السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 18 Desember 2012

UNTUK APA ANDA BERWUDLU (2) ??…

Apa yang dianjurkan berwudlu

بسم الله الرحمن الرحيم

Ada amalan yang mewajibkan berwudlu seperti sholat baik yang wajib ataupun yang sunnah atau melakukan thawaf di ka’bah. Demikian pula, selain itu ada beberapa anjuran dari Islam bagi para pemeluknya untuk berwudlu ketika hendak melakukan suatu amalan di dalam Islam atau juga setelah selesai dari menunaikan suatu perbuatan.

Berikut ini uraiannya,

1)). Dianjurkan wudlu ketika hendak tidur.

Apabila seorang muslim hendak membaringkan tubuhnya untuk tidur, sebelum melakukan beberapa kegiatan ibadah semisal membaca surat al-Mulk, membaca doa tidur dan selainnya, maka dianjurkan kepadanya untuk berwudlu seperti wudlunya untuk sholat.

Namun jika kondisinya muslim tersebut dalam keadaan junub maka cukuplah baginya mencuci farji (kemaluan)nya, berwudlu dan membaca salah satu dari doa hendak tidur.

عن البراء بن عازب رضي الله عنها قَالَ: قَالَ ليِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ وَ قُلْ: اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَ فَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ وَ أَلجْـَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَ رَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ فَقُلْتُ: أَسَتَذْكُرُهُنَّ : وَ بِرَسُوْلِكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ قَالَ: لاَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ

Dari al-Barra’ bin ‘Azhib radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepadaku, “Apabila engkau mendatangi pembaringanmu, hendaklah engkau berwudlu seperti wudlumu untuk sholat  kemudian berbaringlah atas sisimu yang sebelah kanan dan ucapkanlah,

 اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَ فَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ وَ أَلجْـَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَ رَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ

“(Ya Allah aku menundukkan diriku kepada-Mu, menguasakan urusanku kepada-Mu dan mempercayakan diriku kepada-Mu dengan penuh harap dan cemas karena tiada tempat berlindung dan tiada pula tempat selamat dari (siksa)Mu melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan juga kepada nabi-Mu yang telah Engaku utus).  Maka seandainya engkau mati, engkau mati dalam keadaan fithrah, dari sebab itu jadikanlah doa tersebut sebagai akhir dari ucapanmu”. Aku bertanya, “Apakah yang engkau ingat, “dan kepada rosul-Mu yang telah Engkau utus” (و برسولك الذى أرسلت). Ia menjawab, “Tidak, dan kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus”  (و بنبيك الذى أرسلت). [HR al-Bukhoriy: 247, 6311, Muslim: 2710, Abu Dawud: 5046, at-Turmudziy: 3394, 3574 dan Ibnu Majah: 3876. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

عن معاذ بن جبل رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلىَ ذِكْرٍ طَاهِرٍ فَيَتَعَارُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tiadalah seorang muslim bermalam dalam keadaan bersuci lalu ia terjaga (terbangun) di waktu malam kemudian ia memohon kepada Allah kebaikan dari dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikannya kepada orang tersebut”. [HR Abu Dawud: 5042 dan Ahmad: V/ 235, 341, 344. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2]

عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فىِ شِعَارِهِ مَلَكٌ فَلاَ يَسْتَيْقِظُ إِلاَّ قَالَ اْلمـَلَكُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلاَنٍ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang bermalam dalam keadaan suci bermalamlah seorang malaikat di rambutnya. Tidaklah ia bangun melainkan malaikat itu berdoa, ”Ya Allah ampunilah hamba-Mu si Fulan karena ia bermalam dalam keadaan suci”. [HR Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]

عن ابن عباس رضي الله عنهما  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: طَهِّرُوْا هَذِهِ اْلأَجْسَادَ طَهَّرَكُمُ اللهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَبِيْتُ طَاهِرًا إِلاَّ بَاتَ مَعَهُ فىِ شِعَارِهِ مَلَكٌ لاَ يَنْقَلِبُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا

Dari Ibnu Abbas  radliyallahu anhuma  bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersihkanlah tubuh ini niscaya Allah akan mensucikan kalian. Karena tiada seorang hamba bermalam dalam keadaan suci melainkan bermalam seorang malaikat bersamanya di rambutnya yang tidaklah ia terbangun sesaat di waktu malam melainkan malaikat itu berdoa, “Ya Allah ampunilah hamba-Mu karena ia bermalam dalam keadaan suci”. [HR ath-Thabraniy dan di selainnya dari Ibnu Umar dengan lafazh ini. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [4]

عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bangun di waktu malam lalu ia menunaikan hajatnya kemudian membasuh muka dan tangannya lalu tidur. [HR Muslim: 304, Abu Dawud: 5043 dan Ibnu Majah: 508. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Menguatkan hal demikian mengenai haknya orang yang junub,

عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: ذَكَرَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّا بِ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم  أَنَّهُ تُصِيْبُهُ اْلجَنَابَةُ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : تَوَضَّأْ وَ اغْسِلْ ذَكَرَكَ ثُمَّ نَمْ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya ia berkata, “Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu menceritakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya ia tertimpa janabat di waktu malam. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Berwudlulah dan cucilah farji (kemaluan)mu kemudian tidurlah!”. [HR al-Bukhoriy: 290, an-Nasa’iy: I/ 140, Abu Dawud: 221, Ibnu Khuzaimah: 214 dan Ibnu Majah: 586 dari Abu Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [6]

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila ingin tidur sedangkan ia junub maka ia mencuci farjinya dan berwudlu seperti wudlunya untuk sholat”. [HR al-Bukhoriy: 286, 288, Muslim: 305, an-Nasa’iy: I/ 139, Abu Dawud: 222 dan Ibnu Majah: 584. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

عنها قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَشْرِبَ قَالَتْ: غَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرِبُ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila ingin tidur sedangkan ia dalam keadaan junub maka ia berwudlu”. Dan apabila ia ingin makan atau minum, Aisyah berkata, ”Beliau mencuci kedua tangannya lalu makan atau minum”. [HR an-Nasa’iy: I/ 138, 139, Muslim: 305, Abu Dawud: 223, 224, Ibnu Majah: 591, 592, 593 dari Jabir bin Abdullah dan Ahmad: VI/ 118-119, 119. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [8]

 عن ابن عمر أَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَيَرْقُدُ  أَحَدُنَا وَ هُوَ جُنُبٌ؟ قَالَ: نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَ هُوَ جُنُبٌ (و فى رواية: إِذَا شَاءَ)

Dari Ibnu Umar adliyallahu anhuma bahwasanya Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah seseorang diantara kami (boleh) tidur dalam keadaan junub?”. Beliau menjawab, “Ya, apabila seseorang diantara kalian berwudlu maka bolehlah ia tidur dalam keadaan junub (di dalam satu riwayat; apabila ia mau)”. [HR al-Bukhoriy: 287, 289, Muslim: 306, at-Turmudziy: 160, an-Nasa’iy: I/ 139, Ibnu Majah: 585, Ibnu Khuzaimah: 212. Tambahan ini dari Muslim: 306 (24), Ibnu Khuzaimah: 211 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [9]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Ini merupakan dalil yang jelas atas tidak wajibnya wudlu sebelum tidur bagi orang yang junub, berbeda dengan golongan zhahiriyah”. [10]

Menguatkan penjelasan tersebut, hadits di bawah ini,

عن عائشة قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يُجْنِبُ ثُمَّ يَنَامُ وَ لاَ يَمَسُّ مَاءً حَتىَّ يَقُوْمَ بَعْدَ ذَلِكَ فَيَغْتَسِلَ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Pernah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan junub lalu tidur dan tidak menyentuh air sehingga bangun setelah itu kemudian mandi”. [HR Ibnu Majah: 581, 583, Abu Dawud: 228 dan at-Turmudziy: 118. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

عنها قَالَتْ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِنْ كَانَتْ لَهُ إِلىَ أَهْلِهِ حَاجَةٌ قَضَاهَا ثُمَّ يَنَامُ كَهَيْئَتِهِ لاَ يَمَسُّ مَاءً

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, “Bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila mempunyai hajat kepada istrinya ia segera menunaikannya kemudian tidur seperti keadaannya, tidak menyentuh air”. [HR Ibnu Majah: 582. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

عنها أَنَّهُ  صلى الله عليه و سلم كَانَ إِذَا أَجْنَبَ فَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ تَوَضَّأَ أَوْ تَيَمَّمَ

Dari Aisyah radliyallahu anha bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila junub lalu ingin tidur maka Beliau berwudlu atau tayammum. [HR al-Baihaqiy. Berkata al-Hafizh: isnadnya hasan. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Meriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari Itsam secara mauquf mengenai seorang lelaki yang terkena junub di waktu malam lalu berbaring untuk tidur. Aisyah berkata, ”Hendaknya ia wudlu atau tayammum”. Sanadnya Shahih]. [13]

 Kesimpulannya, Bahwasanya setiap muslim itu dianjurkan dan disukai agar berwudlu ketika hendak menuju pembaringannya untuk tidur seperti wudlunya hendak sholat, lalu berbaring dengan sisi sebelah kanan dan berdoa dengan doa yang disyariatkan. Terlebih jika ia dalam keadaan junub yaitu ia telah melakukan jimak (atau hubungan intim) dengan salah seorang dari istrinya dan enggan untuk mandi. Tetapi penganjuran itupun tidak sampai memberatkan umatnya dengan dihukumkan wajib sebab Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah tidur dalam keadaan junub dan tidak berwudlu atau hanya bertayammum.

2)). Dianjurkan wudlu ketika junub.

Begitu pula jika seorang muslim dalam keadaan junub sedangkan ia ingin berbaring tidur maka dianjurkan baginya untuk berwudlu terlebih dahulu apabila ia merasa berat untuk mandi junub.

عن عمار بن ياسر قَالَ: قَدِمْتُ عَلَى أَهْلِى لَيْلاً وَ قَدْ تَشَقَّقَتْ يَدَايَ فَخَلَّقُوْنىِ بِزَعْفَرَانَ فَغَدَوْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ وَ لَمْ يُرَحِّبْ بىِ فَقَالَ: اذْهَبْ فَاغْسِلْ هَذَا عَنْكَ! فَذَهَبْتُ فَغَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَ قَدْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْهُ رِدْعٌ فَسَلَّمْتُ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ وَ لَمْ يُرَحِّبْ بىِ وَ قَالَ: اذْهَبْ فَاغْسِلْ هَذَا عَنْكَ! فَذَهَبْتُ فَغَسَلْتُهُ ثُمَّ جِئْتُ فَسَلَّمْتُ فَرَدَّ عَلَيَّ وَ رَحَّبَ بىِ وَ قَالَ: إِنَّ اْلمـَلاَئِكَةَ لاَ تَحْضُرُ جَنَازَةَ اْلكَافِرِ بِخَيْرٍ وَ لاَ اْلمـُتَضَمِّخُ بِالزَّعْفَرَانِ وَ لاَ اْلجُنُبُ قَالَ: وَ رَخَّصَ لِلْجُنُبِ إِذَا نَامَ أَوْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبَ أَنْ يَتَوَضَّأَ

Dari Ammar bin Yasir radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah datang kepada keluargaku suatu malam dan kedua tanganku terluka belah (sobek), lalu mereka melumuriku dengan za’faran. Di waktu pagi aku pergi (menemui) Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam lalu aku mengucapkan salam kepadanya tetapi Beliau tidak menjawabnya dan tidak menyambut kedatanganku. Beliau bersabda, “Pergilah dan cucilah (za’faran) ini darimu”. Lalu aku pergi dan mencucinya kemudian datang (kembali kepadanya) dan masih tersisa padaku bekas (warna)nya. Aku mengucapkan salam kembali kepadanya tetapi Beliau tetap tidak menjawabnya dan tidak menyambut kedatanganku dan bersabda, “Pergilah dan cucilah (za’faran) ini darimu”. Lalu aku pergi dan mencucinya, kemudian datang (kembali) dan mengucapkan salam kepadanya. Beliau menjawab salamku dan menyambut kedatanganku dan bersabda, ”Sesungguhnya para malaikat tidak akan datang kepada jenazah orang kafir dengan membawa kebaikan, tidak pula kepada orang yang melumuri dirinya dengan za’faran dan tidak juga kepada orang yang junub”. Berkata Ammar, ”Beliau memberi keringanan (rukhshoh) kepada orang yang junub apabila tidur, makan atau minum untuk berwudlu”. [HR Abu Dawud: 4176 dan Ahmad: IV/ 320. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[14]

عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تُقَرِّبُهُمُ اْلمـَلاَئِكَةُ: جِيْفَةُ اْلكَافِرِ وَ اْلمـُتَضَمِّخُ بِاْلخَلُوْقِ وَ اْلجُنُبُ إِلاَّ أَنْ يَتَوَضَّأَ

Dari Ammar bin Yasir radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan yang tidak akan didekati oleh para malaikat, yaitu; bangkainya orang kafir, orang yang melumuri dirinya dengan za’faran dan orang yang junub kecuali ia berwudlu”. [HR Abu Dawud: 4180. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [15]

عن ابن عبـاس عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ تُقَرِّبُهُمُ اْلمـَلاَئِكَةُ: اْلجُنُبُ وَ السُّكْرَانُ وَ اْلمـُتَضَمِّخُ بِاْلخَلُوْقِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan yang tidak akan didekati oleh para malaikat, yaitu; orang yang junub, orang mabuk dan yang melumuri dirinya dengan za’faran”. [HR al-Bazzar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [16]

Dalil-dalil di atas menerangkan bahwa ada beberapa golongan manusia yang tidak akan didekati oleh para malaikat rahmat yang datang membawa kebaikan-kebaikan yakni bangkai (mayat)nya orang kafir, orang yang melumuri dirinya dengan za’faran (wewangian khusus perempuan yang nampak jelas warnanya namun tiada nampak baunya), orang yang mabuk lantaran minum khomer dan orang yang junub kecuali berwudlu.

Para malaikat alaihim as-Salam tidak akan mendekat kepada orang yang junub kecuali berwudlu, hal ini jelas menunjukkan anjuran untuk berwudlu agar tidak dijauhi oleh para malaikat. Meskipun dengan wudlu tersebut ia tetap tidak dapat mengerjakan sholat sehingga ia mandi janabat. Namun faidahnya sangat jelas bahwa ia tidak akan dijauhi oleh para malaikat rahmat alaihim as-Salam yang boleh jadi akan memberikan kepadanya beberapa kebaikan dari berbagai kebaikan dunia dan akhirat.

3)). Dianjurkan wudlu ketika hendak mengulang jimak.

Setelah menjimak salah seorang dari istrinya lalu timbul keinginan lagi untuk mengulanginya maka dianjurkan baginya untuk mencuci farjinya terlebih dahulu dan berwudlu.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ و فى رواية: فَإِنَّهُ أَنْشَطُ لِلْعَوْدِ

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seseorang diantara kalian mendatangi istrinya kemudian ingin mengulanginya maka hendaklah ia berwudlu. Di dalam satu riwayat: karena hal itu lebih memberi semangat untuk mengulang”. [HR Muslim: 308, at-Turmudziy: 141, an-Nasa’iy: I/ 142, Abu Dawud: 220, Ibnu Majah: 587, Ahmad: III/ 21 dan Ibnu Khuzaimah: 219, 220. Tambahan hadits ini bagi Ibnu Khuzaimah: 221, Ibnu Hibban, al-Baihaqiy dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]

Mendatangi istrinya yang dimaksud adalah menjimaknya atau berhubungan intim dengannya lalu jika ingin mengulanginya kembali maka dianjurkan untuk berwudlu terlebih dahulu. Karena hal tersebut dapat menambah semangat di dalam mengulanginya itu. Dan hal ini jelas lebih bersih dan disukai oleh keduanya.

4)). Dianjurkan wudlu sebelum mandi janabat.

Di dalam mengerjakan mandi janabat, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memulainya dengan membasuh kedua telapak tangannya dengan air lalu berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Maka dengan dalil yang bermuatan contoh dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini hendaknya setiap muslim berpijak yakni mengawali mandi janabat dengan berwudlu sebelum mengguyur air ke seluruh tubuh. Sebab banyak di antara mereka yang belum tahu dan tidak mengerti akan kaifiyat atau tata cara di dalam mandi janabat. Penjelasan ini telah tertera di dalam dalil hadits berikut ini,

عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم  أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ اْلجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ تَوَضَّأَ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فىِ اْلمـَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُوْلَ شَعْرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ (و فى رواية: حَتىَّ إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ) عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيْضُ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila mandi dari janabat beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya kemudian berwudlu seperti wudlunya untuk sholat. Lalu memasukkan jemarinya ke air kemudian menyela-nyela ujung rambutnya lalu menuangkan (dalam satu riwayat; sehingga apabila ia telah yakin telah mengairi kulit kepalanya, ia menuangkan) air atas kepalanya tiga cidukan dengan kedua tangannya kemudian ia menuangkan air ke seluruh kulitnya. [HR al-Bukhoriy: 248, 262, 272 dan lafazh hadits ini di dalam Mukhtashor Shahih al-Imaam al-Bukhoriy, Muslim: 316, Abu Dawud: 242, 243, at-Turmudziy: 104, an-Nasa’iy: I/ 134 dan Ahmad: I/ 307, 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [18]

 و عن ميمونة قَالَتْ: وَضَعْتُ (وفى رواية: صَبَبْتُ) لِلنَّبِيِّ مَاءً لِلْغُسْلِ [مِنَ اْلجَنَابَةِ] [وَ سَتَرْتُهُ] فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَفْرَغَ [بِيَمِيْنِهِ] عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرَهُ (و فى رواية: فَرْجَهُ وَ مَا أَصَابَهُ مِنَ اْلأَذَى) ثُمَّ مَسَحَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ (و فى رواية:  ثُمَّ دَلَّكَ بِهَا اْلحَائِطَ و فى أخرى: بِاْلأَرْضِ أَوِ اْلحَائِطِ) [مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا] [ثُمَّ غَسَلَهَا] ثُمَّ مَضْمَضَ وَ اسْتَنْشَقَ وَ غَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَيْهِ [وَ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا] (و فى رواية: تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ) ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَحَوَّلَ مِنْ مَكَانِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ [ثُمَّ أَتيَ بِمِنْدِيْلٍ فَلَمْ يَنْفُضْ بِهَا (و فى رواية: فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَ لَمْ يُرِدْهَا) (و فى أخرى: فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ فَانْطَلَقَ وَ هُوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ)] فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ

Dari Maimunah radliyallahu anha berkata, ”Aku yang meletakkan (di dalam satu riwayat; yang menuangkan) air bagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk mandi (dari janabat). Aku menutupinya (dari pandangan manusia), maka Beliau membasuh kedua tangannya dua atau tiga kali kemudian menuangkan (air) dengan tangan kanannya atas tangan kirinya lalu mencuci kemaluannya (di dalam satu riwayat; farjinya dan apa yang terkena kotoran). Lalu mengusap tangannya ke tanah (di dalam satu riwayat; ”lalu menggosok-gosokkan tangannya ke dinding”, di dalam riwayat yang lain; ”ke tanah atau dinding”), dua atau tiga kali. Kemudian membasuhnya, lalu berkumur-kumur, beristinsyaq, membasuh wajah, kedua tangan (dan membasuh kepalanya tiga kali) (di dalam satu riwayat, ”berwudlu seperti wudlunya untuk sholat kecuali kedua kakinya”). Lalu menuangkan (air) ke seluruh tubuhnya kemudian berpindah dari tempatnya lalu membasuh kedua kakinya. Lalu didatangkan kepadanya handuk kecil tetapi Beliau tidak mengibaskan kain tersebut ke tubuhnya (di dalam satu riwayat; lalu aku ambilkan untuknya secarik kain, maka Beliau berkata dengan tangannya; begini dan Beliau tidak menginginkannya). (Di dalam riwayat yang lain; lalu aku mengambilkan sepotong kain tetapi Beliau tidak mengambilnya kemudian pergi sedangkan Beliau sedang mengibas-ngibaskan kedua tangannya). Maka Beliau mengibas-ngibaskan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 249, 257, 259, 260, 265, 266, 274, 276, 281 dan lafazh hadits ini dari Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy, Muslim: 317, Abu Dawud: 245, at-Turmudziy: 103, an-Nasa’iy: I/ 137, 138 dan Ibnu Majah: 573. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[19]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memperagakan untuk umatnya cara mandi janabat dengan sempurna sebagaimana yang telah dituturkan oleh kedua istrinya yaitu Aisyah dan Maimunah radliyallahu anha. Hal ini beliau lakukan agar dicontoh dan ditiru oleh mereka sebagai bentuk rasa kasih sayang beliau kepada mereka, supaya mandi yang mereka lakukan tersebut dapat mendatangkan nilai pahala dari sisi Allah Azza wa Jalla. Dan diharapkan kepada kaum muslimin untuk senantiasa mencontoh dan meniru Nabi mereka Shallallahu alaihi wa sallam dalam setiap amal dan khususnya di dalam masalah thaharah ini sebagai bentuk pengagungan dan ketaatan kepadanya.

Di dalam mandi tersebut, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengawalinya dengan berwudlu terlebih dahulu sebelum mengguyurkan air ke seluruh tubuhnya. Tidak seperti yang mereka lakukan selama ini yang masih memahami mandi janabat itu hanya mengguyurkan air ke seluruh tubuh tanpa mengawalinya dengan wudlu. Mudah-mudahan dengan penjelasan ini, mereka paham dan berusaha untuk merubah kebiasaan tersebut kepada yang lebih baik dan benar.

5)). Dianjurkan wudlu dari sebab muntah.

عن أبي الدرداء رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَاءَ فَأَفْطَرَ فَتَوَضَّأَ فَلَقِيْتُ ثَوْبَانَ فىِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: صَدَقَ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوْءَهُ

Dari Abu ad-Darda radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam muntah maka Beliau berbuka (dari shoum) dan wudlu. Lalu aku bertemu dengan Tsauban di masjid Damasyqus maka aku cerikan kepadanya hal tersebut. Ia menjawab, ”Benar, karena akulah yang menuangkan air wudlunya kepada Beliau”. [HRat-Turmudziy: 87, Ahmad: VI/ 443, Abu Dawud: 2381 dan ad-Darimiy: II/ 14. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]

Di dalam hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah muntah sedangkan beliau sedang mengerjakan shaum (puasa). Lalu Beliau berbuka dari shaum tersebut dengan sebabnya, kemudian berwudlu untuk menunaikan sholat.

Meskipun muntah itu bukan termasuk dari pembatal-pembatal wudlu, namun Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya sebagai bentuk anjuran untuk umatnya.

6)). Dianjurkan wudlu dari sebab menggotong mayat.

Menggotong mayat ke tempat pemakaman umum setelah ikut memandikan, mengafani dan menyolatkannya bersama kaum muslimin itu amat dianjurkan oleh syariat karena banyaknya faidah dari melakukannya. Setelah ikut menggotongnya maka dianjurkan untuk berwudlu seperti wudlunya untuk sholat.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ غَسَّلَ اْلمـَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَ مَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memandikan mayat maka hendaklah ia mandi dan barangsiapa yang menggotongnya maka hendaklah berwudlu”. [HR Abu Dawud: 3161, at-Turmudziy: 993 dan al-Imam Ahmad: II/ 280, 433, 454, 472. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [21]

Di dalam hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk berwudlu setelah selesai dari menggotong mayat dan mengantarkannya ke tempat pemakaman. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan keutamaan dari mengurus jenazah, berupa memandikan, mengafani, menyolatkan lalu menguburkannya. Jika ada seorang muslim ikut memandikan, mengafani lalu menyolatkan jenazah salah seorang dari shahabatnya yang muslim, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan balasan kebaikan untuknya pahala sebesar satu qirath (yaitu sebesar gunung Uhud). Lalu jika ia melanjutkannya dengan menggotong mayatnya ke pemakaman kemudian menyaksikan penguburannya maka ia akan mendapatkan pahala sebesar satu qirath lagi. Dengan sebab dalil inilah hendaknya setiap muslim tidak menyia-nyiakan pahala-pahala qirath yang telah ditawarkan oleh Allah Azza wa Jalla. [22]

Namun janganlah ia melupakan penganjuran dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, setelah ikut menggotong jenazah shahabatnya itu yaitu berwudlu. Meskipun menggotong mayat itu bukan termasuk dari pembatal-pembatal wudlu, namun jika dikerjakan akan lebih mendatangkan kebaikan untuknya kelak di dunia ataupun akhirat. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala amal kebaikan sekecil dan seringan apapun.

7)). Dianjurkan wudlu dari sebab (memakan daging) yang disentuh api.

 Berikut ini beberapa dalil hadits yang menganjurkan wudlu setelah memakan daging yang dimasak dengan api meskipun sebelumnya ia masih dalam keadaan suci lantaran berwudlu,

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Berwudlulah kalian dari sesuatu (makanan) yang disentuh api”. [HR an-Nasa’iy: I/ 105, 106, Abu Dawud: 194 dan at-Turmudziy: 79. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [23]

عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: اْلوُضُوْءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Zaid bin Tsabit radliyallahu anhu berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Wudlu itu dari apa yang disentuh api”. [HR Muslim: 351 dan an-Nasa’iy: I/ 107. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [24]

عن عبد الله بن إبراهيم بن قارظ أخبره أَنَّهُ وَجَدَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ عَلَى اْلمـَسْجِدِ فَقَالَ: إِنمَّاَ يَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْوَارِ أَقَطٍّ أَكَلْتُهَا لِأَنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم  يَقُوْلُ: تَوَضَّؤُوْا  مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Abdullah bin Ibrahim bin Qorizh mengkhabarkan bahwasanya ia menjumpai Abu Hurairah sedang berwudlu di Masjid. Ia berkata, ”Hanyalah berwudlu dari sebab sepotong keju yang aku makan, karena aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Berwudlulah kalian dari apa yang disentuh api”. [HR Muslim: 352 dan an-Nasa’iy: I/ 105. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [25]

و عن أبي سفيان ابن سعيد الأخنس بن شريق أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أُمِّ حَبِيْبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ هِيَ خَالَتُهُ فَسَقَتْهُ سَوِيْقًا ثُمَّ قَالَتْ لَهُ: تَوَضَّأْ يَا ابْنَ أُخْتيِ فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Abu Sufyan bin Sa’id al-Akhnas bin Syariq bahwasanya ia pernah masuk ke rumah Ummu Habibah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan ia adalah bibinya. Lalu menghidangkan semangkuk gandum. Lalu ia berkata kepada Abu Sufyan, “Berwudlulah wahai kemenakanku, karena sesungguhnya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Berwudlulah dari apa yang disentuh api”. [HR an-Nasa’iy: I/ 107 dan Abu Dawud: 195. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [26]

 عن القاسم مولى معاوية قَالَ: دَخَلْتُ مَسْجِدَ دِمَشْقَ فَرَأَيْتُ أُنَاسًا مُجْتَمِعِيْنَ وَ شَيْخًا يُحَدِّثُهُمْ قُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوْا: سَهْلُ بْنُ اْلحَنْظَلِيِّةِ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله  صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ أَكَلَ لَحْمًا فَلْيَتَوَضَّأْ

Dari al-Qosim maulanya Mu’awiyah berkata, “Aku pernah memasuki masjid Damasyqus lalu aku melihat banyak manusia berkumpul dan ada seorang syaikh sedang berbicara. Aku bertanya, ”Siapakah dia?”. Mereka menjawab, ”Sahl bin al-Hanzholiyah”. Lalu aku mendengar ia berkata, ”Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang makan daging maka hendaklah ia berwudlu”.  [HR Ahmad: IV/ 180, V/ 289. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [27]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Perintah di dalam hadits ini adalah untuk penganjuran (disukai) kecuali daging unta karena wajib. Terdapat ketetapan perbedaan antaranya dan daging selainnya. Mereka pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang berwudlu dari sebab (memakan) daging unta. Beliau bersabda, ”berwudlulah”. Dan juga ditanya tentang daging kambing. Beliau menjawab, ”jikalau kalian mau”.[28]

Jadi perintah berwudlu di dalam beberapa dalil di atas hanyalah berisi anjuran dan tidak wajib sebagaimana telah dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albaniy ahimahullah di atas dan juga karena beberapa dalil di bawah ini,

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَكَلَ كَتِفَ شَاةٍ ثُمَّ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah makan bahu seekor kambing kemudian sholat dan tidak berwudlu lagi. [HR Muslim: 354, al-Bukhoriy: 207, 5404, 5405, Ibnu Majah: 488 dan Ibnu Khuzaimah: 41. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [29]

عن عمرو بن أمية الضمري قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَدُعِيَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَقَامَ وَ طَرَحَ السِّكِّيْنَ وَ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Amr bin Umayyah adl-Dlomiriy radliyallahu anhu berkata, “Aku pernah melihat Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam memotong bahu seekor kambing lalu memakannya. Kemudian Beliau diseru untuk sholat lalu berdiri, membuang(meletakkan) pisau, sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR Muslim: 355, al-Bukhoriy: 208, 2923, 5408, 5422, 5462, Ibnu Majah: 490, ad-Darimiy: I/ 185 dan Ahmad: V/ 288. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [30]

عن ميمونة زوج النبي صلى الله عليه و سلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَكَلَ عِنْدَهَا كَتِفًا ثُمَّ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Maimunah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah makan bahu (kambing) di sisinya kemudian sholat dan tidak berwudlu lagi. [HR Muslim: 356 dan al-Bukhoriy: 210. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [31]

عن جابر بن عبد الله قَالَ: أَكَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم وَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ خُبْزًا وَ لَحْمًا وَ لَمْ يَتَوَضَّؤُوْا

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar pernah makan roti dan daging dan mereka tidak berwudlu lagi”. [HR Ibnu majah: 489 dan Ahmad: III/ 307. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [32]

عنه قَالَ: قَرَّبْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم خُبْزًا وَ لَحْمًا فَأَكَلَ ثُمَّ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ دَعَا بِفَضْلِ طَعَامِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَامَ إِلىَ الصَّلاَةِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, ”aku pernah menghidangkan roti dan daging untuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau makan. Kemudian Beliau menyuruh mengambilkan air wudlu lalu berwudlu dan sholat zhuhur. Kemudian Beliau menyuruh mengambil sisa makanannya dan Beliau makan. Kemudian Beliau berdiri menuju sholat dan tidak berwudlu lagi”. [HR Abu Dawud: 191, at-Turmudziy: 80 dan Ahmad: III/ 322. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [33]

عنه قَالَ: كَانَ آخِرُ اْلأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم تَرْكَ اْلوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu anhu berkata, “Adalah akhir dari dua perkara (wudlu dan tidak) dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah meninggalkan berwudlu dari apa yang disentuh api”. [Telah mengeluarkan atsar ini an-Nasa’iy: I/ 108, Abu Dawud: 192 dan Ibnu Khuzaimah: 43. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [34]

 Kesimpulannya adalah bahwasanya berwudlu dari sebab memakan daging yang dimasak dengan menggunakan api itu hanyalah berupa anjuran, bukan kewajiban. Sebab makan daging yang dimasak dengan api itu bukan termasuk pembatal-pembatal wudlu. Dari sebab itu setiap muslim yang baru selesai menyantap daging yang dimasak dengan api, diberi keleluasaan baginya untuk berwudlu kembali atau meninggalkannya ketika hendak mengerjakan sholat meskipun sebelumnya ia masih dalam keadaan suci karena telah berwudlu. Kecuali memakan daging unta, karena memakannya itu jelas-jelas membatalkan wudlu, yang tidak akan sah dan diterima sholat seseorang tanpa berwudlu kembali setelah memakannya. Akan datang beberapa dalil dan penjelasannya insya Allah, di dalam bab tersendiri.

 8)). Dianjurkan wudlu setiap kali hadats.

Hal lain yang dianjurkan berwudlu adalah setiap kali hadats, apakah dari sebab buang air besar, buang air kecil, buang angin ataupun selainnya.

عن بريدة (بن الحصيب) قَالَ: أَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم فَدَعَا بِلاَلاً فَقَالَ: يَا بِلاَلُ بِمَ سَبَقْتَنىِ إِلىَ اْلجَنَّةِ؟ مَا دَخَلْتُ اْلجَنَّةَ قَطٌّ إِلاَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِى دَخَلْتُ اْلبَارِحَةَ اْلجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِى فَأَتَيْتُ عَلَى قَصْرِ مُرَبَّعٍ مُشْرَفٍ مِنْ ذَهَبٍ فَقُلْتُ: ِلمَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِرَجُلٍ مِنَ اْلعَرَبِ فَقُلْتُ: أَنَا عَرَبِيٌّ لمِـَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِرَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقُلْتُ: أَنَا قُرَيْشٌ لمِـَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِرَجُلٍ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم فَقُلْتُ: أَنَا مُحَمَّدٌ لمِـَنْ هَذَا اْلقَصْرُ؟ قَالُوْا: لِعُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ فَقَالَ بِلاَلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَذَّنْتُ قَطٌّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَ مَا أَصَابَنىِ حَدَثٌ قَطٌّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ عِنْدَهَا وَ رَأَيْتُ أَنَّ لِلَّهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: بِهِمَا

Dari Buraidah (bin al-Hushaib) radliyallahu anhu berkata, “Di waktu pagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menyuruh memanggil Bilal, lalu berkata, “Wahai Bilal, dengan apakah engkau mendahuluiku ke surga?. Aku tidaklah memasuki surga sedikitpun melainkan aku mendengar bunyi derap sendalmu di hadapanku. Lalu aku mendatangi sebuah istana berbentuk persegi empat yang tinggi yang terbuat dari emas”. Aku bertanya, ”Siapakah  pemilik istana ini?”. Mereka (yaitu para malaikat) menjawab, ”Milik seseorang dari bangsa Arab”. Aku jawab, ”Aku orang Arab, siapakah pemilik istana ini?”. Mereka menjawab, ”Milik  seseorang dari suku Quraisy”. Aku jawab, ”Aku orang Quraisy, siapakah pemilik istana ini?”. Mereka menjawab, ”Milik seseorang dari umat Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam”. Aku menjawab, ”Aku Muhammad, siapakah pemilik istana ini?”. Mereka menjawab, ”Milik Umar bin al-Khaththab”. Bilal berkata, ”Wahai Rosulullah tidaklah aku beradzan sedikitpun melainkan aku sholat dua raka’at dan tidaklah hadats menimpaku sedikitpun melainkan aku berwudlu padanya dan aku berpandangan bahwasanya tetap bagiku sholat dua raka’at bagi Allah”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Dengan keduanya (inilah engkau mendahuluiku)”. [HR at-Turmudziy: 3689, Ahmad: V/ 360, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim: 1220, 5296. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [35]

Meskipun hal ini merupakan amal perbuatan Bilal bin Rabah radliyallahu anhu yang selalu berwudlu setiap kali hadats atau senantiasa memelihara wudlu di setiap keadaan, tetapi hal ini juga berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya. Karena hadits atau sunnah itu sebagaimana telah diketahui, bukan hanya yang dilakukan dan diucapkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetapi juga yang didiamkan (taqrir) oleh Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sebagai tanda persetujuannya kepada amalan para shahabat radliyallahu anhum. Bahkan di dalam hadits tersebut, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menampakkan kekaguman terhadap amal perbuatan Bilal radliyallahu anhu yang menyebabkan bunyi terompahnya didengar oleh Beliau di surga padahal Bilal radliyallahu anhu waktu itu masih hidup di dunia.

Lalu sunnah atau kebiasaan Bilal radliyallahu anhu yang telah diakui dan dikagumi oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tersebut diperbolehkan untuk dijadikan sebagai amalan kaum muslimin lainnya. Sebab suatu amalan jika telah tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selama tidak dikhususkan untuk seseorang maka amalan tersebut juga diperkenankan untuk umat Beliau yang lainnya untuk mengamalkannya. Amal kebiasaan Bilal tersebut adalah berwudlu setiap kali berhadats, yaitu hadats dengan sebab buang air besar, buang air kecil atau buang angin ataupun selainnya.

9)). Dianjurkan wudlu setiap kali sholat.

Penganjuran selanjutnya adalah memperbaharui wudlu setiap kali hendak menunaikan sholat meskipun masih dalam keadaan memiliki wudlu dan tidak berhadats. Sebagaimana dalil dan penjelasan berikut ini,

عن عمرو بن عامر الأنصاري قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ قُلْتُ: فَأَنْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ نُحْدِثْ

Dari Amr bin Amir al-Anshoriy radliyallahu anhu berkata, ”Aku pernah mendengar Anas bin Malik berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berwudlu di setiap kali sholat”. Aku bertanya, ”Apa yang kalian lakukan?”. Ia menjawab, ”Kami menunaikan seluruh sholat dengan sekali wudlu selama tidak berhadats”. [HR at-Turmudziy: 60, al-Bukhoriy: 214, Abu Dawud: 171, an-Nasa’iy: I/ 85 dan Ibnu Majah: 509. Berkata asy-Syaikh al-Abaniy: Shahih]. [36]

عن بريدة  قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلاَةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامَ اْلفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ وَ مَسَحَ خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ فَعَلْتَهُ ؟ قَالَ: عَمْدًا فَعَلْتُهُ

Dari Buraidah radliyallahu anhu berkata, ”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasanya berwudlu di setiap kali sholat. Ketika tahun penaklukan kota Mekkah (Fat-hu Makkah), Beliau menunaikan beberapa sholat dengan satu wudlu dan mengusap khuff (sepatu)nya”. Maka Umar bertanya, ”Sesungguhnya engkau telah melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan?”. Beliau menjawab, ”Aku dengan sengaja melakukannya”. [HR at-Turmudziy: 61, Muslim: 277, an-Nasa’iy: I/ 86, Ibnu Majah: 510, Abu Dawud: 172 dan Ibnu Khuzaimah: 12. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [37]

 عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  : لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتىِ لَأَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ أَوْ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ سِوَاكٌ وَ لَأَخَّرْتُ عِشَاءَ اْلآخِرَةِ إِلىَ ثُلُثِ اللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Andaikan aku tidak menyusahkan umatku niscaya aku perintahkan mereka berwudlu setiap kali sholat, bersiwak setiap kali wudlu dan menangguhkan sholat isya terakhir hingga mencapai sepertiga malam”. [HR Ahmad: II/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [38]

عن عبد الله بن عبد الله بن عمر قَالَ: قُلْتُ أَرَأَيْتَ تَوَضُّؤَ ابْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلاَةٍ طَاهِرًا وَ غَيْرَ طَاهِرٍ عَمَّ ذَاكَ؟ فَقَالَ: حَدَّثَتْنِيْهِ أَسمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ اْلخَطَّابِ: أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنَ أَبيِ عَامِرٍ حَدَّثَهَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم أَمَرَ بِاْلوُضُوْءِ لِكُلِّ صَلاَةٍ طَاهِرًا وَ غَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ أَمَرَ بِالسِّوَاكِ لِكُلِّ صَلاَةٍ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَى: أَنَّ بِهِ قُوَّةً فَكَانَ لاَ يَدَعُ اْلوُضُوْءَ لِكُلِّ صَلاَةٍ

Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar berkata, “aku pernah berkata, “Bagaimana pandanganmu tentang wudlunya Ibnu Umar di setiap kali sholat dalam keadaan suci atau tidak, tentang apa?”. Ia menjawab, “Telah menceritakan kepadaku Asma binti Zaid bin al-Khaththab bahwasanya Abdullah bin Hanzholah bin Abi Amir menceritakan kepadanya bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh berwudlu setiap kali sholat dalam keadaan suci ataupun tidak”. Ketika yang demikian itu dirasakan berat maka Beliau menyuruh bersiwak di setiap kali sholat. Ibnu Umar berpendapat, ”Bahwasanya ia mempunyai kesanggupan (maksudnya; berwudlu di setiap sholat) maka ia tidak pernah meninggalkan wudlu di setiap kali sholat”. [HR Abu Dawud: 48 dan Ahmad: V/ 225. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [39]

Dalil-dalil di atas pada awalnya menunjukkan contoh dan anjuran dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berwudlu setiap kali hendak menunaikan sholat, meskipun masih dalam keadaan suci. Kemudian suatu waktu, Beliau memperlihatkan secara sengaja kepada Umar bin al-Khaththab radliyallahu anhu berwudlu dengan sekali wudlu untuk mengerjakan beberapa sholat selama tidak berhadats. Namun Beliau menggantikannya dengan menyuruh mereka untuk selalu bersiwak di setiap kali hendak menunaikan sholat. Perilaku Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tersebut bertujuan untuk tidak memberatkan umatnya yang berwudlu setiap kali hendak menegakkan sholat, tetapi juga tidak berkehendak untuk menghapusnya.

Maka dengan beberapa dalil hadits di atas, diperbolehkan bagi setiap muslim untuk berwudlu dengan sekali wudlu untuk mengerjakan beberapa kali sholat selama tidak berhadats. Namun juga terdapat penganjuran untuk selalu memperbaharui wudlu setiap kali hendak menunaikan sholat.

10)). Dianjurkan wudlu ketika menyebut nama Allah Azza wa Jalla.

عن المهاجر بن قنفذ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ: إِنىِّ كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ  عز و جل إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ

Dari al-Muhajir bin Qanfadz radliyallahu anhu bahwasanya ia pernah mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Beliau sedang buang air kecil. Lalu ia mengucapkan salam kepadanya tetapi tidak menjawabnya sehingga berwudlu. Kemudian Beliau memberi alasan kepadanya seraya berkata, “Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan suci”, atau Beliau bersabda, “dalam keadaan bersuci”. [HR Abu Dawud: 17, an-Nasa’iy: I/ 37, Ibnu Majah: 350, ad-Darimiy: II/ 287 dan Ahmad: V/ 80. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [40]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy  rahimahullah, “Ketika  السلام  merupakan satu nama dari nama-nama Allah ta’ala maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak suka  menyebut-Nya kecuali dalam keadaan suci. Maka hal ini menunjukkah bahwasanya membaca alqur’an tanpa bersuci adalah makruh (tidak disukai) dari bab yang lebih utama. Maka tidak pantas memutlakkan ucapan tentang bolehnya membaca alqur’an bagi orang yang hadats sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian saudara kita dari ahli hadits”. [41]

Beliau berkata di tempat lainnya, “Dan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “(Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah Azza wa Jalla kecuali dalam keadaan suci atau Beliau bersabda, “dalam keadaan bersuci), merupakan dalil jelas mengenai makruhnya membaca (alqur’an) bagi orang junub. Karena hadits tersebut datang mengenai salam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dengan sanad yang shahih. Maka alqur’an lebih utama dari mengucapkan salam sebagaimana zhahirnya, tetapi tidak menafikan bolehnya sebagaimana yang telah dikenal maka pendapat tentangnya karena hadits shahih ini adalah wajib. Dan inilah seadil-adilnya pendapat Insyaa Allah ta’ala “.  [42]

عن أبي هريرة قَالَ: مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَ هُوَ يَبُوْلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ فَلَمَّا فَرَغَ ضَرَبَ بِكَفَّيْهِ اْلأَرْضَ فَتَيَمَّمَ ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”Seorang lelaki pernah melewati Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sedang buang air kecil. Lalu ia mengucapkan salam kepada Beliau tetapi tidak dijawab. Setelah Beliau selesai (darinya) maka Beliau memukul tanah dengan kedua telapak tangannya lalu bertayammum kemudian menjawab salamnya”. [HR Ibnu Majah: 351, al-Bukhoriy: 337 dan Muslim 369 kedua-duanya dari Abu al-Juhaim bin al-Harits.  Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih].[43]

Hal ini hanyalah jalan afdloliyah (keutamaan) dan anjuran saja, jika tidak maka menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala boleh bagi yang suci, berhadats dan yang junub karena hadits di bawah ini,

عن عائشة رضي الله عنها قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, ”Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyebut nama Allah di segala keadaannya”. [HR Muslim: 373, Abu Dawud: 18, at-Turmudziy: 3384, Ibnu Majah: 302 dan Ahmad: VI/ 70, 153. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [44]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah , ”Di dalam hadits ini terdapat dalil (bukti) bolehnya membaca alqur’an bagi orang yang junub karena alqur’an adalah dzikir (Dan Kami telah turunkan dzikir yakni alqur’an. QS. An-Nahl/16: 44) maka ayat ini masuk ke dalam keumuman ucapan Aisyah radliyallahu anha (yaitu menyebut nama Allah). Ya, yang paling utama adalah membaca alqur’an dalam keadaan bersuci karena sabdanya Shallallahu alaihi wa sallam ketika menjawab salam sesudah bertayammum (sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan bersuci. –Telah berlalu takhrijnya)-”. [45]

Katanya lagi, ”Kebanyakan yang aku sebutkan tentang hal yang berkaitan dengan ini adalah hadits dari Aisyah radliyallahu anha ketika menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka singgah di suatu tempat yang bernama Saraf dekat dengan kota Mekkah. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjumpai istrinya yang sedang menangis lantaran haidl. Lalu Beliau bersabda kepadanya, ”Lakukanlah apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang berhaji kecuali thowaf dan jangan pula kamu melakukan sholat”. [46] Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak melarangnya dari membaca alqur’an dan memasuki masjid al-Haram”.[47]

Wallahu a’lam bi ash-Showab.

[1] Mukhtashor Shahih Muslim: 1896, Shahih Sunan Abi Dawud: 4219, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2703, 2828, Shahih Sunan Ibni Majah: 3126, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 276 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 602.
[2] Shahih Sunan Abi Dawud: 4216, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5754, Misykah al-Mashobih: 1215 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 597.
[3] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 596.
[4]  Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 598 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3936.
[5]  Shahih Sunan Abi Dawud: 4218 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 410.
[6]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 254, Shahih Sunan Abi Dawud: 205 dan Shahih Sunan Ibni Majah: 476.
[7]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 252, Shahih Sunan Abi Dawud: 206, Shahih Sunan Ibni Majah: 474 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4660.
[8]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 249, 250, 251, Mukhtashor Shahih Muslim: 162, Shahih Sunan Abi Dawud: 207, 208, Shahih Sunan Ibni Majah: 481, 482, 483, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4659 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 390.
[9]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 104, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 253 dan Shahih Ibni Majah: 475
[10]  Adab az-Zifaf fi as-Sunnah al-Muthahharah oleh asy-Syaikh al-Albaniy halaman 116.
[11]  Shahih Sunan Ibni Majah: 471, 473, Shahih Sunan Abi Dawud: 210 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 103.
[12]  Shahih Sunan Ibni Majah: 472.
[13]  Fat-h al-Bariy: I/ 394 dan Adab az-Zifaf halaman 118.
[14]  Shahih Sunan Abi Dawud: 3519 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1959, 1960.
[15]  Shahih Sunan Abi Dawud: 3522, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3061 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 168.
[16]  Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 169, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3060 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1804.
[17]  Mukhtashor Shahih Muslim: 164, Shahih Sunan at-Turmudziy: 122, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 255, Shahih Sunan Abi Dawud: 204, Shahih Sunan Ibni Majah: 477, Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 263 dan Adab az-Zifaf halaman 107.
[18]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 147, Shahih Sunan Abi Dawud: 222, 223, Shahih Sunan at-Turmudziy: 91, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 241 dan Irwa’ al-Ghalil: 132
[19] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 153, Shahih Sunan Abi Dawud: 224, Shahih Sunan at-Turmudziy: 90, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 404, 405, 406, Shahih Sunan Ibni Majah: 465 dan Irwa’ al-Ghalil: 131.
[20]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 76, Shahih Sunan Abi Dawud: 2085, Irwa’ al-Ghalil: 111 dan Tamam al-Minnah halaman 111.
[21]  Shahih Sunan Abi Dawud: 2707, Shahih Sunan at-Turmudziy: 791, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6402, Irwa’ al-Ghalil: 144, Tamam al-Minnah halaman 112 dan  Ahkam al-Jana’iz halaman 71.
[22]  Lihat keterangan lebih lanjut di dalam kitab “Ahkam al-Jana’iz” susunan asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah di dalam bab “menggotong dan mengiringi jenazah” halaman 87-90 poin ke 44 dan 45.
[23]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 165, 166, 168, 169, Shahih Sunan Abi Dawud: 178, Shahih Sunan at-Turmudziy: 68, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3007, 7153 dan Misykah al-Mashobih: 303.
[24]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 173 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7154.
[25]  Mukhtashor Shahih Muslim: 147 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 167.
[26]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 174, 175 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 179.
[27]  Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6087 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2322.
[28]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 415-416. [HR Muslim: 360, Ibnu Majah: 495, Ahmad: V/ 86, 88, 92, 93, 98, 100, 102, 105, 106, 108 dan Ibnu Khuzaimah: 31, 32 dari Jabir bin Samurah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 146, Shahih Sunan Ibni Majah: 402, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3006, Irwa’ al-Ghalil: 118 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V: 415-416].
[29]  Shahih Sunan Ibni Majah: 395 dan Misykah al-Mashobih: 304.
[30]  Mukhtashor Shahih Muslim: 148, Shahih Sunan Ibni Majah: 397 dan Irwa’ al-Ghalil: 1962.
[31]  Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 126.
[32]  Shahih Sunan Ibni Majah: 396.
[33]  Shahih Sunan Abi Dawud: 176 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 69.
[34]  Shahih Sunan an-Nasa’iy: 179 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 177.
[35]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 2912, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7893, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 196 dan Tamam al-Minnah halaman 111.
[36]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 50, Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 130, Shahih Sunan Abi Dawud: 156, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 127, Shahih Sunan Ibni Majah: 411 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4907.
[37]  Shahih Sunan at-Turmudziy: 51, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 129, Shahih Sunan Ibni Majah: 412 dan Shahih Sunan Abi Dawud: 157.
[38] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5318 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 200.
[39]  Shahih Sunan Abi Dawud: 38.
[40] Shahih Sunan Abi Dawud: 13, Shaiih Sunan an-Nasa’iy: 37, Shahih Sunan Ibni Majah: 280, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 834, Shahiih al-Jami’ ash-Shaghir: 2472 dan Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 71 .
[41]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 511 dan Irwa’ al-Ghalil: I/ 92-93.
[42]  Irwa’ al-Ghalil: II/ 245.
[43]  Shahih Sunan Ibni Majah: 281.
[44] Mukhtashor Shahih Muslim: 169, Shahih Sunan Abi Dawud: 14, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2695, Shahih Sunan Ibni Majah: 245, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 406 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4943.
[45] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 691.
[46]  Dikeluarkan oleh al-Bukhoriy: 294, 305, 1650, 5559, Muslim: 1211 (120), Abu Dawud: 1786 dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albaniy di dalam Mukhtashor Shahih Muslim: 660, Shahih Sunan Abi Dawud: 1570, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2254, 2255 dan Misykah al-Mashobih: 2572.
[47]  Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah halaman 14-15.