السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 09 Oktober 2012

SUDAH BENARKAN BACAAN ALQUR'AN ANDA???...


HUKUM MEMBACA SHODAQOLLOHUL ‘AZHIM SETELAH SELESAI MEMBACA ALQUR’AN
بسم الله الرحمن الرحيم
Alqur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang sangat diagungkan oleh mereka dengan penuh pengagungan. Didampingi oleh hadits-hadits shahih, alqur’an juga menjadi pedoman utama dan tuntunan hidup mereka sehari-hari dalam berakidah dan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bermuamalah ataupun berakhlak mulia kepada sesama mereka. Sehingga Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam telah menjadikan membaca alqur’an, mempelajari dan memahami isinya adalah sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan pahala bagi yang membacanya dengan sepuluh kali lipat kebaikan perhuruf, memperoleh ketenangan (sakinah), mendapatkan rahmat, dikitari oleh para Malaikat, dipuji-puji Allah ta’ala dihadapan para Malaikat yang didekat-Nya, diberikan kedudukan di dalam surga sesuai dengan akhir ayat dari alqur’an yang dibacanya dan lain sebagainya dari berbagai keutamaan.
عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَ اْلحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ : الم حَرْفٌ وَلَكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ حَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari alqur’an maka ia akan mendapat pahala satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kalinya. Aku tidak mengatakan; alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”. [HR at-Turmudziy: 2910, ad-Darimiy: II/ 429 dan al-Baihaqiy: 1983. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ وَ هُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ اْلبَرَرَةِ وَ الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ وَ يَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَ هُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
       Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Orang yang membaca alqur’an dalam keadaan mahir maka ia bersama para malaikat utusan Allah lagi taat. Sedangkan orang yang membaca alqur’an dalam keadaan terbata-bata karena ia merasa sulit maka ia akan mendapatkan dua ganjaran. [HR al-Bukhoriy: 4937, Muslim: 898, at-Turmudziy: 2904, Abu Dawud: 1454, Ahmad: VI/ 48, 192 dan ad-Darimiy: II/ 444. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [2]
            Berkata asy-Syaikh Salim Ied al-Hilaliy hafizhohullah, Orang yang melanggengkan membaca alqur’an dan bersungguh-sungguh atasnya, kedudukannya lebih agung daripada orang yang tidak melanggengkannya. Orang yang membaca alqur’an dalam keadaan susah payah akan mendapatkan dua balasan, yaitu satu balasan karena membacanya dan yang lain lantaran kesulitan dan keterbataannya. [3]
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يُقَالُ لِصَاحِبِ اْلقُرْآنِ: اقْرَأْ وَ ارْتَقِ وَ رَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فىِ الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Dikatakan kepada para penghafal alqur’an (pada hari kiamat), bacalah dan naiklah (ke surga). Dan bacalah (alqur’an) dengan tartil sebagaimana engkau membacanya dengan tartil  di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu (di surga) adalah berdasarkan ayat yang terakhir yang engkau baca”. [HR Abu Dawud: 1464, at-Turmudziy: 2914, Ibnu Majah: 3780, Ahmad: II/ 192 dan al-Baihaqiy: 1999. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih ].[4]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah di dalam fiqh al-hadits, Dorongan untuk menghafal dan mempelajari alqur’an. Kedudukan kaum mukminin di dalam surga sesuai dengan amalan dan kesungguhan mereka di dunia. [5]
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فىِ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَ يَتَدَارَسُوْنَهُ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ حَفَّتْهُمُ اْلمـَلاَئِكَةُ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sekelompok orang berkumpul di satu rumah dari rumah-rumah Allah dalam rangka tadarus (membaca dan mempelajari) kitab Allah (atau alqur’an) melainkan mereka akan memperoleh ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikitari oleh para malaikat dan nama mereka akan disebut-sebut oleh Allah pada orang-orang yang disekitarnya (yakni para malaikat dan para nabi”). [HR Muslim: 2699, at-Turmudziy: 2945, Ibnu Majah: 225 dan Ahmad: II/ 252. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]
Demikian sebahagian dalil dari banyak dalil yang berisi anjuran dalam Islam bagi para pemeluknya untuk senantiasa membaca dan mempelajari kitab suci mereka, yaitu alqur’an yang mulia karena di dalamnya banyak terdapat keutamaan.
Karena membaca alqur’an sangat dianjurkan dan sebagai suatu ibadah, maka hal-hal yang berkaitan dengannyapun telah dibuat aturannya. Diantaranya adalah membaca ta’awwudz ketika hendak membaca alqur’an.
فَإِذَا قَرَأْتَ اْلقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca alqur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. [QS. An-Nahl/ 16: 98].
Yaitu membaca;
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Disukai memohon perlindungan (kepada Allah ta’ala) ketika hendak membaca alqur’an dengan lafazh, “A’udzu billahi minasy syaithonir rojim”. [7]
Atau membaca,   [8]
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَ نَفْخِهِ وَ نَفَثِهِ
Atau membaca,
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ اْلعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَ نَفْخِهِ وَ نَفَثِهِ
Artinya, Aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari setan yang terkutuk dari godaan, tiupan dan bisikannya.
Dan masih banyak lagi aturan-aturan di dalam membacanya, misalnya dianjurkan membacanya dalam keadaan bersuci, melagukan dengan suara indah di dalam membacanya, membacanya dengan tartil dan penuh penghayatan, menangis dan meneteskan air mata di dalam membacanya, membatasi waktu di dalam mengkhatamkannya yakni tiga hari, memohon rahmat dan kebaikan ketika melewati ayat yang mengandung kebaikan, memohon perlindungan ketika melewati ayat yang mengandung siksaan dan lain sebagainya.

Adapun bacaan “shodaqollohul ‘azhim” yang diucapkan seorang muslim setelah membaca alqur’an merupakan perkara yang sudah menjadi budaya dan tidak asing bagi kita. Namun sebenarnya ucapan tersebut tidak ada tuntunan dan dalilnya dalam agama dan termasuk amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Bahkan menyelisihi amalan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam ketika memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca alqur’an dengan kata “hasbuk”(cukup), dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shodaqollohul ’adzim.

Dalam shahih al-Bukhoriy disebutkan,

عن عبد الله ابن مسعود قال: قَالَ لِى النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: اقْرَأْ عَلَيَّ ! قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَ عَلَيْكَ أُنْزِلَ ؟ قَالَ: نَعَمْ فَقَرَأْتُ سُوْرَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ عَلَى هَذِهِ اْلآيَةِ ((فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد و جئنا بك على هؤلاء شهيدا)) قَالَ: حَسْبُكَ اْلآنَ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam telah berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (alqur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (alqur’an) kepadamu? Padahal alqur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab, “Ya”. Lalu aku membacakan surat an-Nisa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau berkata, “Cukup, sampai sini.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata. [HR al-Bukhoriy: 5049, 5050, 5055, 5056, Muslim: 800, Abu Dawud: 3668 dan at-Turmudziy: 3027. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukumnya ucapan “shodaqollohul ‘azhim” (yang diucapkan) setelah membaca alqur’an?”.

Beliau menjawab, “Alhamdulillah wahdah, wa ash-Sholatu wa as-Salamu ala Rosulihi wa alihi wa shohbihi, wa ba’du; Ucapan “shodaqollohul ‘azhim” setelah selesai dari membaca alqur’an adalah bid’ah. Karena perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para al-Khulafa’ ar-Rasyidin, semua para shahabat radliyallahu anhum dan tidak pula seluruh para imam salaf rahimahumullah, padahal mereka sangat banyak membaca alqur’an, memelihara dan memahami tentang keadaannya. Maka membaca ucapan tersebut dan melazimkannya setelah membaca alqur’an adalah bid’ah yang diada-adakan.

Telah tetap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda, 

مَنْ أَحْدَثَ فىِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
 “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang tidak ada syariatnya maka hal tersebut tertolak”. [HR Muslim: 1718, al-Bukhoriy: 2697, Abu Dawud: 4606, Ibnu Majah: 14 dan Ahmad: VI/ 240, 270 dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[10]  

Dan di dalam lafazh imam Muslim,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal, yang tidak ada syariat kami di atasnya maka ia (yaitu amal tersebut) tertolak”. [HR al-Bukhoriy secara ta’liq lihat Fat-h al-Bariy: XIII/ 317, Muslim: 1718, Ahmad: VI/ 146, 180, 256 dan ad-Daruquthniy: 4491 juga dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albani: Shahih]. [11]
 
Wa billahi at-Taufiq. Semoga sholawat dan salam Allah dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad , keluarga dan para shahabatnya”. [12]
 
Ketika ditanya tentang masalah tersebut, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata dengan keras, bahwasanya perbuatan tersebut adalah bid’ah. [13]

Begitu pula Ra’id bin Shabriy bin Abi ‘Alafah telah memasukkan perbuatan ini kedalam perkara bid’ah. Ia berkata, “(Termasuk bid’ah) adalah kebiasaan mereka mengucapkan ‘shodaqollohul azhim’ ketika selesai dari membaca (alqur’an)”. [14]

Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya (baca; bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca alqur’an) berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shodaqollohul ‘azhim, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti dengan mengucapkan shodaqollohul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh orang-orang sekarang ini”. [15]
 
Kemudian beliau menukil pernyataan Syaikh Mustafa bin al-‘Adawi dalam kitabnya Shahih ‘Amal al-Yaumi wa al-Lail halaman 64 yang berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shodaqollohul ’azhim ketika selesai membaca alqur’an; memang kata shodaqolloh disampaikan Allah dalam alqur’an dalam firman-Nya,

قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah, ’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS Ali Imran/3 : 95]. 

Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”

Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah Shallallanhu’alaihi wa sallam sebagai contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada hadits-hadits Nabi Shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adlwa’ al-Bayan, Mukhtashar Ibnu katsir dan Fath al-Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan shodaqollohul ‘azhim. [16]

Kita yakin, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengetahui keberadaan ayat Ali Imran ini. Namun Beliau tidak pernah mengucapkannya setelah membaca alqur’an dan demikian pula para shahabat serta salaf ash-Shalih. Padahal mereka adalah orang yang paling giat membaca alqur’an dan mengkhatamkannya, paling fasih dan benar dalam membacanya dan paling mengerti akan makna dan tujuannya. Maka sesuatu yang tidak datang dari Beliau Shallallahu alaihi wa sallam maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam amal ibadah sedikitpun.

 Bila dikatakan “Ahh inikan cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami, bahwa perbuatan bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,
 
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةِ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Waspadalah kalian terhadap perkara-perkara yang baru diada-adakan, karena setiap perkara yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. [HR Abu Dawud: 4607, Ibnu Majah: 42, at-Turmudziy: 2676, Ahmad: IV/ 126, 127, al-Hakim: 333, 338 dan ad-Darimiy: I/ 44-45 dari al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Sehingga apapun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada Allah.
Oleh sebab itu hendaknya setiap muslim, terlebih para dainya agar senantiasa berhati-hati di dalam menyikapi, meyakini dan mengamalkan suatu amalan, sebab bisa jadi hal itu merupakan bid’ah, jika tidak memiliki dasar yang akurat dari alqur’an dan hadits yang shahih. Lalu jika bid’ah itu mereka anggap suatu kebaikan, maka mereka boleh jadi telah menuduh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengkhianati risalah Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Malik bin Anas,
مَنِ ابْتَدَعَ فىِ اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ  ُمحَمَّدًا صلى الله عليه و سلم خَانَ الرِّسَالَةَ ِلأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ((اْليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ)) فَمَا َلمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ اْليَوْمَ دِيْنًا
Barangsiapa yang melakukan bid’ah di dalam Islam yang ia menganggapnya sebagai suatu kebaikan, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam telah berkhianat di dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman ((Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagimu agamamu. QS al-Ma’idah/ 5: 3)). Maka, apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, niscaya tidak akan menjadi agama pada hari ini. [18]
Perlu diingat dan dipahami bahwasanya sederhana di dalam mengamalkan sunnah adalah lebih baik dan bernilai daripada mengerjakan bid’ah dengan bersungguh-sungguh. Dan penuh dengan pengorbanan. Begitu pula sedikit amal yang sesuai sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu lebih baik dan berbobot daripada banyak beramal yang mengandung perkara bid’ah.
Dan mayoritas orang yang mengamalkan suatu amalan tidak dapat menjadi tolok ukur dan barometer dalam mengukur kebenaran. Karena ukuran kebenaran adalah sesuai alqur’an dan hadits-hadits shahih sesuai pemahaman para ulama salaf. Semisal bid’ah pengucapan shodaqollohul ‘azhim ini, kendatipun banyak kaum muslimin yang mengamalkan dan melazimkannya namun karena ketiadaan satupun dalil tentangnya maka amalan tersebut adalah bid’ah dan batil yang tidak boleh diamalkan.
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: اْلاِقْتِصَادُ فىِ السُّنَّةِ أَحْسَنُ مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فىِ اْلبِدْعَةِ
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Sederhana di dalam sunnah adalah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Hakim: 358 secara mauquf. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [19]
Dan Abdullah bin Mas’ud  dan al-Fudloil bin ‘Iyadl berkata,
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فىِ سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فىِ بِدْعَةٍ
Amal sedikit di dalam sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal namun di dalam bid’ah. [20]
عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: ِاتَّبِعُوْا وَ لاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Hendaklan kalian mengikuti (ittiba’) dan janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (oleh Islam ini) dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ahmad dan ad-Darimiy: I/ 69].[21]
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: سَتَجِدُوْنَ أَقْوَامًا يَدْعُوْنَ إِلىَ كِتَابِ اللهِ وَ قَدْ نَبَذُوْهُ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ فَعَلَيْكُمْ بِاْلعِلْمِ وَ إِيَّاكُمْ وَ التَّبَدُّعَ وَ التَّنَطُّعَ وَ عَلَيْكُمْ بِاْلعَتِيْقِ
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, Kalian akan jumpai beberapa kaum yang mengajak (kalian) kepada kitab Allah padahal mereka (sendiri) meninggalkannya) di belakang mereka. Maka sebab itu, wajib atas kalian (berpegang) kepada ilmu dan waspadalah kalian terhadap (perbuatan) bid’ah dan sikap berlebih-lebihan. Wajib atas kalian (berpegang) dengan perkara yang kuno [Telah mengeluarkan atsar ini ad-Darimiy: I/ 54]. [22]
 Bid’ah sudah pasti kesesatannya meskipun dipandang oleh mayoritas manusia sebagai kebaikan, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak membutuhkan kepada penilaian, pandangan dan pendapat manusia di dalam menetapkan suatu bentuk dan tata cara ibadah maupun akidah. Dan setiap kesesatan itu akan bermuara dan bertempat di dalam neraka sebagaimana telah dituangkan di dalam hadits-hadits terdahulu, dan juga sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Umar,  [23]  
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً

“Semua bid’ah itu sesat, meskipun dipandang manusia sebagai suatu kebaikan”.
Begitulah bid’ah, orang awam akan melihatnya sebagai suatu ibadah yang sedap dipandang mata, nikmat didengar telinga dan lezat diamalkan oleh raga. Namun bagi orang yang berilmu, maka ia akan memandang bid’ah suatu racun yang sangat berbisa, virus yang amat mematikan dan khomer yang sangat memabukkan, yang akan membuat kepayang peminum dan penikmatnyanya sehingga ia tidak sadar dan mati rasa dalam menikmati bid’ah sehingga begitu ia tersadar, ia telah berada di liang lahad dengan penuh penyesalan.
Berkata asy-Syaikh Hammud bin Abdullah al-Mathor rahimahullah, “Oleh sebab itu, bid’ah itu lebih disukai oleh setan dari perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Sebab perbuatan maksiat itu memungkinkan bertaubat darinya, maka hal itu akan memungkinkan bagi pelakunya untuk mengetahui bahwasanya ia telah berbuat dosa, merenungi taubat dan memulainya. Kadang-kadang ia menyepakatinya dan kadang-kadang tidak. Adapun orang yang berbuat bid’ah, maka sesungguhnya setan membaguskan perbuatan bid’ah itu kepadanya dan menjelaskan kepadanya bahwasanya siapapun yang menyelisihinya maka dia adalah orang sesat, bahwa barangsiapa yang berada di atas selain jalannya maka dia adalah batil dan bahwasanya kebenaran itu ada disisinya. [24]
Berkata Sufyan ats-Tsauriy, [25]
اْلبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلىَ إِبْلِيْسَ مِنَ اْلمـَعْصِيَةِ لِأَنَّ اْلمـَعْصِيَةَ يُتَابُ مِنْهَا وَ اْلبِدْعَةَ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis dari pada perbuatan maksiat, sebab perbuatan maksiat masih diharapkan taubat darinya, sedangkan bid’ah tidak diharapkan taubat darinya.
 Sesungguhnya perbuatan bid’ah ini telah mematikan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yakni berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengannya.
عن عمران بن حصين أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ يَقْرَأُ ثُمَّ سَأَلَ فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ قَرَأَ اْلقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَؤُوْنَ اْلقُرْآنَ يَسْأَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ
Dari Imran bin Hushoin, bahwasanya ia pernah melewati seorang qori’ yang sedang membaca (alqur’an). Kemudian ia meminta-minta (dengannya), lalu Imron  beristirja’ [26] dan berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alahi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang telah selesai membaca alqur’an maka hendaklah ia meminta kepada Allah dengannya. Karena (suatu waktu) akan datang beberapa kaum yang membaca alqur’an lalu meminta-minta kepada manusia dengannya”. [HR at-Turmudziy: 2917 dan Ahmad: IV/ 432-433, 439, 445. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [27]
Ringkasnya, membaca dan memahami alqur’an adalah wajib bagi setiap muslim yang telah sampai usianya. Siapapun dia, apakah orang kaya ataupun miskinnya, laki-laki ataupun perempuannya, remaja ataupun kaum tuanya, orang sibuk ataupun penganggurannya, pejabat ataupun rakyat jelatanya dan sebagainya. Di dalam membacanya terdapat banyak sekali kebaikan-kebaikan. Oleh sebab itu, siapapun yang ingin meraih banyak kebaikan, maka hendaklah ia banyak membaca alqur’an.
Karena membaca alqur’an itu diperintahkan dan dijanjikan banyak pahala kebaikan di dalam membacanya, maka hal tersebut merupakan ibadah yang disyariatkan. Lalu jika membaca alqur’an itu termasuk ibadah yang disyariatkan maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan beberapa aturan tentangnya semisal membaca ta’awwudz ketika hendak membacanya, melagukan dengan suara indah di dalam membacanya, membatasi waktu di dalam mengkhatamkannya, memohon rahmat dan kebaikan ketika melewati ayat yang mengandung kebaikan, memohon perlindungan ketika melewati ayat yang mengandung siksaan dan sebagainya.
Kemudian bagaimana dengan posisi dan kedudukan ucapan shodaqolluhul ‘azhim yang dibaca setelah membaca alqur’an?. Maka, amalan tersebut jelas adalah bid’ah yang diada-adakan yang tidak pernah diamalkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat radliyallahu anhum dan para ulama salaf rahimahumullah. Tidak ada satupun dalil hadits shahih, atsar para shahabat dan para tabi’in dan isyarat para ulama di dalamnya. Bahkan telah datang penjelasan tentang hal tersebut, bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah.
Lalu jika ucapan tersebut adalah bid’ah yang dilarang untuk mengamalkannya. Kalau begitu apa yang harus dilakukan setelah membaca alqur’an?. Jawabannya jelas, kita tidak boleh membuat-buat aturan sendiri, yakni kita tidak membaca apapun setelahnya. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa salam memerintahkan kita untuk berdoa memohon kepada Allah ta’ala dengan permohonan yang sesuai dengan keinginan kita yang telah diajarkan oleh Rosul Shallallahu alaihi wa sallam di dalam beberapa doa yang telah diajarkan kepada kita.
Ya Allah dekatkanlah aku, keluargaku dan semua kaum muslimin kepada tauhid dan sunnah Nabi-Mu Shallallahu alaihi wa sallam dan jadikanlah kami sebagai para pencinta dan ahlinya. Dan ya Allah jauhkanlah aku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin dari syirik dan bid’ah, dan jadikanlah kami sebagai para pembencinya.
 Wallahu a’lam bi ash-Showab.


[1] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6469, Misykah al-Mashobih: 2137 dan Syu’ab al-Iman: II/ 342.
[2] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2325, Shahih Sunan Abi Dawud: 1290, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5497 dan Misykah al-Mashobih: 2112.
[3] Bahjah an-Nazhirin: II/ 226-227.
[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 1300, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2240, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 8122, Misykah al-Mashobih: 2134 dan Syu’ab al-Iman: II/ 347.
[5] Bahjah an-Nazhirin: II/ 230-231.
[6] Mukhtashor Shahih Muslim: 1888, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2348, Shahih Sunan Ibnu Majah: 184, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 5509, 6577 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 67.
[7] Aysar at-Tafasir: III/ 157.
[8] Untuk lebih jelasnya, lihat pembahasan ini di dalam kitab Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh al-Albaniy, cetakan Maktabah al-Ma’arif Riyadl halaman 95-96, Ash-l Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh al-Albaniy, cetakan Maktabah al-Ma’arif: I/272-276 dan Irwa al-Ghalil oleh asy-Syaikh al-Albaniy, cetakan al-Maktab al-Islamiy hadits nomor 342.
[9] Shahih Sunan Abu Dawud: 3115 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 2421.
[10] Shahih Sunan Abi Dawud: 3850, Shahih Sunan Ibni Majah: 14, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5970 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[11] Mukhtashor Shahih Muslim: 1237, Irwa’ al-Ghalil: 88, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6398 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[12] Al-Bida’ wa al-Muhdatsat wa ma la ash-la lahu halaman 571-572, Hammud bin Abdullah al-Mathor, Cetakan pertama, Dar Ibnu Khuzaimah. Lihat juga pembahasan tentang Shodaqollohul ‘azhim di dalam kitab Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah, asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, cetakan Maktabah Ibnu Taimiyah dan Maktabah al-Ilmi bi Jeddah halaman 43-44.
[13] Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah, halaman 44.
[14] Mu’jam al-Bida’ halaman 528, cetakan pertama, Dar al-Ashomah.
[15] Al-Bahtsu wa al-Istiqra’ fi Bida’ al-Qurra’, Dr Muhammad Musa Nashr, cet 2, th 1423H.
[16] Haqiqah Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyi ‘An al-Munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar, cetakan 2.
[17] Shahih Sunan Abi Dawud: 3851, Shahih Sunan Ibni Majah: 40, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2157, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2549, Irwa’ al-Ghalil: 2455 dan Misykah al-Mashobih: 165.
[18] Al-I’tishom: I/ 49.
[19] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 37, al-Ibanah: 201, 246, 247, Talbis Iblis halaman 19 dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadli-lihi: 1306
[20] Al-Ibanah: 245, 249.
[21] Al-Ibanah: 175.
[22] Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadli-lihi: 1325 dan al-Ibanah: 189, 192.
[23] Al-Ibanah: 205 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 258.
[24] Al-Bida’u wa al-Muhdatsat wa ma la ashla lahu halaman 49.
[25] Talbis Iblis halaman 26, Syu’ab al-Iman: VII/ 59 (9455) dan Alam al-Jin wa asy-Syayathin halaman 68.
[26] Mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sebagai bentuk ungkapan mendapatkan suatu mushibah.
[27] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2330, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6467 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 257.