HUKUM MEMBACA SHODAQOLLOHUL ‘AZHIM SETELAH SELESAI
MEMBACA ALQUR’AN
بسم الله الرحمن الرحيم
Alqur’an adalah kitab suci bagi umat Islam
yang sangat diagungkan oleh mereka dengan penuh pengagungan. Didampingi oleh
hadits-hadits shahih, alqur’an juga menjadi pedoman utama dan tuntunan hidup
mereka sehari-hari dalam berakidah dan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla,
bermuamalah ataupun berakhlak mulia kepada sesama mereka. Sehingga Allah ta’ala
dan Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam telah menjadikan membaca alqur’an,
mempelajari dan memahami isinya adalah sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Allah
Subhanahu wa ta’ala telah menjanjikan pahala bagi yang membacanya dengan
sepuluh kali lipat kebaikan perhuruf, memperoleh ketenangan (sakinah),
mendapatkan rahmat, dikitari oleh para Malaikat, dipuji-puji Allah ta’ala
dihadapan para Malaikat yang didekat-Nya, diberikan kedudukan di dalam surga sesuai dengan akhir ayat dari
alqur’an yang dibacanya dan lain sebagainya dari berbagai keutamaan.
عن ابن مسعود رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ
حَسَنَةٌ وَ اْلحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ : الم حَرْفٌ
وَلَكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ حَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ
Dari
Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu
alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari alqur’an maka ia
akan mendapat pahala satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh
kalinya. Aku tidak mengatakan; alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif itu
satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”. [HR at-Turmudziy: 2910,
ad-Darimiy: II/ 429 dan al-Baihaqiy: 1983. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [1]
عن عائشة رضي الله عنها
قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : الَّذِي يَقْرَأُ اْلقُرْآنَ
وَ هُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ اْلبَرَرَةِ وَ الَّذِي يَقْرَأُ
اْلقُرْآنَ وَ يَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَ هُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda
Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, “Orang yang membaca alqur’an dalam keadaan mahir
maka ia bersama para malaikat utusan Allah lagi taat. Sedangkan orang yang
membaca alqur’an dalam keadaan terbata-bata karena ia merasa sulit maka ia akan
mendapatkan dua ganjaran”. [HR al-Bukhoriy: 4937, Muslim: 898, at-Turmudziy:
2904, Abu Dawud: 1454, Ahmad: VI/ 48, 192 dan
ad-Darimiy: II/ 444. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [2]
Berkata
asy-Syaikh Salim Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Orang yang
melanggengkan membaca alqur’an dan bersungguh-sungguh atasnya, kedudukannya
lebih agung daripada orang yang tidak melanggengkannya. Orang yang membaca alqur’an dalam keadaan susah payah akan
mendapatkan dua balasan, yaitu satu balasan karena membacanya dan yang lain
lantaran kesulitan dan keterbataannya”. [3]
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم
قَالَ: يُقَالُ لِصَاحِبِ اْلقُرْآنِ: اقْرَأْ وَ ارْتَقِ وَ رَتِّلْ كَمَا كُنْتَ
تُرَتِّلُ فىِ الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu
anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Dikatakan kepada para penghafal alqur’an (pada
hari kiamat), “bacalah dan naiklah
(ke surga). Dan bacalah (alqur’an) dengan tartil sebagaimana engkau membacanya
dengan tartil di dunia. Sesungguhnya
kedudukanmu (di surga) adalah berdasarkan ayat yang terakhir yang engkau baca”. [HR Abu Dawud: 1464, at-Turmudziy: 2914, Ibnu Majah:
3780, Ahmad: II/ 192 dan al-Baihaqiy: 1999. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih
].[4]
Berkata asy-Syaikh
Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah di dalam fiqh al-hadits, “Dorongan untuk
menghafal dan mempelajari alqur’an. Kedudukan kaum mukminin di dalam surga
sesuai dengan amalan dan kesungguhan mereka di dunia”. [5]
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم قَالَ: وَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فىِ بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ
يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَ يَتَدَارَسُوْنَهُ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ
السَّكِيْنَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ حَفَّتْهُمُ اْلمـَلاَئِكَةُ وَ ذَكَرَهُمُ
اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ
Dari
Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah sekelompok orang berkumpul di satu rumah dari rumah-rumah Allah dalam
rangka tadarus (membaca dan mempelajari) kitab Allah (atau alqur’an) melainkan
mereka akan memperoleh ketenangan, diliputi oleh rahmat, dikitari oleh para
malaikat dan nama mereka akan disebut-sebut oleh Allah pada orang-orang yang
disekitarnya (yakni para malaikat dan para nabi”). [HR Muslim: 2699, at-Turmudziy:
2945, Ibnu Majah: 225 dan Ahmad: II/ 252. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih]. [6]
Demikian sebahagian dalil dari banyak dalil
yang berisi anjuran dalam Islam bagi para pemeluknya untuk senantiasa membaca
dan mempelajari kitab suci mereka, yaitu alqur’an yang mulia karena di dalamnya
banyak terdapat keutamaan.
Karena membaca alqur’an sangat dianjurkan dan
sebagai suatu ibadah, maka hal-hal yang berkaitan dengannyapun telah dibuat
aturannya. Diantaranya adalah membaca ta’awwudz ketika hendak membaca alqur’an.
فَإِذَا قَرَأْتَ اْلقُرْءَانَ
فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila
kamu membaca alqur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan
yang terkutuk. [QS. An-Nahl/ 16: 98].
Yaitu
membaca;
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيمِ
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Disukai memohon perlindungan (kepada Allah ta’ala)
ketika hendak membaca alqur’an dengan lafazh, “A’udzu billahi minasy
syaithonir rojim”. [7]
Atau
membaca, [8]
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَ نَفْخِهِ وَ نَفَثِهِ
Atau
membaca,
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ
اْلعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَ نَفْخِهِ وَ نَفَثِهِ
Artinya, Aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha
mengetahui dari setan yang terkutuk dari godaan, tiupan dan bisikannya.
Dan masih banyak lagi aturan-aturan di dalam membacanya, misalnya
dianjurkan membacanya dalam keadaan bersuci, melagukan dengan suara indah di
dalam membacanya, membacanya dengan tartil dan penuh penghayatan, menangis dan
meneteskan air mata di dalam membacanya, membatasi waktu di dalam
mengkhatamkannya yakni tiga hari, memohon rahmat dan kebaikan ketika melewati
ayat yang mengandung kebaikan, memohon perlindungan ketika melewati ayat yang
mengandung siksaan dan lain sebagainya.
Adapun bacaan “shodaqollohul ‘azhim” yang diucapkan seorang muslim setelah
membaca alqur’an merupakan perkara yang sudah menjadi budaya dan tidak asing
bagi kita. Namun sebenarnya ucapan
tersebut tidak ada tuntunan dan dalilnya dalam agama dan termasuk amalan yang tidak ada contoh dari
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Bahkan
menyelisihi amalan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam ketika
memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk berhenti dari membaca alqur’an dengan kata “hasbuk”(cukup),
dan Ibnu Mas’ud tidak membaca shodaqollohul ’adzim.
Dalam
shahih al-Bukhoriy disebutkan,
عن عبد الله ابن مسعود
قال: قَالَ لِى النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: اقْرَأْ عَلَيَّ ! قُلْتُ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَ عَلَيْكَ أُنْزِلَ ؟ قَالَ: نَعَمْ فَقَرَأْتُ
سُوْرَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ عَلَى هَذِهِ اْلآيَةِ ((فكيف إذا جئنا من كل
أمة بشهيد و جئنا بك على هؤلاء شهيدا)) قَالَ: حَسْبُكَ اْلآنَ فَالْتَفَتُّ
إِلَيْهِ فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
Dari
Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa Nabi Shalallahu’alaihi
wa sallam telah
berkata kepadaku, “Bacakan kepadaku (alqur’an)!” Aku menjawab, “Aku bacakan (alqur’an)
kepadamu? Padahal alqur’an sendiri diturunkan kepadamu.” Maka Beliau menjawab,
“Ya”. Lalu aku membacakan surat an-Nisa’ sampai pada ayat 41. Lalu beliau
berkata, “Cukup, sampai sini.” Lalu aku melihat beliau, ternyata kedua matanya
meneteskan air mata. [HR al-Bukhoriy: 5049, 5050, 5055, 5056, Muslim: 800, Abu
Dawud: 3668 dan at-Turmudziy: 3027. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya, “Apakah hukumnya ucapan “shodaqollohul ‘azhim” (yang diucapkan) setelah
membaca alqur’an?”.
