HINDARI DUSTA
SEJAK DINI
بسم الله الرحمن الرحيم
Dusta adalah suatu kata yang banyak dibenci oleh
manusia namun kebanyakan mereka juga melakukannya. Suatu kata yang dibenci
secara teori namun disukai secara hakiki.
Dusta adalah memberitakan sesuatu yang berlainan
dengan keadaan dan kejadian perkara tersebut, baik disengaja atau karena tidak
tahu. [1]
Karena dengan dusta, banyak di antara manusia yang
mengira bahwa ia telah selamat dari tuduhan orang lain, bebas dari cercaan
mereka dan lepas dari rasa bersalah. Sehingga dengan dustanya itu, ia menjadi
nyandu dan terus berdusta untuk menutupi kedustaanya itu, lalu Allah ta’ala
akhirnya mencapnya menjadi seorang pendusta. Namun ia harus tahu bahwa ia tidak
akan luput dari persaksian dan perhatian Allah Jalla wa Ala, karena Allah ta’ala
tidak akan pernah lengah dari apa yang mereka lakukan.
Allah Subhanahu wa ta’ala banyak menyebutkan di
dalam kitab-Nya yang mulia akan keburukan dusta atau bohong ini, di antaranya
adalah,
إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِى مَنْ هُوَ
مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. [QS.
Ghafir/ 40: 28].
قُتِلَ اْلخَرَّاصُوْنَ
Terkutuklah
orang-orang yang banyak berdusta. [QS adz-Dzariyat/ 51: 10].
وَيْلٌ لِّكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ
Kecelakaan
besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa. [QS
al-Jatsiyah/ 45: 7].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat ancaman keras
bagi orang yang suka berbuat dosa dan dusta”. [2]
Ayat-ayat di
atas menjelaskan sebahagian dari keburukan dan bahaya perbuatan dusta, yakni
tidak mendapatkan petunjuk (hidayah), mendapatkan laknat dan kecelakaan yang
besar pada hari kiamat. Namun sangat disayangkan, larangan ini hanya sebatas
wacana dan teori karena banyak di antara manusia bahkan kaum musliminnya yang
masih melakukannya.
Oleh sebab itu sebagai muslim, hendaklah kita tidak boleh menuduh dengan paksa saudara kita lainnya dari
mengerjakan atau tidak sesuatu perbuatan, mencecarnya dengan pertanyaan yang
memancing, apalagi mengancamnya dengan ancaman yang menyusahkan. Semuanya itu akan mengakibatkannya berdusta
supaya ia terlepas dari tuduhan tersebut. Maka jatuhlah ia ke dalam perangkap
setan akibat perbuatan kita dan jadilah kita sebagai pembantu bagi setan di
dalam menjerumuskan manusia ke dalam kubangan dosa.
عن أبى هريرة قال: قَال النَّبِيُّ صلى الله عليه و
سلم: لاَ تَكُوْنُوْا عَوْنَ الشَّيْطَانِ عَلىَ أَخِيْكُمْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadi penolong bagi setan (untuk menggelincirkan)nya”.
[HR al-Bukhoriy: 6781, 6777. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]
Terkadang seseorang itu berdusta lantaran jika berkata
jujur, ia akan dimarahi, dicerca dan dimusuhi oleh orang lain. Maka akhirnya ia
lebih memilih dusta daripada jujur. Oleh sebab itu kita harus belajar
mengapresiasi orang jujur itu dengan memaafkan dan menerima kejujurannya.
Bahkan jika kejujuran itu dilakukan oleh anak kita, sebaiknya kita memuji
kejujurannya itu, menunjukkan rasa sayang dan cinta kepadanya dan beberapa
bentuk apresiasi lainnya supaya kejujurannya melekat di dalam hatinya bahkan
kian bertambah baik.
Banyak perilaku dusta dalam kehidupan manusia, apakah
kepada orang tua atau anaknya, suami atau istrinya, para kerabat atau
shahabatnya, tetangga dekat atau jauhnya, teman kantor atau berniaganya dan
sebagainya.
Misalnya,
ditanyakan kepada seorang pedagang, “Pak, saya mau beli tissue!”. Ia berkata,
“Maaf de, tissuenya sudah habis”. (Padahal di warung itu tidak pernah dijual
tissue). Atau ada tawar menawar antara penjual/ pedagang dan pembeli, lalu si
pedagang berkata, “Maaf bu, saya rugi kalau dijual segitu (misalnya Rp.
15.000,-) karena modalnya saja lebih dari segitu”. (Padahal ia masih untung,
karena modalnya cuma Rp. 12.000,-). Atau ketika ada seorang pegawai terlambat
masuk kantor, ia berkata kepada atasannya, “Maaf pak saya terlambat, karena
jalanan macet sekali”. (Padahal ia terlambat bangun tidur karena malamnya
begadang nonton pertandingan sepak bola di televisi). Atau seorang anak yang
ketika ditanyakan kepadanya oleh orang tuanya, “Anakku sayang, apakah engkau
sudah sholat?”. Ia menjawab, “Sudah ummi”. (Padahal ia belum mengerjakannya
karena disibukkan bermain games), dan lain sebagainya.
Begitu pula dalam ghibah, ada begitu banyak dusta
di dalamnya. Seringkali orang yang meng-ghibah itu jika ditanyakan kepadanya
tentang objek ghibahnya, misalnya, “Apakah kamu melihat dengan mata kepala
sendiri, bahwa si Fulan itu melakukan ini dan itu?. Atau apakah kamu mendengar
dengan telingamu sendiri bahwa si Fulan itu mengucapkan begini dan begitu?”.
Maka dengan serta merta ia menjawab, “Ya, aku melihat dengan mataku sendiri.
Benar aku mendengar sendiri ia mengatakan ini dan itu”. Padahal ia tidak pernah
melihat dan mendengarnya secara langsung, namun ia mendengar aib dan cela si
Fulan itu dari si Anu dan si Anu. Maka terjatuhlah ia ke dalam dusta yang hina,
ia mendengar aib si Fulan lalu menyebarluaskannya kepada khalayak ramai tanpa
ada usaha bertabayyun (atau konfirmasi) dan tiada keinginan menyampaikan
nasihat agar si Fulan tersebut kembali kepada jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sudah terjerumus dosa tertimbun kenistaan pula.
Menyebarkan aib seorang muslim adalah merupakan perbuatan dosa yang dilarang
oleh agama. Apalagi jika bercampur dengan kedustaan maka kehinaan dan kenistaan
di sisi Allah Azza wa Jalla kelak akan menantinya.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: كَفَى بِاْلمـَرْءِ
كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Dari
Abu Hurairah radliyallahu
anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, “Cukuplah
seseorang melakukan dusta (di dalam satu riwayat; dosa) bahwa ia menceritakan
seluruh apa yang ia dengar”. [HR
Muslim: 5, Abu Dawud: 4992 dan al-Hakim: 389, 390. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: shahih]. [4]
Berkata
asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat teguran keras dari
berbicara dengan semua apa yang di dengar dari manusia. Sebab menurut
kebiasaan, ia mendengar perkataan itu tentu ada yang benar dan ada juga yang
dusta. Jika ia berbicara dengan semua yang ia dengar maka sungguh-sungguh ia
telah berdusta lantaran memberitakan sesuatu yang belum ada (terjadi)”. [5]
عن عبد
الله قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:وَ إِيَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَإِنَّ اْلكَذِبَ
يَهْدِى إِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ إِنَّ اْلفُجُوْرَ يَهْدِى إِلىَ النَّارِ وَ مَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَ يَتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ
كَذَّابًا
Dari
Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu anhu
berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Waspadalah kalian terhadap dusta,
karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kemaksiatan dan kemaksiatan itu
menyeret ke neraka. Sesungguhnya seseorang itu biasa berdusta dan
memantaskannya hingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta”. [HR Muslim: 2607, al-Bukhoriy: 6094,
Abu Dawud: 4989 at-Turmudziy: 1971, Ibnu Majah: 3849, ad-Darimiy: II/ 299-300
dan Ahmad: I/ 3, 5, 7, 8, 9, 11, 384, 405, 433. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih].[6]
Berkata
asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat dorongan untuk jujur
(berbuat benar) karena kejujuran itu penyebab segala kebaikan. Waspada dari
kedustaan dan bermudah-mudahan di dalamnya, sebab kedustaan itu merupakan
penyebab bagi segala keburukan. Barangsiapa yang membiasakan jujur (berkata
benar) maka akan hal itu akan menjadi karakter baginya. Dan barangsiapa yang
bertujuan dusta maka kedustaan itu akan menjadi akhlak baginya”. [7]
Berkata
asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah, “Dusta itu termasuk dari
perkara-perkara yang diharamkan, bahkan sebahagian ulama berpendapat, “Bahwasanya
dusta itu termasuk dari kaba’ir (dosa-dosa besar)”, sebab Rosul Shallallahu
alaihi wa sallam telah
mengancamnya bahwa ia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta”. [8]
Maka
jika seorang muslim membiasakan dusta dalam kehidupannya, maka kedustaan itu
akan menghela dan menyeretnya keberbagai perbuatan maksiat lainnya, misalnya
ghibah, buhtan, namimah dan selainnya. Dan tiada yang dihasilkan dan dipetik
dari kemaksiatan selain dari neraka, dan neraka adalah seburuk-buruknya tempat
kembali.
Bahkan
jika ada orang yang sudah terbiasa berdusta dan menganggap perbuatan dusta itu
adalah sesuatu yang layak baginya, maka tercatatlah ia di sisi Rabbnya Subhanahu
wa ta’ala sebagai seorang pendusta. Jika ia
telah dikenal sebagai seorang yang kerapkali berdusta, boleh jadi di sisi
manusiapun setiap kata atau rangkaian kalimat yang keluar dari mulutnya itu
menjadi sesuatu yang meragukan, apakah ucapan ini termasuk yang benar atau yang
salah. Sebagaimana di dalam dalil berikut,
عن أبي
الحوراء السعدي قَالَ: قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ: مَا حَفِظْتَ مِنْ
رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم ؟ قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و
سلم: دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلىَ
مَا لاَ يَرِيْبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَ إِنَّ اْلكَذِبَ رِيْبَةٌ
Dari
Abu al-Haura as-Sa’diy berkata, Aku bertanya kepada Hasan bin Ali radliyallahu
anhu, “Apakah yang engkau hafal dari
Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam ?”.
Ia berkata, “Aku telah menghafal dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah apa yang
meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran itu
adalah ketenangan sedangkan dusta itu adalah keraguan”. [HR at-Turmudziy: 2518, Ibnu Hibban,
Ahmad: I/ 200 dan al-Hakim: 7128 dan an-Nasa’iy: VIII/ 327-328 tanpa kalimat akhir.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [9]
Berkata
asy-Syaikh Utsaimin rahimahullah, “Adapun dusta maka Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwasanya ia adalah keraguan. Oleh sebab itu engkau akan dapati
orang pertama yang ragu di dalam kedustaan adalah dirinya sendiri. Ia ragu-ragu
apakah orang-orang akan membenarkannya atau tidak.
Oleh sebab itu engkau akan jumpai orang yang
berdusta itu apabila memberitakan suatu khabar ia berdiri untuk bersumpah
dengan nama Allah bahwasanya ia benar, agar tidak ada yang ragu di dalam
khabarnya tersebut padahal ia sendiri berada dalam keraguan.
Engkau
akan temui kaum munafikin misalnya, mereka bersumpah dengan nama Allah terhadap
apa yang mereka katakan tetapi mereka sendiri di dalam keraguan, Allah Subhanahu
wa ta’ala telah berfirman,
يَحْلِفُونَ بِاللهِ مَا قَالُوا وَ لَقَدْ
قَالُوا كَلِمَةَ اْلكُفْرِ وَ كَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَ هَمُّوا بِمَـا
لَمْ يَنَالُوا
Mereka (orang-orang
munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan
(sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan
kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka
tidak dapat mencapainya. [QS. Al-Bara’ah/ 9: 74].
Maka kedustaan itu
tidak diragukan lagi merupakan keraguan dan kerisauan bagi manusia. Ia
ragu-ragu terhadap orang apakah mereka tahu dengan kedustaannya atau tidak.
Senantiasa ia di dalam keraguan dan kebimbangan.
Jika demikian kita
ambil pelajaran dari hadits ini, bahwasanya wajib bagi manusia untuk
meninggalkan dusta menuju kepada kejujuran. Sebab dusta itu adalah keraguan
sedangkan kejujuran adalah ketenangan. Sungguh Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam telah bersabda, “Tinggalkan
apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”. Wallahu
al-Muwaffiq. [10]
Apalagi
kedustaan itu merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda kemunafikan. Bila
dusta itu singgah ke dalam kehidupan seorang muslim, maka itu berarti ia telah
memiliki satu bahagian dari kemunafikan, tinggal ia menyempurnakan sisanya agar
menjadi seorang munafik tulen. Sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam di
dalam nash berikut ini,
عن أبي
هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و
سلم قَالَ: آيَةُ اْلمـُنَافِقِ
ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَ إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
[زاد فى رواية لمسلم: وَ إِنْ صَامَ وَ صَلَّى وَ زَعَمَ أَنَّهُ
مُسْلِمٌ]
Dari
Abu Hurairah radliyallahu
anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam
bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; dusta apabila berbicara,
ingkar jika berjanji dan berkhianat bila diberi amanah. (Ada tambahan di
dalam riwayat Muslim, walaupun ia shaum dan sholat dan ia menyangka bahwa
ia adalah seorang muslim)”. [HR
al-Bukhoriy: 33, 2682, 2749, 6095, Muslim: 59 dan an-Nasa’iy: VIII/ 117.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [11]
Berkata
asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah,
“Teranggap
cukup dengan tanda-tanda ini. Karena memperingatkan yang selainnya menunjukkan
kerusakan apa yang selainnya itu. Sebab dasar agama itu dibatasi oleh tiga hal,
yakni; perkataan, perbuatan dan niat. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan rusaknya ucapan
dengan dusta, rusaknya perbuatan dengan khianat dan rusaknya niat dengan
penyelisihian.
Barangsiapa
yang terhimpun sifat-sifat ini di dalam dirinya, maka ia berada di dalam
kemunafikan yang pengakuan Islamnya itu tidaklah berguna baginya”. [12]
عن عبد
الله ابن عمرو أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ
مُنَافِقًا خَالِصًا وَ مَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ
خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتىَّ يَدَعَهَا: إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ وَ إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ وَ إِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَ إِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Dari
Ibnu Amr radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam
bersabda, “Ada empat perkara, yang barangsiapa keempat perkara itu ada di dalam
diri seseorang maka dia adalah seorang munafik yang sejati. Namun jika hanya
ada satu perkara padanya maka hanya ada satu cabang dari kemunafikan sampai ia
meninggalkannya, yaitu berkhianat apabila diberi amanah, berdusta jika
berbicara, melanggar janji bila berjanji dan menyimpang apabila berbantahan”. [HR al-Bukhoriy: 34, 2459, 3178,
Muslim: 58, Abu Dawud: 4688, at-Turmudziy: 2632, an-Nasa’iy: VIII/ 116 dan
Ahmad: II/ 189, 198, 526. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [13]
Hadits
di atas dengan jelas menerangkan bahwasanya dusta dikala berbicara itu
merupakan salah satu dari sifat kemunafikan yang mesti dijauhi oleh setiap
muslim. Apalagi hanya sekedar untuk meng-ghibah, mengapa harus berbohong pula?.
Berarti jika ada yang berbuat seperti itu ia telah menghimpun dua keburukan di
dalam dirinya, yaitu ghibah dan dusta.
Disamping
itu, keburukan dusta lainnya adalah pelakunya akan mendapatkan siksa kubur yang
mengerikan lagi menakutkan. Yakni jika
ia berangkat dari rumahnya lalu mengatakan suatu perkataan dusta kemudian
kedustaan itu menyebar ke berbagai pelosok bumi maka ia akan mendapatkan
hukumannya di alam kubur. Yakni ia disiksa di dalamnya dalam keadaan
dirobek-robek mulut sampai tengkuknya, lubang hidung sampai tengkuknya dan mata
sampai tengkuknya. Ketika sudah hancur, maka siksaan itu akan beralih kepada
sisi lainnya dan sisi yang hancur itu akan kembali seperti sediakala untuk
kembali mendapatkan siksaan. Ma’adzallah.
عن سمرة بن جندب رضي
الله عنه قال: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم قال -منها- : فَانْطَلَقْنَا
فَأَتَيْنَا عَلىَ رَجُلٍ مُسْتَلْقٍ لِقَفَاهُ وَإِذَا آخَرُ قَائِمٌ عَلَيْهِ
بِكَلُّوْبٍ مِنْ حَدِيْدٍ وَ إِذْ هُوَ
يَأْتىِ أَحَدَ شِقَّيْ وَجْهِهِ فَيُشَرْشِرُ شِدْقَهُ إِلىَ قَفَاهُ وَ
مَنْخِرَهُ إِلىَ قَفَاهُ وَ عَيْنَهُ إِلىَ قَفَاهُ ثُمَّ يَتَحَوَّلُ إِلىَ اْلجَانِبِ اْلأَخَرِ
فَيُفْعَلُ بِهِ مَا فَعَلَ بِالْجَانِبِ اَلأَوَّلِ فَمَا يَفْرَغُ مِنْ ذَلِكَ
اْلجَانِبِ حَتىَّ يَصِحَّ ذَلِكَ اْلجَانِبُ كَمَا كَانَ ثُمَّ يَعُوْدُ عَلَيْهِ
فَيُفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلَ فىِ اْلمـَرَّةِ اْلأُوْلىَ قَالَ: قُلْتُ سُبْحَانَ
اللهِ مَا هَذَانِ؟-- فَجَاء البيان فىِ آخِرِ اْلحَدِيْثِ: وَ أَمَّا الرَّجُلُ
الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يُشَرْشَرُ شِدْقُهُ إِلىَ قَفَاهُ وَ مَنْخِرُهُ إِلىَ
قَفَاهُ وَ عَيْنُهُ إِلىَ قَفَاهُ فَإِنَّهُ الرَّجُلُ يَغْدُوْ مِنْ بَيْتِهِ
فَيَكْذِبُ اْلكَذِبَةَ تَبْلُغُ اْلآفَاقَ
Dari Samurah
bin Jundab radliyallahu anhu berkata, Adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bercerita, -diantaranya-, “Lalu kamipun
berangkat, kemudian mendatangi seseorang yang sedang berbaring telentang, dan
ada seseorang lain yang berdiri yang padanya ada tombak (yang melengkung
ujungnya) dari besi. Tiba-tiba orang yang berdiri itu mendatangi salah satu
sisi wajahnya lalu menusuk (untuk merobek) dari mulutnya sampai tengkuknya,
lubang hidung sampai tengkuknya dan mata sampai tengkuknya. Kemudian ia
berpindah ke sisi yang lainnya, lalu diperbuat sebagaimana yang dilakukan
terhadap sisi yang pertama. Tidaklah ia selesai dari sisi tersebut sehingga
sisi (yang dirobek) tersebut telah kembali sehat sebagaimana semula. Kemudian
ia kembali kepadanya lalu diperbuat kepadanya seperti yang telah dilakukan pada
kali yang pertama. Beliau bersabda, lalu aku berkata, “Subhanallah, siapakah
mereka itu?”. –(Kemudian datang penjelasannya di akhir hadits), “Adapun orang
yang kamu datangi dalam keadaaan dirobek-robek mulut sampai tengkuknya, lubang
hidung sampai tengkuknya dan mata sampai tengkuknya, maka ia adalah seseorang
yang berangkat dari rumahnya lalu ia berdusta dengan suatu kedustaan yang
sampai kepelosok bumi”. [HR al-Bukhoriy: 7047 dan Ahmad: V/ 8-9. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]
Contoh
kedustaan lainnya, misalnya seorang ayah atau ibu memanggil salah seorang anaknya
untuk diberikan sesuatu kepadanya. Maka jika si ibu atau ayah tersebut tidak
memberikan apa yang dijanjikannya itu maka itu juga dikategorikan dengan dusta.
Hal ini sebagaimana telah diingatkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam kepada ibunya Abdullah bin Amir di dalam dalil berikut,
عن عبد
الله بن عامر بن ربيعة أَنَّهُ قَالَ: دَعَتْنِى أَمِّى يَوْمًا وَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه و سلم قَاعِدٌ فِى بَيْتِنَا فَقَالَتْ : هَا تَعَالْ
أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه و سلم: وَ مَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيَهُ؟ قَالَتْ: أُعْطِيَهُ
تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَمَا إِنَّكِ لَوْ
لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
Dari
Abudllah bin Amir (bin Rabi’ah), bahwasanya ia berkata, “Suatu hari ibuku
pernah memanggilku sedangkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedang
duduk di rumahku”. Ibuku berkata, “Hei, kemarilah, aku ingin memberikan
(sesuatu) kepadamu!”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya
kepadanya, “Apakah benar engkau ingin memberikan (sesuatu) kepadanya?”. Ibuku
menjawab, “Ya, aku ingin memberikan kurma kepadanya”. Maka Rosulullah
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Seandainya engkau tidak
memberikan sesuatu kepadanya, maka dicatatlah satu kedustaan padamu”. [HR Abu
Dawud: 4991, Ahmad: III/ 447 dan al-Baihaqiy: 4822. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan]. [15]
Atau
seorang istri yang berpura-pura merasa puas terhadap pemberian suaminya kepada
istri suaminya yang lain (madunya). Ia berkata, “Suami kita telah banyak
memberikan kenikmatan kepadaku”. (Padahal ia tidak mendapatkan sedikitpun dari
apa yang disebutkannya itu). Ia katakan hal itu hanyalah semata-mata supaya
madunya itu cemburu dan mengetahui bahwa suami mereka itu sangat sayang dan
cinta kepadanya. Ini juga merupakan kedustaan yang tercela lagi terlarang.
عن
أسماء بنت أبى بكر: أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِى
جَارَةً تَعنى ضَرَّةً هَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ إِنْ تَشَبَّعْتُ لَهَا بِمَا لَمْ
يُعْطِ زَوْجِى قَالَ: اْلمـُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَي
زُوْرٍ
Dari
Asma binti Abu Bakar, bahwasanya ada seorang wanita berkata, “Wahai Rosulullah,
sesungguhnya aku mempunyai madu (istri lain suaminya), apakah aku
berdosa jika aku berpura-pura kenyang (puas) kepadanya dengan sesuatu yang
tidak pernah diberikan oleh suamiku?”. Beliau bersabda, “Orang yang
berpura-pura puas dengan apa yang tidak pernah diberikan kepadanya itu laksana
orang yang mengenakan dua pakaian kebohongan”. [HR Abu Dawud: 4997, al-Bukhoriy:
5219, Muslim: 2130, Ahmad: VI/ 345, 346, 353 dan al-Baihaqiy: 4823. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[16]
Berkata
asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dusta orang yang
berpura-pura puas itu (dosanya) berlipat ganda, karena ia berdusta atas dirinya
dengan sesuatu yang tidak pernah ia peroleh dan dusta atas selainnya dengan
sesuatu yang tidak pernah diberikan”. [17]
Atau seseorang yang bercerita kepada
orang lain, bahwasanya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, berjihad melawan orang-orang kafir, sholat di masjid al-Haram atau
an-Nabawiy dan selainnya. Padahal ia tidak pernah memimpikan hal tersebut
sedikitpun. Hal ini diutarakan hanyalah supaya orang lain kagum kepadanya
karena ia mimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau
mengerjakan sholat di tempat yang mulia. Atau ia mengaku bermimpi bertemu
dengan orang yang dijumpainya itu, padahal ia tidak memimpikannya sekejappun.
Hal ini dilakukan hanyalah untuk membuat orang yang dijumpainya itu senang kepadanya.
Ini Juga merupakan suatu kedustaan dan memasukkannya ke dalam dosa besar.
عن ابن عباس رضي
الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ
كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيْرَتَيْنِ وَ لَنْ يَفْعَلَ
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermimpi dengan suatu mimpi yang
tidak pernah ia mimpikan, maka akan dibebankan baginya untuk mengikat antara
dua biji gandum dan ia tidak akan mungkin dapat melakukannya”. [HR al-Bukhoriy:
7042, Abu Dawud: 5024, at-Turmudziy: 1751, ad-Darimiy: II/ 298, Ahmad: I/ 216,
246, 359. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [18]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy
hafizhohullah, “Diharamkannya dusta di dalam mimpi dan terdapat penjelasan
bahwa hal ini termasuk dari dosa-dosa besar lantaran ia berdusta kepada Allah.
Sedangkan berdusta di waktu terjaga adalah dusta kepada para makhluk”. [19]
Atau yang banyak dilakukan pada masa
sekarang ini, adalah banyak diantara manusia yang berusaha menghibur dan
membuat orang lain tertawa. Tetapi cara yang dilakukannya adalah dengan cara
berdusta, mengarang-ngarang cerita tanpa makna, bersikap tidak sopan kepada
orang yang lebih tua, menyakiti phisik dan psikis lawan mainnya dan sebagainya.
Ini juga termasuk dusta yang mencelakakan.
عن
معاوية بن بهز قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ:
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ اْلقَوْمَ وَيْلٌ لَهَ
وَيْلٌ لَهَ
Dari
Muawiyah bin Bahz berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu ia berdusta supaya
orang-orang tertawa karenanya. Celakalah ia, celakalah ia”. [HR Abu Dawud: 4990,
at-Turmudziy: 2315, Ahmad: V/ 2, 5, 7 dan al-Hakim: 149. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan]. [20]
Demikian
beberapa contoh dari dusta yang dilarang oleh agama dengan dalil-dalil alqur’an
dan hadits-hadits shahih agar kita dapat menjauhinya. Semoga bermanfaat bagi
kita semuanya.
Namun
ada juga dusta yang diperbolehkan oleh agama karena beberapa perkara. Hal ini
telah disebutkan oleh al-Imam Nawawiy di dalam kitabnya Riyadl ash-Shalihin di
dalam bab bayaan maa yajuuzu min al-kadzib sebagai berikut,
Berkata
al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Ketahuilah, bahwa dusta itu meskipun hukum
asalnya diharamkan tetapi boleh dilakukan pada beberapa keadaan dengan beberapa
persyaratan yang telah saya jelaskan di dalam kitab al-Adzkar.[21] Ringkasnya,
bahwa ucapan merupakan perantara untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang
dapat dicapai dengan tanpa berdusta maka diharamkan mengerjakan dusta. Namun
apabila tidak dapat diraih kecuali dengan cara berdusta maka boleh melakukan
dusta. Kemudian jika tujuan yang akan dicapai hukumnya mubah maka dusta di sini
juga hukumnya mubah dan apabila tujuan yang akan diraih itu hukumnya wajib maka
hukum berdusta di sini juga berhukum wajib. Apabila seorang Muslim bersembunyi
dari kejaran seseorang zholim yang ingin membunuhnya atau ingin mengambil
hartanya, lantas orang zholim tersebut bertanya kepada seseorang tentang muslim
tersebut (dimana ia bersembunyi) maka orang itu wajib menyembunyikannya. Demikian
juga seandainya ia dititipi suatu barang titipan lalu ada seorang zholim yang
ingin mengambilnya maka ia wajib berdusta untuk menyembunyikannya. Namun yang
terbaik dalam masalah ini adalah dengan menggunakan tauriyah.
Tauriyah adalah menggunakan suatu kalimat yang disamarkan maksudnya dengan
tujuan yang benar dan tidak dikatakan dusta jika dipahami menurut si pembicara.
Walaupun secara konteks bahasanya seakan-akan berdusta jika dinilai dari apa
yang dipahami oleh orang yang diajak berbicara. Jika ia tidak menggunakan
tauriyah, tetapi menggunakan kalimat yang jelas kedustaannya maka dalam kondisi
seperti ini hukumnya tidaklah haram”. [22]
Para
Ulama yang membolehkan dusta pada kondisi seperti ini berdalil dengan hadits
Ummu Kultsum radliyallahu anha berikut ini,
عن
أم كلثوم رضي الله عنها أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم
يَقُوْلُ: لَيْسَ اْلكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِى خَيْرًا
أَوْ يَقُوْلُ خَيْرًا
Dari Ummu Kultsum (binti Uqbah) radliyallahu anha, bahwasanya
ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
disebut pendusta orang yang mendamaikan perselisihan di antara manusia,
kemudian ia menceritakan kebaikan atau mengatakan sesuatu hal yang baik”. [HR
al-Bukhoriy: 2692, Muslim: 2605, Abu Dawud: 4921 dan at-Turmudziy: 1939.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]
قَالَتْ أُمُّ كُلْثُوْمٍ: وَ لَمْ
أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِى شَيْءٍ مِمَّا
يَقُوْلُ النَّاسُ إِلَّا فِى ثَلَاثٍ: تَعْنِى اْلحَرْبَ وَ اْلإِصْلَاحَ بَيْنَ
النَّاسِ وَ حَدِيْثَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَ حَدِيْثَ اْلمـَرْأَةِ زَوْجَهَا
Dari
Ummu Kultsum berkata, “Aku tidak pernah mendengar Beliau memberikan dispensasi
(keringanan) dusta dalam pembicaraan kecuali pada tiga hal, yaitu untuk mendamaikan
manusia, perbincangan seorang suami dengan istrinya dan perbincangan seorang
istri dengan suaminya”. [HR al-Bukhoriy, Muslim: 2605 dan Ahmad: VI/ 404]. [24]
عن
أسماء بنت يزيد عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا يَصْلُحُ
اْلكَذِبُ إِلَّا فِى ثَلَاثٍ كَذِبُ الرَّجُلِ مَعَ امْرَأَتِهِ لِتَرْضَى عَنْهُ
أَوْ كَذِبٌ فِى اْلحَرْبِ فَإِنَّ اْلحَرْبَ خِدْعَةٌ أَوْ كَذِبٌ فِى إِصْلَاحٍ
بَيْنَ النَّاسِ
Dari
Asma binti Yazid dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
diperbolehkan berdusta kecuali di dalam tiga hal, yaitu dustanya seorang lelaki
kepada istrinya supaya ia ridlo kepadanya, dusta di dalam peperangan karena
perang itu adalah tipu daya dan dusta di dalam mendamaikan di antara manusia
(yang berselisih)”. [HR Ahmad: VI/ 459, 461 dan at-Turmudziy: 1939. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [25]
Berdasarkan
dalil-dalil hadits di atas, dipahami bahwa dusta itu dibolehkan dengan beberapa
tujuan diantaranya;
1.
Untuk mendamaikan manusia. Misalnya ada dua orang yang
sedang berselisih dan bermusuhan. Lalu ada orang yang berusaha untuk
mendamaikannya dengan mendatangi keduanya. Ia berkata kepada si fulan A, “Wahai
saudaraku, si fulan B menyampaikan salam untukmu dan meminta maaf atas
kesalahan-kesalahannya kepadamu dan ia berpesan maukah engkau bertemu dengannya
untuk berdamai?”. Kemudian ia datang kepada si fulan B dan berkata sebagaimana
yang dikatakan kepada si fulan A. (Padahal keduanya tidak pernah mengatakan
sesuatu apapun kepada si pendamai). Jadi si pendamai ini berbohong untuk kemashlahatan
dan perdamaian keduanya. Maka ini tidak dikatakan dusta.
2.
Dusta di dalam peperangan karena perang itu adalah
tipu daya. Misalnya, seorang prajurit tertangkap musuh dan di interogasi oleh
musuh tersebut. Ditanyakan, “Berapakah jumlah pasukanmu dan siapakah komandan
perangmu?”. Ia menjawab, “Pasukanku berjumlah 120.000 orang pasukan dan
komandan perangku adalah si Fulan”. (Padahal jumlahnya tidaklah seperti yang
diucapkannya dan komandannya juga buka seperti yang dikatakannya). Hal ini
dilakukan untuk tipu daya dan mengelabui musuh. Sebab jika musuh mengetahui
jumlah pasukan, jenis persenjataannya dan tempat-tempatnya maka pasukan
tersebut akan dengan mudah dikalahkan. Dan jika musuh sudah mengetahui komandan
pasukannya maka musuh itu akan mengincar untuk membunuhnya yang akan
mengakibatkan pasukannya nanti tercerai berai dan morat-marit. Maka inipun
bukan dikatakan dusta.
3.
Dusta yang dibutuhkan di dalam perbincangan seorang
suami dengan istrinya atau perbincangan seorang istri dengan suaminya. Misalnya,
dalam suatu perjalanan salah seorang pasangan tersebut diucapkan salam dan
disapa oleh seseorang. Pasangan tersebut biasanya saling bertanya, “Siapakah
ia?”. Jika ia berkata jujur, “Ia adalah orang yang pernah melamarku atau orang
yang pernah aku lamar atau bekas kekasihku di masa jahiliyah”. Maka ucapan itu
terkadang akan menimbulkan kecemburuan, perselisihan dan ketidak-harmonisan.
Maka iapun menjawab, “Ia adalah temanku di masa jahiliyah atau hanya sekedar
orang yang pernah aku kenal”. (Padahal tidak seperti itu). Maka ini adalah
ucapan yang baik, bijak dan bukan juga dusta yang tercela. Wallahu a’lam.
Namun yang terbaik dari semua itu adalah jika kita menggunakan tauriyah. Tauriyah adalah menggunakan suatu
kalimat yang disamarkan maksudnya dengan tujuan yang benar dan tidak dikatakan
dusta jika dipahami menurut si pembicara. Walaupun secara konteks bahasanya
seakan-akan berdusta jika dinilai dari apa yang dipahami oleh orang yang diajak
berbicara.
Misalnya,
ketika kita sedang duduk tiba-tiba datanglah seseorang dengan tergesa-gesa
dengan wajah penuh rasa takut. Ia berpesan kepada kita, jika nanti ada orang
yang mencarinya hendaknya kita tidak memberitahukan keberadaan dan keadaannya.
Tidak beberapa lama kemudian, orang yang mencarinya itu datang dengan rasa
marah dan kesal dan bertanya kepada kita tentang seseorang. Kemudian kita
berdiri dan mengatakan, “Selama saya berdiri di sini, saya tidak melihat
orang yang engkau maksud”. (Sebab kalau kita beritahu keberadaannya, nanti akan
menimbulkan perselisihan, pertengkaran dan bahkan perkelahian). Maka kita
pergunakan tauriyah, dengan kalimat “Selama saya berdiri”, kita melihatnya di
waktu duduk dan tidak melihatnya di waktu berdiri. Ini kalimat tauriyah yang
jelas bukan kedustaan.
Atau
ada di antara anak kita yang merengek-rengek minta dibelikan sesuatu benda yang
tidak berguna baginya dan berharga cukup mahal. Maka kita katakan, “Wahai
anakku sayang, sekarang ummi tidak memegang uang cukup untuk
membelinya”. Kita menggunakan tauriyah, “Ummi tidak memegang uang”, padahal di
dompet atau kartu simpanan, uang kita ada cukup banyak. Jadi kita beri
pengertian kita tidak memegang bukan tidak mempunyai. Hal ini
kita lakukan supaya anak kita mengerti dan tidak memaksa membeli suatu benda
yang tidak bermanfaat baginya.
Atau
seorang lelaki yang ingin membantu saudara muslimnya yang sedang tertimpa
mushibah, namun istrinya tidak menyukai orang tersebut. Maka ketika lelaki
tersebut hendak meminta uang kepada istrinya ia berkata, “Wahai istriku sayang,
ada shahabatku sedang tertimpa mushibah dan aku ingin membantunya.
Berikan sedikit hak orang itu untuk diberi bantuan rizki”. Ia tidak menyebutkan
nama orang yang terkena mushibah tersebut, tetapi hanya mengatakan shahabatku.
Sebab jika istrinya tahu siapa yang dibantu maka ia pasti akan enggan untuk membantu
orang yang tertimpa mushibah itu. Dan masih banyak lagi contohnya.
Demikian
sedikit penjelasan tentang dusta, larangannya dan akibat buruk yang ditimbulkan
olehnya. Bahwa dusta itu hukumnya adalah haram dan dilarang oleh Allah
Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan termasuk
dari dosa-dosa besar. Namun ada juga dusta yang diperbolehkan karena beberapa
sebab untuk tujuan mashlahat pula, meskipun sebaiknya kita menggunakan tauriyah.
Mudah-mudahan
penjelasan tentang dusta ini dapat bermanfaat bagiku, keluargaku, kerabat dan
shahabatku dan kaum muslimin seluruhnya.
Wallahu
a’lam bi ash-Showab.
[1]
Bahjah an-Nazhirin: III/ 64.
[2]
Aysar at-Tafasir: V/ 26.
[3]
Shahiih al-Jaami’ ash-Shagiir: 7442 dan Misykaah al-Mashoobiih: 3621.
[4] Shahih Sunan Abi
Dawud: 4177, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4482, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 2025 dan Misykah al-Mashobih: 156.
[5] Bahjah
an-Nazhirin: III/ 71.
[6] Mukhtashor Shahih
Muslim: 1809, Shahih Sunan Abi Dawud: 4174, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1606,
Shahih Sunan Ibni Majah: 3104, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4071dan al-Adab:
388.
[9] Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2045, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5269, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
3378 dan Irwa’ al-Ghalil: 2074.
[11] Mukhtasor Shahih
al-Imam al-Bukhoriy: 24, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4648 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 16.
[12] Bahjah
an-Nazhirin: I/ 289.
[13] Mukhtashor Shahih
al-Imam al-Bukhoriy: 25, Mukhtashor Shahih Muslim: 26, Shahih Sunan Abi Dawud:
3922, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2122, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4647 dan Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 889, 890.
[14]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3462 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 577.
[15]
Shahih Sunan Abi Dawud: 4176, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 748 dan Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 1319.
[16] Mukhtashor
Shahih Muslim: 1387, Shahih Sunan Abi Dawud: 4179 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 6675.
[17]
Bahjah an-Nazhirin: III/ 72.
[18]
Shahih Sunan Abi Dawud: 4202, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1432, al-Jami’
ash-Shaghir: 6028 dan Ghoyah al-Maram: 120, 422.
[19]
Bahjah an-Nazhirin: III/ 65.
[20]
Shahih Sunan Abi Dawud: 4175, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7136, Misykah
al-Amshobih: 4838 dan Ghoyah al-Maram: 376.
[21]
Nail al-Awthar bi takhrij Ahadits Kitab al-Adzkar: II/ 801-802 oleh asy-Syaikh
Salim bin Ied al-Hilaliy, Dar Ibnu Hazm.
[22]
Bahjah an-Nazhirin: II/ 69-70 oleh asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy, Dar Ibn
al-Jauziy.
[23]
Mukhtashor Shahih Muslim: 1810, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1583, Shahih Sunan
Abi Dawud: 4113, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: II/ 75 (545) dan Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 5379.
[24]
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 545.
[25]
Shahih Sunan at-Turmudziy: 1582, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah:
II/ 76-77 dan Shahih al-Jami ash-Shaghir: 7723.