السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Jumat, 31 Mei 2013

TAHUKAH ANDA AKAN DALIL-DALIL TENTANG SHAFF DI DALAM SHOLAT??

PERINTAH MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAFF
بسم الله الرحمن الرحيم

Meluruskan dan merapatkan shaff di dalam sholat adalah termasuk sunnah Nabi Shallahu alaihi wa sallam yang banyak dilupakan dan diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin sekarang ini. Banyak di antara mereka yang ketika datang ke masjid, mengisi shaff yang di belakang terlebih dahulu tanpa berusaha maju ke depan. Atau banyak di antara mereka yang sholat di atas sajadah yang lebar, sehingga tersisa celah yang cukup longgar. Atau karpet yang tersedia di masjid didesain dengan corak yang memuat gambar semacam kubah yang dianggap oleh kaum muslimin bahwa satu kubah itu untuk satu orang, sehingga tersisa pula celah yang cukup longgar. Maka jadilah sholat ditegakkan oleh mereka dalam keadaan tidak menyambung shaff lagi bengkok.

Padahal banyak dalil di dalam hadits shahih yang memerintahkan umat ini untuk memperhatikan masalah shaff, dari meluruskan dan merapatkannya. Sebagaimana telah dituangkan di dalam dalil-dalil berikut ini,

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, “Ketika iqomat sholat telah dikumandangkan, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghadap ke arah kami, lalu bersabda,

أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ (وَ تَرَاصُّوْا) فَإِنِّى أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِى

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaff-shaff kalian (dan rapatkanlah), karena sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari arah belakang punggungku”.
Berkata Anas, “Seseorang di antara kami menempelkan pundaknya pada pundak kawannya dan (menempelkan) kakinya pada kaki kawannya”. [HR al-Bukhoriy: 718, 719, 725, Muslim: 434, an-Nasa’iy: II/ 92 dan Ahmad: III/ 182, 263. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]

Di dalam satu riwayat, berkata Anas, “Sungguh-sungguh aku melihat  seseorang di antara kami menempelkan bahunya pada bahu kawannya dan menempelkan kakinya pada kaki kawannya. Seandainya kamu mempraktekkan hal ini di masa sekarang, niscaya kamu akan menjumpai salah seorang dari mereka akan seperti baghol (peranakan kuda dan keledai) yang tidak bisa diam”. [HR Abu Ya’la di dalam al-Musnad, al-Mukhlis di dalam al-Fawa’id dan Sa’id bin Manshur di dalam as-Sunan]. [2]

Berkata asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhohullah, “Oleh karena itu, Busyair bin Yasar al-Anshoriy berkata tentang riwayat dari Anas, ‘bahwa ketika ia (yakni Anas) datang ke kota Madinah, ada seseorang bertanya kepadanya, “Apakah ada yang engkau ingkari dari (perbuatan) kami sejak masa engkau bersama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?”. Ia menjawab, “Tidak ada yang aku ingkari kecuali ketika kalian tidak menegakkan/ meluruskan shaff-shaff kalian”. [Atsar riwayat al-Bukhoriy: 724].

Maka secara zhahir bahwa menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki di dalam shaff adalah termasuk sunnah (Nabi Shallallahu alaihi wa sallam), yang telah diamalkan oleh para shahabat radliyallahu anhum sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Inilah yang dimaksud dengan menegakkan shaff dan meluruskannya”. [3]

Katanya selanjutnya, “Demikian keadaan kebanyakan manusia pada masa sekarang ini. Bahwa seandainya yang demikian itu diamalkan pada mereka niscaya mereka akan lari seakan-akan mereka adalah keledai liar. Maka jadilah yang sunnah itu menjadi bid’ah di sisi mereka, al-Iyadzu billah. Semoga Allah memberikan petunjuk dan merasakan manisnya sunnah (Nabi) kepada mereka. [4]

Dari an-Nu’man bin Basyir radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah menghadap kepada manusia dengan wajahnya lalu bersabda,

أَقِيْمُوا صُفُوْفَكُمْ ثلاثا وَ اللهِ لَتُقِيْمُنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ

“Tegakkanlah (luruskanlah) shaff-shaff kalian (tiga kali), demi Allah benar-benar kalian menegakkan shaff-shaff kalian atau Allah akan menyelisihkan antara hati-hati kalian.”
An-Nu’man berkata, “Maka aku melihat seseorang menempelkan bahunya pada bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya dan mata kakinya dengan mata kaki kawannya”. [HR Abu Dawud: 662, Ibnu Hibban, Ahmad: IV/ 276 dan ad-Dulabiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [5]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, [6] “Di dalam dua hadits tersebut di atas terdapat beberapa faidah yang penting yaitu,
1). Wajibnya menegakkan shaff, meluruskan dan merapatkannya lantaran perintah akan hal tersebut. Pada asalnya perintah itu wajib kecuali jika ada qorinah (petunjuk lainnya) sebagaimana telah diakui di dalam kaidah ushul (fikih). Sedangkan qorinah yang terdapat di dalam hadits ini malah memperkuat kewajiban tersebut. Yaitu sabdanya Shallallahu alaihi wa sallam, “Atau Allah akan menyelisihkan antara hati-hati kalian”. Sesungguhnya ancaman yang semisal ini tidak akan dikemukakan untuk sesuatu yang tidak wajib. [7]
2). Bahwa meluruskan (shaff) sebagaimana yang telah disebutkan itu hanyalah dengan cara menempelkan bahu dengan bahu dan sisi kaki dengan kaki. Karena inilah yang diamalkan oleh para Shahabat radliyallahu anhum ketika mereka diperintahkan untuk menegakkan shaff-shaff.
Sangat disayangkan bahwa sunnah meluruskan shaff ini dianggap sepele oleh kaum muslimin bahkan mereka telah menyia-nyiakannya kecuali sedikit orang di antara mereka. Aku tidak melihat sekelompok orangpun dari mereka (yang melakukannya) kecuali ahli hadits. Aku pernah melihat mereka di Mekkah (tahun 1368 H) sangat berpegang teguh  dengan sunnah tersebut dan sunnah-sunnah Nabi alaihish sholatu was salam lainnya.
3). Di dalam hadits pertama terdapat mukjijat yang jelas bagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu Beliau dapat melihat ke arah belakang. Tetapi sepatutnya diketahui bahwasanya hal ini khusus keadaan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dalam sholat. Karena tidak datang sedikitpun di dalam sunnah (hadits) bahwasanya Beliau dapat melihat seperti itu di luar sholat. Wallahu a’lam.
4). Di dalam dua hadits tersebut terdapat dalil yang jelas akan suatu perkara yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, meskipun telah dikenal dalam ilmu jiwa. Yaitu bahwasanya rusaknya lahiriyah itu akan berpengaruh pada rusaknya batiniyah dan begitu pula sebaliknya.
5). Bahwa imam memulai (sholat) pada waktu takbiratul ihram ketika muadzin mengucapkan ‘qod qoomatish sholah” adalah perbuatan bid’ah karena menyelisihi sunnah yang shahih sebagaimana telah ditunjukkan oleh dua hadits di atas, terlebih-lebih hadits yang pertama. Kedua hadits itu memberi faidah bahwa imam setelah dikumandangkannya iqomat sholat, wajib baginya untuk menegakkannya yaitu memerintahkan manusia untuk meluruskan shaff dan mengingatkan mereka dengannya.

Jadi dalil-dalil dan penjelasannya di atas memerintahkan setiap muslim untuk meluruskan dan merapatkan shaff-shaff mereka di dalam sholat. Merapatkannya itu adalah dengan cara menempelkan bahunya dengan bahu kawan di sebelahnya, lututnya dengan lutut kawannya dan (mata) kakinya dengan (mata) kaki kawannya tersebut. Bahkan al-Imam al-Bukhoriy rahimahullah membuat bab tersendiri akan hal tersebut yaitu,

      باب إلْزَاقِ اْلمـَنْكِبِ بِاْلمـَنْكِبِ وَ اْلقَدَمِ بِاْلقَدَمِ
          
 “Bab, tentang menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki”. [8]

Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Meluruskan shaff itu dengan menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki”. [9]

Dari an-Nu’man bin Basyir radliyallahu anhu bercerita bahwasanya ia pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

“Hendaknya kalian meluruskan shaff-shaff kalian atau Allah (ta’ala) akan membuat kalian berselisih (yakni menanamkan permusuhan) di antara kalian”. [HR al-Bukhoriy: 717, Muslim: 436, Abu Dawud: 663, an-Nasa’iy: II/ 89 dan Ibnu Majah: 994. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy]. [10]

Dari Abu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam meluruskan pundak-pundak kami ketika hendak mengerjakan sholat (secara berjamaah) dan bersabda,

اسْتَوُوْا وَ لاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفَ قُلُوْبُكُمْ

“Luruskan (shaff-shaff kalian) dan janganlah berselisih yang akan menyebabkan hati-hati kalian juga berselisih”. [HR Muslim: 432. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[11]

Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu berkata, bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاة

“Luruskan shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya lurusnya shaff-shaff itu termasuk dari kesempurnaan sholat”. [HR al-Bukhoriy: 723, Muslim: 433, Abu Dawud: 668, Ibnu Majah: 993 dan Ahmad: II/ 177. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [12]

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَقِيْمُوا الصَّفَّ فِى الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصًّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ

“Luruskan shaff dalam sholat, karena sesungguhnya lurusnya shaff itu termasuk dari kebaikan sholat”. [HR al-Bukhoriy: 722 dan Muslim: 435].

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rosulullah Shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

أَقِيْمُوا الصُّفُوْفَ وَ حَاذُوْا بَيْنَ اْلمـَنَاكِبِ وَ سُدُّوا اْلخَلَلَ وِ لِيْنُوْا بِأَيْدِى إِخْوَانِكُمْ وَ لَا تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَ مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَ مَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ

“Tegakkan shaff-shaff, sejajarkan pundak-pundak, tutuplah celah-celah, lunakkanlah (bahu kalian) di antara tangan-tangan saudara kalian dan janganlah engkau membiarkan celah-celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaff maka Allah akan menyambung (rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskan shaff maka Allah juga akan memutuskan (rahmat-Nya)”. [HR Abu Dawud: 666. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [13]

Demikian sebahagian dalil-dalil hadits yang menjelaskan tentang perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaff. Yakni dengan meluruskan shaff dari ujung kanan ke arah ujung kiri, dengan arah yang lurus dan tidak melengkung, jika dilihat seakan-akan seperti anak panah. Hal tersebut dapat terwujud jika kaum muslimin yang hendak sholat berjamaah tersebut berusaha untuk merapatkan shaff dengan cara menempelkan bahu dengan bahu kawan sebelahnya, lutut dengan lutut kawannya dan mata kaki dengan mata kaki kawannya. Menutup celah dan tidak membiarkan setan masuk melalui celah-celah itu untuk menimbulkan rasa was-was kepada mereka dan membuat hati mereka berselisih.

Sehingga jika di dalam sholat dijumpai ada celah kosong hendaklah seseorang yang berada di dekatnya untuk segera menutup celah tersebut dengan cara maju ke depan, bergeser ke kiri atau ke kanan tergantung adanya celah atau tempat yang kosong.

Berkata asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhohullah, [14] “Terdapa keutamaan berjalan untuk menutup celah (kosong) meskipun orang tersebut dalam keadaan sholat. Barangsiapa ada yang melihat celah di antara para makmum hendaklah ia maju selangkah untuk menutupi/ mengisinya jika celah tersebut berada di depannya. Apabila tidak ada seseorangpun yang maju maka hendaklah segera menutupinya orang yang berada disebelah celah tersebut dengan cara berjalan/ bergeser ke arah kiri jika ia kebetulan berdiri di sebelah kanan imam. Atau bergeser ke arah kanan jika ia kebetulan berdiri di sebelah kiri imam. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini,

Dari Anas radliyallahu anhu bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

رُصُّوْا صُفُوْفَكُمْ وَ قَارِبُوْا بَيْنَهَا وَ حَاذُوْا بِاْلأَعْنَاقِ فَوَ الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا اْلحَذَفُ

“Rapatkanlah shaff-shaff kalian, mendekatlah di antaranya dan sejajarkan bahu-bahu. Demi Dzat yang jiwaku ada pada tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk melalui celah-celah shaff seakan-akan ia seekor anak kambing berwarna hitam”. [HR Abu Dawud: 667, an-Nasa’iy: II/ 92, Ahmad: III/ 260, 283, Ibnu Khuzaimah: 1545 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [15]

Dari Aisyah radliyallahu anha berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,

مَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً وَ بَنَى لَهُ بَيْتُا فِى اْلجَنَّةِ

“Barangsiapa yang mengisi celah (di dalam sholat) maka Allah akan mengangkatnya satu derajat dan akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath, Ibnu Majah: 995 dan Ahmad: VI/ 89. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [16]

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin dalam membina hubungan agar tidak terjadi perselisihan atau meminimalkannya di antara mereka.

Wallahu a’lam bish showab.

[1] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 784 Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1193, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 31 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 498.
[2] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 39 dan Fat-h al-Bariy: II/ 211. .
[3] al-Qoul al-Mubin fi akhto’ al-Mushollin susunan asy-Syaikh Masyhur Hasan Salman halaman 207.
[4] al-Qoul al-Mubin fi akhto’ al-Mushollin halaman 207.
[5] Shahih Sunan Abu Dawud: 616, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 119,1 Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 32 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 512.
[6] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: I/ 40-41 dan al-Qoul al-Mubin fi akhto’ al-Mushollin halaman 208-209.
[7] Di dalam bukunya yang lain asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah berkata, “Yang benar bahwa menutup celah (dalam shaff) adalah wajib selama memungkinkan. Tetapi jika tidak, maka ia (boleh) berdiri sendirian sebagaimana telah berlalu (penjelasannya). Wallahu a’lam. [Silsilah al-Ahadits adl-Dla’ifah wa al-Maudlu’ah: II/ 323.
[8] Fat-h al-Bariy: II/ 211 bab ke 76.
[9] Bahjah an-Nazhirin: II/ 284.
[10] Shahih Sunan Abu Dawud: 617, Shahih Sunan Ibnu Majah: 813, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 780, Shahih al-Jami’ ash-Shahih: 5070, 5072 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 512.
[11] Mukhtashor Shahih Muslim: 267, Shahih al-Jami’ ash-Shahih: 961 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 511.
[12] Shahih Sunan Abu Dawud: 622, Shahih Sunan Ibnu Majah: 812 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3647.
[13] Shahih Sunan Abu Dawud: 620, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1187, Misykah al-Mashobih: 1091, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 743 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 495.
[14] al-Qoul al-Mubin fi akhto’ al-Mushollin halaman 212.
[15] Shahih Sunan Abu Dawud: 673, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 785 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3505.
[16] Shahih Sunan Ibnu Majah: 814, al-Jami’ ash-Shaghir: Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1892 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 501, 505.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar