السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 18 Desember 2012

MENGGAPAI KELUARGA SAKINAH 2

HAK SUAMI ATAS ISTRI

  بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagaimana telah diketahui bahwasanya setiap orang niscaya mempunyai hak dan kewajiban. Misalnya seorang wanita telah dipahami bahwa ia mempunyai beberapa hak dan kewajiban. Haknya istri adalah kewajiban bagi suami untuk menunaikannya kepada istrinya dengan baik. Hak istri ini biasanya sangat dipegang oleh kaum wanita dan senantiasa berharap dan terkadang menuntut para suami untuk dapat melaksanakannya sebaik-baiknya. Padahal bagi lelaki mukmin, tanpa diperintah oleh para istrinyapun ia akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat menunaikan tugasnya sebaik-baiknya, karena hal ini bukan hanya tanggung jawab kepada para istrinya saja tetapi yang terpenting adalah tanggung jawabnya terhadap perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. [1]

Jika demikian, para suamipun tentu memiliki beberapa hak. Haknya suami adalah kewajiban bagi kaum istri untuk menunaikan sebaik-baiknya pula. Jika si istri itu adalah seorang wanita mukminah yang shalihah, maka niscaya ia akan berusaha menunaikan kewajibannya sebaik-baiknya tanpa dikomando dan dimonitor oleh suaminya. Karena ia paham, jika ia menunaikan hak suaminya maka yang beruntung adalah dirinya sendiri bukan hanya suaminya saja. Kelak ia akan mendapat balasan kebaikan dari Allah Azza wa Jalla yang banyak pada hari kiamat.

Diantara dalil-dalil yang menerangkan bahwa suami itu mempunyai hak atas istrinya adalah sebagai berikut,

 عن سليمان بن عمرو بن الأحوص قال: حدثنى أبى أنه شهد حجة الوداع مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَلَا  إِنَّ  لَكُمْ  عَلَى  نِسَائِكُمْ حَقًّا وَ لِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا

Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash berkata, Ayahku pernah bercerita kepadaku bahwasanya ia pernah menyaksikan haji wada’ bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ingatlah sesungguhnya istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian dan kalianpun mempunyai hak atas istri-istri kalian”. [HR at-Turmudziy: 1163, Ibnu Majah: 1851 dan Ahmad: V/ 72, 73. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [2]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Laki-laki itu mempunyai beberapa hak dan wanita juga memiliki beberapa hak”. [3]

 عن قيس بن سعد قاَلَ: أَتَيْتُ اْلحِيْرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لمِـَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَقُلْتُ: رَسُوْلُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَهُ قَالَ: فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ: إِنِّى أَتَيْتُ اْلحِيْرَةَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لمِـَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَأَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَحَقُّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ قَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ مَرَرْتَ بِقَبْرِى أَكُنْتَ تَسْجُدُ لَهُ؟ قَالَ: قُلْتُ: لَا قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا  أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ النِّسَـاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ لمِاَ جَعَلَ اللهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ اْلحَـقِّ

Dari Qois bi Sa’d berkata, “Aku pernah mendatangi Hirah. [4] Aku melihat mereka sujud kepada tetua mereka. Aku berkata, “Rosulullah lebih berhak untuk disujudi”. Berkata Qois, “Lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan aku berkata, “Sesungguhnya aku mendatangi Hirah, lalu aku melihat mereka sujud kepada tetua mereka. Wahai Rosulullah, engkau lebih berhak jika kami sujud kepadamu”. Beliau bersabda, “Bagaimana pendapatmu, jika engkau melewati kuburku apakah engkau akan sujud kepadanya?”. Aku berkata, “Tidak”. Beliau bersabda, “Janganlah kalian berbuat seperti itu, seandainya aku perintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan kaum wanita untuk sujud kepada suami-suami mereka karena Allah telah menjadikan untuk mereka ada hak atas istri-istri mereka tersebut”. [HR Abu Dawud: 2140, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

عن عبد الله بن أبى أوفى قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: وَ الَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّى اْلمـَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهاَ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا وَ لَوْ سَأَلَهاَ نَفْسَهَا وَ هِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

Dari Abdullah bin Abu Awfa berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada pada genggaman tangan-Nya, tidaklah seorang wanita menunaikan hak Rabbnya sehingga ia menunaikan hak suaminya. Meskipun ia meminta dirinya sedangkan ia berada di atas pelana (untanya) janganlah ia menolaknya”. [HR Ibnu Majah: 1853 dan Ahmad: IV/ 381, V/ 228. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ وَ لَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ اْلمـَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عَظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا وَ الَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِـهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِـِه قَرْحَـةٌ تَنْبَجِسُ  بِاْلقَيْحِ وَ الصَّدِيْدِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ  فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ

Dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya diperbolehkan manusia sujud kepad manusia yang lain, niscaya aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya dari sebab keagungan haknya atas istrinya. Demi Dzat yang jiwaku ada pada genggaman tangan-Nya, seandainya dari kakinya sampai pangkal kepalanya terdapat luka yang memancarkan nanah dan nanah yang bercampur darah lalu ia menghadap kepadanya dan menjilatnya, maka belumlah ia menunaikan hak suaminya itu. [HR Ahmad: III/ 158-159, 195. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عن معاذ أن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَوْ تَعْلَمُ اْلمـَرْأَةُ حَقَّ الزَّوْجِ لَمْ تَقْعُدْ مَا حَضَرَ غَدَاؤُهُ وَ عَشَاؤُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ

Dari Mu’adz bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya seorang wanita mengetahui hak suaminya niscaya ia tidak akan duduk selama makan siang dan malamnya terhidang sehingga ia selesai darinya”. [HR ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Dalil-dalil di atas menegaskan bahwa suami itu mempunyai beberapa hak atas istrinya. Bahwa seandainya diperbolehkan seseorang itu sujud kepada orang lain, niscaya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan memerintahkan kaum wanita untuk sujud kepada suaminya masing-masing, hal ini dikarenakan keagungan hak sang suami atasnya. Begitu pula jika ada wanita yang taat beribadah kepada Allah ta’ala berupa sholat, puasa, bersedekah dan selainnya dari berbagai ibadah yang disyariatkan namun ia tidak menunaikan hak suaminya dengan baik maka berarti ia belum menunaikan hak Allah ta’ala dengan benar dan sempurna.

Bahkan dicontohkan, seandainya dari kaki suaminya sampai pangkal kepalanya itu terdapat luka yang memancarkan nanah dan juga darah bercampur nanah lalu ia menghadap kepada luka suaminyanya dan menjilatinya sampai bersih, maka belumlah sang istri itu menunaikan hak suaminya dengan sempurna. Atau jika seorang istri mengaku sebagai istri atau wanita yang shalihah, maka tentu ia tidak akan beranjak dari tempat duduknya untuk menemani suaminya makan siang atau malam yang dihidangkannya itu sampai selesai.

Oleh karena itu, akan dibahas di sini beberapa kewajiban para istri terhadap suami-suami mereka, di antaranya adalah,

1)). Istri mematuhi suaminya apabila diperintahkan.

Banyak wanita yang telah bersuami melupakan atau pura-pura lupa akan hal ini. Hal ini dikarenakan kebodohannya terhadap agama dan keimanan, hingga mereka menganggap bahwa kedudukan wanita itu sama dengan kaum lelaki. Lalu ketika suaminya memerintahkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan agama namun berseberangan dengan keinginan dan hasratnya maka ia enggan dan menolak perintah suaminya tersebut dengan gagah berani. Sehingga terjadilah perselisihan dan pertikaian di antara keduanya yang pada akhirnya akan mengurangi keharmonisan di antara keduanya. Bahkan tak sedikit para wanita yang gemar menyuruh-nyuruh suaminya sekehendak hatinya untuk hanya sekedar menunjukkan kehebatan dirinya kepada kawan-kawannya.

Padahal kalau mereka memahami perintah agama dengan baik dan benar, niscaya mereka akan mematuhi para suami mereka dengan sebaik-baiknya, apapun perintahnya dan dimanapun mereka berada selama tidak mendurhakai Allah Azza wa Jalla dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Karena di dalamnya terdapat banyak keutamaan.

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

Maka wanita-wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah (dan suami mereka) lagi memelihara diri ketika suami mereka tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). [QS. An-Nisa’/ 4: 34].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “((Maka wanita-wanita yang shalihah)) mereka itu adalah yang menunaikan hak-hak Allah ta’ala dengan cara mematuhi-Nya dan mentaati Rosul-Nya dan juga menunaikan hak-hak suami mereka berupa ketaatan, pengagungan dan penghormatan. ((Qonitat)) yaitu taat kepada Allah ta’ala dan juga suami”. [9]

عن عبد الرحمن بن عوف قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا صَلَّتِ اْلمـَرْأَةُ خَمْسَهَا وَ صَامَتْ شَهْرَهَا وَ حَفِظَتْ فَرْجَهَا وَ أَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِى اْلجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ اْلجَنَّةِ شِئْتِ

Dari Abdurrahman bin Auf berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila wanita itu sholat limanya, shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya dan patuh kepada suaminya. Akan dikatakan kepadanya, “Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu surga manapun yang engkau inginkan”. [HR Ahmad: I/ 191. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]

عن أبى هريرة: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ ؟ قَالَ: الَّذِى تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَ تُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَ لَا تُخَالِفُهُ فِيْمَا يَكْرَهُ فِى نَفْسِهَا وَ مَالِهِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya, “Siapakah wanita yang terbaik?”. Beliau menjawab, “Menyenangkan apabila dipandang, patuh apabila diperintah dan tidak pernah menyelisihi suaminya terhadap apa yang ia tidak suka pada dirinya dan harta (suami)nya”. [HR Ahmad: II/ 251, 432, 438. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عن عبد الله بن سلام عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تُسِرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ وَ تُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ وَ تَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ

Dari Abdullah bin Salam, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu apabila engkau pandang, mematuhimu jika engkau perintah dan menjaga kepergianmu pada dirinya dan hartamu”. [HR ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

 عن ابن عمر عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اثْنَانِ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمَا رُؤُوْسَـهُمَا: عَبْـٌد أَبَقَ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ وَ امْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَـَها حَتَّى تَرْجِعَ

Dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua golongan orang yang sholat keduanya tidak akan melampauinya. Budak yang kabur dari majikannya sehingga ia kembali dan seorang wanita yang mendurhakai suaminya sampai kembali (kepadanya)”. [HR ath-Thabraniy dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

 عن الحصين بن محصن أَنَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فِى حَاجَةٍ فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلَّا مَا عَجِزْتُ عَنْهُ قَالَ: فَانْظُرِى أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَ نَارُكِ

Dari al-Hushoin bin Mihshan bahwa bibinya pernah mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu keperluan. Setelah ia selesai dari keperluannya, Nabi bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?”. Ia menjawab, “Ya”. Beliau bertanya lagi, “Bagaimana keadaanmu kepadanya?”. Ia menjawab, “Aku tidak lalai (dalam mentaati dan melayani)nya kecuali yang aku tidak sanggupi”. Beliau bersabda, “Perhatikanlah dimana tempatmu di sisinya, karena sesungguhnya dia adalah surga dan nerakamu”. [HR Ahmad: IV/ 341, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Sa’d, ath-Thabraniy, al-Hakim, an-Nasa’iy di dalam Asyrah al-Usrah dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [14]

Dalil-dalil hadits di atas menjelaskan tentang kewajiban wanita muslimah untuk senantiasa patuh kepada suaminya. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memuji dan menyanjung wanita yang selalu mentaati suaminya dengan sebutan wanita yang terbaik. Dan bahkan dijanjikan dengan memasuki surga dari arah pintu surga manapun yang ia sukai selama ia telah menunaikan sholat yang lima dan shaum Ramadlan.

Rosulullah Shallallahu wa sallam juga telah menjelaskan bahwa wanita manapun yang mendurhakai suaminya lantaran pergi dan kabur dari rumahnya maka ibadah sholatnya tidak akan diterima sampai ia kembali ke rumahnya dan mencari keridloan suaminya tersebut.

Dan hendaklah setiap wanita itu memperhatikan posisinya di sisi suaminya, misalnya tidak banyak mengeluh, tidak menampakkan wajah yang muram lantaran banyak pekerjaan, bersyukur atas pemberian suaminya sedikit ataupun banyak, tidak memunggungi suaminya ketika tidur, tidak membiarkan suaminya mengambil makanan dan menyantapnya sendirian, segera menerima ajakan suaminya untuk tidur, tidak membicarakan keburukan suaminya kepada saudara-saudara atau teman-temannya dan lain sebagainya. Karena suami adalah surga atau neraka bagi istrinya, yakni jika ia bersikap baik dan melayani suaminya dengan sebaik-baiknya niscaya ia akan masuk surga. Namun jika ia bersikap buruk dan enggan melayani suaminya bahkan selalu minta dilayani maka niscaya nerakalah tempat tinggalnya kelak pada hari kiamat.

Namun ketaatan kepada suaminya tidak boleh membabi buta tanpa aturan. Yakni melayaninya itu hanya dalam perbuatan baik, dibenarkan oleh agama dan ia sanngup untuk mengerjakannya. Karena tidak boleh patuh kepada siapapun dalam rangka mendurhakai Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dijelaskan di dalam dalil-dalil berikut ini,


 عن علي رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا طَاعَةَ فِى اْلمـَعْصِيَّةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى اْلمـَعْرُوْفِ
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu berkata, Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tiada taat di dalam perbuatan maksiat, hanyalah ketaatan itu di dalam perbuatan ma’ruf”. [HR al-Bukhoriy: 4340, 7145, 7257 dan  lafazh ini baginya, Muslim: 1840, Abu Dawud: 2625, an-Nasa’iy: VII: 159-160 dan Ahmad: I/ 94. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[15]

عن علي عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا طَاعَةَ  لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَّةِ اللهِ عز و جل

Dari ‘Ali, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tiada taat kepada makhluk di dalam menentang Allah ‘Azza wa Jalla “. [HR Ahmad: I/ 129, 131 dan lafazh ini baginya, dan yang semisalnya; IV/ 432, V/ 66 dari al-Hakam bin’ Amr al-Ghifariy dan IV/ 426, 427, 436 dari ‘Imron bin Hushoin. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[16]

عن أنس بن مالك حَدَّثَهُ  أَنَّ مُعَاذًا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَا طَاعَةَ لِمَنْ لَمْ يُطِعِ اللهَ عز و جل

Dari Anas bin Malik bercerita, bahwsanya Mu’adz berkata, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada taat kepada orang yang tidak mentaati Allah ‘Azza wa Jalla “. [HR Ahmad: III/ 213. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[17]

2)). Menyenangkan suami apabila dipandang olehnya.

Kewajiban istri selanjutnya adalah senantiasa menampakkan raut wajah yang menyenangkan dan sedap di pandang mata suaminya. Biasanya, ketika penat menimpa seorang lelaki karena pekerjaan kantor atau selainnya yang dikerjakan seharian di luar rumah akan hilang dan sirna tatkala melihat istri dan anak-anaknya menyambut kepulangannya dengan penuh kerinduan dan kegembiraan. Dari sebab itu, hendaknya seorang istri yang shalihah itu selalu berusaha menjadi penyejuk mata suaminya dalam setiap keadaan dan setiap waktu.

 عن سعد عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: ثَلَاثَةٌ مِنَ السَّعَادَةِ وَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الشَّقَاءِ فَمِنَ السَّـعَادَةِ: اْلمـَرْأَةُ الصَّـالِحَةُ تَرَاهَا فَتُعْجِبُكَ وَ تَغِيْبُ عَنْهَا فَتَأْمَنَهَا إِلَى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ وَ الدَّابَّةُ تَكُوْنُ وَطِيْئَةً فَتُلْحِقُكَ بِأَصْحَابِكَ وَ الدَّارُ تَكُـوْنُ وَاسِعَةً كَثِيْرَةَ اْلمـَرَافِقِ وَ مِنَ الشَّقَاءِ: اْلمـَرْأَةُ تَرَاهَا فَتَسُوْؤُكَ وَ تَحْمِلُ لِسَانَهَا عَلَيْكَ وَ إِنْ غِبْتَ عَنْهَا لَمْ تَأْمَنْهَا عَلَى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ وَ الدَّابَّةُ تَكُوْنُ قُطُوْفًا فَإِنْ ضَرَبْتَهَا أَتْعَبَتْكَ وَ إِنْ تَرَكْتَهَا لَمْ تُلْحِقْكَ بِأَصْحَابِكَ وَ الدَّارُ تَكُوْنُ ضَيِّقَةً قَلِيْلَةَ اْلمـَرَافِقِ

Dari Sa’d dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga yang membahagiakan dan tiga yang menyengsarakan. Adapun tiga yang membahagiakan adalah 1). Istri yang shalihah yang jika engkau melihatnya, ia akan mempesonakan dirimu dan ketika engkau sedang tidak berada disisinya maka dirinya dan hartamu akan terasa aman. 2). Kendaraan  yang mudah (dikendarai) lalu akan membawamu kepada para shahabatmu. Dan 3) rumah lapang yang banyak peralatannya. Adapun tiga yang menyengsarakan adalah, 1). Istri yang jika engkau melihatnya, ia akan membuatmu tidak suka, ia juga menggunakan lisannya untuk menyusahkanmu dan apabila engkau tidak berada di sisinya, dirinya dan hartamu tidak akan aman karenanya. 2). Kendaraan yang lamban, apabila engkau memukulinya ia akan membuatmu letih tetapi jika engkau membiarkannya ia tidak akan membawamu menjumpai para shahabatmu. Dan 3). Rumah yang sempit lagipula peralatannya sedikit”. [HR al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [18]

عن أبى ذرّ قال: قَالَ لِىَ  النَبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ اْلمـَعْرُوْفِ شَيْئًا وَ لَوْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Dari Abu Dzarr berkata, Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Janganlah engkau meremehkan kebaikan sedikitpun meskipun engkau hanya menemui saudaramu dengan wajah yang ceria”. [HR Muslim: 2626, at-Turmudziy: 1833 dan Ahmad: V/ 63, 64, 173. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]

عن أبى جُريّ جابر بن سليم قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : وَ لَا تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ اْلمـَعْرُوْفِ وَ أَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَ أَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ اْلمـَعْرُوْفِ

Dari Abu Jurriy Jabir bin Salim berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik sedikitpun dan hendaklah engkau berbicara kepada saudaramu itu dengan (menunjukkan) wajah yang gembira kepadanya. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perbuatan baik”. [HR Abu Dawud: 4084 dan Ahmad: IV/ 65, V/ 64. Berkata asy-Syaikh al-Albniy: Shahih]. [20]

Suami adalah orang yang paling berhak dijumpai istrinya dengan wajah yang ceria dan menampakkan wajah yang senang daripada selainnya. Karena hal itu merupakan hak bagi suami, apalagi ia hidup bersama suaminya dalam satu atap dan gedung yang sama. Tidur bersamanya di dalam satu kamar dan dalam satu tempat pembaringan. Menyantap makanan bersamanya dari satu meja makan dengan hidangan yang sama, dan minuman yang sama dengan perabotan makan yang sama. Mandi bersamanya di dalam kamar mandi yang satu dengan air dan gayung atau shower yang sama, dan sebagainya. Lalu apakah seorang suami akan merasa senang dan berbahagia jika ia tinggal bersama istrinya yang selalu menampakkan wajah yang muram, masam lagi memberengut dan juga senantiasa memperlihatkan akhlak yang tercela kepadanya?.

Apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa diantara kebahagian seorang lelaki adalah memiliki istri yang shalihah yang jika dilihat olehnya, ia akan terpesona akan kemurahan senyum istrinya dan keceriaan wajahnya kendatipun wajah istrinya itu kurang cantik dan menarik. Keletihan dan kepenatan setelah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah dan mengurusi anak-anak tidak menghalangi wanita shalihah untuk menemui suami tercintanya dengan senyuman yang mengembang penuh rasa cinta.

Dan termasuk dari kesengsaraan seorang suami adalah mempunyai istri yang buruk yang jika dilihat olehnya, ia akan merasa kesal dan jengkel akan kemuraman wajah istrinya dan ketidak acuhan atas kehadirannya meskipun istrinya adalah seorang yang sangat cantik jelita dan elok tiada terkira. Apalagi jika lidah istrinya itu sangat tajam mencerca kekurangannya, tidak pernah merasa puas atas pemberiannya, berusaha menguasai semua harta pendapatannya tanpa tersisa, mudah menggunjing dirinya kepada orang lain tanpa rasa sungkan dan iba, dan lain sebagainya.

3)). Menjaga dirinya dan harta suami ketika suami sedang tidak ada disisinya.

Kewajiban lainnya adalah senantiasa menjaga kehormatannya dan harta suaminya ketika suaminya tidak berada di sampingnya. Yakni ia tidak akan menerima sentuhan lelaki manapun yang menginginkan dirinya selain suaminya. Begitu pula ia akan memelihara harta suaminya yaitu tidak akan ia belanjakan harta suaminya itu sekehendak hatinya atau ia tidak memberikan hartanya tersebut tanpa sepengetahuan dan idzin dari suaminya, meskipun kepada orang tuanya, saudara-saudara ataupun teman-temannya.

عن عبد الله بن سلام عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تُسِرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ وَ تُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ وَ تَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ

Dari Abdullah bin Salam, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu apabila engkau pandang, mematuhimu jika engkau perintah dan menjaga kepergianmu pada dirinya dan hartamu”. [HR ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

 عن فضالة بن عبيد عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: ثَلَاثَةٌ لَا يُسْأَلُ عَنْهُمْ: رَجُلٌ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ وَ عَصَى إِمَامَهُ فَمَاتَ عَاصِيًا فَلَا يُسْأَلُ عَنْهُ وَ أَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبِقَ مِنْ سَيِّدِهِ  وَ امْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا وَ كَفَاهَا مَؤُوْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ وَ تَمَرَّجَتْ بَعْدَهُ

Dari Fadlalah bin Ubaid dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan ditanya tentang mereka, 1). Orang yang memisahkan diri dari jamaah dan mendurhakai imamnya lalu meninggal dalam keadaan berbuat maksiat. Ia tidak ditanya lagi tentangnya. 2). Budak wanita atau lelaki yang kabur dari majikannya (lalu ia meninggal). Dan 3). wanita yang suaminya tidak berada di sisinya dan suaminya itu telah mencukupi kebutuhan dunianya lalu ia bersolek molek dan bercampur gaul (dengan orang banyak) sepeninggalnya. [HR al-Bukhoriy: 590 di dalam al-Adab al-Mufrad, Ahmad: VI/ 19, al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Abi Ashim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [22]

عن عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِيَّاكُمْ وَ الدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ  فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ  اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ  أَفَرَأَيْتَ  اْلحَمْوَ؟ قَالَ: اْلحَمْوُ اْلمـَوْتُ

Dari Uqbah bin Amir bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah kalian dari masuk (ke dalam rumah untuk menemui) wanita”. Seorang lelaki Anshor bertanya, “Wahai Rosulullah, bagaimana dengan ipar?”. Beliau menjawab, “Ipar adalah maut (kematian)”. [HR Muslim: 2172, al-Bukhoriy: 5232, at-Turmudziy: 1171, Ahmad: IV/ 149, 153 dan ad-Darimiy: II/ 278. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما: أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوْا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ رضي الله عنه وَ هِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ قَالَ: لَمْ أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ اللهَ قَدْ بَرَأَهَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى اْلمـِنْبَرِ فَقَالَ: لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِى هَذَا عَلَى مُغَيَّبَةٍ إِلَّا وَ مَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhuma, bahwasanya sekelompok orang dari Bani Hasyim penah masuk ke rumah Asma binti Umais. Lalu Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu anhu masuk juga menemuinya sedang Asma saat itu adalah istrinya. Abu Bakar melihat mereka maka timbullah perasaan tidak suka akan hal tersebut. Iapun menceritakah hal itu kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Aku tidaklah memandang hal ini kecuali kebaikan saja”. Lalu bersabda Rosulullah Shallallahu shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah telah membebaskannya dari hal tersebut”. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar dan bersabda, “Sesudah hari ini, janganlah seorang lelaki masuk menemui wanita mughoyyabah (yang ditinggal pergi suaminya) kecuali jika ia bersama satu atau dua orang”. [HR Muslim: 2173 dan Ahmad: II/ 171, 186, 213. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

4)). Meminta idzin kepada suaminya.
      
Meminta idzin adalah perbuatan yang mudah dan sederhana namun sulit untuk dilaksanakan oleh para istri. Berapa banyak di antara mereka yang mengerjakan berbagai aktifitas semisal berpuasa sunnah, sholat sunnah, menghadiri kajian-kajian agama, bakti sosial, bersedekah dan sebagainya dari berbagai jenis ibadah tanpa sepengetahuan dan seidzin suami-suami mereka. Jika dalam masalah ibadah saja harus minta idzin, maka bagaimana dengan perkara-perkara dunia?. Semisal melakukan wisata belanja, wisata rekreasi, wisata permainan, wisata kuliner atau semisalnya ke berbagai kota bahkan negara dengan banyak teman-temannya tanpa sepengetahuan dan meminta idzin terlebih dahulu kepada suami-suami mereka. Duhai betapa menyedihkan keadaan seperti ini.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits berikut ini,

عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا اسْتَأْذَنَتِ اْلمـَرْأَةُ أَحَدَكُمْ إِلَى اْلمـَسْجِدِ فَلَا يَمْنَعْهَا

Dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang istri meminta idzin kepada salah sesorang kalian untuk pergi menuju masjid maka janganlah ia mencegahnya”.[HR al-Bukhoriy: 5238, Muslim: 442 dan Ahmad: II/ 7, 9, 57, 140, 143, 156. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

Jadi seorang wanita, jika hendak pergi ke masjid untuk beribadah sholat atau menghadiri kajian agama, maka ia mesti meminta idzin kepada suaminya terlebih dahulu. Lalu di samping itu, tidak ada hak bagi sang suami untuk mencegah istrinya untuk mendatangi masjid karena keperluannya tersebut.

عن عائشة رضي الله عنها قالت: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya telah diidzinkan bagi kalian (yaitu para wanita) untuk keluar (dari rumah) untuk keperluan-keperluan kalian”. [HR al-Bukhoriy: 4795, 5237, Muslim: 2170 dan Ahmad: VI/ 56. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

عن أبى سعيد قال: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ نَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ زَوْجِى صَفْوَانَ بْنِ اْلمـُعَطَّلِ يَضْرِبُنىِ إِذَا صَلَّيْتُ وَ يُفْطِرُنىِ إِذَا صُمْتُ وَ لاَ يُصَلِّى صَلاَةَ اْلفَجْرِ حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ: وَ صَفْوَانُ عِنْدَهُ قَالَ: فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا قَوْلهُاَ: يَضْرِبُنىِ إِذَا صَلَّيْتُ فَإِنهَّاَ تَقْرَأُ بِسُوْرَتَيْنِ وَ قَدْ نَهَيْتُهَا قَالَ: فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ سُوْرَةٌ وَاحِدَةٌ لَكَفَتِ النَّاسَ وَ أَمَّا قَوْلهُاَ: يُفْطِرُنىِ فَإِنهَّاَ تَنْطَلِقُ فَتَصُوْمُ وَ أَنَا رَجُلٌ شَابٌّ فَلاَ أَصْبِرُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَصُوْمُ امْرَأَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَ أَمَّا قَوْلهُاَ: إِنىِّ لاَ أُصَلِّى حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ لاَ نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتىَّ تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ: فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, “Seorang wanita pernah datang menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan kami berada di sisinya”. Ia berkata, “Wahai Rosulullah sesungguhnya suamiku Shofwan bin al-Mu’aththol memukuliku apabila aku sholat, menyuruhku berbuka jika aku shaum dan ia tidak sholat shubuh kecuali telah terbit matahari”. Berkata Abu Sa’id, “Sedangkan Sofwan berada di sisinya”. Lalu Beliau bertanya kepadanya tentang apa yang dikatakan istrinya. Sofwan berkata, “Wahai Rosulullah, adapun ucapannya, “ia memukuliku apabila aku sholat”. Sesungguhnya ia membaca dua surat padahal aku telah melarangnya”. Berkata  Abu Sa’id, bersabda Rosulullah, “Seandainya satu surat saja niscaya akan mencukupi manusia”. Adapun ucapannya, “Menyuruhku berbuka jika aku shaum. Istriku suka shaum sedangkan aku seorang pemuda maka tentu aku tidak akan sabar”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak boleh seorang wanita mengerjakan shaum (sunnah) melainkan dengan seidzin suaminya”. Adapun ucapannya, “Aku tidak sholat kecuali telah terbit matahari. Kami adalah tulang punggung keluarga, sungguh-sungguh hal tersebut telah diketahui. Kami tidak dapat bangun tidur hingga terbit matahari”. Beliau bersabda, “Apabila engkau bangun maka sholatlah”. [HR Abu Dawud: 2459, Ahmad: III/ 80, al-Hakim: 1636 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [27]

عن  أبى  هريرة  قال:  قال  رسول  الله صلى الله عليه و سلم: لَا تَصُوْمُ اْلمـَرْأَةُ وَ بَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ (غَيْرُ رَمَضَانَ) وَ لَا تَأْذَنُ فِى بَيْتِهِ وَ هُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak boleh seorang wanita mengerjakan shaum sedangkan suaminya sedang ada di sisinya kecuali dengan seidzinnya (selain Ramadlan). Ia tidak boleh mengidzinkan (seseorang masuk) ke dalam rumahnya sedangkan suaminya ada di sisinya kecuali dengan seidzinnya”. [HR Abu Dawud: 2458, al-Bukhoriy: 2192, 2195, Muslim: 1026, Ibnu Majah: 1761, Ahmad: II/ 316, 444, 464, 476, 500 dan ad-Darimiy: II/ 12. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Shaum sunnahnya seorang wanita yang suaminya berada di sisinya disyaratkan dengan idzinnya, karena haknya atas istrinya itu dan ia tidak boleh melalaikannya. Tidak boleh pula seorang wanita membiarkan masuk seseorang ke dalam rumah suaminya kecuali dengan idzin dan keridloannya”. [29]

عن أبى سعيد قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم النِّسَاءَ أَنْ يَصُمْنَ إِلَّا بِإِذْنِ أَزْوَاجِهِنَّ

Dari Abu Sa’id berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang para wanita untuk berpuasa (sunnah) kecuali dengan seidzin para suami mereka”. [HR Ibnu Majah: 1762. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

Dalil-dalil di atas dan penjelasannya dengan gamblang menerangkan bahwa seorang wanita ketika hendak mengerjakan shaum sunnah semisal shaum senin kamis, shaum bayadl (pertengahan bulan hijriyah), shaum enam hari di bulan syawal, shaum arafah dan semisalnya selain shaum Ramadlan maka wajib baginya untuk meminta idzin kepada suami tercintanya ketika suaminya itu ada di sisinya. Hal tersebut, boleh jadi ketika sang suami mempunyai kebutuhan untuk bersenang-senang dengannya kapanpun yang suaminya kehendaki, maka ia harus selalu siap sedia dan tidak boleh melalaikannya.

Begitupun dengan mengerjakan sholat-sholat sunnah, ia mesti meminta idzin kepada suaminya terlebih dahulu jika sang suami sedang berada di sisinya dan membaca ayat-ayat alqur’an di dalamnya yang tidak terlalu panjang.

عن أبى أمامة الباهلي قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ اْلوَدَاعِ: لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ لَا الطَّعَـامَ ؟ قَال: ذَلِكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا

Dari Abu Umamah al-Bahiliy berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda pada khutbahnya di waktu haji wada’, “Tidak boleh bagi seorang wanita untuk menginfakkan sesuatu sedikitpun dari rumah suaminya kecuali dengan seidzin suaminya”. Ditanyakan kepada Beliau, “Wahai Rosulullah, bagaimana dengan makanan?”. Beliau menjawab, “Makanan itu adalah harta yang paling utama”. [HR at-Turmudziy: 670, 2120 dan Ibnu Majah: 2295. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [31]

عن خيرة امرأة كعب بن مالك أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِحُلِيٍّ لَهَا فَقَالَتْ: إِنِّى تَصَدَّقْتُ بِهَذَا فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ فِى مَالِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا فَهَلِ اسْتَأْذَنْتِ كَعْبًا ؟ قَالَتْ: نَعَمْ فَبَعَثَ رَسُـوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِلَى كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ زَوْجِهَا فَقَالَ: هَلْ أَذِنْتَ لِخَيْرَةَ أَنْ تَتَصَدَّقَ بِحُلِيِّهَا ؟ فَقَالَ: نَعَمْ فَقَبِلَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سـلم مِنْهَا

Dari Khairah istrinya Ka’b bin Malik, ia pernah mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan membawa perhiasannya. Lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku ingin menyedekahkan (perhiasan) ini”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Tidak boleh bagi seorang wanita (untuk menyedekahkan) hartanya kecuali dengan seidzin suaminya, apakah engkau telah meminta idzin kepada Ka’b?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengutus (seseorang) kepada Ka’b bin Malik suaminya itu. Lalu ia ditanya, “Apakah engkau telah mengidzinkan khairah untuk menyedekahkan perhiasannya?”. Ka’b menjawab, “Ya”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallampun menerima (sedekah perhiasan itu) darinya. [HR Ibnu Majah: 2389, ath-Thohawiy dan Ibnu Mundah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا يَجُوْزُ لِامْرَأَةٍ عَطِيَّةٌ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh bagi seorang wanita memberi suatu pemberian kecuali dengan seidzin suaminya”. [HR Abu Dawud: 3574, an-nasa’iy: V/ 65-66, VI/ 278-279 dan Ahmad: II/ 179, 184, 202. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [33]

عن أبى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَ لَا تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَ مَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَيْهِ شَطْرَهُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa salla bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada di sisinya kecuali dengan seidzinnya. Tidak boleh baginya mengidzinkan (seseorang masuk) di rumahnya kecuali dengan seidzinnya. Tidaklah ia menginfakkan sebahagian nafkahnya dengan tanpa perintahnya maka sesungguhnya suaminya itu akan memperoleh (pahala) separuhnya”. [HR al-Bukhoriy: 5195 dan Ahmad: II/ 316. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

Lalu bagaimana dengan sedekah atau memberikan suatu pemberian kepada orang lain?. Maka hal inipun tidak ada pengecualian. Tidak boleh bagi seorang wanita shalihah untuk memberikan hartanya atau harta suaminya kepada siapapun tanpa meminta idzin kepada suaminya terlebih dahulu.
Bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memanggil seorang shahabat yang bernama Ka’b bin Malik radliyallahu anhu untuk diminta kesaksiannya atas sedekah istrinya Khairah radliyallahu anha yang menyedekahkan perhiasannya.

عن علي بن أبى طالب قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ تَكَلَّمَ النِّسَاُء (يَعْنِى فِى بُيُوْتِهِنَّ) إِلَّا بِإِذْنِ أَزْوَاجِهِنَّ

Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang para wanita berbicara (di rumahnya) kecuali dengan seidzin para suami mereka”. [HR al-Khara’ithiy di dalam Makarim al-Akhlaq. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Kemudian juga Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang wanita berbicara di rumahnya sendiri ketika suaminya sedang berbicara dengan orang lain kecuali dengan seidzinnya.
Maka dengan landasan dalil-dalil yang telah dikemukan di atas, maka suka ataupun tidak, seorang istri itu mesti meminta idzin kepada suaminya dalam berbagai hal sebagai bentuk penghormatannya kepada kedudukan suaminya.

5)). Menyerahkan dirinya kepada suami kapanpun ia memintanya untuk bersenang-senang.

Kewajiban selanjutnya yang banyak diabaikan oleh kebanyakan wanita adalah memenuhi ajakan dan keinginan pasangannya untuk berjimak yakni melakukan hubungan intim. Dengan mengemukakan berbagai dalih, ia menolak ajakan suaminya tersebut. Apakah dengan alasan, sibuk mengurus anak, membuat makanan dan penganan, sedang letih, sedang tidak mut dan lain sebagainya.
Ia banyak berdalih hanyalah untuk menghindar ajakan suaminya untuk berjimak, yang boleh jadi lantaran ia takut hamil dan melahirkan, malas untuk mandi janabat, telah berkurang rasa cintanya kepada suaminya karena uang belanja selalu kurang dan lain sebagainya.

Kalaulah setiap wanita mau atau telah membaca, memahami dan mengimani sabda-sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berikut ini, niscaya akan berkuranglah penolakannya terhadap ajakan suaminya meskipun ia sedang berada di atas kendaraan atau sedang mengerjakan pekerjaannya di dapur dan selainnya.

عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهُ اْلمـَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Dari Abu HUrairah radliyallahu anhu dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang lelaki mengajak istrinya (berhubungan intim) di pemabaringannya lalu si istri enggan (memenuhinya), (dalam riwayat Abu Dawud, “lalu ia tidur dalam keadaan marah”) maka para Malaikat akan melaknatnya hingga pagi hari”. [HR al-Bukhoriy: 5193, Muslim: 1436, Abu Dawud: 2141 dan Ahmad: II/ 439, 480. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [36]

عن زيد بن أرقم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فَلْتُجِبْ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى قَتَبٍ

Dari Zaid bin Arqom bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang lelaki mengajak istrinya maka hendaklah ia memenuhi (ajakannya tersebut) kendatipun ia berada di atas pelan (kuda)”. [HR al-Bazzar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [37]

عن طلق بن علي قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ

Dari Thalq bin Ali berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seorang lelaki mengajak istri untuk keperluannya maka hendaklah ia mendatanginya meskipun ia berada di dapur”. [HR at-Turmudziy: 1160 dan Ahmad: IV/ 22-23. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [38]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Hak suami atas istrinya itu sangat besar maka sepantasnya istri itu selalu mempersiapkan diri untuknya. Terdapat motivasi untuk wanita untuk berbuat yang menimbulkan keridloan suaminya dan membahagiakannya dengan semua yang ia sukai. Karena suami itu memiliki keutamaan atas istrinya berupa penjagaan dan pemeliharaan”. [39]

عن أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: وَ الَّذِي نَفْسِى بِيَدِهَ مَا مِنْ رَجُلٌ يَدْعُوْ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِى فِى السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, tidaklah seorang muslim mengajak istrinya ke pembaringan lalu ia menolak ajakannya melainkan (Allah) yang berada di langit akan murka kepadanya sehingga suaminya itu ridlo kembali kepadanya”. [HR Muslim: 1436 (121). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Wajibnya istri itu mentaati suaminya apabila diajak ke pembaringannya (untuk berjimak). Dan tidak ada alasan baginya (untuk menolak) karena perkara yang paling kuat yang dapat mengacaukan para lelaki adalah ajakan hasrat untuk jimak (hubungan badan). Oleh sebab itu Pembuat syariat Yang Maha bijaksana (yakni Allah ta’ala) telah memberi dorongan kepada para wanita untuk membantu suaminya dalam hal tersebut supaya ia dapat menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya”.

Katanya lagi, “Kesabaran suami dalam meninggalkan jimak (nafsu seksual) itu lebih lemah daripada kesabaran wanita. Oleh sebab itu, penolakan wanita atas ajakan suami (untuk berhubungan intim) di tempat tidur itu merupakan dosa besar yang akan mengakibatkan kemurkaan Allah”. [41]

Menurut hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu anhu di atas beserta penjelasannya, bahwa jika seorang istri menolak ajakan suaminya untuk berjimak akan menyebabkan datangnya murka Allah ta’ala kepadanya sehingga suaminya tersebut ridlo kembali kepadanya.

Di dalam jimak itu banyak sekali faidahnya, misalnya untuk menjaga dan melanjutkan keturunan, memperbaiki dan menambah keharmonisan hubungan suami istri, mendapatkan kenikmatan dan kelezatan darinya dan memelihara kesehatan keduanya karena biasanya jika salah satu atau keduanya sudah lama tidak mengeluarkan spermanya dengan melalui berjimak maka hal itu akan menimbulkan rasa pusing yang hebat, badan terasa tidak nyaman dan mudah gelisah dan marah. Jimak juga dapat membuat fresh atau rasa segar baik bagi jasmani ataupun rohani keduanya, dapat melahirkan rasa rindu untuk selalu berduaan dengan pasangannya, mendapatkan pahala karena jimak itu disebut oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai sedekah dan lain sebagainya.

Berkata al-Allamah Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Adapun masalah jimak (hubungan seksual), petunjuk beliau di dalam masalah ini sangat sempurna. Yakni dapat memelihara kesehatan, kenikmatan yang diperoleh dan kebahagiaan hati telah utuh dan berbagai tujuan dari hubungan ini akan didapat. Jimak (Hubungan seksual) ini pada dasarnya ditetapkan karena tiga perkara, yang ketiga hal tersebut merupakan tujuan hakiki dari hubungan jimak,

1). Menjaga dan melanjutkan keturunan. Yang dengan hal ini, sarana yang Allah telah tetapkan muncul di alam semesta dengan sempurna.
2). Mengeluarkan air mani (sperma), yang jika ditahan (tidak dikeluarkan) dapat membahayakan fisik.
3). Menyalurkan hasrat, merasakan kelezatan dan mengecap kenikmatan.
Manfaat yang ketiga ini, adalah yang satu-satunya kekal di dalam surga. Sebab di surga tidak ada kelahiran dan tidak ada sperma yang ditahan sehingga harus dikeluarkan. [42]

Katanya lagi, “Para dokter/ thabib terkemuka berpendapat bahwa jimak (hubungan seksual) itu adalah salah satu faktor untuk menjaga kesehatan”. [43]

Dari Abu Dzarr, Bahwasanya orang-orang berkata, “Wahai Rosulullah, orang-orang yang mempunyai harta telah pergi membawa pahala, mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka shoum sebagaimana kami shoum dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Beliau bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang kalian dapat bersedekah dengannya. Sesungguhnya tiap-tiap tasbih itu sedekah, tiap-tiap takbir itu sedekah, tiap-tiap tahmid itu sedekah, tiap-tiap tahlil itu sedekah, perintah berbuat ma’ruf itu sedekah, melarang dari perbuatan munkar itu sedekah
وَ فِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
 dan seseorang di antara kalian menggauli istrinya adalah sedekah”. Mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, apakah seseorang di antara kami menunaikan syahwatnya, lalu ia mendapatkan pahala?”. Beliau menjawab, “Bagaimana pandangan kalian jikalau ia meletakkan (maksudnya; menunaikan)nya pada tempat yang haram, apakah ia akan mendapatkan dosa?. Maka demikian pula jika diletakkan pada tempat yang halal tentulah ia akan mendapatkan pahala”. [HR Muslim: 1006, al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad halaman 52 dan Ahmad: V/ 154, 167, 168, 178. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [44]

6)). Membantu suaminya di dalam perkara dunia dan akhirat.
      
Di antara kewajiban istri adalah senantiasa membantu suaminya di dalam perkara dunia dan akhirat. Membantu suami dalam perkara dunia adalah membantu pekerjaannya selain pekerjaan rumahnya selama tidak bertentangan dengan agama. Misalnya ikut pergi ke ladang untuk bercocok tanam, memanen tanaman atau membawa hasilnya ke rumah atau gudang penyimpanannya. Atau ikut menjaga toko atau warung yang dikelola oleh suaminya dengan aneka jenis pekerjaan berupa mencatat barang-barang yang keluar dan masuk, menerima dan mengembalikan uang kembalian dari pembeli atau konsumen dan lain sebagainya.

Membantu suami dalam perkara agama atau akhirat adalah mengajak suaminya untuk menunaikan sholat malam berjamaah atau sholat-sholat sunnah lainnya, mengajaknya mengerjakan shaum-shaum sunnah bersama-sama, mendorongnya untuk selalu membantu dan bersilaturrahmi kepada kedua orang tuanya, memotivasinya untuk senantiasa bersedekah kepada anak-anak yatim, kaum dluafa dan semisalnya, mengingatkannya untuk selalu berlaku adil kepada para istrinya jika suaminya itu mempunyai lebih dari satu orang istri, dan lain sebaginya.

عن ثوبان قَالَ: لَمَّــا نَزَلَتْ ((و الذين يكنزون الذهب و الفضة- البراءة: 34)) قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: أُنْزِلَتْ فِى الذَّهَبِ وَ اْلفِضَّةِ لَوْ عَلِمْنَا أَيَّ اْلمـَالِ خَيْرٌ فَنَتَّخِذُهُ؟ فَقَالَ: أَفْضُلُهُ (و فى رواية: لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ) لِسَاٌن ذَاكِرٌ وَ قَلْبٌ شَاكِرٌ وَ زَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِيْنُهُ عَلَى إِيْمَانِهِ (و فى رواية: تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ اْلآخِرَةِ)

Dari Tsauban berkata, ketika turun ayat ((Dan orang-orang yang menyimpan harta emas dan peraknya… QS. Al-Baro’ah/ 9: 34)). Ia bercerita, “Kami pernah bersama-sama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di sebahagian perjalanannya”. Berkata sebahagian shahabat, “Telah diturunkan (ayat) tentang emas dan perak, kalau kami boleh tahu harta apakah yang paling baik yang kami harus memilikinya?”. Beliau bersabda, “Yang paling utama (Di dalam suatu riwayat, “Hendaklah seseorang di antara kalian memiliki”) lisan yang suka berdzikir, hati yang senantiasa bersyukur dan istri shalihah yang selalu membantu suaminya dalam agamanya (di dalam suatu riwayat, “membantu seseorang di antara kalian dalam perkara akhirat”). [HR at-Turmudziy: 3094, Ibnu Majah: 1856 dan Ahmad: V/ 278, 282. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [45]

عن أبى أمامة عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: قَلْبٌ شَـاكِرٌ وَ لِسَـانٌ ذَاكِرٌ وَ زَوْجَةٌ  صَالِحَةٌ تُعِيْنُكَ عَلَى أَمْرِ دُنْيَاكَ وَ دِيْنِكَ خَيْرُ مَا اكْتَنَزَ النَّاسُ

Dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hati yang selalu bersyukur, lisan yang gemar berdzikir dan istri shalihah yang senantiasa membantumu dalam perkara dunia dan agamamu adalah sebaik-baik yang disimpan oleh manusia”. [HR al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [46]

Dalil telah tetap dan tidak akan berubah lagi selamanya, bahwa istri yang shalihah adalah laksana barang berharga yang tidak dapat dinilai oleh siapapun dengan nilai apapun. Bahkan disebutkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai barang simpanan yang paling baik, yakni lebih baik dari simpanan emas dan perak, deposito dan barang berharga apapun. Dan di antara sifat istri yang shalihah adalah membantu suaminya di dalam amalan-amalan dunia dan agama (akhirat)nya.

عن أبى أذينة الصدفى أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قَالَ: خَيْرُ نِسَاؤُكُمْ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلمـُوَاتِيَةُ اْلمـُوَاسِيَةُ إِذَا اتَّقَيْنَ اللهَ وَ شَرُّ نِسَائُكُمُ اْلمـَتَبَرِّجَاتُ اْلمـَتَخَيِّلَاتُ وَ هُنَّ اْلمـُنَافِقَاتُ لَا يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مِنْهُنَّ إِلَّا مِثْلُ اْلغُرَابِ اْلأَعْصَمِ

Dari Abu Adzinah ash-Shodafiy bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik istri kalian adalah yang penyayang, suka melahirkan, gemar memberi dan suka membantu suaminya apabila mereka bertakwa kepada Allah. Dan seburuk-buruk istri kalian adalah yang gemar berdandan dan suka mengkhayal. Mereka adalah wanita-wanita munafik, tidak akan masuk ke dalam surga seseorang di antara mereka melainkan seperti burung gagak yang berleher dan berparuh merah. [HR al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [47]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memuji wanita yang menyayangi suami dan anak-anaknya, suka melahirkan, gemar memberi dan suka membantu suaminya dengan sebutan sebaik-baik istri, jika ia bertakwa kepada Allah ta’ala.

عن أبى هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَ أَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ اْلمـَاءَ

Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Allah merahmati seorang wanita yang berdiri di waktu malam untuk sholat dan ia membangunkan suaminya. Jika ia enggan makan ia perciki wajahnya dengan air”. [HR Abu Dawud: 1308. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan Shahih]. [48]

7)). Tidak menyakiti perasaan suami.

Jika Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang setiap muslim dan muslimah untuk menyakiti perasaan saudaramnya sesama muslim maka bagaimana dengan seorang istri yang menyakiti perasaan suaminya sendiri. Tentu hal ini lebih terlarang lagi.
Namun hal ini, tidak disadari oleh kebanyakan para wanita atau bahkan dengan sengaja melakukan hal tersebut lantaran kebencian kepada suaminya tersebut.

Banyak perilaku istri yang dapat menyakiti perasaan suaminya. Misalnya dengan aneka perkataan yang merendahkan suaminya, apakah karena jenjang pendidikannya yang rendah, wajah yang pas-pasan, gaji di bawah standar orang lain, anak orang yang tidak berpunya dan lain sebagainya. Ia gemar membandingkan keadaan rendah dan kurang suaminya itu dengan orang lain yang lebih baik dan mapan di depan suaminya.

Atau sang istri suka merendahkan dan menggunjing keluarga suaminya dari ayah dan ibunya, kakak dan adiknya tanpa peduli akibatnya, teman-teman kantornya dan lain sebagainya.

Atau menyakiti perasaan suaminya adalah dengan bentuk mengabaikan kebutuhannya, tidak menegur dan menyapanya, membiarkannya makan sendirian, dan lain sebagainya.

Perbuatan dan perilaku tersebut jelas merupakan dosa besar yang diharapkan pelakunya taubat darinya. Apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengkhabarkan bahwa jika ada seorang wanita yang menyakiti perasaan suaminya, maka istri dari suaminya dari golongan bidadari berkata dengan nada marah, “Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allah membinasakanmu”.

Setiap wanita mukminah yang shalihah niscaya ia akan beriman kepada apa yang dikhabarkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits ini, lalu ia akan berusaha menerapkannya dalam keidupan sehari-harinya dengan menjaga setiap perbuatan dan perilakunya agar tidak lagi menyinggung dan menyakiti perasaan suaminya.

عن معاذ بن جبل عن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِى الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ اْلحُوْرِ اْلعِيْنِ: لَا تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia melainkan berkatalah istrinya dari golongan bidadari, “Janganlah engkau menyakitinya, niscaya Allah membinasakanmu. Sesungguhnya ia adalah seorang tamu yang masuk ke sisimu, yang sebentar lagi ia akan berpisah meninggalkanmu untuk menuju kepada kami”. [HR at-Turmudziy: 1174, Ibnu Majah: 2014 dan Ahmad: V/ 242. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [49]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Perintah waspada kepada wanita agar tidak menyakiti suaminya baik secara phisik ataupun psikis”.[50]

عن عروة قال: قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم : يَا أُمَّ سَلَمَةَ لَا تُؤْذِيْنِي فِى عَائِشَةَ فَإِنَّهُ وَ اللهِ مَا نَزَلَ عَلَيَّ اْلوَحْيُ وَ أَنَا فِي لِحَافِ امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ غَيْرُهَا

Dari Urwah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Ummu Salamah janganlah engkau menyakitiku pada Aisyah. Karena sesungguhnya, demi Allah tidaklah turun suatu wahyu kepadaku yang aku sedang berada di selimut seorang wanita di antara kalian selainnya”. [HR al-Bukhoriy: 2581, 3775, an-Nasa’iy: VII/ 68, 68-69 dan at-Turmudziy: 3879. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [51]

Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah menegur istrinya yaitu Ummu Salamah radliyallahu anhu karena telah menyakiti dirinya pada Aisyah radliyallahu anha. Hal ini dilakukan Ummu Salamah karena ia menduga Nabi Shallallahu alaihi wa salam tidak berlaku adil di antara istri-istrinya yaitu Beliau lebih mencintai Aisyah dan mengutamakannya lebih dari yang lainnya. Lalu ia menuntut Beliau untuk berlaku adil kepadanya dan yang lainnya. Padahal Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia yang paling adil di permukaan bumi, tidak ada manusia lain yang lebih adil dari Beliau, sepanjang masa dan di segenap tempat.

Hadits di atas juga merupakan gambaran sifat wanita yang pencemburu dan suka melakukan sesuatu terhadap suaminya meskipun ia tidak menyadari telah menyakiti perasaan suaminya sendiri. Oleh karena itulah kebanyakan wanita itu tempatnya di neraka yang ditempatkan Allah Subhanahu wa ta’ala karena sifat-sifat buruknya. Misalnya karena suka banyak mengeluh terhadap kesulitan dan penderitaan yang menderanya. Wanita suka banyak mengutuk dan mencela terhadap hal-hal yang tidak ia sukai dari suaminya seperti karena gaji suaminya sedikit, jabatannya rendah, penampilannya kurang menarik, pendidikannya rendah dan selainnya.

Wanita juga suka mengkufuri suaminya yaitu merendahkan suaminya dan menolak kepemimpinannya di rumah tangganya. Ia tidak mau diperintah dan gemar melawan perintah suaminya hanya karena ia merasa masih cantik menawan, pendidikan dan pangkat kedudukannya lebih tinggi dari suaminya, ia merasa telah mampu mencari uang sendiri apalagi jika sebahagian besar rumah, kendaraan dan perabotan-perabotannya adalah hasil keringatnya sendiri bukan suaminya.
Banyak wanita juga yang suka mengingkari kebaikan yang suaminya telah berikan kepadanya. Ketika suaminya tidak bisa memberikan sesuatu yang diinginkan olehnya atau ia mendapatkan suatu keburukan pada suaminya, ia berkata kepada suaminya dengan ketus, “Aku tidak pernah melihat dan mendapatkan kebaikan sedikitpun darimu”. Padahal selama ini suaminya telah banyak memberikan kebaikan kepadanya dan selalu berusaha untuk mencukupi keperluannya semampunya.

Maka jelas, sikap-sikap buruk seperti itu akan menyusahkan dan menyakiti perasaan suaminya baik disadari ataupun tidak. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan akan sifat buruk para wanita kepada suaminya yang akan menyeretnya masuk ke dalam neraka. Perhatikan dalil-dalil berikut,

عن جابر بن عبد الله قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَ تَكْفُرْنَ اْلعَشِيْـَر

Dari Jabir bin Abdullah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahua alaihi wa sallam, “Karena kalian suka banyak mengeluh dan mengkufuri suami”. [HR Muslim: 885 (4)].

عن أبى سعيد الخدري رضي الله عنه قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَ تَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ اْلحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Karena kalian suka banyak mengutuk, mengkufuri suami dan aku juga melihat berkurangnya akal dan agama seseorang di antara kalian dapat menghilangkan akal seorang lelaki yang bijak wahai kaum wanita”. [HR al-Bukhoriy:1462 dan Ahmad: II/ 87. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [52]

عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَ تَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ وَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَ دِيْنٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ

Dari Abdullah bin Umar dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Karena kalian suka banyak mengutuk, mengkufuri suami dan aku juga melihat berkurangnya akal dan agama seseorang di antara kalian dapat menghilangkan akal seseorang yang bijak”. [HR Muslim: 79, al-Bukhoriy: 304, 1951, 2658, Ibnu Majah: 4003 dan Ahmad: II/ 66-67. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [53]

عن  عبد  الله  بن  عباس  أنه  قال: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ يَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ وَ يَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌّ

Dari Abdullah bin Abbas bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Karena kufur kepada suami dan kufur pula kepada perbuatan baik. Jikalau engkau berbuat baik kepada seseorang di antara mereka sepanjang masa, lalu ia melihat sesuatu (keburukan) darimu ia berkata, “Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu sedikitpun”. [HR al-Bukhoriy: 29, 431, 748, 1052, 3202, 5197 dan Muslim: 907].

Di antara sifat buruk wanita lainnya adalah suka banyak menuntut, sehingga dengan tuntutannya itu suaminya bisa terjerembab ke dalam kubangan dosa. Misalnya, menuntut harta yang berlebih padahal pendapat suaminya tidak mendukungnya, maka tuntutannya itu bisa menyebabkan suaminya korupsi. Menuntut suaminya selalu hadir dalam setiap kegiatannya, padahal tuntutannya itu dapat menyebabkan suaminya tidak bisa bersilaturrahmi kepada kedua orangtuanya, saudara-saudara dan teman-temannya. Menuntut suaminya untuk menceraikan madunya jika suaminya mempunyai lebih dari satu orang istri agar terpenuhi segala kebutuhannya, padahal tuntutannya itu dapat menyebabkan suaminya berbuat zholim kepada istrinya yang lain. Dan lain sebagainya. Semua tuntutan wanita terhadap suaminya tersebut boleh jadi akan menyusahkan dan menyakiti perasaannya. Oleh karena itu, istiri yang baik lagi shalihah itu lebih suka melihat kekurangan dirinya daripada kekurangan suaminya dan orang lain, agar ia berusaha untuk memperbaiki dirinya semampunya.

عن أبى هريرة قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنْ تَسْأَلَ اْلمــَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْتَفِئَ مَا فِى صَحْفَتِهَا فَإِنَّ اللهَ عز و جل رَازِقُهَا

Dari Abu Hurairah berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang wanita meminta (suaminya) untuk menceraikan saudarinya (atau madunya) agar terpenuhi apa yang ada di dalam bejananya. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla yang memberikan rizki kepadanya”. [HR Muslim: 1408 (39), 1413 dan al-Bukhoriy: 2140. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [54]

 عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ ِلِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمـَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka menyakiti para tetangganya dengan lisannya?. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah menyakiti seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [55]

Jika menyakiti tetangga saja dapat menyebabkan seorang wanita masuk ke dalam neraka, padahal ia gemar mengerjakan berbagai ibadah semisal sholat, berpuasa, bersedekah dan berbagai kebaikan lainnya. Maka bagaimana dengan wanita yang gemar menyakiti hati suaminya yang tinggal serumah dengannya?. Maka renungkanlah..

8)). Tidak mencemburui suaminya dengan kecemburuan yang dimurkai oleh Allah Ta’ala.
      
    Cemburu adalah suatu sifat yang baik dan wajar yang dimiliki oleh setiap manusia. Sehingga dengan cemburu, seorang wanita akan berusaha tampil di hadapan suaminya itu sebaik-baiknya untuk menarik hatinya. Dengan sifat cemburu, ia akan melayani suaminya dengan pelayanan lebih dari biasanya agar suaminya merasa puas dengannya dan tidak berpaling kepada selainnya. Dengan sifat itu pula seorang wanita, akan berusaha menuruti kehendak suaminya yang sesuai syar’iy supaya suaminya itu merasa aman dan nyaman di sisinya. Sebab jika suaminya tidak tertarik lagi padanya, tidak merasa puas dengan pelayanannya dan tidak merasa aman dan nyaman di sisinya maka ia khawatir suaminya itu akan mencari semuanya itu kepada yang lainnya. Maka ini adalah kecemburuan yang positif lagi disukai oleh Allah Azaa wa Jalla.

Tetapi jika rasa cemburunya itu tidak berdasar dan membabi buta, sehingga ia selalu curiga dengan segala tindak-tanduk suaminya, berburuk sangka dengan semua yang dikerjakan suaminya, terkadang mengintai sebahagian kegiatan yang dilakukan oleh suaminya di berbagai tempat, menampakkan raut wajah yang bimbang dengan kebaikan suaminya dan selainnya.

Apalagi jika suaminya memiliki lebih dari seorang istri, maka kecemburuannya tersebut dapat membawanya kepada banyak keburukan. Misalnya, iri dengan madunya yang lebih cantik dan mapan darinya, enggan melayani kebutuhan suaminya karena ia merasa jijik dengan suaminya yang ia duga baru saja melakukan jimak dengan madunya, enggan menyiapkan makanan dan minuman suaminya karena ia menganggap suaminya itu telah terpenuhi kebutuhannya di rumah madunya, curiga terhadap suaminya yang ia sangka suka memberikan hadiah kepada madunya yang tidak diberikan kepadanya dan lain sebagainya. Maka ini adalah kecemburuan yang negatif lagi dibenci oleh Allah Azza wa Jalla.

عن عائشة  زوج النبي صلى الله عليه و سلم حَدَّثَتْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ عِنْدَهَا لَيْلًا قَالَتْ: فَغِرْتُ عَلَيْهِ فَجَاءَ فَرَأَى مَا أَصْنَعُ فَقَالَ: مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ أَغِرْتِ  ؟ فَقُلْتُ: وَ مَا لِي لَا  يُغَارُ  مِثْلِي عَلَى  مِثْلِكَ ؟  فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: أَقَدْ جَاءَكِ شَيْطَانُكِ ؟ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوَ  مَعِي  شَيْطَانٌ ؟ قَالَ: نَعَمْ  قُلْتُ: وَ مَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ ؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: وَ مَعَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: نَعَمْ وَ لَكِنَّ رَبيِّ أَعَانَنِى عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia bercerita bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam suatu malam pernah keluar dari sisinya. Ia berkata, “Akupun cemburu karenanya”. Lalu Beliaupun datang dan melihat apa yang aku perbuat. Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu wahai Aisyah, apakah engkau cemburu?”. Aku menjawab, “Mengapa tidak cemburu atas permisalanku padamu?”. Maka Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apakah setanmu telah datang kepadamu?”. Aku berkata, “Wahai Rosulullah, adakah setan bersamaku?”. Beliau menjawab, “Ya”. Aku bertanya, “Apakah (setan itu) bersama setiap manusia?”. Beliau menjawab, “Ya”. Aku bertanya lagi, “Apakah juga bersamamu?”. Beliau menjawab, “Ya, namun Rabbku telah membantuku sehingga aku selamat”. [HR Muslim: 2815 dan Ahmad: VI/ 115. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].  [56]

عن جابر بن عتيك أن نبي الله صلى الله عليه و سلم كان يقول: من الغيرة ما يحب الله و منها ما يبغض الله فأما التي يحبها الله فالغيرة فى الريبة و أما التي يبغضها الله فالغيرة فى غير ريبة

Dari Jabir bin Atik bahwasanya Nabiyullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Di antara rasa cemburu itu ada yang disukai oleh Allah dan yang dibenci oleh Allah. Yang disukai oleh Allah adalah cemburu di dalam keraguan dan yang dibenci Allah adalah cemburu  dalam selain keraguan”. [HR Abu Dawud: 2659, an-Nasa’iy: V/ 78-79, Ahmad: V/ 445, 446 dan ad-Darimiy: II/ 149. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [57]

 9)). Melayani suaminya dengan baik.
            
 Tugas dan kewajiban pokok wanita adalah menyiapkan segala kebutuhan suami dan anak-anaknya di rumahnya. Di antara tugasnya adalah membersihkan rumah dan halamannya, yakni menyapu, mengepel dan membersihkan setiap sudut rumahnya. Mencuci berbagai perabotan rumah tangga yang kotor yaitu piring, gelas, sendok dan selainnya. Mencuci, menjemur dan menyetrika pakaian-pakaian yang kotor dan lusuh anggota keluarganya. Belanja, memasak dan menghidangkan makanan di waktu pagi, siang dan malam hari agar terisi setiap perut anggota keluarganya tersebut. Dan masih banyak yang lainnya. Memang berat dan melelahkan, namun memiliki manfaat dan pahala yang besar baginya di dunia dan akhirat.

            عن علي أَنَّ فَاطِمَةَ اشْتَكَتْ مَا تَلْقَى مِنَ الرَّحَى فِى يَدِهَا وَ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم سَبْيٌ فَانْطَلَقَتْ فَلَمْ تَجِـدْهُ وَ لَقِيَتْ عَائِشَةَ فَأَخْبَرَتْهَا فَلَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ بِمَجِيْءِ فَاطِمَةَ إِلَيْهَا فَجَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِلَيْنَا وَ قَدْ أَخَذْنَا مَضَاجِعَنَا فَذَهَبْنَا نَقُوْمُ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: عَلَى مَكَانِكُمَا فَقَعَدَ بَيْنَنَا حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ قَدَمِهِ عَلَى صَدْرِي ثُمَّ قَالَ: أَلَا أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَا؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَنْ تُكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَ ثَلَاثِيْنَ وَ تُسَبِّحَاهُ ثَلَاثًا وَ ثَلَاثِيْنَ وَ تَحْمَدَاهُ ثَلَاثًا وَ ثَلَاثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

Dari Ali bahwasanya Fathimah pernah mengeluhkan apa yang diperoleh dari batu penggilingan (berupa luka atau lecet) pada tangannya. Datanglah tawanan kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam (untuk melayani kaum muslimin). Lalu Fathimah pergi (mencari Beliau), namun ia tidak menjumpainya, dan ia bertemu dengan Aisyah. Lalu Fathimah menceritakan (keperluannya) kepada Aisyah. Ketika Nabi Shallalahu alaihi wa sallam datang, Aisyahpun mengabarkan kedatangan Fathimah kepadanya. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendatangi kami sedangkan kami telah berada di pembaringan kami. Lalu kami bangkit (untuk menemuinya), maka Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian tetap di tempat kalian!”. Lalu Beliau duduk di antara kami berdua sehingga aku dapatkan rasa dingin kaki Beliau pada dadaku. Kemudian Beliau bersabda, “Maukah kuajarkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta?”. Apabila kalian hendak berbaring tidur, hendaklah kalian bertakbir kepada Allah (mengucapkan Allahu akbar) sebanyak 34 kali, bertasbih (mengucapkan subhanallah) sebanyak 33 kali dan bertahmid (mengucapkan alhamdulillah) sebanyak 33 kali. Maka semua itu lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pelayan”. [HR Muslim: 2727, al-Bukhoriy: 3113, 3705, 5361, 5362, 6318, at-Turmudziy: 3408, Abu Dawud: 5062 dan Ahmad: I/ 106-107. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [58]

Di dalam riwayat Ahmad, Fathimah radliyallahu anha berkata,

وَ أَنَا وَ اللهِ قَدْ طَحَنْتُ حَتَّى مَجَلَتْ يَدَايَ
“Dan demi Allah, aku telah terbiasa menggiling (tepung) sehingga kedua tanganku melepuh”.

 عن أسماء بنت أبى بكر قَالَتْ: تَزَوَّجَنِى الزُّبَيْرُ وَ مَا لَهُ فِى اْلأَرْضِ مِنْ مَالٍ وَ لَا مَمْلُوْكٍ وَ لَا شَيْءٍ غَيْرَ فَرَسِهِ قَالَتْ: فَكُنْتُ أَعْلِفُ فَرَسَهُ وَ أَكْفِيْهِ مُؤْنَتَهُ وَ أَسُوْسُهُ وَ أَدُقُّ النَّوَى لِنَاضِحِهِ وَ أَعْلِفُهُ وَ أَسْتَقِى اْلمـَاءَ وَ أَخْرُزُ غَرْبَهُ وَ أَعْجِنُ وَ لَمْ أَكُنْ أُحْسِنُ أَخْبِزُ فَكَانَ يَخْبِزُ لِى جَارَاتٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَ كُنَّ نِسْوَةَ صِدْقٍ قَالَتْ: وَ كُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِى أَقْطَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى رَأْسِى وَ هِيَ عَلَى ثُلُثَى فَرْسَخٍ

Dari Asma binti Abu Bakar berkata, “Zubair telah menikahiku sedangkan ia tidak memilki harta, budak atau sesuatupun untuk mengurus ladangnya kecuali kudanya”. Ia berkata lagi, “Akulah yang memberi makan kudanya, mencukupi makanannya, mengurusnya, menumbuk bebijian, menyiapkan makanan untuknya, mengambilkan air, menjaga tempat airnya, membuat adonan sedangkan aku belum pandai membuat roti maka para tetanggaku dari kalangan Anshor yang membuatkannya untukku dan mereka adalah para wanita yang baik (hati)”. Ia berkata lagi, “Aku memindahkan (mengangkut) biji-bijian (hasil panen) di atas kepalaku dari ladangnya Zubair yang telah diberi oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sejarak 2/3 farsakh”. [HR Muslim: 2182 dan Ahmad: VI/ 347. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih dan juga dishahihkan oleh Syu’aib al-Arna’uth dan Abdulqodir al-Arna’uth]. [59]

عن أسماء بنت أبى بكر قَالَتْ: كُنْتُ أَخْدُمُ الزُّبَيْرَ زَوْجَهَا وَ كَانَ لَهُ فَرَسٌ كُنْتُ أَسُوْسُهُ وَ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ مِنَ اْلخِدْمَةِ أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ سِيَاسَةِ اْلفَرَسِ فَكُنْتُ أَحْتَشُّ لَهُ وَ أَقُوْمُ عَلَيْهِ وَ أَسُوْسُهُ وَ أَرْضَخُ لَهُ النَّوَى قَالَ: ثُمَّ إِنَّهَا أَصَابَتْ خَادِمًا أَعْطَاهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  قَالَتْ: فَكَقَتْنِى  سِيَاسَةُ  اْلفَرَسِ  فَأَلْقَتْ  عَنِّى  مُؤْنَتُهُ

Dari Asma binti Abu Bakar berkata, “Aku melayani Zubair (suaminya). Ia memiliki seekor kuda dan akulah yang merawat (kuda)nya. Tidak ada pelayanan yang lebih berat bagiku daripada menjaga kudanya. Akulah yang mencarikan rumput untuknya, menjaga, merawat dan memberikan (makan) biji-bijian untuknya. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan kepadanya seorang pelayan. Asma berkata, “Maka telah mencukupiku dari merawat kudanya dan hilanglah satu kesulitan dariku”. [HR Ahmad: VI/ 352. Syu’aib al-Arna’uth dan Abdulqodir al-Arna’uth telah mengshahihkan hadits ini]. [60]

Dalil-dalil hadits dan atsar di atas menggambarkan tugas dan pekerjaan para istri di zaman Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Fathimah binti Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang menumbuk gandum dengan tangannya sendiri sampai kedua tangannya melepuh dan lecet, ia melakukan hal tersebut untuk membuat tepung yang akan dibuat roti sebagai makanan anggota keluarganya.
Asma binti Abu Bakar radliyallahu anhuma yang menumbuk gandumnya sendiri dan membuat adonan dan roti makanan keluarganya meskipun dengan bantuan tetangganya. Membantu mengurusi kuda suaminya dari mencari rumput dan mencarikan air untuk minum kuda suaminya. Membantu suaminya Zubair di ladang dan ikut memikul hasil panennya ke rumahnya dan sebagainya.
Dan masih banyak lagi kisah wanita-wanita shalihah terdahulu yang dapat dijadikan ibrah dan pelajaran dari mereka, dengan berbagai kiprah mereka dalam mengabdikan diri mereka kepada Allah ta’ala dengan cara berbakti kepada para suami mereka.

10)). Tidak meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab.

Kewajiban lain dari istri yang shalihah adalah tidak meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab syar’iy. Sebab terkadang jika seorang wanita melihat atau merasakan satu keburukan dari suaminya, maka akan muncullah rasa kesal dan amarah darinya dan seketika itu pula ia meminta cerai dari suaminya.

Maka dari sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengharamkan perbuatan tersebut dan mengancam setiap wanita yang melakukannya dengan diharamkannya wewangian surga atasnya dan dicap sebagai wanita munafik. Hal ini sebagaimana di dalam dalil-dalil berikut,

عن ثوبان عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ اْلجَنَّةِ

Dari Tsauban dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Siapapun wanita yang meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab niscaya ia tidak akan mencium wewangian surga”. [HR at-Turmudziy: 1187, Abu Dawud: 2226, Ibnu Majah: 2055, Ahmad: V/ 277 dan ad-Darimiy: II/ 162. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [61]

عن ثوبان عن النبي صلى الله عليه و سلم قَالَ: اْلمـُخْتَلِعَاتُ هُنَّ اْلمـُنَافِقَاتُ

Dari Tsauban dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Wanita-wanita yang minta cerai (khulu’) adalah wanita-wanita munafik”. [HR at-Turmudziy: 1186, an-Nasa’iy: VI/ 168 dan Ahmad: II/ 414. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [62]

Demikian sebahagian hak-hak suami yang menjadi tugas dan kewajiban istri untuk menunaikannya sebaik-baiknya. Namun suami yang baik dan shalih sebaiknya banyak membantu pekerjaan-pekerjaan istrinya jika ada waktu dan kesempata, karena padanya terdapat sesuatu yang dapat menumbuhkan lagi menambahkan rasa cinta dan sayang dari istrinya. Apalagi jika kondisi istrinya sedang kurang sehat, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan sebagainya, maka diharapkan sang suami ringan tangan dalam membantu meringankan pekerjaan istrinya.

Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat bagi para wanita mukminah dan shalihah agar menjadi istri yang terbaik, karena di dalamnya terdapat banyak manfaat untuknya dan suaminya di dunia dan akhirat kelak. Khususnya untuk istri dan anak-anak gadisku tercinta dalam mengarungi rumah tangga mereka.  Semoga mereka menjadi wanita-wanita mukminah lagi shalihah yang dapat membantu para suami dan anak-anak mereka untuk meraih surga yang penuh kenikmatan dan dijauhkan dari neraka yang penuh dengan kesengsaraan.  Amin Ya Mujibas Sa’ilin..

وَ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْواجِنَا وَ ذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata, “Wahai Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS al-Furqan/ 25: 74].

Wallahu a’lam bi ash-Showab.

[1]  Silahkan baca pada pembahasan, HAK ISTRI ATAS SUAMI (Menggapai Keluarga Sakinah 1).
[2] Shahih Sunan at-Turmudziy: 929, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1501 dan Irwa’ al-Ghalil: 2030.
[3] Bahjah an-Nazhirin: I/ 361.
[4] Kota dekat dengan Kufah.
[5] Shahih Sunan Abu Dawud: 1873 dan Irwa’ al-Ghalil: VII/ 57.
[6] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1503, Irwa’ al-Ghalil: 1998 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1203.
[7] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7725 dan Irwa’ al-Ghalil: VII/ 55.
[8] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5259.
[9] Aysar at-Tafasir: I/ 473.
[10]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 661.
[11]  Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3298, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1838 dan Misykah al-Mashobih: 3272.
[12]  Shahih al-Jami ash-Shaghir: 3299.
[13] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 136 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 288.
[14] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1509 dan Adab az-Zifaf halaman 285.
[15] Fat-h al-Bariy: VII/ 58, XIII/ 122, 233, al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 15, Shahih Muslim bi Syarh aan-Nawawiy: XII/ 227, Mukhtashor Shahih Muslim: 1225, Shahih Sunan Abu Dawud: 2285, ‘Aun al-Ma’bud: VII/ 207-208, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3921, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7519, 7520, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 181 dan Misykah al-Mashobih: 3665.
[16] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7520, Silisilah al-Ahadits  ash-Shahihah: 179, 180 dan Misykah al-Mashobih: 3696.
[17]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7521.
[18] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3056.
[19] Mukhtashor Shahih Muslim: 1782, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1496 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7245.
[20] Shahih Sunan Abu Dawud: 3442, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7309 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1109.
[21]  Telah berlalu takhrijnya.
[22] Shahih al-Adab al-Mufrad: 458, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 542 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3058.
[23] Mukhtashor Shahih Muslim: 1439, Shahih Sunan at-Turmudziy: 934, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2677 dan Ghoyah al-Maram: 181.
[24] Mukhtashor Shahih Muslim: 1440 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7681.
[25] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 319 dan Ghoyah al-Maram: 201.
[26] Ghoyah al-Maram: 200.
[27] Shahih Sunan Abi Dawud: 2147 dan Irwa’ al-Ghalil: VII/ 64-65.
[28] Shahih Sunan Abu Dawud: 2146, Mukhtashor Shahih Muslim: 554, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1425, Irwa’ al-Ghalil: 2004, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 395 dan Shahih al-jami’ ash-Shaghir: 7352, 7359.
[29] Bahjah an-Nazhirin: I/ 369.
[30] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1426.
[31] Shahih Sunan at-Turmudziy: 538, 1721, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1859 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 17898.
[32] Shahih Sunan Ibnu Majah: 1935, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 825, 775 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7625.
[33] Shahih Sunan Abu Dawud: 3031, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2380, 3518, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 825, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7626 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 932.
[34] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7647.
[35] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 652 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6813.
[36] Mukhtashor Shahih Muslim: 830, Shahih Sunan Abu Dawud: 1874 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 532.
[37] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1203 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 533.
[38] Shahih Sunan at-Turmudziy: 927, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1202, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 534 dan Misykah al-Mashobih: 3257.
[39] Bahjah an-Nazhirin: I/ 371.
[40] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7080.
[41] Bahjah an-Nazhirin: I/ 367.
[42] Zad al-Ma’ad: IV/ 249.
[43] Zad al-Ma’ad: IV/ 249.
[44] al-Jami’ ash-Shahih: III/ 82, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: VII/ 91-92, Mukhtashor Shahih Muslim: 545, Shahih al-Adab al-Mufrad: 167, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 454 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2588.
[45] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2470, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1505 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2176.
[46] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4409.
[47] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3330 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1849.
[48] Shahih Sunan Abu Dawud: 1160, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3494, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 621, dan Misykah al-Mashobih: 1230.
[49] Shahih Sunan at-Turmudziy: 937, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1637, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 173 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7192.
[50] Bahjah an-Nazhirin: I/ 372.
[51] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3688, 3689, Shahih Sunan at-Turmudziy: 3040 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7855.
[52] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3755 dan Irwa’ al-Ghalil: 878.
[53] Irwa’ al-Ghalil: 190.
[54] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7591.
[55] Shahih al-Adab al-Mufrad: 88 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 190.
[56] Mukhtashor Shahih Muslim: 1805, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5801 dan Fiq-h as-Sirah halaman 65.
[57] Shahih Sunan Abu Dawud: 2316, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2398, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2221 dan Irwa’ al-Ghalil: 1999.
[58] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2713, Shahih Sunan Abu Dawud: 4232 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2619.
[59] Mukhtashor Shahih Muslim: 1436 dan Zad al-Ma’ad: V/ 187.
[60] Zad al-Ma’ad: V/ 187.
[61] Shahih Sunan at-Turmudziy: 948, Shahih Sunan Abu Dawud: 1947, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1672, Irwa’ al-Ghalil: 2035, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2706 dan Misykah al-Mashobih: 3279.
[62] Shahih Sunan at-Turmudziy: 947, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3238, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 632 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6681.