LARANGAN MENYAMPAIKAN HADITS LEMAH/ PALSU
بسم الله الرحمن الرحيــم
Hal ini, mungkin karena kebodohan mereka tentang suatu hadits dan bahayanya menyampaikan hadits lemah/ palsu, rasa malas yang menghimpit mereka untuk membuka buku-buku yang berkenaan dengan hadits-hadits tersebut atau karena mereka memang suka memudah-mudahkan diri di dalam mempelajari dan menerangkan perkara-perkara agama mereka?.
Simaklah perkataan al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, "Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudlu' (palsu) bagi yang telah mengetahuinya atau berat persangkaannya hadits itu maudlu'. Barangsiapa meriwayatkan hadits sedangkan ia tahu atau berat persangkaanya bahwa hadits itu maudlu' tanpa menjelaskan kedudukan hadits tersebut, maka ia termasuk dalam ancaman di atas (maksudnya di dalam hadits-hadits yang akan disebutkan nanti, penulis) dan tergolong dari orang-orang yang berdusta atas nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam". [Syar-h Shahih Muslim al-Imam an-Nawawiy: I/ 71-72].
Juga telah berkata Abu Syamah rahimahullah (lihat Tamam al-Minnah halaman 32), “Perbuatan para ulama yang membawakan hadits-hadits dla’if ini, menurut para muhaqqiq (ahli) hadits, ulama ushul dan pakar Fikih adalah SUATU KEKELIRUAN. Bahkan mereka wajib menjelaskan perkara tersebut jika mampu. Jika tidak, mereka akan terkena ancaman RosulullahShallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits berikut,
عن سمرة قال: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ حَدَّثَ عَنىِّ بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ
كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ اْلكَاذِبِيْنَ
1). Dari Samurah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menyampaikan suatu hadits dariku padahal ia mengetahui bahwasanya ia berdusta maka dia adalah salah seorang pendusta”. [HR Muslim, at-Turmudziy: 2664 dan Ahmad: V/ 19. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6199 dan Mukhtashor Shahih Muslim: 1863].
عن سلمة بن الأكوع قال: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَاَ لَمْ
أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
عن أبي هريرة قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ
أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
عن أبى قتادة قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و
سلم يَقُوْلُ عَلىَ اْلمِـنْبَرِ : إِيَّاكُمْ وَ كَثْرَةَ اْلحَدِيْثِ
عَنىِّ فَمَنْ قَالَ عَلَيَّ فَلْيَقُلْ حَقًّا أَوْ صِدْقًا وَ مَنْ
تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
4). Dari Abu Qotadah berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar, “Waspadalah kalian dari banyak menyampaikan hadits dariku. Barangsiapa yang hendak berkata maka berkatalah yang benar atau yang hak. Dan barangsiapa yang berucap atas namaku yang TIDAK pernah aku ucapkan maka siapkan tempatnya di neraka”. [HR Ibnu Majah: 35, Ahmad: V/ 297 dan ad-Darimiy: I/ 77. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2684 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1753].
عن المغيرة قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ
لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلىَ أَحَدٍ فَمَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Berkata al-Imam al-Baghowiy rahimahullah, "Ketahuilah, bahwa berdusta atas nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu merupakan kebohongan yang paling besar setelah kebohongan orang-orang kafir terhadap Allah Subhanahu wa ta'ala". [Syar-hu as-Sunnah: I/ 255-256].
Adapun hadits,
مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
6). “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka siapkan tempatnya itu di neraka”.
Hadits ini adalah mutawatir (yakni hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu shahabat). [HR al-Bukhoriy: 107 dari Zubair, 110, 7197 dari Abu Hurairah, Muslim: 3, at-Turmudziy: 2257, 2659 dari Ibnu Mas’ud, 2661 dari Anas, 2669 dari Ibnu Amr, Ibnu Majah: 30 dari Ibnu Mas’ud, 32 dari Anas, 33 dari Jabir, 36 dari Zubair, 37 dari Abu Sa’id, Abu Dawud: 3651 dari Zubair, dan Ahmad: II/ 159, 171, 214 dari Ibnu Amr, IV/ 47 dari Salamah bin al-Akwa’, I/ 389, 401, 402, 405, 436 dari Ibnu Mas’ud, II/ 410, 413, 469, 519 dari Abu Hurairah, III/ 39, 44, 56 dari Abu Sa’id, III/ 98, 113, 116, 166, 173, 176, 203, 223, 278, 279, 280 dari Anas. [Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6519].
عن علي يقول: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَكْذِبُوْا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
7). Dari Ali berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena barangsiapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia masuk neraka”. [HR al-Bukhoriy: 106, Muslim: 1, at-Turmudziy: 2660, Ibnu Majah: 31 dan Ahmad: I/ 83. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sebagaimana di dalam shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7437 dan Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: 71].
عن ابن عمر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَيَّ يُبْنىَ لَهُ بَيْتٌ فىِ النَّارِ
عن أبي هريرة قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كَفَى بِالْمَـرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
9). Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Cukuplah seseorang itu berdosa bahwa ia menceritakan semua yang ia dengar”. [HR Muslim: 5 dan Abu Dawud: 4992. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4482 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2025].
Berkata al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwasanya hadits atau riwayat tersebut adalah shahih. [Kitab Majruhiin minal Muhadditsin: I/ 16-17 oleh al-Imam Ibnu Hibban, tahqiq Hamdi Abdul Majid as-Salafi].
عن أبي هريرة عَن رَسُوْلِ اللهِ
صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: سَيَكُوْنُ فىِ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ
مِنْ أُمَّتىِ يُحَدِّثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَ لاَ
آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَ إِيَّاهُمْ
10). Dari Abu Hurairah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umatku di akhir zaman yang menceritakan (hadits) kepada kalian yang tidak pernah didengar oleh kalian dan bapak-bapak kalian. Waspadalah kalian terhadap mereka”. [HR Muslim: 6. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih sebagaimana di dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3667].
Wahai saudara-saudara muslimku, berdasarkan beberapa riwayat hadits di atas, dapat dipahami bahwa,
1]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa sepeninggalnya nanti akan ada orang-orang yang suka berkata atas nama Beliau padahal Beliau saw sendiri tidak pernah mengatakannya.
Maka tak heran di masa sekarang ini banyak diantara umat yang mengaku-ngaku ustadz/ah, dai/ah, aa/ mamah dan yang semisalnya yang gemar mengatakan, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda/ berkata/ menyuruh/ melarang/ menganjurkan/ menyontohkan, melakukan ini dan itu, dan sebagainya”, padahal tidak ada satupun dalil hadits yang menjadi rujukannya. Kalau toh ada, hadits itu ternyata (di dalam ilmu hadits) dikategorikan sebagai hadits dlo’if (lemah) atau maudlu” (palsu).
2]. Ada perintah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar waspada dari banyak menyampaikan hadits dari Beliau.
Artinya setiap muslim ketika akan menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah ia berusaha mencari tahu dulu (dari para ahli hadits) akan derajat hadits tersebut apakah termasuk hadits shahih atau tidak. Maksudnya hadits itu benar-benar dari Beliau atau hanya mengada-ada??
Mengapa???.
Jika nama kita saja dicatut oleh seseorang untuk keuntungan diri dan kelompoknya, tentu kita akan marah dan bahkan kalau perlu akan menuntutnya ke meja hijau. Lalu bagaimana jika nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dicatut. Tidakkah kita marah..??
Lalu kenapa kepada para ahli hadits??? Kalau kita ingin memperbaiki apa yang ada pada kita saja kita harus datang kepada orang yang memang ahlinya. Mobil/ motor rusak, kita akan datang pada montir, rumah/ bangunan rusak, kita akan datang pada ahli bangunan, kita/ diantara keluarga kita ada yang sakit maka kita akan datang pada dokter spesialis, begitu seterusnya. Tiap-tiap sesuatu itu harus kepada ahlinya. Jadi untuk mengetahui akan keshahihan suatu hadits, ya tentu kita harus datang kepada ahlinya yaitu ahli hadits..
Sebagai umat yang berpendidikan dan berakhlak mulia, maka kita harus profesialisme yaitu mengembalikan sesuatu perkara itu kepada ahli/ profesinya. Kita tentu akan menghargai orang yang bekerja dan berbicara sesuai dengan keahliannya.
3]. Seseorang dikatakan berdusta jika ia selalu berbicara atau menyampaikan segala sesuatu yang didengar.
Di masa sekarang ini, banyak dari kaum muslimin yang suka menyampaikan ucapan-ucapan yang dianggap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, padahal ia cuma dengar-dengar saja dari ustadz fulan dan fulan. Ia tidak mau tahu atau memang enggan mencari tahu akan keberadaan hadits tersebut. Coba jika ia bertanya kepada sang ustadz yang menyampaikan hadits tersebut akan keberadaan dan derajatnya tentu itu lebih baik untuk menguatkan keyakinannya. Sehingga ia dapat kembali menyampaikan hadits tersebut kepada keluarga atau kawannya dengan tenang tanpa keraguan.
Sebab bila ia gemar menyampaikan sesuatu yang ia dengar (tanpa mau mengetahui sumbernya) maka ia dicap oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang “pendusta”.
4]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengancam setiap orang yang berkata atas namanya padahal Beliau tidak pernah mengatakannya dengan mendapatkan tempat/ rumah di NERAKA. Apalagi dengan sengaja ia berdusta atas nama Beliau saw.
Maksudnya jika ada orang yang karena kebodohannya berkata tentang sesuatu pada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apakah berupa ucapan ataupun perbuatan (hadits). Padahal perkataannya (yang dikutipnya) itu bukan sabda/ perbuatan Beliau karena hadits tersebut adalah hadits lemah atau palsu maka ia kelak akan masuk ke dalam neraka.
Maka bagaimana dengan orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu ia tahu hadits itu lemah/ palsu tetapi ia tetap menyampaikannya dan mengatakan kepada umat Islam sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
5]. Banyak mudlarat yang dapat ditimbulkan oleh hadits lemah dan palsu itu. Diantaranya; berbohong atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, menyebabkan terjadinya banyak tambahan dalam agama, khususnya di dalam perkara-perkara bid’ah, menyebabkan banyaknya terjadi perselisihan, perpecahan, pertikaian dan permusuhan dalam agama padahal Islam telah menganjurkan persatuan dan perdamaian, banyak di antara umat Islam yang lebih mengenal dan menghafal hadits-hadits lemah dan palsu daripada hadits-hadits shahih dan ayat-ayat alqur’an dan masih banyak lainnya.
6]. Terdapat larangan dari menyampaikan hadits lemah/ palsu. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kemurnian agama dari campur tangan manusia di dalam menegakkan Islam. Sebab diantara keberadaannya hadits lemah dan palsu itu dikarenakan campur tangan manusia yang lemah agamanya untuk membela keyakinannya yang keliru, fanatik golongan, ingin dekat dengan para penguasa di saat itu, sengaja merusak Islam dan sebagainya. Jika setiap orang apalagi para ustadz itu dapat dengan bebasnya menyampaikan sesuatu perkara agama sesuai dengan akal logika atau hawa nafsunya tanpa dalil yang menyertainya niscaya agama kita akan rusak sebagaimana telah rusaknya agama-agama terdahulu. Kalau toh berdalil, sayangnya dalil hadits-hadits itu juga dalam keadaan cacat lantaran dikategorikan sebagai hadits lemah atau palsu. Na’udzu billah….
Wahai saudaraku, marilah kita muliakan Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan cara membaca, mempelajari, memahami, menghafal, mengamalkan dan menyebarluaskan hadits-haditsnya yang telah tsabit dari Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Milikilah buku-buku hadits dan yang berkenaan dengannya sebagaimana kita mempunyai kitab suci alqur’an. Jangan hanya mendengar tanpa mau mengetahui sumber haditsnya dan jangan cuma menyampaikan tanpa mau menyebutkan asal dan derajat haditsnya…
Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan lain bagi kita dari sisi lain yang selama ini kita pahami dan yakini. Karena terkadang kita tidak akan melihat keberadaan kita di posisi yang mana, apakah di posisi yang salah atau benar?, jika kita tidak melihat kedudukan lainnya dan bersikap obyektif di dalam menilai kebenaran yang hakiki.
Wallahu 'alam.