JAUHILAH TAJASSUS
بسم الله الرحمن الرحيم
Banyak keburukan yang
dilakukan oleh manusia kecuali orang yang dirahmati oleh Allah ta’ala. Biasanya
suatu keburukan jika mengendap di dalam diri seseorang maka akan menimbulkan
keburukan lainnya. Misalnya, jika seorang manusia sudah terbiasa suka meng-ghibah
atau menggunjing keburukan orang lain maka ia akan senang dengan kesusahan yang
menimpa objek ghibahnya dan sedih dengan kebaikan yang didapat olehnya. Atau si
peng-ghibah akan selalu berburuk sangka kepada objek ghibahnya, suka
merendahkan orang lain terutama objek ghibahnya tersebut dan menyombongkan
dirinya darinya dan sebagainya.
Keburukan lain yang
ditimbulkan oleh ghibah adalah tajassus dan tahassus. Jika seseorang sudah
terbiasa di dalam membicarakan sisi negatif saudaranya yang muslim, maka ia
merasa tidak nyaman dan tidak pula puas jika hanya membicarakan keburukan
saudaranya yang itu-itu saja. Hal inilah yang mendorong dirinya untuk selalu
mencari tahu dan menyelidiki segala kekurangan dan aib si objek ghibah.
Dan iapun seringkali tidak
puas jika yang menjadi objek ghibahnya itu hanyalah satu atau dua orang, ia
selalu mencari mangsa baru untuk dighibah. Apalagi kalau mengghibah itu sudah
menjadi profesi dirinya untuk mencari nafkah, sebab ia adalah seorang wartawan
sebuah tabloid, surat kabar atau majalah yang selalu mengumbar aib dan
keburukan seorang selebritis, pejabat, tokoh masyarakat dan selainnya. Atau
juga ia adalah seorang reporter televisi untuk tayangan acara ghibahtainment
atau buhtantainment.
Padahal Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan
hadits-haditsnya yang shahih telah melarang dah mengharamkan tajassus dan
tahassus, sebab keduanya ini merupakan jalan penghubung terjadinya ghibah.
وَ
لاَ تَجَسَّسُوْا
Dan janganlah kalian mencari-cari (menyelidiki)
keburukan orang lain. [QS. al-Hujurat/ 49: 12].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Tajassus itu pada umumnya kebanyakan dalam perbuatan buruk. Di antaranya kata
“Jasus” yakni mata-mata atau spionase. Maksud (ayat tersebut)
adalah janganlah sebahagian kalian menyelidiki aib sebahagian yang lain atau
menguping pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukainya atau
menguping melalui pintu-pintu (rumah) mereka”. [1]
Di dalam suatu
hadits, Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam juga telah
melarang perbuatan tajassus dan tahassus,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم
قَالَ وَ لاَ تَحَسَّسُوْا وَ لاَ
تَجَسَّسُوْا
Dari Abu Hurairah radliyallahu
anu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian bertahassus dan jangan bertajassus”. [HR Muslim: 2653, al-Bukhoriy:
6064 dan Abu Dawud: 4917. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [2]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Tajassus adalah mencari-cari atau menyelidiki aib kaum muslimin.
Sedangkan tahassus adalah menguping ucapan suatu
kaum sedangkan mereka tidak menyukainya”. [3]
Berkata Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
“Tajasuus dengan huruf jiim, adalah (menyelidiki) aib orang, sedangkan
tahassus, dengan huruf haa’ adalah menguping pembicaraan kaum”. [4]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Diharamkan tajassus dan tahassus, bahwa barangsiapa yang mempunyai persangkaan
terhadap saudaranya, maka ia tidak berhak untuk bertanya tentang keadaan
saudaranya tersebut”. [5]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Tajassus adalah seseorang menyelidiki saudaranya
supaya terlihat aibnya, sama saja yang demikian itu dengan cara langsung yakni
ia pergi untuk memata-matai agar ia dapat mengetahui kesusahan dan aibnya. Atau
dengan cara menggunakan alat-alat rekam suara atau juga dengan cara menyadap
telepon. Maka segala sesuatu yang dapat menghubungkan seseorang kepada aib
saudaranya maka hal tersebut termasuk dari tajassus yang diharamkan. Sebab
Allah Subhanahu wa
ta’ala telah berfirman, ((و لا تجسسوا )) (janganlah kalian bertajassus). Jadi Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang dari tajassus”. [6]
عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم
قَالَ: وَ مَنِ اسْتَمَعَ إِلىَ حَدِيْثِ قَوْمٍ وَ هُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ أَوْ
يَفِرُّوْنَ مِنْهُ صُبَّ فىِ أُذُنِهِ اْلآنَكُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Dan barangsiapa yang menguping
pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka tidak menyukainya atau mereka lari
menghindar darinya akan dituangkan timah cair di telinganya pada hari kiamat”.
[HR al-Bukhoriy: 7042, Abu Dawud: 5024, at-Turmudziy:
1751, ad-Darimiy: II/ 298, Ahmad: I/ 216, 246, 359. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih]. [7]
Hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya
siapapun orangnya yang suka menguping pembicaraan orang lain sedangkan mereka
tidak menyukai diketahui pembicaraannya bahkan akhirnya lari menghindar
darinya. Baik secara langsung ataupun dengan alat bantu elektronik, misalnya
berupa alat rekam, alat penyadap, menggunakan satelit ataupun yang sejenisnya
maka berarti ia telah melakukan dosa besar, yakni akan dituangkan cairan timah
panas pada telinganya pada hari kiamat nanti di dalam neraka.
Di dalam satu kisah Nabi Isa Alaihi as-Salam pernah melihat ada seseorang mencuri lalu ia
menanyakan terlebih dahulu untuk memastikannya, apakah benar orang itu mencuri
atau tidak. Untuk lebih jelasnya kisah tersebut adalah sebagai berikut,
عن
أبي هريرة رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم : رَأَى عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ رَجُلاً يَسْرِقُ
فَقَالَ لَهُ عِيْسَى: سَرَقْتَ؟ قَالَ: كَلاَّ وَ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ
فَقَالَ عِيْسىَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَ كَذَّبْتُ نَفْسِي
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Nabi Isa putra
Maryam Alaihi
as-Salam pernah melihat seseorang sedang mencuri. Lalu ia
bertanya, “Apakah engkau mencuri?”. Ia menjawab, “Sekali-kali tidak, demi Dzat
Yang tiada ilah yang patut disembah kecuali Dia”. Berkata Isa Alaihi as-Salam, “Aku beriman kepada Allah dan aku mendustakan
diriku (di dalam satu riwayat, penglihatanku)”. [HR Muslim: 2368,
al-Bukhoriy: 3444, an-Nasa’iy: VIII/ 249 dan Ahmad: II/ 314, 383. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]
Nabi Isa Alaihi as-Salam membangun dirinya
dalam kehati-hatian agar tidak mudah terjerumus dalam kekeliruan atau
kesalahan, sehingga ketika ia melihat seseorang menjulurkan tangannya seperti
mengambil sesuatu, yang di dalam pandangannya orang itu seperti sedang mencuri,
tapi Beliau tidak tergesa-gesa menuduhnya mencuri, sebab boleh jadi pandangannya
tertipu. Maka ia bertanya kepada orang itu, “apakah engkau mencuri?”. Namun
ketika orang itu menyanggahnya dan bahkan bersumpah dengan nama Allah untuk
menguatkan ucapannya, seketika itu pula Nabi Isa Alaihi as-Salam menarik tuduhannya dan mendustakan penglihatannya maka
selamatlah ia dari tuduhan tersebut. Jikalau ternyata orang itu benar-benar
mencuri lalu selamat dari tuduhan Nabi Isa Alaihi as-Salam dan hukuman dunia
tetapi ia tidak akan selamat dari persaksian Allah Jalla Jalaluh dan hukuman-Nya kelak pada hari kiamat.
Mencontoh kisah di atas, agar akurat dan tepat,
ketelitian itu sangat penting sebelum bersikap maka tidak boleh seorang muslim
itu sekenanya saja dan tergesa-gesa di dalam menentukan sikap dari apa yang
hanya ia lihat atau dengar. Sebab sifat tergesa-gesa itu dari setan yang memang
selalu bertekad hendak menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa dan
kesalahan, kebencian dan permusuhan dan semua perilaku yang dapat mendatangkan
murka Allah Azza wa Jalla serta menjauhkannya dari ridlo-Nya. Sedangkan
sifat teliti dan cermat itu dari Allah Subhanahu wa ta’ala,
yang dengan sifat elok ini seorang muslim dapat menjadi lebih berhati-hati di
dalam beritikad, beramal, berucap maupun bersikap. Jika dengan keyakinan, amal,
ucapan atau sikap itu dapat mendatangkan ridlo dan balasan kebaikan dari-Nya
yang disebabkan adanya hujjah kuat dari alqur’an dan hadits shahih yang
disertai niat ikhlas maka ia segera merealisasikannya, namun jika hanya akan
mendatangkan murka-Nya dan balasan keburukan maka ia tidak akan mewujudkannya.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam dalil
berikut ini,
عن
أنس بن مالك رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى
الله عليه و سلم
قَالَ: التَّأَنىِّ مِنَ اللهِ وَ اْلعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
Dari Anas bin Malik radliyallahu
anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sifat perlahan-lahan
(teliti/ cermat) itu dari Allah dan sifat tergesa-gesa itu dari setan”. [HR Abu Ya’la dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan]. [9]
Oleh sebab itu kaum salaf shalih terdahulu, amat
membenci perbuatan menyelidik dan menguping ini. Suatu ketika dihadirkan kepada
seorang shahabat yaitu Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu,
seseorang yang kedapatan pada jenggotnya menetes khomer. Maka iapun berkata,
“Kita umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dilarang dari tajassus yakni menyelidik dan
mencari-cari tahu akan keadaan seseorang, tetapi jika sesuatu itu telah jelas
bagi kami, maka kamipun akan menghukuminya”.
عَنْ
زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ: أُتَيِ ابْنُ
مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه فَقِيْلَ: هَذَا فُلاَنٌ تَقْطُرُ لِحْيَتُهُ خَمْرًا
فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: إِنَّا قَدْ نُهِيْنَا عَنِ التَّجَسُّسِ وَ لَكِنْ إِنْ
يَظْهَرْ لَناَ شَيْءٌ نَأْخُذْ بِهِ
Dari
Zaid bin Wahb berkata, “Pernah didatangkan kepada Ibnu Mas’ud radliyallahu
anhu (seorang lelaki)”. Lalu dikatakan kepadanya, “Si
fulan ini, pada jenggotnya menetes khomer”. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya
kami dilarang dari tajassus. Tetapi jika sesuatu telah jelas bagi kami, maka
kami akan menghukuminya”. [Telah mengeluarkan atsar ini Abu Dawud: 4890.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ]. [10]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Barangsiapa yang datang dengan membawa tuduhan kepada selainnya dalam rangka
bertajassus kepadanya, maka tuduhannya tersebut tidak boleh diterima”. [11]
Yang tidak disukai oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu adalah perbuatan tajassus sebahagian mereka kepada
seseorang yang dijumpai pada jenggotnya menetes khomer. Yakni mereka menyelidik
padahal mereka sendiri tidak melihatnya secara langsung dengan mata kepala
mereka bahwa orang itu meneguk khomer itu. Mereka hanya menduga saja lalu
membawanya kepada Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu untuk ditegakkan hadd atasnya, tetapi karena
kearifan, sifat kehati-hatian dan keluasan ilmunyalah yang mendorongnya untuk
menolak dan tidak mendukung tuduhan itu.
عن أبي
برزة الأسلمي قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ
يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ
تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ
اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فىِ بَيْتِهِ
Dari Abu Barzah
al-Aslamiy radliyallahu
anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, “Wahai golongan orang yang beriman dimulutnya
tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian meng-ghibah kaum
muslimin dan jangan pula kalian menyelidiki aib mereka. Barangsiapa yang
menyelidiki aib mereka, maka Allah akan menyelidiki aibnya. Dan barangsiapa
yang diselidiki aibnya oleh Allah, maka Allah akan membongkar (aib)nya (yang
dikerjakan) di rumahnya”. [HR Abu Dawud: 4880 dan Ibnu Hibban. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [12]
عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: صَعِدَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و
سلم اْلمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ
رَفِيْعٍ قَالَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ
إِلىَ قَلْبِهِ وَ لاَ تُؤْذُوْا اْلمـُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تُعَيِّرُوْهُمْ وَ لاَ
تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتْبَعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ اْلمـُسْلِمِ
تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعُ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَ
لَوْ فىِ جَوْفِ رَحْلِهِ
قال:
وَ نَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْماً إِلىَ اْلبَيْتِ أَوْ إِلىَ اْلكَعْبَةِ فَقَالَ:
مَا أَعْظَمُكَ وَ أَعْظَمُ حُرْمَتِكَ وَ اْلمـُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةٍ عِنْدَ
اللهِ مِنْكَ
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah naik mimbar lalu menyeru dengan suara
yang keras dan bersabda, “Wahai golongan orang yang Islam pada lisannya namun
keimanan belum mencapai hatinya janganlah kalian mengganggu kaum muslimin,
jangan menjelek-jelekkan mereka dan jangan menyelidiki aib-aib mereka.
Sesungguhnya barangsiapa yang menyelidik aib saudaranya yang muslim maka Allah
juga akan menyelidiki aibnya. Dan barangsiapa yang diselidiki aibnya oleh Allah
maka Allah akan membuka aibnya kendatipun ia (ketika mengerjakannya itu) berada
di tengah-tengah tempat kediamannya”.
Suatu hari Ibnu
Umar radliyallahu anhuma pernah melihat Baitullah atau Ka’bah, lalu
berkata, “Alangkah agungnya dirimu dan alangkah agungnya kehormatanmu, namun
orang mukmin itu lebih agung kehormatannya darimu di sisi Allah”. [HR at-Turmudziy:
2032. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan shahih]. [13]
Hadits-hadits
di atas menerangkan bahwasanya yang gemar menyelidiki aib-aib kaum muslimin
adalah orang yang imannya hanya di lisan dan tidak masuk ke dalam relung
hatinya di antara kaum munafikin. Maka barangsiapa di antara mereka yang suka
menyelidiki aib dan keburukan seorang muslim,
lalu menyingkap dan menyebarluaskannya kepada khalayak manusia maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan membalasnya dengan menyelidik aib dan
keburukannya pula lalu akan membuka aib tersebut dan menyebarluaskannya kepada
orang banyak. Allah Azza wa Jalla mengancam akan menyingkap tabir semua aibnya
bahkan sampai aib yang tersembunyi dan tersimpan rapi yang ia kerjakan di dalam
rumahnya sendiri dalam keadaan sunyi sepi. Subhaanallah, hal ini telah banyak
terbukti di masyarakat. Al-Iyadzu billah.
عَنْ
مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه قَالَ: َسمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم
يَقُوْلُ: إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ
أَنْ تُفْسِدَهُمْ – فَقَالَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ: كَلِمَةٌ َسمِعَهَا
مُعَاوِيَةُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
و سلم
نَفَعَهُ اللهُ تَعالى بِهَا
Dari
Mu’awiyah radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau jika menyelidik
(atau mencari-cari) aib cela manusia maka engkau akan merusak mereka atau
hampir-hampir merusak mereka”. Berkata Abu Darda’, “Suatu kalimat yang didengar
oleh Mu’awiyah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dengannya, Allah ta’ala memberi manfaat
kepadanya”. [HR Abu Dawud: 4888.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [14]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Perintah waspada dari tajassus (mencari-cari) aib kaum muslimin dan para hakim
dilarang dari mentajassusi rakyat (masyarakat)”. [15]
Tidak diragukan lagi, perilaku tajassus ini akan
mendatangkan berbagai kesusahan dan kepedihan bagi orang yang sedang diintai
dan ditajassusi itu. Sebab kehidupannya tidak lagi menjadi nyaman, privasinya
terganggu, ia merasa banyak mata mengintai dan telinga menguping, keluar masuk
rumahnya sendiri bagaikan seorang pencuri yang takut ketahuan petugas keamanan
dan sebagainya. Bukan hanya itu, akan terusik pula kehidupan anak, istri dan
keluarganya, hingga mereka dipenuhi dengan kewaspadaan dari pengintaian dan
penyelidikan orang lain. Berbicara berbisik-bisik khawatir terdengar, melangkah
mengendap-ngendap takut ketahuan, keluar rumahpun terkadang dengan kawalan atau
penyamaran bahkan menelpon sanak kerabatpun menjadi enggan lantaran khawatir
disadap. Sehingga iapun mengucilkan diri, lari dari perhatian setiap insani dan
akhirnya tenggelam dari keramaian kepada kesunyian. Rusaklah kehidupannya atau
paling tidak hampir-hampir para tukang tajassus itu merusaknya. Duhai malang
nian nasibnya, coba andaikan kemalangan itupun menimpa para tukang tajassus!!.
Sebagaimana telah diketahui bahwa para tukang
tajassus itu hanya akan mencari dan mengincar keburukan seseorang dan
mengabaikan kebaikannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Zanjiy al-Baghdadiy, [16]
يَمْشُوْنَ فىِ النَّاسِ يَبْغُوْنَ اْلعُيُوْبَ لِمَنْ لاَ عَيْبَ فِيْهِ لِكَيْ يَسْتَشْرِفَ
اْلعَطَبَ
إِنْ يَعْلَمُوا اْلخَيْرَ يُخْفُوْهُ وَ إِنْ
عَلِمُوْا شَرًّا أَذَاعُوْا وَ إِنْ
لَمْ يَعْلَمُوْا كَذِبُوْا
Mereka melewati manusia dalam rangka mencari aib
Bagi orang yang tidak memiliki aib cela
Agar orang yang mulia menjadi binasa
Apabila mereka mengetahu kebaikan mereka
menutupinya
Apabila mereka mengetahui keburukan mereka
menyiarkannya
Namun bila mereka tidak mengetahuinya maka
merekapun berdusta.
Demikian sekelumit
penjelasan tentang tajassus dan tahassus yang banyak dilakukan oleh umat
manusia, tidak terkecuali umat Islam yang lemah imannya lagi ternoda oleh
kemunafikan.
Maka hendaknya setiap
mukmin untuk selalu menjauhi kebiasaannya yang buruk untuk mencari-cari tahu
apalagi menyelidiki aib saudaranya yang muslim. Bahkan jika ia terlanjur
mengetahui aib saudaranya itu, hendaknya ia mengabaikan dan melupakannya seakan
ia tidak pernah mendengar dan mengetahuinya.
Semoga ilmu agama
yang senantiasa dituntut olehnya itu dapat memberi manfaat kepadanya dengan
menjaganya dari kekeliruan dan dosa dan melindunginya dari siksa kubur dan
neraka.
Wallahu a’lam bi
ash-Showab.
[1] Bahjah an-Nazhirin:
III/ 92.
[2] Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.
[3] Bahjah an-Nazhirin:
III/ 93.
[5] Bahjah an-Nazhirin:
III/ 93.
[7] Shahih Sunan Abi
Dawud: 4202, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1432, al-Jami’ ash-Shaghir: 6028 dan Ghoyah
al-Maram: 120, 422.
[8] Mukhtashor Shahih
Muslim: 1620 , Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5016, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3450
dan Misykah al-Mashobih: 5050.
[9] Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 3011, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1795 dan Misykah al-Mashobih:
5055..
[10] Shahih Sunan Abi
Dawud: 4090.
[11] Bahjah an-Nazhirin:
III/ 94.
[12] Shahih Sunan Abi
Dawud: 4083, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7982, Miyskah al-Mashobih: 5044 dan
Ghoyah al-Maram: 420
[13] Shahih Sunan
at-Turmudziy: 1655 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7985.
[15] Bahjah an-Nazhirin:
III/ 94.
[16] Raudlah al-Uqala
oleh al-Imam Ibnu Hibban halaman 178.