APA YANG DILAKUKAN TERHADAP ORANG YANG TELAH MATI???
بسم الله الرحمن الرحيم
Adanya pensyariatan penguburan jenazah meskipun jenazah orang kafir
Begitu pula, faidah penting yang dapat dipetik dari hadits al-Barra’ bin ‘Azib radliyallahu anhu [1]
di atas adalah tentang perilaku dan pensyariatan Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum di dalam
menguburkan jenazah orang yang telah dipastikan kematian atasnya. Ajaran
Islam dengan gamblang telah mensyariatkan penguburan mayit setelah
memandikan, mengkafani dan menyolatkannya, jika si mayit itu seorang
muslim yang baik keislamannya. Namun jika si mayit itu orang kafir maka
cukup dengan dikuburkan saja, tidak perlu dimandikan, dikafani apalagi
disholatkan. Tiada keraguan sedikitpun terhadap aturan semuanya itu.
Apalagi Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah menyebutkan penguburan bagi
mayit di dalam beberapa ayat-Nya, di antaranya adalah,
مِن نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ ثُمَّ السَّبِيلَ يَسَّرَهُ ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian
Dia memudahkan jalannya. Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke
dalam kubur. [QS. Abasa/ 90: 19-21].
Hal ini juga telah disebutkan dan diperintahkan oleh Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah tsabit
lagi shahih darinya, sebagaimana di dalam banyak dalil hadits, di
antaranya adalah,
Dari Hisyam bin Amir radliyallahu anhu berkata, Ketika selesai perang
Uhud, ada beberapa kaum muslimin yang terbunuh dan ada beberapa lainnya
yang terluka. Kami berkata, “Wahai Rosulullah! berat rasanya bagi kami,
jika kami membuat liang lahad untuk setiap jenazah. Maka apa yang
hendak engkau titahkan kepada kami. Maka Beliau Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
احْفِرُوْا وَ أَوْسِعُوْا وَ أَعْمِقُوْا وَ أَحْسِنُوْا وَ
ادْفِنُوْا اْلاثْنَيْنِ وَ الثَّلاَثَةَ فىِ اْلقَبْرِ وَ قَدِّمُوْا
أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا قَالَ: فَكَانَ أَبىِ ثَالِثَ ثَلاَثَةٍ وَ كَانَ
أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا فَقُدِّمَ
“Galilah lubang, luaskan, perdalam dan baguskan. Lalu kuburkan dua
atau tiga orang di dalam satu lubang kubur. Selanjutnya dahulukan orang
yang paling banyak (hafalan) alqur’annya”. Berkata (Hisyam), “Ayahkupun
dikuburkan bertiga dalam satu liang, namun ia adalah orang yang paling
banyak (hafalan) alqur’annya maka ia didahulukan”. [HR Abu Dawud: 3215,
an-Nasa’iy: IV/ 81, at-Turmudziy: 1713, Ahmad: IV/ 19, 20, Ibnu Majah:
1560 dan al-Baihaqiy]. [2]
Demikian perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada para
shahabat radliyallahu anhum untuk menguburkan para syuhada Uhud ke
dalam liang lahad, dengan memasukkan ke dalamnya satu, dua atau tiga
jenazah yang didahulukan penguburannya orang yang lebih banyak hafalan
alqur’annya. Hal ini biasanya dilakukan kepada muslim yang telah mati
itu setelah dimandikan, dikafani dan disholatkan. Namun lantaran mereka
yang dikuburkan tersebut matinya adalah mati syahid karena terbunuh
dalam peperangan maka cukup mereka dikuburkan dengan pakaian yang mereka
kenakan meskipun dalam keadaan berlumuran darah, tanpa dimandikan,
dikafani dan disholatkan, sebagai bentuk kehormatan dan kemuliaan bagi
mereka. Hal ini telah dijelaskan di dalam dalil berikut ini,
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أَنَّ شُهَدَاءَ أُحُدٍ لَمْ
يُغَسَّلُوْا وَ دُفِنُوْا بِدِمَائِهِمْ وَ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
[غَيْرُ حَمْزَةَ]
Dari Anas radliyallahu anhu, bahwasanya para syuhada perang Uhud,
(jenazah) mereka tidak dimandikan, mereka dikuburkan dengan darah-darah
mereka dan mereka tidak disholatkan (kecuali Hamzah). [HR Abu Dawud:
3135, Ahmad: III/ 128, al-Hakim, Ibnu Sa’d, at-Turmudziy: 1036 dan Ibnu
Majah: 1514 dari Jabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[3]
Begitu pula jika ada orang kafir, musyrik atau sejenisnya dari
kalangan non muslim yang mati maka merekapun dikuburkan, tetapi tanpa
dimandikan, dikafani dan disholatkan, sebagai bentuk kehinaan bagi
mereka.
عن علي قال: َلمـَّا تُوُفِّيَ أَبُوْ طَالِبٍ أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ: إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ
الضَّالَّ قَدْ مَاتَ فَمَنْ يُوَارِيْهِ قَالَ: اذْهَبْ فَوَارِهِ ثُمَّ
لاَ تُحْدِثْ شَيْئًا حَتىَّ تَأْتِيَنىِ فَقاَلَ: إِنَّهُ مَاتَ مُشْرِكًا
فَقَالَ: اذْهَبْ فَوَارِهِ قَالَ: فَوَارَيْتُهُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ قَالَ:
اذْهَبْ فَاْغتَسِلْ ثُمَّ لاَ تُحْدِثْ شَيْئًا حَتىَّ تَأْتِيَنىِ
قَالَ: فَاْغَتَسَلْتُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ قَالَ: فَدَعَا لىِ بِدَعَوَاتٍ
مَا يَسُرُّنىِ أَنَّ لىِ بِهَا حُمُرَ النَّعَمِ وَ سُوْدَهَا قَالَ: وَ
كَانَ عَلِيٌّ إِذَا غَسَلَ اْلمـَيِّتَ اغْتَسَلَ
Dari Ali radliyallahu anhu bercerita, ketika Abu Thalib mati, aku
mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu aku berkata,
“Sesungguhnya pamanmu yang tua renta lagi sesat itu telah mati, maka
siapakah yang akan menguburkannya?”. Beliau bersabda, “Pergi dan
kuburkanlah!, lalu janganlah engkau mengerjakan apapun sampai engkau
mendatangiku”. Dia (yaitu Ali) berkata, “Sesungguhnya ia meninggal dunia
masih dalam keadaan musyrik”. Beliau bersabda, “Pergi dan
kuburkanlah!”. Lalu ia berkata, maka akupun menguburkannya lalu
mendatangi Beliau. Beliau bersabda, “Pergi dan mandilah!, lalu janganlah
engkau melakukan apapun sehingga engkau mendatangiku”. Ia berkata, maka
akupun mandi lalu mendatangi Beliau. Ia berkata, “Lalu Beliau
mendoakanku dengan beberapa doa yang menyenangkanku bahwa seakan aku
memiliki unta yang paling bagus”. Berkata (perawi hadits), Ali
adliyallahu anhu biasanya setelah memandikan jenazah beliau segera
mandi. [HR Ahmad: I/ 97, 103, 130, Abu Dawud: 3214, an-Nasa’iy: IV/
79-80 dan al-Baihaqiy]. [4]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil hadits lainnya. Bahkan dalam
pembuatan lubang kubur tersebut disyariatkan untuk membuat liang lahad,
untuk menempatkan jenazah di dalamnya.
عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اللَّحْدُ لَنَا وَ الشَّقُّ لِغَيْرِنَا
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Liang lahad adalah cara kita
adapun pembelahan tanah adalah cara selain kita”. [HR Abu Dawud: 3208,
an-Nasa’iy: IV/ 80, at-Turmudziy: 1045, Ibnu Majah: 1554, 1555,
ath-Thahawiy dan al-Baihaqiy]. [5]
عن أنس بن مالك قال: لَمـَّا النَّبِيُّ صلى الله عليه و
سلم كَانَ بِاْلمـَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَلْحَدُ وَ آخَرُ يَضْرَحُ
فَقَالُوْا: نَسْتَخِيْرُ وَ نَبْعَثُ إِلَيْهِمَا فَسَبَقَ صَاحِبُ
اللَّحْدِ فَلَحَدُوْا للِنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhuma berkata, ketika Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam wafat, di kota Madinah ada seseorang yang
biasa menggali liang lahad dan ada yang lainnya yang biasa menggali
liang secara membelah. Mereka berkata, “Kita akan beristikhoroh
(kepada Allah) dan kami utus kepada keduanya (untuk menggali liang
kubur)”. Lalu orang yang menggali liang lahad datang terlebih dahulu,
maka merekapun membuat liang lahad untuk Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam. [HR Ibnu Majah: 1557, Ahmad: III/ 99 dan ath-Thahawiy. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [6]
عن عامر بن سعد بن أبى وقاص أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِى
وَقَّاصٍ قَالَ فىِ مَرَضِهِ الَّذِى هَلَكَ فِيْهِ : اِلْحَدُوْا لىِ
َلحْدًا وَ انْصِبُوْا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْبًا كَمَا صُنِعَ بِرَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه و سلم
Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqosh, bahwasanya Sa’d bin Abi Waqqosh
berkata pada waktu sakitnya yang ia meninggal pada waktu itu, “Buatkan
liang lahad untukku dan tancapkan sebuah batu di atas (kubur)ku
sebagaimana telah dilakukan terhadap (kubur) Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam”. [HR Muslim: 966, an-Nasa’iy: IV/ 80, Ibnu Majah:
1556, Ahmad: I/ 169, 173, 184, al-Baihaqiy dan ath-Thohawiy. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[7]