Beliau menjawab, “Alhamdulillah wahdah, wa ash-Sholatu wa
as-Salamu ala Rosulihi wa alihi wa shohbihi, wa ba’du; Ucapan “shodaqollohul
‘azhim” setelah selesai dari membaca alqur’an adalah bid’ah. Karena perbuatan
itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para
al-Khulafa’ ar-Rasyidin, semua para shahabat radliyallahu anhum dan tidak pula
seluruh para imam salaf rahimahumullah, padahal mereka sangat banyak membaca alqur’an,
memelihara dan memahami tentang keadaannya. Maka membaca ucapan tersebut dan
melazimkannya setelah membaca alqur’an adalah bid’ah yang diada-adakan.
Telah
tetap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
مَنْ
أَحْدَثَ فىِ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru di dalam urusan
(agama) kami ini, sesuatu yang tidak ada syariatnya maka hal tersebut
tertolak”. [HR Muslim: 1718, al-Bukhoriy: 2697, Abu Dawud: 4606, Ibnu Majah: 14
dan Ahmad: VI/ 240, 270 dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih].[10]
Dan di dalam lafazh imam Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal, yang tidak ada syariat
kami di atasnya maka ia (yaitu amal tersebut) tertolak”. [HR al-Bukhoriy secara
ta’liq lihat Fat-h al-Bariy: XIII/ 317, Muslim: 1718, Ahmad: VI/ 146, 180, 256
dan ad-Daruquthniy: 4491 juga dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh
al-Albani: Shahih]. [11]
Wa billahi at-Taufiq. Semoga sholawat dan salam Allah dilimpahkan
kepada Nabi kita Muhammad , keluarga dan para shahabatnya”. [12]
Ketika ditanya tentang masalah tersebut, asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah berkata dengan keras, bahwasanya perbuatan tersebut adalah
bid’ah. [13]
Begitu pula Ra’id bin Shabriy bin Abi ‘Alafah telah memasukkan
perbuatan ini kedalam perkara bid’ah. Ia berkata, “(Termasuk bid’ah) adalah
kebiasaan mereka mengucapkan ‘shodaqollohul azhim’ ketika selesai dari membaca
(alqur’an)”. [14]
Syaikh Muhammad Musa Nashr menyatakan, “Termasuk perbuatan yang
tidak ada tuntunannya (baca; bid’ah) yaitu mayoritas qori’ (orang yang membaca alqur’an)
berhenti dan memutuskan bacaannya dengan mengatakan shodaqollohul ‘azhim,
padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan bacaan Ibnu Mas’ud dengan
mengatakan hasbuk (cukup). Inilah yg dikenal para
salaf dan tidak ada keterangan bahwa mereka memberhentikan atau mereka berhenti
dengan mengucapkan shodaqollohul ‘azhim sebagaimana dianggap baik oleh
orang-orang sekarang ini”. [15]
Kemudian beliau menukil pernyataan Syaikh Mustafa bin al-‘Adawi
dalam kitabnya Shahih ‘Amal al-Yaumi wa al-Lail halaman 64 yang
berbunyi, “Keterangan tentang ucapan Shodaqollohul
’azhim ketika selesai
membaca alqur’an; memang kata shodaqolloh disampaikan Allah dalam alqur’an dalam
firman-Nya,
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, ’Benarlah (apa yang difirmankan) Allah’. Maka
ikutilah agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
musyrik.” [QS Ali Imran/3 : 95].
Memang benar, Allah Maha Benar dalam setiap waktu. Namun
masalahnya kita tidak pernah mendapatkan satu hadits pun yang menjelaskan bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengakhiri
bacaannya dengan kata “Shadaqallahul’azhim.”
