TIDAK MAU MENGKAFIRKAN KAUM KAFIRIN DAN MUSYRIKIN ATAU
RAGU-RAGU DI DALAM KEKAFIRAN MEREKA ATAU MEMBENARKAN MADZHAB (JALAN
FIKIRAN) MEREKA.
Sikap seperti ini akan mengakibatkan pelakunya kafir, yang
menyebabkan keluar dari Islam dan segala amalan yang telah dikerjakannya
selama itu lenyap dan tidak diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Yahudi, nashrani, kaum musyrikin dari majusi, para penyembah berhala dan kaum lainnya yang tidak beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kerosulan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka telah divonis oleh Allah ta’ala sebagai kaum kafirin dan digelari sebagai seburuk-buruk makhluk serta diancam dengan neraka Jahannam, sebagaimana di dalam firman-Nya ta’ala,
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke dalam neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [QS al-Bayyinah/ 98: 6].
Di dalam ayat ini, Allah ta’ala menerangkan bahwasanya orang-orang kafir itu terdiri dari ahli kitab yaitu nashrani dan yahudi serta kaum musyrikin yakni para penyembah berhala berupa patung, kuburan, benda-benda keramat dan sebagainya. Mereka semua diancam dengan neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya, karena semua amal kebaikannya tidak berguna sedikitpun bagi mereka dan yang akan menyertai mereka hanyalah kekafiran dan kemusyrikan mereka.
Orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia), yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [QS Ibrahim/ 14: 18].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Gugurnya amal perbuatan orang-orang musyrik dan kafir dan gagalnya mereka di dalam amal tersebut lantaran mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun darinya”. [1]
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu ia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. [QS an-Nur/ 24: 39].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan akan kerugian orang-orang kafir di dalam amal perbuatan dan kehidupan mereka seluruhnya”. [2]
Maka sungguh mengherankan jika ada di antara umat ini, yang masih menganggap dan menyatakan bahwa orang yahudi, nashrani dan kaum musyrikin itu bukan orang kafir, dan bahkan iman dan amal mereka akan diterima oleh Allah ta’ala pada hari kiamat. Hal ini biasanya disebabkan karena kejahilan dan kedunguan mereka akan akidah tauhid dan pemahaman alqur’an dan hadits shahih sesuai dengan penjelasan para ulama salafush shalih.
Bahkan banyak di antara mereka yang menganggap semua agama itu sama dan para pemeluk agama-agama itu semua sama di sisi Allah ta’ala. Mereka seringkali mengadakan muktamar, seminar, diskusi atau sejenisnya untuk membahas agama-agama yang ada di dunia dengan melakukan perbandingan lalu mencari persamaannya dan tidak mempersoalkan perbedaannya. Maka dari pertemuan-pertemuan itu, muncullah pemahaman tentang pluralisme, liberalisme, sekulerisme dan sejenisnya yang mengangkat agama-agama selain Islam di tempat yang tinggi lagi mulia dan meletakkan Islam di tempat yang rendah lagi hina. Subhanallah, begitukah sikap mereka terhadap agama yang mereka anut…
Padahal, hukum mengkafirkan orang yang dinyatakan kafir oleh Allah Jalla wa Ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-hadits shahih ini adalah perkara pokok di dalam akidah Islam, sebab ia termasuk dari perkara-perkara yang menggugurkan keislaman seseorang. Sebagaimana buang angin, buang air kecil dan semisalnya dapat membatalkan wudlu dan sholat. Makan, minum dan berhubungan intim dengan pasangan di siang hari dapat membatalkan shaum. Mengungkit-ungkit pemberian, menyakiti perasaan si penerima, riya dan sejenisnya dapat membatalkan pahala dari sedekah dan zakat. Tidak memakai pakaian ihram dari miqat, tidak wukuf di arafah dan selainnya dapat membatalkan ibadah haji. Maka tentu rukun Islam yang pertama dari mengucapkan dua kalimat syahadat niscaya ada juga yang menggugurkannya. Diantaranya adalah tidak mau mengkafirkan orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam atau ragu-ragu di dalam kekafiran mereka.
Berkata Abu Usamah Hasan bin Ali al-’Iwajiy hafizhohullah, “Maka masalah hukum mengkafirkan orang kafir ini dibangun atas dasar yang besar yaitu bahwasanya Allah Ta’ala telah mengikat ukhuwwah (persaudaraan), wala’ (setia) dan mahabbah (cinta) di antara kaum mukminin semuanya dan melarang berwala’ kepada orang-orang kafir semuanya dari apa yang telah tsabit (tetap) di dalam kitab (alqur`an) dan sunnah (al-Hadits), yaitu menghukum mereka dengan kekafiran. Dasar ini telah disepakati di antara kaum muslimin, dan dalil-dalil atasnya di dalam alqur’an dan sunnah banyak lagi telah masyhur (terkenal). Maka setiap mukmin muwahhid (bertauhid) yang meninggalkan seluruh yang mengkafirkan secara syar’iy, maka wajiblah mencintai, berwala’ dan menolongnya. Dan setiap orang yang menyelisihi yang demikian itu, wajib bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara membenci, memusuhi dan memeranginya dengan lisan dan tangan sesuai dengan kemampuannya, dan yang demikian itu sesuai dengan ukuran yang ada padanya dari menjauhi kebenaran. Maka wala’ dan baro’ itu mengikuti cinta dan benci, sedangkan cinta dan benci itu adalah merupakan pondasi. Sesungguhnya pondasi iman itu adalah kita mencintai para Nabi-Nya dan para pengikut mereka karena Allah. Kita membenci karena Allah, orang yang memusuhi-Nya dan memusuhi para Rosul-Nya. Maka atas dasar inilah sesungguhnya setiap orang yang telah ditetapkan oleh hukum syariat dengan mengkafirkannya, maka sesungguhnya wajiblah mengkafirkannya. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rosul-Nya, maka dia adalah kafir lagi mendustakan Allah dan Rosul-Nya, dan yang demikian itu karena telah tetap disisinya kekafirannya sesuai dengan dalil syar’iy. [3]
Allah Jalla Dzikruhu telah memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang bersamanya pada banyak tempat di dalam alqur’an yang mulia dan kemudian Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskannya di dalam hadits yang telah tsabit agar di antara mereka saling mencintai, saling tolong menolong, saling menjadi teman setia, saling bergaul, mengenal dan memahami, saling ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, saling percaya mempercayai, dan saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan mereka saling sokong menyokong di dalam memerangi dan menghancurkan kebatilan. Mereka tidak boleh membedakan antara kerabat dekat ataupun orang jauh, dan mereka tidak boleh membedakan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial di antara mereka. Mereka tidak boleh terikat lantaran perkara-perkara itu semuanya, tetapi yang mesti mengikat satu di antara mereka dengan lainnya hanyalah akidah tauhid, kendatipun berlainan waktu dan tempatnya.
Bersamaan dengan itu mereka disuruh supaya menjauhkan dan memisahkan diri dari orang-orang kafir, baik dari kalangan musyrikin, ahli kitab maupun munafikin, dari pihak kerabat ataupun bukan, lalu berlepas diri (baro’) dari mereka, menyelisihi mereka dalam berbagai hal yang disyariatkan, tidak menjadikan mereka sebagai teman setia apalagi orang kepercayaan, melenyapkan rasa cinta dan kasih kepada mereka, menampakkan kebencian dan permusuhan kepada mereka dan memerangi mereka dengan tangan, lisan dan hati, sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Dan yang memisahkan dan menjauhkan mereka dari kaum musyrikin, ahli kitab dan kaum munafikin itu mestinya juga hanyalah akidah tauhid. Bukan sebab perbedaan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, tingkat pendidikan ataupun tingkat sosial yang ada di antara mereka.
Sebagaimana telah datang sebahagian dalil-dalilnya, di antaranya,
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan ayah-ayah dan saudara-saudara kalian sebagai pemimpin (teman setia), jika mereka lebih mencintai (mengutamakan) kekafiran atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai teman setia maka mereka itulah orang-orang yang zholim. [QS. al-Baro’ah/9: 23].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah memerintahkan untuk memisahkan diri dari orang-orang kafir kendatipun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak. Dan Allah telah melarang dari berwala’ (berloyalitas) kepada mereka, jika mereka lebih menyukai yaitu memilih kekafiran atas keimanan dan mengancam atas yang demikian itu, sama seperti firman Allah ta’ala ((Tidak akan engkau jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya, dan seterusnya ayat. QS. al-Mujadilah/58: 22)). [4]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Ucapan ini ditujukan untuk kaum mukminin secara menyeluruh, dan ini merupakan hukum abadi sampai hari kiamat yang menunjukkan putusnya hubungan wala’ (loyalitas) antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir”. [5]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, “Diharamkan mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman setia) yang mereka saling berkasih sayang, walaupun mereka adalah sedekat-dekatnya kerabat misalnya; ayah, anak dan saudara. Dan termasuk kezholiman yang busuk adalah berwala’ kepada orang yang memusuhi Allah, Rosul-Nya dan orang-orang beriman. [6]
Kamu tidak akan menjumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya, meskipun orang-orang itu adalah ayah-ayah atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan ke dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Allah telah meridloi mereka dan merekapun telah ridlo terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ingatlah bahwasanya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [QS. al-Mujadilah/58: 22].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu tidak berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang (Allah dan Rosul-Nya), kendatipun mereka itu termasuk dari kerabat”. [7]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman kepada Rosul-Nya, ‘Kamu tidak akan menjumpai suatu golongan manusia yang beriman kepada Allah dengan iman yang membenarkan Allah sebagai rabb (pemelihara) dan ilah (sesembahan) dan beriman pula kepada hari akhir, bercinta kasih dengan rasa cinta dan pertolongan kepada orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya dengan bentuk menyelisihi keduanya di dalam perintah, larangan dan apa yang keduanya mengajak kepadanya dari mentauhidkan Allah, mentaati-Nya dan mentaati Rosul-Nya walaupun mereka itu adalah sedekat-dekatnya kerabat bagi mereka dari ayah, anak, saudara ataupun keluarga”.[8]
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “Allah ta’ala mengkhabarkan bahwasanya iman kaum mukminin itu akan rusak dengan berkasih sayang kepada orang-orang kafir. Dan bahwasanya orang beriman itu tidak akan berwala’ kepada orang kafir walaupun orang kafir itu termasuk dari keluarganya”. [9]
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan bahwasanya tidak akan dijumpai seorang mukmin yang bercinta kasih kepada orang yang memusuhi Allah dan Rosul-Nya, kendatipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, dan tidak akan dijumpai pula seorang mukmin berkasih sayang kepada orang kafir. Maka barangsipa yang berkasih sayang kepada orang kafir maka ia bukanlah seorang mukmin”. [10]
Katanya lagi, “Allah ta’ala mengkhabarkan, “bahwasanya kamu tidak akan menjumpai seorang mukmin yang berkasih sayang kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan Rosul-Nya. Karena hakikat iman itu menafikan kecintaannya sebagaimana salah satu dari dua yang berlawanan menafikan yang lainnya. Maka apabila dijumpai iman maka lenyaplah lawannya, yaitu berwala’ kepada musuh-musuh Allah. Karena seseorang itu apabila berwala’ kepada musuh-musuh Allah dengan hatinya maka yang demikian itu merupakan dalil (bukti) bahwasanya di dalam hatinya tidak ada keimanan yang tetap”. [11]
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Rosul), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah mengkufuri kebenaran yang datang kepada kalian. Mereka mengusir Rosul dan juga mengusir kalian lantaran kalian beriman kepada Allah, Rabb kalian. Jika kalian benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridloan-Ku (janganlah kalian berbuat demikian). Kalian memberitahukan secara rahasia (berita-berita Rosul) kepada mereka lantaran rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nampakkan. Dan barangsiapa di antara kalian ada yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [QS. al-Mumtahanah/60: 1].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan berwala’ kepada orang-orang kafir dalam bentuk menolong, meneguhkan dan cinta kasih dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. [12]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Ayat ini menunjukkan larangan dari berwala’ kepada orang-orang kafir dengan satu sebab dari beberapa sebab”. [13]
Sungguh-sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka; “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya, sehingga kalian beriman kepada Allah saja. [QS. al-Mumtahanah/60: 4].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman kepada para hamba-Nya yang beriman, yang Allah perintahkan mereka untuk memutuskan hubungan dengan orang-orang kafir, memusuhi mereka, menjauhi mereka dan berlepas diri dari mereka”. [14]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan berwala’ kepada orang-orang kafir dan diwajibkan memusuhi mereka kendatipun mereka adalah kerabat yang terdekat”. [15]
Dari Samurah bin Jundub, Amma ba’du, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berhimpun dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka sesungguhnya ia sepertinya. [HR Abu Dawud: 2787. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [16]
Dari Muhammad bin ‘Abdurrahman Abu al-Aswad berkata, Satu pasukan atas penduduk Madinah pernah di hadang. Lalu aku ditetapkan (untuk berperang) padanya. Maka aku menemui ‘Ikrimah maulanya (mantan budaknya) Ibnu ‘Abbas. Lalu aku mengkhabarkan kepadanya, maka ia melarangku dari yang demikian itu dengan sekeras-kerasnya larangan. Kemudian ia berkata, Ibnu ‘Abbas pernah mengkhabarkan kepadaku, bahwasanya ada sekelompok orang dari kaum muslimin (yakni pada waktu perang Badar) bersama-sama kaum musyrikin memperbanyak bilangan kaum musyrikin untuk memerangi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah anak panah yang dilepas dengannya dan mengenai salah satu dari mereka, maka anak panah itu membunuhnya. Atau ia dipukul (dengan pedang) lalu ia terbunuh. Maka Allah menurunkan ((Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para Malaikat dalam keadaan menzholimi diri mereka, … dan seterusnya ayat. QS. an-Nisa’/4: 97)). [HR al-Bukhoriy: 4596 dan lafazh ini baginya, 7085]. [17]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Di dalamnya terdapat kesalahan bagi orang yang tinggal di antara orang-orang yang berbuat maksiat dengan pilihannya sendiri bukan untuk tujuan yang benar dari mengingkari mereka misalnya, atau mengharapkan menyelamatkan seorang muslim dari kebinasaan. Maka orang yang kuasa berpindah dari mereka itu tidak ada uzur/ alasan (untuk bergabung bersama mereka), sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang telah masuk Islam sedangkan kaum musyrikin dari keluarga mereka mencegah mereka dari berhijrah, lalu mereka keluar bersama kaum musyrikin (walaupun memang) bukan untuk memerangi kaum Muslimin tetapi (hanyalah sekedar) untuk memperbanyak bilangan mereka pada pandangan kaum Muslimin. Maka dengan yang demikian itu mereka akan memperoleh hukuman siksaan. Dan ‘Ikrimah memandang bahwasanya orang yang keluar di dalam pasukan (kaum musyrikin tersebut) untuk memerangi kaum muslimin sebagai orang yang berdosa, walaupun ia tidak ikut memerangi dan tidak berniat (untuk berperang)”. [18]
Dari Jarir bin Abdullah berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus sariyyah (pasukan perang tanpa disertai Beliau) ke kabilah Khots’am. Lalu sekelompok orang diantara mereka berlindung dengan sujud.[19] Maka pembunuhan berlangsung cepat menimpa mereka. Berkata (Jarir), maka sampailah berita itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau memerintahkan membayar separuh diyat untuk mereka, dan bersabda, “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim (tinggal) di antara kaum musyrikin”. Mereka bertanya, “Ya Rosulullah, mengapa?”. Beliau menjawab, “Sebab tidak boleh saling terlihat api (yang dinyalakan) keduanya”. [HR Abu Dawud: 2645 dan lafazh ini baginya, at-Turmudziy: 1604 dan an-Nasa’iy: VIII/ 36 dari Qois. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]
Berkata Ibnu al-Qoyyim rahimahullah, “Berkata sebahagian ahli ilmu, “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyuruh membayar setengah diyat setelah mengetahui keislaman mereka. Karena mereka telah membantu orang-orang kafir dengan bermukimnya mereka di antara orang-orang kafir tersebut. Maka mereka seperti halnya orang-orang yang binasa/hancur lantaran perbuatan dirinya dan orang lain. Dan (keterangan) ini adalah sesuatu yang baik sekali”. [21]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Bagaimana (mungkin) merasa baik jiwa seorang mukmin tinggal di negara orang-orang kafir yang dikumandangkan syiar-syiar kekafiran dan hukum padanyapun bagi selain Allah dan Rosul-Nya, sedangkan matanya menyaksikan yang demikian itu, telinganya mendengarnya dan ia merasa senang dengannya. Bahkan ia menghubungkan (dirinya) kepada negara tersebut, tinggal di dalamnya bersama istri dan anak-anaknya dan ia merasa tentram kepadanya sebagaimana tentramnya (jika hijrah) ke negara kaum Muslimin. Disamping itu di dalam hal tersebut terdapat kekhawatiran yang besar atasnya, istri dan anak-anaknya di dalam agama dan akhlak mereka”. [22]
Dari Mu’awiyah bin Haydah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah tidak akan menerima amal dari seorang musyrik yang berbuat syirik sesudah masuk Islam sehingga ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik menuju kepada kaum muslimin”. [HR Ibnu Majah: 2536 dan lafazh ini baginya, an-Nasa’iy: V/ 82-83 dan Ahmad: V/ 4, 5. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [23]
Dari Jarir berkata, Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan ia sedang membaiat (mengambil janji setia). Lalu aku berkata, “Wahai Rosulullah, ulurkan tanganmu sehingga aku berjanji setia kepadamu, dan buatlah persyaratan atasku yang engkau lebih tahu!”. Beliau bersabda, “Aku mengambil janji setiamu agar engkau beribadah kepada Allah, menegakkan sholat, membayar zakat, saling menashihati kaum muslimin dan memisahkan diri dari kaum musyrikin”. [HR an-Nasa’iy: VII/ 148 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: IV/ 357, 358, 360, 363, 365. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]
Dan masih banyak ayat dan hadits yang semisalnya, yang menjelaskan bahwa setiap mukmin itu wajib berlepas diri (baro’) dari orang-orang kafir, tidak mengangkat apalagi mengikat mereka menjadi kekasih dan teman setia, menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, dan bahkan pula dilarang bermukim atau tinggal di antara mereka ataupun ikut bergabung dengan mereka walaupun hanya sekedar untuk memperbanyak bilangan mereka bukan untuk membantu kepentingan mereka. Maka jika ada seseorang yang mengaku beriman tetapi ia masih menjalin cinta kasih kepada orang-orang kafir atau mengangkat mereka menjadi teman setia, tidak mau berlepas dan memisahkan diri dari mereka, tidak ingin menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka dan bahkan tinggal bermukim di antara mereka, maka pengakuan iman orang tersebut adalah palsu lagi batil.
Di samping itu Allah Jalla wa Ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk senantiasa
menyelisihi kaum kafirin di dalam ibadah, hari raya ataupun gaya mereka
yang khusus dan mengancam jika ada di antara mereka yang menyerupai kaum
kafirin tersebut maka ia termasuk mereka. Perhatikan beberapa dalil di
bawah ini atas keshahihan kaidah penting ini di dalam alqur’an dan
Sunnah. Kendatipun dalil-dalil alqur’an bersifat mujmal (global), maka
as-Sunnah selalu menafsirkan dan menjelaskannya sebagaimana keadaannya.
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelum mereka yang telah diturunkan alkitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. [QS. al-Hadid/57: 16].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah Ta’ala telah melarang kaum mukminin men-tasyabbuhi (meniru-niru atau menyerupai) orang-orang yang dibebankan kepada mereka alkitab sebelum mereka dari golongan Yahudi dan Nashrani, tatkala berlalu atas mereka masa yang panjang, mereka mengganti-ganti kitab Allah yang ada di hadapan mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit lalu membuangnya di belakang punggung mereka. Dan mereka menerima pendapat-pendapat yang beraneka ragam dan perkataan-perkatan dusta, mereka taklid kepada orang di dalam agama Allah dan menjadikan orang-orang alim dan ahli-ahli ibadah mereka menjadi arbab (sesembahan) selain dari Allah. Maka disaat itulah hati mereka menjadi keras, lalu mereka tidak akan menerima nasihat dan hati mereka tidak lunak dengan janji ataupun ancaman. ((Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik)) yaitu di dalam amal-amal, maka hati mereka rusak dan amal-amal mereka sia-sia. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman, ((Tetapi, karena mereka melanggar janji mereka, maka Kami mengutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah-rubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah di peringatkan dengannya. … QS. al-Maidah/5: 13)), yaitu rusak dan mengeras hati mereka dan karena perangai mereka maka mereka merubah-rubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya dan mereka meninggalkan amal-amal yang telah diperintahkan (oleh Allah) kepada mereka serta mengerjakan apa yang telah dilarang kepada mereka. Oleh sebab itulah Allah telah melarang kaum mukminin untuk men-tasyabbuhi (menyerupai) mereka sedikitpun dari perkara-perkara ushul (pokok) atau furu’ (cabang). [25]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Firman Allah ((Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang diberikan kitab kepada mereka)) merupakan larangan mutlak dari menyerupai mereka. Dan ini khusus juga di dalam larangan dari menyerupai mereka di dalam kekerasan hati mereka. Dan keras hati merupakan sebahagian dari buah perbuatan maksiat. [26]
Dari Ibnu Umar radliyallahu `anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Selisihilah kaum musyrikin, cabutlah (cukurlah) kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot”. [HR Muslim: 259 dan lafazh ini baginya dan al-Bukhoriy: 5892. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Pangkaslah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi!”. [HR Muslim: 260. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban dan janganlah menyerupai orang Yahudi dan Nashrani”. [HR Ahmad: II/ 261, 365, 499, dan Ibnu Hibban, at-Turmudziy: 1752 dari Abu Hurairah, an-Nasa’iy: VIII/ 137 dari Ibnu Umar, Ahmad: I/ 165 dan an-Nasa’iy: VIII/ 138 dari az-Zubair, tanpa perkataan “dan orang Nashrani”. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mencelup (menyemir rambut/ jenggot), maka selisihilah mereka”. [HR al-Bukhoriy: 3462, 5899 dan lafazh ini baginya, Muslim: 2103, Abu Dawud: 4203, an-Nasa’iy: VIII/ 137, 185, Ibnu Majah: 3621 dan Ahmad: II/ 240, 260, 309, 401. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]
Dari Abu Umamah berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui orang-orang tua dari golongan Anshor yang telah memutih jenggot-jenggot mereka. Lalu Beliau bersabda, “Wahai golongan Anshor, merahkanlah atau kuningkanlah (jenggot-jenggot kalian) dan selisihilah ahli kitab”. Berkata (Abu Umamah), maka kami berkata, “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya ahli kitab mengenakan celana panjang dan tidak mengenakan sarung”. Bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenakan celana panjang, pakailah sarung dan selisihilah ahli kitab”. Berkata (Abu Umamah), maka kami berkata, “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya ahli kitab memakai khuff (sepatu) dan tidak memakai sendal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka pakailah khuff dan sendal dan selisihilah ahli kitab”. Berkata (Abu Umamah), maka kami berkata, “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya ahli kitab memotong jenggot-jenggot mereka dan memperbanyak kumis mereka”. Berkata (Abu Umamah), maka bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Potonglah kumis-kumis kalian dan perbanyak jenggot-jenggot kalian dan selisihilah ahli kitab”. [HR Ahmad: V/ 264-265. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dan hadits ini sanadnya adalah hasan]. [31]
Dari Syaddad bin Aus berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Selisihilah kaum Yahudi, karena sesungguhnya mereka tidak melakukan sholat mengenakan sandal dan Khuff (sepatu) mereka”. [HR Abu Dawud: 652. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]
Dari Ibnu Umar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menyerupai (meniru-niru) suatu kaum maka ia termasuk mereka”. [HR Abu Dawud: 4031 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: II/ 50, 92 dengan ada tambahan di awalnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [33]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Hadits ini sedikitnya menetapkan diharamkannya bertasyabbuh dengan mereka, kendatipun secara lahirnya menetapkan kekufuran orang yang bertasyabbuh dengan mereka. Sebagaimana di dalam firman-Nya, ((Dan barangsiapa di antara kalian yang mengambil mereka sebagai wali maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. QS. al-Ma’idah/5: 51)). Ini sebanding dengan apa yang akan kami sebutkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr (bin al-‘Ash), bahwasanya ia berkata, “Barangsiapa yang membangun (tempat tinggal) di negeri kaum Musyrikin, membuat Nairuz (perayaan awal tahun Qibthiyyah) dan Mahrajan (hari raya Persia) mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka sampai mati maka ia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat”. [34] Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy di dalam as-Sunan al-Kubro.
Demikian sebahagian dalil di dalam alqur’an dan hadits yang menerangkan diharamkannya tasyabbuh dengan orang-orang kafir di dalam banyak hal, yang dapat mewariskan sikap cinta, kasih sayang dan loyal kepada mereka, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, “Menyerupai (mentasyabbuhi) orang lain secara lahir itu akan mewariskan (menimbulkan) semacam perasaan kasih sayang, cinta dan wala’ (loyal) di dalam batin. Sebagaimana perasaan cinta di dalam batin akan menimbulkan sikap meniru secara lahir. Ini adalah suatu perkara yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan oleh pengalaman, sehingga dua orang yang berasal dari sebuah negara apabila bertemu di negara asing maka akan timbullah rasa kasih sayang, wala’ dan kecocokan di antara mereka berdua, meskipun ketika di negaranya sendiri mereka tidak saling mengenal atau berjauhan tempatnya. Hal ini disebabkan keberadaan mereka yang sama-sama dari satu negara tersebut merupakan sifat (identitas) yang menjadi kekhususan mereka yang berbeda dengan keadaan negara asing itu. Bahkan jika ada dua orang bersama-sama dalam suatu perjalanan atau di negara asing, sedangkan di antara mereka terdapat persamaan di dalam sorban, model pakaian, rambut, kendaraan atau yang lainnya, maka mereka lebih cocok daripada dengan orang lain selain mereka berdua. Demikian pula kamu dapati pemilik-pemilik perusahaan dalam urusan keduniaan (pekerjaan) lebih cocok sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain, sesuatu yang tidak akan menimbulkan kecocokan kepada yang lain, sehingga di dalam permusuhan dan peperanganpun demikian, baik di dalam perebutan kekuasaan maupun karena alasan agama. Begitu pula kamu dapati raja-raja dan semisal mereka di antara para penguasa, meskipun negara dan kerajaan mereka saling berjauhan di antara mereka, yang memiliki munasabah (ikatan), maka hal ini akan menimbulkan sikap saling meniru dan saling menjaga dari sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain. Semua hal ini merupakan sesuatu yang alami dan sesuai ketentuan. Kecuali jika dilarang oleh agamanya atau karena suatu tujuan yang khusus. Apabila sikap saling meniru di dalam perkara-perkara keduniaan dapat menimbulkan rasa cinta dan wala’ maka bagaimana sikap saling meniru di dalam perkara-perkara dieniyyah (agama) ?. Maka (sikap tersebut) tentunya akan dapat membawa kepada rasa cinta dan wala’ yang lebih besar dan lebih kuat. Dan rasa cinta dan wala’ kepada mereka tersebut dapat melenyapkan keimanan. Berfirman Allah ta’ala, ((Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (kalian), karena sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Dan seterusnya ayat. QS. al-Ma’idah/5: 51-53)). [35]
Bahkan sikap Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekedar itu tetapi juga tidak mau menerima bantuan pertolongan dari orang musyrik untuk memerangi orang-orang kafir, sebagaimana riwayat hadits berikut ini,
Dari ‘Aisyah berkata, bahwasanya seorang lelaki dari kaum musyrikin pernah menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Beliau bersabda, “Kembalilah!”. Lalu Beliau berkata, “Maka sesungguhnya kami tidak akan meminta pertolongan kepada orang musyrik”. [HR Abu Dawud: 2732 dan lafazh ini baginya, Muslim: 1817, Ahmad: VI/ 68, 149, Ibnu Majah: 2832 dan ad-Darimiy: II/ 233. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [36]
Demikian itulah sifat dan sikap Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mesti diikuti dan diteladani oleh semua orang yang mengakui dan memproklamirkan dirinya sebagai seorang muslim dan pengikut Beliau. Lantaran kebencian dan permusuhan kepada orang-orang kafirlah yang mendorong Beliau untuk tidak berwala’ kepada mereka, menyuruh umatnya untuk senantiasa menyelisihi mereka dan bahkan enggan menerima tawaran bantuan dari mereka dari salah seorang dari mereka sehingga ia beriman.
Sifat dan sikap seperti ini, amatlah berbeda dengan kaum muslimin dari kalangan munafikin, yang mempunyai dua muka, tidak memiliki pendirian dan sikap yang tegas atau plin plan (plintat plintut), tidak dapat bahkan tidak mau membedakan antara yang benar dan salah, tidak mau memisahkan antara keimanan dan kekafiran apalagi menempatkan diri mereka di dalam keimanan dan menjauhi kekafiran, tentu mereka tidak akan mau. Dan yang lebih penting lagi untuk diketahui adalah ternyata hati mereka lebih condong kepada kebatilah dan kekafiran serta selalu berupaya menolak kebenaran dan keimanan.
Beritakan kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka akan mencari ‘izzah (kemuliaan) di sisi orang-orang kafir, padahal sesungguhnya kemuliaan itu seluruhnya adalah milik Allah. [QS. an-Nisa’/4: 138-139].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Mereka memberikan cinta, bantuan dan wala’ (kesetiaan) mereka kepada orang-orang kafir, dan menahan yang demikian itu kepada orang-orang mukmin. Hal tersebut disebabkan karena hati mereka kafir lagi berdosa, iman tidak masuk kedalamnya dan amalan Islam tidak meneranginya”. [37]
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman?. Orang-orang itu bukanlah termasuk golongan kalian dan bukan pula termasuk golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kedustaan sedangkan mereka mengetahui. Allah menyediakan untuk mereka adzab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka telah kerjakan. [QS. al-Mujadilah/58: 14-15].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman mengingkari orang-orang munafik mengenai wala’ (kesetiaan) mereka kepada orang-orang kafir di dalam bathin, sedangkan mereka di dalam hakikat persoalan tersebut tidak bersama orang-orang kafir dan tidak pula bersama kaum mukminin”. [38]
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “Ayat ini turun mengenai orang-orang munafik yang berwala’ kepada orang Yahudi, menjadi penashihat mereka dan menyampaikan rahasia-rahasia kaum mukminin kepada mereka”. [39]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu, Wahai Rosul Kami perhatikanlah orang-orang yang berwala’ (bersetia) kepada suatu kaum yang dimurkai Allah, yaitu orang Yahudi, yang orang-orang munafik berwala’ kepada mereka dengan kesetiaan yang membantu dan membuat kelompok untuk melawan Rosul dan orang-orang beriman. Allah ta’ala berfirman, ((Orang-orang munafik itu bukan termasuk golongan kalian wahai kaum mukminin dan bukan pula termasuk golongan mereka dari orang Yahudi, tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak berpendirian (plin plan) lagi bimbang di antara kalian dan di antara orang Yahudi, lahiriyah mereka bersama kalian dan bathin mereka bersama orang Yahudi))”. [40]
Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian itu (antara iman atau kafir), tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak pula kepada golongan itu (orang-orang kafir). [QS. an-Nisa’/4: 143].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu orang-orang munafik yang bingung antara iman dan kafir, maka mereka tidak bersama-sama orang-orang beriman secara lahir dan bathin, dan tidak pula bersama-sama orang-orang kafir secara lahir dan bathin. Tetapi lahiriah mereka bersama orang-orang beriman dan bathiniah mereka bersama-sama orang-orang kafir. Dan di antara mereka ada yang ditimpa keraguan, maka sekali waktu ia condong kepada mereka (orang-orang beriman) dan sekali waktu ia condong kepada mereka (orang-orang kafir)”. [41]
Berkata Ibnu Junniy, “Mudzabdzab adalah sifat bimbang yang tidak berada di atas satu keadaan. Maka orang-orang munafik itu ragu-ragu di antara golongan mukminin dan golongan kafirin, tidak memurnikan keimanan dan tidak pula menyatakan kekafiran”. [42]
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang munafik itu adalah seperti seekor kambing betina yang bingung di antara dua ekor kambing jantan, ia bimbang kepada (kambing) yang ini sekali waktu dan ia bimbang kepada (kambing) yang itu sekali waktu”. Di dalam suatu riwayat, “Ia tidak tahu kemanakah ia harus ikut”. [HR Muslim: 2784 dan lafazh ini baginya, an-Nasaa’iy: VIII/ 124 dan Ahmad: II/ 47, 88 dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]
Perhatikanlah bagaimana Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang munafik itu seperti kambing betina yaitu satu jenis binatang ternak, yang bingung memilih untuk bergabung dengan kelompok yang akan diikutinya. Maka keadaan orang munafikpun demikian yaitu tidak mempunyai ketetapan hati dan keyakinan yang kuat untuk mengikuti suatu kelompok yang diikutinya. Ia tidak mau menilai dan memisahkan antara kebenaran dengan kebatilan. Jika ia mengakui kebenaran secara terang-terangan dan berdiri di pihak kebenaran -padahal hatinya sendiri belum mau mengakuinya secara tulus, dan hawa nafsunyapun masih cenderung menolak kebenaran dan mengikuti kebatilan-, serta membela kebenaran dan para pembelanya, maka ia khawatir akan dimusuhi oleh orang-orang yang berpegang kepada kebatilan dan memerangi kebenaran (yaitu orang-orang kafir). Dan sebaliknya jika ia mengakui kebatilan secara terang-terangan dan berdiri di pihak kebatilan serta membela kebatilan dan para pembelanya, maka ia khawatir akan dimusuhi oleh orang-orang yang berpegang kepada kebenaran dan memerangi kebatilan (yaitu orang-orang beriman). Akhirnya supaya dirinya diterima di kedua belah pihak, maka ia menerima dan mengakui kebenaran dengan lisannya akan tetapi hatinya menolak dan mengingkarinya, dan ia datangi kedua kelompok tersebut dengan membawa dua wajah yang berbeda. Ia hadapkan wajahnya kepada orang-orang kafir dengan satu wajah dan ia hadapkan wajahnya yang lain kepada orang-orang beriman, maka pantaslah jika orang munafik ini dikenal dengan sebutan “dzul wajhain” yaitu orang yang memiliki dua wajah, yang di akhirat nanti ia akan dianugerahi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dua lidah dari api neraka. Ma’adzallah.
Dari Abu Hurairah, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah “dzul wajhain” (orang yang memiliki dua wajah), yang datang kepada mereka ini dengan satu wajah dan datang kepada mereka itu dengan satu wajah yang lain”. [HR al-Bukhoriy: 3494, 6058, 7179 dan lafazh ini baginya, Muslim: 2526, at-Turmudziy: 2025, Abu Dawud: 4872 dan Ahmad: II/ 336. Berkata Abu ‘Isa at-Turmudziy: ini adalah hadits hasan shahih dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]
Dari ‘Ammar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mempunyai dua wajah di dunia, maka pada hari kiamat ia akan memiliki dua lidah dari api neraka”. [HR Abu Dawud: 4873 dan lafazh ini baginya, ad-Darimiy: II/ 314 dan al-Baihaqiy: 507 di dalam kitab al-Adab. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [45]
Demikian itulah ancaman dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada setiap orang yang tidak dapat menentukan sikap yang benar dan tepat, yaitu berupa dua cabang lidah dari api neraka. Maka dari itu para shahabat radliyallahu ‘anhum menganggap bahwa jikalau ada seseorang berbicara dengan seorang sultan (penguasa) kemudian setelah keluar dari sisinya, ucapannya berbeda dengan apa yang telah diucapkannya kepada sultan tersebut, adalah sebagai penyakit nifak (kemunafikan).
Dari Muhammad bin Zaid bin ‘Abdullah bin ‘Umar, pernah bertanya beberapa orang kepada Ibnu ‘Umar, “Sesungguhnya kami masuk kepada sultan (penguasa) kami, lalu kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang kami katakan apabila kami telah keluar dari sisi mereka”. Berkata (Ibnu ‘Umar), “Kami menganggap sifat seperti itu sebagai penyakit nifak (kemunafikan)”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 7178 dan lafazh ini baginya, Ibnu Majah: 3975 dari Abu asy-Sya’syaa’ dan Ahmad: II/ 105. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [46]
Padahal berkata Ibnu Abi Mulaikah, “Aku jumpai tiga puluh dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mereka takut terhadap penyakit nifak atas dirinya, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwasanya ia berada di atas keimanan malaikat Jibril dan Mikail”. [47]
Dari Hanzholah al-Usayyidiy (salah seorang sekretaris/penulis Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata, Abu Bakar pernah menjumpai diriku, lalu ia berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzholah?”. Ia (Hanzholah) berkata, “Aku menjawab, “Hanzholah telah munafik”. Ia (Abu Bakar) berkata, “Subhaanallah, apa yang engkau ucapkan?”. Ia (Hanzholah) berkata, aku berkata, “Kita berada di sisi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingatkan kepada kita tentang neraka dan surga, sehingga seolah-olah kita melihatnya di depan mata. Lalu ketika kita telah keluar dari sisi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita menjumpai istri-istri, anak-anak dan kesibukan pekerjaan, kita melupakan banyak (peringatan Nabi itu)”. Berkata Abu Bakar, “Demi Allah, sesungguhnya kamipun menjumpai seperti itu”. Maka akupun pergi bersama Abu Bakar sehingga kami masuk menemui Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akupun berkata, “Hanzholah telah munafik, wahai Rosulullah”. Bertanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah itu?”. Aku berkata, “Wahai Rosulullah, kami berada di sisimu, engkau berikan peringatan kepada kami tentang neraka dan surga, sehingga seolah-olah kami melihat di depan mata. Lalu ketika kami keluar dari sisimu, kami menjumpai istri-istri, anak-anak dan kesibukan pekerjaan, kami melupakan banyak (peringatanmu)”. Maka bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, jika kalian senantiasa di atas apa yang kalian ada pada sisiku ini dan di dalam peringatan(ku ini), niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat-tempat tidur dan jalan-jalan kalian, tetapi wahai Hanzholah sesaat demi sesaat”. (Diulang kalimat itu sebanyak) tiga kali. [HR Muslim: 2750 dan lafazh ini baginya, at-Turmudziy: 2514, Ibnu Majah: 4239 dan Ahmad: II/ 304-305, 305. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [48]
Begitulah iman para shahabat dan rasa takutnya mereka terhadap penyakit nifak yang dapat membinasakan mereka di dunia dan akhirat, sehingga mereka benar-benar mampu dan bersungguh-sungguh menempatkan kebenaran dan keimanan di tempat yang benar lalu merekapun meletakkan diri mereka di atasnya, mencintai dan membelanya. Dan merekapun sanggup menempatkan kebatilan dan kekafiran di tempat yang batil lalu mereka menjauhkan diri darinya, membenci dan menentangnya. Berbeda dengan kaum munafikin yang tidak mampu dan enggan menempatkan kebenaran dan keimanan atau kebatilah dan kekufuran pada tempatnya yang sesuai, apalagi meletakkan diri mereka pada tempat kebenaran, mencintai serta membelanya atau menjauhi kebatilan, membenci serta menentangnya. Karena telah jelas di dalam alqur’an maupun hadits mengenai kekafiran kaum munafikin, yang selalu menentang dan menghujat kebenaran serta para pembelanya, dan selalu membenarkan, mendukung dan memuji kebatilan serta para pembelanya. Dari sebab itu Allah ta’ala menggolongkan mereka termasuk orang-orang kafir, mengabadikan ukhuwah (persaudaraan) mereka dengan kaum kafirin dan bahkan akan menghimpunkan mereka nanti di hari kiamat di dalam neraka Jahannam bersama-sama. Ma’adzallah.
Dan janganlah kamu menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka (yaitu orang-orang munafik) selama-lamanya, dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya (untuk mendoakannya). Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengadzab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak mereka itu dan agar melayang nyawa mereka sedangkan mereka dalam keadaan kafir. [QS. al-Baro’ah/9: 84-85].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah memerintahkan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar baro’ (berlepas diri) dari orang-orang munafik, tidak menyolatkan seseorang di antara mereka apabila mati, tidak berdiri di atas kuburnya untuk memohonkan ampun baginya atau mendoakan kebaikan baginya, karena mereka telah kafir kepada Allah dan Rosul-Nya dan mati di atas kekafiran itu. Dan ini adalah hukum yang umum bagi setiap orang yang telah dikenal kemunafikannya, kendatipun sebab-sebab turunnya ayat ini pada Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan kaum munafikin”. [49]
Dan asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah berkata, “Haram sholat, memohonkan ampun dan memohonkan rahmat (misalnya; allahummarhamhu atau rahimahullah atau almarhum, peny.) atas orang-orang kafir dan munafik, karena firman Allah Tabaroka wa ta’ala, ((Janganlah engkau menyolatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (golongan munafik) selama-lamanya dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya (untuk mendoakannya), sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. QS. al-Baro’ah/9: 84)). [50]
Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang kaum muslimin untuk menyolatkan, memohonkan ampun, memintakan rahmat atau menyelegarakan penguburan orang munafik yang telah jelas kemunafikannya. Hal tersebut dikarenakan masih adanya kekafiran di dalam hatinya sebagaimana kekafiran orang-orang kafir. Meskipun mereka berbeda dalam kelompok namun mereka bersaudara dalam kekafiran.
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari ahli kitab, “Sesungguhnya jika kalian diusir, maka niscaya kamipun akan keluar bersama kalian, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi, maka pasti kami akan membantu kalian”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka itu benar-benar pendusta. [QS. al-Hasyr/59: 11].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Kalimat, ((mereka berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari ahli kitab)) adalah merupakan permulaan untuk menjelaskan orang yang merasa heran darinya, menerangkan tentang perumpamaan untuk mendatangkan bentuk atau menunjukkan atas suatu rutinitas. Dan Allah menjadikan mereka (yaitu orang-orang munafik) menjadi saudara bagi orang-orang kafir, lantaran kekafiran yang telah menghimpun mereka, kendatipun macam kekafiran mereka berbeda, maka mereka tetap ikhwan (saudara) di dalam kekafiran”. [51]
Sesungguhnya Allah akan menghimpun seluruh orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam. [QS. an-Nisa’/4: 140].
Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, Allah melaknati mereka dan untuk mereka ada adzab yang kekal. [QS. al-Baroo’ah/9: 68].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Firman-Nya ((Sesungguhnya Allah akan menghimpun seluruh orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam)) yaitu sebagaimana mereka telah bersekutu dengan orang-orang kafir di dalam kekafiran, maka demikian pula Allah mempersekutukan di antara mereka dengan kekekalan di dalam neraka Jahannam selama-lamanya, dan Allah mengumpulkan di antara mereka di dalam tempat hukuman, siksaan, rantai, belenggu, minuman yang sangat panas, dan cairan nanah yang tiada jernih. [52]
Memahami ayat-ayat di atas bersama keterangannya, maka kewajiban setiap mukmin untuk mengambil sikap yang tegas dan kuat untuk dapat membedakan antara yang hak (benar) dengan yang batil (salah) atau dapat membedakan antara keimanan dan kekafiran. Dia tidak boleh mengambil sikap mendua (menerima kedua prinsip yang jelas bertolak belakang tersebut), atau menolak kedua-duanya. Tetapi ia wajib membenarkan dan memilih yang hak (benar) dan keimanan, menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, membelanya dengan kesungguhan dan iapun sanggup berwala’, mencintai dan membela orang yang telah diakui Allah ta’ala telah beriman. Lalu disamping itu ia wajib menyalahkan, mendustakan, menolak, menentang dan membuang yang batil (salah) dan kekafiran dengan sungguh-sungguh, dan ia sanggup mengafirkan (menyatakan kafir) orang yang telah diakui oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kafir di antara ahli kitab, kaum musyrikin dan yang serupa dengan mereka, bahkan ia mesti melepaskan diri (baro’) dari mereka, membenci dan memusuhi mereka selama-lamanya sehingga mereka beriman kepada Allah ta’ala saja dan mengakui kerosulan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dia tidak boleh ragu-ragu ataupun bimbang di dalam sikapnya tersebut, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyuruh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman supaya bersikap tegas kepada orang-orang kafir bahkan juga kepada orang-orang munafik, dan bersatu padu serta tidak boleh mempunyai dua golongan yang berbeda di dalam menghadapi, menyikapi dan memerangi mereka, yakni satu golongan memusuhi dan golongan yang lainnya membela. Sedangkan orang-orang munafik itu sangat menginginkan kaum mukminin menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir lalu kaum mukminin itupun menjadi sama dengan mereka. Jika demikian keinginan orang-orang munafik apalagi dengan keinginan orang-orang kafir, tentu lebih sangat lagi. al-‘Iyadzu billah.
Maka mengapa kalian (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ?. Apakah kalian bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan oleh Allah ?. Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka menjadi teman-teman penolong kalian sehingga mereka berhijrah pada jalan Allah. [QS. an-Nisa’/4: 88-89].
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah kepada mereka. Tempat tinggal mereka adalah neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. [QS. al-Baro’ah/9: 73 dan QS. at-Tahrim/66: 9].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah memerintahkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerangi orang-orang kafir dan juga orang-orang munafik dan bersikap keras kepada mereka. Sebagaimana Allah ta’ala telah memerintahkan Beliau untuk berkasih sayang kepada orang-orang yang mengikutinya dari kalangan mukminin. Dan Allah ta’ala telah mengkhabarkan bahwasanya tempat kembali orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu adalah ke neraka di kampung akhirat nanti”. [53]
Berkata Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu mengenai firman Allah ta’ala ((perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik)). Ia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Dengan tangannya, jika ia tidak mampu (maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya), dan jumpailah mereka dengan wajah yang kecut atau masam”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata, “Allah ta’ala telah memerintahkan Beliau untuk memerangi orang-orang kafir dengan pedang dan memerangi orang-orang munafik dengan lisan dan juga menghilangkan sifat lembut bersahabat dari mereka. [54]
Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian dan hendaklah mereka menemui sikap keras pada kalian. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. [QS. al-Baro’ah/9: 123].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir, “Firman Allah ta’ala ((dan hendaklah mereka menemui sikap keras pada kalian)) yaitu dan hendaklah orang-orang kafir menemui dari kalian sikap keras atas mereka, berupa upaya kalian memerangi mereka. Karena sesungguhnya seorang mukmin yang sempurna adalah yang lembut bersahabat kepada saudaranya yang beriman dan keras terhadap musuhnya yang kafir”. [55]
Dan untuk diketahui bahwasanya cinta dan benci lalu wala’ dan baro’
adalah termasuk dari buhul tali iman yang sangat kuat dan kesempurnaan
iman, maka jika ada orang yang hanya memiliki rasa cinta dan wala’ tanpa
memiliki rasa benci dan baro’ yang mesti diletakkan pada tempatnya
masing-masing maka tidaklah sempurna imannya atau boleh jadi ia belum
beriman. Yaitu ia mesti meletakkan rasa cinta dan wala’nya kepada sesama
mereka dari kalangan mukminin dan menempatkan rasa benci, permusuhan
dan baro’nya kepada orang diluar mereka dari kalangan kaum kuffar dan
kaum munafikin, sebagaimana dalil-dalil di bawah ini,
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzarr, “Apakah tali iman itu?” -aku mengira Beliau berkata, “Sekuat-kuat- (maksudnya, “Apakah sekuat-kuat tali iman itu?”). Ia berkata, “Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “(Sekuat-kuat tali iman itu adalah) berwala’ karena Allah, bermusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan membenci karena Allah”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir dan lafazh ini baginya, Ahmad: IV/ 286, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Nashr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [56]
Dari Abu Umamah dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda, “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (pemberian) karena Allah maka sungguh-sungguh telah sempurna imannya”. [HR Abu Dawud: 4681 dan Ibnu ‘Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [57]
Di dalam riwayat yang lain dari Mu’adz al-Juhaniy, bahwasanya Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan (pemberian) karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menikahkan karena Allah, maka sungguh-sungguh telah sempurna imannya”. [HR at-Turmudziy: 2521 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: III/ 438, 440. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [58]
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berwala’ karena Allah dan memusuhi karena Allah, maka sesungguhnya kewalian Allah akan diperoleh dengan semuanya itu, dan seorang hamba tidak akan mendapatkan rasa lezatnya iman walaupun sholat dan shuomnya banyak, sehingga ia menjadi yang seperti demikian itu. Dan sungguh-sungguh, umumnya persaudaraan manusia itu berdasarkan atas persoalan dunia, dan yang demikian itu tidak akan memberikan suatu apapun kepada ahlinya”. [59]
Demikian itulah sikap yang mesti dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi seorang mukmin, yakni mampu bersikap keras berupa menjauhkan diri dari orang-orang kafir dari ahli kitab, orang-orang musyrik ataupun orang-orang munafik dan menampakkan kebencian dan permusuhan kepada mereka. Dan di samping itu ia mesti mampu bersikap lembut bersahabat kepada orang-orang mukmin berupa mendekatkan diri kepada mereka, mencintai dan membantu mereka di dalam menegakkan dienullah.
Sedangkan orang-orang kafir mengharapkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lunak dan lembut kepada mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala,
Maka mereka menginginkan agar kamu bersikap lunak lalu merekapun bersikap lunak (kepadamu). [al-Qolam/68: 9].
Berkata al-Kalbiy dan al-Farra’, “Andaikata kamu bersikap lembut maka merekapun akan bersikap lembut kepadamu”. [60]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin ketika ditanya mengenai sangkaan seorang pemberi nasihat di salah satu dari Masjid di Eropa yang menidakbolehkan (atau melarang) mengkafirkan orang Yahudi dan Nashrani, “Dan aku menashihatkan laki-laki tersebut dan aku mengajaknya untuk bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hendaklah ia membaca, ((Maka mereka menginginkan agar kamu bersikap lunak lalu merekapun lunak kepadamu. QS. al-Qolam/68: 9)), dan agar ia tidak bersikap lunak kepada mereka di dalam kekafiran mereka serta menjelaskan kepada tiap-tiap orang bahwasanya mereka adalah orang-orang kafir dan bahwasanya mereka adalah termasuk dari para penghuni neraka”. [61]
Demikian keinginan Allah Jalla wa ‘Ala kepada Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman, yang sangat berbeda dengan keinginan orang-orang kafir dari ahli kitab dan musyrikin ataupun orang-orang munafik dan yang serupa dengan mereka, maka tiada yang memilih keinginan Allah ta’ala tersebut kecuali hanya orang-orang beriman. Jika seseorang merasa ragu dan bimbang dengan keinginan dan keputusan Allah Jalla Dzikruhu tersebut yaitu perintah berwala’ dan bersikap lembut bersahabat kepada sesama mukmin dan bersikap keras kepada orang kafir berupa berlepas diri (baro’), membenci, memusuhi dan mengkafirkan (menyatakan kafir) orang yang telah dikafirkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka iapun telah kafir secara ijma’ (kesepakatan) ulama.
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Maka jika ia ragu-ragu di dalam kekafiran mereka atau bodoh (tidak mengetahui) akan kekafiran mereka, setelah diterangkan dalil-dalil kepadanya dari alqur’an dan Sunnah Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits) atas kekafiran mereka, maka jika ia ragu-ragu dan bimbang setelah itu, maka sesungguhnya ia telah kafir sesuai dengan ijma’ ulama, yaitu barangsiapa ragu-ragu terhadap kekafiran orang kafir maka iapun telah kafir”. [62]
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengenai ahli wihdah al-wujud (kelompok shufiy/ tarekat) setelah menyebutkan madzhab mereka yang batil dan bahwasanya ucapan mereka lebih buruk dari ucapan orang-orang Nashrani, ia berkata, “Maka ini semuanya adalah kafir secara lahir dan batin sesuai dengan ijma’ setiap muslim. Dan barangsiapa yang ragu-ragu di dalam kekafiran mereka setelah mengetahui perkataan mereka dan mengetahui ajaran Islam, maka ia telah kafir sebagaimana orang yang ragu-ragu tentang kekafiran orang-orang Yahudi, Nashrani dan Musyrikin”. [63]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan bebarapa ayat mengenai kekafiran orang Yahudi dan Nashrani, “Ayat-ayat dan hadits-hadits di dalam hal ini banyak. Maka barangsiapa yang mengingkari kekafiran orang Yahudi dan Nashrani yang tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustakannya maka sungguh-sungguh ia telah mendustakan Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan mendustakan Allah adalah merupakan kekafiran. Dan Barangsiapa yang ragu-ragu di dalam kekafiran mereka maka tidak diragukan lagi tentang kekafirannya”. [64]
Setiap mukmin tentu akan mengikuti setiap kehendak Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam bersikap, dan tidak akan mengikuti keinginan manusia terlebih-lebih orang-orang kafir. Karena jikalau ada seorang mencari keridloan manusia dengan menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah ta’ala tetap tidak akan ridlo kepada orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab, kaum musyrikin dan orang-orang munafik atau yang serupa mereka dan akan murka kepada orang yang mencari keridloan mereka.
Mereka (orang-orang munafik) bersumpah kepada kalian, agar kalian ridlo kepada mereka. Tetapi jika kalian ridlo kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak akan ridlo kepada orang-orang fasik itu. [QS. al-Baro’ah/9: 96]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan ridlo kepada orang fasik yang menampakkan kefasikannya, karena wajib membencinya, maka bagaimana (diperbolehkan) meridloi dan mencintainya?”. [65]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Maksud dari pemberitaan Allah Subhanahu dengan meniadakan ridlo-Nya kepada mereka yaitu melarang kaum mukminin dari yang demikian itu, karena ridlo kepada orang yang tidak diridloi oleh Allah adalah dari apa yang tidak akan dilakukan oleh orang mukmin”. [66]
Dari seseorang dari penduduk Madinah berkata, Mu’awiyah pernah menulis surat kepada ‘Aisyah Ummu Mukminin radliyallah ‘anha, “Tuliskanlah kepadaku sebuah surat yang engkau washiatkan diriku di dalamnya, dan janganlah terlalu banyak”. Lalu ‘Aisyah radliyallahu ‘anha menulis (surat) kepada Mu’awiyah, “Salam kesejahteraan atasmu, amma ba’du, maka sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ridlo Allah dengan menimbulkan kemurkaan manusia maka Allah melindunginya dari kesulitan manusia, dan barangsiapa yang mencari keridloan manusia dengan menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia. Dan mudah-mudahan salam kesejahteraan atasmu”. [HR at-Turmudziy: 2414 dan lafazh ini baginya, Ibnu al-Mubarok: 199 di dalam kitab az-Zuhd dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [67]
Di dalam riwayat yang lain dari Urwah bin az-Zubair dengannya, secara marfu’ dengan lafazh, “Barangsiapa yang mencari ridlo Allah dengan menimbulkan kemurkaan manusia maka Allah ridlo kepadanya dan menjadikan manusia ridlo kepadanya, dan barangsiapa yang mencari ridlo manusia dengan menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya dan menjadikan manusia murka kepadanya”. [HR al-Qudlo’iy, Masyriq bin ‘Abdullah dan Ibnu ‘Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [68]
Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. [QS. Al-Mumtahanah/ 60: 10].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat inilah yang telah mengharamkan (pernikahan) perempuan-perempuan muslim bagi laki-laki musyrik. Meskipun diawal Islam dibolehkan lelaki musyrik menikahi perempuan mukminah. [69]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan menikahi perempuan musyrik. Tidak boleh melanggengkan pertalian pernikahan dengan perempuan musyrik. Hendak bagi seorang muslim untuk meminta maharnya kembali kepada istrinya yang masih tetap dalam kekafiran atau murtad setelah Islamnya. Begitu juga bagi lelaki kafir untuk meminta kembali maharnya kepada perempuan yang masuk Islam lalu berhijrah. [70]
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [QS. Al-Baqarah/ 2: 221].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini merupaka pengharaman dari Allah Azza wa Jalla bagi kaum mukminin untuyk menikahi perempuan-perempuan musyrik dari para penyembah berhala. Kemudian karena keumumannya yang dimaksud, masuk ke dalam pengharaman tersebut adalah setiap perempuan musyrik dari ahli kitab atau penyembah berhala. Lalu Allah ta’ala mengkhususkan hal tersebut untuk perempuan ahli kitab dengan firman-Nya ((Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu. QS al-Maidah/ 5: 5)). [71]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan menikahi perempuan-perempuan musyrik. Adapun perempuan-perempuan ahli kitab, maka Allah ta’ala telah membolehkan untuk menikahi mereka di dalam surat al-Maidah ayat 5. Diharamkan bagi perempuan mukminah dinikahi oleh lelaki kafir secara mutlak, apakah dia lelaki musyrik atau ahli kitab. [72]
Berkata asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhohullah, “Tidak boleh seorang muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, tidak kepada Yahudi, Nashrani dan tidak pula kepada penyembah berhala. Adapun seorang muslim menikahi perempuan kafir, jika ia penyembah berhala maka ia tidak boleh menikah dengannya. Allah ta’ala berfirman ((Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. QS al-Baqarah/ 2: 221)). Namun jika ia seorang perempuan Yahudi atau Nashrani, maka ia boleh menikahinya dengan syarat ia adalah seorang perempuan yang memelihara kehormatannya, karena firman Allah ta’ala ((Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. ((Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu. QS al-Maidah/ 5: 5)). Perempuan Nashrani yang berzina atau melacur, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menikahinya. Hanyalah diperbolehkan ia untuk menikahi perempuan yahudi dan nashrani yang memelihara kehormatannya. Sebab perempuan itu dibawah kekuasaan pria. Boleh jadi ia akan menjadi muslimah ketika di bawah kekuasaannya, maka kekuasaan itu milik muslim atas perempuan kafir. Berbeda dengan kebalikannya, tidak boleh kekuasaan itu bagi lelaki kafir atas perempuan muslim, karena firman Allah ((Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. QS an-Nisa’/ 4: 141)). Inilah rincian tentang pernikahan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir. Jika perempuan itu penyembah berhala, menyimpang dari agama atau murtadd maka tidak boleh seorang muslim untuk menikahinya secara mutlak”. [73]
Adapun sikap mengkafirkan ahli kiblat yaitu kaum muslimin yang
beriman, mengakui apa yang didatangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan membenarkan apa yang diucapkan dan dikhabarkan olehnya, sebab
berbuat satu dosa selama ia tidak mengitikadkannya halal adalah tidak
boleh. Karena jika ada seseorang mengkafirkan (menuduh atau menyatakan
kafir) kepada seorang di antara mereka, lalu ternyata ia tidak seperti
yang dituduhkan maka tuduhan tersebut -boleh jadi- akan kembali kepada
yang menuduhnya.
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, “Tidak boleh mengkafirkan muslim dengan sebab satu dosa yang ia kerjakan dan tidak dengan sebab satu kesalahan yang ia keliru padanya, seperti persoalan-persoalan yang ahli kiblat saling berselisih padanya, karena sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman, ((Rosul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, begitu pula orang-orang beriman, semuanya beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para Rosul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘kami tidak membeda-bedakan diantara seseorang dari para Rosul-Nya. Dan mereka berkata kami mendengar dan kami taat, wahai Rabb kami ampunilah kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. QS. al-Baqarah/2: 285)). Dan sungguh-sungguh telah tetap di dalam ash-Shihah,[74] bahwasanya Allah ta’ala mengijabah doa dan mengampuni kesalahan orang-orang beriman. [75]
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, “Ya kafir”, maka sungguh-sungguh telah kembali salah seorang dari keduanya dengan membawa (tuduhan)nya tersebut”. [HR al-Bukhoriy: 6103. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [76]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun orang yang mengatakan kepada saudaranya, “ya kafir”, maka sungguh-sungguh telah kembali salah seorang dari keduanya dengan membawa (tuduhan)nya tersebut”. Imam Muslim menambahkan, “jika ia sebagaimana yang dikatakannya, dan jika tidak maka tuduhan itu akan kembali (kepada yang menuduhnya)”. [HR al-Bukhoriy: 6104 dan lafazh ini baginya, Muslim: 60, at-Turmudziy: 2637, Abu Dawud: 4687 dan Ahmad: II/ 18, 23, 44, 47, 60, 105, 113. Barkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [77]
Dari Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang itu menuduh orang lain dengan kefasikan dan tidak pula menuduh dengan kekafiran kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya, jika orang yang dituduh itu tidak seperti itu”. [HR al-Bukhoriy: 6045 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: V/ 18. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [78]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Hadits ini menetapkan bahwasanya barangsiapa yang mengatakan kepada selainnya, “engkau fasik” atau berkata kepadanya, “engkau kafir”, maka jika ia (yang dituduh) tidak seperti yang dikatakannya maka maka dia (yang menuduh) yang berhak untuk pensifatan yang telah disebutkan tersebut. Dan apabila ia (yang dituduh) seperti yang dikatakannya maka sedikitpun tidak akan kembali (tuduhan tersebut) kepadanya karena keadaannya benar seperti yang dikatakannya”. [79]
Dari Abu Dzarr, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang itu mengaku-ngaku kepada selain ayahnya padahal ia mengetahuinya melainkan ia telah kafir. Barangsiapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang ia tidak miliki maka ia bukan termasuk golongan kami dan hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang menuduh seseorang dengan kekafiran atau ia berkata, “Wahai musuh Allah padahal ia tidak begitu melainkan tuduhan itu akan kembali kepadanya”. [HR Muslim: 61 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: V/ 166, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [80]
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai syarat-syarat hukum takfir (mengkafirkan) seorang Muslim dan hukum orang yang melakukan sesuatu yang mengkafirkan secara senda gurau. Beliau menjawab, “Hukum mengkafirkan Muslim itu memiliki dua syarat, yaitu; (1) tegaknya dalil atas sesuatu dari yang membuatnya kafir. (2) bertingkatnya hukum atas orang yang melakukan hal tersebut sehingga ia mengetahuinya dan menyengaja melakukannya. Jika ia tidak mengetahuinya maka ia tidak kafir, lantaran firman-Nya ta’ala, ((Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. QS. an-Nisa’/4: 115)), dan firman-Nya, ((Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan kepada mereka apa yang mereka harus jauhi. QS. al-Baroo’ah/9: 115)), dan firman-Nya, ((Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rosul. QS. al-Isra’/17: 15)). Tetapi apabila ia meremehkan dengan cara meninggalkan ta’allum (belajar atau mencari tahu) dan tabayyun (mencari penjelasan) maka (sikap tersebut) tidak ada udzur (alasan), misalnya; telah sampai kepadanya bahwasanya amalnya ini adalah merupakan kekufuran, lalu ia tidak tatsabbut (mencari ketetapan/kepastian) dan tidak menyelidik, maka sesungguhnya ia ketika itu tidak diterima udzurnya. Jika ia tidak menyengaja untuk melakukan sesuatu yang dapat mengkafirkan, maka tidaklah ia kafir dengan hal tersebut, misalnya: seseorang dipaksa untuk melakukan kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan. [81] Dan juga jika pikirarnya tertutup sehingga ia tidak mengetahui apa yang diucapkannya lantaran amat gembira dan semisalnya. Seperti ucapan seorang pemilik unta yang ia telah hilangkan (bersama perbekalannya, peny.) kemudian ia berbaring di bawah sebuah pohon menunggu kematian, lalu tiba-tiba (ia menemukan) tali kekang (unta) yang tersangkut di pohon tersebut lalu ia bergegas mengambilnya dan berkata, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu, ia keliru lantaran sangat senangnya”.[82] Tetapi jika ia melakukan sesuartu yang mengkafirkan dengan cara senda gurau, maka sesungguhnya ia telah kafir karena ia telah menyengaja hal tersebut, sebagaimana telah diterangkan oleh ahli ilmu. [83]
Islam melarang sikap ifrath (melampaui batas) dan juga tafrith (meremehkan). Yang memegang sikap ifrath ini di antaranya adalah golongan Khowarij dan Mu’tazilah, yakni mereka meyakini bahwa setiap orang yang melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar) itu keluar dari iman dan Islam serta akan kekal di dalam neraka karena iman dan Islam itu menurut mereka sama, jika ia keluar dari iman maka ia telah keluar dari Islam. Tetapi golongan khowarij menamakan pelaku dosa besar sebagai orang kafir sedangkan golongan Mu’tazilah sebagai orang fasik atau bukan orang Islam dan bukan pula orang kafir, mereka menempatkannya di antara dua tempat (manzilah bayna manzilatain).
Dan adapun yang memegang sikap tafrith ini di antaranya adalah golongan Murji’ah, yakni mereka beritikad bahwasanya dosa yang disertai iman itu tidak membahayakan dan ketaatan bersama kekafiran itu tidak bermanfaat, dan bahkan menamakan pelaku dosa besar itu sabagai orang mukmin yang sempurna imannya.
Semua itu bertentangan dengan apa yang diyakini ahli sunnah yang beritikad bahwa orang yang melakukan dosa-dosa besar itu tidak kafir dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari Islam. Karena jika ia telah kafir dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari agama tentulah ia telah murtad yang mesti dibunuh di atas tiap keadaan dan tidak akan diterima maafnya wali qishosh serta tidak akan berlaku had atas perzinahan, pencurian dan minum khomer. Dan ahli sunnah juga beritikad bahwasanya pelaku dosa besar tidak akan kekal di dalam neraka, ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan seukuran dosanya, lalu ia akan di keluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga dengan sebab keimannya.[84] Demikian pula ahli sunnah beritikad bahwasanya pelaku dosa besar itu bukan orang mukmin yang sempurna imannya atau ia keluar dari iman dan jatuh ke dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Imam Ahmad bin Hambal di dalam mengomentari hadits, “Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, … dan seterusnya hadits.[85] Berkata Ibnu Abi Syaibah[86], “Ia bukan orang mukmin yang sempurna imannya, tetapi orang yang kurang dari keimanannya”. Sedangkan al-Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang mendatangi empat perbuatan tersebut (yaitu; berzina, mencuri, minum khomer dan merampas, peny.) atau yang semisalnya atau lebih dari itu maka aku tidak akan menamakannya seorang mukmin. Tetapi barangsiapa yang melakukan yang lebih rendah dari itu -maksudnya selain dosa-dosa besar-, maka aku menamakannya orang mukmin yang berkurang imannya”. [87]
Namun bagaimana dengan umat Islam yang mengingkari salah satu dari rukun Iman dan Islam atau memiliki perbedaan yang jelas di dalam rukun keduanya. Atau menolak salah satu dari hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Atau mencela para shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan berbagai sebab. Sebagaimana akidah dan keyakinan kaum Syi’ah misalnya, yang sangat bertentangan dengan keyakinan kaum muslimin pada umumnya.