Demikian pula disyariatkan untuk menyegerakan penguburan jenazah,
jika memungkinkan. Tidak dibenarkan jika ada seorang muslim yang telah
diketahui akan kematiannya lalu keluarganya menunda-nunda penguburannya
hanya dengan alasan untuk menunggu keluarga atau kerabatnya yang belum
datang, masih menunggu diotopsi, masih menantikan persiapan upacara adat
atau tradisi dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagaimana tertera di
dalam dalil berikut ini,
عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ
تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَ إِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ
عَنْ رِقَابِكُمْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah. Jika ia
orang shalih maka kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya, tetapi
jika ia tidak seperti itu maka keburukanlah yang kalian letakkan dari
atas pundak-pundak kalian”. [HR al-Bukhoriy: 1315, Muslim: 944,
an-Nasa’iy: II: 42, Abu Dawud: 3181, Ibnu Majah: 1477 dan Ahmad: II/
240, 280, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا وُضِعَ اْلجِنَازَةُ وَ احْتَمَلَهَا
الرِّجَالُ عَلىَ أَعْنَاقِهِمْ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَالَتْ:
قَدِّمُوْنىِ قَدِّمُوْنىِ وَ إِنْ كَانَتْ غَيْرَ صَالِحَةً قَالَتْ
لِأَهْلِهَا: يَا وَيْلَهَا أَيْنَ تَذْهَبُوْنَ بِهَا؟ يَسْمَعُ صَوْتَهَا
كُلُّ شَيْءٍ إِلاَّ اْلإِنْسَانَ وَ لَوْ سَمِعَهَا اْلإِنْسَانُ
لَصَعِقَ
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila jenazah diletakkan dan
digotong oleh kaum pria di atas pundak-pundak mereka. Jika ia (yakni
jenazah itu) orang shalih, maka ia berkata, segerakan aku!, segerakan
aku!”. Jika ia tidak shalih, maka ia berkata, “Duhai celakalah aku,
kemanakah gerangan kalian hendak membawaku?”. Segala sesuatu dapat
mendengar perkataannya kecuali manusia, seandainya ia dapat mendengarnya
niscaya ia akan pingsan. [HR an-Nasa’iy: IV/ 41, al-Bukhoriy: 1314,
1316, 1380 dan Ahmad: III/ 41, 58. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [9]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Disunnahkan menyegerakan di dalam menguburkan jenazah. Disunnahkan
berjalan dengan cepat ketika menggotongnya dan tidak lambat di dalam
berjalan (membawanya). Namun dimakruhkan berjalan dengan sangat cepat
karena akan berakibat menimbulkan beberapa kerusakan. [10]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ‘Bersegeralah di dalam
(mengurus) jenazah’, yaitu bersegeralah di dalam menyelenggarakannya,
mengantarkannya dan menguburkannya dan janganlah kalian
menunda-nundanya, karena jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang
kalian persembahkan kepadanya”. [11]
Disyariatkan kepada kaum muslimin untuk menyegerakan penguburan
jenazah seorang muslim yang telah diketahui dengan pasti kematiannya.
Sebab jika muslim itu orang yang shalih maka ia akan segera mendapat
kebaikan dari hasil usaha yang ia telah kerjakan di dunia, berupa
berbagai kenikmatan dan kelapangan di dalam kuburnya. Dan merekapun
telah menunaikan kewajiban mereka di dalam menyelenggarakan penguburan
dengan mendapatkan balasan kebaikan berupa pahala sebesar satu atau dua
qirath atau yang lainnya. Namun jika yang mati itu orang kafir atau
muslim yang tidak baik keislamannya, maka iapun akan segera balasan
keburukan dari sebab apa yang ia kerjakan berupa aneka siksaan dan
himpitan di dalam kuburnya. Dan merekapun dengan menguburkannya berarti
telah menghilangkan keburukan dari pundak-pundak mereka.
Terdapat keutamaan ikut di dalam mengantarkan dan menguburkan jenazah.
Ketika seorang muslim mendengar atau melihat saudaranya yang muslim
telah wafat, maka disyariatkan baginya untuk menyelenggarakan
penguburannya. Yakni berupa memandikan, mengkafani, menyolatkan dan
menguburkannya di pekuburan kaum muslimin di daerah tempatnya meninggal.
Di dalam penyelenggaraan jenazah itu terdapat banyak kebaikan, oleh
sebab itu mengantarkan atau mengikutinya itu termasuk dari hak muslim
terhadap muslim yang lain.
