السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 07 Agustus 2012

JANGAN ENGKAU MEMATA-MATAI SAUDARAMU !!


JAUHILAH TAJASSUS

  بسم الله الرحمن الرحيم

Banyak keburukan yang dilakukan oleh manusia kecuali orang yang dirahmati oleh Allah ta’ala. Biasanya suatu keburukan jika mengendap di dalam diri seseorang maka akan menimbulkan keburukan lainnya. Misalnya, jika seorang manusia sudah terbiasa suka meng-ghibah atau menggunjing keburukan orang lain maka ia akan senang dengan kesusahan yang menimpa objek ghibahnya dan sedih dengan kebaikan yang didapat olehnya. Atau si peng-ghibah akan selalu berburuk sangka kepada objek ghibahnya, suka merendahkan orang lain terutama objek ghibahnya tersebut dan menyombongkan dirinya darinya dan sebagainya. 

Keburukan lain yang ditimbulkan oleh ghibah adalah tajassus dan tahassus. Jika seseorang sudah terbiasa di dalam membicarakan sisi negatif saudaranya yang muslim, maka ia merasa tidak nyaman dan tidak pula puas jika hanya membicarakan keburukan saudaranya yang itu-itu saja. Hal inilah yang mendorong dirinya untuk selalu mencari tahu dan menyelidiki segala kekurangan dan aib si objek ghibah. 

Dan iapun seringkali tidak puas jika yang menjadi objek ghibahnya itu hanyalah satu atau dua orang, ia selalu mencari mangsa baru untuk dighibah. Apalagi kalau mengghibah itu sudah menjadi profesi dirinya untuk mencari nafkah, sebab ia adalah seorang wartawan sebuah tabloid, surat kabar atau majalah yang selalu mengumbar aib dan keburukan seorang selebritis, pejabat, tokoh masyarakat dan selainnya. Atau juga ia adalah seorang reporter televisi untuk tayangan acara ghibahtainment atau buhtantainment.

Padahal Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-haditsnya yang shahih telah melarang dah mengharamkan tajassus dan tahassus, sebab keduanya ini merupakan jalan penghubung terjadinya ghibah.


وَ لاَ تَجَسَّسُوْا
 
Dan janganlah kalian mencari-cari (menyelidiki) keburukan orang lain. [QS. al-Hujurat/ 49: 12].

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Tajassus itu pada umumnya kebanyakan dalam perbuatan buruk. Di antaranya kata “Jasus” yakni mata-mata atau spionase. Maksud (ayat tersebut) adalah janganlah sebahagian kalian menyelidiki aib sebahagian yang lain atau menguping pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukainya atau menguping melalui pintu-pintu (rumah) mereka”. [1]

Di dalam suatu hadits, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga telah melarang perbuatan tajassus dan tahassus,

عن أبي هريرة رضي الله عنه  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ وَ لاَ تَحَسَّسُوْا وَ لاَ تَجَسَّسُوْا

Dari Abu Hurairah radliyallahu anu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Janganlah kalian bertahassus dan jangan bertajassus. [HR Muslim: 2653, al-Bukhoriy: 6064 dan Abu Dawud: 4917. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [2]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Tajassus adalah mencari-cari atau menyelidiki aib kaum muslimin.

Sedangkan tahassus adalah menguping ucapan suatu kaum sedangkan mereka tidak menyukainya”. [3]

Berkata Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, “Tajasuus dengan huruf jiim, adalah (menyelidiki) aib orang, sedangkan tahassus, dengan huruf haa’ adalah menguping pembicaraan kaum”. [4]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Diharamkan tajassus dan tahassus, bahwa barangsiapa yang mempunyai persangkaan terhadap saudaranya, maka ia tidak berhak untuk bertanya tentang keadaan saudaranya tersebut”. [5]

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Tajassus adalah seseorang menyelidiki saudaranya supaya terlihat aibnya, sama saja yang demikian itu dengan cara langsung yakni ia pergi untuk memata-matai agar ia dapat mengetahui kesusahan dan aibnya. Atau dengan cara menggunakan alat-alat rekam suara atau juga dengan cara menyadap telepon. Maka segala sesuatu yang dapat menghubungkan seseorang kepada aib saudaranya maka hal tersebut termasuk dari tajassus yang diharamkan. Sebab Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman, ((و لا تجسسوا )) (janganlah kalian bertajassus).  Jadi Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang dari tajassus”.  [6]

عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ مَنِ اسْتَمَعَ إِلىَ حَدِيْثِ قَوْمٍ وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ أَوْ يَفِرُّوْنَ مِنْهُ صُبَّ فىِ أُذُنِهِ اْلآنَكُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ 

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Dan barangsiapa yang menguping pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka tidak menyukainya atau mereka lari menghindar darinya akan dituangkan timah cair di telinganya pada hari kiamat”. [HR al-Bukhoriy: 7042, Abu Dawud: 5024, at-Turmudziy: 1751, ad-Darimiy: II/ 298, Ahmad: I/ 216, 246, 359. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [7]

Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya siapapun orangnya yang suka menguping pembicaraan orang lain sedangkan mereka tidak menyukai diketahui pembicaraannya bahkan akhirnya lari menghindar darinya. Baik secara langsung ataupun dengan alat bantu elektronik, misalnya berupa alat rekam, alat penyadap, menggunakan satelit ataupun yang sejenisnya maka berarti ia telah melakukan dosa besar, yakni akan dituangkan cairan timah panas pada telinganya pada hari kiamat nanti di dalam neraka. 

Di dalam satu kisah Nabi Isa Alaihi as-Salam pernah melihat ada seseorang mencuri lalu ia menanyakan terlebih dahulu untuk memastikannya, apakah benar orang itu mencuri atau tidak. Untuk lebih jelasnya kisah tersebut adalah sebagai berikut, 

عن أبي هريرة رضي الله عنه  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : رَأَى عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ رَجُلاً يَسْرِقُ فَقَالَ لَهُ عِيْسَى: سَرَقْتَ؟ قَالَ: كَلاَّ وَ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَقَالَ عِيْسىَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَ كَذَّبْتُ نَفْسِي 

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Nabi Isa putra Maryam Alaihi as-Salam pernah melihat seseorang sedang mencuri. Lalu ia bertanya, “Apakah engkau mencuri?”. Ia menjawab, “Sekali-kali tidak, demi Dzat Yang tiada ilah yang patut disembah kecuali Dia”. Berkata Isa Alaihi as-Salam, “Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan diriku (di dalam satu riwayat, penglihatanku)”. [HR Muslim: 2368, al-Bukhoriy: 3444, an-Nasa’iy: VIII/ 249 dan Ahmad: II/ 314, 383.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]

Nabi Isa Alaihi as-Salam membangun dirinya dalam kehati-hatian agar tidak mudah terjerumus dalam kekeliruan atau kesalahan, sehingga ketika ia melihat seseorang menjulurkan tangannya seperti mengambil sesuatu, yang di dalam pandangannya orang itu seperti sedang mencuri, tapi Beliau tidak tergesa-gesa menuduhnya mencuri, sebab boleh jadi pandangannya tertipu. Maka ia bertanya kepada orang itu, “apakah engkau mencuri?”. Namun ketika orang itu menyanggahnya dan bahkan bersumpah dengan nama Allah untuk menguatkan ucapannya, seketika itu pula Nabi Isa Alaihi as-Salam menarik tuduhannya dan mendustakan penglihatannya maka selamatlah ia dari tuduhan tersebut. Jikalau ternyata orang itu benar-benar mencuri lalu selamat dari tuduhan Nabi Isa Alaihi as-Salam dan hukuman dunia tetapi ia tidak akan selamat dari persaksian Allah Jalla Jalaluh dan hukuman-Nya kelak pada hari kiamat.

Mencontoh kisah di atas, agar akurat dan tepat, ketelitian itu sangat penting sebelum bersikap maka tidak boleh seorang muslim itu sekenanya saja dan tergesa-gesa di dalam menentukan sikap dari apa yang hanya ia lihat atau dengar. Sebab sifat tergesa-gesa itu dari setan yang memang selalu bertekad hendak menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa dan kesalahan, kebencian dan permusuhan dan semua perilaku yang dapat mendatangkan murka Allah Azza wa Jalla serta menjauhkannya dari ridlo-Nya. Sedangkan sifat teliti dan cermat itu dari Allah Subhanahu wa ta’ala, yang dengan sifat elok ini seorang muslim dapat menjadi lebih berhati-hati di dalam beritikad, beramal, berucap maupun bersikap. Jika dengan keyakinan, amal, ucapan atau sikap itu dapat mendatangkan ridlo dan balasan kebaikan dari-Nya yang disebabkan adanya hujjah kuat dari alqur’an dan hadits shahih yang disertai niat ikhlas maka ia segera merealisasikannya, namun jika hanya akan mendatangkan murka-Nya dan balasan keburukan maka ia tidak akan mewujudkannya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam dalil berikut ini,

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: التَّأَنىِّ مِنَ اللهِ وَ اْلعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sifat perlahan-lahan (teliti/ cermat) itu dari Allah dan sifat tergesa-gesa itu dari setan”. [HR  Abu Ya’la dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [9]

Oleh sebab itu kaum salaf shalih terdahulu, amat membenci perbuatan menyelidik dan menguping ini. Suatu ketika dihadirkan kepada seorang shahabat yaitu Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu, seseorang yang kedapatan pada jenggotnya menetes khomer. Maka iapun berkata, “Kita umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dilarang dari tajassus yakni menyelidik dan mencari-cari tahu akan keadaan seseorang, tetapi jika sesuatu itu telah jelas bagi kami, maka kamipun akan menghukuminya”.

عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ: أُتَيِ  ابْنُ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه فَقِيْلَ: هَذَا فُلاَنٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: إِنَّا قَدْ نُهِيْنَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَ لَكِنْ إِنْ يَظْهَرْ لَناَ شَيْءٌ نَأْخُذْ بِهِ 

Dari Zaid bin Wahb berkata, “Pernah didatangkan kepada Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu (seorang lelaki)”. Lalu dikatakan kepadanya, “Si fulan ini, pada jenggotnya menetes khomer”. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya kami dilarang dari tajassus. Tetapi jika sesuatu telah jelas bagi kami, maka kami akan menghukuminya”. [Telah mengeluarkan atsar ini Abu Dawud: 4890. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ]. [10]  
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Barangsiapa yang datang dengan membawa tuduhan kepada selainnya dalam rangka bertajassus kepadanya, maka tuduhannya tersebut tidak boleh diterima”. [11]

Yang tidak disukai oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu adalah perbuatan tajassus sebahagian mereka kepada seseorang yang dijumpai pada jenggotnya menetes khomer. Yakni mereka menyelidik padahal mereka sendiri tidak melihatnya secara langsung dengan mata kepala mereka bahwa orang itu meneguk khomer itu. Mereka hanya menduga saja lalu membawanya kepada Ibnu Mas’ud  radliyallahu anhu untuk ditegakkan hadd atasnya, tetapi karena kearifan, sifat kehati-hatian dan keluasan ilmunyalah yang mendorongnya untuk menolak dan tidak mendukung tuduhan itu.

عن أبي برزة الأسلمي قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فىِ بَيْتِهِ 

Dari Abu Barzah al-Aslamiy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai golongan orang yang beriman dimulutnya tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian meng-ghibah kaum muslimin dan jangan pula kalian menyelidiki aib mereka. Barangsiapa yang menyelidiki aib mereka, maka Allah akan menyelidiki aibnya. Dan barangsiapa yang diselidiki aibnya oleh Allah, maka Allah akan membongkar (aib)nya (yang dikerjakan) di rumahnya”. [HR Abu Dawud: 4880 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [12]

عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: صَعِدَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم اْلمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيْعٍ قَالَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلىَ قَلْبِهِ وَ لاَ تُؤْذُوْا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تُعَيِّرُوْهُمْ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتْبَعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ اْلمـُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَ لَوْ فىِ جَوْفِ رَحْلِهِ
قال: وَ نَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْماً إِلىَ اْلبَيْتِ أَوْ إِلىَ اْلكَعْبَةِ فَقَالَ: مَا أَعْظَمُكَ وَ أَعْظَمُ حُرْمَتِكَ وَ اْلمـُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةٍ عِنْدَ اللهِ مِنْكَ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah naik mimbar lalu menyeru dengan suara yang keras dan bersabda, “Wahai golongan orang yang Islam pada lisannya namun keimanan belum mencapai hatinya janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, jangan menjelek-jelekkan mereka dan jangan menyelidiki aib-aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang menyelidik aib saudaranya yang muslim maka Allah juga akan menyelidiki aibnya. Dan barangsiapa yang diselidiki aibnya oleh Allah maka Allah akan membuka aibnya kendatipun ia (ketika mengerjakannya itu) berada di tengah-tengah tempat kediamannya”.

Suatu hari Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah melihat Baitullah atau Ka’bah, lalu berkata, “Alangkah agungnya dirimu dan alangkah agungnya kehormatanmu, namun orang mukmin itu lebih agung kehormatannya darimu di sisi Allah”. [HR at-Turmudziy: 2032. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [13]

Hadits-hadits di atas menerangkan bahwasanya yang gemar menyelidiki aib-aib kaum muslimin adalah orang yang imannya hanya di lisan dan tidak masuk ke dalam relung hatinya di antara kaum munafikin. Maka barangsiapa di antara mereka yang suka menyelidiki aib dan keburukan seorang muslim, lalu menyingkap dan menyebarluaskannya kepada khalayak manusia maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan membalasnya dengan menyelidik aib dan keburukannya pula lalu akan membuka aib tersebut dan menyebarluaskannya kepada orang banyak. Allah Azza wa Jalla mengancam akan menyingkap tabir semua aibnya bahkan sampai aib yang tersembunyi dan tersimpan rapi yang ia kerjakan di dalam rumahnya sendiri dalam keadaan sunyi sepi. Subhaanallah, hal ini telah banyak terbukti di masyarakat. Al-Iyadzu billah.

عَنْ مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ – فَقَالَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ: كَلِمَةٌ َسمِعَهَا مُعَاوِيَةُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم نَفَعَهُ اللهُ تَعالى بِهَا
Dari Mu’awiyah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau jika menyelidik (atau mencari-cari) aib cela manusia maka engkau akan merusak mereka atau hampir-hampir merusak mereka”. Berkata Abu Darda’, “Suatu kalimat yang didengar oleh Mu’awiyah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dengannya, Allah ta’ala memberi manfaat kepadanya”. [HR Abu Dawud: 4888. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Perintah waspada dari tajassus (mencari-cari) aib kaum muslimin dan para hakim dilarang dari mentajassusi rakyat (masyarakat)”. [15]

Tidak diragukan lagi, perilaku tajassus ini akan mendatangkan berbagai kesusahan dan kepedihan bagi orang yang sedang diintai dan ditajassusi itu. Sebab kehidupannya tidak lagi menjadi nyaman, privasinya terganggu, ia merasa banyak mata mengintai dan telinga menguping, keluar masuk rumahnya sendiri bagaikan seorang pencuri yang takut ketahuan petugas keamanan dan sebagainya. Bukan hanya itu, akan terusik pula kehidupan anak, istri dan keluarganya, hingga mereka dipenuhi dengan kewaspadaan dari pengintaian dan penyelidikan orang lain. Berbicara berbisik-bisik khawatir terdengar, melangkah mengendap-ngendap takut ketahuan, keluar rumahpun terkadang dengan kawalan atau penyamaran bahkan menelpon sanak kerabatpun menjadi enggan lantaran khawatir disadap. Sehingga iapun mengucilkan diri, lari dari perhatian setiap insani dan akhirnya tenggelam dari keramaian kepada kesunyian. Rusaklah kehidupannya atau paling tidak hampir-hampir para tukang tajassus itu merusaknya. Duhai malang nian nasibnya, coba andaikan kemalangan itupun menimpa para tukang tajassus!!.

Sebagaimana telah diketahui bahwa para tukang tajassus itu hanya akan mencari dan mengincar keburukan seseorang dan mengabaikan kebaikannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Zanjiy al-Baghdadiy, [16]


يَمْشُوْنَ فىِ النَّاسِ يَبْغُوْنَ اْلعُيُوْبَ لِمَنْ   لاَ عَيْبَ فِيْهِ لِكَيْ يَسْتَشْرِفَ اْلعَطَبَ
إِنْ يَعْلَمُوا اْلخَيْرَ يُخْفُوْهُ وَ إِنْ عَلِمُوْا       شَرًّا أَذَاعُوْا وَ إِنْ لَمْ يَعْلَمُوْا كَذِبُوْا


Mereka melewati manusia dalam rangka mencari aib
Bagi orang yang tidak memiliki aib cela
Agar orang yang mulia menjadi binasa
Apabila mereka mengetahu kebaikan mereka menutupinya
Apabila mereka mengetahui keburukan mereka menyiarkannya
Namun bila mereka tidak mengetahuinya maka merekapun berdusta.

Demikian sekelumit penjelasan tentang tajassus dan tahassus yang banyak dilakukan oleh umat manusia, tidak terkecuali umat Islam yang lemah imannya lagi ternoda oleh kemunafikan.

Maka hendaknya setiap mukmin untuk selalu menjauhi kebiasaannya yang buruk untuk mencari-cari tahu apalagi menyelidiki aib saudaranya yang muslim. Bahkan jika ia terlanjur mengetahui aib saudaranya itu, hendaknya ia mengabaikan dan melupakannya seakan ia tidak pernah mendengar dan mengetahuinya. 

Semoga ilmu agama yang senantiasa dituntut olehnya itu dapat memberi manfaat kepadanya dengan menjaganya dari kekeliruan dan dosa dan melindunginya dari siksa kubur dan neraka.

Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Bahjah an-Nazhirin: III/ 92.
[2] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.
[3] Bahjah an-Nazhirin: III/ 93.
[4] Kaba’ir halaman 249.
[5] Bahjah an-Nazhirin: III/ 93.
[6] Al-Kaba’ir halaman 389.
[7] Shahih Sunan Abi Dawud: 4202, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1432, al-Jami’ ash-Shaghir: 6028 dan Ghoyah al-Maram: 120, 422.
[8] Mukhtashor Shahih Muslim: 1620 , Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5016, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3450 dan Misykah al-Mashobih: 5050.
[9] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3011, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1795 dan Misykah al-Mashobih: 5055..
[10] Shahih Sunan Abi Dawud: 4090.
[11] Bahjah an-Nazhirin: III/ 94.
[12] Shahih Sunan Abi Dawud: 4083, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7982, Miyskah al-Mashobih: 5044 dan Ghoyah al-Maram: 420
[13] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1655 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7985.
[14] Shahih Sunan Abi Dawud: 4088, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2295  dan Ghoyah al-Maram: 424.
[15] Bahjah an-Nazhirin: III/ 94.
[16] Raudlah al-Uqala oleh al-Imam Ibnu Hibban halaman 178.