C). ZHONN (PERSANGKAAN ATAU DUGAAN)
بسم الله الرحمن الرحيم
Setiap mukmin tidak boleh menganggap remeh dan
memandang enteng perihal persangkaan ini, karena iapun termasuk salah satu
biang keladi terjadinya penolakan dan timbulnya kebencian kepada dua nara
sumber umat Islam. Bahkan berbagai macam kemaksiatanpun, salah satu penyebabnya
adalah persangkaan ini juga, misalnya:
perbuatan syirik, bid’ah, makan harta riba dan lain sebagainya. Tak
terkira banyaknya manusia, khususnya kaum muslimin yang mempelajari dan
memahami agama Islam ini dari persangkaan-persangkaan belaka, padahal
persangkaan itu tidak berguna sedikitpun untuk mendapatkan kebenaran,
sebagaimana akan datang penjelasannya.
Telah
berlalu penjelasan bahwasanya terjadi perbuatan syirik berupa dibuatnya
patung-patung yang diberi nama dan kemudian disembah oleh para pembuatnya itu
penyebabnya adalah mengikuti persangkaan dan hawa nafsu, yaitu,
إِنْ
هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوْهَا أَنْتُمْ وَ ءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ مَا تَهْوَى
اْلأَنْفُسُ وَ لَقَدْ جَاءَ هُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
Itu
tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian
mengada-ngadakan namanya, Allah tidak menurunkan sesuatu keteranganpun untuk
menyembahnya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa
yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka, padahal sungguh-sungguh telah datang
petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. [QS. an-Najm/53: 23].
أَلاَ
إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَ مَنْ فِى اْلأَرْضِ وَ مَا يَتَّبِعُ
الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللَّهِ شُرَكَاءَ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ
الظَّنَّ وَ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
Ingatlah,
sesungguhnya kepunyaan Allah yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan
orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu
keyakinan). Mereka tidak mengikuti melainkan persangkaan belaka, dan mereka
hanyalah menduga-duga. [QS. Yunus/10: 66].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy
hafizhohullah, “((Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah,
tidaklah mengikuti (suatu keyakinan)) yaitu sembahan-sembahan yang sebenarnya
yang pantas untuk disembah karena keadaannya yang memiliki manfaat, mudlorot,
mematikan atau menghidupkan. Tidak, tetapi tidaklah mereka di dalam mengibadahi
sembahan-sembahan itu mengikuti melainkan zhonn (persangkaan).[1]
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Kemudian Allah ta’ala mengkhabarkan
bahwasanya Dia memiliki kerajaan langit dan bumi dan bahwasanya kaum musyrikin
itu menyembah berhala-berhala yang tidak memiliki sesuatupun, tidak mempunyai
mudlorot dan tidak pula manfaat. Dan mereka tidak mempunyai dalil di dalam
mengibadahi berhala-berhala itu, tetapi mereka di dalam hal tersebut hanyalah
mengikuti persangkaan, dugaan, kedustaan dan kebohongan mereka”. [2]
Demikian
keadaan kaum musyrikin, mereka membuat patung-patung berhala yang menyerupai
sesuatu atau seseorang sesuai dengan kehendak mereka dengan tangan mereka
sendiri, lalu mereka memberikan nama dengan nama-nama menurut selera mereka
kemudian merekapun menyembahnya dengan penuh ketundukan, padahal
berhala-berhala tersebut tidak memiliki manfaat, mudlorot, menghidupkan,
mematikan dan membangkitkan. Kaum musyrikin itu tidak mempunyai sedikitpun
dalil atau hujjah di dalam perbuatan mereka tersebut, mereka tidaklah mengikuti
melainkan hanyalah persangkaan belaka.
سَيَقُوْلُ
الَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَ لاَ ءَابَاؤُنَا وَ
لاَ حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى
ذَاقُوْا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ
مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوْهُ لَنَا
إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّ تَخْرُصُوْنَ
Orang-orang
yang mempersekutukan Allah (maksudnya: kaum musyrikin) akan berkata: Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan
bapak-bapak kami tidak akan berbuat syirik dan tidak pula mengharamkan
sesuatupun. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka mendustakan (para
Rosul), hatta mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: Adakah kalian memiliki
ilmu hingga kalian dapat mengemukakannya kepada Kami?. Kalian tidaklah
mengikuti melainkan persangkaan belaka dan kalian tidak lain hanyalah
menduga-duga. [QS. an-An’aam/6: 148].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Kalian tidaklah
mengikuti melainkan persangkaan belaka)) yaitu tidaklah kalian mengikuti di
dalam tuduhan-tuduhan kalian yang batil melainkan zhonn (persangkaan)”.[3]
Berkata
al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Apakah kalian memiliki ilmu hingga
kalian dapat mengemukakannya kepada Kami?)). Yaitu apakah ada pada sisi kalian
dalil yang shahih berupa ilmu yang bermanfaat lalu kalian kemukakan kepada Kami
agar Kami dapat melihat kepadanya dan mempelajarinya. Maksudnya di sini adalah
untuk mengalahkan hujjah mereka (atau untuk mencela mereka dengan keras).
Karena telah diketahui bahwasanya tiada ilmu bagi mereka yang benar bagi hujjah
dan tegaknya bukti dengannya. Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka
bahwasanya mereka tidak berada di atas sesuatupun dari ilmu dan mereka hanyalah
mengikuti persangkaan-persangkaan belaka yaitu mereka tidaklah mengikuti
melainkan persangkaan yang merupakan tempat kesalahan dan kejahilan”. [4]
Begitu pula
mereka banyak melakukan perbuatan dosa dan maksiat lantaran persangkaan mereka
bahwasanya Allah ta’ala tidak mengetahui kebanyakan apa yang mereka kerjakan,
maka persangkaan tersebut akan membinasakan mereka pada hari kiamat. Jika ada
seseorang mempunyai persangkaan bahwasanya
Allah ta’aala tidak melihat atau tidak mengetahui kebanyakan dari apa
yang ia kerjakan, tentu persangkaan itu akan mendorongnya untuk senantiasa
mengabaikan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan akhirnya berapa banyak dosa yang ia kumpulkan lantaran
mengabaikan perintah dan larangan tersebut, dan hal inilah yang menyeret orang
tersebut kepada kebinasaan pada hari kiamat,
sebagaimana ayat berikut ini,
وَ
مَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُوْنَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَ لاَ
أَبْصَارُكُمْ وَ لاَ جُلُوْدُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لاَ
يَعْلَمُ كَثِيْرًا مِمَّا تَعْمَلُوْنَ وَ ذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ
بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
Kalian
sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan
dan kulit kalian terhadap kalian. Tetapi kalian menyangka bahwasanya Allah
tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian
itu adalah persangkaan kalian yang kalian sangka terhadap Rabb kalian.
Persangkaan itu telah membinasakan kalian maka jadilah kalian termasuk
orang-orang yang rugi. [QS. Fushshilat/41: 22-23].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(3) Perintah waspada
dari su’u zhonn (buruk sangka) kepada Allah ta’ala dan yang demikian itu adalah
seseorang menyangka bahwasanya Allah tidak mengawasinya atau tidak mengetahui
apa yang ia kerjakan atau bahwasanya ia tidak akan dihisab (diperhitungkan
amalnya) atau tidak dibalas”. [5]
Demikianlah
mereka mencemari sifat-sifat Allah ta’ala dengan persangkaan mereka yang batil
sehingga mereka menafikan (meniadakan) sifat-sifat Allah yang maha sempurna.
Maka tak heranlah jikalau mereka akhirnya meragukan dan bahkan mengingkari
sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui lantaran
persangkaan mereka yang akan membinasakan diri mereka, sebagaimana di dalam
ayat di atas. Begitu pula di antara mereka ada yang mengotori dan menafikan
sifat Allah Yang Maha Kaya dan meletakkan sifat fakir pada-Nya sebagaimana
dalil berikut,
لَقَدْ
سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللَّهَ فَقِيْرٌ وَ نَحٍنُ
أَغْنِيَاءُ سَنَكْتُبُ مَا قَالُوْا
وَ قَتْلَهُمُ اْلأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَ نَقُوْلُ ذُوْقُوْا عَذَابَ
الْحَرِيْقِ
Sungguh-sungguh
Allah telah mendengar ucapan orang yang mengatakan: Sesungguhnya Allah fakir
dan kami kaya. Kami akan mencatat ucapan mereka itu dan perbuatan mereka
membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Dan Kami akan katakan kepada
mereka: Rasakanlah oleh kalian adzab yang membakar. [QS. Ali Imran/3: 181].
Juga ada
yang mengingkari kejadian hari berbangkit, terjadinya hari kiamat dan menyangka
bahwasanya kehidupan itu hanyalah kehidupan di dunia saja, tiada kehidupan
setelah mati. Begitulah ucapan yang keluar dari lisan-lisan mereka yang merupakan
pencerminan dan buah dari keyakinan batin mereka yang didasari
persangkaan-persangkaan di dalam menerima seruan dan bimbingan para Rosul Sholawatullah
‘alaihim wa salamuhu ajma’in, sebagaimana telah dijelaskan keberadaan mereka di
dalam banyak ayat di dalam alqur’an di antaranya,
زَعَمَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوْا قُلْ بَلَى وَ رَبِّى لَتُبْعَثُنَّ
ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيْرٌ
Orang-orang
yang kafir menyangka, bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, ‘Tidak
demikian, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan
diberitakan kepada kalian mengenai apa yang kalian telah kerjakan’. Dan
demikian itu mudah bagi Allah. [QS. at-Taghobun/64: 7].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman mengkhabarkan
tentang orang-orang kafir, kaum Musyrikin dan golongan Mulhidin (orang-orang
yang menyimpang) bahwasanya mereka menyangka tidak akan dibangkitkan. ((Katakanlah,
‘Tidak demikian demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan
diberitakan kepada kalian mengenai apa yang kalian telah kerjakan’)) yaitu akan
dikhabarkan kepada kalian tentang seluruh amal-amal kalian yang mulia dan yang
tercelanya, yang kecil dan yang besarnya. ((Dan yang demikian itu mudah bagi
Allah)) yaitu dibangkitkan dan dibalasnya kalian. Dan ini adalah ayat ketiga
yang telah Allah perintahkan kepada Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk bersumpah dengan nama Rabbnya ‘Azza wa Jalla atas terjadinya dan adanya
hari kembali (maksudnya hari kiamat), yaitu yang pertama di dalam surat
Yunus/10 ayat 53, yang kedua surat Saba’/34 ayat 3 dan yang ketiga surat ini
yaitu at-Taghobun/64 ayat 7.[6]
وَ
قَالُوْا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَ نَحْيَا وَ مَا
يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ
إِلاَّ يَظُنُّوْنَ
Dan
mereka berkata, “Kehidupan ini hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan
kita hidup dan tiada yang membinasakan kita melainkan masa/waktu”. Dan mereka
sekali-kali tidak memiliki ilmu tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menyangka-nyangka. [QS. al-Jatsiyah/45: 24].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Dan mereka
sekali-kali tidak memiliki ilmu tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menyangka-nyangka)) yaitu tidak ada bagi mereka di dalam itikad (keyakinan)
mereka ini yang mendekati ilmu naqli (sesuai dengan dalil syar’iy) dan tidak
pula ilmu aqli (sesuai dengan akal), yakni mereka tidak menerimanya dari wahyu
yang Allah wahyukan kepada orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya
dan tidak pula dari akal bersih dan kuat yang hukumnya tidak akan rusak,
seperti satu ditambah satu sama dengan dua, putih itu berbeda dengan hitam dan
seterusnya dari ketetapan-ketetapan akal yang tidak dapat dipungkiri. Mereka
para penganut dahriyah itu tidak ada bagi mereka sesuatupun di dalam hal
tersebut, tidak ada bagi mereka melainkan persangkaan dan dugaan. Dan ketetapan
akidah itu tidak patut berdasarkan persangkaan, karena persangkaan itu adalah
sedusta-dustanya perkataan”. [7]
Berkata
al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Mereka tidak lain hanyalah
menyangka-nyangka)) yaitu tidak ada mereka itu melainkan suatu kaum yang tujuan
apa yang ada pada sisi mereka adalah persangkaan, lalu mereka tidak akan
berkata-kata melainkan dengannya dan mereka tidak bersandar melainkan
kepadanya.[8]
وَ
إِذَا قِيْلَ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَ السَّاعَةُ لاَ رَيْبَ فِيْهَا
قُلْتُمْ مَا نَدْرَى مَا السَّاعَةُ إِنْ نَظُنُّ إِلاَّ ظَنًّا وَ مَا نَحْنُ
بِمُسْتَيْقِنِيْنَ
Dan
apabila dikatakan (kepada kalian): Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan hari
berbangkit (kiamat) itu tidak ada keraguan padanya. Niscaya kalian akan
mengatakan: kami tidak mengetahui apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali
tidak lain hanyalah menduga-duga dan kami sekali-kali tidaklah meyakininya.
[QS. al-Jatsiyah/45: 32].
Dan masih
banyak lagi penyimpangan-penyimpangan keyakinan dari orang-orang kafir di
antara ahli kitab, kaum musyrikin dan golongan munafikin ataupun dari kalangan
kaum muslimin yang belum sepenuhnya tunduk kepada ketentuan Allah ta’ala dan
Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran lemahnya keimanan mereka.
Ketika diterangkan kepada mereka perkara-perkara agama lalu mereka dengan
spontan membayang-bayangkannya dengan persangkaan-persangkaan yang ada pada
mereka tanpa mau mencari tahu dan memahami dalil-dalil alqur’an dan hadits yang
mendukungnya.
Persangkaan
itu dapat menyeret pelakunya kepada kemusyrikan misalnya; keyakinan sebahagian
besar kaum muslimin bahwasanya ziarah kubur ke kuburan para wali atau
orang-orang shalih atau bahkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
merupakan penyebab diberinya syafa’at atau merupakan perantara (wasilah)
keselamatan di dunia dan akhirat bagi mereka. Keyakinan mereka bahwasanya
mengkultuskan para masyayikh atau haba’ib merupakan bentuk
memuliakan ulama yang dianjurkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keyakinan mereka bahwa memelihara dan mengkeramatkan (memuliakan) benda-benda
pusaka peninggalan para leluhur adalah bentuk menghormati dan memuliakan mereka
dan benda-benda pusaka itu akan melindungi mereka dari bahaya dan menarik
kemanfaatan bagi mereka, dan lain sebagainya.
Persangkaan
juga bisa membawa pelakunya kepada perbuatan bid’ah yang jelas larangannya di
dalam syariat, misalnya; Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah bentuk rasa cinta kepadanya. Mengadakan tahlil hari ke tujuh, ke
sepuluh, ke empat puluh, ke seratus dan seterusnya itu merupakan ajaran Islam,
jika tidak dilaksanakan maka orang tersebut di anggap seperti bangkai binatang.
Melaksanakan sholat dengan ada tambahan di dalam bacaan atau raka’at dengan
sangkaan semakin banyak menjadi semakin baik. Melafazhkan usholli atau nawaytu
ketika hendak menunaikan sholat atau shoum, dengan anggapan agar lebih mantap
dalam melaksanakannya. Dan seterusnya yang tak terbilang jika disebutkan
semuanya.
Mengandalkan
persangkaan di dalam keyakinan, ucapan dan perbuatan akan terus berlangsung di
setiap waktu dan tempat hingga tidak ada lagi orang yang berfatwa melainkan
dengan persangkaan belaka, sebagaimana diceritakan oleh Darraj Abu as-Samh, “Akan
datang suatu masa atas manusia dimana seseorang menggemukkan kendaraan untanya
sehingga ia mengadakan perjalanan di atasnya di banyak negeri dalam rangka
mencari orang yang memberi fatwa kepadanya dengan sunnah yang sungguh-sungguh ia
telah beramal dengannya, tetapi ia tidak menjumpai melainkan orang yang memberi
fatwa kepadanya dengan persangkaan”. [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu
Abdilbarr]. [9]
Padahal di
dalam meraih dan memiliki kebenaran itu tidak akan dapat diperoleh dengan mengandalkan
persangkaan semata-mata, karena banyak hal di dalam urusan agama ini yang
saling bertentangan, berseberangan dan bahkan bertabrakan antara syariat dari
Allah -Jalla Jalaaluhu- dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
persangkaan tiap-tiap manusia. Tetapi kebenaran itu dapat diraih dan didapatkan
dengan ilmu yang berdasarkan kepada alqur’an dengan penafsiran yang benar dari
para ulama ahli tafsir dan hadits-hadits yang tsabit dari Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar dari para ulama salaf.
Allah Tabaaroka
wa ta’ala telah berfirman di dalam ayat-ayat berikut ini,
وَ
مَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ
الْحَقِّ شَيْئًـا إِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ
Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti melainkan persangkaan. Dan sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk (meraih) kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [QS. Yunus/10: 36].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(3) Persangkaan itu
tidak diterima di dalam akidah tetapi mesti dari ilmu yakin. (4) Dibencinya
perkataan dengan dasar persangkaan dan beramal dengannya. Dan di dalam hadits[10], “Waspadalah kalian terhadap persangkaan,
karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya perkataan”.[11]
Berkata
al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Kemudian Allah Subhanahu mengkhabarkan
bahwasanya semata-mata persangkaan itu tidak akan berguna sedikitpun untuk
mendapatkan kebenaran, karena perkara agama itu hanyalah dibangun di atas dasar
ilmu. Dengan ilmu itu jelaslah kebenaran dari kebatilan, dan persangkaan itu
tidak akan berdiri seperti berdirinya ilmu, tidak akan mencapai kebenaran
dengannya dan tidak akan berguna untuk mendapatkan kebenaran di dalam sesuatu
dari berbagai sesuatu”.[12]
وَ
مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنَّ
الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًـا
Dan
mereka tidak memiliki sesuatu ilmupun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna
sedikitpun untuk (mendapatkan) kebenaran. [QS. an-Najm/53: 28].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan, sedangkan persangkaan itu tidak berguna sedikitpun dari
(mendapatkan) kebenaran)) yaitu tidak berguna sedikitpun sedikitpun dan tidak
akan berdiri pada tempat kebenaran selama-lamanya. Dan sungguh-sungguh telah
tsabit di dalam ash-Shahih bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Waspadalah kalian terhadap persangkaan, karena persangkaan itu
adalah sedusta-dustanya perkataan”.[13]
Setelah
dapat dipahami dan dimengerti bahwasanya persangkaan itu tidak berguna
sedikitpun di dalam mencari, meraih dan mendapatkan kebenaran, maka tak pantas
seorang mukmin itu tetap mengandalkan dan bermodalkan persangkaan di dalam
mempelajari persoalan agamanya. Oleh sebab itulah Rosulullah Shallallah ‘alaihi
wa sallam telah dilarang oleh Allah Jalla wa ‘Ala untuk mengikuti mayoritas
(kebanyakan) manusia karena mereka hanyalah semata-mata mengikuti persangkaan
tidak berdasarkan dan bersandarkan ilmu dari Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu;
وَ
إِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِى اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
Dan
jika engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan
mereka itu tidak lain hanyalah berdusta. [QS. al-An’aam/6: 116].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah mengkhabarkan tentang
keadaan mayoritas (kebanyakan) penduduk bumi dari anak-anak Adam (yaitu
manusia) bahwasanya keadaannya sesat, sebagaimana firman-Nya ta’ala, ((Dan
sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (yaitu Quraisy) sebahagian besar dari
orang-orang terdahulu. QS. ash-Shoffat/37: 71)) dan firman-Nya ta’ala, ((Dan
sebahagian besar manusia tidak akan beriman kendatipun kamu sangat menginginkannya.
QS. Yusuf/12: 103)). Dan mereka di dalam kesesatan yang bukan berdasarkan atas
keyakinan dari perkara mereka tersebut dan mereka hanyalah di dalam
persangkaan-persangkaan yang palsu dan perkiraan yang batil”.[14]
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Dan jika engkau
mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah)) yaitu seandainya engkau mendengar (ucapan)
mereka, mengambil ro’yu-ro’yu (pendapat akal) mereka dan mengabulkan
usulan-usulan mereka pastilah mereka menyesatkanmu dari jalan Allah.
Penyebabnya adalah bahwasanya kebanyakan mereka tidak ada hujjah dan juga tidak
ada padanya ilmu yang sebenarnya dan semua yang mereka katakan adalah hawa
nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Sesungguhnya tidaklah mereka mengikuti
melainkan ucapan-ucapan persangkaan dan tidaklah mereka itu pada apa yang
mereka ucapkan melainkan para pendusta lagi pembohong. Dan memadai bagimu ilmu
Rabbmu tentang mereka, karena sesunggguhnya Allah ta’ala lebih mengetahui orang
yang sesat dari jalan-Nya dan Ia pula lebih mengetahui orang yang mendapat
petunjuk”.[15]
Berkata
al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Allah Subhanahu mengkhabarkan kepadanya
bahwasanya apabila Beliau ingin mentaati kebanyakan orang yang ada di muka bumi
niscaya mereka akan menyesatkannya, karena kebenaran itu tidak ada melainkan di
tangan minoritas (orang yang sedikit) dan mereka itu adalah golongan yang
senantiasa ada di atas kebenaran dan orang-orang yang menyelisihinya tidak akan
membahayakannya, sebagaimana telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.[16] Dikatakan,
‘Yang dimaksud dengan kebanyakan adalah orang-orang kafir’, dikatakan, ‘Yang
dimaksud dengan bumi adalah Mekkah yaitu kebanyakan penduduk Mekkah’. Kemudian
Allah Subhanahu menerangkan sebabnya yang demikian itu dengan firman-Nya, ((Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka)) yaitu tidaklah mereka
mengikuti melainkan persangkaan yang tidak ada dasarnya, yaitu persangkaan
mereka bahwasanya sembahan-sembahan mereka itu pantas diibadahi dan dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah”.[17]
Beberapa
keterangan tafsir di atas memberi penjelasan bahwasanya ‘illat (penyebab)
dilarangnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti mayoritas (orang kebanyakan)
adalah lantaran mereka senantiasa mengikuti persangkaan mereka bukan ilmu yakin
yang diambil dan disalin dari firman Allah ta’ala dan sabda Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apalagi telah datang hujjah dari Allah Jalla Jalaluhu
bahwasanya kebanyakan manusia itu tidak beriman, ini berarti kebenaran itu
tidak berada di tangan mayoritas (kebanyakan orang) tetapi di tangan minoritas
(orang yang sedikit). Maka setiap orang yang ingin mengikuti dan menteladani
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara kaum mukminin, hendaklah ia
di dalam menuntut ilmu, beramal dengannya dan berdakwah kepadanya senantiasa
merujuk kepada ucapan Allah dan Rosul-Nya bukan kepada persangkaan-persangkaan
yang tidak ada asalnya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Oleh karena itulah Rosulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh kaum
mukminin agar berhati-hati terhadap persangkaan karena persangkaan itu adalah
sedusta-dustanya perkataan, yaitu;
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ:
إِيَّاكُمْ وَ الظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Dari
Abu Hurairah mengutip dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah
kalian terhadap persangkaan, karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya
perkataan”. [HR al-Bukhoriy: 5143 dan lafazh ini baginya, 6064, 6066, 6724,
Muslim: 2563, at-Turmudziy: 1988, Abu Dawud: 4917 dan Ahmad: II/ 245, 287, 312,
342, 465, 482, 491-492, 504, 517, 539. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]
Jika
demikian adanya perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya
agar waspada dari persangkaan maka tidak patut bagi seorang yang menyatakan
dirinya mukmin atau mukminah itu menolak atau mengadakan pilihan yang lain dari
apa yang telah ditetapkan olehnya. Karena berapa banyak perkataan dan perbuatan
yang berdasarkan persangkaan semata-mata ini yang dikerjakan oleh kebanyakan
umat ini tanpa mau tahu bahkan tidak mau tahu dasar dan atsarnya dari
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu ‘anhum
kemudian mereka mengharapkan dan mengakui bahwasanya diri mereka beriman. Jauh,
jauh apa yang mereka harapkan dan yang mereka akui itu.
Maka
memperhatikan penjelasan-penjelasan yang telah berlalu, dapatlah dipahami
bahwasanya penyebab terjadinya penolakan terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau bahkan alqur’an yang mulia dan terjadinya penyimpangan makna dan
tujuan dari keduanya adalah lantaran logika, hawa nafsu dan persangkaan. Tak
terkira banyaknya penolakan di dalam agama yang ditimbulkan akibat mendahulukan
dan memprioritaskan (mengutamakan) penggunaan logika, hawa nafsu dan
persangkaan, yang sebahagian penolakannya telah disebutkan dan akan disebutkan
pula beberapa contoh penolakan lainnya yang diakibatkan olehnya. Setiap orang
atau individu berbeda di dalam penolakannya terhadap sunnah Nabi atau bahkan alqur’an dan
juga di dalam penyimpangan dari keduanya atau menyimpangkan keduanya, semua
tergantung dari dasar yang terpendam di dalam dirinya, bisa jadi di dalam dirinya
ada satu atau dua atau bahkan ketiga hal tersebut yang mempengaruhi dirinya.
Semakin banyak dan kuat yang mempengaruhinya maka akan semakin banyak dan kuat
pula penolakan dan penyimpangannya terhadap kedua nara sumber umat Islam itu
dan menyimpangkannya. Adapun contoh penolakan yang terjadi adalah di antaranya;
1)
Ditolaknya hadits, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pohon yang
bayangannya baru selesai dilalui oleh orang yang berkendaraan selama seratus
tahun”.[19] Mereka
menolak karena tidak masuk di dalam akal logika mereka ada pohon sebesar itu,
maka akhirnya mereka menganggap hadits itu hanyalah khayalan dan termasuk
cerita israiliyat, padahal hadits mutawatir tersebut telah jelas keshahihannya.
2)
Ditolaknya hadits-hadits tentang masalah kubur berupa fitnah yang diutarakan
atau nikmat yang diberikan atau siksaan yang ditimpakan di dalamnya,[20]
di antara haditsnya adalah, “Sesungguhnya orang-orang yang telah mati itu
diadzab di dalam kubur-kubur mereka, sehingga bahwasanya binatang-binatang itu
mendengar suara mereka”.[21] Atau
hadits, “Sesungguhnya seorang hamba itu apabila diletakkan di dalam kuburnya
dan teman-temannya telah berpaling meninggalkannya, sehingga ia mendengar derap
sendal-sendal mereka, datanglah dua malaikat (di dalam suatu riwayat, yang
dinamakan Munkar dan Nakir) kepadanya. Lalu kedua-duanya
mendudukkannya seraya berkata, ‘Apa yang hendak engkau katakan mengenai pria
ini (maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka adapun orang mukmin
mengatakan, ‘Aku bersaksi bahwasanya ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya’.
Dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempatmu dari neraka yang sungguh-sungguh Allah
telah menggantikannya dengan satu tempat di surga, lalu ia melihat kedua-duanya
semuanya, dan dilapangkanlah untuknya di dalam kuburnya sejauh tujuh puluh
hasta dan dipenuhi atasnya yang hijau sampai hari mereka dibangkitkan’. Adapun
orang kafir atau munafik dikatakan kepadanya, ‘Apa yang hendak engkau katakan
mengenai pria ini?’. Ia mengatakan, ‘Aku tidak tahu, aku hanyalah mengatakan
apa yang orang-orang katakan’. Dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak tahu dan kamu
tidak baca?’. Kemudian ia dipukul dengan gada dari besi dengan sekali pukul di
antara kedua telinganya. Maka ia berteriak dengan suatu teriakan yang didengar
oleh yang berada di sekitarnya, kecuali dua makhluk yang dibebani (maksudnya;
manusia dan jin), dan disempitkan kuburnya atasnya sehingga tulang-tulang
persendiannya saling berselisih”.[22] Atau
hadits, “Umumnya adzab kubur itu pada baul (air kencing), maka bersihkanlah
diri kalian darinya”.[23] Dan
lain sebagainya yang semuanya itu ditolak lantaran tidak dapat diterima oleh
akal mereka, sehingga akhirnya persoalan kubur itu dianggap hanyalah cerita
fiksi (khayalan) belaka padahal tak sedikit hadits yang menceritakan masalah
kubur ini dan bahkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampun telah menyuruh
umatnya untuk berlindung dari adzab kubur.[24]
3)
Ditolaknya hadits, “Apabila jatuh seekor lalat ke dalam bejana (di dalam satu
riwayat, minuman) salah seorang dari kalian maka hendaklah ia membenamkannya.
Sesungguhnya pada salah satu sayapnya itu terdapat penyakit (di dalam satu
riwayat, racun) dan pada sayap yang lain ada obatnya”.[25] Hadits
inipun ditolak lantaran tidak dapat diterima oleh kebuntuan akal mereka yang
merasa heran mana mungkin lalat yang hidup di dalam kubangan kotoran memiliki
penawar obat bagi penyakit yang ditimbulkannya. [26]
4)
Ditolaknya hadits-hadits tentang syarat kekhalifahan mesti orang Quraisy,
diantara haditsnya adalah, “Senantiasa perkara imarah (pemerintahan) ini pada
Quraisy meskipun tinggal tersisa dua orang di antara manusia”.[27] Atau
hadits, “Senantiasa agama ini tegak sehingga tegaknya hari kiamat atau ada atas
kalian dua belas khalifah semuanya mereka dari Quraisy”.[28] Atau
hadits, “Sesungguhnya perkara imarah ini dari Quraisy, tidak ada seseorangpun
yang memusuhi mereka melainkan Allah akan menelungkupkannya di neraka atas
wajahnya pada hari kiamat selama mereka menegakkan agama”.[29] Atau
hadits, “Allah mengutamakan Quraisy dengan tujuh perkara; (1) Allah lebihkan mereka
bahwasanya mereka beribadah kepada Allah selama sepuluh tahun pada waktu itu
tidak ada yang mengibadahi-Nya kecuali Quraisy. (2) Allah lebihkan mereka
bahwasanya Allah menolong mereka pada waktu hari Fil (maksudnya; tahun gajah)
sedangkan mereka masih kaum musyrikin. (3) Allah lebihkan mereka bahwasanya
turun pada mereka satu surat dari alqur’an yang tidak masuk pada mereka selain
mereka (yaitu surat Quraisy). (4) Allah lebihkan mereka bahwasanya pada mereka
ada kenabian. (5) kekhalifahan. (6) Hijabah (menjaga ka’bah) dan (7) Siqoyah (hak
memberi minum jamaah haji)”.[30] Atau
hadits, “Imam-imam itu dari Quraisy”.[31]
Atau hadits, “Kekhalifahan itu dari Quraisy”.[32] Atau
hadits, “Manusia itu ikut kepada Quraisy di dalam keadaan ini. Muslimnya mereka
mengikuti muslimnya Quraisy dan kafirnya mereka mengikuti kafirnya Quraisy”.[33] Dan
masih banyak lagi hadits-hadits semakna yang menunjukkan bahwasanya
kekhalifahan dan imarah itu dari Quraisy tidak dari yang lainnya, tiada yang
menolaknya melainkan orang-orang yang dungu lagi memperturutkan hawa nafsunya.
5)
Ditolaknya hadits tentang perpecahan umat, “Ingatlah sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian dari ahli kitab telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan
dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua
di dalam neraka dan satu di dalam surga yaitu jama’ah”.[34] Alasan
ditolaknya hadits ini karena bertentangan dengan persangkaan mereka yang
menganggap bahwa Islam itu satu dan tidak mungkin terpecah belah meskipun
berbeda prinsip dan keyakinan.
6)
Ditolaknya hadits tentang mi’rajnya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ke langit dan bertemu dengan para
Nabi ‘Alaihim as-Salam kemudian Allah ta’ala memerintahkan sholat kepada
umatnya.[35] Alasan
ditolaknya hadits ini adalah karena kisah di dalam hadits tersebut tidak dapat
diterima oleh akal logika mereka.
7)
Ditolaknya hadits, “Barangsiapa memelihara anjing akan berkurang pahala dari
amalnya setiap hari sebanyak satu qirath, kecuali anjing penjaga tanaman atau
penggembala. Di dalam satu riwayat; kecuali anjing penggembala kambing, penjaga
tanaman atau pemburu”.[36]
Para penolak hadits ini tidak menerima hadits ini karena diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang menambahkan di dalam hadits tersebut yaitu anjing penjaga tanaman
karena Abu Hurairah memiliki tanaman sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar dan
juga karena mereka beranggapan bagaimana mungkin pahala seseorang itu dikurangi
lantaran hanya memelihara seekor anjing.
8)
Ditolaknya hadits-hadits berkenaan dengan gambar dan patung makhluk hidup, di
antaranya hadits, “Orang yang paling keras mendapatkan siksaan pada hari kiamat
adalah para pembuat gambar/ patung (di dalam satu riwayat, yang meniru-niru
ciptaan Allah)”.[37] Atau
hadits, “Sesungguhnya pemilik (di dalam satu riwayat, pembuat) gambar ini akan
diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka: hidupkanlah apa yang
kalian ciptakan itu”.[38] Penolakan
hadits-hadits ini dikarenakan hawa nafsu mereka yang ingin menghiasi rumah
ataupun gedung yang mereka miliki dan tempati dengan segala macam gambar dan
patung agar asri dan sedap dipandang mata.
9)
Ditolaknya hadits, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menguasakan urusan
imarah (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.[39] Penolakan
hadits ini biasanya dikarenakan hawa nafsu mereka untuk mendukung seorang
wanita yang diidolakan oleh mereka dan kebodohan mereka tentang syariat.
Apalagi jika ia seorang wanita yang mempunyai ambisi meraih jabatan dan status
yang tinggi di hadapan manusia, niscaya ia akan berada di barisan yang terdepan
di dalam menolak dan menghujat hadits shahih ini, dan dalil ini juga berlaku
sebagai larangan bagi kaum wanita menjadi pemimpin di rumah tangga.
10)
Ditolaknya, “Pernah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘Alaihima as-Salam ketika
ia telah datang kepadanya, ia (maksudnya: nabi Musa) memukulnya dengan keras
(di dalam satu riwayat ia menamparnya: sehingga matanya menjadi buta sebelah),
… dan seterusnya hadits”.[40] Penolakan
hadits ini dikarenakan kebingungan dan kebimbangan mereka berdasarkan
persangkaan terhadapnya sehingga mereka berkata; bagaimana mungkin Malaikat
maut itu dapat di tampar oleh nabi Musa ketika hendak mencabut nyawanya.
11)
Ditolaknya hadits-hadits yang berkenaan masalah memelihara jenggot dan merapihkan
kumis. Di antaranya adalah, Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk memotong kumis dan memelihara jenggot.[41] Atau
hadits, “Ada sepuluh perkara yang termasuk dari fithrah (urusan agama), yaitu
(1) memotong kumis (2) memelihara jenggot (3) siwak (4) menghirup air melalui
hidung (yakni: di dalam berwudlu) (5) menggunting kuku (6) mencuci celah jari
jemari (yakni: kaki dan tangan di dalam berwudlu) (7) mencabut bulu ketiak (8)
memotong ari-ari (9) istinja (yakni; membasuh bekas buang air kecil dan besar)
dan (10) berkumur-kumur”.[42] Hadits-hadits
ini ditolak lantaran tidak sesuai dengan hawa nafsu orang yang menolaknya di
antara mereka yang lebih suka mencukur klimis semuanya atau lebih suka
memelihara kumis dan mencukur jenggot. Apalagi terkadang memelihara jenggot itu
diidentikkan dengan teroris.
12)
Ditolaknya hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah batas pakaian tidak
melebihi mata kaki. Di antaranya adalah, “Sarung itu sampai kepada pertengahan
betis. Maka ketika beliau melihat beratnya yang demikian itu bagi kaum
muslimin, beliau bersabda, “Sampai kepada mata kaki, tiada kebaikan pada
apa-apa yang di bawah dari itu”.[43] Atau
hadits, “Sarungnya orang mukmin itu sampai kepada pertengahan dua betisnya. Dan
tiada dosa baginya apa yang di antaranya dan antara dua mata kakinya, dan apa yang
di bawah dari dua mata kaki itu di dalam neraka. Beliau mengatakannya tiga
kali. Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya lantaran sombong”.[44] Penolakan
ini dikarenakan persangkaan dan hawa nafsu mereka yang menyatakan, “Mungkinkah
lantaran sarung yang menutup mata kaki, seseorang akan dijebloskan ke dalam
neraka?”. Atau mereka menurunkan sarung atau celana itu karena mengikuti
shahabat Abu Bakar radliyallahu ‘anhu yang menurunkan sarungnya dalam keadaan
tidak sombong.[45] Padahal
itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh mereka untuk menolak dalil-dalil
shahih tersebut, dan tiada yang menolaknya melainkan para pengikut hawa nafsu
dan para pendebat.
13)
Ditolaknya hadits tentang paha bagi pria adalah termasuk aurat, di antaranya
adalah, “Sesungguhnya paha itu adalah aurat”.[46] Atau
hadits, “Tutupilah pahamu, maka sesungguhnya paha itu adalah aurat”.[47] Atau
hadits, “Apa-apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat”.[48] Atau
hadits, “Dan apabila seseorang di antara kalian ada yang hendak menikahkan
budak laki-laki (kepada budak perempuannya) atau pekerjanya maka janganlah ia
melihat auratnya sedikitpun, karena sesungguhnya apa yang lebih bawah dari
pusarnya sampai kepada kedua lututnya adalah aurat”.[49] Alasan
penolakannya biasanya karena hawa nafsu sebahagian dari mereka yang suka
memamerkan auratnya kepada selainnya atau alasan untuk kemudahan di dalam
berolah raga.
14)
Ditolaknya dalil-dalil perintah bagi wanita untuk menutup auratnya dan larangan
untuk bertabarruj. Misalnya hadits, “Ada dua golongan umat termasuk penghuni
neraka, yang aku tidak melihat mereka. Segolongan orang yang ada bersama mereka
pecut (atau cambuk) seperti ekor sapi, yang memukuli manusia dengannya. Dan
segolongan kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mengajak orang
menyimpang lagi berjalan miring (maksudnya; berlenggak lenggok), kepala mereka
seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk ke dalam surga dan tidak
akan menjumpai (maksudnya; mencium) baunya padahal sesungguhnya baunya surga
itu dapat dijumpai pada jarak sekian dan sekian”.[50] Atau
hadits, “Akan ada di akhir umatku para wanita yang berpakaian tetapi telanjang,
di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sesungguhnya
mereka itu terkutuk”.[51] Atau
hadits, “Ada tiga golongan yang tidak akan ditanya tentang mereka: (1)
Seseorang yang memisahkan diri dari jama’ah, mendurhakai imamnya dan mati dalam
keadaan durhaka, (2) budak laki-laki atau perempuan yang kabur lalu ia mati dan
(3) seorang wanita yang suaminya ghaib darinya (tidak berada di sisinya)
yang sungguh-sungguh suaminya itu telah
memenuhi keperluan dunianya lalu ia bertabarruj (yaitu; seorang wanita menampakkan
sebahagian dari hiasan, keindahannya dan apa yang wajib ditutup yang
mengundang syahwat lelaki) sesudah (kepergian)nya, maka tidak akan ditanya
tentang mereka”.[52] Alasan
penolakan dalil-dalil ini biasanya lantaran hawa nafsu mereka yang ingin
melihat dan menyaksikan para wanita memperlihatkan auratnya dan lebih-lebih
kaum wanitanya merasa sulit dan rikuh menutup auratnya dan mempergunakan jilbab
sesuai dengan ketentuan syariat. Dan banyak di antara mereka yang menganggap
bahwasanya kebiasaan mengenakan jilbab dan menutup aurat itu hanyalah adat
kebiasaan orang Arab yang jika mereka diminta bukti, mereka tidak dapat menunjukkan
bukti untuk itu.
15)
Ditolaknya dalil-dalil larangan bagi wanita memakai harum-haruman. Di antara
dalil-dalilnya adalah, “Apabila seorang wanita menggunakan wewangian lalu ia
melewati sekelompok orang agar mereka mendapati (maksudnya; mencium) baunya
maka ia adalah seorang pezinah”.[53] Atau
hadits, “Wanita manapun yang memakai wewangian kemudian ia keluar menuju masjid
maka tidak akan diterima sholatnya sehingga ia mandi (maksudnya; seperti mandi
janabat)”.[54] Banyak
kaum wanita menolak dalil-dalil ini lantaran hawa nafsu mereka yang ingin
tampil wangi di hadapan manusia khususnya kaum pria, amat buruk apa yang mereka
kerjakan.
16)
Ditolaknya dalil-dalil mengenai ta’addud.[55] Alasan
ditolaknya dalil-dalil yang berkenaan dengan masalah ini, umumnya lantaran hawa
nafsu mereka yang bertentangan dengan ketetapan yang telah dibuat dan
ditentukan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk manusia
khususnya kaum mukminin, padahal keduanya lebih mengerti kemaslahatan mereka
atau juga karena persangkaan mereka yang menganggap bahwasanya ajaran islam itu
senantiasa meletakkan dan memojokkan kaum wanita kepada tempat yang rendah dan
hina.
17)
Ditolaknya dalil-dalil mengenai jihad fi sabilillah, Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar, al-Wala’ dan al-Baro’ dan lain sebagainya yang tidak dapat disebutkan
semuanya, karena jika disebutkan, tentu akan menyita waktu yang lama dan tempat
yang luas.
Penolakan-penolakan
terhadap beberapa contoh kebenaran yang telah dikemukakan di atas sebagaimana
telah dijelaskan ditimbulkan oleh sikap mendewakan akal, mengikuti atau
mempertuhankan hawa nafsu dan selalu mengutamakan persangkaan. Karena itu
jikalau kebenaran yang telah datang itu dipelajari dan dicari dengan ketiga
perkara tersebut, maka kebenaran itu tidak akan didapat selama-lamanya. Hal itu
disebabkan antara kebenaran dan ketiga perkara tersebut tidak memiliki
kesesuaian, keselarasan dan keharmonisan bahkan saling bersimpangan,
bersebrangan dan bertabrakan. Maka rugi dan bangkrutlah orang-orang yang
mempelajari kebenaran di dalam agama ini dengan melalui ketiga perkara
tersebut, karena hal itu hanyalah akan menjadikan mereka semakin jauh dari
kebenaran dan kian membencinya, maka inilah titik pangkal terjadinya penolakan
itu. Padahal boleh jadi mereka benci kepada sesuatu padahal sesuatu yang mereka
benci itu amat baik bagi mereka dan kebalikannya boleh jadi mereka menyukai
sesuatu padahal sesuatu yang mereka suka itu amat buruk bagi mereka, karena
Allah ta’ala mengetahui sedangkan mereka tidak mengetahui. Sebagaimana telah
difirmankan oleh-Nya,
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَـالُ وَ هُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا
وَ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَ
اللَّهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Telah
diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang
kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagi
kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagi
kalian. Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui. [QS.
al-Baqarah/2: 216].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Dan ini adalah umum di dalam semua perkara
yang kadang-kadang seseorang itu menyukai sesuatu padahal tidak ada padanya
kebaikan dan mashlahat”.[56]
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Wajib berjihad bagi
umat islam selama masih adanya fitnah dan kemusyrikan di muka bumi (2)
Kebodohan manusia terhadap awaqib (yaitu akhir kesudahan segala sesuatu), yang
menjadikannya menyukai yang dibenci dan membenci yang disukai. (3)
Perintah-perintah Allah semuanya adalah baik dan larangan-larangan-Nya semuanya
adalah buruk, oleh karena itulah wajib melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya”.[57]
Maka apa
yang dipandang buruk dan hina oleh manusia tetapi Allah Subhaanahu wa ta’ala
dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya baik, boleh jadi di
dalamnya ada kebaikan dan kemashlahatan bagi mereka. Kebalikannya apa yang
dipandang baik dan mulia oleh manusia tetapi Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memandangnya buruk, boleh jadi di dalamnya ada keburukan dan
kerusakan bagi mereka. Karena Allah Subhanahu mengetahui segala sesuatu dan
mengetahui maksud dari ketetapan-Nya tersebut sedangkan mereka tidak mengetahui
sesuatu apapun dan bodoh darinya.
Namun Allah
Jalla Dzikruhu telah mengabadikan bahwasanya keberadaan sebahagian besar dari
manusia itu membenci atau tidak menyukai kebenaran yang datang dan ditawarkan
kepada mereka, sehingga dengan ulah mereka itulah akhirnya mereka dijerumuskan
ke dalam neraka Jahannam yang mereka kekal di dalamnya, sebagaimana dikisahkan
oleh Allah ta’ala di bawah ini,
إِنَّ
الْمُجْرِمِيْنَ فِى عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُوْنَ لاَ يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَ
هُمْ فِيْهِ مَبْلِسُوْنَ وَ مَا ظَلَمْنَاهُمْ وَ لَكِنْ كَانُوْا هُمُ
الظَّالِمُوْنَ وَ نَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ
إِنَّكُمْ مَاكِثُوْنَ لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَ لَكِنَّ أَكْثَرَكُمْ
لِلْحَقِّ كَارِهُوْنَ
Sesungguhnya
orang-orang yang berdosa itu kekal di dalam adzab neraka Jahannam, tidak
diringankan adzab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan
tidaklah Kami menganiaya diri mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri. Mereka berseru, “Hai Malik !, biarlah Rabbmu mematikan kami
saja”. Dia menjawab, “Sesungguhnya kalian akan tinggal (di dalamnya).
Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi
kebanyakan dari kalian itu benci kepada kebenaran”. [QS. az-Zukhruf/43: 74-78].
Berkata
al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu tetapi tabiat kalian tidak
menerimanya dan tidak menetapinya, hanyalah tabiat kalian itu menuruti dan
mengagungkan kebatilan, menghalangi (diri kalian dan orang lain) dari
kebenaran, menolaknya dan membenci ahlinya (orang yang berpegang dengan
kebenaran), maka kembalilah diri kalian itu dengan membawa celaan dan
menyesallah kalian ketika tidak berguna penyesalan itu bagi kalian”.[58]
Ayat di atas
menggambarkan keberadaan kebanyakan dari manusia di dalam adzab neraka Jahannam
yang disiksa tiada henti dan tiada keringanan bagi mereka sedikitpun sehingga
mereka berputus asa di dalamnya. Penyebab yang nampak jelas adalah karena
mereka membenci kebenaran yang datang kepada mereka sehingga mereka menolak dan
tidak menetapinya dengan amal, tetapi sebaliknya mereka malah menghalangi diri
mereka dan orang lain dari mendatangi dan mengamalkan kebenaran itu dan bahkan
mereka membenci para pemegang kebenaran dengan kebencian yang mendalam.
Di samping
itu pula Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan keadaan di
dalam hadits shahih tentang surga dan neraka yang telah diciptakan oleh Allah
ta’ala. Digambarkan oleh beliau bahwasanya surga itu dikelilingi oleh makarih
(yaitu segala sesuatu yang dibenci oleh manusia apakah berupa perintah
beribadah atau menjauhi dan meninggalkan larangan) dan neraka dikelilingi oleh syahwat
(yaitu segala sesuatu yang disukai oleh manusia dari perkara dunia yang
dilarang oleh syariat), demikianlah ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala yang
tidak akan diubah sepanjang masa. Sebagaimana telah dituturkan oleh Beliau di
dalam hadits berikut ini,
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: لَمَّا
خَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ وَ النَّارَ أَرْسَلَ جَبْرَئِيْلَ إِلَى الْجَنَّةِ
فَقَالَ انْظُرْ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لأَِهْلِهَا فِيْهَا قَالَ
فَجَاءَ هَا فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعَدَّ اللَّهُ لأَِهْلِهَا فِيْهَا
قَالَ فَرَجَعَ إِلَيْهِ قَالَ فَوَعِزَّتِكَ لاَ يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلاَّ
دَخَلَهَا فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا
فَانْظُرْ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيْهَا قَالَ فَرَجَعَ
إِلَيْهَا فَإِذَا هِيَ قَدْ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ
وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خِفْتُ أَنْ لاَ يَدْخُلَهَا أَحَدٌ قَالَ اذْهَبْ إِلَى
النَّارِ فَانْظُرْ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيْهَا
فَإِذَا هِيَ يَرْكَبُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ وَعِزَّتِكَ
لاَ يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ فَيَدْخُلَهَا فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ
فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَرَجَعَ إِلَيْهَا فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ
خَشِيْتُ أَنْ لاَ يَنْجُوَ مِنْهَا أَحَدٌ إِلاَّ دَخَلَهَا
Dari
Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika
Allah menciptakan surga dan neraka, Allah mengutus malaikat Jibril ke surga
lalu berfirman, “lihatlah surga itu dan apa yang Aku telah sediakan bagi
penghuninya di dalamnya!”. Nabi berkata, “Lalu iapun mendatanginya dan
melihatnya dan apa yang Allah telah sediakan bagi penghuninya di dalamnya”.
Nabi berkata, “lalu iapun kembali kepada-Nya”, lalu berkata, “Demi kemuliaan-Mu
tidaklah seseorang yang mendengar tentangnya melainkan ia akan memasukinya”.
Lalu Allah perintahkan agar surga itu dikelilingi dengan makarih (yaitu
segala sesuatu yang dibenci manusia), lalu Allah berfirman, “Kembalilah engkau
ke surga lalu lihatlah ke dalamnya dan kepada apa yang Aku telah sediakan bagi
penghuninya di dalamnya!”. Berkata Nabi, “Lalu iapun kembali kepadanya. Maka
ketika itu pula surga telah dikelilingi dengan makarih, lalu ia kembali
kepada-Nya dan berkata, “Demi kemuliaan-Mu sungguh-sungguh aku khawatir tidak
ada seseorangpun yang memasukinya”. Allah berfirman, “Pergilah engkau ke neraka
dan lihatlah ke dalamnya dan kepada apa yang Aku telah sediakan bagi
penghuninya di dalamnya!”. Maka tiba-tiba api neraka itu sebahagiannya menaiki
sebahagian yang lain. Lalu ia kembali kepada-Nya dan berkata, “Demi
kemuliaan-Mu tiada seorangpun yang mendengar tentangnya yang memasukinya”. Lalu
Allah perintahkan agar neraka itu dikelilingi dengan syahwat (yaitu
segala sesuatu yang disukai oleh manusia), lalu berfirman, “Kembalilah engkau
kepadanya!”. Lalu iapun kembali kepadanya, dan berkata, “Demi kemuliaan-Mu
sungguh-sungguh aku khawatir bahwasanya tiada seorangpun yang selamat darinya
melainkan ia akan memasukinya”. [HR at-Turmudziy: 2560, Abu Dawud: 4744,
an-Nasa’iy: VII/ 3-4 dan Ahmad: II/ 332-333. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Hasan Shahih].[59]
Ada riwayat
yang lain yaitu dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Neraka itu ditutupi oleh syahwat dan surga itu ditutupi oleh
makarih”. [HR al-Bukhoriy: 6487, Muslim: 2822 dan Ahmad: II/ 380, III/ 153,
254, 284 dari Anas bin Malik. Berkata asy-Syaikh al-albaniy: Shahih].[60]
Jelaslah
bagi orang mempunyai pandangan bahwasanya penyebab masuknya kebanyakan manusia
masuk ke dalam neraka adalah lantaran syahwat atau hawa nafsu mereka yang
mengendalikan dan menguasai mereka, sehingga ketika mereka sedang menjauhi
makarih dengan penjauhan yang penuh kebencian dan juga sedang asyik menikmati
syahwat mereka itu tiba-tiba mereka terjerumus ke dalam neraka. Begitu pula
yang menjadi penyebab jauhnya kebanyakan manusia dari surga apalagi memasukinya
adalah makarih, sehingga semakin jauh mereka dari makarih tersebut maka semakin
jauh pulalah mereka dari surga dan kemudian akan mendorong mereka ke dalam neraka.
Maka
siapapun orang yang enggan mendekati, memiliki dan melaksanakan makarih yang
telah ditentukan oleh Allah Jalla wa ‘Ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bahkan membencinya maka keinginan dan harapannya untuk masuk ke
dalam surga dan dijauhkan dari neraka akan sia-sia dan hampa. Apalagi jika ia
lebih suka dan bergairah di dalam mendekati, memiliki dan melaksakan syahwat
yang jelas-jelas telah dilarang oleh Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam syariat maka akan semakin tidak
memungkinkan baginya untuk meraih keinginan dan harapannya tersebut.
Allah ‘Azza
wa Jalla telah berfirman,
فَكَيْفَ
إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ يَضْرِبُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ أَدْبَارَهُمْ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ اتَّبَعُوْا مَا أَسْخَطَ اللَّهُ وَ كَرِهُوْا رِضْوَانَهُ
فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Maka
bagaimanakah keadaan mereka apabila malaikat maut (mencabut nyawa mereka)
seraya memukul wajah dan punggung mereka?. Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena
mereka membenci apa yang menimbulkan keridloan-Nya, sebab itu Allah menghapus
(pahala) amal-amal mereka. [QS. Muhammad/57: 27-28].
Berkata
al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah)) yaitu
dengan sebab mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dari
kekafiran dan perbuatan maksiat. ((Dan karena mereka membenci apa yang
menimbulkan keridloan-Nya)) yaitu mereka benci sesuatu yang Allah ridlo
kepadanya dari keimanan, tauhid dan ketaatan”.[61]
Berkata Ibnu
Rajab rahimahullah, “Allah Subhanahu mencela orang yang membenci apa yang
dicintai oleh Allah dan mencintai apa yang dibenci oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
“((Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka membenci apa yang diturunkan
Allah, maka Allah menghapuskan pahala amal-amal mereka. QS. Muhammad/47: 9))
dan Allah ta’ala
berfirman, “((Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan
kemurkaan Allah dan mereka membenci apa yang menimbulkan keridloan-Nya, sebab
itu Allah hapuskan pahala amal-amal mereka. QS. Muhammad/47: 28)). Maka wajib
bagi setiap mukmin untuk mencintai apa yang Allah cintai yaitu suatu kecintaan
yang menetapkan baginya untuk mendatangi apa yang wajib baginya dari-Nya, lalu
jika kecintaan itu bertambah sehingga ia mendatangi apa yang disunnahkan
baginya, maka yang demikian itu adalah merupakan suatu keutamaan. Dan ia juga
wajib membenci apa yang dibenci Allah ta’aala yaitu suatu kebencian yang menetapkan
baginya menahan diri dari apa yang diharamkan atasnya, lalu jikalau kebencian
itu bertambah sehingga ia menetapkan menahan diri dari apa yang dibenci-Nya
dalam rangka membersihkan diri maka yang demikian itu adalah merupakan suatu
keutamaan pula”.[62]
Dengan
penjabaran yang baru lalu, maka tidak pantas bagi setiap orang yang mengaku
atau menginginkan dirinya beriman untuk membenci segala ketetapan yang Allah
ta’ala tetapkan melalui Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa
kabar berita, perintah atau larangan yang tertuang di dalam ayat-ayat alqur’an
dan hadits-hadits shahih hanya karena tidak sesuai dengan akal logikanya yang
sempit, hawa nafsunya yang menghimpit atau persangkaannya yang sakit. Dan tidak
pantas juga baginya mencintai segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahan
dan kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya lantaran sesuai dengan akal logikanya yang buntu, hawa nafsunya
yang menggebu dan persangkaannya yang menipu. Tetapi jika itikad dan
tindakannya tidak seperti itu maka jelas keimanannya diragukan dan dapat
diyakini ia telah jatuh ke dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam
kendatipun ia mengerjakan amal yang dibencinya atau meninggalkan amal yang
dicintainya itu setelah didatangkan hujjah kepadanya, yang ia diminta taubatnya
dan jika tidak mau ia mesti diperangi sampai kembali kepada urusan Allah
ta`ala.
Berkata Ibnu
‘Umar radliyallahu anhuma, “Barangsiapa meninggalkan sunah maka ia telah kafir”.[63]
Berkata Ibnu
Baththoh rahimahullah, “Seandainya seseorang itu mengimani semua yang dibawa
oleh para Rosul kecuali satu saja, maka dengan penolakan kepada sesuatu itu
menjadikannya kafir menurut seluruh ulama”.[64]
Berkata
al-‘Allamah Ibnu Qoyyim rahimahullah, “Barangsiapa merasa cukup (yaitu; tidak
memerlukan) dari apa yang dibawa oleh Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan apa yang ditemui di dalam hatinya dari rasa khawatir dan cemas maka ia
termasuk dari orang yang paling besar kekafirannya”.[65]
Berkata
asy-Syaikh ‘Abdul’aziz bin Baz rahimahullah, “Keduanya (yaitu alqur’an dan sunnah)
adalah merupakan dasar yang saling menetapkan, barangsiapa yang mengingkari
salah satu dari keduanya maka sungguh-sungguh ia telah mengingkari yang lain dan
mendustakannya. Dan hal itu adalah merupakan kekafiran, kesesatan dan keluar
dari daerah Islam menurut ijma ahli ilmu dan iman”.[66]
عَنْ
أَبِى إِيَاسٍ سَلَمَةَ بْنِ عَمْرٍو بْنِ اْلأَكْوَعِ أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ
عِنْدَ رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ
بِيَمِيْنِكَ قَالَ لاَ أَسْتَطِيْعُ قَالَ لاَ اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلاَّ
الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ
Dari
Abu Iyas Salamah bin Amr bin al-Akwaa’, bahwasanya ada seorang lelaki makan di
sisi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Beliau
bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!”. Ia menjawab, “Aku tidak bisa”. Beliau
bersabda, “(Semoga) kamu tidak bisa, tidak ada yang mencegahnya melainkan sifat
sombong”. Berkata (yaitu Abu Iyas), “Maka orang tersebut tidak dapat mengangkat
tangannya ke mulutnya”. [HR Muslim: 2021. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih].[67]
Berkata
al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini diperbolehkan mendoakan
keburukan kepada orang yang menyalahi hukum syariat tanpa udzur, di dalamnya
ada (perintah) melakukan amar ma’ruf nahi munkar di dalam setiap keadaan
sehingga di dalam keadaan makan dan disukai mengajarkan orang yang makan
mengenai adab makan apabila ia menyalahinya”.[68]
Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika melihat suatu kemungkaran, beliau segera menegur orang
yang melakukan kemungkaran tersebut, tetapi kesombongan orang tersebut yang
mencegahnya mematuhi perintahnya dan menolak teguran tersebut, sehingga beliau
mendoakan keburukan kepadanya yang akhirnya orang tersebut tidak dapat lagi
mengangkat tangan kanannya ke mulutnya, sebagaimana penuturan Abu Iyas yaitu
shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Demikian di antara balasan
keburukan bagi orang yang menentang sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam
bentuk perintah atau larangan dan bagaimana balasan keburukan untuk mereka di
hari kiamat nanti?, tentu lebih keras dan kekal. Itulah seburuk-buruk balasan
bagi orang yang menetang Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ringkasnya,
barangsiapa yang mengingkari, membenci dan menolak kebenaran hadits-hadits yang
telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi ayat-ayat alqur’an
dengan dalih apapun, tiada bedanya satu ataupun lebih darinya meskipun ia
beramal dengannya maka jika telah didatangkan hujjah kepadanya tetapi ia tetap
di dalam keadaannya maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya
dari Islam, yang ia mesti diminta taubatnya dan jika ia tidak mau, maka ia
wajib diperangi sehingga ia kembali kepada urusan Allah.
Maka segala
hal yang menjadi penyebab pendustaan, pengingkaran dan penolakan terhadap
kebenaran alqur’an yang mulia dan hadits-hadits shahih Rosululullah Shallallahu
alaihi wa sallam wajib dijauhi dan dihindari. Setiap muslim tidak boleh
mendahulukan dan memprioritaskan akal logika, hawa nafsu dan persangkaannya di
dalam menerima kebenaran tetapi lebih hendaknya mendahulukan ketundukan dan
kepatuhan kepadanya. Wallahu a’lam bi ash-Showab.
[16] Yaitu dari Tsauban berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang tampak
jelas di atas kebenaran. Orang yang memerangi mereka tidak akan membahayakan
mereka sampai datang urusan Allah sedangkan mereka tetap seperti itu”. [HR
Muslim: 1920, at-Turmudziy: 2229, Abu Dawud: 4252, Ibnu Majah: 10, 3952, dan
Ahmad: V/ 278, 279 dari Tsauban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat
al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 52-53, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIII/ 65,
Mukhtashor Shahiih Muslim: 1095, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1817, Shahih Sunan
Abi Dawud: 3577, Shahih Sunan Ibni Majah: 10, 3192, Shahih al-Jami’ ash-Shahih:
7289 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1957].
[18] Fat-h al-Bariy: IX/ 198-199, X/
481, 484, XII/ 4, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 10, Shahih Muslim bi Syar-h
an-Nawawiy: XVI: 118, Mukhtashor Shahih Muslim: 1803, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 1619, Shahih Sunan Abi Dawud: 4109, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.
[19] HR al-Bukhoriy: 3251, 3252, 4881,
Muslim: 2826, 2827, 2828, at-Turmudziy: 2523, 3293, Ibnu Majah: 4335 dan Ahmad:
II/ 455, 462 dari Abu Hurairah, Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d dan Abu Sa’id
al-Khudriy radliyallahu ‘anhum. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat
Fat-h al-Bariy: VI/ 319-320, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 144, Shahih Muslim bi
Syar-h an-Nawawiy: XVII/ 167, 168, Mukhtashor Shahih Muslim: 1965, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2048, 2626, Shahih Sunan Ibni Majah: 3499, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2125.
[20] Untuk lebih lengkapnya silahkan
baca kitab al-Qobru ‘Adzaabuhu wa Na’iimuhu oleh Husain al-‘Awayisyah, ‘Adzab
al-Qobru wa Su’al al-Malakain oleh al-Imam al-Baihaqiy, at-Tadzkirah fi
Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah oleh al-Imam al-Qurthubiy, al-Qiyamah
ash-Shughra’ oleh Umar Sulaiman al-Asyqar dan selainnya.
[21] HR ast-Thabraniy di dalam
al-Mu’jam al-Awsath dari Ibnu Mas’ud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih.
Lihat Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 1965 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah:
III/ 366 hadits nomor 1377.
[22] HR al-Bukhoriy: 1338, 1374,
Muslim: 2870, Abu Dawud: 3231, 4752, an-Nasa’iy: IV/ 97, 97-98 dan Ahmad: III/ 126, 233 dari Anas bin Malik. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: III/ 205, 232-233,
al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 161-162, Shahiih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVII/
203, Mukhtashor Shahih Muslim: 491,
Shahih Sunan Abi Dawud: 3768, 3978, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1937, 1938, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 1675 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1344.
[23]HR
al-Bazzar, ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Hakim dan ad-Daruquthniy:
459, 460 dari Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 2102 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 152. Dan masih
banyak lagi hadits yang semakna lihat dan periksa Shahih at-Targhib wa
at-Tarhib dari nomor 151 sampai dengan 158.
[24] Di antara haditsnya adalah, “Apabila
seseorang di antara kalian bertasyahhud maka mintalah perlindungan kepada Allah
dari empat perkara, ia mengucapkan, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari
adzab neraka Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari
keburukan fitnah dajjal”. [HR Muslim: 588, Abu Dawud: 983, 984 dan an-Nasa’iy:
III/ 58, Ibnu Majah: 909, Ahmad: II/ 237, 477 dan ad-Darimiy: I/ 310 dari Abu
Hurairah dan Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’
ash-Shahih: II/ 93, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: V/ 87, Shahih Sunan Abi
Dawud: 867, 868, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1242, Shahih Sunan Ibni Majah: 741,
Irwa’ al-Ghalil: 350, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 432, 699 dan Sifat
ash-Sholah an-Nabiy halaman 145.
[25] HR al-Bukhoriy: 3320, 5782, Abu
Dawud: 3844, Ibnu Majah: 3504, 3505, an-Nasa’iy: VII/ 179, Ahmad: II/ 229-230,
246, 263, 340, 355, 388, 398, 443, III/ 67, 229, 246 dan ad-Darimiy: II/ 99
dari Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudriy dan Anas bin Malik. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy:
VI/ 359, X/ 250, Shahih Sunan Abi Dawud: 3255, Shahih Sunan Ibni Majah: 2823,
2824, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3974, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 835, 836,
837, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 38, 39, Irwa’ al-Ghalil: 175 dan Misykah
al-Mashobih: 4143, 4144.
[26]Lihat
bantahan asy-Syaikh al-Albaniy terhadap akal mereka yang buntu mengenai hal ini
di dalam kitabnya yang amat bernilai yaitu Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/
60-63 hadits nomor 39.
[27] HR Muslim: 1820, al-Bukhoriy:
3501, 7140 dan Ahmad: II/ 92, 93, 128 dari Abdullah bin Umar. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 3, Shahih Muslim
bi Syarh an-Nawawiy: XII/ 201, Mukhtasor Shahih Muslim: 1194, Fat-h al-Bariy:
VI/ 533, XIII/ 114, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7702 dan Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 375.
[28] HR Muslim: 1822 dan Ahmad: V/ 86,
87, 88, 89 dari Jabir bin Samurah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih. Lihat
al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 4, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XII/ 203,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1196, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7703 dan Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 864.
[29] HR al-Bukhoriy: 3500, 7139 dan
Ahmad: IV/ 94 dari Mu’awiyah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h
al-Bariy: VI/ 533, XIII/ 114, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: II/ 455 hadits
nomor 1485 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2244.
[30] HR al-Bukhoriy di dalam at-Tarikh
al-Kabir, Ibnu ‘Adiy di dalam al-Kamil ath-Thabraniy, al-Baihaqiy di dalam Manaqib
asy-Syaafi’iy dan Ibnu ‘Asakir dari Ummu Hani dan az-Zubair bin al-‘Awwam.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4208,
4209 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1944.
[31] HR Ahmad: III/ 129 berupa hadits
panjang dari Anas bin Malik. Juga meriwayatkannya ath-Thabraniy, Abu Nu’aim,
Abu al-Qosim al-Mahraniy, Abu ‘Amr ad-Daniy dan al-Hakim dari Ali bin Abi
Thalib. Juga diriwayatkan oleh Ahmad: IV/ 421, 424, ath-Thoyalisiy, Abu Ya’la,
ath-Thabraniy dan al-Bazzar dari Abu Barzah al-Aslamiy. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2757, 2758 dan Irwa’
al-Ghalil: 520.
[32] HR Ahmad: IV/ 185, Ibnu Abi
‘Ashim, ath-Thabraniy, Ibnu ‘Asakir hadits panjang dari ‘Utbah bin Abd. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3342 dan
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1851.
[33] HR al-Bukhoriy: 3495, Muslim: 1818
dan Ahmad: II/ 319, 261, 242-243, 395, 433, III/ 331, IV/ 101 dari Abu
Hurairah, Jabir bin Abdullah dan Mu’awiyah radliyallahu ‘anhum. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VI/ 526, Mukhtashor
Shahiih al-Bukhoriy: II/ 455 hadits nomor 1484, al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 2,
Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XII/ 199, 200, Mukhtashor Shahih Muslim:
1195, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6795 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah:
1006, 1007. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy mengomentari hadits ini, “Di dalam
hadits-hadits shahih ini ada bantahan yang jelas atas firqoh-firqoh
(golongan-golongan) yang sesat sejak dahulu, sebahagian para penyusun kitab dan
juga kelompok-kelompok Islam yang baru yang tidak mensyaratkan di dalam
kekhalifahan ini bahwasanya ia mesti orang arab Quraisy”. [Lihat Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 7].
[34] HR at-Turmudziy: 2640, 2641, Abu
Dawud: 4597, Ibnu Majah: 3992, 3993, Ahmad: II/ 332, IV/ 102 dan ad-Darimiy:
II/ 241 dari Abu Hurairah, Mu’awiyah, Anas bin Malik Abdullah bin Amr bin
al-‘Ash dan ‘Auf bin Malik radliyallahu ‘anhum. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2128, 2129, Shahih Sunan Abi Dawud:
3843, Shahih Sunan Ibni Majah: 3226, 3227, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1082,
1083, 2641 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 203, 204, 1492. Dan di dalam
riwayat at-Turmudziy, “Semuanya mereka di dalam neraka kecuali satu golongan
saja”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah itu wahai Rosulullah?”. Beliau
menjawab, “Sesuatu yang aku dan para shahabatku ada di atasnya”. [Sanadnya
adalah Hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2129, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 5343, Syarh al-‘Aqidah ath-Thohawiyah: 263 dan Misykah
al-Mashobih: 171]. Adapun hadits yang mengatakan, “Perselisihan umatku
adalah rahmat”. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Tidak ada asalnya. [Lihat
Dlo’if al-Jami’ ash-Shaghir: 230 dan Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa
al-Maudlu’ah: 57]. Dan lihat pula penjelasan asy-Syaikh mengenai bahayanya
mengamalkan hadits palsu tersebut di dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits
adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah: I/ 141-144 hadits nomor 57. Dan hadits palsu
inipun bertentangan dengan hadits yang shahih yaitu, “Berjama’ah itu rahmat
dan berfirqoh itu adzab”. [HR Ahmad: IV/ 278, 375, Abdullah bin Ahmad dan
Ibnu Abi ad-Dunya dari an-Nu’man bin Basyir dengan sanad yang Hasan sebagaimana
yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
3014, 3109, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 667 dan Shahih at-Targhib wa
at-Tarhib: 966].
[35] HR al-Bukhoriy: 349, 1636, 3342,
Muslim: 162, 163, 168, 173 dan Ahmad:
III/ 148-149, V/ 143-144 dari Abu Dzarr dan Ubay bin Ka’b. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: I/ 458-459, III/ 492, VI/ 374-375,
Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 100-102 hadits nomor 192, 193, 194, al-Jami’
ash-Shahih: I/ 99-101, 106-107, 109, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: II/
210-215, 218-222, 227-228, 232-233, Mukhtashor Shahih Muslim: 76, 78, 81,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 127, 4199, Tafsir Ibnu Katsir: III/ 7-10 dan kitab
asy-Syari’ah halaman 421-428.
[36] HR al-Bukhoriy: 2322, 2323, 3324,
3325, 5480, 5481, 5482 Muslim: 1574, 1575, 1576, at-Turmudziy: 1487, 1489,
1490, Abu Dawud: 2844, an-Nasa’iy: VII/ 187, 188, 189, Ibnu Majah: 3204, 3205,
3206 dan Ahmad: II/ 4, 8, 27, 37, 47, 55,
60, 71, 79, 101, 113, 147, 156,
267, 425, 473, V/ 56, 57 dari Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Abdullah bin Mughaffal dan Sufyan bin Abi Zuhair. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: V/ 5, VI/ 360, IX/ 608, Mukhtashor Shahih
al-Bukhoriy: II/ 110 hadits nomor 1084, 1085, al-Jami’ ash-Shahih: V/ 36, 37,
38, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: X/ 237-241, Mukhtashor Shahih Muslim:
1243, 1244, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1202, 1204, 1205, Shahih Sunan Abi
Dawud: 2470, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3991, 3995, 3996, 3997, 3998, 3999, 4000,
4001, 4002, Shahih Sunan Ibni Majah: 2595, 2596, 2597, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 5946, 6077, 6078, 6079, 6100 dan lihat pembahasannya di dalam
kitab as-Sunnah wa makanatuhaa fi at-Tasyri’ al-Islamiy halaman 287-290.
Adapun pembelaan terhadap para shahabat radliyallahu ‘anhum, terutama Abu
Hurairah yang dituduh membuat-buat hadits Nabi akan dibahas pada kesempatan
yang lain, insya’ Allah.
[37] HR al-Bukhoriy: 5954, Muslim:
2107, an-Nasa`iy: VIII/ 214, dan Ahmad: VI/ 36, 83, 85, 86, 199, 219 dari
Aisyah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bary: X/ 386-387,
al-Jami` ash-Shahih: VI/ 159, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIV/ 88, 89,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1366, Shahih Sunan an-Nasa`iy: 4956, Shahih al-Jami`
ash-Shaghir: 997 dan Ghoyah al-Maram: 119. Untuk lebih jelah pengharaman gambar
atau patung makhluk hidup kecuali pepohonan dan benda mati lainnya rujuklah
kitab Ghoyah al-Maram hadits-hadits nomor: 118, 119, 120, 121,
122, 130, 131, 132, Adab az-Zifaf halaman 185-196 dan Buyut
laa tadkhuluha al-Mala`ikah halaman 76-87.
[38] HR al-Bukhoriy: 5951, 5957, 7557,
7558, Muslim: 2107, 2108 dan an-Nasa`iy: VIII/ 215 dari Aisyah dan Ibnu Umar.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: X/ 382, 389, XIII/
528, al-Jami` ash-Shaghiir: VI: 161, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIV:
90, Mukhtashor Shahih Muslim: 1368, Shahih Sunan an-Nasa`iy: 4954, 4955, Shahih
al-Jami` ash-Shaghir: 999, Ghoyah al-Maram: 121 dan Adab az-Zifaf halaman
185-186.
[39] HR al-Bukhoriy: 4425, 7099,
at-Turmudziy: 2262, an-Nasa’iy: VIII/ 227 dan Ahmad: V/ 38, 43, 47, 51 dari Abu
Bakrah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VIII/ 126,
XIII/ 53, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1847, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4981,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5225 dan Irwa’ al-Ghalil: 2456. Berkata
al-Khithobiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini bahwasanya wanita itu tidak
mengurus (atau menguasai) imarah (yaitu pemerintahan) dan urusan hukum (qodli),
dan di dalam hadits itu pula bahwasanya wanita itu tidak (boleh) menikahkan
dirinya sendiri dan tidak mengurus akad kepada selainnya”. [Lihat Fat-h al-Bariy:
VIII/ 128]. Hadits di atas semakna dengan QS. an-Nisa`/4: 34, yaitu, ((Kaum
lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita)).
[40] HR al-Bukhoriy: 1339, 3407,
Muslim: 2372, an-Nasa’iy: IV/ 118-119 dan Ahmad: II/ 269, 315, 351 dari Abu Hurairah. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fath al-Bariy: III/ 206-207, VI/ 440-441,
Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 315 hadits nomor 670, al-Jami’ ash-Shahih:
VII/ 99-100, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XV/ 127, 128, Mukhtashor Shahih
Muslim: 1613, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1975 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
898.
[41] HR Muslim 259 dari Ibnu Umar.
Lihat al-Jami’ ash-Shaghir: I/ 153 dan Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: III/
147. Telah berlalu sebahagian dalil tentang perintah Rosulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar memelihara jenggot dan memotong (atau
merapihkan) kumis ini di dalam dalil 144, 145 dan 148, serta ada beberapa dalil
lain yang semakna yang mewajibkan memelihara jenggot dan merapihkan kumis ini,
baca pula kitab “Wujub I’fa al-Lihyah” susunan asy-Syaikh Muhammad
Zakaria al-Kandahlawiy dengan taqdim dan tahqiq asy-Syaikh Abdulaziz bin
Abdullah bin Baz. Dengan dalil-dalil itu pula, asy-Syaikh al-Albaniy
menerangkan keburukan bagi kaum pria yang mencukur jenggot dengan beberapa
keburukan di antaranya, (1) Merubah ciptaan Allah, (2) menyelisihi perintah
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (3) Menyerupai orang kafir dan (4)
Menyerupai kaum wanita. [Lihat Adab az-Zifaf fi as-Sunnah al-Muthahharah
dari halaman 207 sampai dengan 212].
[42] HR
Muslim: 261, at-Turmudziy: 2757, Abu Dawud: 53, Ibnu Majah: 293, an-Nasa’iy:
VIII/ 126-128 dari Aisyah radliyallahu ‘anha dan Ahmad: IV/ 264 dan Ammar bin
Yasir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahiih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: I/
153, Shahiih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: III/ 147, Mukhtashor Shahih Muslim:
183, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2214, Shahih Sunan Abi Dawud: 43, Shahih Sunan Ibni Majah: 238, Shahih
Sunan an-Nasa’iy: 4667, 4668, 4669 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4009.
[43] HR Ahmad: III/ 140, 249, 256 dan al-Baihaqiy dari Anas bin Malik.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini isnadnya shahih atas syarat
al-Bukhoriy dan Muslim. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2769 dan Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: 1765. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Sunah ini
termasuk dari apa yang kebanyakan orang khusus (para syaikh atau ulama) telah
berpaling, lebih-lebih para orang awam. Sebagaimana aku telah jelaskan di dalam
muqoddimah “Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyah (halaman 10-11)”. [Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 364].
[44] HR Ibnu Majah: 3573, Abu Dawud:
4093, Ahmad: III/ 5, 6, 31, 44, 52, 97, al-Humaidiy: 737 dan Malik di dalam
al-Muwaththo’ halaman 697 dari Abu Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 2875, Shahih Sunan Abi
Dawud: 3449, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 921 dan Misykah al-Mashobih: 4331.
[45] HR al-Bukhoriy: 3665, 5784, 6062,
Abu Dawud: 4085, an-Nasa’iy: VIII/ 208, Ahmad: II/ 67, 104, 136, 147 dan
al-Humaidiy: 649 dari Ibnu Umar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat
Fat-h al-Bariy: VII/ 19, X/ 254, 478, Shahih Sunan Abi Dawud: 3443, Shahih
Sunan an-Nasa’iy: 4928 dan Ghoyah al-Maram: 90. Dengan hadits ini asy-Syaikh
al-Albaniy berkomentar, “Mereka lengah dari perbedaan jelas di antaranya radliyallahu
‘anhu dan di antara mereka, maka sesungguhnya ia (yaitu Abu Bakar) tidak
menyengaja melakukannya, sebagaimana jelas ucapannya, “Sesungguhnya salah satu
bahagian sarungku turun menyengser” (karena postur beliau memang kurus), sedangkan mereka menyengaja menurunkannya
mereka lupa atau melupa-lupakan apa yang datang tentang sifat sarung Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam”. (Periksa bab 17 halaman 69-71). [Lihat Mukhtashor asy-Syama’il
al-Muhammadiyah halaman 10].
[46] HR at-Turmudziy: 2795, 2796 dan Abu Dawud: 4014 dari Jarhad al-Aslamiy
dan Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan
at-Turmudziy: 2245, Shahih Sunan Abi Dawud: 3389 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
1683, Misykah al-Mashobih: 3112.
[47] HR at-Turmudziy: 2798 dan Ahmad: I/
275, III/ 478, 479 dari Jarhad al-Aslamiy dan Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2795 dan Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 4157, 4158.
[48] HR al-Hakim. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5583 dan Irwa’ al-Ghalil:
271.
[49] HR Abu Dawud; 496, Ahmad: II/ 187
dan ad-Daruquthniy: 876, 877 dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 467 dan Irwa’
al-Ghalil: 247.
[50] HR Muslim: 2128 dan Ahmad: II/ 355-356,
440 dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’
ash-Shahih: VI/ 168, VIII/ 155, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIV/
109-110, XVII/ 190, Mukhtashor Shahih Muslim: 1388, 1984, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 3799, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1326, Ghoyah al-Maram: 85
dan Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 71 atau Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah
halaman 151. Untuk lebih rinci memahami hal ini rujuklah kitab Jilbab
al-Mar’ah al-Muslimah susunan asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albaniy. Adapun alqur`an
telah menjelaskan hal ini di dalam QS. an-Nur/24: 31 dan al-Ahzab/33: 59.
[51] HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam
ash-Shaghir nomor 1097 dari Abdullah bin Amr. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Sanadnya adalah shahih. Lihat Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman
56 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 125.
[52] HR Ahmad: VI/ 19, al-Bukhoriy di
dalam al-Adab al-Mufrad halaman 120, Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnu ‘Asakir dan
Ibnu Abi ‘Ashim dari Fadloolah bin Ubaid. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 458, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3058,
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 542, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 54
dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 119. Hadits ini semakna dengan QS.
al-Ahzab/33: 33.
[53] HR Abu Dawud: 4173, at-Turmudziy:
2786 dan an-Nasa’iy: VIII/ 153 dari Abu
Musa. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3516,
Shahih Sunan at-Turmudziy: 2237, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4737, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 323, 2701, Misykah al-Mashobih: 1065, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah
halaman 64 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 137.
[54]HR
Ibnu Majah 4002, Abu Dawud: 4174, an-Nasa’y: VIII/ 153-154 dari Abu Hurairah.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih. Lihat Shahih Sunan Ibni Majah
3233, Shahih Sunan Abi Dawud: 3517, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4738, Shahih
al-Jaami’ ash-Shaghir: 2703, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1031, Hijab
al-Mar’ah al-Muslimah halaman 64-65 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman
138. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy menanggapi hadits-hadits yang berkenaan
dengan ini, “Maka apabila yang demikian itu haram (bagi wanita) yang hendak
menuju ke masjid lalu apakah hukumnya bagi yang pergi menuju pasar, gang sempit
dan jalan-jalan raya?. Tidak diragukan lagi bahwasanya hal itu lebih sangat
diharamkan dan lebih besar dosanya. Al-Imam al-Haitamiy telah menyebutkan di
dalan kitab az-Zawajir bahwasanya keluarnya wanita dari rumahnya dalam
keadaan memakai wewangian dan berhias termasuk dari kaba’ir (dosa-dosa besar) kendatipun
suaminya mengidzinkannya”. [Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 65 dan Jilbab
al-Mar’ah al-Muslimah halaman 139].
[55] Ta’addud ini biasanya di kenal
dengan poligami (beristri lebih dari satu). Islam dengan hukum syariatnya
mendorong dan menganjurkan hal ini dikarenakan banyak hal, tetapi disini bukan
pembahasannya. Di antara dalil-dalil yang masyhur adalah QS. an-Nisa’/4: 3,
129. Adil yang dikehendaki di dalam ayat ini adalah adil di dalam memberi
nafkah berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan giliran, bukan dalam
masalah cinta dan kasih sayang. Di samping itu pula al-Imam al-Bukhoriy telah
memuat bab yaitu katsrah an-Nisa’ (banyak istri) dengan membawakan
dalil-dalil tentang istri-istri Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(hadits nomor 5067, 5068) dan atsar dari Sa’id bin Jubair berkata: Ibnu Abbas
pernah berkata kepadaku, “Apakah kamu telah menikah?”. Aku menjawab, “Belum”.
Ia berkata, “Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah
yang terbanyak istrinya”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy nomor
5069 dab Ahmad: I/ 243. Lihat Fat-h al-Bariy: IX/ 112-113].
[59] Shahih
Sunan at-Turmudziy: 2075, Shahih Sunan Abi Dawud: 3970, Shahih Sunan an-Nasa’iy:
3523, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5210, Misykah al-Mashobih: 5696 dan Syarh
al-‘Aqidah ath-Thohawiyah: 588 halaman 422.
[60] Fat-h al-Bariy: XI/ 320, al-Jami’
ash-Shahih: VIII/ 142-143, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVII/ 165,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1969 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3126, 3147.
Lihat pula penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar tentang makarih dan syahwat di dalam
Fat-h al-Bariy yang baru disebutkan.
[67] al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 109,
Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIII/ 192, Mukhtashor Shahih Muslim: 1299,
Riyadl ash-Shalihin: 159 dan Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 163.