Di sana ada juga orang yang menganggap baik hal-hal yang lain namun kita memiliki Rasulullah Shallallanhu’alaihi
wa sallam sebagai
contoh teladan yang baik. Demikian juga kita tidak menemukan
satu atsar, meski dari satu orang sahabat walaupun kita mencukupkan pada
hadits-hadits Nabi Shallallanhu’alaihi wa sallam setelah kitab Allah dalam
berdalil terhadap masalah apa pun. Kami telah merujuk kepada kitab Tafsir Ibnu Katsir, Adlwa’ al-Bayan,
Mukhtashar
Ibnu katsir dan Fath al-Qadir, ternyata tak satu pun yang menyampaikan
pada ayat ini, bahwa Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam pernah mengakhiri bacaannya dengan
shodaqollohul ‘azhim. [16]
Kita yakin, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah
mengetahui keberadaan ayat Ali Imran ini. Namun Beliau tidak pernah
mengucapkannya setelah membaca alqur’an dan demikian pula para shahabat serta
salaf ash-Shalih. Padahal mereka adalah orang yang paling giat membaca alqur’an
dan mengkhatamkannya, paling fasih dan benar dalam membacanya dan paling
mengerti akan makna dan tujuannya. Maka sesuatu yang tidak datang dari Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
amal ibadah sedikitpun.
Bila dikatakan “Ahh inikan cuma perkataan saja, apa dapat dikatakan bid’ah?” Perlu kita pahami, bahwa perbuatan
bid’ah itu meliputi perkataan dan perbuatan sebagaimana sabda Rasulullah shallallanhu’alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةِ بِدْعَةٌ
وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Waspadalah kalian
terhadap perkara-perkara yang baru diada-adakan, karena setiap perkara yang
baru diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. [HR Abu
Dawud: 4607, Ibnu Majah: 42, at-Turmudziy: 2676, Ahmad: IV/ 126, 127, al-Hakim:
333, 338 dan ad-Darimiy: I/ 44-45 dari al-Irbadl bin Sariyah radliyallahu anhu.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]
Sehingga apapun bentuknya, perkataan atau perbuatan yang
dimaksudkan untuk ibadah yang tidak ada contohnya dalam agama, maka ia
dikategorikan bid’ah. Bid’ah ialah tata cara baru dalam agama yang tidak ada contohnya, yang
menyelisihi syariat dan dalam mengamalkannya dimaksudkan sebagai ibadah kepada
Allah.
Oleh
sebab itu hendaknya setiap muslim, terlebih para dainya agar senantiasa
berhati-hati di dalam menyikapi, meyakini dan mengamalkan suatu amalan, sebab
bisa jadi hal itu merupakan bid’ah, jika tidak memiliki dasar yang akurat dari
alqur’an dan hadits yang shahih. Lalu jika bid’ah itu mereka anggap suatu
kebaikan, maka mereka boleh jadi telah menuduh Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam mengkhianati risalah Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana telah
dikatakan oleh Imam Malik bin Anas,
مَنِ ابْتَدَعَ فىِ
اْلإِسْلاَمِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ ُمحَمَّدًا صلى الله عليه و سلم
خَانَ الرِّسَالَةَ ِلأَنَّ اللهَ يَقُوْلُ((اْليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِيْنَكُمْ)) فَمَا َلمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلاَ يَكُوْنُ اْليَوْمَ
دِيْنًا
Barangsiapa
yang melakukan bid’ah di dalam Islam yang ia menganggapnya sebagai suatu
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu alaihi
wa sallam telah berkhianat di dalam (menyampaikan) risalah. Karena sesungguhnya
Allah telah berfirman ((Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagimu agamamu. QS
al-Ma’idah/ 5: 3)). Maka, apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, niscaya
tidak akan menjadi agama pada hari ini. [18]
Perlu
diingat dan dipahami bahwasanya sederhana di dalam mengamalkan sunnah adalah
lebih baik dan bernilai daripada mengerjakan bid’ah dengan bersungguh-sungguh.
Dan penuh dengan pengorbanan. Begitu pula sedikit amal yang sesuai sunnah Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam itu lebih baik dan berbobot daripada banyak beramal
yang mengandung perkara bid’ah.
Dan
mayoritas orang yang mengamalkan suatu amalan tidak dapat menjadi tolok ukur
dan barometer dalam mengukur kebenaran. Karena ukuran kebenaran adalah sesuai
alqur’an dan hadits-hadits shahih sesuai pemahaman para ulama salaf. Semisal
bid’ah pengucapan shodaqollohul ‘azhim ini, kendatipun banyak kaum muslimin
yang mengamalkan dan melazimkannya namun karena ketiadaan satupun dalil
tentangnya maka amalan tersebut adalah bid’ah dan batil yang tidak boleh
diamalkan.
عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: اْلاِقْتِصَادُ فىِ السُّنَّةِ أَحْسَنُ
مِنَ اْلاِجْتِهَادِ فىِ اْلبِدْعَةِ
Dari Ibnu
Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Sederhana di dalam sunnah adalah lebih baik
daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah”. [Telah mengeluarkan atsar ini
al-Hakim: 358 secara mauquf. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [19]
Dan Abdullah
bin Mas’ud dan al-Fudloil bin ‘Iyadl
berkata,
عَمَلٌ قَلِيْلٌ فىِ
سُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ عَمَلٍ كَثِيْرٍ فىِ بِدْعَةٍ
Amal sedikit
di dalam sunnah adalah lebih baik daripada banyak amal namun di dalam bid’ah. [20]
عن ابن مسعود رضي الله
عنه قَالَ: ِاتَّبِعُوْا وَ لاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَ كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dari Ibnu
Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Hendaklan kalian mengikuti (ittiba’) dan
janganlah berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi (oleh Islam ini) dan setiap
bid’ah adalah kesesatan”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ahmad dan ad-Darimiy:
I/ 69].[21]
عن
ابن مسعود رضي الله عنه قال: سَتَجِدُوْنَ أَقْوَامًا يَدْعُوْنَ إِلىَ كِتَابِ
اللهِ وَ قَدْ نَبَذُوْهُ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ فَعَلَيْكُمْ بِاْلعِلْمِ وَ
إِيَّاكُمْ وَ التَّبَدُّعَ وَ التَّنَطُّعَ وَ عَلَيْكُمْ بِاْلعَتِيْقِ
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu
berkata, Kalian akan jumpai beberapa kaum yang mengajak (kalian) kepada kitab
Allah padahal mereka (sendiri) meninggalkannya) di belakang mereka. Maka sebab
itu, wajib atas kalian (berpegang) kepada ilmu dan waspadalah kalian terhadap
(perbuatan) bid’ah dan sikap berlebih-lebihan. Wajib atas kalian (berpegang)
dengan perkara yang kuno [Telah mengeluarkan atsar ini ad-Darimiy: I/ 54]. [22]
Bid’ah
sudah pasti kesesatannya meskipun dipandang oleh mayoritas manusia sebagai
kebaikan, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam tidak membutuhkan kepada penilaian, pandangan dan pendapat manusia di
dalam menetapkan suatu bentuk dan tata cara ibadah maupun akidah. Dan setiap
kesesatan itu akan bermuara dan bertempat di dalam neraka sebagaimana telah
dituangkan di dalam hadits-hadits terdahulu, dan juga sebagaimana dinyatakan
oleh Ibnu Umar, [23]
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً
“Semua bid’ah itu sesat,
meskipun dipandang manusia sebagai suatu kebaikan”.
Begitulah
bid’ah, orang awam akan melihatnya sebagai suatu ibadah yang sedap dipandang
mata, nikmat didengar telinga dan lezat diamalkan oleh raga. Namun bagi orang
yang berilmu, maka ia akan memandang bid’ah suatu racun yang sangat berbisa,
virus yang amat mematikan dan khomer yang sangat memabukkan, yang akan membuat
kepayang peminum dan penikmatnyanya sehingga ia tidak sadar dan mati rasa dalam
menikmati bid’ah sehingga begitu ia tersadar, ia telah berada di liang lahad
dengan penuh penyesalan.
Berkata
asy-Syaikh Hammud bin Abdullah al-Mathor rahimahullah, “Oleh sebab itu, bid’ah itu lebih disukai
oleh setan dari perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Sebab perbuatan maksiat
itu memungkinkan bertaubat darinya, maka hal itu akan memungkinkan bagi
pelakunya untuk mengetahui bahwasanya ia telah berbuat dosa, merenungi taubat
dan memulainya. Kadang-kadang ia menyepakatinya dan kadang-kadang tidak. Adapun
orang yang berbuat bid’ah, maka sesungguhnya setan membaguskan perbuatan bid’ah
itu kepadanya dan menjelaskan kepadanya bahwasanya siapapun yang menyelisihinya
maka dia adalah orang sesat, bahwa barangsiapa yang berada di atas selain
jalannya maka dia adalah batil dan bahwasanya kebenaran itu ada disisinya. [24]
Berkata
Sufyan ats-Tsauriy, [25]
اْلبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلىَ إِبْلِيْسَ مِنَ
اْلمـَعْصِيَةِ لِأَنَّ اْلمـَعْصِيَةَ يُتَابُ مِنْهَا وَ
اْلبِدْعَةَ لاَ
يُتَابُ مِنْهَا
Bid’ah itu
lebih disukai oleh Iblis dari pada perbuatan maksiat, sebab
perbuatan maksiat masih diharapkan taubat darinya, sedangkan bid’ah tidak
diharapkan taubat darinya.
Sesungguhnya
perbuatan bid’ah ini telah mematikan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
yakni berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengannya.
عن
عمران بن حصين أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ يَقْرَأُ ثُمَّ سَأَلَ فَاسْتَرْجَعَ
ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ قَرَأَ
اْلقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَؤُوْنَ
اْلقُرْآنَ يَسْأَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ
Dari Imran
bin Hushoin, bahwasanya ia pernah melewati seorang qori’ yang sedang membaca
(alqur’an). Kemudian ia meminta-minta (dengannya), lalu Imron beristirja’ [26]
dan berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alahi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang telah selesai membaca alqur’an maka
hendaklah ia meminta kepada Allah dengannya. Karena (suatu waktu) akan datang
beberapa kaum yang membaca alqur’an lalu meminta-minta kepada manusia
dengannya”. [HR at-Turmudziy: 2917 dan Ahmad: IV/ 432-433, 439, 445. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [27]
Ringkasnya,
membaca dan memahami alqur’an adalah wajib bagi setiap muslim yang telah sampai
usianya. Siapapun dia, apakah orang kaya ataupun miskinnya, laki-laki ataupun
perempuannya, remaja ataupun kaum tuanya, orang sibuk ataupun penganggurannya,
pejabat ataupun rakyat jelatanya dan sebagainya. Di dalam membacanya terdapat
banyak sekali kebaikan-kebaikan. Oleh sebab itu, siapapun yang ingin meraih
banyak kebaikan, maka hendaklah ia banyak membaca alqur’an.
Karena
membaca alqur’an itu diperintahkan dan dijanjikan banyak pahala kebaikan di
dalam membacanya, maka hal tersebut merupakan ibadah yang disyariatkan. Lalu
jika membaca alqur’an itu termasuk ibadah yang disyariatkan maka Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan beberapa aturan tentangnya semisal
membaca ta’awwudz ketika hendak membacanya, melagukan dengan suara indah di
dalam membacanya, membatasi waktu di dalam mengkhatamkannya, memohon rahmat dan
kebaikan ketika melewati ayat yang mengandung kebaikan, memohon perlindungan
ketika melewati ayat yang mengandung siksaan dan sebagainya.
Kemudian
bagaimana dengan posisi dan kedudukan ucapan shodaqolluhul ‘azhim yang
dibaca setelah membaca alqur’an?. Maka, amalan tersebut jelas adalah bid’ah
yang diada-adakan yang tidak pernah diamalkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, para shahabat radliyallahu anhum dan para ulama salaf rahimahumullah.
Tidak ada satupun dalil hadits shahih, atsar para shahabat dan para tabi’in dan
isyarat para ulama di dalamnya. Bahkan telah datang penjelasan tentang hal
tersebut, bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah.
Lalu jika
ucapan tersebut adalah bid’ah yang dilarang untuk mengamalkannya. Kalau begitu
apa yang harus dilakukan setelah membaca alqur’an?. Jawabannya jelas, kita
tidak boleh membuat-buat aturan sendiri, yakni kita tidak membaca apapun
setelahnya. Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa salam memerintahkan kita
untuk berdoa memohon kepada Allah ta’ala dengan permohonan yang sesuai dengan
keinginan kita yang telah diajarkan oleh Rosul Shallallahu alaihi wa sallam di
dalam beberapa doa yang telah diajarkan kepada kita.
Ya Allah
dekatkanlah aku, keluargaku dan semua kaum muslimin kepada tauhid dan sunnah
Nabi-Mu Shallallahu alaihi wa sallam dan jadikanlah kami sebagai para pencinta
dan ahlinya. Dan ya Allah jauhkanlah aku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin
dari syirik dan bid’ah, dan jadikanlah kami sebagai para pembencinya.
Wallahu a’lam bi ash-Showab.
[1]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6469, Misykah al-Mashobih: 2137 dan Syu’ab al-Iman:
II/ 342.
[2]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2325, Shahih Sunan Abi Dawud: 1290, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 5497 dan Misykah al-Mashobih: 2112.
[4]
Shahih Sunan Abi Dawud: 1300, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2240, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 8122, Misykah al-Mashobih: 2134 dan Syu’ab al-Iman: II/
347.
[6]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1888, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2348, Shahih Sunan
Ibnu Majah: 184, Shahih al-Jami ash-Shaghir: 5509, 6577 dan Shahih at-Targhib
wa at-Tarhib: 67.
[7] Aysar at-Tafasir: III/ 157.
[8] Untuk lebih jelasnya, lihat pembahasan ini di dalam
kitab Shifat Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh
al-Albaniy, cetakan Maktabah al-Ma’arif Riyadl halaman 95-96, Ash-l Shifat
Sholah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh al-Albaniy,
cetakan Maktabah al-Ma’arif: I/272-276 dan Irwa al-Ghalil oleh asy-Syaikh
al-Albaniy, cetakan al-Maktab al-Islamiy hadits nomor 342.
[9] Shahih Sunan Abu Dawud: 3115 dan Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2421.
[10] Shahih Sunan
Abi Dawud: 3850, Shahih Sunan Ibni Majah: 14, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5970
dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[11]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1237, Irwa’ al-Ghalil: 88, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 6398 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[12] Al-Bida’ wa al-Muhdatsat wa ma la ash-la lahu halaman
571-572, Hammud bin Abdullah al-Mathor, Cetakan pertama, Dar Ibnu Khuzaimah.
Lihat juga pembahasan tentang Shodaqollohul ‘azhim di dalam kitab Majmu’ah
Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah, asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, cetakan
Maktabah Ibnu Taimiyah dan Maktabah al-Ilmi bi Jeddah halaman 43-44.
[13] Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah, halaman
44.
[14] Mu’jam al-Bida’ halaman 528, cetakan pertama, Dar
al-Ashomah.
[16] Haqiqah
Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyi ‘An al-Munkar, Dr Hamd bin Nashir Al ‘Amar, cetakan 2.
[17]
Shahih Sunan Abi Dawud: 3851, Shahih Sunan Ibni Majah: 40, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2157, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2549, Irwa’ al-Ghalil: 2455
dan Misykah al-Mashobih: 165.
[18]
Al-I’tishom: I/ 49.
[19]
Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 37, al-Ibanah: 201, 246, 247,
Talbis Iblis halaman 19 dan Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadli-lihi: 1306
[20]
Al-Ibanah: 245, 249.
[23]
Al-Ibanah: 205 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 258.
[24]
Al-Bida’u wa al-Muhdatsat wa ma la ashla lahu halaman 49.
[25]
Talbis Iblis halaman 26, Syu’ab al-Iman: VII/ 59 (9455) dan Alam
al-Jin wa asy-Syayathin halaman 68.
[26] Mengucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un,
sebagai bentuk ungkapan mendapatkan suatu mushibah.
[27] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2330, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 6467 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 257.