahih al-Adab al-Mufrad: 45, Shahih
Sunan Abi Dawud: 1487, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1559, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 7671dan Ghoyah al-Maram: 407].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Barangsiapa yang menghalalkan pemutusan silaturrahmi padahal ia tahu
akan keharamannya, maka ia tidak akan masuk ke dalam surga
selama-lamanya”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 410].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Barangsiapa yang memutuskan (silaturrahmi) dari para kerabatnya yang
dlu’afa (lemah), menghajr (memboikot atau menjauhi) mereka,
bersikap sombong kepada mereka dan tidak menyambung (silaturrahmi)
kepada mereka dengan cara bersikap dan berbuat baik kepada mereka,
lantaran ia adalah orang kaya sedangkan mereka adalah kaum fuqoro
(miskin). Maka ia adalah orang yang masuk di dalam ancaman ini dan
diharamkan masuk surga kecuali jika ia bertaubat kepada Allah Azza wa
Jalla dan berbuat baik kepada mereka”. [Al-Kaba’ir halaman 66].
Lihat betapa berat dan keras ancaman Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang
yang memutuskan silaturrahmi dalam keadaan mengetahui akan larangannya,
yakni ia tidak akan masuk ke dalam surga. Jika ia telah ditetapkan jauh
dari surga lagi tidak memasukinya, maka tidak ada tempat yang pantas
baginya melainkan neraka, dan neraka adalah seburuk-buruk tempat
kembali. Bahkan dosa yang paling patut mendapatkan balasan segera di
dunia ini di samping siksaan yang akan diperoleh oleh pelakunya di
akhirat nanti adalah perbuatan memutuskan silaturrahmi.
عن أبي بكرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
: مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ
اْلعُقُوْبَةَ فىِ الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُهُ لَهُ فىِ اْلآخِرَةِ
مِنَ اْلبَغْيِ وَ قَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
Dari Abu Bakrah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak ada
dosa yang lebih pantas disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya
di samping apa yang akan didapatnya pada hari kiamat nanti dari pada
perbuatan aniaya dan memutuskan silaturahmi”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 67, Abu Dawud: 4902,
at-Turmudziy: 2511, Ibnu Majah: 4211, Ahmad: V/ 36, 38, dan al-Hakim:
3410, 7371, 7372. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih
al-Adab al-Mufrad: 48, Shahih Sunan Abi Dawud: 4098, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2039, Shahih Sunan Ibni Majah: 3394, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 5704, 5705 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 918, 97].
Disamping itu memutuskan silaturrahmi adalah salah satu dari penyebab
tertolaknya setiap muslim dari terkabulnya doa kepada Allah Jalla
Jalaaluh, sebagaimana dalil berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ
بِإِ ْثمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيْلَ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ: يَقُوْلُ: قَدْ دَعَوْتُ وَ
قَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيْبُ لىِ فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ
وَ يَدَعُ الدُّعَاءَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda,
“Senantiasa seorang hamba itu akan dikabulkan (doanya) selama ia tidak
berdoa dengan perbuatan dosa atau memutuskan silaturrahmi dan selama ia tidak isti’jal”.