Syiah itu memiliki banyak sekte atau aliran, misalnya zaidiyah, Kaisaniyah, Ghulat, Imamiyah dan selainnya. Di antara perbedaan tajam dan mencolok kaum Syiah dengan kaum muslimin (kalangan ahlu sunnah wal jamaah/ sunni), sebagaimana telah dihimpun oleh para ulama, diantaranya adalah sebagai berikut, [88]
1. Tentang Al-Qur’an.
Di dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (II/634), dari Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq), ia berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, halaman 239—240, dari Abu Abdillah ia berkata, “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wa al-Qur’an, halaman 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir).
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
2. Tentang shahabat Rasulullah.
Diriwayatkan oleh “imam al-jarh wa at-ta’dil” mereka (al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijal al-Kisysyi (halaman 12—13) dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir) bahwa ia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata, “Siapakah tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat ke-144. (Dinukil dari asy-Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizan al-Islam, halaman 89).
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang; al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (al-Kafi, VIII/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlu al-Bait, halaman 45, karya Ihsan Ilahi Zhahir).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir al-Husaini al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, III/640. (Lihat kitab asy-Syi’ah wa Ahlu al-Bait, halaman 46).
Adapun sahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftah al-Jinan, halaman 114), wirid laknat untuk keduanya,
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan
keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakar dan Umar), setan
dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka….”
Yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah (pen). (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah, halaman 18, karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ah al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan, kesucian, hari barakah, serta hari sukaria. (al-Khuthuth al-‘Aridhah, halaman 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai pelacur—na’udzu billah min dzalik—. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hlm. 57—60) karya ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah, “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah….” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, halaman 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang shalih, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul, halaman 580).
3. Tentang imamah (kepemimpinan umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama. Diriwayatkan dari al-Kulaini dalam al-Kafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum, dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata, “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata, “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlu al-Majhud, I/174).
Imamah ini (menurut mereka, red.) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib dan keturunannya, sesuai dengan nash wasiat Rasulullah. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia (wilayah) Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat al-Khuthuth al-‘Aridhah, halaman 16—17).
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia al-Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman—baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, halaman 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, I/192).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
4. Tentang taqiyyah.
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq(kemunafikan), dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, halaman 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan persepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (II/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar al-A’jami, “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9/10 dari agama ini adalah taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, I/196)
Oleh karena itu, al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka, beliau berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizan al-I’tidal, II/27—28, karya al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah)
5. Tentang Raj’ah.
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, al-Qummi ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 85, berkata, “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah.” Kemudian dia menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib ) serta para imam ‘alaihim as-Salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsar at-Tasyayyu’ ‘ala ar-Riwayat at-Tarikhiyyah, halaman 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali).
6. Tentang al-Bada’.
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa al-Bada’ ini terjadi pada Allah l. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam al-Kafi (I/111), meriwayatkan dari Abu Abdillah (ia berkata), “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, I/252)
Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi.
7. Tentang nikah mut’ah.
1. Syi’ah meyakini mut’ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang yang mengingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama.
(Sumber; Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, III/366 dan Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, II/495).
2. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat meredam murka Tuhan.
(Sumber; Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani, II/493).
3. Menurut Syi’ah seorang wanita yang dimut’ah akan diampuni dosanya.
(Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, III/366).
4. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang masuk ke dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka mampu menyamai kedudukan para nabi di surga.
(Sumber; Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, III/366).
5. Syi’ah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut’ah akan berkurang pahalanya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barangsiapa keluar dari dunia (meninggal) sedangkan dia belum pernah melakukan mut’ah maka pada hari kiamat dia datang dalam keadaan pincang yakni terputus salah satu anggota badanya.”
(Sumber; Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, II/495).
6. Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut’ah, seorang laki-laki dapat melakukan mut’ah dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau lebih.
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, VII/259)
7. Syi’ah beranggapan boleh melakukan mut’ah dengan gadis sekalipun tanpa izin dari walinya dan tanpa ada saksi atasnya.
(Sumber; Syarai’ Al-Ahkam, karya Najmuddin Al-Hulli II/186 dan Tahdzib Al-Ahkam, VII/254).
8. Dalam Syi’ah diperbolehkan melakukan mut’ah dengan anak perempuan kecil yang belum baligh, dimana umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun.
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’,V/463).
9. Dalam Syi’ah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan kecil) dengan cara mendatanginya di bagian belakangnya (duburnya).
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, VII/514).
10. Syi’ah memandang tidak perlu menanyakan terlebih dahulu kepada wanita yang akan dinikahi secara mut’ah, apakah wanita itu telah bersuami atau wanita pelacur.
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, V/463).
11. Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam melakukan mut’ah bisa dilakukan dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka menamakanya dengan (meminjamkan kemaluan).
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/151 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, V/460).
12. Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula dapat mewariskan harta.
(Sumber: Al-Mut’ah wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam, karya sejumlah ulama Syi’ah, halaman 116-121 dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-Khomeini, II/288).
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen.) di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, serta lebih utama dari masyarakat Kufah dan Irak di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, halaman 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, halaman 192)
Oleh karena itulah, Asy-Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili di dalam kitabnya al-Intishar Li ash-Shahbi wa a- Aal (halaman 100—153) menukilkan sekian banyak perkataan ulama tentang mereka. Namun karena sangat terbatasnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam ‘Amir asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (as-Sunnah, II/549, karya Abdullah bin al-Imam Ahmad).
2. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakar dan ‘Umar radliyallahu anhuma, beliau berkata, “Ia telah kafir kepada Allah ta’ala.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lam an-Nubala, VII/253).
3. al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang shalih, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul, halaman 580)
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Aisyah radliyallahu anhum) itu sebagai orang Islam.” (as-Sunnah, I/493, karya al-Khallal).
5. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi (penganut Jahmiyah, red.) dan Rafidhi (penganut Syiah Rafidhah, red.), atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh, red.). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’al al-‘Ibad, halaman 125)
6. Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi radliyallahu anhu berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah Shallalllahu alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita adalah haq dan Al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan alqur’an dan Sunnah adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan alqur’an dan Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah (orang-orang zindiq).” (al-Kifayah, halaman 49, karya al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah).
Semoga penjelasan ini bermanfaat bagiku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin dalam mengambil sikap dengan sikap yang benar dan sesuai dalil kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik dan yang sejenis mereka.
Wallahu a’lam bi ash-Showab.
بسم الله الرحمن الرحيم
Yahudi, nashrani, kaum musyrikin dari majusi, para penyembah berhala dan kaum lainnya yang tidak beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kerosulan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka telah divonis oleh Allah ta’ala sebagai kaum kafirin dan digelari sebagai seburuk-buruk makhluk serta diancam dengan neraka Jahannam, sebagaimana di dalam firman-Nya ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ وَ
اْلمـُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ
شَرُّ اْلبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke dalam neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [QS al-Bayyinah/ 98: 6].
Di dalam ayat ini, Allah ta’ala menerangkan bahwasanya orang-orang kafir itu terdiri dari ahli kitab yaitu nashrani dan yahudi serta kaum musyrikin yakni para penyembah berhala berupa patung, kuburan, benda-benda keramat dan sebagainya. Mereka semua diancam dengan neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya, karena semua amal kebaikannya tidak berguna sedikitpun bagi mereka dan yang akan menyertai mereka hanyalah kekafiran dan kemusyrikan mereka.
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ
كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِى يَوْمٍ عَاصِفٍ لاَ يَقْدِرُونَ
مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ اْلبَعِيدُ
Orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia), yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. [QS Ibrahim/ 14: 18].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Gugurnya amal perbuatan orang-orang musyrik dan kafir dan gagalnya mereka di dalam amal tersebut lantaran mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun darinya”. [1]
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْئَانُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَآءَهُ
لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَ وَجَدَ اللهَ عِندَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَ
اللهُ سَرِيعُ اْلحِسَابِ
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu ia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. [QS an-Nur/ 24: 39].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat penjelasan akan kerugian orang-orang kafir di dalam amal perbuatan dan kehidupan mereka seluruhnya”. [2]
Maka sungguh mengherankan jika ada di antara umat ini, yang masih menganggap dan menyatakan bahwa orang yahudi, nashrani dan kaum musyrikin itu bukan orang kafir, dan bahkan iman dan amal mereka akan diterima oleh Allah ta’ala pada hari kiamat. Hal ini biasanya disebabkan karena kejahilan dan kedunguan mereka akan akidah tauhid dan pemahaman alqur’an dan hadits shahih sesuai dengan penjelasan para ulama salafush shalih.
Bahkan banyak di antara mereka yang menganggap semua agama itu sama dan para pemeluk agama-agama itu semua sama di sisi Allah ta’ala. Mereka seringkali mengadakan muktamar, seminar, diskusi atau sejenisnya untuk membahas agama-agama yang ada di dunia dengan melakukan perbandingan lalu mencari persamaannya dan tidak mempersoalkan perbedaannya. Maka dari pertemuan-pertemuan itu, muncullah pemahaman tentang pluralisme, liberalisme, sekulerisme dan sejenisnya yang mengangkat agama-agama selain Islam di tempat yang tinggi lagi mulia dan meletakkan Islam di tempat yang rendah lagi hina. Subhanallah, begitukah sikap mereka terhadap agama yang mereka anut…
Padahal, hukum mengkafirkan orang yang dinyatakan kafir oleh Allah Jalla wa Ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan hadits-hadits shahih ini adalah perkara pokok di dalam akidah Islam, sebab ia termasuk dari perkara-perkara yang menggugurkan keislaman seseorang. Sebagaimana buang angin, buang air kecil dan semisalnya dapat membatalkan wudlu dan sholat. Makan, minum dan berhubungan intim dengan pasangan di siang hari dapat membatalkan shaum. Mengungkit-ungkit pemberian, menyakiti perasaan si penerima, riya dan sejenisnya dapat membatalkan pahala dari sedekah dan zakat. Tidak memakai pakaian ihram dari miqat, tidak wukuf di arafah dan selainnya dapat membatalkan ibadah haji. Maka tentu rukun Islam yang pertama dari mengucapkan dua kalimat syahadat niscaya ada juga yang menggugurkannya. Diantaranya adalah tidak mau mengkafirkan orang-orang yang telah dikafirkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallalahu alaihi wa sallam atau ragu-ragu di dalam kekafiran mereka.
Berkata Abu Usamah Hasan bin Ali al-’Iwajiy hafizhohullah, “Maka masalah hukum mengkafirkan orang kafir ini dibangun atas dasar yang besar yaitu bahwasanya Allah Ta’ala telah mengikat ukhuwwah (persaudaraan), wala’ (setia) dan mahabbah (cinta) di antara kaum mukminin semuanya dan melarang berwala’ kepada orang-orang kafir semuanya dari apa yang telah tsabit (tetap) di dalam kitab (alqur`an) dan sunnah (al-Hadits), yaitu menghukum mereka dengan kekafiran. Dasar ini telah disepakati di antara kaum muslimin, dan dalil-dalil atasnya di dalam alqur’an dan sunnah banyak lagi telah masyhur (terkenal). Maka setiap mukmin muwahhid (bertauhid) yang meninggalkan seluruh yang mengkafirkan secara syar’iy, maka wajiblah mencintai, berwala’ dan menolongnya. Dan setiap orang yang menyelisihi yang demikian itu, wajib bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara membenci, memusuhi dan memeranginya dengan lisan dan tangan sesuai dengan kemampuannya, dan yang demikian itu sesuai dengan ukuran yang ada padanya dari menjauhi kebenaran. Maka wala’ dan baro’ itu mengikuti cinta dan benci, sedangkan cinta dan benci itu adalah merupakan pondasi. Sesungguhnya pondasi iman itu adalah kita mencintai para Nabi-Nya dan para pengikut mereka karena Allah. Kita membenci karena Allah, orang yang memusuhi-Nya dan memusuhi para Rosul-Nya. Maka atas dasar inilah sesungguhnya setiap orang yang telah ditetapkan oleh hukum syariat dengan mengkafirkannya, maka sesungguhnya wajiblah mengkafirkannya. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan Rosul-Nya, maka dia adalah kafir lagi mendustakan Allah dan Rosul-Nya, dan yang demikian itu karena telah tetap disisinya kekafirannya sesuai dengan dalil syar’iy. [3]
Allah Jalla Dzikruhu telah memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman yang bersamanya pada banyak tempat di dalam alqur’an yang mulia dan kemudian Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskannya di dalam hadits yang telah tsabit agar di antara mereka saling mencintai, saling tolong menolong, saling menjadi teman setia, saling bergaul, mengenal dan memahami, saling ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, saling percaya mempercayai, dan saling bahu membahu menegakkan kebenaran dan mereka saling sokong menyokong di dalam memerangi dan menghancurkan kebatilan. Mereka tidak boleh membedakan antara kerabat dekat ataupun orang jauh, dan mereka tidak boleh membedakan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial di antara mereka. Mereka tidak boleh terikat lantaran perkara-perkara itu semuanya, tetapi yang mesti mengikat satu di antara mereka dengan lainnya hanyalah akidah tauhid, kendatipun berlainan waktu dan tempatnya.
Bersamaan dengan itu mereka disuruh supaya menjauhkan dan memisahkan diri dari orang-orang kafir, baik dari kalangan musyrikin, ahli kitab maupun munafikin, dari pihak kerabat ataupun bukan, lalu berlepas diri (baro’) dari mereka, menyelisihi mereka dalam berbagai hal yang disyariatkan, tidak menjadikan mereka sebagai teman setia apalagi orang kepercayaan, melenyapkan rasa cinta dan kasih kepada mereka, menampakkan kebencian dan permusuhan kepada mereka dan memerangi mereka dengan tangan, lisan dan hati, sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Dan yang memisahkan dan menjauhkan mereka dari kaum musyrikin, ahli kitab dan kaum munafikin itu mestinya juga hanyalah akidah tauhid. Bukan sebab perbedaan suku, warna kulit, bahasa, bangsa, tingkat pendidikan ataupun tingkat sosial yang ada di antara mereka.
Sebagaimana telah datang sebahagian dalil-dalilnya, di antaranya,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا
ءَابَاءَكُمْ وَ إِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوْا الْكُفْرَ
عَلَى اْلإِيْمَانِ وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan ayah-ayah dan saudara-saudara kalian sebagai pemimpin (teman setia), jika mereka lebih mencintai (mengutamakan) kekafiran atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai teman setia maka mereka itulah orang-orang yang zholim. [QS. al-Baro’ah/9: 23].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah memerintahkan untuk memisahkan diri dari orang-orang kafir kendatipun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak. Dan Allah telah melarang dari berwala’ (berloyalitas) kepada mereka, jika mereka lebih menyukai yaitu memilih kekafiran atas keimanan dan mengancam atas yang demikian itu, sama seperti firman Allah ta’ala ((Tidak akan engkau jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya, dan seterusnya ayat. QS. al-Mujadilah/58: 22)). [4]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Ucapan ini ditujukan untuk kaum mukminin secara menyeluruh, dan ini merupakan hukum abadi sampai hari kiamat yang menunjukkan putusnya hubungan wala’ (loyalitas) antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir”. [5]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, “Diharamkan mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman setia) yang mereka saling berkasih sayang, walaupun mereka adalah sedekat-dekatnya kerabat misalnya; ayah, anak dan saudara. Dan termasuk kezholiman yang busuk adalah berwala’ kepada orang yang memusuhi Allah, Rosul-Nya dan orang-orang beriman. [6]
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ
اْلآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَ رَسُـوْلَهُ وَلَوْ كَانُوْا
ءَابَاءَ هُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ
أُوْلَئِكَ كَـتَبَ فِى قُلُوْبِهِمُ اْلإِيْمَانَ وَ أَيَّدَهُمْ
بِرُوْحٍ مِنْهُ وَ يُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا
اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا
عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْمُفْلِحُوْنَ
Kamu tidak akan menjumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya, meskipun orang-orang itu adalah ayah-ayah atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan ke dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Allah telah meridloi mereka dan merekapun telah ridlo terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ingatlah bahwasanya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [QS. al-Mujadilah/58: 22].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu tidak berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang (Allah dan Rosul-Nya), kendatipun mereka itu termasuk dari kerabat”. [7]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman kepada Rosul-Nya, ‘Kamu tidak akan menjumpai suatu golongan manusia yang beriman kepada Allah dengan iman yang membenarkan Allah sebagai rabb (pemelihara) dan ilah (sesembahan) dan beriman pula kepada hari akhir, bercinta kasih dengan rasa cinta dan pertolongan kepada orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya dengan bentuk menyelisihi keduanya di dalam perintah, larangan dan apa yang keduanya mengajak kepadanya dari mentauhidkan Allah, mentaati-Nya dan mentaati Rosul-Nya walaupun mereka itu adalah sedekat-dekatnya kerabat bagi mereka dari ayah, anak, saudara ataupun keluarga”.[8]
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “Allah ta’ala mengkhabarkan bahwasanya iman kaum mukminin itu akan rusak dengan berkasih sayang kepada orang-orang kafir. Dan bahwasanya orang beriman itu tidak akan berwala’ kepada orang kafir walaupun orang kafir itu termasuk dari keluarganya”. [9]
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan bahwasanya tidak akan dijumpai seorang mukmin yang bercinta kasih kepada orang yang memusuhi Allah dan Rosul-Nya, kendatipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, dan tidak akan dijumpai pula seorang mukmin berkasih sayang kepada orang kafir. Maka barangsipa yang berkasih sayang kepada orang kafir maka ia bukanlah seorang mukmin”. [10]
Katanya lagi, “Allah ta’ala mengkhabarkan, “bahwasanya kamu tidak akan menjumpai seorang mukmin yang berkasih sayang kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan Rosul-Nya. Karena hakikat iman itu menafikan kecintaannya sebagaimana salah satu dari dua yang berlawanan menafikan yang lainnya. Maka apabila dijumpai iman maka lenyaplah lawannya, yaitu berwala’ kepada musuh-musuh Allah. Karena seseorang itu apabila berwala’ kepada musuh-musuh Allah dengan hatinya maka yang demikian itu merupakan dalil (bukti) bahwasanya di dalam hatinya tidak ada keimanan yang tetap”. [11]
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا
عَدُوِّى وَ عَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُوْنَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
وَ قَدْ كَفَرُوْا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُوْنَ
الرَّسُــوْلَ وَ إِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوْا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِى سَـبِيْلِى وَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِى
تُسِـــرُّوْنَ إِلَيْـهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَ أَنَا أَعْلَـمُ بِمَا
أَخْفَيْـتُمْ وَ مَا أَعْلَنْتُمْ وَ مَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ
ضَـلَّ سَــــوَاءَ السَّـبِيْلِ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Rosul), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah mengkufuri kebenaran yang datang kepada kalian. Mereka mengusir Rosul dan juga mengusir kalian lantaran kalian beriman kepada Allah, Rabb kalian. Jika kalian benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridloan-Ku (janganlah kalian berbuat demikian). Kalian memberitahukan secara rahasia (berita-berita Rosul) kepada mereka lantaran rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nampakkan. Dan barangsiapa di antara kalian ada yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus. [QS. al-Mumtahanah/60: 1].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan berwala’ kepada orang-orang kafir dalam bentuk menolong, meneguhkan dan cinta kasih dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. [12]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Ayat ini menunjukkan larangan dari berwala’ kepada orang-orang kafir dengan satu sebab dari beberapa sebab”. [13]
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِى إِبْرَاهِيْمَ وَ
الَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَاؤُا مِنْكُمْ
وَ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَ بَدَا
بَيْنَنَا وَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَ الْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى
تُؤْمِنُوْا بِاللَّهِ وَحْدَهُ …الخ
Sungguh-sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka; “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya, sehingga kalian beriman kepada Allah saja. [QS. al-Mumtahanah/60: 4].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman kepada para hamba-Nya yang beriman, yang Allah perintahkan mereka untuk memutuskan hubungan dengan orang-orang kafir, memusuhi mereka, menjauhi mereka dan berlepas diri dari mereka”. [14]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan berwala’ kepada orang-orang kafir dan diwajibkan memusuhi mereka kendatipun mereka adalah kerabat yang terdekat”. [15]
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ: أَمَّا بَعْدُ قَالَ رَسُـوْلُ
اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم : مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَ سَكَنَ
مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
Dari Samurah bin Jundub, Amma ba’du, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berhimpun dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka sesungguhnya ia sepertinya. [HR Abu Dawud: 2787. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [16]
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبِى اْلأَسْوَدِ
قَالَ: قُطِعَ عَلَى أَهْلِ اْلمـَدِيْنَةِ بَعْثٌ فَاكْتُتِبْتُ فِيْهِ
فَلَقِيْتُ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَأَخْبَرْتُهُ فَنَهَانىِ
عَنْ ذَلِكَ أَشَدَّ النَّهْيِ ثُمَّ قَالَ أَخْبَرَنىِ ابْنُ عَبَّاسٍ
أَنَّ نَاسًا مِنَ اْلمـُسْلِمِيْنَ كَانُوْا مَعَ اْلمـُشْرِكِيْنَ
يُكَثِّرُوْنَ سَوَادَ اْلمـُشْرِكِيْنَ عَلَى رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى
اللّه عليه و سلّم يَأْتِى السَّهْمُ يُرْمَى بِهِ فَيُصِيْبُ أَحَدَهُمْ
فَيَقْتُلُهُ أَوْ يُضْرَبُ فَيُقْتَلُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ ((إِنَّ
الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ اْلمـَلاَئِـكَةُ ظَالِمِى أَنْفُسِهِمْ … الأية))
Dari Muhammad bin ‘Abdurrahman Abu al-Aswad berkata, Satu pasukan atas penduduk Madinah pernah di hadang. Lalu aku ditetapkan (untuk berperang) padanya. Maka aku menemui ‘Ikrimah maulanya (mantan budaknya) Ibnu ‘Abbas. Lalu aku mengkhabarkan kepadanya, maka ia melarangku dari yang demikian itu dengan sekeras-kerasnya larangan. Kemudian ia berkata, Ibnu ‘Abbas pernah mengkhabarkan kepadaku, bahwasanya ada sekelompok orang dari kaum muslimin (yakni pada waktu perang Badar) bersama-sama kaum musyrikin memperbanyak bilangan kaum musyrikin untuk memerangi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah anak panah yang dilepas dengannya dan mengenai salah satu dari mereka, maka anak panah itu membunuhnya. Atau ia dipukul (dengan pedang) lalu ia terbunuh. Maka Allah menurunkan ((Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para Malaikat dalam keadaan menzholimi diri mereka, … dan seterusnya ayat. QS. an-Nisa’/4: 97)). [HR al-Bukhoriy: 4596 dan lafazh ini baginya, 7085]. [17]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolaniy rahimahullah, “Di dalamnya terdapat kesalahan bagi orang yang tinggal di antara orang-orang yang berbuat maksiat dengan pilihannya sendiri bukan untuk tujuan yang benar dari mengingkari mereka misalnya, atau mengharapkan menyelamatkan seorang muslim dari kebinasaan. Maka orang yang kuasa berpindah dari mereka itu tidak ada uzur/ alasan (untuk bergabung bersama mereka), sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang telah masuk Islam sedangkan kaum musyrikin dari keluarga mereka mencegah mereka dari berhijrah, lalu mereka keluar bersama kaum musyrikin (walaupun memang) bukan untuk memerangi kaum Muslimin tetapi (hanyalah sekedar) untuk memperbanyak bilangan mereka pada pandangan kaum Muslimin. Maka dengan yang demikian itu mereka akan memperoleh hukuman siksaan. Dan ‘Ikrimah memandang bahwasanya orang yang keluar di dalam pasukan (kaum musyrikin tersebut) untuk memerangi kaum muslimin sebagai orang yang berdosa, walaupun ia tidak ikut memerangi dan tidak berniat (untuk berperang)”. [18]
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: بَعَثَ رَسُـوْلُ
اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم سَرِيَّةً إِلَى خَثْعَمٍ فَاعْتَصَمَ نَاسٌ
مِنْهُمْ بِالسُّجُوْدِ فَأَسْرَعَ فِيْهِمُ الْقَتْلَ قَالَ فَبَلَغَ
ذَلِكَ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم فَأَمَرَ لَهُمْ بِنِصْفِ
الْعَقْلِ وَ قَالَ أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ
أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ قَالُوْا :يَا رَسُـوْلَ اللَّهِ لِمَ ؟ قَالَ :
لاَ تَرَاءَ ى نَارَاهُمَا
Dari Jarir bin Abdullah berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus sariyyah (pasukan perang tanpa disertai Beliau) ke kabilah Khots’am. Lalu sekelompok orang diantara mereka berlindung dengan sujud.[19] Maka pembunuhan berlangsung cepat menimpa mereka. Berkata (Jarir), maka sampailah berita itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau memerintahkan membayar separuh diyat untuk mereka, dan bersabda, “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim (tinggal) di antara kaum musyrikin”. Mereka bertanya, “Ya Rosulullah, mengapa?”. Beliau menjawab, “Sebab tidak boleh saling terlihat api (yang dinyalakan) keduanya”. [HR Abu Dawud: 2645 dan lafazh ini baginya, at-Turmudziy: 1604 dan an-Nasa’iy: VIII/ 36 dari Qois. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]
Berkata Ibnu al-Qoyyim rahimahullah, “Berkata sebahagian ahli ilmu, “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyuruh membayar setengah diyat setelah mengetahui keislaman mereka. Karena mereka telah membantu orang-orang kafir dengan bermukimnya mereka di antara orang-orang kafir tersebut. Maka mereka seperti halnya orang-orang yang binasa/hancur lantaran perbuatan dirinya dan orang lain. Dan (keterangan) ini adalah sesuatu yang baik sekali”. [21]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Bagaimana (mungkin) merasa baik jiwa seorang mukmin tinggal di negara orang-orang kafir yang dikumandangkan syiar-syiar kekafiran dan hukum padanyapun bagi selain Allah dan Rosul-Nya, sedangkan matanya menyaksikan yang demikian itu, telinganya mendengarnya dan ia merasa senang dengannya. Bahkan ia menghubungkan (dirinya) kepada negara tersebut, tinggal di dalamnya bersama istri dan anak-anaknya dan ia merasa tentram kepadanya sebagaimana tentramnya (jika hijrah) ke negara kaum Muslimin. Disamping itu di dalam hal tersebut terdapat kekhawatiran yang besar atasnya, istri dan anak-anaknya di dalam agama dan akhlak mereka”. [22]
عَنْ مُعَـاوِيَةَ بْنِ حَيِدَةَ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ
اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم : لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْ مُشْرِكٍ
أَشْرَكَ بَعْدَ مَـا أَسْلَمَ عَمَـلاً حَتَّى يُفَارِقَ الْمُشْرِكِيْنَ
إِلَى الْمُسْلِمِيْنَ
Dari Mu’awiyah bin Haydah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah tidak akan menerima amal dari seorang musyrik yang berbuat syirik sesudah masuk Islam sehingga ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik menuju kepada kaum muslimin”. [HR Ibnu Majah: 2536 dan lafazh ini baginya, an-Nasa’iy: V/ 82-83 dan Ahmad: V/ 4, 5. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [23]
عَنْ جَرِيْرٍ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و
سلّم وَ هُوَ يُبَايِعُ فَقُلْتُ : يَا رَسُـوْلَ اللَّهِ ابْسُطْ يَدَكَ
حَتَّى أُبَايِعَكَ وَ اشْتَرِطْ عَلَيَّ فَأَنْتَ أَعْلَمُ قَالَ:
أُبَايِعُكَ عَلَى أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَ تُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَ
تُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَ تُنَاصِحَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ تُفَارِقَ
الْمُشْرِكِيْنَ
Dari Jarir berkata, Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan ia sedang membaiat (mengambil janji setia). Lalu aku berkata, “Wahai Rosulullah, ulurkan tanganmu sehingga aku berjanji setia kepadamu, dan buatlah persyaratan atasku yang engkau lebih tahu!”. Beliau bersabda, “Aku mengambil janji setiamu agar engkau beribadah kepada Allah, menegakkan sholat, membayar zakat, saling menashihati kaum muslimin dan memisahkan diri dari kaum musyrikin”. [HR an-Nasa’iy: VII/ 148 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: IV/ 357, 358, 360, 363, 365. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]
Dan masih banyak ayat dan hadits yang semisalnya, yang menjelaskan bahwa setiap mukmin itu wajib berlepas diri (baro’) dari orang-orang kafir, tidak mengangkat apalagi mengikat mereka menjadi kekasih dan teman setia, menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, dan bahkan pula dilarang bermukim atau tinggal di antara mereka ataupun ikut bergabung dengan mereka walaupun hanya sekedar untuk memperbanyak bilangan mereka bukan untuk membantu kepentingan mereka. Maka jika ada seseorang yang mengaku beriman tetapi ia masih menjalin cinta kasih kepada orang-orang kafir atau mengangkat mereka menjadi teman setia, tidak mau berlepas dan memisahkan diri dari mereka, tidak ingin menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka dan bahkan tinggal bermukim di antara mereka, maka pengakuan iman orang tersebut adalah palsu lagi batil.
PERINTAH MENYELISIHI KAUM KAFIRIN
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ
قُلُوْبُهُمْ لِـذِكْرِ اللَّهِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَ لاَ
يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ
عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَ كَثِيْرٌ مِّنْهُمْ
فَاسِقُوْنَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelum mereka yang telah diturunkan alkitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. [QS. al-Hadid/57: 16].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah Ta’ala telah melarang kaum mukminin men-tasyabbuhi (meniru-niru atau menyerupai) orang-orang yang dibebankan kepada mereka alkitab sebelum mereka dari golongan Yahudi dan Nashrani, tatkala berlalu atas mereka masa yang panjang, mereka mengganti-ganti kitab Allah yang ada di hadapan mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit lalu membuangnya di belakang punggung mereka. Dan mereka menerima pendapat-pendapat yang beraneka ragam dan perkataan-perkatan dusta, mereka taklid kepada orang di dalam agama Allah dan menjadikan orang-orang alim dan ahli-ahli ibadah mereka menjadi arbab (sesembahan) selain dari Allah. Maka disaat itulah hati mereka menjadi keras, lalu mereka tidak akan menerima nasihat dan hati mereka tidak lunak dengan janji ataupun ancaman. ((Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik)) yaitu di dalam amal-amal, maka hati mereka rusak dan amal-amal mereka sia-sia. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman, ((Tetapi, karena mereka melanggar janji mereka, maka Kami mengutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah-rubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah di peringatkan dengannya. … QS. al-Maidah/5: 13)), yaitu rusak dan mengeras hati mereka dan karena perangai mereka maka mereka merubah-rubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya dan mereka meninggalkan amal-amal yang telah diperintahkan (oleh Allah) kepada mereka serta mengerjakan apa yang telah dilarang kepada mereka. Oleh sebab itulah Allah telah melarang kaum mukminin untuk men-tasyabbuhi (menyerupai) mereka sedikitpun dari perkara-perkara ushul (pokok) atau furu’ (cabang). [25]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Firman Allah ((Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang diberikan kitab kepada mereka)) merupakan larangan mutlak dari menyerupai mereka. Dan ini khusus juga di dalam larangan dari menyerupai mereka di dalam kekerasan hati mereka. Dan keras hati merupakan sebahagian dari buah perbuatan maksiat. [26]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ
اللهِ صلّى الله عليه و سلّم : خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوْا
الشَّوَارِبِ وَ أَوْفُوْا اللِّحَى
Dari Ibnu Umar radliyallahu `anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Selisihilah kaum musyrikin, cabutlah (cukurlah) kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot”. [HR Muslim: 259 dan lafazh ini baginya dan al-Bukhoriy: 5892. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللهِ صلّى الله
عليه و سلّم : جُزُّوْا الشَّوَارِبَ وَ أَرْخُوْا اللِّحَى خَالِفُوْا
الْمَجُوْسَ
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Pangkaslah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi!”. [HR Muslim: 260. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى
اللّه عليه و سلّم : غَيِّـرُوْا الشَّيْبَ وَ لاَ تَشَبَّهُوْا
بِالْيَهُوْدِ وَ النَّصَارَى
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban dan janganlah menyerupai orang Yahudi dan Nashrani”. [HR Ahmad: II/ 261, 365, 499, dan Ibnu Hibban, at-Turmudziy: 1752 dari Abu Hurairah, an-Nasa’iy: VIII/ 137 dari Ibnu Umar, Ahmad: I/ 165 dan an-Nasa’iy: VIII/ 138 dari az-Zubair, tanpa perkataan “dan orang Nashrani”. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه قَالَ إِنَّ رَسُـوْلَ
اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : إِنَّ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى
لاَ يَصْبُغُوْنَ فَخَالِفُوْهُمْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mencelup (menyemir rambut/ jenggot), maka selisihilah mereka”. [HR al-Bukhoriy: 3462, 5899 dan lafazh ini baginya, Muslim: 2103, Abu Dawud: 4203, an-Nasa’iy: VIII/ 137, 185, Ibnu Majah: 3621 dan Ahmad: II/ 240, 260, 309, 401. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]
عَنْ أَبِى أُمَامَةَ يَقُوْلُ: خَرَجَ رَسُـوْلُ اللَّهِ
صلّى اللّه عليه و سلّم عَلَى مَشْيَخَةٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ بِيْضِ
لِحَاهُمْ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ اْلأَنْصَارِ حَمِّرُوْا أَوْ صَفِّرُوْا
وَ خَالِفُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ قَالَ فَقُلْنَا يَا رَسُـوْلَ اللَّهِ
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلُوْنَ وَ لاَ يَأْتَزِرُوْنَ فَقَالَ
رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى اللّه عليه و سلّم تَسَرْوَلُوْا وائْتَزِرُوْا وَ
خَالِفُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ قَالَ فَقُلْنَا يَا رَسُـوْلَ اللَّهِ إِنَّ
أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَخَفَّفُوْنَ وَ لاَ يَنْتَعِلُوْنَ قَالَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صلّى اللّه عليه و سلّم فَتَخَفَّفُوْا وَ انْتَعِلُوْا وَ
خَالِفُوْا أَهْلَ الْكِتَابِ قَالَ فَقُلْنَا يَا رَسُـوْلَ اللَّهِ إِنَّ
أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّوْنَ عَثَانِيْنَهُمْ وَ يُوَفِّرُوْنَ
سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلّى اللّه عليه و سلّم قُصُّوْا
سِبَالَكُمْ وَ وَفِّرُوْا عَثَانِيْنَكُمْ وَ خَالِفُوْا أَهْلَ
الْكِتَابِ
Dari Abu Umamah berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui orang-orang tua dari golongan Anshor yang telah memutih jenggot-jenggot mereka. Lalu Beliau bersabda, “Wahai golongan Anshor, merahkanlah atau kuningkanlah (jenggot-jenggot kalian) dan selisihilah ahli kitab”. Berkata (Abu Umamah), maka kami berkata, “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya ahli kitab mengenakan celana panjang dan tidak mengenakan sarung”. Bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenakan celana panjang, pakailah sarung dan selisihilah ahli kitab”. Berkata (Abu Umamah), maka kami berkata, “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya ahli kitab memakai khuff (sepatu) dan tidak memakai sendal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka pakailah khuff dan sendal dan selisihilah ahli kitab”. Berkata (Abu Umamah), maka kami berkata, “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya ahli kitab memotong jenggot-jenggot mereka dan memperbanyak kumis mereka”. Berkata (Abu Umamah), maka bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Potonglah kumis-kumis kalian dan perbanyak jenggot-jenggot kalian dan selisihilah ahli kitab”. [HR Ahmad: V/ 264-265. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dan hadits ini sanadnya adalah hasan]. [31]
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ قَالَ رَسُـولُ اللهِ صلّى
الله عليه و سلّم : خَالِفُوْا الْيَهُوْدَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُصَلُّوْنَ
فِى نِعَالِهِمْ وَ لاَ خِفَافِهِمْ
Dari Syaddad bin Aus berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Selisihilah kaum Yahudi, karena sesungguhnya mereka tidak melakukan sholat mengenakan sandal dan Khuff (sepatu) mereka”. [HR Abu Dawud: 652. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى اللّه عليه و سلّم: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menyerupai (meniru-niru) suatu kaum maka ia termasuk mereka”. [HR Abu Dawud: 4031 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: II/ 50, 92 dengan ada tambahan di awalnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [33]
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Hadits ini sedikitnya menetapkan diharamkannya bertasyabbuh dengan mereka, kendatipun secara lahirnya menetapkan kekufuran orang yang bertasyabbuh dengan mereka. Sebagaimana di dalam firman-Nya, ((Dan barangsiapa di antara kalian yang mengambil mereka sebagai wali maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. QS. al-Ma’idah/5: 51)). Ini sebanding dengan apa yang akan kami sebutkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr (bin al-‘Ash), bahwasanya ia berkata, “Barangsiapa yang membangun (tempat tinggal) di negeri kaum Musyrikin, membuat Nairuz (perayaan awal tahun Qibthiyyah) dan Mahrajan (hari raya Persia) mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka sampai mati maka ia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat”. [34] Diriwayatkan oleh al-Baihaqiy di dalam as-Sunan al-Kubro.
Demikian sebahagian dalil di dalam alqur’an dan hadits yang menerangkan diharamkannya tasyabbuh dengan orang-orang kafir di dalam banyak hal, yang dapat mewariskan sikap cinta, kasih sayang dan loyal kepada mereka, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, “Menyerupai (mentasyabbuhi) orang lain secara lahir itu akan mewariskan (menimbulkan) semacam perasaan kasih sayang, cinta dan wala’ (loyal) di dalam batin. Sebagaimana perasaan cinta di dalam batin akan menimbulkan sikap meniru secara lahir. Ini adalah suatu perkara yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan oleh pengalaman, sehingga dua orang yang berasal dari sebuah negara apabila bertemu di negara asing maka akan timbullah rasa kasih sayang, wala’ dan kecocokan di antara mereka berdua, meskipun ketika di negaranya sendiri mereka tidak saling mengenal atau berjauhan tempatnya. Hal ini disebabkan keberadaan mereka yang sama-sama dari satu negara tersebut merupakan sifat (identitas) yang menjadi kekhususan mereka yang berbeda dengan keadaan negara asing itu. Bahkan jika ada dua orang bersama-sama dalam suatu perjalanan atau di negara asing, sedangkan di antara mereka terdapat persamaan di dalam sorban, model pakaian, rambut, kendaraan atau yang lainnya, maka mereka lebih cocok daripada dengan orang lain selain mereka berdua. Demikian pula kamu dapati pemilik-pemilik perusahaan dalam urusan keduniaan (pekerjaan) lebih cocok sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain, sesuatu yang tidak akan menimbulkan kecocokan kepada yang lain, sehingga di dalam permusuhan dan peperanganpun demikian, baik di dalam perebutan kekuasaan maupun karena alasan agama. Begitu pula kamu dapati raja-raja dan semisal mereka di antara para penguasa, meskipun negara dan kerajaan mereka saling berjauhan di antara mereka, yang memiliki munasabah (ikatan), maka hal ini akan menimbulkan sikap saling meniru dan saling menjaga dari sebahagian mereka kepada sebahagian yang lain. Semua hal ini merupakan sesuatu yang alami dan sesuai ketentuan. Kecuali jika dilarang oleh agamanya atau karena suatu tujuan yang khusus. Apabila sikap saling meniru di dalam perkara-perkara keduniaan dapat menimbulkan rasa cinta dan wala’ maka bagaimana sikap saling meniru di dalam perkara-perkara dieniyyah (agama) ?. Maka (sikap tersebut) tentunya akan dapat membawa kepada rasa cinta dan wala’ yang lebih besar dan lebih kuat. Dan rasa cinta dan wala’ kepada mereka tersebut dapat melenyapkan keimanan. Berfirman Allah ta’ala, ((Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (kalian), karena sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Dan seterusnya ayat. QS. al-Ma’idah/5: 51-53)). [35]
Bahkan sikap Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekedar itu tetapi juga tidak mau menerima bantuan pertolongan dari orang musyrik untuk memerangi orang-orang kafir, sebagaimana riwayat hadits berikut ini,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : أَنَّ رَجُلاً مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ لَحِقَ بِالنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم لِيُقَاتِلَ
مَعَهُ فَقَالَ : ارْجِعْ فَقَالَ : إِنَّـا لاَ نَسْتَعِيْنُ بِمُشْرِكٍ
Dari ‘Aisyah berkata, bahwasanya seorang lelaki dari kaum musyrikin pernah menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Beliau bersabda, “Kembalilah!”. Lalu Beliau berkata, “Maka sesungguhnya kami tidak akan meminta pertolongan kepada orang musyrik”. [HR Abu Dawud: 2732 dan lafazh ini baginya, Muslim: 1817, Ahmad: VI/ 68, 149, Ibnu Majah: 2832 dan ad-Darimiy: II/ 233. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [36]
Demikian itulah sifat dan sikap Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mesti diikuti dan diteladani oleh semua orang yang mengakui dan memproklamirkan dirinya sebagai seorang muslim dan pengikut Beliau. Lantaran kebencian dan permusuhan kepada orang-orang kafirlah yang mendorong Beliau untuk tidak berwala’ kepada mereka, menyuruh umatnya untuk senantiasa menyelisihi mereka dan bahkan enggan menerima tawaran bantuan dari mereka dari salah seorang dari mereka sehingga ia beriman.
Sifat dan sikap seperti ini, amatlah berbeda dengan kaum muslimin dari kalangan munafikin, yang mempunyai dua muka, tidak memiliki pendirian dan sikap yang tegas atau plin plan (plintat plintut), tidak dapat bahkan tidak mau membedakan antara yang benar dan salah, tidak mau memisahkan antara keimanan dan kekafiran apalagi menempatkan diri mereka di dalam keimanan dan menjauhi kekafiran, tentu mereka tidak akan mau. Dan yang lebih penting lagi untuk diketahui adalah ternyata hati mereka lebih condong kepada kebatilah dan kekafiran serta selalu berupaya menolak kebenaran dan keimanan.
بَشِّرِ الْمُنَافِقِيْنَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيْـمًا
الَّذِيْنَ يَتَّخِذُوْنَ الْكَافِرِيْنَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِ
الْمُؤْمِنِيْنَ أَيَبْتَغُوْنَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ
لِلَّهِ جَمِيْعًـا
Beritakan kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang sangat pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka akan mencari ‘izzah (kemuliaan) di sisi orang-orang kafir, padahal sesungguhnya kemuliaan itu seluruhnya adalah milik Allah. [QS. an-Nisa’/4: 138-139].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Mereka memberikan cinta, bantuan dan wala’ (kesetiaan) mereka kepada orang-orang kafir, dan menahan yang demikian itu kepada orang-orang mukmin. Hal tersebut disebabkan karena hati mereka kafir lagi berdosa, iman tidak masuk kedalamnya dan amalan Islam tidak meneranginya”. [37]
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ تَوَلَّوْا قَوْمًـا غَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ مَـا هُمْ مِنْكُمْ وَ لاَ مِنْهُمْ وَ يَحْلِفُوْنَ
عَلَى الْكَذِبِ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًـا
شَدِيْـدًا إِنَّهُمْ سَاءَ مَـا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman?. Orang-orang itu bukanlah termasuk golongan kalian dan bukan pula termasuk golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kedustaan sedangkan mereka mengetahui. Allah menyediakan untuk mereka adzab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka telah kerjakan. [QS. al-Mujadilah/58: 14-15].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman mengingkari orang-orang munafik mengenai wala’ (kesetiaan) mereka kepada orang-orang kafir di dalam bathin, sedangkan mereka di dalam hakikat persoalan tersebut tidak bersama orang-orang kafir dan tidak pula bersama kaum mukminin”. [38]
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, “Ayat ini turun mengenai orang-orang munafik yang berwala’ kepada orang Yahudi, menjadi penashihat mereka dan menyampaikan rahasia-rahasia kaum mukminin kepada mereka”. [39]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu, Wahai Rosul Kami perhatikanlah orang-orang yang berwala’ (bersetia) kepada suatu kaum yang dimurkai Allah, yaitu orang Yahudi, yang orang-orang munafik berwala’ kepada mereka dengan kesetiaan yang membantu dan membuat kelompok untuk melawan Rosul dan orang-orang beriman. Allah ta’ala berfirman, ((Orang-orang munafik itu bukan termasuk golongan kalian wahai kaum mukminin dan bukan pula termasuk golongan mereka dari orang Yahudi, tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak berpendirian (plin plan) lagi bimbang di antara kalian dan di antara orang Yahudi, lahiriyah mereka bersama kalian dan bathin mereka bersama orang Yahudi))”. [40]
مُذَبْذَبِيْنَ بَيْنَ ذَلِكَ لاَ إِلَى هَؤُلاَءِ وَ لاَ إِلَى هَؤُلاَءِ
Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian itu (antara iman atau kafir), tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak pula kepada golongan itu (orang-orang kafir). [QS. an-Nisa’/4: 143].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu orang-orang munafik yang bingung antara iman dan kafir, maka mereka tidak bersama-sama orang-orang beriman secara lahir dan bathin, dan tidak pula bersama-sama orang-orang kafir secara lahir dan bathin. Tetapi lahiriah mereka bersama orang-orang beriman dan bathiniah mereka bersama-sama orang-orang kafir. Dan di antara mereka ada yang ditimpa keraguan, maka sekali waktu ia condong kepada mereka (orang-orang beriman) dan sekali waktu ia condong kepada mereka (orang-orang kafir)”. [41]
Berkata Ibnu Junniy, “Mudzabdzab adalah sifat bimbang yang tidak berada di atas satu keadaan. Maka orang-orang munafik itu ragu-ragu di antara golongan mukminin dan golongan kafirin, tidak memurnikan keimanan dan tidak pula menyatakan kekafiran”. [42]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله
عليه و سلّم قَالَ : مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ
بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيْرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَ إِلَى هَذِهِ
مَرَّةً – و فى رواية – : لاَ تَدْرِى أيَّهَا تَتْبَعُ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang munafik itu adalah seperti seekor kambing betina yang bingung di antara dua ekor kambing jantan, ia bimbang kepada (kambing) yang ini sekali waktu dan ia bimbang kepada (kambing) yang itu sekali waktu”. Di dalam suatu riwayat, “Ia tidak tahu kemanakah ia harus ikut”. [HR Muslim: 2784 dan lafazh ini baginya, an-Nasaa’iy: VIII/ 124 dan Ahmad: II/ 47, 88 dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]
Perhatikanlah bagaimana Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang munafik itu seperti kambing betina yaitu satu jenis binatang ternak, yang bingung memilih untuk bergabung dengan kelompok yang akan diikutinya. Maka keadaan orang munafikpun demikian yaitu tidak mempunyai ketetapan hati dan keyakinan yang kuat untuk mengikuti suatu kelompok yang diikutinya. Ia tidak mau menilai dan memisahkan antara kebenaran dengan kebatilan. Jika ia mengakui kebenaran secara terang-terangan dan berdiri di pihak kebenaran -padahal hatinya sendiri belum mau mengakuinya secara tulus, dan hawa nafsunyapun masih cenderung menolak kebenaran dan mengikuti kebatilan-, serta membela kebenaran dan para pembelanya, maka ia khawatir akan dimusuhi oleh orang-orang yang berpegang kepada kebatilan dan memerangi kebenaran (yaitu orang-orang kafir). Dan sebaliknya jika ia mengakui kebatilan secara terang-terangan dan berdiri di pihak kebatilan serta membela kebatilan dan para pembelanya, maka ia khawatir akan dimusuhi oleh orang-orang yang berpegang kepada kebenaran dan memerangi kebatilan (yaitu orang-orang beriman). Akhirnya supaya dirinya diterima di kedua belah pihak, maka ia menerima dan mengakui kebenaran dengan lisannya akan tetapi hatinya menolak dan mengingkarinya, dan ia datangi kedua kelompok tersebut dengan membawa dua wajah yang berbeda. Ia hadapkan wajahnya kepada orang-orang kafir dengan satu wajah dan ia hadapkan wajahnya yang lain kepada orang-orang beriman, maka pantaslah jika orang munafik ini dikenal dengan sebutan “dzul wajhain” yaitu orang yang memiliki dua wajah, yang di akhirat nanti ia akan dianugerahi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dua lidah dari api neraka. Ma’adzallah.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُـوْلَ اللَّهِ صلّى
الله عليه و سلّم يَقُوْلُ : إِنَّ شَرَّ النَّـاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ
الَّذِى يَأْتِى هَؤُلاَءِ بِوَجْهٍ وَ هَؤُلاَءِ
Dari Abu Hurairah, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah “dzul wajhain” (orang yang memiliki dua wajah), yang datang kepada mereka ini dengan satu wajah dan datang kepada mereka itu dengan satu wajah yang lain”. [HR al-Bukhoriy: 3494, 6058, 7179 dan lafazh ini baginya, Muslim: 2526, at-Turmudziy: 2025, Abu Dawud: 4872 dan Ahmad: II/ 336. Berkata Abu ‘Isa at-Turmudziy: ini adalah hadits hasan shahih dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]
عَنْ عَمَّارِ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه و
سلّم : مَنْ كَانَ لَهُ وَجْهَانِ فِى الدُّنْـيَا كَانَ لَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ لِسَـانَانِ مِنْ نَارٍ
Dari ‘Ammar berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mempunyai dua wajah di dunia, maka pada hari kiamat ia akan memiliki dua lidah dari api neraka”. [HR Abu Dawud: 4873 dan lafazh ini baginya, ad-Darimiy: II/ 314 dan al-Baihaqiy: 507 di dalam kitab al-Adab. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [45]
Demikian itulah ancaman dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada setiap orang yang tidak dapat menentukan sikap yang benar dan tepat, yaitu berupa dua cabang lidah dari api neraka. Maka dari itu para shahabat radliyallahu ‘anhum menganggap bahwa jikalau ada seseorang berbicara dengan seorang sultan (penguasa) kemudian setelah keluar dari sisinya, ucapannya berbeda dengan apa yang telah diucapkannya kepada sultan tersebut, adalah sebagai penyakit nifak (kemunafikan).
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ :
قَالَ أُنَاَسُ لاِبْنِ عُمَرَ : إِنَّـا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا
فَنَقُوْلُ لَهُمْ بِخِلاَفِ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ
عِنْدَهُمْ قَالَ : كُنَّـا نَعُدُّهَـا نِفَـاقًا
Dari Muhammad bin Zaid bin ‘Abdullah bin ‘Umar, pernah bertanya beberapa orang kepada Ibnu ‘Umar, “Sesungguhnya kami masuk kepada sultan (penguasa) kami, lalu kami mengatakan kepada mereka berbeda dengan apa yang kami katakan apabila kami telah keluar dari sisi mereka”. Berkata (Ibnu ‘Umar), “Kami menganggap sifat seperti itu sebagai penyakit nifak (kemunafikan)”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy: 7178 dan lafazh ini baginya, Ibnu Majah: 3975 dari Abu asy-Sya’syaa’ dan Ahmad: II/ 105. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [46]
Padahal berkata Ibnu Abi Mulaikah, “Aku jumpai tiga puluh dari shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mereka takut terhadap penyakit nifak atas dirinya, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwasanya ia berada di atas keimanan malaikat Jibril dan Mikail”. [47]
Dari Hanzholah al-Usayyidiy (salah seorang sekretaris/penulis Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata, Abu Bakar pernah menjumpai diriku, lalu ia berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzholah?”. Ia (Hanzholah) berkata, “Aku menjawab, “Hanzholah telah munafik”. Ia (Abu Bakar) berkata, “Subhaanallah, apa yang engkau ucapkan?”. Ia (Hanzholah) berkata, aku berkata, “Kita berada di sisi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengingatkan kepada kita tentang neraka dan surga, sehingga seolah-olah kita melihatnya di depan mata. Lalu ketika kita telah keluar dari sisi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita menjumpai istri-istri, anak-anak dan kesibukan pekerjaan, kita melupakan banyak (peringatan Nabi itu)”. Berkata Abu Bakar, “Demi Allah, sesungguhnya kamipun menjumpai seperti itu”. Maka akupun pergi bersama Abu Bakar sehingga kami masuk menemui Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akupun berkata, “Hanzholah telah munafik, wahai Rosulullah”. Bertanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah itu?”. Aku berkata, “Wahai Rosulullah, kami berada di sisimu, engkau berikan peringatan kepada kami tentang neraka dan surga, sehingga seolah-olah kami melihat di depan mata. Lalu ketika kami keluar dari sisimu, kami menjumpai istri-istri, anak-anak dan kesibukan pekerjaan, kami melupakan banyak (peringatanmu)”. Maka bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, jika kalian senantiasa di atas apa yang kalian ada pada sisiku ini dan di dalam peringatan(ku ini), niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian di atas tempat-tempat tidur dan jalan-jalan kalian, tetapi wahai Hanzholah sesaat demi sesaat”. (Diulang kalimat itu sebanyak) tiga kali. [HR Muslim: 2750 dan lafazh ini baginya, at-Turmudziy: 2514, Ibnu Majah: 4239 dan Ahmad: II/ 304-305, 305. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [48]
Begitulah iman para shahabat dan rasa takutnya mereka terhadap penyakit nifak yang dapat membinasakan mereka di dunia dan akhirat, sehingga mereka benar-benar mampu dan bersungguh-sungguh menempatkan kebenaran dan keimanan di tempat yang benar lalu merekapun meletakkan diri mereka di atasnya, mencintai dan membelanya. Dan merekapun sanggup menempatkan kebatilan dan kekafiran di tempat yang batil lalu mereka menjauhkan diri darinya, membenci dan menentangnya. Berbeda dengan kaum munafikin yang tidak mampu dan enggan menempatkan kebenaran dan keimanan atau kebatilah dan kekufuran pada tempatnya yang sesuai, apalagi meletakkan diri mereka pada tempat kebenaran, mencintai serta membelanya atau menjauhi kebatilan, membenci serta menentangnya. Karena telah jelas di dalam alqur’an maupun hadits mengenai kekafiran kaum munafikin, yang selalu menentang dan menghujat kebenaran serta para pembelanya, dan selalu membenarkan, mendukung dan memuji kebatilan serta para pembelanya. Dari sebab itu Allah ta’ala menggolongkan mereka termasuk orang-orang kafir, mengabadikan ukhuwah (persaudaraan) mereka dengan kaum kafirin dan bahkan akan menghimpunkan mereka nanti di hari kiamat di dalam neraka Jahannam bersama-sama. Ma’adzallah.
وَ لاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَـاتَ أَبَدًا وَ لاَ
تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللَّهِ وَ رَسُـوْلِهِ وَ
مَـاتُوْا وَ هُمْ فَاسِقُوْنَ وَ لاَ تُعْجِبْكَ أَمْوَالُهُمْ وَ
أَوْلاَدُهُمْ إِنَّمَـا يُرِيْدُ اللَّهُ أَنْ يُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى
الدُّنْيَا وَ تَزْهَقَ أَنْفُسُهُمْ وَ هُمْ كَافِرُوْنَ
Dan janganlah kamu menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka (yaitu orang-orang munafik) selama-lamanya, dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya (untuk mendoakannya). Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengadzab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak mereka itu dan agar melayang nyawa mereka sedangkan mereka dalam keadaan kafir. [QS. al-Baro’ah/9: 84-85].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah memerintahkan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar baro’ (berlepas diri) dari orang-orang munafik, tidak menyolatkan seseorang di antara mereka apabila mati, tidak berdiri di atas kuburnya untuk memohonkan ampun baginya atau mendoakan kebaikan baginya, karena mereka telah kafir kepada Allah dan Rosul-Nya dan mati di atas kekafiran itu. Dan ini adalah hukum yang umum bagi setiap orang yang telah dikenal kemunafikannya, kendatipun sebab-sebab turunnya ayat ini pada Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan kaum munafikin”. [49]
Dan asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah berkata, “Haram sholat, memohonkan ampun dan memohonkan rahmat (misalnya; allahummarhamhu atau rahimahullah atau almarhum, peny.) atas orang-orang kafir dan munafik, karena firman Allah Tabaroka wa ta’ala, ((Janganlah engkau menyolatkan (jenazah) seseorang yang mati di antara mereka (golongan munafik) selama-lamanya dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya (untuk mendoakannya), sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. QS. al-Baro’ah/9: 84)). [50]
Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang kaum muslimin untuk menyolatkan, memohonkan ampun, memintakan rahmat atau menyelegarakan penguburan orang munafik yang telah jelas kemunafikannya. Hal tersebut dikarenakan masih adanya kekafiran di dalam hatinya sebagaimana kekafiran orang-orang kafir. Meskipun mereka berbeda dalam kelompok namun mereka bersaudara dalam kekafiran.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ
لِإِخْوانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَـابِ لَئِنْ
أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَ لاَ نُطِيْعُ فِيْكُمْ أَحَدًا
أَبَدًا وَ إِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَ اللَّهُ يَشْهَدُ
إِنَّهُمْ لَكَاذِبُوْنَ
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari ahli kitab, “Sesungguhnya jika kalian diusir, maka niscaya kamipun akan keluar bersama kalian, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi, maka pasti kami akan membantu kalian”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka itu benar-benar pendusta. [QS. al-Hasyr/59: 11].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Kalimat, ((mereka berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari ahli kitab)) adalah merupakan permulaan untuk menjelaskan orang yang merasa heran darinya, menerangkan tentang perumpamaan untuk mendatangkan bentuk atau menunjukkan atas suatu rutinitas. Dan Allah menjadikan mereka (yaitu orang-orang munafik) menjadi saudara bagi orang-orang kafir, lantaran kekafiran yang telah menghimpun mereka, kendatipun macam kekafiran mereka berbeda, maka mereka tetap ikhwan (saudara) di dalam kekafiran”. [51]
إِنَّ اللَّهَ جَـامِعُ الْمُنَافِقِيْنَ وَ الْكَافِرِيْنَ فِى جَهَنَّمَ جَمِيْعًا
Sesungguhnya Allah akan menghimpun seluruh orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam. [QS. an-Nisa’/4: 140].
وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَ الْمُنَافِقَاتِ وَ
الْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِيْنَ فِيْهَا هِيَ حَسْبُهُمْ وَ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ وَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّقِيْــمٌ
Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, Allah melaknati mereka dan untuk mereka ada adzab yang kekal. [QS. al-Baroo’ah/9: 68].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Firman-Nya ((Sesungguhnya Allah akan menghimpun seluruh orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahannam)) yaitu sebagaimana mereka telah bersekutu dengan orang-orang kafir di dalam kekafiran, maka demikian pula Allah mempersekutukan di antara mereka dengan kekekalan di dalam neraka Jahannam selama-lamanya, dan Allah mengumpulkan di antara mereka di dalam tempat hukuman, siksaan, rantai, belenggu, minuman yang sangat panas, dan cairan nanah yang tiada jernih. [52]
Memahami ayat-ayat di atas bersama keterangannya, maka kewajiban setiap mukmin untuk mengambil sikap yang tegas dan kuat untuk dapat membedakan antara yang hak (benar) dengan yang batil (salah) atau dapat membedakan antara keimanan dan kekafiran. Dia tidak boleh mengambil sikap mendua (menerima kedua prinsip yang jelas bertolak belakang tersebut), atau menolak kedua-duanya. Tetapi ia wajib membenarkan dan memilih yang hak (benar) dan keimanan, menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, membelanya dengan kesungguhan dan iapun sanggup berwala’, mencintai dan membela orang yang telah diakui Allah ta’ala telah beriman. Lalu disamping itu ia wajib menyalahkan, mendustakan, menolak, menentang dan membuang yang batil (salah) dan kekafiran dengan sungguh-sungguh, dan ia sanggup mengafirkan (menyatakan kafir) orang yang telah diakui oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kafir di antara ahli kitab, kaum musyrikin dan yang serupa dengan mereka, bahkan ia mesti melepaskan diri (baro’) dari mereka, membenci dan memusuhi mereka selama-lamanya sehingga mereka beriman kepada Allah ta’ala saja dan mengakui kerosulan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dia tidak boleh ragu-ragu ataupun bimbang di dalam sikapnya tersebut, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyuruh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman supaya bersikap tegas kepada orang-orang kafir bahkan juga kepada orang-orang munafik, dan bersatu padu serta tidak boleh mempunyai dua golongan yang berbeda di dalam menghadapi, menyikapi dan memerangi mereka, yakni satu golongan memusuhi dan golongan yang lainnya membela. Sedangkan orang-orang munafik itu sangat menginginkan kaum mukminin menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir lalu kaum mukminin itupun menjadi sama dengan mereka. Jika demikian keinginan orang-orang munafik apalagi dengan keinginan orang-orang kafir, tentu lebih sangat lagi. al-‘Iyadzu billah.
فَمَا لَـكُمْ فِى الْمُنَـافِقِيْنَ فِئَـتَيْنِ وَ اللهُ
أَرْكَسَهُمْ بِمَـا كَسَبُوْا أَ تُرِيْدُوْنَ أَنْ تَهْدُوْا مَنْ
أَضَلَّ اللهُ وَ مَنْ يُضْلِلِ اللهُ وَ لَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيْلاً
وَدُّوْا لَوْ تَكْفُرُوْنَ كَمَـا كَفَرُوْا فَتَكُوْنُوْنَ سَوَاءً فَلاَ
تَتَّخِذُوْا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوْا فِى سَبِيْلِ
اللهِ
Maka mengapa kalian (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ?. Apakah kalian bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan oleh Allah ?. Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kalian jadikan di antara mereka menjadi teman-teman penolong kalian sehingga mereka berhijrah pada jalan Allah. [QS. an-Nisa’/4: 88-89].
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَـاهِدِ الْكُفَّـارَ وَ
الْمُنَافِقِـيْنَ وَ اغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَ
بِئْـسَ الْمَصِيْـرُ
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah kepada mereka. Tempat tinggal mereka adalah neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. [QS. al-Baro’ah/9: 73 dan QS. at-Tahrim/66: 9].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah memerintahkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerangi orang-orang kafir dan juga orang-orang munafik dan bersikap keras kepada mereka. Sebagaimana Allah ta’ala telah memerintahkan Beliau untuk berkasih sayang kepada orang-orang yang mengikutinya dari kalangan mukminin. Dan Allah ta’ala telah mengkhabarkan bahwasanya tempat kembali orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu adalah ke neraka di kampung akhirat nanti”. [53]
Berkata Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu mengenai firman Allah ta’ala ((perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik)). Ia (Ibnu Mas’ud) berkata, “Dengan tangannya, jika ia tidak mampu (maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka dengan hatinya), dan jumpailah mereka dengan wajah yang kecut atau masam”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata, “Allah ta’ala telah memerintahkan Beliau untuk memerangi orang-orang kafir dengan pedang dan memerangi orang-orang munafik dengan lisan dan juga menghilangkan sifat lembut bersahabat dari mereka. [54]
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ
يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّـارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً
وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kalian dan hendaklah mereka menemui sikap keras pada kalian. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa. [QS. al-Baro’ah/9: 123].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir, “Firman Allah ta’ala ((dan hendaklah mereka menemui sikap keras pada kalian)) yaitu dan hendaklah orang-orang kafir menemui dari kalian sikap keras atas mereka, berupa upaya kalian memerangi mereka. Karena sesungguhnya seorang mukmin yang sempurna adalah yang lembut bersahabat kepada saudaranya yang beriman dan keras terhadap musuhnya yang kafir”. [55]
BENCI DAN BARO’ KEPADA KAUM KUFFAR DAN MUNAFIKIN
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله
عليه و سلّم لِأَبِى ذَرٍّ : أَيْ عُرَى اْلإِيْمَانِ -أَظُنُّهُ قَالَ
أَوْثَقُ- قَالَ : اللَّهُ وَ رَسُـوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ : الْمُوَالاَةُ
فِى اللَّهِ وَ الْمُعَادَاةُ فِى اللَّهِ وَ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَ
الْبُغْضُ فِى اللَّهِ
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzarr, “Apakah tali iman itu?” -aku mengira Beliau berkata, “Sekuat-kuat- (maksudnya, “Apakah sekuat-kuat tali iman itu?”). Ia berkata, “Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “(Sekuat-kuat tali iman itu adalah) berwala’ karena Allah, bermusuhan karena Allah, cinta karena Allah dan membenci karena Allah”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir dan lafazh ini baginya, Ahmad: IV/ 286, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Nashr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [56]
عَنْ أَبِى أُمَامَةَ عَنْ رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى الله عليه و
سلّم أَنَّهُ قَالَ : مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَ أَبْغَضَ لِلَّهِ وَ
أَعْطَى لِلَّهِ وَ مَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانِ
Dari Abu Umamah dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda, “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (pemberian) karena Allah maka sungguh-sungguh telah sempurna imannya”. [HR Abu Dawud: 4681 dan Ibnu ‘Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [57]
Di dalam riwayat yang lain dari Mu’adz al-Juhaniy, bahwasanya Nabi Shalllallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan (pemberian) karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah dan menikahkan karena Allah, maka sungguh-sungguh telah sempurna imannya”. [HR at-Turmudziy: 2521 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: III/ 438, 440. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [58]
Berkata Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berwala’ karena Allah dan memusuhi karena Allah, maka sesungguhnya kewalian Allah akan diperoleh dengan semuanya itu, dan seorang hamba tidak akan mendapatkan rasa lezatnya iman walaupun sholat dan shuomnya banyak, sehingga ia menjadi yang seperti demikian itu. Dan sungguh-sungguh, umumnya persaudaraan manusia itu berdasarkan atas persoalan dunia, dan yang demikian itu tidak akan memberikan suatu apapun kepada ahlinya”. [59]
Demikian itulah sikap yang mesti dimiliki oleh seseorang yang ingin menjadi seorang mukmin, yakni mampu bersikap keras berupa menjauhkan diri dari orang-orang kafir dari ahli kitab, orang-orang musyrik ataupun orang-orang munafik dan menampakkan kebencian dan permusuhan kepada mereka. Dan di samping itu ia mesti mampu bersikap lembut bersahabat kepada orang-orang mukmin berupa mendekatkan diri kepada mereka, mencintai dan membantu mereka di dalam menegakkan dienullah.
Sedangkan orang-orang kafir mengharapkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lunak dan lembut kepada mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ
Maka mereka menginginkan agar kamu bersikap lunak lalu merekapun bersikap lunak (kepadamu). [al-Qolam/68: 9].
Berkata al-Kalbiy dan al-Farra’, “Andaikata kamu bersikap lembut maka merekapun akan bersikap lembut kepadamu”. [60]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin ketika ditanya mengenai sangkaan seorang pemberi nasihat di salah satu dari Masjid di Eropa yang menidakbolehkan (atau melarang) mengkafirkan orang Yahudi dan Nashrani, “Dan aku menashihatkan laki-laki tersebut dan aku mengajaknya untuk bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hendaklah ia membaca, ((Maka mereka menginginkan agar kamu bersikap lunak lalu merekapun lunak kepadamu. QS. al-Qolam/68: 9)), dan agar ia tidak bersikap lunak kepada mereka di dalam kekafiran mereka serta menjelaskan kepada tiap-tiap orang bahwasanya mereka adalah orang-orang kafir dan bahwasanya mereka adalah termasuk dari para penghuni neraka”. [61]
Demikian keinginan Allah Jalla wa ‘Ala kepada Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman, yang sangat berbeda dengan keinginan orang-orang kafir dari ahli kitab dan musyrikin ataupun orang-orang munafik dan yang serupa dengan mereka, maka tiada yang memilih keinginan Allah ta’ala tersebut kecuali hanya orang-orang beriman. Jika seseorang merasa ragu dan bimbang dengan keinginan dan keputusan Allah Jalla Dzikruhu tersebut yaitu perintah berwala’ dan bersikap lembut bersahabat kepada sesama mukmin dan bersikap keras kepada orang kafir berupa berlepas diri (baro’), membenci, memusuhi dan mengkafirkan (menyatakan kafir) orang yang telah dikafirkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka iapun telah kafir secara ijma’ (kesepakatan) ulama.
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Maka jika ia ragu-ragu di dalam kekafiran mereka atau bodoh (tidak mengetahui) akan kekafiran mereka, setelah diterangkan dalil-dalil kepadanya dari alqur’an dan Sunnah Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits) atas kekafiran mereka, maka jika ia ragu-ragu dan bimbang setelah itu, maka sesungguhnya ia telah kafir sesuai dengan ijma’ ulama, yaitu barangsiapa ragu-ragu terhadap kekafiran orang kafir maka iapun telah kafir”. [62]
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengenai ahli wihdah al-wujud (kelompok shufiy/ tarekat) setelah menyebutkan madzhab mereka yang batil dan bahwasanya ucapan mereka lebih buruk dari ucapan orang-orang Nashrani, ia berkata, “Maka ini semuanya adalah kafir secara lahir dan batin sesuai dengan ijma’ setiap muslim. Dan barangsiapa yang ragu-ragu di dalam kekafiran mereka setelah mengetahui perkataan mereka dan mengetahui ajaran Islam, maka ia telah kafir sebagaimana orang yang ragu-ragu tentang kekafiran orang-orang Yahudi, Nashrani dan Musyrikin”. [63]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan bebarapa ayat mengenai kekafiran orang Yahudi dan Nashrani, “Ayat-ayat dan hadits-hadits di dalam hal ini banyak. Maka barangsiapa yang mengingkari kekafiran orang Yahudi dan Nashrani yang tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustakannya maka sungguh-sungguh ia telah mendustakan Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan mendustakan Allah adalah merupakan kekafiran. Dan Barangsiapa yang ragu-ragu di dalam kekafiran mereka maka tidak diragukan lagi tentang kekafirannya”. [64]
Setiap mukmin tentu akan mengikuti setiap kehendak Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam bersikap, dan tidak akan mengikuti keinginan manusia terlebih-lebih orang-orang kafir. Karena jikalau ada seorang mencari keridloan manusia dengan menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah ta’ala tetap tidak akan ridlo kepada orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab, kaum musyrikin dan orang-orang munafik atau yang serupa mereka dan akan murka kepada orang yang mencari keridloan mereka.
يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ
Mereka (orang-orang munafik) bersumpah kepada kalian, agar kalian ridlo kepada mereka. Tetapi jika kalian ridlo kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak akan ridlo kepada orang-orang fasik itu. [QS. al-Baro’ah/9: 96]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan ridlo kepada orang fasik yang menampakkan kefasikannya, karena wajib membencinya, maka bagaimana (diperbolehkan) meridloi dan mencintainya?”. [65]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Maksud dari pemberitaan Allah Subhanahu dengan meniadakan ridlo-Nya kepada mereka yaitu melarang kaum mukminin dari yang demikian itu, karena ridlo kepada orang yang tidak diridloi oleh Allah adalah dari apa yang tidak akan dilakukan oleh orang mukmin”. [66]
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ قَالَ : كَتَبَ
مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رضي الله عنها أَنِ
اكْتُبِى إِلَيَّ كِتَابًا تُوْصِيْنِى فِيْهِ وَ لاَ تُكْثِرِى عَلَيَّ
فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ : سَلاَمٌ عَلَيْكَ
أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم
يَقُوْلُ : مَنِ الْتَمَسَ رِضَا اللهِ بِسَخَطِ النَّـاسِ كَفَاهُ اللهُ
مُؤْنَةَ النَّـاسِ وَ مَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّـاسِ بِسَخَطِ اللهِ
وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّـاسِ و السَّــلاَمُ عَلَيْكَ
Dari seseorang dari penduduk Madinah berkata, Mu’awiyah pernah menulis surat kepada ‘Aisyah Ummu Mukminin radliyallah ‘anha, “Tuliskanlah kepadaku sebuah surat yang engkau washiatkan diriku di dalamnya, dan janganlah terlalu banyak”. Lalu ‘Aisyah radliyallahu ‘anha menulis (surat) kepada Mu’awiyah, “Salam kesejahteraan atasmu, amma ba’du, maka sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ridlo Allah dengan menimbulkan kemurkaan manusia maka Allah melindunginya dari kesulitan manusia, dan barangsiapa yang mencari keridloan manusia dengan menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia. Dan mudah-mudahan salam kesejahteraan atasmu”. [HR at-Turmudziy: 2414 dan lafazh ini baginya, Ibnu al-Mubarok: 199 di dalam kitab az-Zuhd dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [67]
Di dalam riwayat yang lain dari Urwah bin az-Zubair dengannya, secara marfu’ dengan lafazh, “Barangsiapa yang mencari ridlo Allah dengan menimbulkan kemurkaan manusia maka Allah ridlo kepadanya dan menjadikan manusia ridlo kepadanya, dan barangsiapa yang mencari ridlo manusia dengan menimbulkan kemurkaan Allah, maka Allah murka kepadanya dan menjadikan manusia murka kepadanya”. [HR al-Qudlo’iy, Masyriq bin ‘Abdullah dan Ibnu ‘Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [68]
LARANGAN MENIKAH DENGAN ORANG KAFIR
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى اْلكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَ لاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. [QS. Al-Mumtahanah/ 60: 10].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat inilah yang telah mengharamkan (pernikahan) perempuan-perempuan muslim bagi laki-laki musyrik. Meskipun diawal Islam dibolehkan lelaki musyrik menikahi perempuan mukminah. [69]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan menikahi perempuan musyrik. Tidak boleh melanggengkan pertalian pernikahan dengan perempuan musyrik. Hendak bagi seorang muslim untuk meminta maharnya kembali kepada istrinya yang masih tetap dalam kekafiran atau murtad setelah Islamnya. Begitu juga bagi lelaki kafir untuk meminta kembali maharnya kepada perempuan yang masuk Islam lalu berhijrah. [70]
وَ لَا تَنكِحُوا اْلمـُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَ لَو أَعْجَبَتْكُمْ وَ
لَا تُنكِحُوا اْلمـُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَ لَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ
خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَ لَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ وَ اللهُ يَدْعُوا إِلَى اْلجَنَّةِ وَ اْلمـَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
وَ يُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [QS. Al-Baqarah/ 2: 221].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini merupaka pengharaman dari Allah Azza wa Jalla bagi kaum mukminin untuyk menikahi perempuan-perempuan musyrik dari para penyembah berhala. Kemudian karena keumumannya yang dimaksud, masuk ke dalam pengharaman tersebut adalah setiap perempuan musyrik dari ahli kitab atau penyembah berhala. Lalu Allah ta’ala mengkhususkan hal tersebut untuk perempuan ahli kitab dengan firman-Nya ((Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu. QS al-Maidah/ 5: 5)). [71]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan menikahi perempuan-perempuan musyrik. Adapun perempuan-perempuan ahli kitab, maka Allah ta’ala telah membolehkan untuk menikahi mereka di dalam surat al-Maidah ayat 5. Diharamkan bagi perempuan mukminah dinikahi oleh lelaki kafir secara mutlak, apakah dia lelaki musyrik atau ahli kitab. [72]
Berkata asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhohullah, “Tidak boleh seorang muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, tidak kepada Yahudi, Nashrani dan tidak pula kepada penyembah berhala. Adapun seorang muslim menikahi perempuan kafir, jika ia penyembah berhala maka ia tidak boleh menikah dengannya. Allah ta’ala berfirman ((Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. QS al-Baqarah/ 2: 221)). Namun jika ia seorang perempuan Yahudi atau Nashrani, maka ia boleh menikahinya dengan syarat ia adalah seorang perempuan yang memelihara kehormatannya, karena firman Allah ta’ala ((Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi alkitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. ((Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu. QS al-Maidah/ 5: 5)). Perempuan Nashrani yang berzina atau melacur, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menikahinya. Hanyalah diperbolehkan ia untuk menikahi perempuan yahudi dan nashrani yang memelihara kehormatannya. Sebab perempuan itu dibawah kekuasaan pria. Boleh jadi ia akan menjadi muslimah ketika di bawah kekuasaannya, maka kekuasaan itu milik muslim atas perempuan kafir. Berbeda dengan kebalikannya, tidak boleh kekuasaan itu bagi lelaki kafir atas perempuan muslim, karena firman Allah ((Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. QS an-Nisa’/ 4: 141)). Inilah rincian tentang pernikahan antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir. Jika perempuan itu penyembah berhala, menyimpang dari agama atau murtadd maka tidak boleh seorang muslim untuk menikahinya secara mutlak”. [73]
HUKUM MENGKAFIRKAN UMAT ISLAM
Berkata syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, “Tidak boleh mengkafirkan muslim dengan sebab satu dosa yang ia kerjakan dan tidak dengan sebab satu kesalahan yang ia keliru padanya, seperti persoalan-persoalan yang ahli kiblat saling berselisih padanya, karena sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman, ((Rosul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, begitu pula orang-orang beriman, semuanya beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para Rosul-Nya. (Mereka mengatakan), ‘kami tidak membeda-bedakan diantara seseorang dari para Rosul-Nya. Dan mereka berkata kami mendengar dan kami taat, wahai Rabb kami ampunilah kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’. QS. al-Baqarah/2: 285)). Dan sungguh-sungguh telah tetap di dalam ash-Shihah,[74] bahwasanya Allah ta’ala mengijabah doa dan mengampuni kesalahan orang-orang beriman. [75]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُـوْلَ اللَّهِ
صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ يَا
كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya, “Ya kafir”, maka sungguh-sungguh telah kembali salah seorang dari keduanya dengan membawa (tuduhan)nya tersebut”. [HR al-Bukhoriy: 6103. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [76]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّ
رَسُـوْلَ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ : أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ
لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا اَحَدُهُمَا -وَ زَادَ
مُسْـلِمٌ -: إِنْ كَانَ كَمَـا قَالَ وَ إِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapapun orang yang mengatakan kepada saudaranya, “ya kafir”, maka sungguh-sungguh telah kembali salah seorang dari keduanya dengan membawa (tuduhan)nya tersebut”. Imam Muslim menambahkan, “jika ia sebagaimana yang dikatakannya, dan jika tidak maka tuduhan itu akan kembali (kepada yang menuduhnya)”. [HR al-Bukhoriy: 6104 dan lafazh ini baginya, Muslim: 60, at-Turmudziy: 2637, Abu Dawud: 4687 dan Ahmad: II/ 18, 23, 44, 47, 60, 105, 113. Barkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [77]
عَنْ أَبِى ذَرٍّ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ
صلّى الله عليه و سلّم يَقُوْلُ : لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً
بِالْفُسُـوْقِ وَ لاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْـرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ
إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
Dari Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang itu menuduh orang lain dengan kefasikan dan tidak pula menuduh dengan kekafiran kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya, jika orang yang dituduh itu tidak seperti itu”. [HR al-Bukhoriy: 6045 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: V/ 18. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [78]
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Hadits ini menetapkan bahwasanya barangsiapa yang mengatakan kepada selainnya, “engkau fasik” atau berkata kepadanya, “engkau kafir”, maka jika ia (yang dituduh) tidak seperti yang dikatakannya maka maka dia (yang menuduh) yang berhak untuk pensifatan yang telah disebutkan tersebut. Dan apabila ia (yang dituduh) seperti yang dikatakannya maka sedikitpun tidak akan kembali (tuduhan tersebut) kepadanya karena keadaannya benar seperti yang dikatakannya”. [79]
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَتَّهُ سَمِعَ رَسُـوْلَ اللَّهِ صلّى الله
عليه و سلّم يَقُوْلُ : لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَ
هُوَ يَعْلَمُهُ إِلاَّ كَفَرَ وَ مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ
مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَ مَنْ دَعَا رَجُلاً
بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ
عَلَيْهِ
Dari Abu Dzarr, bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang itu mengaku-ngaku kepada selain ayahnya padahal ia mengetahuinya melainkan ia telah kafir. Barangsiapa yang mengaku-ngaku sesuatu yang ia tidak miliki maka ia bukan termasuk golongan kami dan hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka. Dan barangsiapa yang menuduh seseorang dengan kekafiran atau ia berkata, “Wahai musuh Allah padahal ia tidak begitu melainkan tuduhan itu akan kembali kepadanya”. [HR Muslim: 61 dan lafazh ini baginya dan Ahmad: V/ 166, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [80]
asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya mengenai syarat-syarat hukum takfir (mengkafirkan) seorang Muslim dan hukum orang yang melakukan sesuatu yang mengkafirkan secara senda gurau. Beliau menjawab, “Hukum mengkafirkan Muslim itu memiliki dua syarat, yaitu; (1) tegaknya dalil atas sesuatu dari yang membuatnya kafir. (2) bertingkatnya hukum atas orang yang melakukan hal tersebut sehingga ia mengetahuinya dan menyengaja melakukannya. Jika ia tidak mengetahuinya maka ia tidak kafir, lantaran firman-Nya ta’ala, ((Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa dengan kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. QS. an-Nisa’/4: 115)), dan firman-Nya, ((Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan kepada mereka apa yang mereka harus jauhi. QS. al-Baroo’ah/9: 115)), dan firman-Nya, ((Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rosul. QS. al-Isra’/17: 15)). Tetapi apabila ia meremehkan dengan cara meninggalkan ta’allum (belajar atau mencari tahu) dan tabayyun (mencari penjelasan) maka (sikap tersebut) tidak ada udzur (alasan), misalnya; telah sampai kepadanya bahwasanya amalnya ini adalah merupakan kekufuran, lalu ia tidak tatsabbut (mencari ketetapan/kepastian) dan tidak menyelidik, maka sesungguhnya ia ketika itu tidak diterima udzurnya. Jika ia tidak menyengaja untuk melakukan sesuatu yang dapat mengkafirkan, maka tidaklah ia kafir dengan hal tersebut, misalnya: seseorang dipaksa untuk melakukan kekafiran sedangkan hatinya tentram dengan keimanan. [81] Dan juga jika pikirarnya tertutup sehingga ia tidak mengetahui apa yang diucapkannya lantaran amat gembira dan semisalnya. Seperti ucapan seorang pemilik unta yang ia telah hilangkan (bersama perbekalannya, peny.) kemudian ia berbaring di bawah sebuah pohon menunggu kematian, lalu tiba-tiba (ia menemukan) tali kekang (unta) yang tersangkut di pohon tersebut lalu ia bergegas mengambilnya dan berkata, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu, ia keliru lantaran sangat senangnya”.[82] Tetapi jika ia melakukan sesuartu yang mengkafirkan dengan cara senda gurau, maka sesungguhnya ia telah kafir karena ia telah menyengaja hal tersebut, sebagaimana telah diterangkan oleh ahli ilmu. [83]
Islam melarang sikap ifrath (melampaui batas) dan juga tafrith (meremehkan). Yang memegang sikap ifrath ini di antaranya adalah golongan Khowarij dan Mu’tazilah, yakni mereka meyakini bahwa setiap orang yang melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar) itu keluar dari iman dan Islam serta akan kekal di dalam neraka karena iman dan Islam itu menurut mereka sama, jika ia keluar dari iman maka ia telah keluar dari Islam. Tetapi golongan khowarij menamakan pelaku dosa besar sebagai orang kafir sedangkan golongan Mu’tazilah sebagai orang fasik atau bukan orang Islam dan bukan pula orang kafir, mereka menempatkannya di antara dua tempat (manzilah bayna manzilatain).
Dan adapun yang memegang sikap tafrith ini di antaranya adalah golongan Murji’ah, yakni mereka beritikad bahwasanya dosa yang disertai iman itu tidak membahayakan dan ketaatan bersama kekafiran itu tidak bermanfaat, dan bahkan menamakan pelaku dosa besar itu sabagai orang mukmin yang sempurna imannya.
Semua itu bertentangan dengan apa yang diyakini ahli sunnah yang beritikad bahwa orang yang melakukan dosa-dosa besar itu tidak kafir dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari Islam. Karena jika ia telah kafir dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari agama tentulah ia telah murtad yang mesti dibunuh di atas tiap keadaan dan tidak akan diterima maafnya wali qishosh serta tidak akan berlaku had atas perzinahan, pencurian dan minum khomer. Dan ahli sunnah juga beritikad bahwasanya pelaku dosa besar tidak akan kekal di dalam neraka, ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan seukuran dosanya, lalu ia akan di keluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga dengan sebab keimannya.[84] Demikian pula ahli sunnah beritikad bahwasanya pelaku dosa besar itu bukan orang mukmin yang sempurna imannya atau ia keluar dari iman dan jatuh ke dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Imam Ahmad bin Hambal di dalam mengomentari hadits, “Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, … dan seterusnya hadits.[85] Berkata Ibnu Abi Syaibah[86], “Ia bukan orang mukmin yang sempurna imannya, tetapi orang yang kurang dari keimanannya”. Sedangkan al-Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang mendatangi empat perbuatan tersebut (yaitu; berzina, mencuri, minum khomer dan merampas, peny.) atau yang semisalnya atau lebih dari itu maka aku tidak akan menamakannya seorang mukmin. Tetapi barangsiapa yang melakukan yang lebih rendah dari itu -maksudnya selain dosa-dosa besar-, maka aku menamakannya orang mukmin yang berkurang imannya”. [87]
Namun bagaimana dengan umat Islam yang mengingkari salah satu dari rukun Iman dan Islam atau memiliki perbedaan yang jelas di dalam rukun keduanya. Atau menolak salah satu dari hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Atau mencela para shahabat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan berbagai sebab. Sebagaimana akidah dan keyakinan kaum Syi’ah misalnya, yang sangat bertentangan dengan keyakinan kaum muslimin pada umumnya.
Syiah itu memiliki banyak sekte atau aliran, misalnya zaidiyah, Kaisaniyah, Ghulat, Imamiyah dan selainnya. Di antara perbedaan tajam dan mencolok kaum Syiah dengan kaum muslimin (kalangan ahlu sunnah wal jamaah/ sunni), sebagaimana telah dihimpun oleh para ulama, diantaranya adalah sebagai berikut, [88]
1. Tentang Al-Qur’an.
Di dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (II/634), dari Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq), ia berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, halaman 239—240, dari Abu Abdillah ia berkata, “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wa al-Qur’an, halaman 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir).
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
2. Tentang shahabat Rasulullah.
Diriwayatkan oleh “imam al-jarh wa at-ta’dil” mereka (al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijal al-Kisysyi (halaman 12—13) dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir) bahwa ia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata, “Siapakah tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat ke-144. (Dinukil dari asy-Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizan al-Islam, halaman 89).
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang; al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (al-Kafi, VIII/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlu al-Bait, halaman 45, karya Ihsan Ilahi Zhahir).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir al-Husaini al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, III/640. (Lihat kitab asy-Syi’ah wa Ahlu al-Bait, halaman 46).
Adapun sahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftah al-Jinan, halaman 114), wirid laknat untuk keduanya,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ،
وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا
وَابْنَتَيْهِمَا
Yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah (pen). (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah, halaman 18, karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ah al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan, kesucian, hari barakah, serta hari sukaria. (al-Khuthuth al-‘Aridhah, halaman 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai pelacur—na’udzu billah min dzalik—. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hlm. 57—60) karya ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah, “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah….” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, halaman 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang shalih, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul, halaman 580).
3. Tentang imamah (kepemimpinan umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama. Diriwayatkan dari al-Kulaini dalam al-Kafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum, dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata, “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata, “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlu al-Majhud, I/174).
Imamah ini (menurut mereka, red.) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib dan keturunannya, sesuai dengan nash wasiat Rasulullah. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia (wilayah) Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat al-Khuthuth al-‘Aridhah, halaman 16—17).
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia al-Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman—baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, halaman 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, I/192).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
4. Tentang taqiyyah.
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq(kemunafikan), dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, halaman 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan persepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (II/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar al-A’jami, “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9/10 dari agama ini adalah taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, I/196)
Oleh karena itu, al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka, beliau berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizan al-I’tidal, II/27—28, karya al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah)
5. Tentang Raj’ah.
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, al-Qummi ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 85, berkata, “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah.” Kemudian dia menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib ) serta para imam ‘alaihim as-Salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsar at-Tasyayyu’ ‘ala ar-Riwayat at-Tarikhiyyah, halaman 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali).
6. Tentang al-Bada’.
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa al-Bada’ ini terjadi pada Allah l. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam al-Kafi (I/111), meriwayatkan dari Abu Abdillah (ia berkata), “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, I/252)
Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi.
7. Tentang nikah mut’ah.
1. Syi’ah meyakini mut’ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang yang mengingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama.
(Sumber; Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, III/366 dan Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, II/495).
2. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat meredam murka Tuhan.
(Sumber; Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani, II/493).
3. Menurut Syi’ah seorang wanita yang dimut’ah akan diampuni dosanya.
(Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, III/366).
4. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang masuk ke dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka mampu menyamai kedudukan para nabi di surga.
(Sumber; Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, III/366).
5. Syi’ah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut’ah akan berkurang pahalanya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barangsiapa keluar dari dunia (meninggal) sedangkan dia belum pernah melakukan mut’ah maka pada hari kiamat dia datang dalam keadaan pincang yakni terputus salah satu anggota badanya.”
(Sumber; Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, II/495).
6. Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut’ah, seorang laki-laki dapat melakukan mut’ah dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau lebih.
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, VII/259)
7. Syi’ah beranggapan boleh melakukan mut’ah dengan gadis sekalipun tanpa izin dari walinya dan tanpa ada saksi atasnya.
(Sumber; Syarai’ Al-Ahkam, karya Najmuddin Al-Hulli II/186 dan Tahdzib Al-Ahkam, VII/254).
8. Dalam Syi’ah diperbolehkan melakukan mut’ah dengan anak perempuan kecil yang belum baligh, dimana umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun.
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’,V/463).
9. Dalam Syi’ah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan kecil) dengan cara mendatanginya di bagian belakangnya (duburnya).
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, VII/514).
10. Syi’ah memandang tidak perlu menanyakan terlebih dahulu kepada wanita yang akan dinikahi secara mut’ah, apakah wanita itu telah bersuami atau wanita pelacur.
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, V/463).
11. Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam melakukan mut’ah bisa dilakukan dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka menamakanya dengan (meminjamkan kemaluan).
(Sumber; Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, III/151 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, V/460).
12. Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula dapat mewariskan harta.
(Sumber: Al-Mut’ah wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam, karya sejumlah ulama Syi’ah, halaman 116-121 dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-Khomeini, II/288).
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen.) di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, serta lebih utama dari masyarakat Kufah dan Irak di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, halaman 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, halaman 192)
Oleh karena itulah, Asy-Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili di dalam kitabnya al-Intishar Li ash-Shahbi wa a- Aal (halaman 100—153) menukilkan sekian banyak perkataan ulama tentang mereka. Namun karena sangat terbatasnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam ‘Amir asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (as-Sunnah, II/549, karya Abdullah bin al-Imam Ahmad).
2. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakar dan ‘Umar radliyallahu anhuma, beliau berkata, “Ia telah kafir kepada Allah ta’ala.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lam an-Nubala, VII/253).
3. al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang shalih, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul, halaman 580)
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Aisyah radliyallahu anhum) itu sebagai orang Islam.” (as-Sunnah, I/493, karya al-Khallal).
5. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi (penganut Jahmiyah, red.) dan Rafidhi (penganut Syiah Rafidhah, red.), atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh, red.). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’al al-‘Ibad, halaman 125)
6. Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi radliyallahu anhu berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah Shallalllahu alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita adalah haq dan Al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan alqur’an dan Sunnah adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan alqur’an dan Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah (orang-orang zindiq).” (al-Kifayah, halaman 49, karya al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah).
Semoga penjelasan ini bermanfaat bagiku, keluargaku dan seluruh kaum muslimin dalam mengambil sikap dengan sikap yang benar dan sesuai dalil kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik dan yang sejenis mereka.
Wallahu a’lam bi ash-Showab.
[1] Aysar at-Tafasir: III/ 51.
[2] Aysar at-Tafasir: III/ 577.
[3] Syar-h Nawaqidl at-Tauhid oleh Abu Usamah Hasan bin Ali al-’Iwajiy halaman 51-52.
[4] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 417.
[5] Fat-h al-Qodir: II/ 395
[6] Aysar at-Tafasir: II/ 353.
[7] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 395.
[8] Aysar at-Tafasir: V/ 299
[9] Tafsir al-Baghowiy: IV/ 312.
[10] Majmu’ah at-Tauhid halaman 339.
[11] al-Iman oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah halaman 13.
[12] Aysar at-Tafasir: V/ 322.
[13] Fat-h al-Qodir: V/ 242.
[14] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 417.
[15] Aysar at-Tafasir: V/ 326.
[16]
Shahih Sunan Abu Dawud: 2420, ‘Aun al-Ma’bud: VII/ 337, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 6186 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2330.
[17] Fat-h al-Bariy: VIII/ 262, XIII/ 37.
[18] Fat-h al-Bariy: XIII/ 38.
[19]
Yaitu sekelompok kaum muslimin yang tinggal di kalangan orang kafir
melakukan sujud dengan harapan, “Bahwasanya pasukan Islam itu tidak akan
membunuh kami ketika mereka melihat kami sedang sujud”.
[20]
Shahih Sunan Abu Dawud: 2304, ‘Aun al-Ma’bud: VII/ 218, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 1307, Tuhfah al-Ahwadziy: V/ 180, Shahih Sunan an-Nasa’iy:
4448, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1461, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: II/ 230, Irwa’ al-Ghalil: 1207 dan Nail al-Awthor: 3452.
[21] ‘Aun al-Ma’bud: VII/ 218.
[22] Majmuu’ Fatawa, Fatawa al-‘Aqidah: III/ 30.
[23]
Shahih Sunan Ibnu Majah: 2055, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2408, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 7748, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 369, II/
232 dan Irwa’ al-Ghalil: V/ 32.
[24] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3893, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 25 dan Irwa’ al-Ghalil: V/ 31.
[25] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 374 dan Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 80.
[26] Iqtidlo’ ash-Shiroth al-Mustaqim halaman 89-90 dan Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 80.
[27]
al-Jami` ash-Shahih: I/ 153, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: III/
147, Mukhtashor Shahih Muslim: 184, Fat-h al-Bariy: X/ 349, Shahih
al-Jami` ash-Shaghir: 3209 dan Irwa` al-Ghalil: 77.
[28] al-Jami’ ash-Shahih: I/ 153, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: III/ 147 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3092.
[29]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1067, 4167, 4168, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 836, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1433, Tuhfah al-Ahwadziy:
V/ 359, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4697, 4698 dan Hijab al-Mar’ah
al-Muslimah halaman 96-97. Adapun mengubah uban pada rambut ataupun
jenggot adalah menyemirnya dengan warna selain hitam sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
haditsnya, غَيِّرُوْا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوْا السَّوَادَ artinya, “Rubahlah (uban) ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam”.
HR Muslim: 2102, Abu Dawud: 4204, an-Nasa’iy: VIII/ 138, Ibnu Majah:
3624 dan Ahmad: III/ 316, 322, 338 dari Jabir bin Abdullah, ucapan ini
ditujukan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Quhafah
ayahnya Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu ‘anhu. Lihat al-Jami’
ash-Shahih: VI/ 155, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIV/ 79,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1347, Shahiih Sunan Abi Dawud: 3541, ‘Aun
al-Ma’bud: XI/ 173, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4700, Shahiih Sunan Ibnu
Majah: 2921, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4169, 4170, Ghoyah al-Maram:
105 dan Nail al-Awthor: 139.
[30]
Fat-h al-Bariy: VI/ 496, X/ 354, al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 155, Shahih
Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIV/ 80, Mukhtasor Shahih Muslim: 1348,
Shahih Sunan Abi Dawud: 3540, ‘Aun al-Ma’bud: XI/ 172, Shahih Sunan
an-Nasa’iy: 4694, 4695, 4696, 4836, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2918,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1998, Ghoyah al-Maram: 104 dan Hijab
al-Mar’ah al-Muslimah halaman 95.
[31] Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 93-94 dan menghasankan juga hadits ini al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bariy: X/ 354.
[32] Shahih Sunan Abu Dawud: 607, ‘Aun al-Ma`bud: II/ 250, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3210 dan Misykah al-Mashobih: 765.
[33]
Shahih Sunan Abi Dawud: 3401, ‘Aun al-Ma’bud: XI/ 51, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2831, 6149, Irwa’ al-Ghalil: 1269 dan Hijab al-Mar’ah
al-Muslimah halaman 104.
[34] Iqtidlo’ ash-Shirath al-Mustaqim halaman 83, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 104 dan Majmu’ah at-Tauhid halaman 341.
[35] Iqtidlo’ ash-Shirath al-Mustaqim halaman 221.
[36]
Shahih Sunan Abu Dawud: 2372, ‘Aun al-Ma’bud: VII/ 287, al-Jami’
ash-Shahih: V/ 201, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XII/ 198-199,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1129, Shahih Sunan Ibnu Majah: 2284, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1101, dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2292,
2293, 2294.
[37] Aysar at-Tafasir: I/ 558.
[38] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 394.
[39] Tafsir al-Baghowiy: IV/ 311.
[40] Aysar at-Tafasir: V/ 296.
[41] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: I/ 701.
[42] Fat-h al-Qodir: I/ 595.
[43]
Al-Jami` ash-Shahih: VIII/ 125, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy:
XVII/ 128, Mukhtashor Shahih Muslim: 1942, Shahih Sunan an-Nasa`iy: 4664
dan Shahih al-Jami` ash-Shaghir: 5853.
[44]
Fat-h al-Bariy: VI/ 526, X/ 474, XIII/ 170, al-Jami’ ash-Shahih: VII/
181, VIII/ 27, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XVI/ 78-79, 156, 157,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1744, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1648,
Tuhfah al-Ahwadziy: VI/ 136, Shahih Sunan Abu Dawud: 4077, ‘Aun
al-Ma’bud: XIII/ 150 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2226.
[45]
Shahih Sunan Abu Dawud: 4078, ‘Aun al-Ma’bud: XIII/ 150, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 892 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6496.
[46] Fat-h al-Bariy: XIII/ 170 dan Shahih Sunan Ibnu Majah: 3210.
[47]
Atsar ini dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhoriy di dalam Shahihnya,
kitab [ الإيمـان ], bab [ خوف المؤمن أن يحبط عمله و هو لا يشعر ], lihat
Fat-h al-Bariy: I/ 109 dan kitab al-Iman oleh Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah halaman 194-195.
[48]
al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 94-95, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy:
XVII/ 65-67, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2041, Shahih Sunan Ibnu Majah:
3417, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1948, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 7073 dan Ghoyah al-Maram: 373.
[49] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 461.
[50] Ahkam al-Jana’iz wa bida’aha halaman 120, masalah nomor 60.
[53] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 452.
[54] Tafsir al-Qur’an al-‘Azim: II/ 452, Tafsir al-Baghowiy: II/ 311, dan Majmu’ah at-Tauhid halaman 146.
[55] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 489.
[56] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1728 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2539.
[57]
Shahih Sunan Abi Dawud: 3915, ‘Aun al-Ma’bud: XII/ 285, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 380 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5965.
[58] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2046, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 232 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I: 658.
[59]
Majmu’ah at-Tauhid halaman 148, 257, al-Wala’ wa al-Baro’ fii al-Islam
halaman 91 dan Fat-h al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid halaman 410-411.
[60] Fat-h al-Qodir: V/ 309 dan Tafsir al-Baghowiy: IV/ 377.
[61] Majmu’ Fatawa, Fatawa al-‘Aqidah: III/ 19.
[62] Majmu`ah at-Tauhid halaman 160 dan Syar-h Nawaqid at-Tauhid halaman 54.
[63] Majmu` Fatawa: II/ 368 dan Syar-h Nawaqid at-Tauhid halaman 53.
[64]
Majmu’ Fatawa, Fatawa al-‘Aqidah: III/ 19. Adapun ayat-ayat yang
disebutkannya adalah QS. al-Ma’idah/5: 72, 73, 78 dan QS. al-Bayyinah/
98: 6.
[65] Aysar at-Tafasir: II/ 416.
[66] Fat-h al-Qodir: II/ 450.
[67]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 1967, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 121, Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 2311, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6010, 6097,
Misykah al-Mashobih: 5130 dan Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyah hadits
nomor 278 halaman 268.
[68] Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyah halaman 268.
[69] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 421.
[70] Aysar at-Tafasir: IV/ 331.
[71] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: I/ 319.
[72]
Aysar at-Tafasir: I/ 204. Perselisihan di dalam pengharaman menikahi
perempuan-perempuan ahli kitab adalah kecil dan tidak berbobot. Meskipun
tidak menikahi mereka itu lebih utama dan selamat. Hal ini bagi
perempuan-perempuan ahli kita dari kafir dzimmiy (yang dalam
perlindungan karena ketundukan mereka terhadap Islam). Adapun yang dari
kafir harbiy (yang dalam peperangan dengan kaum muslimin) maka tidak
boleh menikahi mereka.
[73] Durus fi Syar-h Nawaqidl al-Islam oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan halaman 85-86 Maktabah ar-Rusyd.
[74]
Barangkali hadits tersebut adalah dari jalan Abu Hurairah berkata, aku
pernah mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bahwasanya seorang hamba jatuh menimpa dosa, -dan boleh jadi Beliau
bersabda, “melakukan dosa-, lalu ia berkata, “Wahai Rabbku, aku telah
melakukan dosa -dan boleh jadi ia berkata, aku telah jatuh menimpa
dosa-, maka ampunilah aku. Maka Rabbnya berkata, “Apakah hamba-Ku
mengetahui bahwasanya ia mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan
mengadzab dengan sebabnya ?. Aku telah mengampuni dosa hamba-Ku. Lalu
iapun diam apa yang Allah kehendaki”. Kemudian ia jatuh menimpa dosa
-atau melakukan dosa-, lalu ia berkata, “Wahai Rabbku aku telah berbuat
dosa -atau aku telah jatuh menimpa dosa- yang lain, maka ampunilah
dosaku”. Allah berfirman, “Apakah hamba-Ku mengetahui bahwasanya ia
mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan mengadzab dengan sebabnya ?. Aku
telah mengampuni hamba-Ku”. Kemudian iapun diam apa yang Allah
kehendaki. Kemudian ia berbuat dosa -dan boleh jadi Beliau bersabda, “Ia
telah jatuh menimpa dosa-. Lalu ia berkata, “Wahai Rabbku, aku telah
jatuh -atau aku telah berbuat dosa- yang lain, maka ampunilah dosaku
bagiku”. Allah berfirman, “Apakah hamba-Ku mengetahui bahwasanya ia
mempunyai Rabb yang mengampuni dosa dan mengadzab dengan sebabnya ?. Aku
telah mengampuni hamba-Ku (tiga kali), maka hendaklah ia berbuat apa
yang ia kehendaki”. [HR al-Bukhoriy: 7507, lihat Fat-h al-Bariy: XIII/
466. Dan meriwayatkan hadits ini juga Muslim: 2758 dan Ahmad: II/ 296,
405, 492 dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 99, Shahih Muslim
bi Syarh an-Nawawiy: XVII/ 75-76, Mukhtashor Shahih Muslim: 1935, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 2103 dan al-Ahadits al-Qudsiyyah: 249, 250].
[75] Majmu’ Fatawa: III/ 282.
[76] Fat-h al-Bariy: X/ 514 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 709.
[77]
Fat-h al-Bariy: X/ 514, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 57, Shahih Muslim bi
Syar-h an-Nawawiy: II/ 49, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2125, Tuhfah
al-Ahwadziy: VII/ 372, Shahiih Sunan Abi Dawud: 3921, ‘Aun al-Ma’bud:
XII/ 288, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2727 dan Tahqiq Riyadl
ash-Shalihin: 1741.
[78] Fat-h al-Bariy: X/ 464, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5431 dan Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 1568.
[79] Fat-h al-Bariy: X/ 466.
[80]
al-Jami’ ash-Shahih: I/ 57, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: II/ 49,
Mukhtashor Shahih Muslim: 50, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5431 dan
Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 1742, 1814.
[81] Lihat QS. an-Nahl/16 ayat 106.
[82]
HR Muslim: 2747 dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 93,
Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XVII/ 63-64, Misykah al-Mashobih:
2332, dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5030.
[83] Majmu’ Fatawa, Fatawa al-‘Aqidah: II/ 125-126, III/ 52-55, 343-344.
[84]
Telah menerangkan hal ini beberapa hadits yang dikeluarkan oleh
al-Bukhoriy: 22, 6560, 7439, Muslim: 184, 193 dan Ahmad: III/ 325 dari
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu dan juga dari Abu Sa’id al-Khudriy
radliyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk nerakapun telah
menempati neraka, kemudian Allah ta’ala berfirman (kepada para
malaikat-Nya) أَخْرِجوْا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ
خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ ((keluarkanlah oleh kalian orang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari Iman)).
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: I/ 72, XI/
416-417, XIII/ 420-421, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 117-118, 125-126,
Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: III/ 35-36, 62, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 780, 8073 dan Misykah al-Mashobih: 5573, 5580 serta kitab
al-Iman halaman 174.
[85] HR Muslim: 57 dari Abu Hurairah berkata, Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Di dalam riwayat lain dijelaskan akan masuk ke dalam surga orang yang melakukan dosa-dosa besar selama ia mempunyai iman dan tidak berbuat syirik, yaitu dari Abu Dzarr menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malaikat Jibril ‘alaihi as-Salam pernah datang kepadaku, lalu menyampaikan khabar gembira kepadaku, bahwasanya barangsiapa yang mati di antara umatmu dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah (tidak berbuat syirik) ia akan masuk ke dalam surga. Aku berkata, “Walaupun ia berzina dan mencuri?”. Ia menjawab, “(Ya), walaupun ia berzina dan mencuri”. [HR Muslim: 94 dan lafazh ini baginya, al-Bukhoriy: 5827, 6268, 6443, at-Turmudziy: 2644 dan Ahmad: V/ 152, 159, 161. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: I/ 66, III: 76, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: II/ 93-94, VII/ 76, Mukhtashor Shahih Muslim: 53, Fat-h al-Bariy: X/ 283, XI/ 61, 260-261, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2132, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 826 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 64, 66].
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِيْنَ يَزْنِى وَ هُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ
يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ
الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَ هُوَ مُؤْمِنٌ
Artinya, “Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam
keadaan beriman, tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri
dalam keadaan beriman dan tidak minum khomer ketika ia meminumnya dalam
keadaan beriman”. Dan juga mengeluarkannya al-Bukhoriy: 2475, 5578,
6772, 6782, 6809, 6810, an-Nasa’iy: VIII/ 64, 65, 313, at-Turmudziy:
2625, Abu Dawud: 4689, Ibnu Majah: 3936, dan Ahmad: II/ 317, 376, 386,
479, III/ 346 dan VI/ 139, selain Abu Hurairah hadits ini bersumber juga
dari Ibnu Abi Awfa, Ibnu Umar, Aisyah dan Ibnu Abbas -radliyallahu
‘anhum-. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy:
V/ 119, X/ 30, XII/ 58-59, 81, 114, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 54-55,
Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: II/ 41-45, Mukhtashor Shahih Muslim:
43, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4525, 4526, 4527, 5230, 5231, Tuhfah
al-Ahwadziy: VII/ 358-359, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2117, ‘Aun
al-Ma’bud: XII/ 290, Shahih Sunan Abi Dawud: 3923, Shahih Sunan Ibnu
Majah: 3179, Misykah al-Mashobih: 53 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
7706, 7707, 7708. Berkata Ikrimah, aku bertanya kepada Ibnu Abbas,
“Bagaimana dicabutnya iman itu darinya?”. Ia (Ibnu Abbas) menjawab,
“Seperti ini -ia mentasybik (memasukkan secara bersilang) antara
jari-jarinya kemudian ia mengeluarkannya- dan jika ia bertaubat (iman
itu) akan kembali lagi kepadanya -ia kembali mentasybik jari jemarinya-
[tambahan ini diambil dari al-Bukhoriy: 6809].Di dalam riwayat lain dijelaskan akan masuk ke dalam surga orang yang melakukan dosa-dosa besar selama ia mempunyai iman dan tidak berbuat syirik, yaitu dari Abu Dzarr menceritakan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malaikat Jibril ‘alaihi as-Salam pernah datang kepadaku, lalu menyampaikan khabar gembira kepadaku, bahwasanya barangsiapa yang mati di antara umatmu dalam keadaan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah (tidak berbuat syirik) ia akan masuk ke dalam surga. Aku berkata, “Walaupun ia berzina dan mencuri?”. Ia menjawab, “(Ya), walaupun ia berzina dan mencuri”. [HR Muslim: 94 dan lafazh ini baginya, al-Bukhoriy: 5827, 6268, 6443, at-Turmudziy: 2644 dan Ahmad: V/ 152, 159, 161. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: I/ 66, III: 76, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: II/ 93-94, VII/ 76, Mukhtashor Shahih Muslim: 53, Fat-h al-Bariy: X/ 283, XI/ 61, 260-261, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2132, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 826 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 64, 66].
[86] al-Iman halaman 240 dan al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 65.
[87]
Untuk lebih jelasnya baca kitab Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah
halaman 316-325, al-Iman oleh Ibnu Taimiyyah halaman 227-229 dan
al-Wala’ wa al-Baro’ fi al-Islam halaman 57.
[88] Dinukil dari beberapa website, diantaranya dari Syiahindonesia.com.