السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Rabu, 17 Oktober 2012

SEBAIKNYA ANDA TAHU 3 (C) !!!...


C). ZHONN (PERSANGKAAN ATAU DUGAAN)
بسم الله الرحمن الرحيم
Setiap mukmin tidak boleh menganggap remeh dan memandang enteng perihal persangkaan ini, karena iapun termasuk salah satu biang keladi terjadinya penolakan dan timbulnya kebencian kepada dua nara sumber umat Islam. Bahkan berbagai macam kemaksiatanpun, salah satu penyebabnya adalah persangkaan ini juga, misalnya:  perbuatan syirik, bid’ah, makan harta riba dan lain sebagainya. Tak terkira banyaknya manusia, khususnya kaum muslimin yang mempelajari dan memahami agama Islam ini dari persangkaan-persangkaan belaka, padahal persangkaan itu tidak berguna sedikitpun untuk mendapatkan kebenaran, sebagaimana akan datang penjelasannya.
Telah berlalu penjelasan bahwasanya terjadi perbuatan syirik berupa dibuatnya patung-patung yang diberi nama dan kemudian disembah oleh para pembuatnya itu penyebabnya adalah mengikuti persangkaan dan hawa nafsu, yaitu, 
إِنْ هِيَ إِلاَّ أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوْهَا أَنْتُمْ وَ ءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ مَا تَهْوَى اْلأَنْفُسُ وَ لَقَدْ جَاءَ هُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengada-ngadakan namanya, Allah tidak menurunkan sesuatu keteranganpun untuk menyembahnya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka, padahal sungguh-sungguh telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka. [QS. an-Najm/53: 23].
أَلاَ إِنَّ لِلَّهِ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَ مَنْ فِى اْلأَرْضِ وَ مَا يَتَّبِعُ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللَّهِ شُرَكَاءَ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti melainkan persangkaan belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga. [QS. Yunus/10: 66].
Berkata  asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan)) yaitu sembahan-sembahan yang sebenarnya yang pantas untuk disembah karena keadaannya yang memiliki manfaat, mudlorot, mematikan atau menghidupkan. Tidak, tetapi tidaklah mereka di dalam mengibadahi sembahan-sembahan itu mengikuti melainkan zhonn (persangkaan).[1]
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Kemudian Allah ta’ala mengkhabarkan bahwasanya Dia memiliki kerajaan langit dan bumi dan bahwasanya kaum musyrikin itu menyembah berhala-berhala yang tidak memiliki sesuatupun, tidak mempunyai mudlorot dan tidak pula manfaat. Dan mereka tidak mempunyai dalil di dalam mengibadahi berhala-berhala itu, tetapi mereka di dalam hal tersebut hanyalah mengikuti persangkaan, dugaan, kedustaan dan kebohongan mereka”. [2]
Demikian keadaan kaum musyrikin, mereka membuat patung-patung berhala yang menyerupai sesuatu atau seseorang sesuai dengan kehendak mereka dengan tangan mereka sendiri, lalu mereka memberikan nama dengan nama-nama menurut selera mereka kemudian merekapun menyembahnya dengan penuh ketundukan, padahal berhala-berhala tersebut tidak memiliki manfaat, mudlorot, menghidupkan, mematikan dan membangkitkan. Kaum musyrikin itu tidak mempunyai sedikitpun dalil atau hujjah di dalam perbuatan mereka tersebut, mereka tidaklah mengikuti melainkan hanyalah persangkaan belaka.
سَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوْا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَ لاَ ءَابَاؤُنَا وَ لاَ حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوْا بَأْسَنَا قُلْ  هَلْ  عِنْدَكُمْ  مِنْ  عِلْمٍ  فَتُخْرِجُوْهُ  لَنَا  إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ أَنْتُمْ إِلاَّ تَخْرُصُوْنَ
Orang-orang yang mempersekutukan Allah (maksudnya: kaum musyrikin) akan berkata:  Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan berbuat syirik dan tidak pula mengharamkan sesuatupun. Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka mendustakan (para Rosul), hatta mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: Adakah kalian memiliki ilmu hingga kalian dapat mengemukakannya kepada Kami?. Kalian tidaklah mengikuti melainkan persangkaan belaka dan kalian tidak lain hanyalah menduga-duga. [QS. an-An’aam/6: 148].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Kalian tidaklah mengikuti melainkan persangkaan belaka)) yaitu tidaklah kalian mengikuti di dalam tuduhan-tuduhan kalian yang batil melainkan zhonn (persangkaan)”.[3]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Apakah kalian memiliki ilmu hingga kalian dapat mengemukakannya kepada Kami?)). Yaitu apakah ada pada sisi kalian dalil yang shahih berupa ilmu yang bermanfaat lalu kalian kemukakan kepada Kami agar Kami dapat melihat kepadanya dan mempelajarinya. Maksudnya di sini adalah untuk mengalahkan hujjah mereka (atau untuk mencela mereka dengan keras). Karena telah diketahui bahwasanya tiada ilmu bagi mereka yang benar bagi hujjah dan tegaknya bukti dengannya. Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka bahwasanya mereka tidak berada di atas sesuatupun dari ilmu dan mereka hanyalah mengikuti persangkaan-persangkaan belaka yaitu mereka tidaklah mengikuti melainkan persangkaan yang merupakan tempat kesalahan dan kejahilan”. [4]
Begitu pula mereka banyak melakukan perbuatan dosa dan maksiat lantaran persangkaan mereka bahwasanya Allah ta’ala tidak mengetahui kebanyakan apa yang mereka kerjakan, maka persangkaan tersebut akan membinasakan mereka pada hari kiamat. Jika ada seseorang mempunyai persangkaan bahwasanya  Allah ta’aala tidak melihat atau tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang ia kerjakan, tentu persangkaan itu akan mendorongnya untuk senantiasa mengabaikan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan akhirnya berapa banyak dosa yang ia kumpulkan lantaran mengabaikan perintah dan larangan tersebut, dan hal inilah yang menyeret orang tersebut kepada kebinasaan pada hari kiamat,  sebagaimana ayat berikut ini,
وَ مَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُوْنَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَ لاَ أَبْصَارُكُمْ وَ لاَ جُلُوْدُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لاَ يَعْلَمُ كَثِيْرًا مِمَّا تَعْمَلُوْنَ وَ ذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian. Tetapi kalian menyangka bahwasanya Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah persangkaan kalian yang kalian sangka terhadap Rabb kalian. Persangkaan itu telah membinasakan kalian maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang rugi. [QS. Fushshilat/41: 22-23].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(3) Perintah waspada dari su’u zhonn (buruk sangka) kepada Allah ta’ala dan yang demikian itu adalah seseorang menyangka bahwasanya Allah tidak mengawasinya atau tidak mengetahui apa yang ia kerjakan atau bahwasanya ia tidak akan dihisab (diperhitungkan amalnya) atau tidak dibalas”. [5]
Demikianlah mereka mencemari sifat-sifat Allah ta’ala dengan persangkaan mereka yang batil sehingga mereka menafikan (meniadakan) sifat-sifat Allah yang maha sempurna. Maka tak heranlah jikalau mereka akhirnya meragukan dan bahkan mengingkari sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui lantaran persangkaan mereka yang akan membinasakan diri mereka, sebagaimana di dalam ayat di atas. Begitu pula di antara mereka ada yang mengotori dan menafikan sifat Allah Yang Maha Kaya dan meletakkan sifat fakir pada-Nya sebagaimana dalil berikut,
لَقَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللَّهَ فَقِيْرٌ وَ نَحٍنُ أَغْنِيَاءُ سَنَكْتُبُ  مَا  قَالُوْا  وَ قَتْلَهُمُ  اْلأَنْبِيَاءَ  بِغَيْرِ حَقٍّ وَ نَقُوْلُ ذُوْقُوْا عَذَابَ الْحَرِيْقِ
Sungguh-sungguh Allah telah mendengar ucapan orang yang mengatakan: Sesungguhnya Allah fakir dan kami kaya. Kami akan mencatat ucapan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Dan Kami akan katakan kepada mereka: Rasakanlah oleh kalian adzab yang membakar. [QS. Ali Imran/3: 181].
Juga ada yang mengingkari kejadian hari berbangkit, terjadinya hari kiamat dan menyangka bahwasanya kehidupan itu hanyalah kehidupan di dunia saja, tiada kehidupan setelah mati. Begitulah ucapan yang keluar dari lisan-lisan mereka yang merupakan pencerminan dan buah dari keyakinan batin mereka yang didasari persangkaan-persangkaan di dalam menerima seruan dan bimbingan para Rosul Sholawatullah ‘alaihim wa salamuhu ajma’in, sebagaimana telah dijelaskan keberadaan mereka di dalam banyak ayat di dalam alqur’an di antaranya,
زَعَمَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوْا قُلْ بَلَى وَ رَبِّى لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيْرٌ
Orang-orang yang kafir menyangka, bahwasanya mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, ‘Tidak demikian, demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan diberitakan kepada kalian mengenai apa yang kalian telah kerjakan’. Dan demikian itu mudah bagi Allah. [QS. at-Taghobun/64: 7].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman mengkhabarkan tentang orang-orang kafir, kaum Musyrikin dan golongan Mulhidin (orang-orang yang menyimpang) bahwasanya mereka menyangka tidak akan dibangkitkan. ((Katakanlah, ‘Tidak demikian demi Rabbku, kalian benar-benar akan dibangkitkan kemudian akan diberitakan kepada kalian mengenai apa yang kalian telah kerjakan’)) yaitu akan dikhabarkan kepada kalian tentang seluruh amal-amal kalian yang mulia dan yang tercelanya, yang kecil dan yang besarnya. ((Dan yang demikian itu mudah bagi Allah)) yaitu dibangkitkan dan dibalasnya kalian. Dan ini adalah ayat ketiga yang telah Allah perintahkan kepada Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersumpah dengan nama Rabbnya ‘Azza wa Jalla atas terjadinya dan adanya hari kembali (maksudnya hari kiamat), yaitu yang pertama di dalam surat Yunus/10 ayat 53, yang kedua surat Saba’/34 ayat 3 dan yang ketiga surat ini yaitu at-Taghobun/64 ayat 7.[6]
وَ قَالُوْا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَ نَحْيَا وَ مَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ وَ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّوْنَ
Dan mereka berkata, “Kehidupan ini hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tiada yang membinasakan kita melainkan masa/waktu”. Dan mereka sekali-kali tidak memiliki ilmu tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka. [QS. al-Jatsiyah/45: 24].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Dan mereka sekali-kali tidak memiliki ilmu tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka)) yaitu tidak ada bagi mereka di dalam itikad (keyakinan) mereka ini yang mendekati ilmu naqli (sesuai dengan dalil syar’iy) dan tidak pula ilmu aqli (sesuai dengan akal), yakni mereka tidak menerimanya dari wahyu yang Allah wahyukan kepada orang yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan tidak pula dari akal bersih dan kuat yang hukumnya tidak akan rusak, seperti satu ditambah satu sama dengan dua, putih itu berbeda dengan hitam dan seterusnya dari ketetapan-ketetapan akal yang tidak dapat dipungkiri. Mereka para penganut dahriyah itu tidak ada bagi mereka sesuatupun di dalam hal tersebut, tidak ada bagi mereka melainkan persangkaan dan dugaan. Dan ketetapan akidah itu tidak patut berdasarkan persangkaan, karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya perkataan”. [7]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka)) yaitu tidak ada mereka itu melainkan suatu kaum yang tujuan apa yang ada pada sisi mereka adalah persangkaan, lalu mereka tidak akan berkata-kata melainkan dengannya dan mereka tidak bersandar melainkan kepadanya.[8]
وَ إِذَا قِيْلَ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَ السَّاعَةُ لاَ رَيْبَ فِيْهَا قُلْتُمْ مَا نَدْرَى مَا السَّاعَةُ إِنْ نَظُنُّ إِلاَّ ظَنًّا وَ مَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِيْنَ
Dan apabila dikatakan (kepada kalian): Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan hari berbangkit (kiamat) itu tidak ada keraguan padanya. Niscaya kalian akan mengatakan: kami tidak mengetahui apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga dan kami sekali-kali tidaklah meyakininya. [QS. al-Jatsiyah/45: 32].
Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan keyakinan dari orang-orang kafir di antara ahli kitab, kaum musyrikin dan golongan munafikin ataupun dari kalangan kaum muslimin yang belum sepenuhnya tunduk kepada ketentuan Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran lemahnya keimanan mereka. Ketika diterangkan kepada mereka perkara-perkara agama lalu mereka dengan spontan membayang-bayangkannya dengan persangkaan-persangkaan yang ada pada mereka tanpa mau mencari tahu dan memahami dalil-dalil alqur’an dan hadits yang mendukungnya.
Persangkaan itu dapat menyeret pelakunya kepada kemusyrikan misalnya; keyakinan sebahagian besar kaum muslimin bahwasanya ziarah kubur ke kuburan para wali atau orang-orang shalih atau bahkan kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan penyebab diberinya syafa’at atau merupakan perantara (wasilah) keselamatan di dunia dan akhirat bagi mereka. Keyakinan mereka bahwasanya mengkultuskan para masyayikh atau haba’ib merupakan bentuk memuliakan ulama yang dianjurkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keyakinan mereka bahwa memelihara dan mengkeramatkan (memuliakan) benda-benda pusaka peninggalan para leluhur adalah bentuk menghormati dan memuliakan mereka dan benda-benda pusaka itu akan melindungi mereka dari bahaya dan menarik kemanfaatan bagi mereka, dan lain sebagainya.
Persangkaan juga bisa membawa pelakunya kepada perbuatan bid’ah yang jelas larangannya di dalam syariat, misalnya; Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk rasa cinta kepadanya. Mengadakan tahlil hari ke tujuh, ke sepuluh, ke empat puluh, ke seratus dan seterusnya itu merupakan ajaran Islam, jika tidak dilaksanakan maka orang tersebut di anggap seperti bangkai binatang. Melaksanakan sholat dengan ada tambahan di dalam bacaan atau raka’at dengan sangkaan semakin banyak menjadi semakin baik. Melafazhkan usholli atau nawaytu ketika hendak menunaikan sholat atau shoum, dengan anggapan agar lebih mantap dalam melaksanakannya. Dan seterusnya yang tak terbilang jika disebutkan semuanya.
Mengandalkan persangkaan di dalam keyakinan, ucapan dan perbuatan akan terus berlangsung di setiap waktu dan tempat hingga tidak ada lagi orang yang berfatwa melainkan dengan persangkaan belaka, sebagaimana diceritakan oleh Darraj Abu as-Samh, “Akan datang suatu masa atas manusia dimana seseorang menggemukkan kendaraan untanya sehingga ia mengadakan perjalanan di atasnya di banyak negeri dalam rangka mencari orang yang memberi fatwa kepadanya dengan sunnah yang sungguh-sungguh ia telah beramal dengannya, tetapi ia tidak menjumpai melainkan orang yang memberi fatwa kepadanya dengan persangkaan”. [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abdilbarr]. [9]
Padahal di dalam meraih dan memiliki kebenaran itu tidak akan dapat diperoleh dengan mengandalkan persangkaan semata-mata, karena banyak hal di dalam urusan agama ini yang saling bertentangan, berseberangan dan bahkan bertabrakan antara syariat dari Allah -Jalla Jalaaluhu- dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan persangkaan tiap-tiap manusia. Tetapi kebenaran itu dapat diraih dan didapatkan dengan ilmu yang berdasarkan kepada alqur’an dengan penafsiran yang benar dari para ulama ahli tafsir dan hadits-hadits yang tsabit dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar dari para ulama salaf.
Allah Tabaaroka wa ta’ala telah berfirman di dalam ayat-ayat berikut ini,
وَ مَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًـا إِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti melainkan persangkaan. Dan sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk (meraih) kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [QS. Yunus/10: 36].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(3) Persangkaan itu tidak diterima di dalam akidah tetapi mesti dari ilmu yakin. (4) Dibencinya perkataan dengan dasar persangkaan dan beramal dengannya. Dan di dalam hadits[10], “Waspadalah kalian terhadap persangkaan, karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya perkataan”.[11]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Kemudian Allah Subhanahu mengkhabarkan bahwasanya semata-mata persangkaan itu tidak akan berguna sedikitpun untuk mendapatkan kebenaran, karena perkara agama itu hanyalah dibangun di atas dasar ilmu. Dengan ilmu itu jelaslah kebenaran dari kebatilan, dan persangkaan itu tidak akan berdiri seperti berdirinya ilmu, tidak akan mencapai kebenaran dengannya dan tidak akan berguna untuk mendapatkan kebenaran di dalam sesuatu dari berbagai sesuatu”.[12]
وَ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًـا
Dan mereka tidak memiliki sesuatu ilmupun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun untuk (mendapatkan) kebenaran. [QS. an-Najm/53: 28].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “((Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tidak berguna sedikitpun dari (mendapatkan) kebenaran)) yaitu tidak berguna sedikitpun sedikitpun dan tidak akan berdiri pada tempat kebenaran selama-lamanya. Dan sungguh-sungguh telah tsabit di dalam ash-Shahih bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah kalian terhadap persangkaan, karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya perkataan”.[13]
Setelah dapat dipahami dan dimengerti bahwasanya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun di dalam mencari, meraih dan mendapatkan kebenaran, maka tak pantas seorang mukmin itu tetap mengandalkan dan bermodalkan persangkaan di dalam mempelajari persoalan agamanya. Oleh sebab itulah Rosulullah Shallallah ‘alaihi wa sallam telah dilarang oleh Allah Jalla wa ‘Ala untuk mengikuti mayoritas (kebanyakan) manusia karena mereka hanyalah semata-mata mengikuti persangkaan tidak berdasarkan dan bersandarkan ilmu dari Allah ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu;
وَ إِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِى اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
Dan jika engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi  ini, niscaya mereka akan akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka itu tidak lain hanyalah berdusta. [QS. al-An’aam/6: 116].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala telah mengkhabarkan tentang keadaan mayoritas (kebanyakan) penduduk bumi dari anak-anak Adam (yaitu manusia) bahwasanya keadaannya sesat, sebagaimana firman-Nya ta’ala, ((Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (yaitu Quraisy) sebahagian besar dari orang-orang terdahulu. QS. ash-Shoffat/37: 71)) dan firman-Nya ta’ala, ((Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman kendatipun kamu sangat menginginkannya. QS. Yusuf/12: 103)). Dan mereka di dalam kesesatan yang bukan berdasarkan atas keyakinan dari perkara mereka tersebut dan mereka hanyalah di dalam persangkaan-persangkaan yang palsu dan perkiraan yang batil”.[14]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Dan jika engkau mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah)) yaitu seandainya engkau mendengar (ucapan) mereka, mengambil ro’yu-ro’yu (pendapat akal) mereka dan mengabulkan usulan-usulan mereka pastilah mereka menyesatkanmu dari jalan Allah. Penyebabnya adalah bahwasanya kebanyakan mereka tidak ada hujjah dan juga tidak ada padanya ilmu yang sebenarnya dan semua yang mereka katakan adalah hawa nafsu dan bisikan-bisikan syaitan. Sesungguhnya tidaklah mereka mengikuti melainkan ucapan-ucapan persangkaan dan tidaklah mereka itu pada apa yang mereka ucapkan melainkan para pendusta lagi pembohong. Dan memadai bagimu ilmu Rabbmu tentang mereka, karena sesunggguhnya Allah ta’ala lebih mengetahui orang yang sesat dari jalan-Nya dan Ia pula lebih mengetahui orang yang mendapat petunjuk”.[15]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Allah Subhanahu mengkhabarkan kepadanya bahwasanya apabila Beliau ingin mentaati kebanyakan orang yang ada di muka bumi niscaya mereka akan menyesatkannya, karena kebenaran itu tidak ada melainkan di tangan minoritas (orang yang sedikit) dan mereka itu adalah golongan yang senantiasa ada di atas kebenaran dan orang-orang yang menyelisihinya tidak akan membahayakannya, sebagaimana telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[16] Dikatakan, ‘Yang dimaksud dengan kebanyakan adalah orang-orang kafir’, dikatakan, ‘Yang dimaksud dengan bumi adalah Mekkah yaitu kebanyakan penduduk Mekkah’. Kemudian Allah Subhanahu menerangkan sebabnya yang demikian itu dengan firman-Nya, ((Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka)) yaitu tidaklah mereka mengikuti melainkan persangkaan yang tidak ada dasarnya, yaitu persangkaan mereka bahwasanya sembahan-sembahan mereka itu pantas diibadahi dan dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah”.[17]
Beberapa keterangan tafsir di atas memberi penjelasan bahwasanya ‘illat (penyebab) dilarangnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti mayoritas (orang kebanyakan) adalah lantaran mereka senantiasa mengikuti persangkaan mereka bukan ilmu yakin yang diambil dan disalin dari firman Allah ta’ala dan sabda Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi telah datang hujjah dari Allah Jalla Jalaluhu bahwasanya kebanyakan manusia itu tidak beriman, ini berarti kebenaran itu tidak berada di tangan mayoritas (kebanyakan orang) tetapi di tangan minoritas (orang yang sedikit). Maka setiap orang yang ingin mengikuti dan menteladani Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara kaum mukminin, hendaklah ia di dalam menuntut ilmu, beramal dengannya dan berdakwah kepadanya senantiasa merujuk kepada ucapan Allah dan Rosul-Nya bukan kepada persangkaan-persangkaan yang tidak ada asalnya dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Oleh karena itulah Rosulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh kaum mukminin agar berhati-hati terhadap persangkaan karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya perkataan, yaitu;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ يَأْثُرُ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَ الظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Dari Abu Hurairah mengutip dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah kalian terhadap persangkaan, karena persangkaan itu adalah sedusta-dustanya perkataan”. [HR al-Bukhoriy: 5143 dan lafazh ini baginya, 6064, 6066, 6724, Muslim: 2563, at-Turmudziy: 1988, Abu Dawud: 4917 dan Ahmad: II/ 245, 287, 312, 342, 465, 482, 491-492, 504, 517, 539. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]
Jika demikian adanya perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar waspada dari persangkaan maka tidak patut bagi seorang yang menyatakan dirinya mukmin atau mukminah itu menolak atau mengadakan pilihan yang lain dari apa yang telah ditetapkan olehnya. Karena berapa banyak perkataan dan perbuatan yang berdasarkan persangkaan semata-mata ini yang dikerjakan oleh kebanyakan umat ini tanpa mau tahu bahkan tidak mau tahu dasar dan atsarnya dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu ‘anhum kemudian mereka mengharapkan dan mengakui bahwasanya diri mereka beriman. Jauh, jauh apa yang mereka harapkan dan yang mereka akui itu.
Maka memperhatikan penjelasan-penjelasan yang telah berlalu, dapatlah dipahami bahwasanya penyebab terjadinya penolakan terhadap sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau bahkan alquran yang mulia dan terjadinya penyimpangan makna dan tujuan dari keduanya adalah lantaran logika, hawa nafsu dan persangkaan. Tak terkira banyaknya penolakan di dalam agama yang ditimbulkan akibat mendahulukan dan memprioritaskan (mengutamakan) penggunaan logika, hawa nafsu dan persangkaan, yang sebahagian penolakannya telah disebutkan dan akan disebutkan pula beberapa contoh penolakan lainnya yang diakibatkan olehnya. Setiap orang atau individu berbeda di dalam penolakannya terhadap sunnah Nabi atau bahkan alquran dan juga di dalam penyimpangan dari keduanya atau menyimpangkan keduanya, semua tergantung dari dasar yang terpendam di dalam dirinya, bisa jadi di dalam dirinya ada satu atau dua atau bahkan ketiga hal tersebut yang mempengaruhi dirinya. Semakin banyak dan kuat yang mempengaruhinya maka akan semakin banyak dan kuat pula penolakan dan penyimpangannya terhadap kedua nara sumber umat Islam itu dan menyimpangkannya. Adapun contoh penolakan yang terjadi adalah di antaranya;
1) Ditolaknya hadits, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pohon yang bayangannya baru selesai dilalui oleh orang yang berkendaraan selama seratus tahun”.[19] Mereka menolak karena tidak masuk di dalam akal logika mereka ada pohon sebesar itu, maka akhirnya mereka menganggap hadits itu hanyalah khayalan dan termasuk cerita israiliyat, padahal hadits mutawatir tersebut telah jelas keshahihannya.
2) Ditolaknya hadits-hadits tentang masalah kubur berupa fitnah yang diutarakan atau nikmat yang diberikan atau siksaan yang ditimpakan di dalamnya,[20] di antara haditsnya adalah, “Sesungguhnya orang-orang yang telah mati itu diadzab di dalam kubur-kubur mereka, sehingga bahwasanya binatang-binatang itu mendengar suara mereka”.[21] Atau hadits, “Sesungguhnya seorang hamba itu apabila diletakkan di dalam kuburnya dan teman-temannya telah berpaling meninggalkannya, sehingga ia mendengar derap sendal-sendal mereka, datanglah dua malaikat (di dalam suatu riwayat, yang dinamakan Munkar dan Nakir) kepadanya. Lalu kedua-duanya mendudukkannya seraya berkata, ‘Apa yang hendak engkau katakan mengenai pria ini (maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka adapun orang mukmin mengatakan, ‘Aku bersaksi bahwasanya ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya’. Dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempatmu dari neraka yang sungguh-sungguh Allah telah menggantikannya dengan satu tempat di surga, lalu ia melihat kedua-duanya semuanya, dan dilapangkanlah untuknya di dalam kuburnya sejauh tujuh puluh hasta dan dipenuhi atasnya yang hijau sampai hari mereka dibangkitkan’. Adapun orang kafir atau munafik dikatakan kepadanya, ‘Apa yang hendak engkau katakan mengenai pria ini?’. Ia mengatakan, ‘Aku tidak tahu, aku hanyalah mengatakan apa yang orang-orang katakan’. Dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak tahu dan kamu tidak baca?’. Kemudian ia dipukul dengan gada dari besi dengan sekali pukul di antara kedua telinganya. Maka ia berteriak dengan suatu teriakan yang didengar oleh yang berada di sekitarnya, kecuali dua makhluk yang dibebani (maksudnya; manusia dan jin), dan disempitkan kuburnya atasnya sehingga tulang-tulang persendiannya saling berselisih”.[22] Atau hadits, “Umumnya adzab kubur itu pada baul (air kencing), maka bersihkanlah diri kalian darinya”.[23] Dan lain sebagainya yang semuanya itu ditolak lantaran tidak dapat diterima oleh akal mereka, sehingga akhirnya persoalan kubur itu dianggap hanyalah cerita fiksi (khayalan) belaka padahal tak sedikit hadits yang menceritakan masalah kubur ini dan bahkan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallampun telah menyuruh umatnya untuk berlindung dari adzab kubur.[24]
3) Ditolaknya hadits, “Apabila jatuh seekor lalat ke dalam bejana (di dalam satu riwayat, minuman) salah seorang dari kalian maka hendaklah ia membenamkannya. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya itu terdapat penyakit (di dalam satu riwayat, racun) dan pada sayap yang lain ada obatnya”.[25] Hadits inipun ditolak lantaran tidak dapat diterima oleh kebuntuan akal mereka yang merasa heran mana mungkin lalat yang hidup di dalam kubangan kotoran memiliki penawar obat bagi penyakit yang ditimbulkannya. [26]
4) Ditolaknya hadits-hadits tentang syarat kekhalifahan mesti orang Quraisy, diantara haditsnya adalah, “Senantiasa perkara imarah (pemerintahan) ini pada Quraisy meskipun tinggal tersisa dua orang di antara manusia”.[27] Atau hadits, “Senantiasa agama ini tegak sehingga tegaknya hari kiamat atau ada atas kalian dua belas khalifah semuanya mereka dari Quraisy”.[28] Atau hadits, “Sesungguhnya perkara imarah ini dari Quraisy, tidak ada seseorangpun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan menelungkupkannya di neraka atas wajahnya pada hari kiamat selama mereka menegakkan agama”.[29] Atau hadits, “Allah mengutamakan Quraisy dengan tujuh perkara; (1) Allah lebihkan mereka bahwasanya mereka beribadah kepada Allah selama sepuluh tahun pada waktu itu tidak ada yang mengibadahi-Nya kecuali Quraisy. (2) Allah lebihkan mereka bahwasanya Allah menolong mereka pada waktu hari Fil (maksudnya; tahun gajah) sedangkan mereka masih kaum musyrikin. (3) Allah lebihkan mereka bahwasanya turun pada mereka satu surat dari alquran yang tidak masuk pada mereka selain mereka (yaitu surat Quraisy). (4) Allah lebihkan mereka bahwasanya pada mereka ada kenabian. (5) kekhalifahan. (6) Hijabah (menjaga kabah) dan (7) Siqoyah (hak memberi minum jamaah haji)”.[30] Atau hadits, “Imam-imam itu dari Quraisy”.[31] Atau hadits, “Kekhalifahan itu dari Quraisy”.[32] Atau hadits, “Manusia itu ikut kepada Quraisy di dalam keadaan ini. Muslimnya mereka mengikuti muslimnya Quraisy dan kafirnya mereka mengikuti kafirnya Quraisy”.[33] Dan masih banyak lagi hadits-hadits semakna yang menunjukkan bahwasanya kekhalifahan dan imarah itu dari Quraisy tidak dari yang lainnya, tiada yang menolaknya melainkan orang-orang yang dungu lagi memperturutkan hawa nafsunya.
5) Ditolaknya hadits tentang perpecahan umat, “Ingatlah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahli kitab telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di dalam neraka dan satu di dalam surga yaitu jamaah”.[34] Alasan ditolaknya hadits ini karena bertentangan dengan persangkaan mereka yang menganggap bahwa Islam itu satu dan tidak mungkin terpecah belah meskipun berbeda prinsip dan keyakinan.
6) Ditolaknya hadits tentang mi’rajnya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ke langit dan bertemu dengan para Nabi ‘Alaihim as-Salam kemudian Allah ta’ala memerintahkan sholat kepada umatnya.[35] Alasan ditolaknya hadits ini adalah karena kisah di dalam hadits tersebut tidak dapat diterima oleh akal logika mereka.
7) Ditolaknya hadits, “Barangsiapa memelihara anjing akan berkurang pahala dari amalnya setiap hari sebanyak satu qirath, kecuali anjing penjaga tanaman atau penggembala. Di dalam satu riwayat; kecuali anjing penggembala kambing, penjaga tanaman atau pemburu”.[36] Para penolak hadits ini tidak menerima hadits ini karena diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menambahkan di dalam hadits tersebut yaitu anjing penjaga tanaman karena Abu Hurairah memiliki tanaman sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar dan juga karena mereka beranggapan bagaimana mungkin pahala seseorang itu dikurangi lantaran hanya memelihara seekor anjing.
8) Ditolaknya hadits-hadits berkenaan dengan gambar dan patung makhluk hidup, di antaranya hadits, “Orang yang paling keras mendapatkan siksaan pada hari kiamat adalah para pembuat gambar/ patung (di dalam satu riwayat, yang meniru-niru ciptaan Allah)”.[37] Atau hadits, “Sesungguhnya pemilik (di dalam satu riwayat, pembuat) gambar ini akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka: hidupkanlah apa yang kalian ciptakan itu”.[38] Penolakan hadits-hadits ini dikarenakan hawa nafsu mereka yang ingin menghiasi rumah ataupun gedung yang mereka miliki dan tempati dengan segala macam gambar dan patung agar asri dan sedap dipandang mata.
9) Ditolaknya hadits, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menguasakan urusan imarah (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”.[39] Penolakan hadits ini biasanya dikarenakan hawa nafsu mereka untuk mendukung seorang wanita yang diidolakan oleh mereka dan kebodohan mereka tentang syariat. Apalagi jika ia seorang wanita yang mempunyai ambisi meraih jabatan dan status yang tinggi di hadapan manusia, niscaya ia akan berada di barisan yang terdepan di dalam menolak dan menghujat hadits shahih ini, dan dalil ini juga berlaku sebagai larangan bagi kaum wanita menjadi pemimpin di rumah tangga.
10) Ditolaknya, “Pernah diutus Malaikat Maut kepada Musa ‘Alaihima as-Salam ketika ia telah datang kepadanya, ia (maksudnya: nabi Musa) memukulnya dengan keras (di dalam satu riwayat ia menamparnya: sehingga matanya menjadi buta sebelah), … dan seterusnya hadits”.[40] Penolakan hadits ini dikarenakan kebingungan dan kebimbangan mereka berdasarkan persangkaan terhadapnya sehingga mereka berkata; bagaimana mungkin Malaikat maut itu dapat di tampar oleh nabi Musa ketika hendak mencabut nyawanya.
11) Ditolaknya hadits-hadits yang berkenaan masalah memelihara jenggot dan merapihkan kumis. Di antaranya adalah, Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan memelihara jenggot.[41] Atau hadits, “Ada sepuluh perkara yang termasuk dari fithrah (urusan agama), yaitu (1) memotong kumis (2) memelihara jenggot (3) siwak (4) menghirup air melalui hidung (yakni: di dalam berwudlu) (5) menggunting kuku (6) mencuci celah jari jemari (yakni: kaki dan tangan di dalam berwudlu) (7) mencabut bulu ketiak (8) memotong ari-ari (9) istinja (yakni; membasuh bekas buang air kecil dan besar) dan (10) berkumur-kumur”.[42] Hadits-hadits ini ditolak lantaran tidak sesuai dengan hawa nafsu orang yang menolaknya di antara mereka yang lebih suka mencukur klimis semuanya atau lebih suka memelihara kumis dan mencukur jenggot. Apalagi terkadang memelihara jenggot itu diidentikkan dengan teroris.
12) Ditolaknya hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah batas pakaian tidak melebihi mata kaki. Di antaranya adalah, “Sarung itu sampai kepada pertengahan betis. Maka ketika beliau melihat beratnya yang demikian itu bagi kaum muslimin, beliau bersabda, “Sampai kepada mata kaki, tiada kebaikan pada apa-apa yang di bawah dari itu”.[43] Atau hadits, “Sarungnya orang mukmin itu sampai kepada pertengahan dua betisnya. Dan tiada dosa baginya apa yang di antaranya dan antara dua mata kakinya, dan apa yang di bawah dari dua mata kaki itu di dalam neraka. Beliau mengatakannya tiga kali. Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya lantaran sombong”.[44] Penolakan ini dikarenakan persangkaan dan hawa nafsu mereka yang menyatakan, “Mungkinkah lantaran sarung yang menutup mata kaki, seseorang akan dijebloskan ke dalam neraka?”. Atau mereka menurunkan sarung atau celana itu karena mengikuti shahabat Abu Bakar radliyallahu ‘anhu yang menurunkan sarungnya dalam keadaan tidak sombong.[45] Padahal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh mereka untuk menolak dalil-dalil shahih tersebut, dan tiada yang menolaknya melainkan para pengikut hawa nafsu dan para pendebat.
13) Ditolaknya hadits tentang paha bagi pria adalah termasuk aurat, di antaranya adalah, “Sesungguhnya paha itu adalah aurat”.[46] Atau hadits, “Tutupilah pahamu, maka sesungguhnya paha itu adalah aurat”.[47] Atau hadits, “Apa-apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat”.[48] Atau hadits, “Dan apabila seseorang di antara kalian ada yang hendak menikahkan budak laki-laki (kepada budak perempuannya) atau pekerjanya maka janganlah ia melihat auratnya sedikitpun, karena sesungguhnya apa yang lebih bawah dari pusarnya sampai kepada kedua lututnya adalah aurat”.[49] Alasan penolakannya biasanya karena hawa nafsu sebahagian dari mereka yang suka memamerkan auratnya kepada selainnya atau alasan untuk kemudahan di dalam berolah raga.
14) Ditolaknya dalil-dalil perintah bagi wanita untuk menutup auratnya dan larangan untuk bertabarruj. Misalnya hadits, “Ada dua golongan umat termasuk penghuni neraka, yang aku tidak melihat mereka. Segolongan orang yang ada bersama mereka pecut (atau cambuk) seperti ekor sapi, yang memukuli manusia dengannya. Dan segolongan kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang, mengajak orang menyimpang lagi berjalan miring (maksudnya; berlenggak lenggok), kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk ke dalam surga dan tidak akan menjumpai (maksudnya; mencium) baunya padahal sesungguhnya baunya surga itu dapat dijumpai pada jarak sekian dan sekian”.[50] Atau hadits, “Akan ada di akhir umatku para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sesungguhnya mereka itu terkutuk”.[51] Atau hadits, “Ada tiga golongan yang tidak akan ditanya tentang mereka: (1) Seseorang yang memisahkan diri dari jama’ah, mendurhakai imamnya dan mati dalam keadaan durhaka, (2) budak laki-laki atau perempuan yang kabur lalu ia mati dan (3) seorang wanita yang suaminya ghaib darinya (tidak berada di sisinya) yang  sungguh-sungguh suaminya itu telah memenuhi keperluan dunianya lalu ia bertabarruj (yaitu; seorang wanita  menampakkan  sebahagian dari hiasan, keindahannya dan apa yang wajib ditutup yang mengundang syahwat lelaki) sesudah (kepergian)nya, maka tidak akan ditanya tentang mereka”.[52] Alasan penolakan dalil-dalil ini biasanya lantaran hawa nafsu mereka yang ingin melihat dan menyaksikan para wanita memperlihatkan auratnya dan lebih-lebih kaum wanitanya merasa sulit dan rikuh menutup auratnya dan mempergunakan jilbab sesuai dengan ketentuan syariat. Dan banyak di antara mereka yang menganggap bahwasanya kebiasaan mengenakan jilbab dan menutup aurat itu hanyalah adat kebiasaan orang Arab yang jika mereka diminta bukti, mereka tidak dapat menunjukkan bukti untuk itu.
15) Ditolaknya dalil-dalil larangan bagi wanita memakai harum-haruman. Di antara dalil-dalilnya adalah, “Apabila seorang wanita menggunakan wewangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mendapati (maksudnya; mencium) baunya maka ia adalah seorang pezinah”.[53] Atau hadits, “Wanita manapun yang memakai wewangian kemudian ia keluar menuju masjid maka tidak akan diterima sholatnya sehingga ia mandi (maksudnya; seperti mandi janabat)”.[54] Banyak kaum wanita menolak dalil-dalil ini lantaran hawa nafsu mereka yang ingin tampil wangi di hadapan manusia khususnya kaum pria, amat buruk apa yang mereka kerjakan.
16) Ditolaknya dalil-dalil mengenai ta’addud.[55] Alasan ditolaknya dalil-dalil yang berkenaan dengan masalah ini, umumnya lantaran hawa nafsu mereka yang bertentangan dengan ketetapan yang telah dibuat dan ditentukan oleh Allah taala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam untuk manusia khususnya kaum mukminin, padahal keduanya lebih mengerti kemaslahatan mereka atau juga karena persangkaan mereka yang menganggap bahwasanya ajaran islam itu senantiasa meletakkan dan memojokkan kaum wanita kepada tempat yang rendah dan hina.
17) Ditolaknya dalil-dalil mengenai jihad fi sabilillah, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, al-Wala’ dan al-Baro’ dan lain sebagainya yang tidak dapat disebutkan semuanya, karena jika disebutkan, tentu akan menyita waktu yang lama dan tempat yang luas.
Penolakan-penolakan terhadap beberapa contoh kebenaran yang telah dikemukakan di atas sebagaimana telah dijelaskan ditimbulkan oleh sikap mendewakan akal, mengikuti atau mempertuhankan hawa nafsu dan selalu mengutamakan persangkaan. Karena itu jikalau kebenaran yang telah datang itu dipelajari dan dicari dengan ketiga perkara tersebut, maka kebenaran itu tidak akan didapat selama-lamanya. Hal itu disebabkan antara kebenaran dan ketiga perkara tersebut tidak memiliki kesesuaian, keselarasan dan keharmonisan bahkan saling bersimpangan, bersebrangan dan bertabrakan. Maka rugi dan bangkrutlah orang-orang yang mempelajari kebenaran di dalam agama ini dengan melalui ketiga perkara tersebut, karena hal itu hanyalah akan menjadikan mereka semakin jauh dari kebenaran dan kian membencinya, maka inilah titik pangkal terjadinya penolakan itu. Padahal boleh jadi mereka benci kepada sesuatu padahal sesuatu yang mereka benci itu amat baik bagi mereka dan kebalikannya boleh jadi mereka menyukai sesuatu padahal sesuatu yang mereka suka itu amat buruk bagi mereka, karena Allah ta’ala mengetahui sedangkan mereka tidak mengetahui. Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَـالُ وَ هُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَ عَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَ اللَّهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
Telah diwajibkan atas kalian berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia amat baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui. [QS. al-Baqarah/2: 216].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Dan ini adalah umum di dalam semua perkara yang kadang-kadang seseorang itu menyukai sesuatu padahal tidak ada padanya kebaikan dan mashlahat”.[56]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “(1) Wajib berjihad bagi umat islam selama masih adanya fitnah dan kemusyrikan di muka bumi (2) Kebodohan manusia terhadap awaqib (yaitu akhir kesudahan segala sesuatu), yang menjadikannya menyukai yang dibenci dan membenci yang disukai. (3) Perintah-perintah Allah semuanya adalah baik dan larangan-larangan-Nya semuanya adalah buruk, oleh karena itulah wajib melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya”.[57]
Maka apa yang dipandang buruk dan hina oleh manusia tetapi Allah Subhaanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya baik, boleh jadi di dalamnya ada kebaikan dan kemashlahatan bagi mereka. Kebalikannya apa yang dipandang baik dan mulia oleh manusia tetapi Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya buruk, boleh jadi di dalamnya ada keburukan dan kerusakan bagi mereka. Karena Allah Subhanahu mengetahui segala sesuatu dan mengetahui maksud dari ketetapan-Nya tersebut sedangkan mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan bodoh darinya.
Namun Allah Jalla Dzikruhu telah mengabadikan bahwasanya keberadaan sebahagian besar dari manusia itu membenci atau tidak menyukai kebenaran yang datang dan ditawarkan kepada mereka, sehingga dengan ulah mereka itulah akhirnya mereka dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam yang mereka kekal di dalamnya, sebagaimana dikisahkan oleh Allah ta’ala di bawah ini,
إِنَّ الْمُجْرِمِيْنَ فِى عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُوْنَ لاَ يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَ هُمْ فِيْهِ مَبْلِسُوْنَ وَ مَا ظَلَمْنَاهُمْ وَ لَكِنْ كَانُوْا هُمُ الظَّالِمُوْنَ وَ نَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُوْنَ لَقَدْ جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَ لَكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa itu kekal di dalam adzab neraka Jahannam, tidak diringankan adzab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. Dan tidaklah Kami menganiaya diri mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Mereka berseru, “Hai Malik !, biarlah Rabbmu mematikan kami saja”. Dia menjawab, “Sesungguhnya kalian akan tinggal (di dalamnya). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi kebanyakan dari kalian itu benci kepada kebenaran”. [QS. az-Zukhruf/43: 74-78].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu tetapi tabiat kalian tidak menerimanya dan tidak menetapinya, hanyalah tabiat kalian itu menuruti dan mengagungkan kebatilan, menghalangi (diri kalian dan orang lain) dari kebenaran, menolaknya dan membenci ahlinya (orang yang berpegang dengan kebenaran), maka kembalilah diri kalian itu dengan membawa celaan dan menyesallah kalian ketika tidak berguna penyesalan itu bagi kalian”.[58]
Ayat di atas menggambarkan keberadaan kebanyakan dari manusia di dalam adzab neraka Jahannam yang disiksa tiada henti dan tiada keringanan bagi mereka sedikitpun sehingga mereka berputus asa di dalamnya. Penyebab yang nampak jelas adalah karena mereka membenci kebenaran yang datang kepada mereka sehingga mereka menolak dan tidak menetapinya dengan amal, tetapi sebaliknya mereka malah menghalangi diri mereka dan orang lain dari mendatangi dan mengamalkan kebenaran itu dan bahkan mereka membenci para pemegang kebenaran dengan kebencian yang mendalam.
Di samping itu pula Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan keadaan di dalam hadits shahih tentang surga dan neraka yang telah diciptakan oleh Allah ta’ala. Digambarkan oleh beliau bahwasanya surga itu dikelilingi oleh makarih (yaitu segala sesuatu yang dibenci oleh manusia apakah berupa perintah beribadah atau menjauhi dan meninggalkan larangan) dan neraka dikelilingi oleh syahwat (yaitu segala sesuatu yang disukai oleh manusia dari perkara dunia yang dilarang oleh syariat), demikianlah ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala yang tidak akan diubah sepanjang masa. Sebagaimana telah dituturkan oleh Beliau di dalam hadits berikut ini,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ الْجَنَّةَ وَ النَّارَ أَرْسَلَ جَبْرَئِيْلَ إِلَى الْجَنَّةِ فَقَالَ انْظُرْ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لأَِهْلِهَا فِيْهَا قَالَ فَجَاءَ هَا فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعَدَّ اللَّهُ لأَِهْلِهَا فِيْهَا قَالَ فَرَجَعَ إِلَيْهِ قَالَ فَوَعِزَّتِكَ لاَ يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ إِلاَّ دَخَلَهَا فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَانْظُرْ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيْهَا قَالَ فَرَجَعَ إِلَيْهَا فَإِذَا هِيَ قَدْ حُفَّتْ بِالْمَكَارِهِ فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خِفْتُ أَنْ لاَ يَدْخُلَهَا أَحَدٌ قَالَ اذْهَبْ إِلَى النَّارِ فَانْظُرْ إِلَيْهَا وَ إِلَى مَا أَعْدَدْتُ لِأَهْلِهَا فِيْهَا فَإِذَا هِيَ يَرْكَبُ بَعْضُهَا بَعْضًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لاَ يَسْمَعُ بِهَا أَحَدٌ فَيَدْخُلَهَا فَأَمَرَ بِهَا فَحُفَّتْ بِالشَّهَوَاتِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَيْهَا فَرَجَعَ إِلَيْهَا فَقَالَ وَعِزَّتِكَ لَقَدْ خَشِيْتُ أَنْ لاَ يَنْجُوَ مِنْهَا أَحَدٌ إِلاَّ دَخَلَهَا
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika Allah menciptakan surga dan neraka, Allah mengutus malaikat Jibril ke surga lalu berfirman, “lihatlah surga itu dan apa yang Aku telah sediakan bagi penghuninya di dalamnya!”. Nabi berkata, “Lalu iapun mendatanginya dan melihatnya dan apa yang Allah telah sediakan bagi penghuninya di dalamnya”. Nabi berkata, “lalu iapun kembali kepada-Nya”, lalu berkata, “Demi kemuliaan-Mu tidaklah seseorang yang mendengar tentangnya melainkan ia akan memasukinya”. Lalu Allah perintahkan agar surga itu dikelilingi dengan makarih (yaitu segala sesuatu yang dibenci manusia), lalu Allah berfirman, “Kembalilah engkau ke surga lalu lihatlah ke dalamnya dan kepada apa yang Aku telah sediakan bagi penghuninya di dalamnya!”. Berkata Nabi, “Lalu iapun kembali kepadanya. Maka ketika itu pula surga telah dikelilingi dengan makarih, lalu ia kembali kepada-Nya dan berkata, “Demi kemuliaan-Mu sungguh-sungguh aku khawatir tidak ada seseorangpun yang memasukinya”. Allah berfirman, “Pergilah engkau ke neraka dan lihatlah ke dalamnya dan kepada apa yang Aku telah sediakan bagi penghuninya di dalamnya!”. Maka tiba-tiba api neraka itu sebahagiannya menaiki sebahagian yang lain. Lalu ia kembali kepada-Nya dan berkata, “Demi kemuliaan-Mu tiada seorangpun yang mendengar tentangnya yang memasukinya”. Lalu Allah perintahkan agar neraka itu dikelilingi dengan syahwat (yaitu segala sesuatu yang disukai oleh manusia), lalu berfirman, “Kembalilah engkau kepadanya!”. Lalu iapun kembali kepadanya, dan berkata, “Demi kemuliaan-Mu sungguh-sungguh aku khawatir bahwasanya tiada seorangpun yang selamat darinya melainkan ia akan memasukinya”. [HR at-Turmudziy: 2560, Abu Dawud: 4744, an-Nasa’iy: VII/ 3-4 dan Ahmad: II/ 332-333. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih].[59]
Ada riwayat yang lain yaitu dari Abu Hurairah bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka itu ditutupi oleh syahwat dan surga itu ditutupi oleh makarih”. [HR al-Bukhoriy: 6487, Muslim: 2822 dan Ahmad: II/ 380, III/ 153, 254, 284 dari Anas bin Malik. Berkata asy-Syaikh al-albaniy: Shahih].[60]
Jelaslah bagi orang mempunyai pandangan bahwasanya penyebab masuknya kebanyakan manusia masuk ke dalam neraka adalah lantaran syahwat atau hawa nafsu mereka yang mengendalikan dan menguasai mereka, sehingga ketika mereka sedang menjauhi makarih dengan penjauhan yang penuh kebencian dan juga sedang asyik menikmati syahwat mereka itu tiba-tiba mereka terjerumus ke dalam neraka. Begitu pula yang menjadi penyebab jauhnya kebanyakan manusia dari surga apalagi memasukinya adalah makarih, sehingga semakin jauh mereka dari makarih tersebut maka semakin jauh pulalah mereka dari surga dan kemudian akan mendorong mereka ke dalam neraka.
Maka siapapun orang yang enggan mendekati, memiliki dan melaksanakan makarih yang telah ditentukan oleh Allah Jalla wa ‘Ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahkan membencinya maka keinginan dan harapannya untuk masuk ke dalam surga dan dijauhkan dari neraka akan sia-sia dan hampa. Apalagi jika ia lebih suka dan bergairah di dalam mendekati, memiliki dan melaksakan syahwat yang jelas-jelas telah dilarang oleh Allah Tabaroka wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam syariat maka akan semakin tidak memungkinkan baginya untuk meraih keinginan dan harapannya tersebut.
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman,
فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ يَضْرِبُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ أَدْبَارَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ اتَّبَعُوْا مَا أَسْخَطَ اللَّهُ وَ كَرِهُوْا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
Maka bagaimanakah keadaan mereka apabila malaikat maut (mencabut nyawa mereka) seraya memukul wajah dan punggung mereka?. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci apa yang menimbulkan keridloan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. [QS. Muhammad/57: 27-28].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah)) yaitu dengan sebab mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dari kekafiran dan perbuatan maksiat. ((Dan karena mereka membenci apa yang menimbulkan keridloan-Nya)) yaitu mereka benci sesuatu yang Allah ridlo kepadanya dari keimanan, tauhid dan ketaatan”.[61]
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah, “Allah Subhanahu mencela orang yang membenci apa yang dicintai oleh Allah dan mencintai apa yang dibenci oleh Allah. Allah taala berfirman, “((Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka membenci apa yang diturunkan Allah, maka Allah menghapuskan pahala amal-amal mereka. QS. Muhammad/47: 9)) dan Allah taala berfirman, “((Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan mereka membenci apa yang menimbulkan keridloan-Nya, sebab itu Allah hapuskan pahala amal-amal mereka. QS. Muhammad/47: 28)). Maka wajib bagi setiap mukmin untuk mencintai apa yang Allah cintai yaitu suatu kecintaan yang menetapkan baginya untuk mendatangi apa yang wajib baginya dari-Nya, lalu jika kecintaan itu bertambah sehingga ia mendatangi apa yang disunnahkan baginya, maka yang demikian itu adalah merupakan suatu keutamaan. Dan ia juga wajib membenci apa yang dibenci Allah taaala yaitu suatu kebencian yang menetapkan baginya menahan diri dari apa yang diharamkan atasnya, lalu jikalau kebencian itu bertambah sehingga ia menetapkan menahan diri dari apa yang dibenci-Nya dalam rangka membersihkan diri maka yang demikian itu adalah merupakan suatu keutamaan pula”.[62]
Dengan penjabaran yang baru lalu, maka tidak pantas bagi setiap orang yang mengaku atau menginginkan dirinya beriman untuk membenci segala ketetapan yang Allah ta’ala tetapkan melalui Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa kabar berita, perintah atau larangan yang tertuang di dalam ayat-ayat alqur’an dan hadits-hadits shahih hanya karena tidak sesuai dengan akal logikanya yang sempit, hawa nafsunya yang menghimpit atau persangkaannya yang sakit. Dan tidak pantas juga baginya mencintai segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahan dan kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya lantaran sesuai dengan akal logikanya yang buntu, hawa nafsunya yang menggebu dan persangkaannya yang menipu. Tetapi jika itikad dan tindakannya tidak seperti itu maka jelas keimanannya diragukan dan dapat diyakini ia telah jatuh ke dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam kendatipun ia mengerjakan amal yang dibencinya atau meninggalkan amal yang dicintainya itu setelah didatangkan hujjah kepadanya, yang ia diminta taubatnya dan jika tidak mau ia mesti diperangi sampai kembali kepada urusan Allah ta`ala.
Berkata Ibnu ‘Umar radliyallahu anhuma, “Barangsiapa meninggalkan sunah maka ia telah kafir”.[63]
Berkata Ibnu Baththoh rahimahullah, “Seandainya seseorang itu mengimani semua yang dibawa oleh para Rosul kecuali satu saja, maka dengan penolakan kepada sesuatu itu menjadikannya kafir menurut seluruh ulama”.[64]
Berkata al-‘Allamah Ibnu Qoyyim rahimahullah, “Barangsiapa merasa cukup (yaitu; tidak memerlukan) dari apa yang dibawa oleh Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan apa yang ditemui di dalam hatinya dari rasa khawatir dan cemas maka ia termasuk dari orang yang paling besar kekafirannya”.[65]
Berkata asy-Syaikh ‘Abdul’aziz bin Baz rahimahullah, “Keduanya (yaitu alqur’an dan sunnah) adalah merupakan dasar yang saling menetapkan, barangsiapa yang mengingkari salah satu dari keduanya maka sungguh-sungguh ia telah mengingkari yang lain dan mendustakannya. Dan hal itu adalah merupakan kekafiran, kesesatan dan keluar dari daerah Islam menurut ijma ahli ilmu dan iman”.[66]
عَنْ أَبِى إِيَاسٍ سَلَمَةَ بْنِ عَمْرٍو بْنِ اْلأَكْوَعِ أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُـوْلِ اللَّهِ صلّى الله عليه و سلّم بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ قَالَ لاَ أَسْتَطِيْعُ قَالَ لاَ اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ
Dari Abu Iyas Salamah bin Amr bin al-Akwaa’, bahwasanya ada seorang lelaki makan di sisi Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Beliau bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!”. Ia menjawab, “Aku tidak bisa”. Beliau bersabda, “(Semoga) kamu tidak bisa, tidak ada yang mencegahnya melainkan sifat sombong”. Berkata (yaitu Abu Iyas), “Maka orang tersebut tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya”. [HR Muslim: 2021. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[67]
Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini diperbolehkan mendoakan keburukan kepada orang yang menyalahi hukum syariat tanpa udzur, di dalamnya ada (perintah) melakukan amar ma’ruf nahi munkar di dalam setiap keadaan sehingga di dalam keadaan makan dan disukai mengajarkan orang yang makan mengenai adab makan apabila ia menyalahinya”.[68]
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat suatu kemungkaran, beliau segera menegur orang yang melakukan kemungkaran tersebut, tetapi kesombongan orang tersebut yang mencegahnya mematuhi perintahnya dan menolak teguran tersebut, sehingga beliau mendoakan keburukan kepadanya yang akhirnya orang tersebut tidak dapat lagi mengangkat tangan kanannya ke mulutnya, sebagaimana penuturan Abu Iyas yaitu shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Demikian di antara balasan keburukan bagi orang yang menentang sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam baik dalam bentuk perintah atau larangan dan bagaimana balasan keburukan untuk mereka di hari kiamat nanti?, tentu lebih keras dan kekal. Itulah seburuk-buruk balasan bagi orang yang menetang Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.
Ringkasnya, barangsiapa yang mengingkari, membenci dan menolak kebenaran hadits-hadits yang telah tsabit dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi ayat-ayat alqur’an dengan dalih apapun, tiada bedanya satu ataupun lebih darinya meskipun ia beramal dengannya maka jika telah didatangkan hujjah kepadanya tetapi ia tetap di dalam keadaannya maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam, yang ia mesti diminta taubatnya dan jika ia tidak mau, maka ia wajib diperangi sehingga ia kembali kepada urusan Allah.
Maka segala hal yang menjadi penyebab pendustaan, pengingkaran dan penolakan terhadap kebenaran alqur’an yang mulia dan hadits-hadits shahih Rosululullah Shallallahu alaihi wa sallam wajib dijauhi dan dihindari. Setiap muslim tidak boleh mendahulukan dan memprioritaskan akal logika, hawa nafsu dan persangkaannya di dalam menerima kebenaran tetapi lebih hendaknya mendahulukan ketundukan dan kepatuhan kepadanya. Wallahu a’lam bi ash-Showab.




[1] Aysar at-Tafasir: II/ 489.
[2] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 516.
[3] Aysar at-Tafasir: II/ 137.
[4] Fat-h al-Qodir: II/ 201.
[5] Aysar at-Tafasir: IV/ 571.
[6] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 450.
[7] Aysar at-Tafasir: V/ 37.
[8] Fat-h al-Qodir: V/ 11.
[9] Fat-h al-Bariy: XIII/ 287.
[10] Akan datang takhrij haditsnya insyaa Allah.
[11] Aysar at-Tafasir: II/ 472.
[12] Fat-h al-Qodir: II/ 505.
[13] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 307.
[14] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 205.
[15] Aysar at-Tafasir: II/ 109.
[16] Yaitu dari Tsauban berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang tampak jelas di atas kebenaran. Orang yang memerangi mereka tidak akan membahayakan mereka sampai datang urusan Allah sedangkan mereka tetap seperti itu”. [HR Muslim: 1920, at-Turmudziy: 2229, Abu Dawud: 4252, Ibnu Majah: 10, 3952, dan Ahmad: V/ 278, 279 dari Tsauban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 52-53, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIII/ 65, Mukhtashor Shahiih Muslim: 1095, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1817, Shahih Sunan Abi Dawud: 3577, Shahih Sunan Ibni Majah: 10, 3192, Shahih al-Jami’ ash-Shahih: 7289 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1957].
[17]Fat-h al-Qodir: II/ 179.
[18] Fat-h al-Bariy: IX/ 198-199, X/ 481, 484, XII/ 4, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 10, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVI: 118, Mukhtashor Shahih Muslim: 1803, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1619, Shahih Sunan Abi Dawud: 4109, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2679 dan Ghoyah al-Maram: 417.
[19] HR al-Bukhoriy: 3251, 3252, 4881, Muslim: 2826, 2827, 2828, at-Turmudziy: 2523, 3293, Ibnu Majah: 4335 dan Ahmad: II/ 455, 462 dari Abu Hurairah, Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d dan Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu ‘anhum. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VI/ 319-320, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 144, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVII/ 167, 168, Mukhtashor Shahih Muslim: 1965, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2048, 2626, Shahih Sunan Ibni Majah: 3499, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2125.
[20] Untuk lebih lengkapnya silahkan baca kitab al-Qobru ‘Adzaabuhu wa Na’iimuhu oleh Husain al-‘Awayisyah, ‘Adzab al-Qobru wa Su’al al-Malakain oleh al-Imam al-Baihaqiy, at-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umur al-Akhirah oleh al-Imam al-Qurthubiy, al-Qiyamah ash-Shughra’ oleh Umar Sulaiman al-Asyqar dan selainnya.
[21] HR ast-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Awsath dari Ibnu Mas’ud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 1965 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 366 hadits nomor 1377.
[22] HR al-Bukhoriy: 1338, 1374, Muslim: 2870, Abu Dawud: 3231, 4752, an-Nasa’iy: IV/ 97, 97-98 dan Ahmad:  III/ 126, 233 dari Anas bin Malik. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: III/ 205, 232-233, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 161-162, Shahiih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVII/ 203, Mukhtashor Shahih Muslim:  491, Shahih Sunan Abi Dawud: 3768, 3978, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1937, 1938, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1675 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1344.
[23]HR al-Bazzar, ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Hakim dan ad-Daruquthniy: 459, 460 dari Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2102 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 152. Dan masih banyak lagi hadits yang semakna lihat dan periksa Shahih at-Targhib wa at-Tarhib dari nomor 151 sampai dengan 158.
[24] Di antara haditsnya adalah, “Apabila seseorang di antara kalian bertasyahhud maka mintalah perlindungan kepada Allah dari empat perkara, ia mengucapkan, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari adzab neraka Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari keburukan fitnah dajjal”. [HR Muslim: 588, Abu Dawud: 983, 984 dan an-Nasa’iy: III/ 58, Ibnu Majah: 909, Ahmad: II/ 237, 477 dan ad-Darimiy: I/ 310 dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: II/ 93, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: V/ 87, Shahih Sunan Abi Dawud: 867, 868, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1242, Shahih Sunan Ibni Majah: 741, Irwa’ al-Ghalil: 350, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 432, 699 dan Sifat ash-Sholah an-Nabiy halaman 145.
[25] HR al-Bukhoriy: 3320, 5782, Abu Dawud: 3844, Ibnu Majah: 3504, 3505, an-Nasa’iy: VII/ 179, Ahmad: II/ 229-230, 246, 263, 340, 355, 388, 398, 443, III/ 67, 229, 246 dan ad-Darimiy: II/ 99 dari Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudriy dan Anas bin Malik. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat  Fat-h al-Bariy: VI/ 359, X/ 250, Shahih Sunan Abi Dawud: 3255, Shahih Sunan Ibni Majah: 2823, 2824, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3974, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 835, 836, 837, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 38, 39, Irwa’ al-Ghalil: 175 dan Misykah al-Mashobih: 4143, 4144.
[26]Lihat bantahan asy-Syaikh al-Albaniy terhadap akal mereka yang buntu mengenai hal ini di dalam kitabnya yang amat bernilai yaitu Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 60-63 hadits nomor 39.
[27] HR Muslim: 1820, al-Bukhoriy: 3501, 7140 dan Ahmad: II/ 92, 93, 128 dari Abdullah bin Umar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 3, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XII/ 201, Mukhtasor Shahih Muslim: 1194, Fat-h al-Bariy: VI/ 533, XIII/ 114, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7702 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 375.
[28] HR Muslim: 1822 dan Ahmad: V/ 86, 87, 88, 89 dari Jabir bin Samurah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 4, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XII/ 203, Mukhtashor Shahih Muslim: 1196, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7703 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 864.
[29] HR al-Bukhoriy: 3500, 7139 dan Ahmad: IV/ 94 dari Mu’awiyah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VI/ 533, XIII/ 114, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: II/ 455 hadits nomor 1485 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2244.
[30] HR al-Bukhoriy di dalam at-Tarikh al-Kabir, Ibnu ‘Adiy di dalam al-Kamil ath-Thabraniy, al-Baihaqiy di dalam Manaqib asy-Syaafi’iy dan Ibnu ‘Asakir dari Ummu Hani dan az-Zubair bin al-‘Awwam. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4208, 4209 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1944.
[31] HR Ahmad: III/ 129 berupa hadits panjang dari Anas bin Malik. Juga meriwayatkannya ath-Thabraniy, Abu Nu’aim, Abu al-Qosim al-Mahraniy, Abu ‘Amr ad-Daniy dan al-Hakim dari Ali bin Abi Thalib. Juga diriwayatkan oleh Ahmad: IV/ 421, 424, ath-Thoyalisiy, Abu Ya’la, ath-Thabraniy dan al-Bazzar dari Abu Barzah al-Aslamiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2757, 2758 dan Irwa’ al-Ghalil: 520.
[32] HR Ahmad: IV/ 185, Ibnu Abi ‘Ashim, ath-Thabraniy, Ibnu ‘Asakir hadits panjang dari ‘Utbah bin Abd. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3342 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1851.
[33] HR al-Bukhoriy: 3495, Muslim: 1818 dan Ahmad: II/ 319, 261, 242-243, 395, 433, III/ 331, IV/ 101 dari Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah dan Mu’awiyah radliyallahu ‘anhum. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VI/ 526, Mukhtashor Shahiih al-Bukhoriy: II/ 455 hadits nomor 1484, al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 2, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XII/ 199, 200, Mukhtashor Shahih Muslim: 1195, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6795 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1006, 1007. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy mengomentari hadits ini, “Di dalam hadits-hadits shahih ini ada bantahan yang jelas atas firqoh-firqoh (golongan-golongan) yang sesat sejak dahulu, sebahagian para penyusun kitab dan juga kelompok-kelompok Islam yang baru yang tidak mensyaratkan di dalam kekhalifahan ini bahwasanya ia mesti orang arab Quraisy”. [Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 7].
[34] HR at-Turmudziy: 2640, 2641, Abu Dawud: 4597, Ibnu Majah: 3992, 3993, Ahmad: II/ 332, IV/ 102 dan ad-Darimiy: II/ 241 dari Abu Hurairah, Mu’awiyah, Anas bin Malik Abdullah bin Amr bin al-‘Ash dan ‘Auf bin Malik radliyallahu ‘anhum. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2128, 2129, Shahih Sunan Abi Dawud: 3843, Shahih Sunan Ibni Majah: 3226, 3227, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1082, 1083, 2641 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 203, 204, 1492. Dan di dalam riwayat at-Turmudziy, “Semuanya mereka di dalam neraka kecuali satu golongan saja”. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Sesuatu yang aku dan para shahabatku ada di atasnya”. [Sanadnya adalah Hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2129, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5343, Syarh al-‘Aqidah ath-Thohawiyah: 263 dan Misykah al-Mashobih: 171]. Adapun hadits yang mengatakan, “Perselisihan umatku adalah rahmat”. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Tidak ada asalnya. [Lihat Dlo’if al-Jami’ ash-Shaghir: 230 dan Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah: 57]. Dan lihat pula penjelasan asy-Syaikh mengenai bahayanya mengamalkan hadits palsu tersebut di dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah: I/ 141-144 hadits nomor 57. Dan hadits palsu inipun bertentangan dengan hadits yang shahih yaitu, “Berjama’ah itu rahmat dan berfirqoh itu adzab”. [HR Ahmad: IV/ 278, 375, Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Abi ad-Dunya dari an-Nu’man bin Basyir dengan sanad yang Hasan sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3014, 3109, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 667 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 966].
[35] HR al-Bukhoriy: 349, 1636, 3342, Muslim:  162, 163, 168, 173 dan Ahmad: III/ 148-149, V/ 143-144 dari Abu Dzarr dan Ubay bin Ka’b. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: I/ 458-459, III/ 492, VI/ 374-375, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 100-102 hadits nomor 192, 193, 194, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 99-101, 106-107, 109, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: II/ 210-215, 218-222, 227-228, 232-233, Mukhtashor Shahih Muslim: 76, 78, 81, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 127, 4199, Tafsir Ibnu Katsir: III/ 7-10 dan kitab asy-Syari’ah halaman 421-428.
[36] HR al-Bukhoriy: 2322, 2323, 3324, 3325, 5480, 5481, 5482 Muslim: 1574, 1575, 1576, at-Turmudziy: 1487, 1489, 1490, Abu Dawud: 2844, an-Nasa’iy: VII/ 187, 188, 189, Ibnu Majah: 3204, 3205, 3206 dan Ahmad: II/ 4, 8, 27, 37, 47, 55,  60,  71, 79, 101, 113, 147, 156, 267,  425, 473, V/ 56, 57 dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Abdullah bin Mughaffal dan Sufyan bin Abi Zuhair. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: V/ 5,  VI/ 360, IX/ 608, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: II/ 110 hadits nomor 1084, 1085, al-Jami’ ash-Shahih: V/ 36, 37, 38, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: X/ 237-241, Mukhtashor Shahih Muslim: 1243, 1244, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1202, 1204, 1205, Shahih Sunan Abi Dawud: 2470, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3991, 3995, 3996, 3997, 3998, 3999, 4000, 4001, 4002, Shahih Sunan Ibni Majah: 2595, 2596, 2597, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5946, 6077, 6078, 6079, 6100 dan lihat pembahasannya di dalam kitab as-Sunnah wa makanatuhaa fi at-Tasyri’ al-Islamiy halaman 287-290. Adapun pembelaan terhadap para shahabat radliyallahu ‘anhum, terutama Abu Hurairah yang dituduh membuat-buat hadits Nabi akan dibahas pada kesempatan yang lain, insya’ Allah.
[37] HR al-Bukhoriy: 5954, Muslim: 2107, an-Nasa`iy: VIII/ 214, dan Ahmad: VI/ 36, 83, 85, 86, 199, 219 dari Aisyah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bary: X/ 386-387, al-Jami` ash-Shahih: VI/ 159, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIV/ 88, 89, Mukhtashor Shahih Muslim: 1366, Shahih Sunan an-Nasa`iy: 4956, Shahih al-Jami` ash-Shaghir: 997 dan Ghoyah al-Maram: 119. Untuk lebih jelah pengharaman gambar atau patung makhluk hidup kecuali pepohonan dan benda mati lainnya rujuklah kitab Ghoyah al-Maram hadits-hadits nomor: 118, 119, 120, 121, 122, 130, 131, 132, Adab az-Zifaf halaman 185-196 dan Buyut laa tadkhuluha al-Mala`ikah halaman 76-87.
[38] HR al-Bukhoriy: 5951, 5957, 7557, 7558, Muslim: 2107, 2108 dan an-Nasa`iy: VIII/ 215 dari Aisyah dan Ibnu Umar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: X/ 382, 389, XIII/ 528, al-Jami` ash-Shaghiir: VI: 161, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIV: 90, Mukhtashor Shahih Muslim: 1368, Shahih Sunan an-Nasa`iy: 4954, 4955, Shahih al-Jami` ash-Shaghir: 999, Ghoyah al-Maram: 121 dan Adab az-Zifaf halaman 185-186.
[39] HR al-Bukhoriy: 4425, 7099, at-Turmudziy: 2262, an-Nasa’iy: VIII/ 227 dan Ahmad: V/ 38, 43, 47, 51 dari Abu Bakrah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VIII/ 126, XIII/ 53, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1847, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4981, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5225 dan Irwa’ al-Ghalil: 2456. Berkata al-Khithobiy rahimahullah, “Di dalam hadits ini bahwasanya wanita itu tidak mengurus (atau menguasai) imarah (yaitu pemerintahan) dan urusan hukum (qodli), dan di dalam hadits itu pula bahwasanya wanita itu tidak (boleh) menikahkan dirinya sendiri dan tidak mengurus akad kepada selainnya”. [Lihat Fat-h al-Bariy: VIII/ 128]. Hadits di atas semakna dengan QS. an-Nisa`/4: 34, yaitu, ((Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita)).
[40] HR al-Bukhoriy: 1339, 3407, Muslim: 2372, an-Nasa’iy: IV/ 118-119 dan Ahmad:  II/ 269, 315, 351 dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fath al-Bariy: III/ 206-207, VI/ 440-441, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 315 hadits nomor 670, al-Jami’ ash-Shahih: VII/ 99-100, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XV/ 127, 128, Mukhtashor Shahih Muslim: 1613, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1975 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 898.
[41] HR Muslim 259 dari Ibnu Umar. Lihat al-Jami’ ash-Shaghir: I/ 153 dan Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: III/ 147. Telah berlalu sebahagian dalil tentang perintah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar memelihara jenggot dan memotong (atau merapihkan) kumis ini di dalam dalil 144, 145 dan 148, serta ada beberapa dalil lain yang semakna yang mewajibkan memelihara jenggot dan merapihkan kumis ini, baca pula kitab “Wujub I’fa al-Lihyah” susunan asy-Syaikh Muhammad Zakaria al-Kandahlawiy dengan taqdim dan tahqiq asy-Syaikh Abdulaziz bin Abdullah bin Baz. Dengan dalil-dalil itu pula, asy-Syaikh al-Albaniy menerangkan keburukan bagi kaum pria yang mencukur jenggot dengan beberapa keburukan di antaranya, (1) Merubah ciptaan Allah, (2) menyelisihi perintah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (3) Menyerupai orang kafir dan (4) Menyerupai kaum wanita. [Lihat Adab az-Zifaf fi as-Sunnah al-Muthahharah dari halaman 207 sampai dengan 212].
[42] HR Muslim: 261, at-Turmudziy: 2757, Abu Dawud: 53, Ibnu Majah: 293, an-Nasa’iy: VIII/ 126-128 dari Aisyah radliyallahu ‘anha dan Ahmad: IV/ 264 dan Ammar bin Yasir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahiih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: I/ 153, Shahiih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: III/ 147, Mukhtashor Shahih Muslim: 183, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2214, Shahih Sunan Abi Dawud:  43, Shahih Sunan Ibni Majah: 238, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4667, 4668, 4669 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4009.
[43] HR Ahmad: III/ 140, 249, 256 dan al-Baihaqiy dari Anas bin Malik. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini isnadnya shahih atas syarat al-Bukhoriy dan Muslim. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2769 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1765. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Sunah ini termasuk dari apa yang kebanyakan orang khusus (para syaikh atau ulama) telah berpaling, lebih-lebih para orang awam. Sebagaimana aku telah jelaskan di dalam muqoddimah “Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyah (halaman 10-11)”. [Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 364].
[44] HR Ibnu Majah: 3573, Abu Dawud: 4093, Ahmad: III/ 5, 6, 31, 44, 52, 97, al-Humaidiy: 737 dan Malik di dalam al-Muwaththo’ halaman 697 dari Abu Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Ibni Majah: 2875, Shahih Sunan Abi Dawud: 3449, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 921 dan Misykah al-Mashobih: 4331.
[45] HR al-Bukhoriy: 3665, 5784, 6062, Abu Dawud: 4085, an-Nasa’iy: VIII/ 208, Ahmad: II/ 67, 104, 136, 147 dan al-Humaidiy: 649 dari Ibnu Umar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Fat-h al-Bariy: VII/ 19, X/ 254, 478, Shahih Sunan Abi Dawud: 3443, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4928 dan Ghoyah al-Maram: 90. Dengan hadits ini asy-Syaikh al-Albaniy berkomentar, “Mereka lengah dari perbedaan jelas di antaranya radliyallahu ‘anhu dan di antara mereka, maka sesungguhnya ia (yaitu Abu Bakar) tidak menyengaja melakukannya, sebagaimana jelas ucapannya, “Sesungguhnya salah satu bahagian sarungku turun menyengser” (karena postur beliau memang kurus),  sedangkan mereka menyengaja menurunkannya mereka lupa atau melupa-lupakan apa yang datang tentang sifat sarung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Periksa bab 17 halaman 69-71). [Lihat Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyah halaman 10].
[46] HR at-Turmudziy: 2795, 2796  dan Abu Dawud: 4014 dari Jarhad al-Aslamiy dan Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2245, Shahih Sunan Abi Dawud: 3389 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1683, Misykah al-Mashobih: 3112.
[47] HR at-Turmudziy: 2798 dan Ahmad: I/ 275, III/ 478, 479 dari Jarhad al-Aslamiy dan Ibnu Abbas. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 2795 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4157, 4158.
[48] HR al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5583 dan Irwa’ al-Ghalil: 271.
[49] HR Abu Dawud; 496, Ahmad: II/ 187 dan ad-Daruquthniy: 876, 877 dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 467 dan Irwa’ al-Ghalil: 247.
[50] HR Muslim: 2128 dan Ahmad: II/ 355-356, 440 dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 168, VIII/ 155, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIV/ 109-110, XVII/ 190, Mukhtashor Shahih Muslim: 1388, 1984, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3799, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1326, Ghoyah al-Maram: 85 dan Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 71 atau Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 151. Untuk lebih rinci memahami hal ini rujuklah kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah susunan asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albaniy. Adapun alqur`an telah menjelaskan hal ini di dalam QS. an-Nur/24: 31 dan al-Ahzab/33: 59.
[51] HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam ash-Shaghir nomor 1097 dari Abdullah bin Amr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Sanadnya adalah shahih. Lihat Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 56 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 125.
[52] HR Ahmad: VI/ 19, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad halaman 120, Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnu ‘Asakir dan Ibnu Abi ‘Ashim dari Fadloolah bin Ubaid. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 458, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3058, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 542, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 54 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 119. Hadits ini semakna dengan QS. al-Ahzab/33: 33.
[53] HR Abu Dawud: 4173, at-Turmudziy: 2786 dan an-Nasa’iy:  VIII/ 153 dari Abu Musa. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3516, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2237, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4737, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 323, 2701, Misykah al-Mashobih: 1065, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 64 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 137.
[54]HR Ibnu Majah 4002, Abu Dawud: 4174, an-Nasa’y: VIII/ 153-154 dari Abu Hurairah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih. Lihat Shahih Sunan Ibni Majah 3233, Shahih Sunan Abi Dawud: 3517, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4738, Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 2703, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1031, Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 64-65 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 138. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy menanggapi hadits-hadits yang berkenaan dengan ini, “Maka apabila yang demikian itu haram (bagi wanita) yang hendak menuju ke masjid lalu apakah hukumnya bagi yang pergi menuju pasar, gang sempit dan jalan-jalan raya?. Tidak diragukan lagi bahwasanya hal itu lebih sangat diharamkan dan lebih besar dosanya. Al-Imam al-Haitamiy telah menyebutkan di dalan kitab az-Zawajir bahwasanya keluarnya wanita dari rumahnya dalam keadaan memakai wewangian dan berhias termasuk dari kaba’ir (dosa-dosa besar) kendatipun suaminya mengidzinkannya”. [Hijab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 65 dan Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah halaman 139].
[55] Ta’addud ini biasanya di kenal dengan poligami (beristri lebih dari satu). Islam dengan hukum syariatnya mendorong dan menganjurkan hal ini dikarenakan banyak hal, tetapi disini bukan pembahasannya. Di antara dalil-dalil yang masyhur adalah QS. an-Nisa’/4: 3, 129. Adil yang dikehendaki di dalam ayat ini adalah adil di dalam memberi nafkah berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan giliran, bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang. Di samping itu pula al-Imam al-Bukhoriy telah memuat bab yaitu katsrah an-Nisa’ (banyak istri) dengan membawakan dalil-dalil tentang istri-istri Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits nomor 5067, 5068) dan atsar dari Sa’id bin Jubair berkata: Ibnu Abbas pernah berkata kepadaku, “Apakah kamu telah menikah?”. Aku menjawab, “Belum”. Ia berkata, “Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang terbanyak istrinya”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy nomor 5069 dab Ahmad: I/ 243. Lihat Fat-h al-Bariy: IX/ 112-113].
[56] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: I/ 313.
[57] Aysar at-Tafasir: I/ 197.
[58] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: IV/ 164.
[59] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2075, Shahih Sunan Abi Dawud: 3970, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3523, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5210, Misykah al-Mashobih: 5696 dan Syarh al-‘Aqidah ath-Thohawiyah: 588 halaman 422.
[60] Fat-h al-Bariy: XI/ 320, al-Jami’ ash-Shahih: VIII/ 142-143, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XVII/ 165, Mukhtashor Shahih Muslim: 1969 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3126, 3147. Lihat pula penjelasan al-Hafizh Ibnu Hajar tentang makarih dan syahwat di dalam Fat-h al-Bariy yang baru disebutkan.
[61] Fat-h al-Qodir: V/ 46.
[62] Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam: II/ 271-272.
[63] Syar-h Nawaqid at-Tauhid halaman 68.
[64] Syar-h Nawaqid at-Tauhid halaman 68.
[65] Syar-h an-Nawaqid at-Tauhid halaman 69.
[66]Syar-h an-Nawaqid at-Tauhid halaman 69.
[67] al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 109, Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIII/ 192, Mukhtashor Shahih Muslim: 1299, Riyadl ash-Shalihin: 159 dan Tahqiq Riyadl ash-Shalihin: 163.
[68] Shahih Muslim bi Syar-h an-Nawawiy: XIII/ 192.