السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Selasa, 18 Desember 2012

UNTUK APA ANDA BERWUDLU (1) ??…

Apa yang mewajibkan wudlu

بسم الله الرحمن الرحيم

Telah banyak dalil dan penjelasan tentang beberapa keutamaan wudlu sebagaimana telah diabadikan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang shahih. Di samping itu pula, wudlu mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam Islam terutama di dalam ibadah-ibadah yang tertentu. Dan tidak boleh terwujud ibadah tersebut dan tidak akan pula mendapatkan balasan kebaikan kecuali dengannya. Misalnya sholat, maka sholat tidak boleh dilaksanakan tanpa berwudlu. Dan jikapun sholat dikerjakan tanpa wudlu lantaran kebodohan orang yang menunaikannya maka sholat itu tidak sah, tidak akan diterima dan tidak pula diberi balasan kebaikan oleh Allah Azza wa Jalla. Dari sebab itu wudlu adalah merupakan salah satu syarat penting dan pokok di dalam ibadah sholat.

1)). Sholat secara mutlak, yang wajib ataupun yang sunah.

Secara ijmak seluruh kaum muslimin di belahan bumi manapun, di era kapanpun dan di kondisi alam apapun, mereka memahami akan kewajiban wudlu ketika hendak mereka hendak menunaikan sholat, yang wajib ataupun yang sunnah. Tiada bedanya kaum perempuan atau kaum lelakinya, kaum tua ataupun kaum mudanya, golongan kaya ataupun golongan miskinnya, kalangan terpelajar ataupun kalangan biasanya dan seterusnya. Semuanya mereka meyakini akan wajibnya wudlu untuk menunaikan sholat baik yang wajib maupun yang sunnah.

Hal ini berdasarkan kepada dalil-dalil berikut ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى اْلمـَرَافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى اْلكَعْبَيْنِ

Wahai orang-orang yang beriman apabila engkau hendak mengerjakan sholat maka basuhlah wajah dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ((Q.S. al-Ma’idah/5: 6)).

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat ini memerintahkan berwudlu ketika berdiri untuk mengerjakan sholat  tetapi bagi orang yang berhadats hukumnya adalah wajib sedangkan yang masih suci hukumnya dianjurkan. Dan dikatakan juga bahwa perintah berwudlu setiap kali sholat adalah wajib di awal Islam kemudian mansukh (dihapus)”. [1]

Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah,
“Terdapat perintah untuk bersuci dan juga terdapat penjelasan tentang kaifiyat (cara) berwudlu, mandi dan tayammum.

Terdapat penjelasan tentang udzur (alasan) bagi mukmin untuk mengganti wudlu dengan tayammum.
Terdapat penjelasan akan kewajiban wudlu dan mandi”. [2]

عن علي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطَّهُوْرُ وَ تَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ

Dari Ali radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “pembuka sholat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah ucapan salam”. [HR Abu Dawud: 61, at-Turmudziy: 3, Ahmad: I/ 123, 129, ad-Darimiy: I/ 175 dari Ali, at-Turmudziy: 4, Ahmad: III/ 340 dari Jabir bin Abdullah dan Ibnu Majah: 275 dari Muhammad bin al-Hanafiyyah dari ayahnya, 276 dari Abu Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [3]

عن ابن عباس أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ مِنَ اْلخَلاَءِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ طَعَامٌ فَقَالُوْا: أَلاَ نَأْتِيْكَ بِوَضُوْءٍ؟ قَالَ: إِنمَّاَ أُمِرْتُ بِاْلوُضُوْءِ إِذَا قُمْتُ إِلىَ الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah keluar dari jamban (wc). Lalu disodorkan kepadanya makanan. Mereka berkata, ”Bolehkah kami bawakan kepadamu air wudlu?”. Beliau menjawab, ”Aku hanyalah diperintahkan berwudlu apabila hendak berdiri mengerjakan sholat”. [HR at-Turmudziy: 1847, an-Nasa’iy: I/ 85-86 dan Abu Dawud: 3760. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

