السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Rabu, 10 Oktober 2012

SEBAIKNYA ANDA TAHU 3 (B) !!!...


بسم الله الرحمن الرحيم
B). HAWA NAFSU.
     
 Penyebab lain terjadinya penolakan dan penyimpangan terhadap kebenaran alqur’an dan al-Hadits adalah disebabkan hawa nafsu. Telah banyak kisah di dalam alqur’an maupun hadits, tentang kesesatan, kerusakan dan dibinasakannya umat terdahulu lantaran mereka berbuat durhaka kepada Allah Azza wa Jalla dan para Rosul-Nya Sholawatullahi ‘alaihim wa salamuhu. Misalnya berupa, membuat sembahan-sembahan selain Allah, mendustakan para Rosul bahkan membunuh sebahagian mereka, memakan harta yang diperoleh dengan cara batil, membunuh jiwa yang diharamkan Allah ta’ala, melakukan perbuatan zina dan liwath (homo seksual), dan lain sebagainya. Yang semua kedurhakaan atau kemaksiatan tersebut tumbuh dan berkembangnya adalah akibat hawa nafsu yang bercokol di dalam dirinya bahkan telah mencemari dan meracuninya. Misalnya beberapa ayat berikut ini, 

إِنْ هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوْهَا أَنْتُمْ وَ ءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلُ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَّتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ مَا تَهْوَى اْلأَنْفُسُ وَ لَقَدْ جَاءَ هُمْ مِّنْ رَّبِّهِمُ الْهُدَى
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-adakan namanya, Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. [QS. an-Najm/53: 23].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Ada penjelasan bahwasanya kaum musyrikin itu di setiap waktu dan tempat tidaklah di dalam beribadah kepada selain Allah melainkan hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka”. [1]
 
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Bahwasanya barangsiapa yang menyelisihi Rosul, maka mestilah ia mengikuti zhonn (sangkaan-sangkaan) dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu. Sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman tentang kaum musyrikin yang menyembah Lata dan Uzza, ((Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. QS. an-Najm/53: 23))”. [2]
 
Perhatikan bagaimana telah disinggung dalam ayat tersebut di atas bahwasanya kaum musyrikin itu ketika mereka beribadah kepada berhala-berhala yang mereka buat sendiri dengan tangan mereka lalu mereka namakan bersama bapak-bapak mereka dengan nama-nama yang sesuai dengan keinginan mereka. Bahwasanya mereka ketika itu hanyalah mengikuti persangkaan dan hawa nafsu. Karena tidak ada satupun keterangan dari Allah Jalla dzikruhu dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membolehkan dibuatnya patung berhala, memberikan nama dan apalagi kemudian menyembahnya.

لَقَدْ أَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِى إِسْرَائِيْلَ وَأَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ رُسُلاً كُلَّمَا جَاءَ هُمْ رَسُـوْلٌ بِمَا  لاَ تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيْقًا كَذَّبُوْا وَ فَرِيْقًا يَقْتُلُوْنَ 

Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan Kami telah mengutus para Rosul kepada mereka. Tetapi setiap kali datang kepada mereka seorang Rosul yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, maka sebahagian para Rosul itu mereka dustakan dan sebahagian yang lain mereka bunuh. [QS. al-Ma’idah/5: 70]. 
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala menyebutkan bahwasanya Dia telah mengambil perjanjian dan janji atas Bani Israil untuk mendengar dan taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Lalu mereka melanggar janji dan perjanjian (yang mereka buat) dan mengikuti ro’yu-ro’yu dan hawa-hawa nafsu mereka dan mendahulukannya atas syariat. Maka apa yang menyesuaikan mereka darinya maka mereka menerimanya dan apa yang menyelisihi mereka maka mereka menolaknya.[3]
 
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Senantiasa siyak (hubungan kalimat) yang mulia di dalam pembicaraan mengenai ahli kitab, maka sungguh-sungguh Allah ta’ala telah bersumpah bahwanya Dia telah mengambil perjanjian Bani Israil dan yang demikian itu di dalam kitab Taurat yaitu agar mereka mengibadahi Allah saja sesuai dengan apa yang disyariatkan kepada mereka, lalu mereka mentaati-Nya di dalam perintah dan larangan-Nya, dan mengutus kepada mereka beberapa orang Rosul secara berturut-turut. Setiap kali datang kepada mereka seorang Rosul dengan apa yang tidak mencocoki hawa nafsu mereka maka merekapun mendustakannya pada apa yang ia telah datang dan menyeru mereka atau (bahkan) mereka membunuhnya. Dan mereka menyangka bahwasanya mereka tidak akan dihukum dengan dosa-dosa mereka tersebut, lalu mereka buta dari kebenaran dan tuli dari mendengarkan nashihat, lalu Rabb mereka menimpakan bala (siksaan) kepada mereka dan memberi kekuasaan atas mereka orang yang akan menimpakan kepada mereka seburuk-buruknya adzab.[4]
 
Ayat di ataspun memberikan pemahaman kepada setiap orang yang mempunyai hati dan mengarahkan pendengaran, bahwasanya Bani Israil itu mendustakan setiap Rosul yang Allah utus kepada mereka dan bahkan mereka membunuhnya lantaran hawa nafsu yang telah mengendap di dalam jiwa mereka. Jika sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka maka merekapun menerimanya tetapi jika tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka maka merekapun bergegas untuk menolaknya dengan cara mendustakan Rosul tersebut dan ada pula yang mereka bunuh.  

Di samping itu, akan dijumpai pula beberapa dalil yang menerangkan kesesatan orang yang mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah Subhanahu meskipun ia bermaksud beribadah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dengannya. Di antaranya adalah sebagai berikut,

وَ اتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِى ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَ اتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِئـَايَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ 

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang Kami telah berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian ia melepaskan diri darinya, lalu ia diikuti oleh Syaitan maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan jikalau Kami kehendaki, niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi ia lebih condong kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka perumpamaannya adalah seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia akan menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya maka iapun tetap menjulurkan lidahnya. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. [QS. al-A’raf/7: 175-176].

يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً فِى اْلأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَ لاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ بِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ 

Wahai Dawud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan hukum di antara manusia dengan benar (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan adzab yang keras karena mereka telah melupakan hari perhitungan [QS. Shad/38: 26].

وَ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ 

Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zholim. [QS. al-Qoshosh/28: 50].

Ayat-ayat di atas menggambarkan kesesatan orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan meninggalkan dan menanggalkan ilmu atau petunjuk yang diberikan kepadanya. Ia tidak mau terikat dan terkurung di dalam ilmunya tersebut maka ia berusaha melepaskan dirinya dari ikatan, belitan dan belenggu ilmu yang selama ini memenjarakan dan mengekang kebebasan hawa nafsunya. Hal ini akan tampak jelas dari amal-amalnya yang senantiasa menyelisihi ilmu yang telah dimilikinya. Ilmu yang semestinya bermanfaat membimbing orang yang memilikinya kepada petunjuk Allah ta’ala, membentengi dirinya dari gangguan atau bisikan setan yang durjana dan bahkan menyelamatkannya dari kesesatan, tidaklah nampak manfaatnya jika kecondongannya kepada kehidupan dunia lebih berkuasa dan hawa nafsu lebih diikuti dan diperturutkan. Oleh sebab itu orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik atau orang-orang yang mengerjakan segala macam perbuatan maksiat setelah didatangkan hujjah yang nyata kepada mereka berupa alqur`an dan hadits yang shahih lalu mereka tetap di dalam mengerjakannya, mereka disebut sebagai ahlu al-Ahwaa’ (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu). Maka pantaslah jikalah Allah ta`ala telah mengabadikan di dalam alqur’an yang mulia ini bahwasanya tiada lagi orang yang lebih sesat dibandingkan dari orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Ma’adzallah.

Begitupula seseorang yang memiliki kelebihan ilmu dan kekuasaan diperintahkan di dalam menetapkan hukum di antara manusia  dengan cara yang benar yaitu adil dan sesuai dengan syariat dan keridloan Allah ta’ala dan dilarang menurutkan hawa nafsu. Karena menurutkan hawa nafsu itu dapat menggelincirkan dirinya kepada kesesatan dan menjauhkan dirinya dari kebenaran. Sedangkan orang-orang yang berada di dalam kesesatan itu dijanjikan mendapatkan adzab yang sangat keras pada hari kiamat. Hal ini sebagaimana telah diwasiatkan kepada Nabi Dawud ‘Alaihi as-Salam yang telah dianugrahkan kepadanya ilmu dan kekuasaan, juga yang telah diingatkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ قَاضِيَانِ فِى النَّارِ وَ قَاضٍ فِى الْجَنَّةِ قَاضٍ قَضَى بِالْهَوَى فَهُوَ فِى النَّارِ وَقَاضٍ قَضَى بِغَيْرِ عِلْمٍ فَهُوَ فِى النَّارِ وَ قَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ فَهُوَ فِى الْجَنَّةِ  
    
Dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Qodli (Hakim) itu ada tiga, dua qodli di dalam neraka dan satu qodli di dalam surga. Qodli yang memutuskan (perkara) dengan hawa nafsu maka ia di dalam neraka, qodli yang memutuskan (perkara) dengan tanpa ilmu maka ia di dalam neraka dan qodli yang memutuskan (perkara) dengan kebenaran maka ia di dalam surga”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[5]
 
Namun sangat disesalkan banyak manusia terjatuh ke dalam lembah kesesatan lantaran hawa nafsunya sehingga ia menafikan dan menolak dalil-dalil yang telah nyata kebenaran dan keabsahannya. Dan bahkan ada di antara mereka yang mempertuhankan hawa nafsunya atau ia memperbudak dirinya kepada hawa nafsunya untuk kesenangan yang sementara kemudian Allah ta’ala akan membiarkannya sesat yang ia tidak akan mendapat petunjuk lagi selama-lamanya. Sebagaimana telah diungkapkan di dalam ayat berikut ini,

 أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَ أَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَ خَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَ قَلْبِهِ وَ جَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِهِ مِنْ بَعْدِ اللّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ 

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya (sesembahannya) dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. Dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah lagi yang akan memberikan petunjuk kepadanya sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran. [QS. al-Jatsiyah/45: 23].

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Kemudian Allah Jalla wa ‘Ala berfirman, “((Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya)) yaitu; ia hanyalah mengikuti perintah dengan hawa nafsunya. Apabila hawa nafsunya memandangnya baik maka ia mengerjakannya, dan jika hawa nafsunya memandangnya buruk maka ia meninggalkannya”.[6]
 
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Tercelanya hawa nafsu dan perintah berhati-hati dari mengikutinya, karena kadang-kadang hawa nafsu itu membawa seorang hamba untuk meninggalkan mengikuti petunjuk kepada mematuhi hawa nafsu. Maka jadilah hawa nafsunya itu menjadi sesembahannya, bukan Allah ta’ala pelindungnya”.[7]
 
Jika Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabadikan ayat ini maka akan selalu ada di muka bumi ini orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsunya atau mereka mau diperbudak oleh hawa nafsu mereka. Hal tersebut sangat kentara di dalam sikapnya sehari-hari, yaitu jika hawa nafsu condong untuk mengatakan sesuatu maka iapun bergegas mengatakannya, bila hawa nafsu cenderung melakukan suatu perbuatan maka iapun segera melakukannya dan seandainya hawa nafsu tertarik kepada suatu keyakinan maka iapun dengan cepat berusaha meyakininya. Lalu dengan sebab itulah Allah ta’ala mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan pada penglihatannya, maka siapakah lagi yang dapat memberi hidayah kepadanya jikalau Allah ta’ala sendiri telah menyesatkannya dan membiarkannya sesat?. Binasalah orang yang telah disesatkan dan dibiarkan sesat oleh Allah Jalla wa ‘Ala lantaran mengikuti dan mempertuhankan hawa nafsunya. Maka jika demikian sebanyak apapun nashihat dan teguran, sesering apapun ia aktif di dalam majlis pengajian yang membahas ilmu-ilmu akhirat, sehebat apapun ulama yang memberi nashihat dan memberi pengajaran kepadanya tidak akan bermanfaat sedikitpun baginya, sebagaimana telah dituangkan di dalam dalil berikut ini,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوْا الصَّلاَةَ وَ اتَّبَعُوْا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّـا 

Maka datanglah sesudah mereka suatu pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan sholat dan mengikuti syahwat (atau hawa nafsu), maka kelak mereka akan menjumpai kesesatan. [QS. Maryam/19: 59].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Tercelanya generasi jelek, yaitu orang yang menyia-nyiakan sholat dan mengikuti hawa nafsu. (2) Ancaman yang keras bagi orang yang tenggelam di dalam syahwat dan meninggalkan sholat lalu ia mati di atas yang demikian itu”.[8]
 
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ حَتَّى إِذَا خَرَجُوْا مِنْ عِنْدِكَ قَالُوْا لِلَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ مَاذَا قَالَ آنِفًا أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ وَ اتَّبَعُوْا أَهْوَاءَ هُمْ 

Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga ketika mereka telah keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang-orang yang telah diberi ilmu (maksudnya para shahabat); Apakah yang dikatakannya tadi?. Mereka itulah orang-orang yang telah dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. [QS. Muhammad/47: 16].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman, ((Mereka itu)) yaitu orang-orang yang binasa di dalam keburukan dan kemunafikan yang telah dikunci mati hati mereka oleh Allah yaitu dengan sebab kekafiran dan kemunafikan. Dan hal tersebut karena mereka telah banyak melumuri dengan kotoran kekafiran dan kemunafikan sehingga yang demikian itu menutupi hati mereka, maka hal tersebut menjadi penutup dan pengunci mati atas hati mereka dan (di samping itu) mereka juga mengikuti hawa nafsu. Maka kedua-duanya adalah merupakan penyebab (illat), yang pertama menjadi pengunci mati yang menahan dari mencari hidayah (atau petunjuk) dan yang kedua adalah mengikuti hawa nafsu dan mengikuti hawa nafsu itu membuat buta dan tuli (yaitu dari petunjuk). Oleh sebab itulah mereka tidak mendapat petunjuk.[9]
 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُـوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ  فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ فَشَحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ وَ أَمَّا الْمُنْجِيَاتُ فَالْعَدْلُ فِى الْغَضَبِ وَ الرِّضَا وَ الْقَصْدُ فِى الْفَقْرِ وَ الْغِنَى وَخَشْيَةُ اللهِ  تَعَالَى فِي السِّرِّ وَ الْعَلاَنِيَةِ 
 
Dari Ibnu ‘Umar bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga yang membinasakan dan tiga yang menyelamatkan. Adapun tiga yang membinasakan adalah kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan kagumnya seseorang dengan dirinya (‘ujub). Dan tiga yang menyelamatkan adalah adil di waktu marah dan ridlo (senang), sederhana di waktu fakir dan kaya dan takut kepada Allah ta’aala di waktu sembunyi dan terang-terangan”. [HR ath-Thabraniy dan selainnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Maka hadits ini dengan sekumpulan jalannya adalah Hasan atas yang paling ringan derajatnya, insya’ Allah].[10]
 
Mengambil pelajaran dari dalil di atas maka sikap mengikuti hawa nafsu di dalam setiap tindakan itu dapat menjerumuskan ke dalam kesesatan yang tiada bertepi. Hawa nafsu hanyalah akan membawa pemiliknya kepada perkataan, perbuatan dan keyakinan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, sehingga setiap kali seseorang mengikuti hawa nafsunya maka semakin jauhlah ia dari kebenaran yang hakiki dan akhirnya ia tenggelam di dalam kesesatan. Karena hawa nafsu tersebut telah membutakan matanya dari kebenaran yang hadir di depan pelupuk matanya, menyumbat dan memekakkan telinganya padahal kebenaran itu terdengar amat jelas di gendang telinganya dan menutup dan mengunci mati hatinya sedangkan kebenaran tersebut telah menyentuh relung hatinya. Maka pantaslah jika mengikuti hawa nafsu itu termasuk salah satu yang membinasakan, karena hawa nafsu itu mempunyai kecenderungan untuk menyuruh kepada perbuatan jahat kecuali orang yang diberikan rahmat oleh Allah Jalla dzikruhu, sebagaimana disebutkan di dalam ayat berikut, 

وَ مَا أُبَرِّئُ نَفْسِى إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّى إِنَّ رَبِّى غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

Dan aku tidak dapat melepaskan diriku (dari hawa nafsu), sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Yusuf/12: 53].

Bahkan, Allah Tabaroka wa ta’ala bukan sekedar melarang seseorang mengikuti hawa nafsunya tetapi juga telah melarang mengikuti hawa nafsu orang yang tidak berilmu atau hawa nafsu orang yang telah jelas kesesatannya dan mengajak kepada kesesatan, karena hal itupun akan mengakibatkan kebinasaan. Perintah dan larangan Allah Subhaanahu wa ta’ala sangat tegas kepada Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mesti dipatuhi pula oleh seluruh umatnya, yaitu mesti mengikuti syariat yang telah Allah taala turunkan kepada Rosul-Nya dan tidak mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tiada berilmu.

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَ لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ 

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan agama, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu). [QS. al-Jatsiyah/45: 18].

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوْا فِىدِيْنِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوْا مِنْ  قَبْلُ  وَ  أَضّلُّوْا  كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ 

Katakanlah! Wahai Ahli kitab janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam agama kalian dengan cara tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan dari manusia dan mereka telah sesat dari jalan yang lurus. [QS. al-Ma’idah/5: 77].

إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أكَادُ أُخْفِيْهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى فَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِهَا وَ اتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى 

Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktu kedatangannya) agar tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dihalang-halangi dari (mengimani)nya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi binasa. [QS. Thoha/20: 15-16].

Memperhatikan beberapa ayat di atas dan ayat lain yang semakna, jelaslah bagi setiap orang yang mencari jalan lurus lagi tiada menyimpang bahwa mengikuti hawa nafsunya atau hawa nafsu orang lain itu adalah dilarang dan diharamkan oleh Allah Subhanahu wa taala. Karena hawa nafsu itu sebagaimana telah disebutkan mempunyai kecondongan membawa manusia kepada perbuatan jahat berupa menimbulkan keraguan, menumbuhkan ketidakpuasan, memunculkan kebencian dan pada akhirnya melahirkan penolakan dan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah ataupun hadits-hadits Nabi yang telah tsabit, kecuali yang telah diberi rahmat oleh Allah taala yaitu hawa nafsu yang berada pada orang yang telah mendapat rahmat dari Allah Jalla wa Ala. Sebab sebenarnya hawa nafsu itu juga mempunyai manfaat yang besar bagi setiap orang yang memilikinya, yaitu bagaimana mungkin seseorang itu punya keinginan makan, minum, memiliki keturunan dan lain sebagainya jika tidak mempunyai hawa nafsu. Maka hanya orang yang mendapatkan rahmat dari Allah taala saja yang dapat memetik manfaat dari hawa nafsunya dengan memperoleh pahala yang baik, sehingga seorang lelaki yang menunaikan syahwat kepada istrinyapun mendapatkan pahala sedekah, sebagaimana telah tsabit di dalam hadits.[11] Dan orang-orang yang mendapatkan rahmat itu hanyalah orang-orang yang beriman di antara yaitu yang memiliki sikap mendengar dan patuh kepada Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah mempunyai pilihan yang lain dari apa yang telah ditetapkan oleh keduanya dan selalu bersiap sedia menerima perintah ataupun larangan yang diberikan oleh keduanya.[12] Dan semua kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah tertuang di dalam alqur’an yang mulia dan hadits-hadits Nabi yang telah tsabit.

Dan termasuk hawa nafsu adalah keinginan mencapai ketinggian kedudukan di muka bumi, menggapai jenjang pendidikan yang tertinggi, meraih karir yang tak tertandingi, menimbun harta benda yang tak terkira, memikat dan mengikat pasangan lawan jenis yang terelok dan terhormat, dan lain sebagainya. Maka untuk memburu ambisi tersebut berapa banyak di antara manusia bahkan tak sedikit yang mengaku-ngaku beriman yang menjadikan alqur’an ataupun hadits itu sesuatu yang diabaikan, bahkan mereka meletakkan keduanya di belakang punggung mereka agar tak terlihat, atau yang lebih buruk lagi adalah menjadikan alqur’an dan hadits itu sebagai sarana untuk meraih ambisi tersebut. Karena mereka beranggapan bahwa kedua nara sumber tersebut hanyalah sebagai pengganjal, penghambat dan perusak ambisi mereka. Mereka lebih memilih bercerai dengan alqur’an dan hadits dari pada berpisah dengan ambisi dan angan-angan mereka yang belum teraih, maka dengan sebab inilah akhirnya mereka kelak akan digiring oleh alqur’an pada hari kiamat ke dalam neraka Jahannam. Ma’adzallah. Sebagaimana telah diterangkan di dalam hadits di bawah ini,

عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم قَالَ: الْقُرْءَانُ شَافِعٌ مُشَفَّعٌ وَ مَاهِلٌ مُصَدَّقٌ مَنْ جَعَلَهُ أَمَامَهُ قَادَهُ إِلَى الْجَنَّةِ وَ مَنْ جَعَلَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ سَاقَهُ إِلَى النَّارِ

Dari Jabir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alqur’an itu adalah pemberi syafaat dan yang diterima syafaatnya dan pembela yang dibenarkan. Barangsiapa yang menjadikannya di hadapannya maka ia akan menuntunnya ke dalam surga, dan barangsiapa yang menjadikannya di belakang punggungnya maka ia akan menggiringnya ke dalam neraka”. [HR Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]
 
Untuk memenuhi semua ambisi hawa nafsu tersebut, di dalam usaha meraih kilauan dan kenikmatan dunia ini tak sedikit dijumpai orang yang memiliki sifat mementingkan diri sendiri (egois), tidak mau diremehkan dan direndahkan orang lain (gengsi), memayah-mayahkan diri di dalam mencarinya, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya. 

Dengan sifat dan sikap mementingkan diri sendiri ini, seseorang tidak akan peduli dengan kesusahan dan penderitaan orang lain apalagi ikut merasakannya bahkan ia kadang-kadang senang dan puas dengan kesusahan dan penderitaan orang lain, ia tidak dapat menjadi bahagian tubuh yang jika sakit sebahagiannya maka bahagian yang ikut merasakan sakitnya sebagaimana telah diisyaratkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits.[14] Ia tidak lagi memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada sesamanya bahkan ia cenderung curiga dan waswas kepada orang yang mendekatinya dan mendekati orang yang dekat dengannya, jika ia mencintai dan menyayangi seseorang hanyalah yang dapat menguntungkan dirinya dan ia akan membenci dan memusuhi seseorang yang hanya menimbulkan kerugian pada dirinya, ia tidak akan mencintai dan membenci seseorang itu karena Allah Jalla dzikruhu.[15] Ia tidak mungkin mempunyai keinginan berkorban untuk selainnya apalagi lebih mengutamakannya bahkan ia akan mengorbankan orang lain untuk kepentingannya, bilapun berkorban tentu jika mendatangkan keuntungan kepadanya atau ia akan berkorban jika dalam keadaan terpaksa.[16] Ia tidak akan mau bersama-sama orang lain berbagi rasa di dalam mengecap kenikmatan dan kebahagiaan bahkan ia akan sempit dan sesak dadanya lantaran iri dan dengki kepada orang lain yang mendapatkannya tetapi ia akan senang dan gembira jika orang tersebut mendapatkan kesusahan dan kesengsaraan.[17] Ia tidak akan mengakui dirinya jika bersalah akan tetapi ia akan mencari kesalahan orang lain untuk dipersalahkan, apalagi untuk mengakui kebenaran orang lain, jika pada akhirnya ia mengakui kesalahan dirinya itupun setelah tidak ada alasan baginya untuk membela dirinya dan gaya bicaranyapun senantiasa bertele-tele dan membawa-bawa orang lain untuk dipersalahkan,[18] dan lain sebagainya. 

Dengan sifat dan sikap tidak mau diremehkan dan direndahkan orang lain, seseorang akan merasa hina jika ada orang lain yang lebih tinggi kedudukkannya dan lebih mulia darinya.[19] Ia tidak mau menerima nashihat dan teguran orang lain yang lebih rendah kedudukkannya kendatipun nashihat dan teguran itu benar dan berfaidah karena ia telah ujub dengan dirinya sendiri, tetapi ia gemar memberi nashihat dan menegur orang lain, jika hal tersebut dapat menambah mulia kedudukkannya. Ia mengintai dan mencari kesalahan atau aib orang lain yang dianggap memiliki kedudukan lalu ia menyebarluaskannya atau ikut membantu menyebarluaskannya agar orang tersebut menjadi lebih rendah darinya. Enggan mengerjakan suatu perbuatan, mengatakan suatu perkataan dan meyakini suatu keyakinan  meskipun  dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dengan perbuatan, perkataan dan keyakinan tersebut ia dipandang remeh dan hina oleh orang lain tetapi ia sangat antusias mengerjakan suatu perbuatan, mengatakan suatu perkataan dan meyakini suatu keyakinan walaupun tidak dianjurkan bahkan dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam asalkan perbuatan, perkataan dan keyakinan tersebut dapat mendongkrak dan menaikkan kedudukannya pada sisi orang lain. Ia memaksakan dirinya tampil meyakinkan dan mengagumkan di depan orang lain dengan cara memfasih-fasihkan ucapan yang ia tidak mengerti, meletakkan gelar-gelar kebanggaan di antara namanya yang ia miliki ataupun yang tidak ia miliki, memoles-moles penampilan wajah yang kurang menarik, perlente dalam pakaian yang ia kenakan padahal kondisinya tidak layak dan tidak memungkinkan. Ia mengaku-ngaku berkerabat atau berteman dengan orang lain yang mempunyai kedudukan tinggi dunia, padahal ia kurang mengenalnya bahkan tidak mengenalnya. Ia akan mudah tersinggung dan meledak dadanya, jika ia melihat orang-orang berkerumun membicarakan sesuatu dengan suara perlahan atau berbisik padahal mereka tidak sedang membicarakan dirinya atau melihat orang yang membuang ludah di hadapannya atau ada orang yang tidak menyapanya. Ia menyimpan dendam dan kebencian kepada setiap orang yang menyelisihinya, kadangkala Allah ta’ala dengan cara-Nya sendiri menampakkan dendam dan kebencian orang tersebut di hadapan manusia melalui mulut dan amalnya, apalagi yang tersimpan di dalam dada tentu lebih besar lagi, dan lain sebagainya. 

Dengan sifat dan sikap memayah-mayahkan diri di dalam mencari kehidupan dunia,[20] seseorang itu akan asyik tenggelam dalam kehidupan sehari-harinya menekuni dan menjalani rutinitasnya di dalam mencari, mengumpulkan dan menimbun harta benda dunia tanpa peduli kepada kehidupan akhiratnya. Ia menghabiskan sisa-sisa usianya dengan menggeluti dan menelateni segala sesuatu dalam rangka menggapai segala macam keinginan hawa nafsunya terhadap dunia, dengan mengorbankan diri dan keluarganya sehingga ia dan keluarganya tersebut buta, tuli dan jauh dari pengaruh dan perlindungan agama, tak terlintas di dalam benaknya sedikitpun usaha untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari kobaran api neraka sebagaimana diperintahkan oleh agama sehingga iapun bisu dan gagu dari membicarakan masalah agama dan kehidupan akhirat dan bahkan “tidak nyambung” jika diajak berbicara mengenai hal tersebut dan juga bersikap tidak senang dan tanggap terhadap ajaran islam ini beserta para pengamal dan pendakwahnya. Ia letihkan jasadnya menempuh perjalanan yang terkadang dipenuhi kemacetan, kebisingan dan kesusahan dan ia lumatkan jasadnya tersebut duduk sepanjang hari menekuni pekerjaannya tanpa terasa, tak terbetik secuilpun di dalam dirinya usaha untuk memanfaatkan dan memayahkan jasadnya di jalan Allah. Tak segan-segan ia merunduk memperhinakan dirinya atau mengagung-agungkan dan mengagul-agulkan orang lain yang diharapkan dengannya dapat teraih ambisinya tersebut dengan cara memuji, menyanjung dan menjilat, dan lain sebagainya. 

Dengan sifat dan sikap menghalalkan segala cara, seseorang itu akan mampu melakukan tindakan diluar batas kewajarannya sebagai manusia yang terdidik dan beradab. Tak jarang dijumpai ada seorang anak durhaka bahkan sampai melukai dan membunuh orang tuanya karena ingin memiliki kendaraan atau orang tuanya tersebut menjadi penghalang baginya di dalam memenuhi ambisinya tersebut. Juga akan didapati ada banyak orang menebarkan segala macam bentuk kejahatan untuk meraih dan merasakan kenikmatan dunia yang fana tanpa mempertimbangkan akibatnya di dunia dan akhirat. Bahkan tak sedikit dijumpai di antara para dai’, ulama, syaikh ataupun ustadz yang melakukan perbuatan menyembunyikan atau memanipulasi ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi, atau mengada-ngadakan dalil yang dibuat untuk membenarkan dan mendukung tindak perbuatannya. Sehingga dengan demikian setiap orang menjadi terkecoh, lalu mereka kagum, mengidolakan dan mengkultuskannya, maka terpenuhilah ambisinya untuk dimuliakan orang atau mengumpulkan dan menimbun harta benda. Ada pula di antara mereka yang membuat-buat kedustaan terhadap seseorang  yang berada di atas manhaj salaf yang berdiri sebagai penegak kebenaran dan pengganyang kebatilan, lalu lantaran tidak sepemahaman dengannya iapun menghembuskan fitnah dan menebarkan sumpah serapah kepada orang tersebut di hadapan para pemerhati dan pendengarnya agar mereka terhanyut dan termakan oleh ucapannya yang berbau busuk tersebut, kemudian karena hasutan tersebut terlintas di dalam diri mereka terhadap orang yang berada di atas manhaj salaf tersebut sangkaan buruk dan timbullah pula rasa benci pada diri mereka dan pada akhirnya mereka berpaling darinya, dan lain sebagainya.
Jauh sudah tuntunan dan bimbingan Allah Jalla dzikruhu dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mereka jika demikian. Semuanya itu timbul karena hawa nafsu yang telah mempengaruhi dan menguasai diri mereka, sehingga akhirnya suka ataupun tidak suka dan sadar ataupun tidak, hawa nafsu tersebut telah menjadi ilah (sesembahan) bagi diri mereka. Maka disinilah salah satu letak terjadinya penolakan, pengingkaran dan kebencian kepada petunjuk yang telah diturunkan kepada umat manusia melalui Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ayat-ayat suci alqur’an dan hadits-hadits yang telah tsabit dari Nabi. Maka renungkanlah.
Termasuk hawa nafsu adalah rasa tidak enak dan sungkan kepada orang lain baik orang dekat maupun orang jauh di dalam mengamalkan dan mendakwahkan dalam bentuk menyampaikan ataupun menegur salah satu atau bahkan seluruh yang telah disyariatkan oleh Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa rikuh dan malu di dalam melaksanakan syariat tersebut karena sorotan orang lain terhadap dirinya,  dan rasa khawatir dan takut dari celaan, penolakan dan gangguan orang lain akibat perbuatannya tersebut dan lain sebagainya yang bukan di sini pembahasannya jika dikupas secara luas. Padahal semua sikap dan keadaan tersebut dapat mengakibatkan seseorang tidak memiliki sifat dan sikap istiqomah (bersikap teguh) di dalam menerapkan sebahagian atau seluruh apa yang telah dipahaminya dari kebenaran alqur’an dan hadits-hadits Nabi yang shahih dan bahkan menyimpang dan menyimpangkannya dari keduanya.
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ  وَ لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ هُمْ 
Maka karena itu, serulah (mereka kepada agama itu) dan istiqomahlah (teguhkanlah) dirimu sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. [QS. asy-Syura/42: 15].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((Maka istiqomahlah dirimu sebagaimana diperintahkan kepadamu)) yaitu dan istiqomahlah engkau bersama orang yang mengikutimu di dalam beribadah kepada Allah taala sebagaimana Allah Azza wa Jalla memerintah kalian. Dan firman-Nya taala, ((Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka)) yaitu kaum musyrikin terhadap apa-apa yang mereka berselisih padanya, mendustakannya dan mengada-ngadakan (kedustaan) terhadapnya dari menyembah berhala-berhala”. [21]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairiy hafizhohullah, “(1) Wajibnya berdakwah kepada Islam di antara umat-umat di dunia karena tidak ada keselamatan bagi manusia kecuali dengan Islam. (2) Diharamkan mengikuti hawa nafsu ahli al-Ahwa (yaitu orang-orang yang selalu memperturutkan hawa nafsu mereka), mengadakan perjalanan bersama mereka dan menyepakati mereka di dalam kebatilan mereka. (3) Wajibnya istiqomah di atas Islam berupa akidah, ibadah, hukum ketetapan, adab dan akhlak”.[22]
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُـوْلُ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم: أَقِيْمُوْا حُدُوْدَ اللَّهِ فِى الْقَرِيْبِ وَ الْبَعِيْدِ وَ لاَ تَأْخُذْكُمْ فِى اللَّهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ
Dari Ubadah bin ash-Shomit berkata: telah bersabda Rosulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, “Tegakkan had-had (hukum-hukum) Allah pada orang dekat dan orang jauh, dan janganlah celaan orang yang mencela itu mencegah kalian pada Allah”. [HR Ibnu Majah: 2540 dan Ahmad: V/ 314, 316, 326, 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[23]
Sedangkan di antara lafazh al-Imam Ahmad (V/ 316, 326), “Dan jihadilah manusia pada Allah Tabaroka wa ta’ala di orang dekat dan jauh dan janganlah kalian pedulikan celaan orang yang mencela pada Allah”.
Demikian itulah gambaran dari syariat yang memberi penekanan kepada setiap orang yang ingin meniti jejak Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mau dan mampu menegakkan hukum syariat apa adanya tanpa melihat bayangan hawa nafsunya yang selalu menyertainya atau hawa nafsu orang lain yang selalu siap menyergapnya dan kemudian berlaku istiqomah sampai akhir hayatnya. Karena meniti jejak Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam menegakkan hukum syariat tersebut jelas lebih aman dan selamat dari bias-bias hawa nafsu berdasarkan jaminan yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam hujjah di bawah ini,
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى عَلَّمَهُ شَدِيْدُ الْقُوَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya, yang diajarkan kepadanya oleh (Malaikat Jibril) yang sangat kuat. [QS. an-Najm/53: 3-5].
Berkomentar asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Diakuinya kenabian bagi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menetapkannya dengan sesuatu yang tidak ada ruangan bagi keraguan dan perdebatan padanya. (2) Membersihkan Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari (tuduhan) berkata dengan dasar hawa nafsu dan (menjernihkan dakwaan) timbulnya sesuatu dari perbuatan dan perkataannya dari sebab mengikuti hawa nafsu”.[24]
Maka untuk dapat istikomah di jalan Allah dalam bentuk mengamalkan ayat-ayat Allah Ta’ala dan hadits-hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih, hendaknya seorang muslim selain dari menundukkan logikanya dengan keimanan ia juga harus berusaha untuk mengendalikan hawa nafsunya dari mengejar dunia. Ia harus memahami bahwa harta yang selama ini dikumpulkannya, tahta yang diraihnya, kemuliaan yang diperolehnya, wanita yang dinikahinya dan anak-anak yang dihasilkannya, semuanya itu akan ia tinggalkan atau meninggalkan dirinya. Ia akan tinggal sendirian di dalam liang kuburnya dalam keadaan gelap gulita lalu tubuhnya akan dimakan belatung, ulat dan serangga tanah lainnya.
Begitupun jika seorang muslim ingin memahami agamanya dengan benar maka ia harus menyingkirkan peran logika dan partisipasi hawa nafsu di dalamnya. Sebab sejelas apapun ayat-ayat Allah ta’ala di dalam alqur’an dan seterang apapun sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits, jika logika dan hawa nafsu ikut andil apalagi menjadi pengendali di dalamnya maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesesatan dan penyesatan pada dirinya. Ia wajib mendahulukan keimanan dan ketundukkan di dalam memahami keduanya dengan pemahaman para ulama salafush shalih yang memang ahli dalam bidangnya. (Bersambung ke Sebaiknya anda tahu 3 c).
Wallahu a’lam bi ash-Showab..



[1] Aysar at-Tafasir: V/ 193.
[2] Majmu’ Fatawa: XIII/ 66-67.
[3] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 100.
[4] Aysar at-Tafasir: I/ 656-657.
[5] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4298, 4447 dan Irwa’ al-Ghalil: VIII/ 236.
[6] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 183.
[7] Aysar at-Tafasir: V/ 35.
[8] Aysar at-Tafasir: III/ 321.
[9] Aysar at-Tafasir: V/ 81.
[10] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1802, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3045 dan Misykah al-Mashobih: 5122. Adapun riwayat tersebut adalah dari sekumpulan para Shahabat yaitu Anas, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Abi Awfa’ dan Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhum sebagaimana di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 412-416.
[11] HR Muslim: 1006, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad halaman 52 dan Ahmad: V/ 154, 167, 168, 178. Dari Abu Dzarr, Bahwasanya orang-orang berkata, “Wahai Rosulullah, orang-orang yang mempunyai harta telah pergi membawa pahala, mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka shoum sebagaimana kami shoum dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang kalian dapat bersedekah dengannya. Sesungguhnya tiap-tiap tasbih itu sedekah, tiap-tiap takbir itu sedekah, tiap-tiap tahmid itu sedekah, tiap-tiap tahlil itu sedekah, perintah berbuat ma’ruf itu sedekah, melarang dari perbuatan munkar itu sedekah dan seseorang di antara kalian menggauli istrinya adalah sedekah”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah seseorang di antara kami menunaikan syahwatnya, lalu ia mendapatkan pahala?”. Beliau menjawab, “Bagaimana pandangan kalian jikalau ia meletakkan (maksudnya; menunaikan)nya pada tempat yang haram, apakah ia akan mendapatkan dosa?.  Maka demikian pula jika diletakkan pada tempat yang halal tentulah ia akan mendapatkan pahala”. [Lihat al-Jami’ ash-Shahih: III/ 82, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: VII/ 91-92, Mukhtashor Shahiih Muslim: 545, Shahih al-Adab al-Mufrad: 167, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 454 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2588]. Begitu pula telah tsabit bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan syahwatnya kepada sebahagian istrinya. Dari Abu Kabsyah al-Anmariy berkata, “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah duduk bersama para shahabatnya, lalu Beliau masuk kemudian keluar (kembali) sedangkan Beliau sungguh-sungguh telah mandi (janabat). Lalu kami bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah telah terjadi sesuatu?”. Beliau menjawab, “Ya, Fulanah telah lewat dihadapanku, maka terjadilah di dalam hatiku syahwat terhadap wanita, lalu aku mendatangi sebahagian istri-istriku dan akupun mencampurinya. Maka demikianlah hendaknya kalian berbuat, karena sesungguhnya sebahagian dari amal-amal kalian yang paling  utama adalah mendatangi yang halal”. [HR Ahmad: IV/ 231 dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hadits ini sanadnya adalah hasan insya’ Allah ta’ala. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 235].
[12] Untuk lebih jelasnya, silahkan pelajari QS. al-A’raf/7: 204, QS. al-An’am/6: 155, QS. an-Nur/24: 56, QS. Ali Imran/3: 132, QS. al-Bara’ah/9: 71, QS. an-Nur/24: 51, QS. al-Ahzab/33: 36, dan lain sebagainya.
[13] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2019 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4443.
[14] Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim: 2586, al-Bukhoriy: 6011 dan Ahmad: IV/ 70, 274 dari an-Nu’man bin Basyir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 20, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XVI/ 140, Mukhtashor Shahih Muslim: 1774, Fat-h al-Bariy: X/ 438, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5849 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1083. Lafazhnya adalah, “Perumpamaan kaum mukminin di dalam saling cinta, saling sayang dan saling lemah lembut di antara mereka adalah laksana jasad (tubuh). Jika sakit salah satu anggota tubuh maka yang akan terasa sakit pulalah segenap anggota tubuh dengan sebab begadang (tidak tidur) dan demam”.
[15] Padahal Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang mukmin untuk mencintai (kebaikan bagi) saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan bagi) dirinya, sebagaimana di dalam hadits dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang di antara kalian tidaklah beriman sehingga ia mencintai (kebaikan bagi) saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan bagi) dirinya”. [HR al-Bukhoriy: 13, Muslim:  45, an-Nasa’iy: VIII/ 115, at-Turmudziy: 2515, Ibnu Majah: 66, Ahmad: III/ 177, 207, 275, 278 dan ad-Darimiy: II/ 307. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: I/ 56-57, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 49, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: II/ 16, 17, Mukhtashor Shahih Muslim: 24, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4643, 4644, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2042, Shahih Sunan Ibni Majah: 55, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7583 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 73].
[16]Berbeda yang dilakukan para shahabat dari golongan Muhajirin dan Anshor radliyallahu ‘anhum. Para Shahabat golongan Muhajirin mampu mengorbankan harta, benda dan keluarganya yang mereka tinggalkan di kota Mekkah, sedangkan para Shahabat dari golongan Anshor menerima, mencintai dan membantu keperluan saudaranya yang berhijrah kepada mereka dengan menyerahkan sebahagian harta benda yang mereka miliki dan bahkan mereka lebih mengutamakan saudara mereka ketimbang diri mereka sendiri padahal merekapun dalam kehidupan yang susah. Dan para Shahabat Anshor itu melakukan perbuatan tersebut tanpa pamrih atau tidak memiliki keperluan dari apa yang telah mereka berikan, dan kisah mereka tersebut diabadikan oleh Allah ta’ala di dalam surat al-Hasyr/59 ayat 8 dan 9.  
[17] Sifat ini adalah sifat orang munafik sebagaimana di dalam alqur’an surat al-Baro’ah/9 ayat 50 atau sifat orang kafir dari kalangan Yahudi sebagaimana di dalam surat Ali Imran/3 ayat 120.
[18] Begitulah keadaan kaum munafikin yang tidak dapat melihat kesalahan diri mereka sendiri sehingga ketika Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mengajak mereka beriman agar beliau memohonkan ampun untuk mereka, mereka membuang muka mereka dalam keadaan sombong. sebagaimana dikisahkan keadaan mereka itu di dalam alqur’an, hal itu dikarenakan hati mereka telah tertutup oleh hawa nafsu mereka. Lihat QS. al-Munafiqun/63: 5. Dan juga di dalam hadits, “Ada empat perkara yang jika keempatnya ada di dalam diri seseorang ia adalah seorang munafik tulen, dan barangsiapa ada padanya salah satu dari keempatnya maka telah ada padanya satu bahagian dari kemunafikan sampai ia meninggalkannya: Apabila diberi amanah ia khianat, apabila berbicara ia dusta, apabila berjanji ia ingkar dan apabila bertikai ia fujur (yaitu: mau menang sendiri)”. [HR al-Bukhoriy: 34, 2459, 3178, Muslim: 58, Abu Dawud: 4688, at-Turmudziy: 2632, an-Nasa’iy: VIII/ 116 dan Ahmad: II/ 189, 198 dari Ibnu Amr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fath al-Bariy: I/ 89, V/ 107, VI/ 279, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 14 hadits nomor 25, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 56, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: II/ 46, Mukhtashor Shahih Muslim: 26, Shahih Sunan Abi Dawud: 3922, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2122, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4647 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 889, 890]. Ini berbeda dengan sifat orang beriman yang lekas melihat kesalahannya sendiri baik karena dari dalil-dalil yang telah diketahuinya atau dari teguran dan nashihat orang lain kepadanya, lihat QS. al-A’raf/7: 201.
[19]Padahal Allah ta’ala telah menjadikan kampung akhirat itu untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di muka bumi sebagaimana dituangkan di dalam surat al-Qoshosh/28 ayat 83. Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir, “Allah ta’ala mengkhabarkan bahwasanya kampung akhirat dan kenikmatannya yang abadi yang tidak akan berubah dan hilang itu dijadikan untuk hamba-hamba-Nya yang beriman yang tawadlu’ (rendah hati) lagi tidak menginginkan uluw’ di muka bumi yaitu ketinggian di atas makhluk Allah,  kebesaran atas mereka, sewenang-wenang terhadap mereka dan kerusakan pada mereka. (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: III/ 487). Sufyan bin Uyainah meriwayatkan bahwasanya Ali bin al-Husain sedangkan ia berkendaraan melewati sekelompok orang miskin sedang makan kisr (potongan tulang yang berdaging) mereka, maka ia mengucapkan salam kepada mereka. Lalu mereka mengundangnya kepada makanan mereka, maka iapun mambaca ayat ini ((Kampung akhitrat itu, dan seterusnya. QS. al-Qoshosh/28: 83)), kemudian ia turun (dari kendaraannya) dan makan bersama mereka. (Lihat di dalam hasyiyah/ catatan kaki nomor dua di dalam kitab Aysar at-Tafasir: IV/ 104, ketika asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy mengomentari ayat ini).  
[20] Padahal Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan bergeser kaki anak Adam di sisi Rabbnya sehingga ia ditanya tentang lima perkara; tentang umurnya pada apa ia habiskan, tentang masa muda pada apa ia musnahkan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan dan apa yang ia amalkan pada apa yang ia telah ketahui. [HR at-Turmudziy: 2416 dari Ibnu Mas’ud dan 2417 dari Abu Barzah dan ath-Thabraniy: 747 di dalam al-Mu’jam ash-Shaghiir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1969, 1970, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7299, 7300, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 946 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 122-124.
[21] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV: 133.
[22] Aysar at-Tafasir: IV/ 603.
[23]Shahih Sunan Ibnu Majah: 2058, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1190, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 670, 1942, 1972 dan Misykah al-Mashobih: 3587.
[24]Aysar at-Tafasir: V/ 190.