السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 18 Desember 2012

MASIH UTUHKAH WUDLU ANDA 1 ???..

PEMBATAL-PEMBATAL WUDLU

بسم الله الرحمن الرحيم

Di dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang pembatal-pembatal wudlu yang juga merupakan pembatal-pembatal sholat. Sebab batalnya wudlu itu menjadi penyebab akan batalnya sholat, sebagaimana telah diketahui bahwa tiada sholat bagi orang yang tidak berwudlu.

Bab ini merupakan perkara pokok yang wajib diketahui oleh setiap muslim, sebab banyak di antara mereka yang menyangka bahwa sesuatu itu tidak membatalkan wudlu padahal termasuk yang membatalkan. Atau kebalikannya mereka menyangka sesuatu itu termasuk yang membatalkan wudlu padahal bukan. Biasanya sangkaan tersebut lahir lantaran ketidaktahuan mereka akan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perkara-perkara agama yang berlandaskan dan bersandarkan kepada alqur’an, hadits-hadits shahih dan atsar para salafus shalih. Atau boleh jadi juga karena mereka sudah terbiasa taklid dan fanatik terhadap ucapan atau fatwa dari para ustadz mereka, sehingga kebenaran seterang apapun atau setegas apapun tiada guna dan manfaat bagi mereka yang sudah diibaratkan laksana kerbau dicocok hidungnya.

1)). Batal wudlu sebab buang air besar dan kecil.

Setiap kaum muslimin niscaya mengetahui bahwa buang air besar dan buang air kecil itu membatalkan wudlu. Maka jika ada seseorang di antara mereka yang melakukan salah satunya, lalu ia ingin mengerjakan sholat maka ia bergegas untuk berwudlu terlebih dahulu. Hal inipun telah tersurat di dalam ayat di bawah ini,

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ اْلغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَـــاءَ

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ((atau kembali dari tempat buang air (jamban) atau menyentuh perempuan)). [QS. Al-Ma’idah/ 5: 6 dan QS. An-Nisa’/ 4: 43].

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ”Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kalimat pertama menyebutkan pembatal wudlu secara global yaitu sesuatu yang keluar dari dua jalan, [1] berupa kotoran manusia , fusa (buang angin yang tidak berbunyi), dlurath (buang angin yang berbunyi), air seni dan madzi”. [2]

عن زر بن حبيش قَالَ: أَتَيْتُ رَجُلاً يُدْعَى صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ فَقَعَدْتُ عَلَى بَابِهِ فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا شَأْنُكَ؟ قُلْتُ: أَطْلُبُ اْلعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ اْلِعْلِم رِضًا بِمَا يَطْلُبُ فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ تَسْأَلُ؟ قُلْتُ: عَنِ اْلخُفَّيْنِ قَالَ: كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَمَرَنَا أَنْ لاَّ نَنْزِعَهُ ثَلاَثًا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَ لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَ نَوْمٍ

Dari Zurr bin Hubaisy berkata, ”Aku pernah mendatangi seorang lelaki yang dikenal bernama Shofwan bin Assal. Akupun duduk di depan pintunya lalu ia keluar dan berkata, ”Apa keperluanmu?”. Aku jawab, ”mencari ilmu”. Ia berkata, ”Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya kepada pencari ilmu karena ridlo dengan apa yang ia cari”. Lalu ia bertanya, ”Apa yang hendak engkau tanyakan ?”. Aku jawab, ”tentang dua khuff (sepatu)”. Ia menjawab, ”Dahulu apabila kami bersama Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dalam suatu safar Beliau memerintahkan kami agar tidak melepasnya selama tiga (hari) dari sebab buang air besar, buang air kecil dan tidur (pulas), kecuali dari sebab janabat”. [HR an-Nasa’iy: I/ 98, 84, Ahmad: IV/ 239, 240, at-Turmudziy: 96, 3535 dan Ibnu Majah: 478, Ibnu Khuzaimah: 17. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[3]

Maksudnya; tidak perlu melepaskan khuff (sendal) jikalau batal wudlu dari sebab buang air besar atau buang air kecil ataupun tidur pulas. Tetapi cukup di dalam berwudlu mengusap khuff bagian atas permukaannya. Maka buang air besar, buang air kecil dan tidur pulas adalah membatalkan wudlu yang harus diperbaharui jika hendak menunaikan sholat.

2)). Batal wudlu dari sebab buang angin.

Begitu pula termasuk yang membatalkan wudlu adalah buang angin, baik yang bersuara ataupun tidak. Sebab buang angin ini termasuk dari yang keluar dari dua jalan yakni dari dubur.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ يَزَالُ اْلعَبْدُ فىِ صَلاَةٍ مَا كَانَ فىِ اْلمـَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ مَا لَمْ يُحْدِثْ فَقَالَ رَجُلٌ أَعْرَبِيٌّ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ؟ قَالَ: الصَّوْتُ (يَعْنىِ الضُّرْطَةَ)

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata: telah bersabda Nabi Shallalahu alaihi wa sallam , “Senantiasa seorang hamba itu di dalam sholat selama ia di dalam masjid menunggu sholat sepanjang ia tidak berhadats”. Seorang Arab Baduwi bertanya, “Apakah hadats itu wahai Abu Hurairah?. Ia menjawab: Keluar suara (yaitu buang angin)”. [HR al-Bukhoriy: 176, 445, 477, 547, 648, 659, 2119, 3229, 4717, Abu Dawud: 471, at-Turmudziy: 330 dan Ibnu Majah: 799. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

عن عائشة زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَتْ: أَتَتْ سَلْمَى مَوْلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم -أوِ مَرَأَةُ أِبىِ رَافِعٍ مَوْلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم – إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَسْتَأْذِنُهُ عَلىَ أَبىِ رَافِعٍ قَدْ ضَرَبَهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِأَبىِ رَافِعٍ: مَا لَكَ وَلَهَا يَا أَبَا رَافِعٍ؟ قَالَ: تُؤْذِيْنىِ يَا رَسُوْلَ اللهِ! فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: بِمَ أَذَيْتِيْهِ يَا سَلْمَى ؟ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَذَيْتُهُ بِشَيْءٍ وَ لَكِنَّهُ أَحْدَثَ وَ هُوَ يُصَلِّى فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا رَافِعٍ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَدْ أَمَرَ اْلمـُسْلِمِيْنَ إِذَا خَرَجَ مِنْ أَحَدِهِمُ الرِّيْحُ أَنْ يَتَوَضَّأَ (وَ قَالَ الطَّبْرَانِىُّ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ خَرَجَ مَنْهُ رِيْحٌ فَلْيُعِدِ اْلوُضُوْءَ فَقَامَ فَضَرَبَنىِ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَضْحَكُ وَ يَقُوْلُ: يَا أَبَا رَافِعٍ إِنَّهَا لَمْ تَأْمُرْكَ إِلاَّ بِخَيْرٍ أَيْ بِالْوُضُوْءِ مِنَ الرِّيْحِ

Dari Aisayah radliyallahu anha istri Nabi Shallalahu alaihi wa sallam berkata, “Salma mantan budak perempuannya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam -atau istrinya Abu Rafi’ mantan budaknya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam -pernah datang kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam meminta idzin kepada beliau lantaran Abu Rafi’ (suaminya itu) memukulnya”. Berkata Aisyah, “Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bertanya, “wahai Abu Rafi’ apa yang telah terjadi denganmu dan istrimu?”. Ia menjawab, “Ya Rosulullah, ia telah menyakitiku”. Beliau bertanya kepada Salma, “Wahai Salma, dengan apa engkau menyakitinya?”. Ia menjawab, “aku tidak pernah menyakitinya sedikitpun, tetapi ia pernah hadats ketika sedang sholat, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Rafi’ sesungguhnya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk berwudlu apabila keluar angin dari seseorang dari mereka”. (Berkata ath-Thabraniy, “Sesungguhnya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “barangsiapa yang keluar angin darinya maka hendaklah ia mengulangi wudlunya)”. Lalu ia berdiri dan memukulku. Maka perilaku Abu Rafi’ itu membuat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tertawa dan beliau bersabda, “Wahai Abu Rafi’ sesungguhnya tidaklah ia menyuruhmu melainkan kebaikan, yaitu berwudlu dari sebab buang angin”. [HR Ahmad: VI/ 72, al-Bazzar dan ath-Thabraniy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini sanadnya hasan].[5]

عن عائشة قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  : إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ فىِ صَلاَتِهِ فَلْيَأْخُذْ بِأَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Telah bersabda Nabi Shallalahu alaihi wa sallam, ”Apabila seseorang di antara kalian berhadats di dalam sholatnya maka hendaklah ia memegang hidungnya dan pergilah”. [HR Abu Dawud: 1114, Ibnu Majah: 1222, Ibnu Khuzaimah: 1019, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن عباد بن تميم عن عمه ( عبد الله بن زيد بن عاصم المازنى الأنصاري) أَنَّهُ شَكَا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم الرَّجُلَ الَّذِى يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فىِ الصَّلاَةِ فَقَالَ: لاَ يَنْتَقِلُ –أَوْ لاَ يَنْصَرِفُ- حَتىَّ يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

Dari Ubad bin Tamim dari pamannya (yaitu Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Maziniy al-Anshoriy) bahwasanya ia mengadukan kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam seorang lelaki yang mengkhayalkan (membayangkan) bahwa ia mendapatkan sesuatu di dalam sholat. Beliau menjawab, “Janganlah ia berpindah atau pergi (dari sholatnya)[7] sehingga ia mendengar suara atau mencium bau (yaitu buang angin)”. [HR al-Bukhoriy: 137, 177, 2056, Muslim: 361, Abu Dawud: 176 dan Ibnu Majah: 513. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[8]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, “Diharamkan berpaling dari sholat tanpa penyebab yang jelas. Bahwa angin yang keluar dari dubur baik bersuara ataupun tidak, merupakan pembatal wudlu”. [9]

عن أبي سعيد الخدري قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم عَنِ التَّشَبُّهِ فىِ الصَّلاَةِ قَالَ: لاَ يَنْصَرِفُ حَتىَّ يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدُ رِيْحًا

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, ”Nabi Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang kesamaran di dalam sholat. Beliau menjawab, ”Janganlah ia pergi (dari Sholat) sehingga ia mendengar suara atau mencium bau”. [HR Ibnu Majah: 514. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih]. [10]

عن أبي هريرة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ وُضُوْءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيْحٍ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “tidak ada wudlu (lagi) kecuali dari sebab suara dan bau”. [HR at-Turmudziy: 74, Ibnu Majah: 515 dan Ahmad: II/ 410, 435, 471. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم : إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فىِ بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ اْلمـَسْجِدِ حَتىَّ يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ وَجَدَ رِيْحًا

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara kalian mendapatkan sesuatu di dalam perutnya lalu ia samar-samar atasnya apakah telah keluar sesuatu darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau”. [HR Muslim: 362, Abu Dawud: 177, at-Turmudziy: 75, Ahmad: II/ 414, Ibnu Khuzaimah: 24, 28 dan ad-Darimiy: I/ 183. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan agar membuang keraguan yang muncul bagi orang yang sedang berada di dalam sholat, melenyapkan rasa waswas yang telah dijadikan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam termasuk dari godaan setan dan tidak boleh berpindah (keluar) kecuali untuk berdiri pindah yang penuh keyakinan seperti mendengar suara, mencium bau atau menyaksikan yang keluar (dari dubur atau qubul)”. [13]

Maka dengan dalil-dalil di atas, buang angin baik berbunyi ataupun tidak itu membatalkan wudlu. Berbunyi karena terdengar suaranya yang keras atau perlahan dan tidak berbunyi karena hanya tercium baunya saja.

Namun jika merasakan keluarnya angin itu dengan samar, yaitu ia tidak yakin merasakannya antara keluar atau tidak, maka janganlah ia menganggapnya batal sehingga ia mencium bau atau mendengar suaranya.

3)). Batal wudlu dari sebab keluar madzi.

Yang juga termasuk batalnya wudlu adalah keluarnya madzi dari arah qubul yaitu salah satu dari dua jalan. Madzi biasanya keluar lantaran berkobarnya syahwat namun keluarnya tidak memancar sebagaimana mani.

عن علي قَالَ: كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً [فَاسْتَحْيَيْتُ أَنْ أَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم] فَأَمَرْتُ اْلمِقْدَادَ [بْنَ اْلأَسْوَدِ] أَنْ يَسْأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  [لمِـَكَانِ ابْنَتِهِ] فَسَأَلَهُ فَقَالَ: فِيْهِ اْلوُضُوْءُ (و فى رواية: تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ)

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, ”Aku adalah seorang lelaki yang suka keluar madzi. Aku malu bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam. Lalu aku menyuruh al-Miqdad (bin al-Aswad) untuk bertanya kepada Nabi Shallalahu alaihi wa sallam karena kedudukan putrinya. Lalu bertanyalah ia kepada Beliau, maka sabdanya, ”Padanya (ada) wudlu”. Di dalam satu riwayat, ”berwudlulah dan cucilah farji (kemaluan)mu”. [HR al-Bukhoriy: 132, 178, 269, Muslim: 303, Abu Dawud: 206,  an-Nasa’iy: I/ 96, 97, 111, 112 dan Ibnu Khuzaimah: 19, 21. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [14]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah, ”Bahwasanya madzi itu termasuk dari pembatal wudlu karena ia keluar dari salah satu dari dua jalan (yakni kubul dan dubur)”. [15]

عن علي قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَذْيِ فَقَالَ: فِيْهِ اْلوُضُوْءُ وَ فىِ اْلمـَنِيِّ اْلغُسْلُ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang madzi, maka Beliau bersabda, ”Padanya ada wudlu dan pada mani ada mandi”. [HR Ibnu Majah: 504 dan at-Turmudziy: 114, Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [16]

عن سهل بن حنيف قَالَ: كُنْتُ أَلْقَي مِنَ اْلمـَذْيِ شِدَّةً وَ كُنْتُ أَكْثَرُ مِنْهُ اْلاِغْتِسَالَ فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم  عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنَّمَا يُجْزِيْكَ مِنْ ذَلِكَ اْلوُضُوْءُ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَكَيْفَ بِمَا يُصِيْبُ ثَوْبيِ مِنْهُ؟ قَالَ: يَكْفِيْكَ بِأَنْ تَأْخُذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَتَنْضَحُ بِهَا مِنْ ثَوْبِكَ حَيْثُ تَرَى أَنَّهُ أَصَابَهُ

Dari Sahl bin Hunaif radliyallahu anhu berkata, ”Aku mendapatkan (diriku) banyak mengeluarkan mani maka jadilah aku orang yang banyak mandi dari sebabnya. Aku bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tentang hal tersebut”. Beliau bersabda, ”Cukuplah bagimu wudlu dari sebab itu”. Aku bertanya, ”Wahai Rosulullah bagaimana dengan madzi yang mengenai bajuku?”. Beliau menjawab, ”Cukup bagimu mengambil air dengan telapak tanganmu lalu engkau memerciki bajumu dengannya di tempat yang engkau yakini terkena madzi”. [HR Abu Dawud: 210, Ibnu Majah: 506 dan at-Turmudziy: 115. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [17]

عن عبد الله بن سعد الأنصاري قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَمَّا يُوْجِبُ اْلغُسْلَ وَ عَنِ اْلمـَاءِ يَكُوْنُ بَعْدَ اْلمـَاءِ فَقَالَ: ذَاكَ اْلمـَذْيُ وَ كُلُّ فَحْلٍ يُمْذِي فَتَغْسِلُ مِنْ ذَلِكَ فَرْجَكَ وَ أُنْثَيَيْكَ وَ تَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ

Dari Abdullah bin Sa’d al-Anshoriy radliyallahu anhu berkata, “aku pernah bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tentang yang mewajibkan mandi dan tentang air yang ada setelah air (maksudnya: keluar mani)”. Beliau menjawab, “Itu adalah madzi, dan semua pria itu keluar madzi. Maka engkau mencuci farji dan kantung dzakarmu dari sebabnya dan berwudlulah seperti wudlu untuk sholat”. [HR Abu Dawud: 211. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]

Beberapa dalil di atas menerangkan bahwasanya setiap atau kebanyakan lelaki itu mengeluarkan madzi dan keluarnya madzi itu menyebabkan batalnya wudlu. Maka jika seorang lelaki keluar madzi padahal ia telah berwudlu maka hendaklah ia memperbaharui wudlu dengan mencuci farji (atau kemaluan) dan kedua kantung dzakarnya dari kotoran lalu berwudlu kembali untuk sholat.
Berbeda dengan mani yang mewajibkan mandi janabat, maka madzi tidak mewajibkan mandi tapi cukup mencuci kotoran darinya lalu berwudlu untuk sholat. Sebab madzi itu adalah yang mengalir keluar dari dzakar (kemaluan lelaki) ketika berkobarnya syahwat. Madzi itu keluar tanpa memancar, tanpa merasakan kelezatan dan tanpa diikuti oleh rasa letih. Terkadang seseorang tidak merasakan keluarnya. Hal tersebut dapat terjadi pada lelaki dan perempuan. [19]

4)). Batal wudlu dari sebab menyentuh farji.

عن طلق بن علي قَالَ: خَرَجْنَا وَفْدًا حَتىَّ قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم فَبَايَعْنَاهُ وَ صَلَّيْنَا مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ جَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تَرَى فىِ رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فىِ الصَّلاَةِ ؟ قَالَ: وَ هَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ – أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ-

Dari Thalq bin Ali radliyallahu anhu berkata, “Kami pernah keluar sebagai utusan sehingga kami datang kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, lalu kami berbaiat (berjanji setia) kepadanya dan sholat bersamanya. Ketika selesai sholat datanglah seorang lelaki seolah-olah dia seorang Arab Baduwi lalu bertanya, “Wahai Rosulullah begaimana pandanganmu terhadap seseorang yang menyentuh farjinya di dalam sholat ?”. Beliau menjawab, “Ia hanya sepotong daging darimu”. [HR an-Nasa’iy: I/ 101, at-Turmudziy: 85, Abu Dawud: 182 dan Ibnu Majah: 483. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Sabdanya Shallalahu alaihi wa sallam (ia hanyalah sepotong daging darimu) di dalamnya terdapat isyarat halus bahwasanya menyentuh yang tidak mewajibkan wudlu adalah yang tidak berkaitan dengan syahwat, karena di dalam keadaan ini memungkinkan menyerupakan menyentuh sepotong daging tersebut dengan sepotong daging yang lain dari tubuh. Berbeda dengan keadaan yang apabila menyentuhnya dengan syahwat maka ketika itu tidak mungkin menyerupakan menyentuhnya dengan menyentuh potongan daging lain, karena  biasanya penyentuhan ini tidak berkaitan dengan syahwat. Ini adalah perkara yang jelas sebagaimana engkau lihat. Hadits ini tidak dapat menjadi dalil bagi golongan Hanafiy yang berpendapat bahwa menyentuh (farji) secara mutlak tidak membatalkan wudlu, tetapi hadits ini menjadi dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh (farji) dengan tanpa syahwat tidak membatalkan wudlu. Dan adapun menyentuhnya dengan syahwat maka hal itu dapat membatalkan wudlu dengan dalil dari Busrah. [21] Dengan hal ini terhimpun (pengertian) antara dua hadits dan inilah yang dipilih Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah di sebahagian kitabnya sebagaimana yang telah aku sebutkan. Wallahu a’lam”. [22]

Katanya lagi, ”Sanadnya shahih, dan sungguh benar perkataan tentangnya dari sekelompok para shahabat di antaranya Ibnu Abbas dan Ammar bin Yasir radliyallahu anhum. Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah memilih antara mengambil hadits ini dan yang sebelumnya.[23] Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menggabungkan (atau mengkompromikan) di antara keduanya yaitu yang pertama sentuhan dengan syahwat dan yang lainnya sentuhan tanpa syahwat. Dan di dalamnya terdapat ungkapan makna tersebut yaitu sabdanya, ((“bahagian darimu”)). [24]

عن عروة بن الزبير قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ اْلحَكَمِ فَذَكَرْنَا مَا يَكُوْنُ مِنْهُ اْلوُضُوْءُ فَقَالَ مَرْوَانُ: مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ اْلوُضُوْءُ فَقَالَ عُرْوَةٌ: مَا عَلِمْتُ ذَلِكَ فَقَالَ مَرْوَانُ: أَخْبَرَتْنىِ بُسْرَةُ بِنْتُ صَفْوَانَ أَنهَّاَ سَمِعَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Urwah bin az-Zubair radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah masuk ke (rumah) Marwan bin al-Hakam. Lalu kami bercerita apa yang menyebabkan berwudlu”. Marwan berkata, ”wudlu itu dari sebab menyentuh farji”. Berkata Urwah, ”Aku tidak mengetahui hal itu”. Berkata Marwan, ”Busrah binti Shofwan telah mengkhabarkan kepadaku bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila seseorang di antara kalian menyentuh farjinya maka hendaklah ia berwudlu”. [HR an-Nasa’iy: I/ 100, 100-101, 216, at-Turmudziy: 82, Abu Dawud: 181, Ibnu Majah: 479, Ahmad: VI/ 406, 407, Ibnu Khuzaimah: 33 dan ad-Darimiy: I/ 184-185. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

عن بسرة بنت صفوان أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلىَ فَرْجِهِ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Busrah binti Shofwan adliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian menyentuh farjinya maka berwudlulah”. [HR an-Nasa’iy: I/ 216. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ أَفْضَى بِيَدِهِ إِلىَ ذَكَرِهِ لَيْسَ دُوْنَهُ سِتْرٌ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ اْلوُضُوْءُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyentuh farjinya dengan tangannya sedangkan tiada pembatas di hadapannya maka wajiblah wudlu atasnya”. [HR Ahmad: II/ 333, asy-Syafi’iy, Ibnu Hibban, as-Daruquthniy: 525, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Telah berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [27]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَعَلَيْهِ اْلوُضُوْءُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang di antara kalian menyentuh farjinya maka wajiblah wudlu atasnya”. [HR Ibnu Majah: 480. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [28]

عن أم حبيبة قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Ummu Habibah radliyallahu anha berkata, ”aku pernah mendengar Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ”barangsiapa menyentuh farjinya maka hendaklah ia berwudlu”. [HR Ibnu Majah: 481 dan 482 dari Abu Ayyub. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

عن ابن عمرو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَ أَيمُّاَ امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ

Dari Ibnu Amr radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “barangsiapa yang menyentuh farjinya maka berwudlulah dan siapapun perempuan yang menyentuh farjinya maka berwudlulah”. [HR Ahmad: II/ 223. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[30]

Jelaslah bagi kita bahwasanya menyentuh farji itu termasuk dari pembatal wudlu dengan syarat adanya syahwat ketika menyentuhnya. Tetapi jika tidak, lantaran tidak sengaja menyentuhnya ketika memakai pakaian misalnya, maka hal tersebut tidak membatalkan wudlu. Karena dalam keadaan tersebut Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah menyerupakan farji dengan potongan daging lainnya dari tubuh.

Begitu pula jika menyentuh farji anaknya, tidak membatalkan wudlu. Sebagaimana pernah ditanya kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Seorang perempuan apabila memandikan anaknya sedangkan ia dalam keadaan suci, apakah wajib baginya untuk berwudlu kembali?”. Lalu Beliau menjawab, “Apabila seorang perempuan memandikan anak lelaki atau anak perempuannya lalu memegang farjinya, maka tidak wajib wudlu baginya. Ia hanya cukup mencuci kedua tangannya saja. Sebab menyentuh farji tanpa syahwat tidaklah mewajibkan wudlu. Sebagaimana telah diketahui bahwa perempuan yang memandikan anak-anaknya tidaklah terlintas adanya syahwat padanya. Apabila ia memandikan anak lelaki atau perempuannya maka cukup baginya mencuci kedua tangannya saja dari najis yang menimpanya dan tidak wajib wudlu baginya”. [31]

5)). Batal wudlu dari sebab makan daging unta.

Berbeda dengan memakan daging-daging selain daging unta yang tidak mewajibkan wudlu. Maka memakan daging unta meskipun sedikit itu membatalkan wudlu dan wajib orang yang memakannya untuk memperbaharui wudlunya jika ingin menunaikan sholat.

Daging unta itu telah diketahui oleh manusia, hak Rosul Shallalahu alaihi wa sallam adalah memberikan penjelasan dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan kewajiban kita sebagai umatnya adalah mengimani, mengamini dan menerimanya tanpa keraguan dan bantahan.

عن جابر بن سمرة أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم: أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَ إِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ قَالَ: أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ؟ قَالَ: نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ قَالَ: أُصَلِّي فىِ مَرَابِضِ اْلغَنَمِ؟ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: أُصَلِّي فىِ مَبَارِكِ اْلإِبِلِ؟ قَالَ: لاَ

Dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhu bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam, “Apakah saya berwudlu dari sebab (makan) daging kambing?. Beliau menjawab, “Jika engkau mau, berwudlulah dan jika mau, tidak usah berwudlu”. Ia bertanya, ”Apakah saya berwudlu dari sebab (makan) daging unta?”. Beliau menjawab, ”Ya, berwudlulah dari sebab (makan) daging unta”. Ia bertanya, ”Bolehkah saya sholat di tempat pembaringan kambing?”. Beliau menjawab, ”Ya”. Ia bertanya, ”Bolehkah saya sholat di tempat pembaringan unta?”. Beliau menjawab, ”tidak”. [HR Muslim: 360, Ibnu Majah: 495, Ahmad: V/ 86, 88, 92, 93, 98, 100, 102, 105, 106, 108 dan Ibnu Khuzaimah: 31, 32. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”hadits ini menunjukkan bahwasanya makan daging unta itu termasuk di dalam jajaran yang membatalkan wudlu”. [33]

عن البراء بن عازب قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلوُضُوْءِ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ فَقَالَ: تَوَضَّؤُوْا مِنْهَا وَ سُئِلَ عَنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ فَقَالَ: لاَ تَتَوَضَّؤُوْا مِنْهَا وَ سُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فىِ مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَقَالَ: لاَ تُصَلُّوْا فىِ مَبَارِكِ اْلإِبِلِ فَإِنهَّاَ مِنَ الشَّياَطِيْنِ وَ سُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ مِنْ مَرَابِضِ اْلغَنَمِ فَقَالَ: صَلُّوْا فِيْهَا فَإِنهَّاَ بَرَكَةٌ

Dari al-Barra’ bin Azib radliyallahu anhu berkata, ”Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang berwudlu dari sebab (makan) daging unta”. Beliau menjawab, ”berwudlulah kalian dari sebabnya”. Dan juga ditanya tentang berwudlu dari sebab (makan) daging kambing. Beliau menjawab, ”janganlah kalian berwudlu dari sebabnya”. Beliau ditanya tentang sholat di tempat pembaringan unta. Beliau menjawab, ”janganlah kalian sholat di tempat pembaringan unta, karena sesungguhnya ia dari syaitan”. Dan juga ditanya tentang sholat di tempat pembaringan kambing. Beliau menjawab, ”Sholatlah kalian padanya, karena sesungguhnya ia merupakan berkah”. [HR Abu Dawud: 184, at-Turmudziy: 81, Ibnu Majah: 494 dan Ahmad: IV/ 288. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

عن جابر بن سمرة رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا نَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ وَ لاَ نَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُوْمِ اْلغَنَمِ

Dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhu berkata, ”Kami berwudlu dari sebab (makan) daging unta dan tidak berwudlu dari sebab (makan) daging kambing”. [Telah mengeluarkan atsar ini Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf dengan sanad yang shahih darinya sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Tamam al-Minnah]. [35]

Dalil-dalil di atas menunjukkan batalnya wudlu seseorang yang memakan daging unta yang ia wajib memperbaharui wudlunya ketika hendak menunaikan sholat. Dan tidak batal ketika memakan daging selainnya, misalnya; kambing, sapi, ayam dan yang lainnya. Tetapi hanya dianjurkan saja jika ia mau (telah berlalu pembahasannya). [36] Daging unta itu termasuk binatang yang halal untuk dimakan maka ia termasuk binatang ternak yang menjadi binatang kurban,[37] namun Nabi Shallalahu alaihi wa sallam telah membedakan daging unta dari yang lainnya dalam perkara ini. Maka kewajiban kita adalah mengimani dan mentaatinya tanpa keraguan dan bantahan sedikitpun. Sebagai bentuk ketundukkan kepada kerosulan Beliau Shallalahu alaihi wa sallam yang telah diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

6)). Batal wudlu dari sebab tidur pulas.

Pembatal wudlu berikutnya adalah tidur pulas, yang dengan tidur itu ia tidak mengetahui dan menyadari apakan telah keluar sesuatu dari duburnya atau tidak. Tetapi jika tidur itu tidak sampai nyenyak dan orang yang tidur tersebut masih sadar dan tahu jika ada sesuatu yang keluar dari duburnya maka tidur tersebut tidak membatalkan wudlunya. Karena yang dikhawatirkan dari tidur pulas tersebut adalah keluarnya sesuatu dari duburnya sedangkan ia tidak menyadarinya.

عن زر بن حبيش قَالَ: أَتَيْتُ رَجُلاً يُدْعَى صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ فَقَعَدْتُ عَلَى بَابِهِ فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا شَأْنُكَ؟ قُلْتُ: أَطْلُبُ اْلعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ اْلعِلْمَ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ تَسْأَلُ؟ قُلْتَ: عَنِ اْلخُفَّيْنِ قَالَ: كُنَّا إِذَا كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم فىِ سَفَرٍ أَمَرَنَا أَنْ لاَ نَنْزِعَهُ ثَلاَثًا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ وَ لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَ نَوْمٍ

Dari Zurr bin Hubaisy berkata, ”Aku pernah mendatangi seorang lelaki yang dikenal bernama Shofwan bin Assal. Akupun duduk di depan pintunya lalu ia keluar dan berkata, ”Apa keperluanmu?”. Aku jawab, ”mencari ilmu”. Ia berkata, ”Sesungguhnya para malaikat merendahkan sayapnya kepada pencari ilmu karena ridlo dengan apa yang ia cari”. Lalu ia bertanya, ”Apa yang hendak engkau tanyakan?”. Aku jawab, ”tentang dua khuff (sepatu)”. Ia menjawab, ”Dahulu apabila kami bersama Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dalam suatu safar Beliau memerintahkan kami agar tidak melepasnya selama tiga (hari) dari sebab buang air besar, buang air kecil dan tidur (pulas). kecuali dari sebab janabat”. [HR an-Nasa’iy: I/ 98, 84, Ahmad: IV/ 239, 240, at-Turmudziy: 96, 3535 dan Ibnu Majah: 478. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [38]

عن علي بن أبي طالب أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: اْلعَيْنُ وِكَاءُ السُّهِّ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Mata itu penyumbat dubur maka barang siapa yang tidur maka berwudlulah”. [HR Ibnu Majah: 477, Abu Dawud: 203 dan Ahmad: I/ 111. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [39]

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَنَامُ حَتىَّ يَنْفُخَ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي وَ لاَ يَتَوَضَّأُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam tidur sehingga mendengkur kemudian Beliau bangun lalu sholat dan tidak berwudlu”. [HR Ibnu Majah: 474, 475 dari Abdullah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [40]

عن عبد الله بن عمر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً فَأَخَّرَهَا حَتىَّ رَقَدْنَا فىِ اْلمـَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ُثمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرَكُمْ

Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam suatu malam pernah disibukkan. Lalu ia menundanya[41] sehingga kami tidur di dalam masjid. Kemudian kami bangun, lalu kami berbaring tidur kemudian kami bangun lalu kami tidur kemudian Beliau keluar kepada kami lalu bersabda, “Tiada seorangpun yang menunggu sholat selain kalian”. [HR Abu Dawud: 199. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [42]

عن ابن عباس قَالَ: بِتُّ لَيْلَةً عِنْدَ خَالَتىِ مَيْمُوْنَةَ بِنْتِ اْلحَارِثِ فَقُلْتُ لَهَا: إِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَأَيْقِظِيْنيِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَقُمْتُ إِلىَ جَنْبِهِ اْلأَيْسَرِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَعَلَنيِ مِنْ شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ فَجَعَلْتُ إِذَا أَغْفَيْتُ يَأْخُذُ بِشَحْمَةِ أُذُنيِ قَالَ: فَصَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ احْتَبىَ حَتىَّ إِنيِّ لَأَسْمَعُ نَفَسَهُ رَاقِدًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ اْلفَجْرُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, ”aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah binti al-Harits”. Aku berkata kepadanya, ”Jika Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bangun maka bangunkan aku. Lalu Berdirilah Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam dan akupun berdiri di sebelah kirinya. Beliau memegang tanganku lalu menjadikanku sebelah kanannya. Maka jika aku mengantuk Beliau memegang cuping (ujung telinga bawah)ku”. Berkata Ibnu Abbas, ”Lalu Beliau sholat sebelas rakaat kemudian Beliau duduk (memeluk lututnya) sehingga aku mendengar desah nafasnya dalam keadaan tidur. Ketika telah nampak jelas fajar baginya, Beliau sholat dua rakaat yang ringan”. [HR Muslim: 763 juz I sholat al-Musaafiriin dan Abu Dawud: 1364. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [43]

عن أنس قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَنْتَظِرُوْنَ اْلعِشَاءَ الآخِرَةَ حَتىَّ تُخْفِقَ رُؤُوْسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَ لاَ يَتَوَضَّؤُوْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, “Adalah para shahabat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam
menanti sholat isya terakhir sehingga terangguk-angguk kepala-kepala mereka (karena tidur) kemudian mereka sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR Abu Dawud: 200, 201, at-Turmudziy: 78, Muslim: 376, Ahmad: III/ 160 dan ad-Daruquthniy: 469. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

عنه قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَضَعُوْنَ جُنُوْبُهُمْ فَيَنَامُوْنَ فَمِنْهُمْ مَنْ يَتَوَضَّأُ وَ مِنْهُمْ مَنْ لاَ يَتَوَضَّأُ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, ”Adalah para shahabat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam meletakkan lambung mereka lalu mereka tidur. Di antara mereka ada yang berwudlu dan ada pula di antara mereka yang tidak berwudlu”. [HR Abu Dawud di dalam kitab Masa’il al-Imam Ahmad. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dan sanadnya shahih berdasarkan atas syarat dua syaikh yaitu al-Bukhoriy dan Muslim]. [45]

عنه قَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُوْقِظُوْنَ لِلصَّلاَةِ حَتىَّ أَنيِّ لَأَسْمَعُ لِأَحَدِهِمْ غَطِيْطًا ثُمَّ يُصَلُّوْنَ وَ لاَ يَتَوَضَّؤُوْنَ

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, “Sungguh-sungguh aku melihat para shahabat Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bangun untuk sholat sehingga aku benar-benar mendengar dengkuran seseorang di antara mereka kemudian mereka sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR ad-Daruquthniy: 468. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy dan hadits ini adalah Shahih]. [46]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Maka yang benar adalah bahwasanya tidur itu membatalkan (wudlu) secara mutlak dan tidak ada dalil yang benar  untuk menguatkan hadits Shofwan (bin Assal), bahkan dikuatkan oleh hadits Ali secara marfu’, “Sumbatan dubur itu adalah kedua mata lalu barangsiapa yang tertidur maka berwudlulah”. Isnad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh al-Mundziriy, an-Nawawiy dan Ibnu ash-Shilah dan sungguh aku telah jelaskan hadits ini di dalam Shahiih Sunan Abii Daawuud: 188. Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam telah memerintahkan semua orang yang tidur untuk wudlu dan tidak mengacaukan atas keumumannya, sebagaimana diduga oleh sebahagian orang. Tetapi hadits ini mengisyaratkan bahwasanya tidur itu bukanlah penyebab yang membatalkan (wudlu) tetapi diduga karena keluarnya sesuatu dari manusia didalam keadaan ini. Kami katakan, “ketika perkara seperti itu maka Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam menyuruh semua orang yang tidur untuk berwudlu walaupun dalam keadaan duduk kokoh (menempel tanah) karena Beliau Alaihi as-Salam telah mengkhabarkan bahwasanya kedua mata itu adalah penyumbat dubur lalu jika kedua mata telah tertidur maka terbukalah sumbat tersebut sebagaimana di dalam hadits lain. Dan orang yang duduk menempel tanah itu tidur maka kadang-kadang sumbatannya terbuka walaupun di dalam sebahagian keadaan ia seolah-olah bergerak miring ke kanan atau kiri. Maka (dengan hal ini) telah tetaplah hikmah diperintahkannya wudlu bagi setiap orang yang tidur. Wallahu a’lam”. [47]

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang tidur dalam keadaan duduk, apakah membatalkan wudlu?. Beliau menjawab, ”Adapun tidur ringan dari sebab duduk (menempel) di tempat duduknya maka hal ini tidak membatalkan wudlu, menurut kebanyakan para ulama dari empat imam dan selain mereka. Karena menurut pandangan mereka, tidur itu bukanlah hadats tetapi di duga (keluarnya) hadats. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang terdapat di dalam as-Sunan, ((mata itu adalah sumbatan dubur, jika kedua mata tidur terlepaslah sumbatannya)), di dalam satu riwayat, ((maka barangsiapa yang tidur, maka berwudlulah))”. [48]

Maka yang menjadi penyebab batalnya wudlu dari tidur adalah dugaan keluarnya hadats dari arah dubur. Maka jika seseorang itu memejamkan kedua matanya dalam keadaan tertidur pulas, maka terlepaslah sumbatan duburnya yaitu matanya, karena telah dijelaskan oleh Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bahwasanya kedua mata itu adalah sumbatan dubur. Dan ketika itu pula ia tidak dapat mengendalikan dirinya sehingga ia tidak mengetahui apakah telah keluar hadats atau tidak dari arah duburnya. Maka ketika itulah wajib wudlu baginya, namun jika tidurnya tidak pulas atau cuma terkantuk-kantuk yang ia masih dapat menjaga duduknya dan dapat pula merasakan keluar atau tidaknya sesuatu dari duburnya maka tidaklah wajib wudlu baginya. Sebab pada dasarnya tidur itu bukanlah hadats tetapi diduga telah keluarnya hadats atau dikhawatirkan keluarnya hadats tanpa disadari.

 7)). Batal wudlu sebab hilangnya akal.

Mereka (yakni para ulama rahimahumullah) bersepakat bahwasanya hilangnya akal dengan sebab gila, pingsan dan mabuk karena minum khamer, arak, biusan atau obat dapat membatalkan wudlu sedikit ataupun banyak. Karena dalam keadaan itu kacaunya pikiran lebih sangat daripada tidur. [49]
Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin umumnya dan keluargaku khususnya. Wallahu a’lam bi ash-Showab.

[1]  Yaitu dubur dan qubul.
[2]  Aysar at-Tafasir: I/ 599-600.
[3]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 152, 153, 123, Shahih Sunan at-Turmudziy: 84, 2801, Shahih Sunan Ibni Majah: 387 dan Irwa’ al-Ghalil: 103, 106.
[4] Shahih Sunan Abi Dawud: 446, Shahih Sunan at-Turmudziy: 271, Shahih Sunan Ibni Majah: 651, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7690 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 442.
[5]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 3070.
[6]  Shahih Sunan Abi Dawud: 985, Shahih Sunan Ibni Majah: 1007, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 286 dan Misykah al-Mashobih: 1007.
[7] Karena ia mengira telah batal.
[8]  Shahih Sunan Abi Dawud: 162, Shahih Sunan Ibni Majah: 414 dan Irwa’ al-Ghalil: 107.
[9] Taysir al-Allam: I/ 74.
[10]  Shahih Sunan Ibni Majah: 415.
[11] Shahih Sunan at-Turmudziy: 64, Shahih Sunan Ibni Majah: 416, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7572 dan Misykah al-Mashobih: 310.
[12]  Shahih Sunan Abi Dawud: 163, Shahih Sunan at-Turmudziy: 65 dan Irwa’ al-Ghalil: 119.
[13]  Nail al-Awthar: I/ 256.
[14] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 87 lafazh ini baginya, Shahih Sunan Abi Dawud: 190, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 148, 149, 150, 151, 187, 188, Irwa’ al-Ghalil: 47, 109, 125, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 562 dan Misykah al-Mashobih: 302.
[15]  Taysir al-Allam: I/ 73.
[16]  Shahih Sunan Ibni Majah: 407, Shahih Sunan at-Turmudziy: 99, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5910 dan Misykah al-Mashobih: 311.
[17]  Shahih Sunan Abi Dawud: 195, Shahih Ibni Majah: 409 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 100.
[18]  Shahih Sunan Abi Dawud: 196.
[19]  Taysir al-Allam: I/ 71.
[20] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 159, Shahih Sunan At-Turmudziy: 74, Shahih Sunan Abi Dawud: 167, Shahih Sunan Ibnu Majah: 392 dan Misykah al-Mashobih: 320.
[21] Akan datang takhrijnya, Insya Allah.
[22] Tamam al-Minnah halaman 103.
[23]  Yaitu hadits-hadits tentang batalnya wudlu sebab menyentuh farji.
[24]  Catatan kaki dari kitab Misykah al-Mashobih: I/ 104 komentar hadits nomor 320.
[25]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 157, 158, 431, 433, 434, Shahih Sunan at-Turmudziy: 71, Shahih Sunan Abi Dawud: 166, Shahih Sunan Ibni Majah: 388, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6554, Irwa’ al-Ghalil: 116 dan Misykah al-Mashobih: 319.
[26]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 432, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 361 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1235.
[27]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 362, SIlsilah al-Ahadits ash-Shahihah: III/ 238 dan Misykah al-Mashobih: 321.
[28]  Shahih Sunan Ibni Majah: 379.
[29]  Shahih Sunan Ibni Majah: 390, 391, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6555 dan Irwa’ al-Ghalil: 117.
[30] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2725 dan Irwa’ al-Ghalil: I: 151.
[31] Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 15.
[32] Mukhtashor Shahih Muslim: 146, Shahih Sunan Ibni Majah: 402, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3006, Irwa’ al-Ghalil: 118 dan Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah: V/ 415-416.
[33] Nail al-Awthar: I/ 253.
[34] Shahih Sunan Abi Dawud: 169, Shahih Sunan at-Turmudziy: 70, Shahih Sunan Ibni Majah: 401 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 152, 194.
[35] Tamam al-Minnah halaman 106.
[36] Lihat pembahasan; Apa yang dianjurkan berwudlu, dianjurkan wudlu dari sebab memakan yang disentuh api.
[37] Iihat QS. al-Hajj/ 22: 36-37.
[38] Telah berlalu haditsnya di dalam bab Batal wudlu sebab buang air besar dan kecil.
[39]  Shahih Sunan Ibni Majah: 386, Shahih Sunan Abi Dawud: 188, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4149, Irwa’ al-Ghalil: 113 dan Misykah al-Mashobih: 316.
[40]  Shahih Sunan Ibni Majah: 384, 385.
[41] Yaitu menunda sholat isya karena Beliau Shallalahu alaihi wa sallam disibukkan oleh persiapan mengirim pasukan. [‘Aun al-Ma’bud: I/ 233].
[42]  Shahih Sunan Abi Dawud: 183.
[43]  Shahih Sunan Abi Dawud: 1215 dan Irwa’ al-Ghalil: 115.
[44] Shahih Sunan Abi Dawud: 184, 185, Shahih Sunan at-Turmudziy: 67, Mukhtashor Shahih Muslim: 145 dan Irwa’ al-Ghalil: 114.
[45] Tamaa al-Minnah halaman 100 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 149.
[46]  Irwa’ al-Ghalil: I/ 149.
[47]  Tamam al-Minnah halaman 100-101.
[48]  Majmu’ Fatawa: XXI/ 228-229.
[49]  Baca Shahih Muslim bi Syarh al-Imam Muslim: IV/ 74 dan Fiq-h as-Sunnah: I/ 40.