عن أبى هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: حَقُّ اْلمـُسْلِمِ عَلَى اْلمـُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ
السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ اْلمـَرِيْضِ وَ اتِّبَاعُ اْلجَنَائِزِ وَ
إِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ اْلعَاطِسِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim atas muslim yang lain
itu ada 5, yaitu menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti
jenazah, menerima undangan dan mendoakan orang yang bersin”. [HR
al-Bukhoriy: 1240 dan Muslim: 2162. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy
shahih].[12]
Di antara kebaikan mengantarkan jenazah adalah mengingatkan dirinya
akan kematian dan datangnya hari akhir, sebagaimana juga terdapat di
dalam menziarahi kubur. Maka mengantarkan jenazah dan menziarahi kubur
secara syar’iy itu sangat penting sebab mengingat kematian dan kampung
akhirat itu merupakan motivasi terbesar di dalam mengerjakan berbagai
kebaikan dan meninggalkan berbagai keburukan. [13]
عن أبي سعيد عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ:
عُوْدُوا اْلمـَرِيْضَ وَ اتَّبِعُوْا اْلجَنَائِزَ تُذَكِّرُكُمُ
اْلآخِرَةَ
Dari Abu Sa’id dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah niscaya akan
mengingatkan kalian akan kampung akhirat”. [HR al-Bukhoriy di dalam
al-Adab al-Mufrad: 518, Ibnu Abi Syaibah, ath-Thayalisiy, Abu Ya’la dan
Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]
Di samping itu, jika seorang muslim ikut memandikan jenazah
saudaranya yang muslim lalu mengkafani dan ikut serta menyolatkannya
maka ia akan mendapatkan pahala sebesar satu qirath. Dan jika ia
ikut serta pula di dalam mengantarkan jenazah tersebut kepekuburan dan
apalagi ikut di dalam menguburkannya maka ia mendapatkan pahala sebesar
satu qirath lagi. Adapun satu qirath itu sebanding dengan besarnya
gunung Uhud.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم : مَنْ شَهِدَ اْلجِنَازَةَ (مِنْ بَيْتِهَا) (و فى
رواية: مَنِ اتَّبَعَ جِنَازَةَ مُسْلِمٍ ِإيمَانًا وَ احْتِسَابًا) حَتىَّ
يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَ مَنْ شَهِدَ حَتىَّ تُدْفَنَ (و فى
الرواية الأخرى: يُفْرَغَ مِنْهَا) كَانَ لَهُ قِيْرَاطَانِ (مِنَ
اْلأَجْرِ) قِيْلَ: (يَا رَسُوْلَ اللهِ) وَ مَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ:
مِثْلُ اْلجَبَلَيْنِ اْلعَظِيْمَيْنِ (و فى الرواية الأخرى: كُلُّ
قِيْرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ)
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa menyaksikan
jenazah (dari rumahnya). (Di dalam satu riwayat), “Barangsiapa yang
mengiringi jenazah seorang muslim dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala sampai disholatkan maka ia akan mendapatkan pahala satu qirath.
Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, (di dalam riwayat
yang lain, sampai selesai semua kepengurusannya) maka ia mendapatkan
pahala dua qirath”. Ditanyakan, “Apakah pahala dua qirath itu?”. Beliau
menjawab, “Yaitu sebesar dua gunung yang besar”. (Di dalam riwayat yang
lain), “Setiap satu qirath ukurannya itu sebesar gunung Uhud”. [HR
al-Bukhoriy: 1325, Muslim: 945 (52), 946, Abu Dawud: 3168, 3169,
an-Nasa’iy: IV/ 54-55, 76, 76-77, 77, at-Turmudziy: 1040, Ibnu Majah:
1539, ath-Thayalisiy dan Ahmad]. [15]
Maka Ibnu Umar radliyallahu anhuma sangat menyesal setelah mendengar
hadits dari Abu Hurairah radliyallahu anhu tersebut, sebab ia baru tahu
akan faidah mengantarkan jenazah dan selama itu mungkin ia jarang
mengikuti penguburan jenazah seorang muslim lantaran suatu keperluan
yang lainnya.
عن جرير بن حازم قَالَ: سَمِعتُ نَافِعًا يَقُوْلُ حَدَّثَ
ابْنُ عُمَرَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُوْلُ: مَنْ تَبِعَ
جَنَازَةً فَلَهُ قِيْرَاطٌ فَقَالَ: أَكْثَرَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَلَيْنَا
– فَصَدَّقَتْ عَائِشَةُ أَبَا هُرَيْرَةَ وَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُهُ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رضي الله
عنهما: لَقَدْ فَرَّطْنَا فىِ قَرَارِيْطَ كَثِيْرَةٍ
Dari Jarir bin Hazim berkata, Aku pernah mendengar Nafi berkata,
Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah bercerita bahwasanya Abu Hurairah
radliyallahu anhu berkata, “Barangsiapa mengikuti jenazah maka ia akan
mendapat pahala satu qirath”. Ibnu Umar berkata, “Abu Hurairah telah
banyak menyampaikan hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada
kita”. Lalu Aisyah radliyallahu anha membenarkan (ucapan) Abu Hurairah,
dan ia berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah mengucapkannya”. Maka
Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, “Sungguh-sungguh kami telah
mengabaikan banyak qirath”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy:
1323, 1324, Muslim: 945 (56) dan Ahmad: II/ 2-3, 387]. [16]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
1). “Sepatutnya seorang muslim itu untuk mengikuti jenazah saudaranya
yang muslim dan menghadiri pemakamannya dalam keadaan beriman dan
mengharapkan balasan (dari Allah ta’ala semata).
2). Mengikuti jenazah itu terbagi dua tingkatan yaitu,
a). Mengikutinya dari sisi keluarganya sampai menyolatkannya.
b). Mengikutinya dari sisi keluarganya sampai selesai menguburkannya.
Kedua kondisi tersebut pernah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam. Namun tingkatan yang kedua lebih utama secara zhahir
dari beberapa (ungkapan) hadits. Maka siapapun yang melakukannya hal
tersebut ia akan mendapatkan pahala sebanya dua qirath”. [17]
Bolehnya tausiyah atau pemberian nasihat ketika selesai menguburkan jenazah
Tausiyah itu bertujuan untuk memberi pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang masih hidup agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk
menghadapi kematian dan sesudahnya.
Peristiwa kematian dan proses penguburan itu adalah satu dari
beberapa waktu dan momen yang tepat untuk menyampaikan nashihat kepada
kaum muslimin yang menyaksikan prosesi penguburan dengan
nashihat-nashihat tentang kematian dan apa yang terjadi sesudahnya.
Sebab di saat itu, perhatian kaum muslimin sedang tertuju kepada satu
hal saja yakni mati. Biasanya sesaat di waktu itu mereka
melupakan urusan dunia mereka dan muncul rasa kekhawatiran di dalam diri
mereka akan kematian yang bisa kapan saja merenggut diri mereka. Lalu
timbullah rasa takut kepada mereka akan keadaan mereka jika diletakkan
di dalam liang lahad kuburan, sendirian tiada teman, dalam kegelapan,
berbungkuskan kain kafan lagi pula akan dimangsa ulat dan cacing tanah
secara perlahan. Bahkan bagi yang memiliki keimanan, niscaya ia akan
takut terhadap kedatangan Malaikat Munkar dan Nakir alaihima as-Salam
yang akan mempertanyakan kepadanya akan perkara-perkara agamanya. Lalu
ia takut tidak dapat selamat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dan
kemudian ia akan menghadapi siksa kubur yang mengerikan lagi menakutkan.
Ma’adzallah.
Mukmin yang paling utama sebagaimana telah disebutkan oleh Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam adalah yang paling banyak dan sering
mengingat kematian lalu mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan
keimanan dan berbagai amal shalih, sebagaimana telah termaktub di dalam
dalil di bawah ini,
عن ابن عمر أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى
الله عليه و سلم فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى
النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ
اْلمـُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ: فَأَيُّ
اْلمؤْمِنِيْنَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَ
أَحْسَنُهُمْ ِلمِــَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُوْلَئِكَ اْلأَكْيَاسُ
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia berkata: aku pernah
bersama-sama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu datanglah
seorang lelaki dari golongan Anshar, maka ia mengucapkan salam kepada
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Kemudian ia bertanya, “Wahai
Rosulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?”. Beliau menjawab,
“Orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka”. Ia bertanya lagi,
“Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?”. Beliau menjawab: “Orang
yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka dan yang paling
baik persiapannya setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas”.
[HR Ibnu Majah: 4259 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Hasan]. [18]
Orang mukmin yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak
mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya untuk kehidupan
setelah mati. Maka sarana dan hal-hal yang dapat mengingat kematian dan
persiapannya itu perlu diwujudkan di dalam kehidupannya seperti
menjenguk orang yang sedang sakit, menyaksikan dan menyelenggarakan
penguburan jenazah, mengantarkannya ke pekuburan kaum muslimin,
menziarahi kubur sesuai syar’iy, mendengar taushiyah dan nashihat di
saat yang tepat dan lain sebagainya. Semuanya itu merupakan hal yang
sangat dibutuhkan bagi umat manusia, terlebih-lebih kaum muslimin
khususnya.
Apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan
kaum muslimin untuk memperbanyak mengingat kematian sebab mengingat
kematian itu merupakan sarana untuk menghancurkan berbagai kelezatan dan
kenikmatan dunia. Akankah seseorang itu merasakan lezatnya makanan atau
minuman jika dikala itu ia teringat akan kematian yang bisa kapan saja
menghampirinya. Bisakah seseorang akan dapat merasakan keasyikan ketika
bercanda dan bercengkrama dengan pasangannya jika ia ketika itu teringat
akan kematian yang akan datang kepadanya tanpa melihat suasana.
Dapatkah seorang muslim menikmati berbagai fasilitas dunia yang
menyenangkan jika disaat itu ia teringat akan kematian yang dapat
merenggut jiwa siapapun tanpa diduga. Maka diwaktu itulah tumbuh
perasaan takut mati yang biasanya dilanjuti dengan melazimkan ibadah
yang wajib ataupun yang sunnah, membasahi lidah dan bibir untuk
berdzikir, mudah mengulurkan tangan untuk bersedekah, ringan kaki untuk
menghadiri kajian-kajian islami, hati lapang dan rindu untuk bertemu
dengan kaum shalihin, bergegas meninggalkan berbagai kemaksiatan tanpa
hambatan dan lain sebagainya. Terlebih lagi jika baru saja dihadapan
matanya, ia melihat seseorang menghembuskan nafas terakhirnya, mendengar
suara orang tersebut tatkala sekaratul maut menghimpitnya, merasakan
tubuhnya yang kian dingin kaku ketika meregang nyawa, lalu denyut nadi
dan detak jantungpun tiada terasa.
عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم : أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يعنى
اْلمَوْتِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Perbanyaklah oleh kalian
mengingat penghancur kelezatan-kelezatan, yaitu kematian”. [HR Ibnu
Majah: 4258, at-Turmudziy: 2307, an-Nasa’iy: IV/ 4, Ahmad: II/ 292-293
dan Abu Nu’aim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [19]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
1). “Disunnahkan bagi setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang
sakit untuk mengingat kematian dengan hati dan lisannya dan memperbanyak
dari (mengingat)nya sehingga kematian (seakan) terbentang di depan
kedua matanya. Karena hal tersebut lebih memberi teguran dari
mengerjakan kemaksiatan dan lebih membawa kepada ketaatan. Karena
kematian itu akan menghalangi kelezatan-kelezatan (dunia). Kita memohon
kepada Allah akan keberkahan datangnya (kematian).
2). Orang yang mengingat kematian biasanya ketika di dalam kesempitan
maka hal itu akan melapangkannya dan ketika ia di dalam kelapangan maka
hal itu juga akan menyempitkannya. Oleh sebab itu mengingat kematian
itu senantiasa akan membuatnya bersiap sedia untuk menghadapi perjalanan
(menuju akhirat)”. [20]
Adapun contoh pemberian nashihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam Shallallahu alaihi wa sallam ketika selesai menguburkan jenazah
adalah sebagaimana di dalam hadits berikut,
عن علي رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا فىِ جَنَازَةٍ فىِ
بَقِيْعِ اْلغَرْقَدِ فَأَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
فَقَعَدَ وَ قَعَدْنَا حَوْلَهُ وَ مَعَهُ مِخْصَرَةٌ فَكَنَسَ وَ جَعَلَ
يَنْكُتُ بِمِخْصَرَتِه ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ
نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ إِلاَّ وَ قَدْ كَتَبَ اللهُ مَكَانَهَا مِنَ
اْلجَنَّةِ وَ النَّارِ وَ إِلاَّ وَ قَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ
سَعِيْدَةً قَالَ: فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نَمْكُثُ
عَلَى كِتَابِنَا وَ نَدَعُ اْلعَمَلَ؟ فَقَالَ: مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ
السَّعَادَةِ فَسَيَصِيْرُ إِلىَ عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَ مَنْ كَانَ
مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيْرُ إِلىَ عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
فَقَالَ: اعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ (لمِــَا خُلِقَ لَهُ) أَمَّا
أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَ
أَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
ثُمَّ قَرَأَ ((فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقَى وَ صَدَّقَ بِاْلحُسْنَى
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَ أَمَّا مَن بَخِلَ وَ اسْتَغْنَى وَ
كَذَّبَ بِاْلحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى))
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu berkata, kami pernah (mengurusi) satu jenazah di pekuburan Baqi’ al-Ghorqod.
Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam datang menemui kami dan
duduk, maka kamipun duduk disekitarnya. Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam mempunyai sebatang tongkat (yang melengkung bagian atasnya), lalu
menyapukan (tongkat itu ke tanah) dan menggaris-garisnya dengan tongkat
itu. Kemudian Beliau bersabda, “Tidaklah seseorang di antara kalian,
tidaklah seorang jiwa yang bernafas melainkan telah ditentukan oleh
Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam surga dan neraka, atau telah
ditentukan bahagia atau sengsara”. Berkata Ali, bertanyalah seorang
lelaki, “Wahai Rosulullah tidakkah kita nanti akan pasrah kepada kitab
catatan kita dan meninggalkan amal?”. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang
termasuk golongan bahagia maka ia akan mengarah kepada amalan golongan
yang bahagia. Dan barangsiapa yang termasuk golongan sengsara maka ia
akan mengarah kepada amalan golongan sengsara”. Beliau bersabda lagi,
”Beramallah kalian, karena semuanya itu dimudahkan (kepada apa yang
ditakdirkan untuknya). Adapun golongan bahagia mereka akan dimudahkan
untuk beramal golongan bahagia. Dan adapun golongan sengsara mereka akan
dimudahkan untuk beramal golongan sengsara. Lalu Beliau membaca
((Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil
dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak
Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar)). [21] [HR Muslim: 2647 dan al-Bukhoriy: 7552. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [22]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Memberi nashihat di dekat kubur (setelah menguburkan) itu mustahabbah
(disunnahkan). Karena hal itu lebih efektif disaat itu. Hal tersebut
lantaran melihat orang yang mati dan mengingat kematian itu dapat
melembutkan hati dan menghapuskan sifat kerasnya”. [23]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah,
“Nashihat adalah mengingatkan manusia dengan sesuatu yang dapat
melembutkan hati. Adakalanya dengan memotivasi (targhib) dalam kebaikan
atau dengan ancaman (tarhib) dari keburukan, maka itulah nashihat.
Seagung-agung, seutama-utama dan sebaik-baik pemberi nashihat untuk hati
adalah alqur’an yang mulia, sebagaimana Allah ta’ala berfirman ((Wahai
manusia, sungguh-sungguh telah datang kepada kalian nashihat dari Rabb
kalian dan sebagai obat bagi apa yang ada di dalam dada, sebagai
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. QS Yunus/ 10: 57)).
Maka alqur’an adalah seagung-agung pemberi nashihat bagi orang yang
memiliki hati dan mengarahkan pendengaran lagi menyaksikan (kebenaran). [24]
Demikian penjelasan tentang beberapa amalan yang dapat dilakukan oleh
kaum muslimin ketika ada saudaranya sesama muslim yang wafat atau
meninggal dunia yaitu berupa memandikan jenazahnya, mengkafani,
menyolatkan dan menguburkannya di pemakaman kaum muslimin. Di dalam
semua amalan tersebut akan didapati banyak kebaikan dan keutamaan bagi
yang melakukannya.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab.
[1] http://cintakajiansunnah.wordpress.com/2013/04/22/ada-apa-setelah-kematian/
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 2754, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1899, 1900, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1400, Shahih Sunan Ibni Majah: 1266, Misykah al-Mashobih: 1703, Irwa’ al-Ghalil: 743 dan Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 181.
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 2754, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1899, 1900, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1400, Shahih Sunan Ibni Majah: 1266, Misykah al-Mashobih: 1703, Irwa’ al-Ghalil: 743 dan Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 181.
[3] Shahih Sunan Abi Dawud: 2687, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1047, Shahih Sunan Ibni Majah: 1229 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 73-74.
[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 2753, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1895 dan Ahkam al-Jana’iz wa bida’uha halaman 169.
[5]
Shahih Sunan Abi Dawud: 2747, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1898, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 835, Shahih Sunan Ibni Majah: 1261, 1262 dan Ahkam
al-Jana’iz wa bida’uha halaman 184.
[6] Shahih Sunan Ibni Majah: 1264 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 183.
[7] Mukhtashor
Shahih Muslim: 487, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1896, 1897, Shahih Sunan
Ibni Majah: 1263 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 183.
[8]
Mukhtashor Shahiih al-Imam al-Bukhoriy: 662, Mukhtashor Shahih Muslim:
470, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1802, 1803, Shahih Sunan Abi Dawud: 2724,
Shahih Sunan Ibni Majah: 1204, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 964 dan
Ahkam al-Jana’iz halaman 93, 23.
[9] Mukhtashor
Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 661, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1801, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 830 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 93.
[10] Bahjah an-Nazhirin: II/ 188.
[11] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 239.
[12] Mukhtashor Shahih Muslim: 1417 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3150.