Ditanyakan kepada Beliau, “Apakah isti’jal (minta disegerakan) itu
wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab,” Ia berkata, “Sungguh aku telah
berdoa, sungguh aku telah berdoa namun aku melihat tidak dikabulkannya
doaku. Lalu ketika itu ia menghentikan dan meninggalkan doa”. [HR Muslim: 2735. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1877 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 7705].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُوْ اللهَ بِدُعَاءٍ إِلاَّ
اسْتُجِيْبَ لَهُ فَإِمَّا أَنْ يُعَجَّلَ لَهُ فىِ الدُّنْيَا وَ إِمَّا
أَنْ يَدَّخِرَ لَهُ فىِ اْلآخِرَةِ وَ إِمَّا أَنْ يُكَفَّرَ عَنْهُ مِنْ
ذُنُوْبِهِ بِقَدْرَ مَا دَعَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِ ْثمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ
رَحِمٍ أَوْ يَسْتَعْجِلْ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ كَيْفَ
يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: يَقُوْلُ: دَعَوْتُ رَبىِّ فَمَا اسْتَجَابَ لىِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
“Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah dengan suatu doa melainkan
niscaya akan dikabulkan. Adakalanya disegerakan untuknya di dunia,
adakalanya disimpan untuknya pada hari akhir dan adakalanya pula akan
dihapuskan sebahagian dosanya darinya, sesuai dengan ukuran doanya,
selama ia tidak berdoa dengan perbuatan dosa, memutuskan silaturrahmi
dan tidak pula isti’jal”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, bagaimana
cara isti’jal (minta disegerakan) itu?”. Beliau menjawab, “Ia berkata,
“Aku berdoa kepada Rabbku namun tidak dikabulkan”. [HR at-Turmudziy: 3605 dan Ahmad: III/ 18. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2852, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 5637 dan Misykaah al-Mashobih: 2259].
Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta'ala akan menerima
dan mengabulkan doa seorang muslim, adakalanya disegerakan di dunia ini
yakni diberikan sesuatu yang ia kehendaki atau dipalingkan dari
keburukan yang sebanding dengan itu di dunia. Atau adakalanya disimpan
untuknya sebagai pahala atau dihapuskan dari sebahagian dosanya pada
hari kiamat. Hal tersebut selama ia tidak berdoa dengan perbuatan dosa,
tidak memutuskan silaturrahmi dan tidak pula minta disegerakan untuk
dikabulkan.
Jadi memutuskan silaturrahmi itu termasuk dari perkara yang menyebabkan tertolak atau tidak diterimanya doa seorang muslim.
Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan umatnya untuk senantiasa
menyambung silaturrahmi kendatipun kepada orang yang memutuskannya
darinya, bahkan inilah yang disifati dengan al-Washil (orang
yang menyambung silaturrahmi). Janganlah setiap mereka mudah terbawa
emosi sesaat sehingga menjadi sesat lantaran menyikapi saudaranya yang
sedang kalap berat. Namun hendaklah menyikapinya dengan bijak dan
cermat, tidak terlalu menanggapi setiap untaian kata yang menghujat dan
sikap kasar yang mencuat. Dan yang terpenting, hendaklah selalu
menyambung silaturrahmi dan bersikap baik kepadanya, memaafkan setiap
sikap buruk yang ditujukan kepadanya dan tetap bermurah hati kepadanya
meskipun ia tidak peduli dan tidak tahu berterimakasih serta balas jasa.
عن عَلِيٍّ قَالَ: َلمــَّا ضَمَمْتُ إِلَيَّ سِلاَحَ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَجَدْتُ فىِ قَائِمِ سَيْفِ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم رِقْعَةً فِيْهَا: صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَ
أَحْسِنْ إِلىَ مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ وَ قُلِ اْلحَقَّ وَ لَوْ عَلىَ
نَفْسِكَ
Dari Ali radliyallahu anhu berkata, “Ketika aku memegang senjata (pedang) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam aku dapati pada gagang pedang Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam terdapat riq’ah
(tulisan), “Sambunglah silaturahmi kepada orang yang memutuskannya
darimu, berbuat baiklah kepada orang yang bersikap buruk kepadamu dan
katakanlah kebenaran meskipun terhadap dirimu sendiri”. [HR Abu Amr bin as-Samak dan Ibnu an-Najar. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3769
dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1911].
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِنَّ لىِ قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَ يَقْطَعُوْنىِ وَ أُحْسِنُ
إِلَيْهِمْ وَ يُسِيْئُوْنَ إِلَيَّ وَ أَحْلُمُ عَنْهُمْ وَ يَجْهَلُوْنَ
عَلَيَّ فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ
اْلمـَلَّ وَ لاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيْرٌ عَلَيْهِمْ مَا
دُمْتَ عَلىَ ذَلِكَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki berkata,
“Wahai Rosulullah, sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku menyambung
silaturahmi kepada mereka tetapi mereka memutuskannya, aku berbuat baik
kepada mereka namun mereka berlaku buruk kepadaku dan aku bermurah hati
kepada mereka tapi mereka tidak peduli kepadaku”. Beliau bersabda, “Jika
engkau sebagaimana yang engkau ucapkan, maka seolah-olah engkau
menyuapkan debu panas kepada mereka. Senantiasa akan ada penolong bagimu
dari Allah untuk menghadapi mereka selama engkau seperti itu”. [HR Muslim: 2558. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1763 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 5055].
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم قَالَ : لَيْسَ اْلوَاصِلُ بِاْلمـُكَافِئِ وَ لَكِنَّ
اْلوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Dari Abdullah bin Amr radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang
menyambung (silaturrahmi) itu bukanlah yang orang membalasnya. Tetapi
orang yang menyambung (silaturrahmi) itu adalah orang yang apabila
diputus (silaturrahmi)nya ia akan (tetap) menyambungnya”. [HR al-Bukhoriy: 5991, di dalam al-Adab al-Mufrad:
68, Abu Dawud: 1697, at-Turmudziy: 1908 dan Ahmad: II/ 163, 190, 193.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad:
49, Shahih Sunan Abi Daawud: 1488, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1558,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5385 dan Ghoyah al-Maram: 408].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Silaturrahmi secara syar’iy adalah engkau menyambung (silaturrahmi)
kepada orang yang memutuskannya darimu, memaafkan orang yang
menganiayamu dan memberi kepada orang yang telah menahan (pemberian)
kepadamu, bukannya hanya sekedar menyambung (silaturrahmi berdasarkan)
imbalan dan balasan. Jika yang demikian itu terjadi dari yang mempunyai
hubungan kekerabatan tanpa paksaan dan perbuatan aniaya maka itu adalah
karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah adalah Pemilik karunia yang agung”. [Bahjah an-Nazhirin: I/
397-398].
Sedangkan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Hadits ini menerangkan tentang keutamaan menyambung
silaturrahmi. Bahwasanya orang yang menyambung (silaturrahmi) itu
bukanlah orang yang hanya sekedar untuk membalas (silaturrahmi), yang
apabila kerabat-kerabatnya menyambungnya maka iapun menyambungnya pula.
Tetapi orang yang menyambung silaturrahmi itu adalah orang yang apabila
diputus silaturrahminya maka ia akan tetap menyambungnya. Maka
silaturrahminya itu hanya semata-mata karena Allah Subhanahu wa ta'ala bukan dalam
rangka balasan bagi hamba-hamba Allah dan bukan pula lantaran untuk
memperoleh pujian di sisi manusia”. [Syarh Riyadl ash-Shalihin: II/
242].
Dan masih banyak lagi dalil yang menerangkan akan perintah dan
keutamaan silaturrahmi dan juga dalil tentang larangan akan bahaya dan
keburukan dari memutuskannya.
Maka setiap muslim hendaklah senantiasa menyambung silaturrahmi
kepada kerabat, shahabat atau sejawatnya setiap ada waktu dan kesempatan
meskipun terhadap saudaranya yang telah memutuskan silaturrahmi
darinya. Dan menjaga amalan dan sikap yang dapat menumbuhkan keinginan
untuk selalu saling bersilaturrahmi, misalnya berupa saling mengucapkan
salam, tegur sapa, saling memberi hadiah dan lain sebagainya.
Dan juga hendaklah ia menjauh dan menghindarkan diri dari perbuatan
memutuskan silaturrahmi dan juga segala perilaku yang dapat menyebabkan
terjadinya pemutusan silaturrahmi. Misalnya berupa; saling mencela,
mengghibah, memfitnah, saling debat untuk mencari menang-kalah bukan
benar-salah dan lain sebagainya. Sebab hal tersebut akan menyebabkannya
celaka di dunia dan sengsara di akhirat.
Semoga bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan…