السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 18 Desember 2012

MASIH UTUHKAH WUDLU ANDA 2 ???..

YANG BUKAN PEMBATAL WUDLU

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada pembahasan ini akan dipaparkan beberapa hal yang dianggap oleh sebahagian kaum muslimin sebagai pembatal-pembatal wudlu namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Sebab setiap muslim jika meyakini sesuatu itu benar atau salah, boleh atau tidak, sunnah atau bid’ah dan selainnya dari perkara-perkara agama maka sudah semestinya ia mendatangkan hujjah atau dalil yang shahih untuk menguatkan keyakinannya tersebut.

Pun demikian ketika ia menganggap sesuatu perkara itu termasuk yang membatalkan wudlu atau bukan. Ia mesti memiliki alasan kuat dan dalil akurat dari alqur’an, hadits tsabit ataupun atsar para shahabat yang dapat mendukung anggapan dan keyakinannya itu. Ia tidak hanya asal meletakkan itikad, melontarkan pendapat dan menantang berdebat, namun semuanya itu harus dilandasi ilmu syar’iy dengan sandaran manhaj nabawiy.

1)). Meninggalkan wudlu seorang lelaki yang menyentuh istrinya tanpa syahwat.

Banyak kaum muslimin yang berpandangan akan batalnya wudlu dari sebab bersentuhan atau berpegangan dengan lawan jenisnya, baik mahram ataupun bukan, pasangan hidup ataupun bukan apalagi dengan orang yang tidak berkaitan. Namun mudah-mudahan dari beberapa contoh hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama bisa mengubah pandangan mereka atau paling tidak menjadi bahan pertimbangan mereka di dalam mencari dan menetapkan kebenaran.

عن أبي هريرة عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: فَقَدْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ أَطْلُبُهُ بِيَدِي فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَ هُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَ هُوَ سَاجِدٌ يَقُوْلُ: أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Aku pernah kehilangan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam suatu malam lalu aku mencarinya dengan tanganku.Tiba-tiba tanganku tersangkut kedua kakinya yang terhunjam sebab dalam keadaan sujud seraya berdoa,

أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَـا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

(artinya; aku berlindung dengan Ridlo-Mu dari kemurkaan-Mu, dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu dan dengan-Mu dari-Mu. Aku tidak dapat membilang pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu sendiri)”. [HR an-Nasa’iy: I/ 102-103, Muslim: 486, Abu Dawud: 879, Ibnu Majah: 3841 dan at-Turmudziy: 3493. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: إِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَيُصَلِّي وَ إِنيِّ لمِـُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ اْلجَنَازَةِ حَتىَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ مَسَّنيِ بِرِجْلِهِ (و فى رواية لمسلم: فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوْتِرَ أَيْقَظَنىِ فَأَوْتَرْتُ)

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan sholat sedangkan aku terbentang dihadapannya sebagaimana terbentangnya jenazah. Maka apabila ingin witir Beliau menyentuhku dengan kakinya”. (Di dalam satu riwayat Muslim: maka apabila ingin witir Beliau membangunkanku lalu akupun witir). [HR an-Nasa’iy: I/ 101-102 dan Muslim: 512. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عنها قَالَتْ: لَقَدْ رَأُيْتُمُوْنىِ مُعْتَرِضَةً بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم يُصَلِّى فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلِى فَضَمَمْتُهَا إِليَّ ثُمَّ يَسْجُدُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Sungguh-sungguh kalian melihatku berbaring terbentang di hadapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan sholat. Apabila ingin sujud Beliau meraba kakiku lalu aku melipatnya kemudian Beliau sujud”. [HR an-Nasa’iy: I/ 102 dan al-Bukhoriy: 1209. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

عنها قَالَتْ: كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ رِجْلاَيَ فىِ قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنىِ فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا وَ اْلبُيُوْتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيْهَا مَصَابِيْحُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Aku pernah tidur di hadapan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di kiblatnya. Apabila ingin sujud Beliau merabaku lalu aku melipat kakiku. Ketika Beliau berdiri aku membentangkannya kembali. Dan rumah-rumah pada waktu itu tidak memiliki lentera”. [HR an-Nasa’iy: I/ 102, al-Bukhoriy: 382, 513 dan Muslim: 512 (272). Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, ”Berdalil dengan perkataan Aisyah radliyallahu anha (yaitu, merabaku) bahwa menyentuh perempuan itu tidaklah membatalkan wudlu”. [5]

Menyentuh, meraba dan memegang perempuan baik sebahagian istri atau mahramnya secara sengaja ataupun tidak, hal itu tidaklah membatalkan wudlu sebagaimana sangkaan masyarakat awam. Hal ini berlaku bagi yang menyentuh ataupun yang disentuh, kedua golongan tersebut tidak batal wudlu mereka dan diperkenankan untuk mengerjakan sholat. Sebagaimana dalil hadits di atas, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetap melanjutkan sholat hingga selesai padahal di dalam sholat tersebut beliau secara sengaja meraba kaki istrinya agar melipat kedua kakinya, lalu beliau sujud. Ketika beliau selesai sujud, Aisyah radliyallahu anha kembali membentangkan kedua kakinya seperti sediakala, dan demikian seterusnya sampai selesai dari sholat. Hal tersebut disebabkan rumah atau tempat tinggal beliau bersama istrinya itu sempit dan kecil.

Namun tidaklah demikian dengan itikad dan pemahaman sebahagian besar dari umatnya yang beranggapan bahwa yang menyentuh atau disentuh oleh lawan jenisnya meskipun pasangannya sendiri adalah membatalkan wudlu. Sehingga sering dijumpai seorang lelaki atau perempuan yang selalu memperbaharui atau mengulangi wudlunya dari sebab bersenggolan atau bersentuhan dengan lawan jenisnya, baik pasangannya, mahramnya ataupun bukan. Akibatnya dapat dijumpai perbuatan bersentuhan ini menjadi bahan gurauan sebahagian kaum muda yang sedang menunaikan sholat tarawih berjamaah di masjid, misalnya. Yakni sebahagiannya berusaha menyentuh atau memegang sebahagian lainnya yang berbeda jenis kelaminnya agar batal wudlunya lalu orang yang disentuh itu mengulang dan memperbaharui wudlunya. Hal itu dikerjakan berulang-ulang dengan penuh canda dan tawa. Subhanallah amat buruk perilaku seperti itu.

2)). Meninggalkan wudlu dari sebab mencium.

Setelah dijelaskan bahwa menyentuh lawan jenis itu tidaklah membatalkan wudlu, maka berikut ini akan dituangkan pula dua hadits berserta penjelasannya bahwa mencium lawan jenis yang dihalalkan semisal mencium istri atau anak, ataupun kebalikannya mencium suami dan anak maka hal tersebutpun tidak membatalkan wudlu.

عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّى وَ لاَ يَتَوَضَّأُ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah mencium sebahagian istrinya kemudian sholat dan tidak berwudlu lagi. [HR an-Nasa’iy: I/ 103. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan bahwasanya menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudlu”. [7]

عن عروة بن الزبير عن عائشة رضي الله عنها أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ قُلْتُ: مَا هِيَ إِلاَّ أَنْتِ فَضَحِكَتْ

Dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah adliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mencium sebahagian istrinya kemudian keluar untuk sholat dan tidak berwudlu lagi. Aku (yaitu Urwah) berkata, ”Tidak lain ia itu melainkan engkau maka Aisyahpun tertawa”. [HR Ibnu Majah: 502, Abu Dawud: 178, 179, at-Turmudziy: 86 dan Ahmad: VI/ 210. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

Berkata al-Allamah Abu ath-Thayyib rahimahullah, ”Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudlu. Karena mencium termasuk bagian dari menyentuh dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak berwudlu lagi dari sebabnya. Ali, Ibnu Abbas, Atho, Thowus, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauriy berpendapat dengan pendapat ini”. [9]

Asy-Syaikh Muhammad bin shalih Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, ”Apakah menyentuh perempuan itu membatalkan wudlu?”. Beliau menjawab, ”Yang benar bahwa menyentuh perempuan itu tidak membatalkan wudlu secara mutlak. Kecuali jika keluar sesuatu darinya (misalnya mani atau madzi). Dalil hal ini adalah apa yang telah shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau pernah mencium sebahagian dari istri-istrinya lalu Beliau keluar untuk sholat dan tidak berwudlu lagi. Karena asalnya adalah tidak batal sehingga tegaknya dalil jelas lagi shahih atas batalnya (wudlu). Sebab seorang lelaki telah menyempurnakan bersucinya sesuai dengan ketetapan dalil sya’iy dan apa yang telah tetap dengan keputusan dalil syar’iy. Tidak mungkin ditolak ketetapan itu melainkan dengan dalil syar’iy pula. Namun jika dikatakan ((أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَـــاءَ artinya atau kamu menyentuh perempuan))[10], jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di dalam ayat tersebut adalah jimak (hubungan intim)”. [11]

Maka berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan di atas dapatlah dimengerti bahwa menyentuh perempuan dan bahkan menciumnya itu tidaklah membatalkan wudlu. Karena menyentuh itu sendiri bukan termasuk hadats tetapi batalnya itu dikarenakan keluarnya mani atau madzi yang ditimbulkan oleh syahwat.

Dan menyentuh perempuan yang bukan mahram itu mempunyai hukum tersendiri yaitu diharamkan, di antaranya adalah sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

لَأَنْ يُطْعَنَ فىِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

”((Benar-benar ditikamkan ke kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besar dari besi itu adalah lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya))”. [HR ath-Thabraniy dari Ma’qil bin Yasar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [12]

Atau sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,

إِنىِّ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan kaum perempuan”. [HR an-Nasa’iy: VII/ 149, at-Turmudziy: 1597, Ibnu Majah: 2874, Ahmad: VI/ 357, Ibnu Hibban dan Abdurrazzak dari Umaimah binti Ruqaiqah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

3)). Meninggalkan wudlu dari sebab mengeluarkan darah.

Demikian pula mengeluarkan darah lantaran terluka, mimisan, pecahnya bisul dan sebagainya tidaklah membatalkan wudlu.

عن جابر قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ  صلى الله عليه و سلم- يَعْنىِ فىِ غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ- فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ اْلمـُشْرِكِيْنَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتىَّ أُهْرِيْقَ دَمًا فىِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَنَزَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم  مَنْزِلاً فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَأُناَ؟ فَانْتُدِبَ رَجُلٌ مِنَ اْلمـُهَاجِرِيْنَ وَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَالَ: كُوْنَا بِفَمِ الشِّعْبِ قَالَ: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلىَ فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ اْلمـُهَاجِرِيُّ وَ قَامَ اْلأَنْصَارِيُّ يُصَلِّي وَ أَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرَفَ أَنَّهُ رَبِيْئَةً لِلْقَوْمِ فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيْهِ فَنَزَعَهُ حَتىَّ رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَ سَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ فَلَمَّا عَرَفَ أَنَّهُمْ قَدْ نُذِرُوْا بِهِ هَرَبَ وَ لَمـَّا رَأَى اْلمـُهَاجِرِيُّ مَا بِاْلأَنْصَارِ مِنَ الدِّمَاءِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ أَلاَ أَنْبَهْتَنيِ أَوَّلَ مَا رَمَى قَالَ: كُنْتُ فىِ سُوْرَةٍ أَقْرَأُهَا فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا

Dari Jabir radliyallahu anhu berkata, kami pernah keluar bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam -yaitu dalam perang Dzaturriqo’-. Lalu seorang lelaki (muslim) membunuh istri dari seorang lelaki kaum musyrikin. Lalu ia bersumpah, ”Aku tidak akan berhenti sehingga menumpahkan darah di kalangan para shahabat Muhammad, maka ia keluar mengikuti jejak Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam singgah di suatu tempat persinggahan dan bersabda, ”siapakah yang akan  menjaga kita?”. Tak lama kemudian seorang lelaki dari golongan Muhajirin dan Anshor menerima tawarannya. Beliau bersabda, ”Berjagalah di mulut jalan!”. Berkata (Jabir), ”Ketika kedua lelaki itu telah keluar menuju mulut jalan, lelaki dari golongan Muhajirin berbaring tidur dan lelaki dari golongan Anshor berdiri sholat. Lelaki musyrik itu datang, ketika ia melihat penampilannya iapun mengetahui bahwasanya ia adalah pengintai suatu kaum. Lalu iapun memanahnya dengan anak panah lalu tepat mengenainya. Maka ia (lelaki Ansor) itupun mencabutnya sehingga ia memanahnya dengan tiga anak panah, kemudian ia ruku dan sujud. Tak lama berselang shahabatnya terjaga (dari tidurnya), ketika lelaki musyrik mengetahui bahwa mereka telah waspada iapun lari. Dan begitu Lelaki Muhajirin melihat apa yang terjadi pada lelaki anshor dari mengucurkan darah, ia berkata, ”Subhanallah, mengapakah engkau tidak membangunkan diriku pada awal panah itu dilepaskan?”. Ia menjawab, ”Aku dalam keadaan membaca surat yang aku tidak berkeinginan untuk memutuskannya”. [HR Abu Dawud: 198. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [14]

عن المسور بن مخرمة أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه مِنَ اللَّيْلَةِ الَّتىِ طُعِنَ فِيْهَا فَأَيْقَظَ عُمَرَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ  فَقَالَ عُمَرُ: نَعَمْ وَ لاَ حَظَّ فىِ اْلإِسْلاَمِ ِلمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى عُمَرُ وَ جُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا

Dari al-Miswar bin Makhromah, ia mengkhabarkan bahwasanya ia pernah masuk (menemui) Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu dari malam yang ia ditikam pada malam tersebut. Lalu ia membangunkan Umar untuk menunaikan sholat Shubuh. Umar berkata, “Ya, dan tiada bagian di dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan sholat”. Lalu Umar sholat sedangkan lukanya mengalirkan darah. [Telah mengeluarkan atsar ini Malik: I/ 62. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [15]

Dari al-Hasan berkata, ”Kaum Muslimin senantiasa melakukan sholat dengan luka-luka mereka”.
Berkata Thowus, Muhammad bin Ali, Atho’ dan penduduk Hijaz, ”Tiada wudlu lantaran darah”.
Ibnu Umar memencet bisulnya dan keluarlah darahnya tetapi ia tidak berwudlu lagi.
Ibnu Abi Awfa’ meludahkan darah tetapi ia tetap melanjutkan sholatnya. [16]

Maka berdasarkan beberapa atsar di atas dapat dipahami bahwasanya meneteskan darah dari sebab terluka, mimisan, pecahnya bisul dan semisalnya tidak membatalkan wudlu dan sholat.

4)). Meninggalkan wudlu dari sebab menyentuh daging mentah.

Begitu pula dengan menyentuh daging mentah, apakah lantaran seorang ibu yang sedang mengolah daging untuk dimasak, penjual daging yang memotong-motongnya untuk para pembeli atau penjagal binatang ternak yang memotong, menguliti kulit dari dagingnya, memotong-motong tulangnya, mengiris-iris dagingnya dan sebagainya, semuanya itu tidaklah membatalkan wudlu.

عن أبي سعيد : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم مَرَّ بِغُلاَمٍ وَ هُوَ يَسْلُخُ شَاةً فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: تَنَحَّ حَتىَّ أُرِيَكَ فَأَدْخَلَ يَدَهُ بَيْنَ اْلجِلْدِ وَ اللَّحْمِ فَدَحَسَ بِهَا حَتىَّ تَوَارَتْ إِلىَ اْلإِبْطِ ثُمَّ مَضَى فَصَلَّى لِلنَّاسِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Abi Sa’id radliyallahu anhu, ”Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melewati seorang anak yang sedang menguliti seekor kambing. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ”Menyingkirlah sehingga aku perlihatkan kepadamu”. Lalu Beliau memasukkan tangannya ke antara kulit dan daging. Beliau menyusupkannya sehingga menutup sampai ke ketiak. Kemudian Beliau berlalu dan sholat dengan manusia dalam keadaan tidak berwudlu lagi”. [HR Abu Dawud: 185. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Perilaku Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika memberi contoh kepada seorang anak tentang cara menguliti seekor kambing merupakan salah satu bukti keteladanan beliau di dalam sifat tawadlu’, rasa kasih sayang dan perhatiannya beliau kepada umatnya dan juga pemberian contoh nyata darinya yang tidak hanya bicara saja. Dan hal ini juga merupakan bukti bahwa menyentuh atau memegang daging mentah itu tidaklah membatalkan wudlu.

Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk umat Islam umumnya dan keluargaku khususnya. Wallahu a’lamu bi ash-Showab.

[1] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 163, Shahih Sunan Abi Dawud: 782, Shahih Sunan Ibni Majah: 3098, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2779 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1280.
[2]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 160.
[3]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 161.
[4]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 162.
[5]  Fat-h al-Bariy: I/ 492.
[6] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 164, Misykah al-Mashobih: 323 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4906.
[7] Nail al-Awthar: I/ 247.
[8] Shahih Sunan Ibni Majah: 406, Shahih Sunan Abi Dawud: 164, 165 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 75.
[9]  Aun al-Ma’bud Syar-h Sunan Abi Dawud: I: 207.
[10] QS. an-Nisa’/ 4: 43 atau al-Ma’idah/ 5: 6.
[11]  Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 19.
[12]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5045 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 226.
[13] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3897, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1300, Shahih Sunan Ibni Majah: 2323 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 529.
[14]  Shahih Sunan Abii Dawud: 182.
[15]  Irwa’ al-Ghalil: 209.
[16]  Fat-h al-Bariy: I/ 280 dan Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: I/ 116.
[17]  Shahih Sunan Abi Dawud: 170.