[13]
Namun mengantarkan jenazah ke pekuburan kaum muslimin itu hanya
diperuntukkan bagi kaum lelaki saja bukan perempuan. Sebagaimana
dikatakan oleh Ummu Athiyah radliyallahu anha,
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Larangan itu pada asalnya adalah berfaidah untuk pengharaman selama tidak datang (dalil) qarinahnya, yang menjadikannya untuk tanzih (untuk membersihkan dari keburukan) sebagaimana di dalam hadits tersebut. Yaitu ucapan Ummu Athiyah radliyallahu anha yaitu, “Tidak ditegaskan atas kami”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 181].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Yang shahih bahwa wanita mengikuti jenazah hukumnya adalah haram. Bahwa hal tersebut tidak boleh bagi wanita untuk mengikuti jenazah karena apabila ia mengikutinya maka tidak diragukan ia adalah seorang yang lemah, boleh jadi ia akan berteriak, memekik dengan suara yang keras, memukul pipi, mencabut rambut, merobek-robek pakaian, dan juga akan terjadi bercampur baurnya para pria dan wanita di dalam mengantarkan jenazah yang dapat menimbulkan fitnah dan hilangnya hikmah dari mengikuti jenazah jika para pria atau orang-orang yang hina dari kaum pria yang tidak mempunyai keinginan kecuali untuk bertemu dengan para wanita dan bersenang-senang dengan memandangi mereka. Maka yang wajib adalah melarang para wanita dari mengikuti jenazah karena hal tersebut adalah haram dan tidak boleh (dilakukan oleh mereka), sebagaimana ziarah kubur juga diharamkan bagi mereka. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melaknat para wanita yang menziarahi kuburan dan juga melaknat orang-orang yang telah menjadikan masjid-masjid dan penerangan-penerangan di atasnya. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 231].
نُهِيْنَا عَنِ اتِّبَاعِ اْلجَنَائِزِ وَ لَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
“Kami dilarang dari mengikuti jenazah namun tidak
ditegaskan atas kami”. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: 1278, Muslim: 938,
Abu Dawud: 3167, Ibnu Majah: 1577 dan Ahmad: VI/ 408, 409. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 2711,
Shahih Sunan Ibnu Majah dan Ahkam al-Jana’iz halaman 90-91].Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Larangan itu pada asalnya adalah berfaidah untuk pengharaman selama tidak datang (dalil) qarinahnya, yang menjadikannya untuk tanzih (untuk membersihkan dari keburukan) sebagaimana di dalam hadits tersebut. Yaitu ucapan Ummu Athiyah radliyallahu anha yaitu, “Tidak ditegaskan atas kami”. [Bahjah an-Nazhirin: II/ 181].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Yang shahih bahwa wanita mengikuti jenazah hukumnya adalah haram. Bahwa hal tersebut tidak boleh bagi wanita untuk mengikuti jenazah karena apabila ia mengikutinya maka tidak diragukan ia adalah seorang yang lemah, boleh jadi ia akan berteriak, memekik dengan suara yang keras, memukul pipi, mencabut rambut, merobek-robek pakaian, dan juga akan terjadi bercampur baurnya para pria dan wanita di dalam mengantarkan jenazah yang dapat menimbulkan fitnah dan hilangnya hikmah dari mengikuti jenazah jika para pria atau orang-orang yang hina dari kaum pria yang tidak mempunyai keinginan kecuali untuk bertemu dengan para wanita dan bersenang-senang dengan memandangi mereka. Maka yang wajib adalah melarang para wanita dari mengikuti jenazah karena hal tersebut adalah haram dan tidak boleh (dilakukan oleh mereka), sebagaimana ziarah kubur juga diharamkan bagi mereka. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah melaknat para wanita yang menziarahi kuburan dan juga melaknat orang-orang yang telah menjadikan masjid-masjid dan penerangan-penerangan di atasnya. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 231].
[14] Shahih
al-Adab al-Mufrad: 403, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4109, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1981 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 86.
[15] Mukhtashor
Shahih Muslim: 481, Shahih Sunan at-Turmudziy: 831, Shahih Sunan
an-Nasa’iy: 1832, 1885, 1886, 1887, Shahih Sunan Abi Dawud: 2712, 2713,
Shahih Sunan Ibni Majah: 1250, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6134, 6135,
6136, 6137, 6138 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 88.
[16] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 65 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 89.
[17] Bahjah an-Nazhirin: II/ 180 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 87.
[18] Shahih Sunan Ibni Majah: 3435 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1384.
[19]
Shahih Sunan Ibni Majah: 3434, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1877, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 1720, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1210, 1211,
Misykah al-Mashobih: 1607 dan Irwa’ al-Ghalil: 682.
[20] Bahjah an-Nazhirin: I/ 734.
[21] QS. al-Lail/ 92: 5-10.
[22] Mukhtashor Shahih Muslim: 1844 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5794.
[23] Bahjah an-Nazhirin: II/ 190.
[24] Syar-h Riyadl ash-Shalihin: III/ 243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar