BARANGSIAPA MEMBENCI SESUATU YANG DIBAWA OLEH
ROSULULLAH Shallallahu ‘alaihi wa sallam KENDATIPUN IA BERAMAL DENGANNYA, MAKA
SUNGGUH-SUNGGUH IA TELAH KAFIR.
بسم الله الرحمن الرحيم
Sesungguhnya
sunnah (atau hadits) itu adalah pasangannya alqur’an, yang setiap mukmin wajib
mengimani, mempelajari serta mengamalkan keduanya, ia tidak boleh memisahkan
atau meninggalkan dan menanggalkan salah satu dari keduanya. Jika ada seseorang
mengaku-ngaku dirinya beriman tetapi pada kenyataannya ia meninggalkan atau
menanggalkan salah satu diantara keduanya bahkan kedua-duanya di dalam upaya
memahami agama ini maka jelas ia akan menjumpai kesesatan. Karena hal ini
bertentangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam mentarbiyah (mendidik) kaum mukminin mengenal agama
mereka. Dan juga yang telah diusahakan oleh para shahabat Radliyallahu ‘anhum
serta orang-orang yang mengikuti mereka di dalam membina umat, khususnya kaum
muslimin, yaitu dengan memperkenalkan kepada mereka alqur’an dan Sunnah (hadits)
secara bersamaan. Sebagaimana yang tersurat dan tersirat di dalam dalil-dalil
berikut ini,
هُوَ
الَّذِى بَعَثَ فِى اْلأُمِّيِّيْنَ رَسُـوْلاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ
كَانُوْا مِنُ قَبْلُ لَفِى ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang ummiy (buta huruf) seorang Rosul di antara
mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan (jiwa) mereka
dan mengajarkan alkitab (alqur’an) dan hikmah kepada mereka. Dan sesungguhnya
mereka sebelum itu benar-benar di dalam kesesatan yang nyata. [QS.
al-Jumu’ah/62: 2].
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُـوْلاً مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِى ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
Sungguh-sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan
kepada mereka al-kitab (alqur’an) dan hikmah (Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelum itu benar-benar di dalam kesesatan yang nyata. [QS. Ali Imran/3: 164].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((Dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
dan hikmah)) yakni alqur’an dan Sunnah. [1]
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُـوْلاً مِنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَ
يُزَكِّيْكُمْ وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ يُعَلِّمُكُمْ مَا
لَمْ تَكُوْتُوْا تَعْلَمُوْنَ
Sebagaimana
Kami telah mengutus seorang Rosul kepada kalian, yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada kalian, mensucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan
hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yang kalian tidak ketahui. [QS.
al-Baqarah/2: 151].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala mengingatkan hamba-hambaNya
yang beriman apa yang Ia telah berikan nikmat kepada mereka berupa pengutusan
Rosul Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah yang jelas, mensucikan mereka yaitu membersihkan mereka
dari kebusukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan jahiliyah. Mengeluarkan
mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya, mengajarkan al-Kitab yaitu alqur’an dan
al-Hikmah yaitu Sunnah, dan mengajarkan mereka sesuatu yang mereka tidak
ketahui. Dahulu mereka adalah orang-orang jahil di masa jahiliyah lagi tidak
memahami ucapan orang-orang yang membaca (alqur’an kepada mereka). Maka mereka
berpindah dengan berkah kerosulan dan anugrah perjalanannya kepada keadaan para
wali dan perangai para ulama, lalu jadilah mereka orang yang paling mendalam
ilmunya di antara manusia, orang paling baik hatinya, orang yang paling sedikit
bebannya dan orang yang paling benar logatnya (ucapannya)”. [2]
وَاذْكُرْنَ
مَا يُتْلَى فِى بُيُوْتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَ الْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ لَطِيْفًا خَبِيْرًا
Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah
(Sunnah). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagu Maha Mengetahui. [QS.
al-Ahzab/33: 34].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu hendaklah kalian beramal dengan apa
yang diturunkan Allah Tabaroka wa ta’ala kepada Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di rumah-rumah kalian dari al-Kitab dan as-Sunnah”. [3]
Berkata
al-Imam al-Qurthubiy rahimahullah, “Berkata ahli takwil (tafsir), ayat-ayat
Allah adalah alqur’an
dan alhikmah adalah Sunnah”. [4]
Berkata
al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy rahimahullah, “Maka Allah menyebutkan
al-Kitab yaitu alqur’an. Dan menyebutkan al-Hikmah, aku mendengar orang yang
diridloi dari ahli ilmu dengan alqur’an, mengatakan, al-Hikmah adalah sunnah
Rosulullah. [5]
Berkata
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Berkata tidak satu (maksudnya;
banyak) di antara ulama salaf, al-Hikmah adalah Sunnah, karena yang dibacakan
di rumah para istrinya radliyallahu ‘anhunna selain alqur’an adalah sunnah-sunnahnya
shallallahu ‘alaihi
wa sallam”. [6]
Katanya
lagi, “Telah berkata tidak satu dari ulama, di antara mereka adalah Yahya bin
Abi Katsir, Qotadah, asy-Syafi’iy dan selain mereka; al-Hikmah adalah Sunnah
karena Allah telah memerintahkan para istri nabi-Nya untuk diingatkan apa yang
dibacakan di rumah-rumah mereka dari al-Kitab dan al-Hikmah. Al-Kitab adalah alqur’an
dan apa yang selain itu dari yang dibacakan Rosul adalah Sunnah”. [7]
Berkata
al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Sesungguhnya Allah telah
menurunkan hikmah kepada nabi-Nya sebagaimana telah menurunkan alqur’an
kepadanya dan menganugrahkan yang demikian kepada kaum Mukminin. Dan hikmah
adalah Sunnah sebagaimana dikatakan oleh tidak satu (atau banyak) para ulama
salaf, dan ini sebagaimana yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah ta’ala
berfirman, ((Dan ingatlah apa yang dibacakan dirumah-rumah kalian dari
ayat-ayat Allah dan hikmah. QS. al-Ahzab/33: 34)). Allah ta’ala telah membagi
apa yang dibacakan menjadi dua macam yaitu ayat-ayat yakni alqur’an dan
al-hikmah yakni Sunnah. Dan yang dimaksud dengan Sunnah adalah apa yang diambil
dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain alqur’an, sebagaimana Beliau
Shallallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda [8],
“Ingatlah sesungguhnya telah diberikan kepadaku al-Kitab dan yang semisalnya
bersamanya, ingatlah sesungguhnya ia seperti alqur’an atau lebih banyak lagi”. [9]
Memperhatikan
beberapa ayat di atas dan keterangannya maka jelaslah bahwasanya Allah ta’ala
telah menyandingkan dan mengkaitkan pengajaran alqur’an dengan as-Sunnah yang telah
dikerjakan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh dan sempurna,
tiada penyimpangan di dalam membina umat manusia khususnya kaum muslimin.
Apalagi di samping itu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah
menerangkan bahwasanya Beliau telah dianugerahkan al-Kitab yaitu alqur’an dan
adalagi yang semisalnya bersamanya yaitu Sunnah. Hal ini sesuai dengan apa yang
telah dikhabarkan di dalam beberapa dalil berikut ini,
عَنِ
الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدٍ يَكْرَبَ عَنْ رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم
أَنَّهُ قَالَ: أَلاَ
إِنِّى أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ
وَ مِثْلُهُ مَعَهُ
Dari
Miqdam bin Ma’d yakrob, dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya
beliau bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya aku telah diberikan kitab (alqur’an)
dan yang semisalnya (al-Hadits) bersamanya”. [HR Abu Dawud: 4604 dan Ahmad: VI/
131. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]
Berkata
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Yaitu Sunnah. Dan Sunnah juga
turun dengan wahyu kepadanya sebagaimana turunnya alqur’an, hanyasaja Sunnah
itu tidak dibacakan sebagaimana dibacakannya alqur’an”. [11]
Dari Hassan
bin ‘Athiyah salah seorang Tabi’in dari tsiqot negeri Syam, “Adalah Jibril
turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa Sunnah
sebagaimana ia turun kepadanya dengan membawa alqur’an”. [Mengeluarkan atsar
ini al-Baihaqiy dengan sanad yang shahih]. [12]
عَنْ
الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدٍ يَكْرَبَ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه
و سلّم : أَلاَ هَلْ عَسَى رَجُلٌ يَبْلُغُهُ الْحَدِيْثُ عَنِّى وَهُوَ مُتَّكِئٌ
عَلَى أَرِيْكَتِهِ فَيَقُوْلُ بَيْنَنَا وَ بَيْنَكُمْ كَتَـابُ اللَّهِ فَمَا
وَجَدْنَا فِيْهِ حَلاَلاً اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيْهِ حَرَامًا
حَرَّمْنَاهُ وَ إِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم كَمَا
حَرَّمَ اللَّهُ
Dari
al-Miqdam bin ma’d Yakrob) berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ingatlah, akan sampai kepada seseorang hadits dariku, sedangkan ia bersandar
di atas dipannya seraya berkata, ‘Di antara kami dan di antara kalian ada kitab
Allah (alqur’an), maka apa yang kita dapatkan padanya yang halal, maka kitapun
menghalalkannya dan apa yang kita dapatkan haram padanya, maka kitapun
mengharamkannya. Dan sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rosululllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang telah diharamkan oleh Allah”. [HR
at-Turmudziy: 2664 lafazh ini baginya, Ibnu Majah: 12 dan ad-Darimiy: I/ 144.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwasanya Allah ta’ala telah menganugerahkan kepada
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam al-Kitab yakni alqur’an dan yang
semisalnya bersamanya yaitu hadits, sebab tiada sesuatupun yang dapat menyamai
alqur’an ketika diturunkan selain hadits. Maka kedudukan hadits itu sama dan
sejajar dengan alqur’an yang tidak boleh seorang mukminpun yang memandang
dengan sebelah mata apalagi menolak dan mengingkarinya. Maka apa yang
dihalalkan dan diharamkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama seperti
yang telah dihalalkan dan diharamkan
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, kendatipun
akan muncul di antara umat ini yang ketika datang kepadanya satu hadits
lalu ia menolaknya dan hanya mau berhukum kepada alqur’an, yakni ia hanya
menghalalkan dan mengharamkan sebagaimana yang dijumpai di dalam alqur’an saja.
Subhanallah, amatlah buruk apa yang mereka hukumkan.
Bahkan
Aisyah Radliyallahu ‘anha salah seorang ummahat al-Mukminin telah memberikan
gambaran tentang akhlak suaminya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana berikut,
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ فَإِنَّ خُلُقَ نَبِيِّ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم كَانَ
الْقُرْءَ انَ
Dari Aisyah berkata, “Maka
sesungguhnya akhlak Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah alqur’an.
[Telah mengeluarkan atsar ini Muslim: 746 lafazh ini baginya, Abu Dawud: 1342
dan Ahmad: VI/ 54, 91, 163, 216. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]
Jika ada
seorang mukmin ingin melihat bagaimana penerapan dan penjabaran alqur’an secara
utuh, lurus dan benar maka hendaklah ia melihat dengan seksama kepada perilaku
dan akhlak pribadi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
hadits-hadits yang telah shahih atau tsabit dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karena apa yang telah dilakukan oleh Beliau tidak akan keluar dan
menyimpang dari apa yang telah ada di dalam alqur’an. Maka tidak mungkin
seorang mukmin itu dapat mewujudkan cara berakidah dengan benar, misalnya
menerapkan perintah Allah ta’ala untuk mentauhidkan-Nya dan tidak
mempersekutukan-Nya (tidak berbuat syirik) jika tidak melihat contoh dan
penjabarannya dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula,
bagaimana mungkin seorang mukmin dapat melaksanakan perintah Allah ta’aala yang
lainnya dengan benar, misalnya berupa menegakkan sholat, membayar zakat,
melaksanakan shaum, menunaikan haji dan lain sebagainya jika tidak melihat
contoh dan penjelasan Beliau di dalam hadits-hadits yang shahih. Oleh sebab itu
jika ada seorang mempelajari Islam ini dengan tidak melalui penelaahan alqur’an
yang disandingkan dengan hadits, maka niscaya ia bodoh, sesat dan merugi, bodoh
karena selamanya akan buta dan tidak mengerti sesuatu apapun, sesat karena jauh
dari kebenaran dan merugi karena sia-sia amalnya, sebagaimana telah diisyaratkan
di dalam dalil berikut ini,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم خَطَبَ النَّاسَ فِى
حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يُعْبَدَ
بِأَرْضِكُمْ وَلَكِنْ رَضِيَ أَنْ يُطَاعَ فِيْمَا سِوَى ذَلِكَ مِمَّا
تَحَاقَرُوْنَ مِنْ أَعْمَالِكُمْ فَاحْذَرُوْا إِنِّى قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا
إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أّبَدًا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ
نَبِيِّهِ
Dari
Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkhutbah kepada manusia pada waktu haji wada’ (haji perpisahan). Beliau
bersabda, “Sesungguhnya setan itu telah berputus asa untuk disembah di bumi
kalian ini, tetapi ia telah ridlo (senang) apabila ia ditaati pada apa-apa yang
selain itu dari sebahagian apa yang kalian remehkan amal-amal kalian, maka
berhati-hatilah. Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian sesuatu yang
jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya,
yakni kitab Allah dan sunnah nabi-Nya. [HR al-Hakim: 323. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan]. [15]
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: تَرَكْتُ
فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِى وَ
لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
Dari
Abu Hurairah, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
telah tinggalkan dua hal kepada kalian, yang kalian tidak akan tersesat
selamanya setelah (memegang teguh) keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku,
dan kedua-duanya tidak akan terpisah sehingga kedua-duanya datang kepadaku di
telaga (yaitu hari kiamat)”. [HR al-Hakim: 324. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [16]
Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjamin tidak akan tersesatnya seseorang di dalam
memahami, mengamalkan dan mendakwahkan agamanya jika di dalam belajar sebagai
upaya pemahaman, penerapan di dalam kehidupan sehari-hari dan penyebarluasan di
dalam dakwah selalu dikaitkan dengan alqur’an dan Sunnah yang telah tsabit,
serta senantiasa menyandingkan keduanya menurut pemahaman ulama salaf ash-Shalih
yang lurus dan benar.
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ رَسُـوْلَ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: مَنْ عَمِلَ
عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari
‘Aisyah bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal, yang tidak ada syariat kami di
atasnya maka ia (yaitu amal tersebut) tertolak”. [HR al-Bukhoriy secara ta’liq,
Muslim: 1718 lafazh ini baginya, Ahmad: VI/ 146, 180, 256 dan ad-Daruquthniy:
4491. Berkata asy-Syaikh al-Albani: Shahih]. [17]
Berkata Ibnu
Baththol, “Maksudnya adalah barangsiapa yang berhukum dengan selain sunnah
lantaran kejahilan (tidak tahu) atau kesalahan, maka wajiblah baginya merujuk
kepada hukum sunnah dan meninggalkan apa yang menyelisihinya karena mengikut
perintah Allah ta’ala yang mewajibkan mentaati rosul-Nya, dan inilah maksudnya
berpegang teguh dengan sunnah”. [18]
Maka
alangkah sia-sianya seseorang itu melakukan sesuatu amal yang tidak
disyariatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena amal tersebut
ditolak yakni tidak akan diberikan balasan ataupun ganjaran yang baik pada hari
kiamat sehingga ia mau merujuk kepada sunnah yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di sisi para ulama hadits. Dan alangkah bodohnya jika ada
orang yang hanya mau menerima pengajaran Islam ini dari alqur’an saja tanpa mau
menerima keabsahan dan kebenaran Sunnah (al-Hadits) yang telah diakui
kesangat-pentingannya di dalam ajaran Islam ini atau bahkan menolak dan
mengingkari kedua-duanya hanya lantaran logika, hawa nafsu, dan persangkaan
(zhonn)nya. Maksudnya ia hanya mau menerima kebenaran keduanya atau salah satu
dari keduanya jikalau masuk di dalam akal logikanya, sesuai dengan hawa
nafsunya dan mencocoki persangkaannya, yang insyaa Allah akan datang
penjelasannya sebentar lagi.
Berkata
al-Imam Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-Ajuriy rahimahullah, “Sepatutnya
bagi orang yang memiliki ilmu dan akal (pemahaman) apabila mendengar seorang
berkata, ‘Telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
sesuatu yang telah tsabit disisi ulama’. Lalu ada seorang yang jahil (bodoh)
menolak dan berkata, ‘aku tidak akan menerima kecuali apa yang telah ada di
dalam kitab Allah ‘Azza wa Jalla’. Katakan kepadanya, ‘Engkau adalah seorang
laki-laki yang buruk, engkau adalah termasuk orang yang ditahdzir (diperintahkan
kepada kami agar waspada darimu) oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
oleh para ulama’.
Dikatakan
kepadanya, “Wahai Jahil, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menurunkan
kewajiban-kewajibanNya secara keseluruhan dan telah menyuruh Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menjelaskannya kepada manusia mengenai apa yang telah
diturunkan kepadanya. Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla, ((Dan Kami telah
menurunkan kepadamu alqur’an agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. QS. an-Nahl/16: 44)).
Maka Allah ‘Azza wa Jalla telah menempatkan
dan mengangkat Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
tempat “bayan” (penjelasan) dari-Nya, telah memerintahkan makhluk untuk
mentaatinya, melarang mereka dari mendurhakainya, dan juga memerintahkan mereka
untuk berhenti dari apa yang telah dilarang olehnya darinya. Allah ‘Azza wa
Jalla telah berfirman, ((Dan apa yang diberikan Rosul kepada kalian maka
ambillah (terimalah) dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka hentikanlah
(tinggalkanlah). QS. al-Hasyr/59: 7)). Kemudian Allah menyuruh mereka
berhati-hati dari menyelisihi perintah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ((Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintahnya waspada bahwasanya mereka akan ditimpa fitnah (cobaan)
atau ditimpa adzab yang sangat pedih. QS. an-Nuur/24: 63)), dan Allah Tabaroka
wa Ta’ala telah berfirman, ((Maka demi Rabbmu, mereka pada hakikatnya tidaklah
beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dari perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
QS. an-Nisa’/4: 65)). Lalu Allah telah mewajibkan atas makhluk-Nya agar
mentaatinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sekitar lebih tiga puluh tempat
dari kitab-Nya ‘Azza wa Jalla.
Dan katakan
kepada orang yang menentang sunah-sunah Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Jahil, Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, ((Dan tegakkanlah sholat dan
tunaikanlah zakat. QS. an-Nuur/24: 56)), dimanakah engkau jumpai di dalam kitab
Allah ‘Azza wa Jalla bahwasanya sholat Fajar (Shubuh) itu dua raka’at, sholat
zhuhur itu empat raka’at, sholat Ashar itu empat raka’at, sholat maghrib itu
tiga raka’at dan sholat ‘Isya itu empat raka’at?.Dan dimanakah pula engkau
jumpai hukum-hukum sholat, apa-apa yang menshalihkannya dan apa-apa yang
membatalkannya, kecuali dari sunah-sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?.
Dan seperti itu pula zakat, dimanakah engkau jumpai di dalam kitab Allah ‘Azza
wa Jalla bahwa dari dua ratus dirham (diambil zakatnya sebanyak) lima dirham,
dari dua puluh dinar (diambil zakatnya sebanyak) setengah dinar, dari empat
puluh ekor kambing (diambil zakatnya sebanyak) satu ekor kambing, dari lima
ekor unta (diambil zakatnya sebanyak) satu ekor kambing, dan dari seluruh hukum
zakat, dimanakah engkau menjumpainya di dalam kitab Allah ‘Azza wa Jalla?.
Dan demikian
pula seluruh fara’idl (kewajiban-kewajiban Allah) ‘Azza wa Jalla yang telah
Allah Jalla wa ‘Ala telah wajibkan di dalam kitab-Nya, yang tidak diketahui
hukum padanya selain dengan sunah-sunah Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini adalah
perkataan para ulama kaum muslimin, barangsiapa yang berkata selain ini maka ia
telah keluar dari agama Islam, dan masuk ke dalam agama kaum mulhidin
(orang-orang yang menyimpang). Kami berlindung kepada Allah ta’ala dari
kesesatan setelah mendapat petunjuk. [19]
Memperhatikan
penjelasan tersebut di atas, maka dapat dipahami betapa pentingnya kedudukan
as-Sunnah yang dibawa oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
ajaran Islam ini. Tidak pantas seseorang yang menginginkan dirinya menjadi
seorang mukmin mengabaikan apa yang telah dibawa oleh Beliau ini, dengan
berdalih kepada logika, hawa nafsu dan zhonn (persangkaan), yang semua
dalih atau alasan tersebut telah jelas bahayanya jika ingin menerima ajaran
Islam secara utuh dan murni, bahkan syariatpun telah mencelanya di dalam banyak
tempat.
a). LOGIKA.
Logika atau
akal adalah alat yang sangat berbahaya yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam
terutama para ahli ro’yu (yaitu orang yang suka mengeluarkan pendapat yang
sesuai dengan akal mereka) kepada umat ini, sehingga banyak di kalangan awam
kaum muslimin terutama di kalangan pelajarnya yang terpengaruh dan terbius oleh
racun mematikan ini. Karena mereka diajak untuk hanya menerima pengajaran Islam
yang sesuai dengan akal atau logika mereka, kendatipun telah jelas keabsahan
dan kebenarannya yang bersumber dari alqur’an maupun hadits-hadits yang telah
tsabit dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akal -menurut mereka- adalah
sumber kebenaran bagi mereka, tiada manfaat sedikitpun nash dari alqur’an
maupun al-Hadits jika tidak masuk dalam logika mereka. Kebalikannya, jika ada
pendapat-pendapat manusia yang bertentangan dengan syariat tetapi cocok dengan
logika mereka, maka merekapun menerimanya. Subhanallah! amat buruk apa yang
mereka tetapkan. Maka jikalau demikian pandangan mereka, tentu ada berapa
banyak ayat dan hadits yang akan mereka tolak lantaran tidak sesuai dengan
logika mereka ?.
Belumkah
mereka mengetahui bahwasanya diantara kesesatan dan dikutuknya Iblis
la’natullah ‘alaihi adalah lantaran menggunakan kiyas akalnya yang rusak.
Berkata Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qohthoniy ketika mengomentari ayat, “((Allah
berfirman, “Apakah yang mencegahmu untuk sujud ketika Aku menyuruhmu”. Iblis
menjawab, “Aku lebih baik darinya, Engkau menciptakanku dari api dan Engkau
menciptakannya dari tanah”. QS. al-A’raf/7: 12)), ia berkata, “Sungguh-sungguh
Allah telah menyuruh Iblis untuk sujud. Lalu jawaban Iblis la’anahullah adalah
penolakan dan kesombongan lantaran menggunakan kiyasnya yang rusak, ‘Sesungguhnya
api itu lebih mulia dari tanah’. Dengan hal ini ia telah mengangkat
dirinya sebagai tandingan bagi Allah Subhaanahu wa ta’ala, ‘Allah berkata
begini’, lalu Iblis berkata, ‘aku berpandangan begitu’. Oleh sebab itu ia
pantas mendapatkan laknat dan diusir dari rahmat Allah. [20]
Juga
sebagaimana yang dikatakan al-‘Allamah Ibnu Abi al-‘Izz rahimahullah, “Dan
penyebab kesesatan adalah berpalingnya dari mentadabburi (mempelajari) firman
Allah, sabda Rosul-Nya dan menyibukkan diri dengan ucapan Yunani (dari para
ahli filsafatnya) dan ro’yu yang berbeda-beda. Dan mereka itu dijuluki ahli
kalam, karena mereka tidak dapat mengambil faidah dari suatu ilmu yang
mereka tidak kenal dan mereka menambah perkataan yang kadang-kadang tiada
faidahnya. Yaitu apa yang mereka buat dari kiyas untuk menjelaskan apa yang
diketahui dengan perasaan. Walaupun kiyas dan yang semisalnya ini bermanfaat
pada tempat yang lain dan bersama orang yang mengingkari perasaan. Dan semua orang
yang berkata dengan ro’yu (pendapat akal), perasaan dan siasatnya yang disertai
adanya nash (dalil) atau menentang nash dengan ma’qul (logis maksudnya masuk
akal atau logika) maka sungguh-sungguh ia telah menyerupai Iblis ketika ia
tidak tunduk kepada perintah Rabbnya, bahkan ia mengatakan, ((aku lebih baik
darinya, Engkau menciptakanku dari api dan Engkau menciptakannya dari tanah.
QS. al-A’raf/7: 12))”.[21]
Tidakkah
mereka juga mengetahui di antara penyebab kekufuran orang-orang kafir adalah
lantaran menggunakan akal mereka yang sangat jelas kerusakkannya. Ketika Allah
ta’ala menurunkan ayat, ((Sesungguhnya Kami telah menjadikan zaqqum menjadi
fitnah (yaitu merupakan ujian di dunia dan adzab di akhirat) bagi orang-orang
yang zholim, sesungguhnya ia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar
neraka Jahim. QS. ash-Shoffat/ 37: 63-63)), mereka berkata, “Bagaimana hal ini
merupakan hal yang benar, dijumpai sebuah pohon kurma yang mempunyai mayang di
tengah-tengah api, bagaimana mungkin api itu tidak membakarnya, dengan
menggunakan kiyas perkara yang ghaib atas perkara yang nyata, dan ini adalah
kiyas yang rusak. Sebagaimana dijelaskan penafsirannya oleh asy-Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jaza’iriy di dalam kitab tafsirnya”. [22]
Berkata
al-‘Allamah Ibnu Qoyyim rahimahullah, “Sesungguhnya Allah Subhanahu telah
menceritakan tentang orang-orang kafir di dalam menentang perintah-Nya dengan
akal mereka, sebagaimana telah menceritakan tentang mereka di dalam menentang
berita-Nya dengan akal mereka. Adapun yang pertama di dalam firman Allah QS.
al-Baqarah/2: 275. Maka mereka menentang pengharaman riba dengan akal mereka
yang mempersamakan riba dengan jual beli. Dan ini mempertentangkan nash dengan
ro’yu. Dan yang sebanding itu adalah apa yang mereka pertentangkan berupa pengharaman bangkai dari mengkiyasnya
atas binatang sembelihan. Mereka berkata, ‘kalian memakan yang kalian bunuh dan
tidak memakan yang Allah bunuh’. Dan dari sebab itulah Allah menurunkan QS.
al-An’am/6: 121. Dan mereka juga menentang perintah-Nya dengan merubah arah
kiblat, mereka berkata, ‘Jika kiblat yang pertama itu yang benar maka engkau
telah meninggalkan kebenaran, tetapi jika batil maka engkau berada di atas
kebatilan’. Dan imam mereka, pemimpin jalannya adalah Iblis musuh Allah, maka
sesungguhnya dia adalah yang pertama menentang Allah dengan akalnya, dan ia
menyangka bahwasanya akal itu menetapkan kebalikannya. Adapun bentuk yang kedua
yaitu menentang berita-Nya dengan akal, maka sebagaimana telah diceritakan oleh
Allah Subhaanahu mengenai para pengingkar hari kembali/ kiamat ((Dan dia telah
membuat perumpamaan kepada Kami dan melupakan kejadiannya, ia berkata, ‘Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?’. QS.
Yasin/36: 78)). Allah Subhanahu telah mengkhabarkan bahwasanya mereka menentang
apa yang Allah beritakan dari tauhid dengan akal mereka. Mereka menentang
berita-berita-Nya tentang nubuwwah (kenabian) dengan akal mereka. Menentang
sebahagian amtsal (permisalan) yang Allah buat dengan akal mereka. Dan
menentang dalil-dalil kenabian Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
akal mereka, lalu mereka berkata: QS. az-Zukhruf/43: 31. Dan seterusnya. [23]
Akankah
mereka itu mengikuti jejak Iblis dan para pengikutnya ?. Tentu mereka enggan
dan tidak mau menjadi pengikut Iblis yang telah dijamin kebinasaan di dunia dan
kesengsaraan di akhirat. Jika demikian, apakah gerangan yang menghambat mereka
untuk meninggalkan rusaknya kiyas yang muncul dari akal logika mereka yang
berbahaya, menuju kepada ketundukkan yang berdasarkan iman.
Ada pula di
antara mereka yang berhujjah kepada beberapa riwayat di bawah ini,
الدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ وَ مَنْ لاَ
دِيْنَ لَهُ لاَ عَقْلَ لَهُ
Artinya, “Agama
itu adalah akal, dan seseorang itu tiada agama baginya yang tidak ada akal
baginya”.
Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy, “Bathil”, telah mengeluarkan hadits ini
an-Nasa’iy di dalam kitab “al-Kunya” dan ad-Dulabiy di dalam kitab “al-Kunya wa
al-Asma”. Berkata an-Nasa’iy, “Ini adalah hadits bathil Munkar”.
Telah
mengeluarkan (hadits ini pula) al-Harits bin Abu Usamah di dalam Musnadnya dari
Dawud bin al-Muhabbir sekitar 39 hadits mengenai keutamaan akal. Berkata
al-Hafizh Ibnu Hajar, Semuanya Maudlu’ (palsu).
Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy, “Termasuk dari baiknya tanbih (peringatan) adalah
bahwasanya semua hadits yang datang mengenai keutamaan akal adalah tidak shahih
sedikitpun darinya yaitu berkisar antara lemah dan palsu”.
Berkata
al-‘Allamah Ibnu Qoyyim, “Hadits-hadits akal semuanya adalah dusta”.[24]
قِوَامُ
الْمَرْءِ عَقْلُهُ وَ لاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَقْلَ لَهُ
Artinya, “Tiang penopang seseorang
adalah akalnya, dan tiada agama bagi orang yang tiada memiliki akal”.
Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy, “Maudluu’ (Palsu), menyebutkan hadits ini al-Imam
as-Suyuthiy di dalam kitab “Dzail al-Ahadits al-Maudlu’ah”. [25]
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ
الْعَقْلَ فَقَالَ لَهُ أَقْبِلْ فَأَقْبَلَ فَقَالَ لَهُ أَدْبِرْ فَاَدْبَرَ
فَقَالَ: وَ عِزَّتِى مَا خَلَقْتُ خَلْقًا أَكْرَمَ عَلَيَّ مِنْكَ فَبِكَ آخُذُ
وَ بِكَ أُعْطِى وَ لَكَ الثَّوَابُ وَ عَلَيْكَ الْعِقَابُ
Artinya,
“Sesungguhnya yang pertama-tama Allah ciptakan adalah akal. Allah berkata
kepadanya, ‘datang menghadaplah!’. Maka iapun datang menghadap. Allah berkata
kepadanya, ‘mundurlah ke belakang!’. Maka iapun mundur ke belakang. Lalu Allah
berfirman, ‘Demi kemuliaanKu, Aku tidaklah menciptakan makhluk yang lebih mulia
darimu atas-Ku. Dengan sebabmulah Aku menyiksa, dengan sebabmulah Aku memberi,
bagimulah pahala dan atasmulah hukuman”.
Berkata
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Hadits yang mereka sebutkan
mengenai akal adalah kedustaan lagi palsu menurut orang-orang yang mengetahui
tentang hadits, seperti telah disebutkan oleh Abu Hatim al-Bastiy,
ad-Daruquthniy, Ibnu al-Jauziy dan selain mereka”. [26]
Maka karena
hujjah-hujjah tersebut telah diketahui kebatilannya dan kepalsuannya, maka
hadits tersebut tidak boleh dijadikan hujjah dan pedoman di dalam mengutamakan
akal dalam upaya memahami agama. Tetapi pedoman memahami agama Islam ini adalah
berupa iman dan ketundukkan kepada dalil-dalil yang telah ditawarkan oleh Allah
Jalla wa ‘ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ketundukkan
yang sempurna. Akal hanyalah alat untuk mencari tahu kebenaran yang telah
tersurat maupun tersirat di dalam alqur’an dan hadits-hadits yang telah tsabit,
maka meskipun akhirnya akal belum atau bahkan tidak dapat membuka simpul
rahasia kebenaran keduanya maka akal akan tetap menerimanya.
Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Shahabat Radliyallahu ‘anhum telah mengisyaratkan
keberadaan para pemuja akal dan menjelaskan akan bahayanya mereka bagi umat
dengan beberapa dalil berikut ini,
عَنْ
عُرْوَةَ قَالَ: حَجَّ عَلَيْنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فَسَمِعْتُهُ
يَقُوْلُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم يَقُوْلُ: إِنَّ اللَّهَ لاَ
يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوْهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ
يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ
جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُوْنَ بِرَأْيِهِمْ فَيَضِلُّوْنَ وَ يُضِلُّوْنَ
Dari
‘Urwah (bin az-Zubair) berkata, “Pernah berhajji atas kami Abdullah bin ‘Amr,
lalu aku mendengarnya berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu sesudah
memberikannya kepada kalian dengan sekali cabut. Tetapi Ia akan mencabutnya
dari mereka disertai wafatnya ulama (para orang alim) dengan membawa ilmu
mereka. Lalu tinggallah beberapa orang bodoh yang diminta fatwa, lalu mereka
berfatwa dengan ro’yu (pendapat) mereka, maka mereka sesat dan menyesatkan”. [HR
al-Bukhoriy: 7307]. [27]
Maka
sepeninggal ulama yang diwafatkan Allah ta’ala dengan membawa ilmu mereka,
tinggallah para orang Jahil (bodoh) yang akan memberikan fatwa ketika mereka
diminta fatwa dengan pendapat mereka, dan mereka tidak akan memberikan fatwa
dengan pendapat tersebut jika mereka tidak memiliki akal. Dengan akal atau
logika mereka akan mencari-cari tahu, pura-pura tahu dan sok tahu akan jawaban
dari pertanyaan manusia, maka meluncurlah rangkaian kata-kata berupa ucapan
dari mulut mereka yang ‘asbun’ (asal bunyi) atau berupa makalah hasil
buah tangan mereka yang ‘astul’ (asal tulis), yang semuanya itu tidak
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, jadilah mereka itu sesat lagi pula
menyesatkan.
Berkata Ibnu
Baththol rahimahullah, “Kesesuaian antara ayat (yakni QS. al-Isra’/17: 36)
dengan hadits tersebut adalah tercelanya beramal dengan ro’yu (pendapat) dan
antara apa yang dilakukan oleh ulama salaf dari mengisthibathkan (mengambil
kesimpulan) hukum, bahwasanya nash ayat merupakan celaan berkata tanpa ilmu,
lalu dikhususkan dengannya orang yang berkata dengan ro’yu yang kosong dari
penyandaran kepada ushul (dasar agama). Makna hadits merupakan celaan bagi
orang yang berfatwa yang disertai kebodohan, dan oleh sebab itu mereka disifati
dengan sesat dan menyesatkan. Jika tidak, maka telah dipuji orang yang beristhinbath
dari ushul karena perkataan-Nya, ((Tentulah orang-orang yang beristhinbath
dapat mengetahui dari mereka. QS. an-Nisa’/4: 83)) Maka ro’yu apabila
disandarkan kepada dasar alqur’an atau Sunnah atau ijmak maka ia terpuji,
tetapi jika tidak bersandar kepada sesuatu maka ia tercela”. [28]
Berkata ‘Ali
bin Abi Thalib Radliyallahu ‘anhu, “Andaikata agama ini adalah ro’yu (pendapat
akal), niscaya bagian bawah khuff (sepatu) lebih utama untuk diusap daripada
bahagian atasnya. Dan sungguh-sungguh aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengusap bahagian atas kedua khuffnya”. [Telah mengeluarkan
atsar ini Abu Dawud: 162 dan ad-Daruquthniy: 772. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [29]
Dan katanya
lagi, “Andaikan agama itu adalah ro’yu (pendapat akal), tentulah bahagian dalam
kedua telapak kaki lebih utama untuk diusap daripada bahagian luarnya. Dan
sungguh-sungguh telah mengusap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahagian luar
(maksudnya; atas) kedua khuffnya. [Telah mengeluarkan atsar ini Abu Dawud: 164
dan ad-Daruquthniy: 759. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]
Berkata Abu
Bakar ash-Shiddiiq radliyallahu anhu, “Bumi manakah yang akan mengangkatku dan
langit manakah yang akan menaungiku jika aku berkata tentang satu ayat dari
kitabullah (alqur’an) dengan ro’yu (pendapat akal)ku atau dengan apa yang tidak
aku ketahui”. [31]
Berkata
‘Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu, “Waspadalah kalian terhadap para
pemilik ro’yu, karena mereka sesungguhnya musuh-musuh sunnah. Hadits-hadits
telah melelahkan mereka untuk menghafalnya. Lalu mereka berkata dengan ro’yu,
maka mereka sesat lagi menyesatkan”. [Telah mengeluarkan atsar ini
al-Baihaqiy]. [32]
Katanya
lagi, “Sunnah itu adalah apa yang disunahkan Allah dan Rosul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, janganlah kalian jadikan ro’yu yang keliru menjadi sunnah
bagi umat”. [33]
Berkata Ibnu
Mas’ud radliyallahu anhu, “Tiada tahun melainkan tahun yang sesudahnya akan
lebih buruk darinya. Aku tidak mengatakan satu tahun lebih subur dari satu
tahun yang lain, dan tidak satu amir (pemimpin) lebih baik dari amir yang lain,
akan tetapi lenyapnya orang-orang alim kalian kemudian akan terjadi suatu kaum
yang akan mengkiyas perkara-perkara dengan ro’yu-ro’yu mereka. Maka Islam akan
runtuh lagi rusak”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Baihaqiy]. [34]
Katanya lagi,
“Tidak akan datang suatu masa melainkan masa tersebut akan lebih buruk dari
sebelumnya. Adapun aku tidak memaksudkan satu amir lebih baik dari amir yang
lain dan tidak pula satu tahun lebih baik dari tahun yang lain. Akan tetapi
para orang alim dan pandai kalian telah pergi (lenyap). Kemudian kalian tidak
akan dapatkan pengganti dari mereka. Datanglah suatu kaum yang akan berfatwa
dengan ro’yu mereka (di dalam satu lafazh darinya dari arah ini), Dan tidaklah
yang demikian itu dengan banyak atau sedikitnya hujan, akan tetapi lenyapnya
para orang alim, kemudian akan terjadi suatu kaum yang berfatwa di dalam
beberapa perkara dengan ro’yu mereka, maka mereka merusak dan meruntuhkan Islam”.[Telah
mengeluarkan atsar ini ad-Darimiy: I/ 65]. [35]
al-Imam
ath-Thobariy telah menyebutkan di dalam kitab Tahdzib al-Atsar dengan
sanadnya kepada al-Imam Malik berkata, Telah berkata al-Imam Malik, “Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat dan urusan (agama) ini telah utuh dan
sempurna. Maka sepantasnya engkau mengikuti jejak-jejak Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan janganlah engkau ikuti ro’yu, maka sesungguhnya kapan
saja diikuti ro’yu itu lalu datang orang lain yang lebih kuat di dalam ro’yu
darimu maka engkau akan mengikutinya. Maka engkau setiap kali datang atasmu
seseorang, engkau akan mengikutinya, aku pandang hal perbuatan ini tidak akan
pernah selesai”. [36]
Dan masih
banyak lagi penjelasan-penjelasan mengenai bahayanya ro’yu (pendapat akal) yang
lahir dari kerusakan logika dan kebusukannya, sehingga dapat dipahami
bahwasanya ro’yu itu bukan suatu ilmu. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam
asy-Syaukaniy, “Walhasil, bahwa keberadaan ro’yu itu bukanlah bahagian dari
ilmu, yang tiada perselisihan padanya di antara para Shahabat, Tabi’in dan
Atba’ at-Tabi’in”. [37]
Berkata Ibnu
Abdilbarr rahimahullah, “Aku tidak mengetahui ada perselisihan di antara
pendahulu para ulama umat ini dan leluhurnya, bahwa ro’yu itu bukanlah ilmu
yang sebenar-benarnya. Adapun dasar-dasar ilmu itu adalah al-Kitab (al-Qur’an)
dan as-Sunnah (al-Hadits)”. [38]
Berkata
al-‘Allamah Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafiy rahimahullah, “Maka yang wajib adalah
sempurnanya ketundukkan kepada Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menuruti
perintahnya dan menerima khabarnya dengan bentuk penerimaan dan pembenaran
tanpa kita bantah dengan khayalan batil yang dinamakan ma’qul (logis maksudnya
masuk akal atau logika) atau membawanya kepada syubhat dan keraguan atau mendahulukan
ro’yu (pendapat) orang dan kotornya akal mereka. Maka kita mesti
mentauhidkannya dengan meminta hukum, menerima, menurut dan tunduk sebagaimana
kita mentauhidkan Yang Mengutus (yaitu Allah ta’ala) dengan ibadah, menundukkan
diri, merendahkan diri, kembali (taubat) dan tawakkal”. [39]
al-‘Allamah
Ibnu Qoyyim rahimahullah setelah membawakan QS. an-Nisa’/ 4: 65, ((Maka demi
Rabbmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hatta mereka menjadikanmu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
di dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima
dengan sepenuhnya)), berkata, “Allah Subhanahu telah bersumpah, bahwasanya kita
tidak beriman hatta kita berhukum kepada Rosul-Nya pada seluruh perselisihan
yang ada di antara kita, lapang dada kita untuk menerima hukumnya, tidak ada
tertinggal kesempitan padanya dan kita menerima hukumnya dengan sepenuhnya,
lalu kita tidak boleh menentangnya dengan akal dan tidak pula dengan ro’yu.
Maka sungguh-sungguh Allah Subhanahu telah bersumpah dengan diri-Nya berupa
menafikan (meniadakan) iman dari orang-orang yang mendahulukan akal atas apa
yang Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang dengannya, dan mereka
bersaksi atas diri mereka bahwasanya mereka tidak beriman dengan maknanya
kendatipun dengan lafazhnya mereka beriman”. [40]
Sehingga
berkata al-Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Umar ar-Raziy [41] dalam
syairnya,
نهـــاية إقـدام العقـول
عقـال و أكثر سعي العـالمين ضـــلال
Artinya, Akhir dari mendahulukan akal adalah
keruwetan.
Kebanyakan usaha para
pemikir adalah kesesatan.
Adapula
sebahagian mereka yang berpandangan, bahwa salah satu sumber Islam yaitu hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hasil rekayasa buatan manusia yang
bisa jadi terdapat kesalahan dan kekeliruan. Sehingga mereka meragukan dan
bahkan membuat keragu-raguan kepada orang lain akan kebenaran dan keabsahannya.
Subhanallah !! sungguh amat keji apa yang mereka tuduhkan !.
Tetapi jika
ada di antara mereka menderita suatu gejala penyakit, ia tidak ragu untuk
mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya yaitu dokter. Sehingga ketika dokter
tersebut hendak memeriksa denyut nadinya, detak jantungnya, darah atau air
seninya untuk diuji di laboratorium ia menurutinya. Dan ketika telah diketahui
hasilnya, bahwa ia mengidap suatu penyakit yang ia harus dirawat secara
intensif (berkelanjutan), mesti menelan obat-obatan, menjauhi segala macam
pantangan makanan atau minuman dan harus menkonsumsi makanan atau minuman
sesuai petunjuk dokter, maka orang tersebut tiada keraguan menyanggupi dan
mematuhinya, karena keinginannya untuk segera sehat dari penyakit. Tiada yang
menghalangi kepatuhannya kepada dokter tersebut selain rasa percaya dan
ketidakraguan akan pengetahuan, keahlian dan keterampilan sang dokter tersebut terhadap
penyakit yang dideritanya.
Begitu pula
jika kendaraan salah satu dari mereka mengalami kerusakan, tentulah ia akan
mendatangi bengkel kendaraan yang di situ terdapat montir yang ahli. Tiada
keraguan padanya untuk menyerahkan segala bentuk perbaikan kendaraannya
tersebut kepada sang montir. Sehingga ketika montir itu menyuruhnya untuk
mengganti beberapa onderdil kendaraan tersebut maka iapun tentu akan
menurutinya. Lalu bila montir tersebut meminta waktu beberapa hari untuk mengadakan
perbaikan kendaraannya tersebut, iapun menyanggupinya, karena ia sangat
mengharapkan kendaraannya kembali normal dan dapat dipergunakan sebagaimana
biasanya. Tiada yang mencegah ketundukkannya kepada montir tersebut selain rasa
percaya dan ketidakraguan akan ilmu, keahlian dan keterampilan sang montir di
dalam memperbaiki kendaraannya.
Dari dua
permisalan di atas, jawablah beberapa pertanyaan di bawah ini wahai orang-orang
yang ragu terhadap kebenaran dan keabsahan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam!!,
“Kemanakah seseorang di antara kalian menyekolahkan putra putrinya dan siapakah
yang pantas mendidik mereka ketika ia serahkan?. Kepada siapakah ia menyerahkan
kepemimpinan di tempatnya berkarya sehingga ia suka dan senang mendapat
perintahnya?. Kepada siapakah ia menyerahkan putra putrinya yang masih kecil
ketika meninggalkan mereka di rumah untuk mencari nafkah atau keperluan yang
lain?. Ketika ia naik pesawat terbang, siapakah yang berhak mengemudikannya ke
tempat yang ia tuju?. Ketika ia pergi melancong ke suatu daerah yang ia tidak
atau belum mengetahui keadaannya, kepada siapakah ia pergi untuk mencari tahu
tentang keadaan daerah tersebut agar tidak tersesat?. Ketika ia hendak menyantap makanan di rumah
atau tempat lainnya pada waktu acara yang ia rencanakan, kepada siapakah ia
menyerahkan urusan masak memasak agar makanan menjadi enak dan lezat?. Dan lain
sebagainya”. Niscaya ia akan menyerahkan semua urusan tersebut kepada orang
yang memang berilmu, ahli dan terampil di dalam bidangnya. Ia tentu tidak akan
ragu menyerahkan semua urusan tersebut kepada mereka. Dan untuk membuktikan
ketidakraguannya tersebut, ia percaya sepenuhnya kepada mereka di dalam cara
mereka menangani pekerjaan tersebut, ia tidak akan ikut campur tangan di
dalamnya, dan ia akan senang dan puas dengan hasilnya.
Nah !, jika
demikian maka mengapa ia tidak ragu dalam hal ini dan ia ragu dalam hal yang
lain. Padahal jikalau ia senang lagi membiasakan diri membaca dan menelaah
kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya yang tebal serta
berbobot, ia akan menjumpai dalamnya ilmu para ahli hadits, keahlian dan
keterampilan mereka di dalam menghafal, memahami dan menyebarluaskan hadits.
Begitu pula mereka amat teliti dan cermat di dalam membedah dan mengkoreksi hadits-hadits
yang sehat dan yang berpenyakit dengan melihat matan dan sanadnya atau hal-hal
lain yang berkaitan dengannya. Kesungguhan dan keseriusan mereka di dalam
menjaga hadits sehingga mereka sangat produktif (banyak menghasilkan) dan
proaktif (condong aktif dalam usaha) di dalam menyusun dan menerbitkan
kitab-kitab yanng berkaitan dengan hadits, dalam rangka pembelaannya kepada
hadits dan perlawanannya terhadap para pengingkar dan perusaknya. Dan juga
kesabaran dan kegigihan mereka di dalam memberi pengertian dan pemahaman
tentang hadits, derajatnya, kedudukannya di dalam syariat islam dan segala hal
yang berkaitan dengannya kepada umat Islam ini. Semoga Allah ta’ala memberi
balasan dan melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka.
Lagi pula
mengapakah mereka tidak berprasangka dan ragu kepada celoteh mulut yang
mengandung asap beracun itu sedangkan diri mereka dipenuhi prasangka dan
keraguan kepada para pembawa dan pemikul hadits. Andaikan mereka adalah
orang-orang yang waras jalan pikirannya, niscaya ia akan curiga dan
berhati-hati terhadap orang yang ragu-ragu dan senantiasa menimbulkan keraguan
kepada umat Islam akan kebenaran dan keabsahan al-Hadits ini serta
kesangat-pentingannya di dalam agama ini. Karena tidak akan didapati satu
orangpun yang lurus jalan pikirannya yang menolak dan ragu terhadap kebenaran
dan keabsahan hadits lantaran suatu kebutuhan yang tak mungkin dan sulit
ditawar. Di samping itu jikalau mereka memperhatikan secara teliti, seksama dan
bersih hati mereka akan jumpai yang tidak akan dijumpai di dalam agama yang
lain selain Islam ini yaitu adanya suatu urutan mata rantai satu hadits dari
satu orang sampai kepada orang lain (biasanya disebut sanad atau isnad) yang
dilakukan secara berkesinambungan. Dan tiap-tiap penyampai haditsnyapun (biasanya
disebut rawi) diteliti dengan cermat dan hati-hati sesuai dengan
syarat-syaratnya yang ditentukan oleh para ulama hadits, sebagaimana telah
ditunjukkan oleh beberapa atsar di bawah ini, [42]
Berkata Abu
al-‘Aliyah rahimahullah, “Adalah kami mendengar hadits dari para shahabat, maka
kami tidak puas sehingga kami naik (kendaraan) kepada mereka lalu kami
mendengarnya (secara langsung) dari mereka”.
Berkata Ibnu
al-Mubarak rahimahullah, “Isnad adalah termasuk dari agama, kalaulah tiada
isnad niscaya seseorang itu akan berkata apa saja yang ia kehendaki”.
Katanya lagi,
“Batas perbedaan di antara kami dan suatu kaum adalah isnad”.
Berkata Ibnu
Sirin rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu ini (yaitu ilmu isnad) adalah agama,
maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”.
Katanya lagi,
“Mereka (yaitu para Shahabat ataupun Tabi’in) tidak pernah bertanya tentang
isnad, maka ketika terjadi fitnah, mereka berkata, “Sebutkanlah nama-nama rijal
(maksudnya; perawi hadits) kalian!”. Lalu dilihat kepada ahli sunah maka
diambillah hadits mereka, dan dilihat kepada ahli bid’ah, maka tidak diambil
hadits mereka”.
Memperhatikan beberapa atsar di atas dari
sekian banyak atsar, dapat diketahui dan dipahami ketelitian para pemikul
hadits di dalam menerima suatu hadits hatta mereka tidak akan mengambil suatu
hadits sehingga diketahui orang-orangnya yang menyampaikannya kepada mereka,
jika termasuk ahli sunnah maka mereka akan mengambilnya tetapi jika termasuk
ahli bid’ah, mereka menolaknya. Merekapun berbuat demikian di dalam
meriwayatkan hadits kepada orang-orang yang menerima hadits, sehingga terpeliharalah
hadits sebagaimana alqur’an telah terpelihara, dan bahkan sebahagian dari
mereka membukukan hadits-hadits tersebut dengan sangat teliti, dan pada
akhirnya sampailah kitab-kitab tersebut ke tangan kita sekarang ini. Adapun
terjadinya mata rantai penyampaian hadits dari satu orang rawi kepada rawi yang
lain ini telah diisyaratkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam beberapa hadits yang akan diutarakan sebentar lagi.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُـولُ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم: نَضَّرَ
اللَّهُ عَبْدًا سَمِعَ مَقَالَتِى فَوَعَاهَا ثُمَّ بَلَّغَهَا عَنِّى فَرُبَّ
حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيْهٍ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ
مِنْهُ
Dari
Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Semoga Allah mengelokkan (paras) seorang hamba yang mendengar perkataanku,
lalu ia menangkapnya (menghafalnya) kemudian menyampaikannya dariku. Maka
seringkali orang yang membawa fikih itu tidaklah fakih dan juga seringkali
orang yang memikul fikih itu kepada orang yang lebih fakih darinya”. [HR Ibnu
Majah: 236 dan Ahmad: III/ 225. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [43]
عَنْ
أَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ: خَرَجَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ مِنْ عِنْدِ مَرْوَانَ
نِصْفَ النَّهَارِ قُلْنَا مَا بَعَثَ إِلَيْهِ هَذِهِ السَّاعَةَ إِلاَّ لِشَيْءٍ
يَسْأَلُهُ عَنْهُ فَقُمْنَا فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ: نَعَمْ سَأَلْنَا عَنْ
أَشْيَاءَ سَمِعْنَاهَا مِنْ رَسُـوْلِ
اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم سَمِعْتُ رَسُـوْلَ اللَّهِ صلّى الله عليه و
سلّم يَقُوْلُ: نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ
حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ
مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
Dari
Aban bin ‘Utsman berkata, Zaid bin Tsabit pernah keluar dari sisi Marwan pada
waktu pertengahan siang. Kami berkata, “Tiada yang mengutus kepadanya pada saat
ini kecuali karena sesuatu yang ia tanya tentangnya”. Lalu kamipun berdiri dan
menanyakannya. Ia berkata, “Ya, kami bertanya tentang sesuatu yang kami dengar
dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah mengelokkan (paras) seseorang yang
mendengar hadits dari kami, lalu ia menghafalnya hatta ia menyampaikannya
kepada selainnya. Seringkali orang yang membawa fikih kepada orang yang lebih
fakih (yaitu paham) darinya dan acapkali orang yang membawa fikih bukanlah
seorang yang fakih”. [HR at-Turmudziy: 2656 dan lafazh ini baginya, Abu Dawud:
3660, Ibnu Majah: 230 dengan lafazh “Semoga Allah mengelokkan (paras) orang
yang mendengar perkataanku”, Ahmad: V/ 183 dan ad-Darimiy: I/ 75. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [44]
Dan ada
beberapa riwayat yang lain dari Ibnu Mas’ud [45]
dan Jubair bin Muth’im.[46]
Dalil-dalil tersebut menjelaskan pujian dan doa Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada seseorang yang mendengar ucapannya, sesuai dengan lafazh,
“mendengar perkataanku” ( سمع
مقالتى )atau juga ucapan para shahabat, sesuai dengan
lafazh: “mendengar satu hadits dari kami” (
سمع منا حديثا
). Lalu ia menghafalnya dan setelah itu ia
menyampaikannya kepada orang lain yang tidak mendengarnya. Maka jikalau
demikian, perbuatan saling menyampaikan hadits dari satu orang kepada orang
lain seperti telah disinggung di atas telah diisyaratkan dan disyariatkan oleh
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suatu keutamaan di dalam
menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu.
Di samping
itu, ada riwayat lain yang menjelaskan adanya mata rantai penyampaian hadits,
sebagaimana telah diriwayatkan di dalam hadits shahih di bawah ini,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم:
تَسْمَعُوْنَ وَ يُسْمَعُ مِنْكُمْ وَ يُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, telah
bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalian mendengar dariku),
akan di dengar dari kalian dan akan didengar dari orang yang mendengar dari
kalian”. [HR Abu Dawud: 3659 lafazh ini baginya dan Ahmad: I/ 321. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[47]
Berkata
al-Imam al-Munawiy rahimahullah, “Ini adalah bentuk khabar (berita) yang
bermakna perintah”. Jadi maksudnya, “Hendaklah kalian mendengar hadits dariku,
kemudian sampaikanlah ia dariku niscaya orang-orang setelahku akan mendengarnya
dari kalian”.[48]
Berkata
al-‘Ala rahimahullah, “Ini adalah sebahagian mukjijat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang telah Beliau janjikan kejadiannya kepada umatnya dan
mewasiatkannya kepada para shahabatnya agar memuliakan merayapnya ilmu. Para
shahabat mengikuti perintahnya dan senantiasa menyalin perbuatan dan perkataan
darinya, lalu para Tabi’in menerima yang demikian itu dari mereka. Kemudian
mereka menyalinkannya kepada para Atba’ at-Tabi’in, dan berlangsunglah
perbuatan atas yang demikian tersebut di setiap masa sampai sekarang ini.[49]
Maka tiada yang berpaling dari penjelasan ini melainkan orang-orang yang telah
ditutup dan keras membatu hati mereka”.
Menilik
beberapa dalil dan penjelasannya yang baru lalu, maka pandangan orang-orang
yang menganggap hadits itu adalah hasil rekayasa atau buatan beberapa gelintir
manusia adalah munkar yang jelas kemunkarannya dan batil lagi terang
kebatilannya. Sebab pandangan mereka tersebut tidak di dukung oleh fakta dan
data yang memadai. Faktanya adalah syariat maupun umat Islam sangat membutuhkan
adanya hadits secara ijmak, dan datanya adalah yang terlampir di dalam
al-Qur’an maupun hadits yang tsabit menunjukkan adanya ketertarikan dan
keterikatan syariat dan umat Islam ini kepada hadits. Tetapi pandangan mereka
hanyalah berdasarkan rasio akal mereka yang berlandaskan kebencian dan
kedengkian kepada para pemikul hadits dan juga berdasarkan kepada kedunguan dan
kelemahan otak mereka di dalam menghafal dan memahami hadits-hadits.
Atau
sebahagian dari mereka, karena kebodohannya dengan bahasa Arab dan ilmu tafsir,
salah atau keliru di dalam memahami makna ayat di bawah ini,
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa alqur’an di dalam bahasa Arab agar
kalian memahami. [QS. Yusuf/12: 2 dan juga yang semakna QS. az-Zukhruf/43: 3].
Sebahagian
mereka menafsirkannya dengan makna, “agar kalian berakal”, yakni agar kalian
menggunakan akal atau logika. Hal inilah yang menjadikan mereka bebas di dalam
menafsirkan ayat-ayat alqur’an sesuai dengan logika mereka yang akan membuat
mereka jauh menyimpang dari kebenaran atau dekat kepada kebatilan. Maka
tidaklah mengherankan jika akhirnya mereka mencukupkan alqur’an saja tanpa
penjelasan dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits atau para
shahabat Radliyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
berbuat ihsan di dalam atsar-atsar, karena akal atau logika mereka itu dapat
memaksakan penafsirannya menjadi segala sesuatu sekehendak mereka. Al-‘Iyadzu
billah.
Jikalau
mereka mencari keselamatan di dunia dan akhirat pastilah mereka akan mencari
tahu penafsiran ayat tersebut dari orang yang memang ahli di dalam bidangnya
yaitu ilmu tafsir, inilah dia tawaran tafsir ayat tersebut kepada mereka yang
mau mencari keselamatan itu,
Berkata
al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “((Sesungguhnya Kami telah menurunkannya))
yaitu al-Kitab, ((berupa alqur’an di dalam bahasa Arab agar kalian berakal/
memahami)) yaitu Kami menurunkannya dengan bahasa kalian agar kalian mengetahui
makna-maknanya dan memahami apa yang ada di dalamnya. [50] Begitu
pula yang dikatakan al-Imam asy-Syaukaniy di dalam kitab tafsirnya”.[51]
Sedangkan
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di dalam menafsirkan surat az-Zukhruf/ 43
ayat 3 berkomentar, “((agar kalian berakal/ memahami)) yaitu kalian memahaminya
dan mentadabburinya (memperhatikannya)”.[52]
Cobalah
bandingkan maknanya tersebut dengan ayat berikut ini,
أَفَلَمْ
يَسِيْرُوْا فِى اْلأَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَعْقِلُوْنَ بِهَا أَوْ
آذَانٌ يَسْمَعُوْنَ بِهَا فَإِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوْبُ الَّتِى فِى الصُّدُوْرِ
Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar?. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta
tetapi yang buta itu adalah hati yang ada di dalam dada. [QS. al-Hajj/22: 46].
Berkata
al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Makna ((lalu mereka mempunyai hati yang
dengan hati itu mereka dapat memahami)) bahwasanya mereka dengan sebab apa yang
mereka saksikan dari beberapa ibroh (pelajaran), mereka mempunyai hati yang
dengannya mereka dapat memahami apa yang mesti mereka pikirkan dan menyandarkan
pemikirannya itu kepada hati, karena hati itu adalah tempatnya akal (atau
memahami), sebagaimana telinga itu tempatnya mendengar.[53]
Ayat
tersebut diatas mengkhabarkan bahwasanya seseorang itu hendaknya memahami
persoalan-persoalan agama ini dengan hati yang dipenuhi keimanan, bukan dengan
akal yang ada di otak kepala. Karena akal yang ada di otak kepala itu tidak
dapat menerima dan menampung hal-hal yang di luar kemampuannya. Misalnya
sesuatu yang bersifat ghaib atau abstrak yakni tidak nyata atau boleh jadi
bersifat nyata tetapi akalnya belum dapat mencernanya. Maka jika seseorang itu
tahu diri akan keterbatasan dan kelemahan akalnya, niscaya ia akan tunduk
dengan keimanan yang ada di hatinya kepada seluruh khabar yang telah dituangkan
di dalam alqur’an dan hadits yang tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ia tidak akan memaksakan dirinya untuk mempelajari dan mendalami agama
ini dengan pemahaman akalnya yang ada di otak kepala tetapi ia akan mempelajari
dan mendalaminya dengan pemahaman yang pernah dilakukan orang-orang terdahulu
di antara para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka yaitu melalui
cara memahami hakikat kebenaran alqur’an dan hadits dengan hati yang
dimilikinya berupa ketundukkan, penerimaan dan pembenaran yang sempurna.
Dari Ali bin
Abi Thalib radliyallahu ‘anhu, bahwasanya ia pernah berkata pada waktu perang
Shiffin, [54]
إِنَّ الْعَقْلَ فِى
الْقَلْبِ
Artinya, “Sesungguhnya akal itu adanya
di dalam hati”.
Dengan
penjabaran yang baru berlalu, setiap orang yang ingin memiliki keimanan yang
sebenarnya, mesti mempunyai keinginan dan ambisi di dalam mempelajari dan
mendalami perkara-perkara agama yang dianutnya dengan sungguh-sungguh. Tetapi
kesungguhannya itu harus diimbangi dengan cara yang benar pula, karena jika ia
salah di dalam melangkah maka ia akan menjauh dan makin menjauh dari sasaran
atau tujuan yang diinginkan, pada akhirnya ia akan tersesat dan binasa. Islam
telah memberikan pengarahan yang sejelas-jelasnya tentang cara yang mesti
ditempuh untuk mempelajari dan mendalami agama ini, yaitu dengan cara terlebih
dahulu menanamkan pondasi keimanan
di dalam hati
agar kokoh lagi
kuat lalu senantiasa
menghadap dan bercermin langsung kepada kedua nara sumbernya yakni alqur’an
dan hadits Nabi yang telah jelas keshahihannya, dan membuka seluas-luasnya hati
yang telah diisi keimanan tersebut agar dapat memahami dan menerima keduanya
dengan penerimaan yang sempurna, sebab hati adalah tempat untuk memahami
keduanya. Akal atau logika yang menjadi kebanggaan orang-orang tertentu
mempunyai fungsi sebagai alat pembantu dalam upaya mencari pemahaman kebenaran
dan keabsahan keduanya, oleh sebab itu kendatipun pada akhirnya akal belum dan
bahkan tidak dapat mencerna atau membuka simpul rahasia keduanya maka iapun
akan tetap mengimani dan menerima keduanya dengan penerimaan yang tiada
keraguan.
Maka dari
itu hindarilah memahami perkara-perkara agama dari masalah akidah tauhid,
ibadah, mu’amalah, akhlak dan sebagainya dengan menggunakan akal dan logika
karena hal itu tidak akan membawa kepada kebaikan dan kebenaran. Semua itu
hanya akan menyeret pelakunya kepada kebingungan, kesesatan dan penyesatan.
Hendaknya
setiap Muslim memahami semuanya itu dengan bimbingan wahyu dari alqur’an dan
hadits-hadit shahih sesuai dengan pemahaman para ulama salafush shalih karena
hal itu akan membawa kepada ketentraman, petunjuk dan pemberian petunjuk.
(Bersambung ke, Sebaiknya anda tahu 3 b Insyaa Allah).
Wallahu
a’lam bi ash-Showab.
[5] ar-Risalah oleh al-Imam asy-Syafi`iy, tahqiq oleh asy-Syaikh Ahmad Syakir nomor 252 halaman 78, dan as-Sunnah wa
makanatuha fii tasyri’ al-Islamiy oleh asy-Syaikh Mushthofa as-Siba’iy halaman
50.
[10] Shahih Sunan Abi Dawud: 3848, ‘Aun al-Ma’bud: XII/ 231, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 2643, Misykah al-Mashobih: 163 dan kitab asy-Syari’ah
halaman 57.
[11] Majmu’ Fatawa: XIII/ 363-364 dan begitu pula yang dikatakan oleh
al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: I/
8.
[13] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2146,
Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 401, Shahih Sunan Ibnu Majah: 12, Misykah al-Mashobih:
163 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2657, 8186.
[14] al-Jami’ ash-Shahih: II/ 168-170, Shahih Muslim bi Syarh
an-Nawawiy: VI/ 26, Mukhtashor Shahih Muslim: 390, Shahih Sunan Abi Dawud:
1193, ‘Aun al-Ma’bud: IV/ 153-154 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4811.
[17] Fat-h al-Bariy: XIII/ 317, al-Jami’ ash-Shahih: V/ 132, Mukhtashor
Shahih Muslim: 1237, Irwa’ al-Ghalil: 88, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6398 dan
Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[21] Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyah halaman 207 dan lihat juga
keterangan al-‘Allamah Ibnu al-Qoyyim di dalam ash-Showa’iq al-Mursalah halaman
152.
[24] Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah
wa al-Maudlu’ah: I/ 53-54, nomor 1 bersama keterangannya yang diringkas
seperlunya.
[25] Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah
wa al-Maudlu’ah: I/ 546-547, nomor 370 dan Dlo’if al-Jami’ ash-Shaghir nomor
2994 dan 4116.
[29] Shahih Sunan Abi Dawud: 147, Irwa’
al-Ghalil: 103, Fat-h al-Bariy: XIII/ 289, Subul as-Salam Syarh al-Bulugh
al-Maram: I/ 96-97 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah oleh al-Imam asy-Syaukaniy
halaman 231.
[41]Syar-h
al-‘Aqidah ath-Thohawiyah halaman 208, Ighotsah al-Lihfan min Masho’id
asy-Syaithan halaman 51, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah halaman 21 dan
al-‘Aqidah fillah halaman 42, syair panjang
yang dikutip baris pertamanya saja.
[42] Lihat Shahih Muslim halaman 10-11, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 11-12,
Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: I/ 84-88 dan as-Sunnah wa makanatuha fi
at-Tasyri’ al-Islamiy halaman 90-91.
[43] Shahih Sunan Ibni Majah: 193, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6765
dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 86.
[44] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2139, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 392-393,
Shahih Sunan Abi Dawud: 3108, ‘Aun al-Ma’bud: X/ 68, Shahih Sunan Ibni Majah:
187, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 404, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6763,
Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 85, Misykah al-Mashobih: 229 dan Fay-dl
al-Qodir: 9264.
[45]HR
at-Turmudziy: 2657, Ibnu Majah: 232 dan Ahmad: I/ 437. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2140, Tuhfah al-Ahwadziy:
VII/ 394, Shahih Sunan Ibni Majah: 189, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6764,
6766, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 84, Misykah al-Mashobih: 228, 230 dan Fay-dl
al-Qodir: 9263.
[46] HR Ibnu Majah:231, Ahmad: IV/ 82 dan ad-Darimiy: I/ 74, 75.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 188,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6766, dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 87.
[47] Shahih Sunan Abi Dawud: 3107, ‘Aun al-Ma’bud: X/ 67, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1784 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2947.
[54] Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam kitab al-Adab
al-Mufrad halaman 111 (penerbit Dar Maktabah al-Hayah, Beirut), atau nomor 547.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan sanadnya, sebagaimana di dalam Shahih
al-Adab al-Mufrad: 425.