 عن أبي هريرة يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتىَّ يَتَوَضَّأَ قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتٍ: مَا اْلحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ”telah bersbda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ”Tidak akan diterima sholat orang yang berhadats”. Seorang lelaki dari Hadlromaut bertanya, ”apakah hadats itu wahai Abu Hurairah?”. Ia menjawab, ”fusa’ (buang angin yang tidak berbunyi) dan dlurath (buang angin yang berbunyi)”. [HR al-Bukhoriy: 135, 6954, Muslim: 225, Abu Dawud: 60, at-Turmudziy: 76, Ibnu Khuzaimah: 11 dan Ahmad: II/ 308, 318. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih ]. [5]

Berkata asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam rahimahullah,
”Bahwa sholat orang yang berhadats itu tidak akan diterima sehingga ia suci dari dua hadat yaitu yang besar dan yang kecil.
Bahwasanya hadats itu merupakan penggugur wudlu dan pembatal sholat jika terjadi di dalamnya.
Yang dimaksud dengan tidak diterima (sholatnya) di sini adalah tidak benar sholatnya dan tidak mendapatkan balasan.
Hadits tersebut menunjukkan bahwasanya bersuci itu adalah merupakan salah satu dari syarat sahnya sholat”. [6]

عن مصعب بن سعد قَالَ: دَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى ابِنْ عَامِرٍ يَعُوْدُهُ وَ هُوَ مَرِيْضٌ فَقَالَ: أَلاَ تَدْعُوا اللهَ ليِ يَا ابْنَ عُمُرُ ؟ قَالَ: إِنيِّ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَ لاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ وَ كُنْتَ عَلَى اْلبَصْرَةِ

Dari Mush’ab bin Sa’d berkata, ”Ibnu Umar radliyallahu anhuma pernah masuk menjenguk Ibnu Amir yang sedang sakit”. Ibnu Amir berkata, ”Tidakkah engkau mendoakan kebaikan kepada Allah untukku wahai Ibnu Umar?”. Ibnu Umar menjawab, ”Sesungguhnya aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Sholat tidak akan diterima tanpa bersuci dan shodakoh tidak akan diterima dari hasil  khianat sedangkan engkau (adalah penguasa) atas Bashrah”. [HR Muslim: 224, at-Turmudziy: 1 dan Ahmad: II/ 39, 57. Mengeluarkan hadits ini juga Abu Dawud: 59, an-Nasa’iy: 1/ 88, ad-Darimiy: I/ 175 dari Abi al-Malih dari ayahnya, Ibnu Khuzaimah: 9, 10 dan Ibnu Majah: 271, 272 dari Usamah bin Umair al-Hadzliy, 273 dari Anas bin Malik, 274 dari Abi Bakrah. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [7]

 عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم  :لاَ صَلاَةَ لِمـَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam , “Tiada sholat bagi orang yang tiada wudlu baginya dan tiada wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah ta’ala atasnya”. [HR Abu Dawud: 101, Ibnu Majah: 399 dan Ahmad: II/ 418 darinya, Ibnu Majah: 398 dan ad-Daruquthniy: 226 dari Sa’id bin Zaid. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[8]

عَنْ سَعْدِ بْنِ عَمَّارَةَ أَخِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ – وَ كَانَتْ لَهُ صُحْبَة ٌ– أَنَّ رَجُلاً قَالَ لَهُ: عِظْنيِ فىِ نَفْسِى يَرْحَمُكَ اللهُ قَالَ: إِذَا أَنْتَ قُمْتَ إِلىَ الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ اْلوُضُوْءَ فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمـَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَ إِيْمَانَ لِمـَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ ثُمَّ قَالَ: إِذَا أَنْتَ صَلَّيْتَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدَّعٍ وَ اتْرُكْ طَلَبَ كَثِيْرٍ مِنَ اْلحَاجَاتِ فَإِنَّهُ فَقْرٌ حَاضِرٌ وَ اجْمَعِ اْليَأْسَ مِمَّا فىِ أَيْدِي النَّاسِ فَإِنَّهُ هُوَ اْلغَنِيُّ وَ انْظُرْ إِلىَ مَا يَعْتَذِرُ مِنْهُ مِنَ اْلقَوْلِ وَ اْلِفْعِل فَاجْتَنِبْهُ

Dari Sa’d bin ‘Imarah saudaranya Sa’d bin Bakr – dan ia memiliki pershahabatan (dengannya)- bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepadanya, “Nasihatilah aku mengenai diriku, semoga Allah merahmatimu”. Ia berkata, “Apabila engkau berdiri untuk sholat maka sempurnakanlah wudlu, karena tiada sholat bagi orang yang tiada wudlu baginya dan tiada iman bagi orang yang tiada sholat baginya”. Kemudian ia berkata lagi, “Apabila engkau sholat maka sholatlah dengan sholat muwadda’ (perpisahan), tinggalkan banyak permohonan dari berbagai keperluan karena hal tersebut merupakan kefakiran yang selalu ada, himpunlah keputusasaan dari apa yang ada pada tangan manusia kerena hal itu merupakan kekayaan dan perhatikan apa yang menjadi alasan dari ucapan dan tindakan lalu jauhilah”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini isnadnya hasan]. [9]

Beberapa dalil dari alqur’an dan hadits di atas mengungkapkan dengan jelas akan wajibnya wudlu bagi orang yang berhadats apabila ingin menunaikan ibadah sholat baik yang wajib ataupun yang sunnah. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada kaum muslimin apabila hendak menunaikan sholat agar mereka berwudlu terlebih dahulu. Dan bahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengabadikan bahwasanya bersuci itu adalah kunci pembuka sholat yang tanpa kunci itu seorang muslim tidak boleh membuka dan memulai sholat. Dari sebab itu siapapun yang menunaikannya dalam keadaan hadats maka tidak akan diterima sholatnya sampai ia berwudlu dengan wudlu yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.

2)). Thawaf di Baitullah.

Hal lainnya yang mewajibkan wudlu adalah thawaf di baitullah atau ka’bah. Sebab thawaf itu telah diserupakan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan sholat, hanyasaja thawaf itu diperbolehkan untuk berbicara, meskipun sedikit dan hanya mengandung kebaikan. Maka sebagaimana sholat diwajibkan wudlu atasnya maka thawafpun demikian pula, apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri melakukannya. Hal ini telah dipaparkan di dalam beberapa dalil hadits berikut ini,

عن ابن عباس رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: الطَّوَافُ حَوْلَ اْلبَيْتِ مِثْلُ الصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُوْنَ فِيْهِ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيْهِ فَلاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِخَيْرٍ

Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Thawaf di sekitar baitullah (Ka’bah) adalah seperti sholat hanya saja kalian boleh berbicara padanya. Maka barangsiapa yang (ingin) berbicara maka janganlah ia berbicara melainkan kebaikan”. [HR at-Turmudziy: 960, ad-Darimiy: II/ 44, Ibnu Khuzaimah: 2739, al-Baihaqiy dan al-Hakim: 1729, 3110. Berkata asy-Syaikh al-Alabniy: Shahih]. [10]

عن طاووس عَنْ رَجُلٍ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: الطَّوَافُ بِاْلبَيْتِ صَلاَةٌ فَأَقِلُّوْا مِنَ اْلكَلاَمِ

Dari Thowus dari seorang lelaki yang bertemu Nabi  Shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Thawaf di Ka’bah  itu adalah sholat maka sedikitlah berbicara”. [Telah mengeluarkan atsar ini an-Nasa’iy: V/ 222 dan Ahmad: III/ 414, IV/ 64, V/ 377. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [11]

Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Hadits ini menunjukkan bahwasanya sepatutnya thawaf itu dalam keadaan bersuci sebagaimana bersucinya sholat”. [12]

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قَالَ: أَقِلُّوا اْلكَلاَمَ فىِ الطَّوَافِ فَإِنمَّاَ أَنْتُمْ فىِ الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”Persedikit berbicara pada waktu thawaf karena kalian dalam sholat”. [Telah mengeluarkan atsar ini an-Nasa’iy: V/ 222. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih isnadnya mauquf ]. [13]

عن عروة قَالَ: أَخْبَرَتْنيِ عَائِشَةُ رضي الله عنها أَنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِيْنَ قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ ثُمَّ لَمْ تَكُنْ عُمْرَةً ثُمَّ حَجَّ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ رضي الله عنهما مِثْلَهُ

Dari Urwah berkata, “Aisyah radliyallahu anha mengkhabarkan kepadaku bahwasanya sesuatu yang pertama-tama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mulai ketika datang (ke Mekkah) adalah berwudlu lalu thowaf kemudian tidak menjadikannya sebagai umrah. Lalu Abu Bakar dan Umar radliyallahu anhuma berhaji sepertinya”. [HR al-Bukhoriy: 1614, 1641 dan Muslim: 1235. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[14]

Di dalam beberapa dalil hadits di atas, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mendudukkan thawaf di ka’bah sama seperti menunaikan ibadah sholat, hanya saja di dalam thawaf diperbolehkan berbicara. Maka jika seseorang sedang melakukan thawaf dan keadaannya mengharuskan berbicara hendaklah ia mempersedikit bicara atau ia tidak berbicara melainkan kebaikan. Di samping itu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah melarang wanita yang sedang haidl dan nifas untuk melakukan thawaf [15] di dalam menunaikan ibadah haji atau umrah, sama seperti dilarangnya mereka dari mengerjakan sholat. Dengan dasar inilah maka diwajibkan berwudlu ketika menunaikan ibadah thawaf, apalagi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah melakukannya sebagaimana di dalam hadits dari Aisyah radliyallahu anha di atas.

Wallahu a’lam.



[1] Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim: II/ 29.
[2]  Aysar at-Tafasir: I/ 601.
[3]  Shahih Sunan Abi Dawud: 55, Shahih Sunan at-Turmudziy: 3, 4, Shahih Sunan ibni Majah: 222, 223, Irwa’ al-Ghalil: 301, Sifat sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 59, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5885 dan Misykah al-Mashobih: 312, 313.
[4] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1506, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 128, Shahih Sunan Abi Dawud: 3197, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2337 dan Mukhtashor asy-Syama’il al-Muhammadiyyah: 158.
[5] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 90, Shahih Sunan Abi Dawud: 53, Shahih Sunan at-Turmudziy: 66, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7382, 7745 dan Misykah al-Mashobih: 300.
[6]  Taysir al-Allam: I/ 26.
[7] Mukhtshor Shahih Muslim: 104, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1, Shahih Sunan Abi Dawud: 53, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 135, Shahih Sunan Ibni Majah: 219, 218, 220, 221, Irwa’ al-Ghalil: 120, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7284, 7746 dan Misykah al-Mashobih: 301.
[8]  Shahih Sunan Abi Dawud: 92, Shahih Sunan Ibni Majah: 320, 319, Irwa’ al-Ghalil: 81, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7514, Misykah al-Mashobih: 404, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 198, Nail al-Awthar bi takhriij Ahadits Kitab al-Adzkar: 75 dan al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib halaman 337.
[9]  Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: IV/ 545-546.
[10] Shahih Sunan at-Turmudziy: 767, Irwa’ al-Ghalil: 121, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3954, 3955, 3956 dan Misykah al-Mashobih: 2576.
[11] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2735 dan Irwa’ al-Ghalil: I: 156.
[12] Nail al-Awthar: I/ 261
[13] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2736.
[14] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 809 dan Irwa’ al-Ghalil: 1093.
[15] Untuk lebih jelasnya, baca kitab Hajjah an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam kama rowaha anhu Jabir radliyallahu anhu halaman 68-69 nomor 54 dan Irwa’ al-Ghalil: 191. Kedua kitab yang sangat berkwalitas tersebut disusun oleh asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah.