السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Senin, 03 Juni 2013

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

ULAMA AHLI TAUHID
 بسم الله الرحمن الرحيم

Tak kenal maka tak sayang. Itu adalah ungkapan yang paling tepat di dalam menjelaskan kiprah dan biografi tokoh fenomenal ini. Sebab banyak di kalangan umat Islam sendiri yang karena ketidaktahuannya akan asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab rahimahullah, mereka tidak menyukainya, memusuhinya dan menghujat dengan berbagai tuduhan yang tidak pada tempatnya.

Untuk mereka ketahui, bahwa kaum kuffar, liberal, para penguasa yang khawatir kedudukannya terancam, para penyembah kubur, ahli bid’ah dan sejenisnya adalah orang-orang yang menjadi musuh utamanya dalam menentang dakwah dan perjuangan asy-Syaikh. Mereka menuduh dan merekayasa berbagai kata, kalimat ataupun julukan kepada manusia, khususnya kaum muslimin untuk menjauh, menghindar dan membenci asy-Syaikh, dakwahnya dan para pengikutnya. Mereka melakukan pembunuhan karakter asy-Syaikh sebagaimana orang-orang kafir terdahulu dan sekarang juga telah berusaha membunuh karakter Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, para shahabat radliyallahu anhum dan kaum muslimin yang meniti jejak mereka dengan benar.

Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1206 H/ 1701-1793 M) adalah seorang ulama ahli teologi/ tauhid agama Islam dan seorang tokoh pembaharu dan pemimpin gerakan yang pernah menjabat sebagai seorang Mufti Daulah Su’udiyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Beliau adalah tokoh yang paling berpengaruh di dalam membentuk Kerajaan Arab Saudi. 

Para pendukung pergerakan ini sering disebut sebagai Wahhabiy, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiy atau Muwahhidun yang berarti ‘orang-orang yang mentauhidkan/ mengesakan Allah’.

Genealogi/ Nasab (silsilah beliau)

Beliau adalah asy-Syaikh Muhammad bin ʿAbdul Wahhab rahimahullah memiliki nama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini diperoleh silsilah keluarganya. Beliau dilahirkan pada tahun 1115 H -bertepatan dengan 1701 M- di negeri Uyainah, Najed daerah yang terletak di utara kota Riyadh, dimana keluarganya tinggal.

Beliau tumbuh di rumah ilmu di bawah asuhan ayahanda beliau yaitu Abdul Wahhab yang menjabat sebagai hakim di masa pemerintahan Abdullah bin Muhammad bin Hamd bin Ma’mar. Kakek beliau, yakni asy-Syaikh Sulaiman adalah tokoh mufti yang menjadi referensi para ulama. Sementara seluruh paman-paman beliau sendiri juga ulama.

Beliau dididik ayah dan paman-pamannya semenjak kecil. Beliau telah menghafalkan alqur’an sebelum mencapai usia 10 tahun di hadapan ayahnya. Beliau juga memperdengarkan bacaan kitab-kitab tafsir dan hadits, sehingga beliau unggul di bidang keilmuan dalam usia yang masih sangat dini. Disamping itu, beliau sangat fasih lisannya dan cepat dalam menulis. Ayahnya dan para ulama disekitarnya amat kagum dengan kecerdasan dan keunggulannya. Mereka biasa berdiskusi dengan beliau dalam permasalahan-permasalah ilmiyah, sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari diskusi tersebut. Mereka mengakui keutamaan dan kelebihan yang ada pada diri beliau. Namun beliau tidaklah merasa cikup dengan kadar ilmu yang sedemikian ini, sekalipun pada diri beliau telah terkumpul sekian kebaikan. Beliau justru tidak pernah merasa puas terhadap ilmu.

Rihlah beliau dalam menuntut ilmu

Beliau tinggalkan keluarga dan negerinya untuk berhaji. Seusai haji, beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah dan menimba ilmu dari para ulama’ di negeri itu. Di antara guru beliau di Madinah adalah,

* Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif dari Alu (keluarga) Saif an-Najdiy. Beliau adalah imam bidang fiqih dan ushul fiqih.
* Asy-Syaikh Ibrahim bin Abdillah putra asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, penulis kitab al-Adzbul Faidh Syar-h Alfiyyah al-Faraidh.
* Asy-Syaikh Muhaddits Muhammad bin Hayah as-Sindiy dan beliau mendapatkan ijazah dalam periwayatannya dari kitab-kitab hadits.

Kemudian beliau kembali ke negerinya. Tidak cukup ini saja, beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke negeri al-Ahsa’ di sebelah timur Najd. Disana banyak ulama mahdzab Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar pada mereka khususnya kepada para ulama mahdzab Hambali. Di antaranya adalah Muhammad bin Fairuz, beliau belajar fiqih kepada mereka dan juga belajar kepada Abdullah bin Abdul Lathif al- Ahsa’i.

Tidak cukup sampai disitu, Bahkan beliau menuju ke Iraq, khususnya Bashrah yang pada waktu itu dihuni oleh para ulama ahlul hadits dan ahlul fiqih. Beliau menimba ilmu dari mereka, khususnya asy-Syaikh Muhammad al-Majmu’iy, dan selainnya. Setiap kali pindah maka beliau mendapatkan buku-buku Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim muridnya, beliau segera menyalinnya dengan pena. Beliau menyalin banyak buku di al-Ahsa’ dan Bashrah, sehingga terkumpullah kitab-kitab beliau dalam jumlah yang besar.

Selanjutnya beliau bertekad menuju negeri Syam, karena di sana ketika itu terdapat ahlul ilmi dan ahlul hadits khususnya dari madzhab Hambali. Namun setelah menempuh perjalanan ke sana, terasa oleh beliau perjalanan yang sangat berat. Beliau ditimpa lapar dan kehausan, bahkan hampir beliau meninggal dunia di perjalanan. Maka beliaupun kembali ke Bashrah dan tidak melanjutkan rihlahnya ke negeri Syam.

Selanjutnya beliau bertolak ke Najd setelah berbekal ilmu dan memperoleh sejumlah besar kitab, selain kitab-kitab yang ada pada keluarga dan penduduk negeri beliau. Setelah itu beliau pun berdakwah mengadakan perbaikan dan menyebarkan ilmu yag bermanfaat serta tidak ridha dengan berdiam diri membiarkan manusia dalam kesesatan.

Dakwah Beliau

Kondisi keilmuan dan keagamaan manusia waktu itu benar-benar dalam keterpurukan yang nyata, hanyut dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Sehingga khurafat, peribadatan kepada kuburan mayat dan pepohonan merajalela. Sedangkan para ulamanya sama sekali tidak mempunyai perhatian terhadap aqidah salaf dan hanya mementingkan masalah-masalah fiqih. Bahkan diantara mereka justru memberikan dukungan kepada pelaku kesesatan-kesesatan tersebut.

Adapun dari segi politik, mereka tepecah belah, tidak memiliki pemerintahan yang menyatukan mereka. Bahkan setiap kampung mempunyai amir (penguasa) sendiri. ‘Uyainah mempunyai penguasa sendiri, begitu pula Dir’iyyah, Riyadh, dan daerah-daerah lainnya. Sehingga pertempuran, perampokan, pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan pun terjadi diantara mereka.

Melihat kondisi yang demikian mengenaskan bangkitlah ghirah (kecemburuan) beliau terhadap agama Allah Subhanahu wa ta’ala juga rasa kasih sayang beliau terhadap kaum muslimin. Mulailah beliau berdakwah menyeru manusia ke jalan Allah Subhanahu wa ta’ala, mengajarkan tauhid, membasmi syirik, khurafat dan bid’ah-bid’ah serta menanamkan manhaj Salafush Shalih. Sehingga berkerumunlah murid-murid beliau baik dari Dir’iyyah maupun ‘Uyainah.

Selanjutnya beliau mendakwahi amir ‘Uyainah. Pada awalnya sang amir menyambit baik dakwah tauhid ini dan membelanya. Sampai-sampai ia menghancurkan kubah Zaid bin al-Khaththab yang menjadi tempat kesyirikan atas permintaan asy-Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab. Namun karena adanya tekanan dari amir al-Ahsa’ akhirnya amir ‘Uyainah pun menghendaki agar asy-Syaikh keluar dari ‘Uyainah. Maka berangkatlah beliau menuju ke Dir’iyyah tanpa membawa sesuatupun kecuali sebuah kipas tangan guna melindungi wajahnya. Beliau terus berjalan di tengah hari seraya membaca,

وَ مَن يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَهُ مَخْرَجًا وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah pasti Allah memberinya jalan keluar dan rizki dari arah yang tiada disangka-sangka”. [QS ath-Thalaq/ 65: 2-3].

Beliau terus mengulang-ulang ayat tersebut sampai tiba di tempat murid terbaiknya yang bernama Ibnu Suwailim yang ketika itu merasa takut dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan juga syaikhnya karena penduduk negeri itu telah saling memperingatkan untuk berhati-hati dengan asy-Syaikh. Maka beliaupun menenangkannya dengan mengatakan, “Jangan berpikir yang bukan-bukan, selamanya. Bertawakkallah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Niscaya Dia akan menolong orang-orang yang membela agamanya.”

Berita kedatangan asy-Syaikh diketahui seorang wanita shalihah, istri amir Dir’iyyah, Muhammad bin Su’ud. Dia lalu menawarkan kepada suaminya agar membela syaikh ini karena beliau adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang dikaruniakan kepadanya, maka hendaklah dia bersegera menyambutnya. Sang istri berusaha menenangkan dan membangkitkan rasa cinta pada diri suaminya terhadap dakwah dan terhadap seorang ulama. Maka sang amir mengatakan, “(Tunggu) beliau datang kepadaku”. Istrinya menimpali “Justru pergilah anda kepadanya, karena jika anda mengirim utusan dan mengatakan ‘datanglah kepadaku’, bisa jadi manusia akan mengatakan bahwa amir meminta beliau untuk datang ditangkap. Namun jika anda sendiri yang mendatanginya, maka itu merupakan suatu kehormatan bagi beliau dan bagi anda.”

Sang amir akhirnya mendatangi asy-Syaikh, mengucapkan salam dan menanyakan perihal kedatangannya. Asy-Syaikh Rahimahullah menerangkan bahwa tidak lain beliau hanya mengemban dakwah para Rasul yakni menyeru kepada kalimat tauhid LAA ILAHA ILLALLAH. Beliau menjelaskan maknanya, dan beliau jelaskan pula bahwa itulah akidah para Rasul. Sang amir mengatakan, “Bergembiralah dengan pembelaan dan dukungan”. Asy-Syaikh rahimahullah menimpali, “Berbahagialah dengan kemuliaan dan kekokohan. Karena barangsiapa menegakkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH ini, pasti Allah akan memberikan kekokohan kepadanya.” Sang amir menjawab, “Tapi saya punya satu syarat kepada anda.” Beliau bertanya, “Apa itu?” Sang amir menjawab, “Anda membiarkanku dan apa yang aku ambil dari manusia.” Jawab asy-Syaikh rahimahullah, “Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kecukupan kepada anda dari semua ini, dan membukakan pintu-pintu rizki dari sisi-Nya untuk anda.” Kemudian keduanya berpisah atas kesepakatan ini. Mulailah asy-Syaikh berdakwah dan sang amir melindungi dan membelanya, sehingga para Thalabul Ilmi (penuntut ilmu) berduyun-duyun datang ke Dir’iyyah. Semenjak itu beliau menjadi imam sholat, mufti dan juga qadhi. Maka terbentuklah pemerintahan tauhid di Dir’iyyah.

Kemudian asy-Syaikh mengirim risalah ke negeri-negeri sekitarnya, menyeru mereka kepada akidah tauhid, meninggalkan bid’ah dan khurafat. Sebagian mereka menerima dan sebagian lagi menolak serta menghalangi dakwah beliau, sehingga merekapun diperangi oleh tentara tauhid dibawah komando amir Muhammad bin Su’ud dengan bimbingan dari beliau rahimahullah. Hal itu menjadi sebab meluasnya dakwah tauhid di daerah Najd dan sekitarnya. Bahkan amir ‘Uyainah pun kini masuk di bawah kekuasaan Ibnu Su’ud, begitu pula Riyadh, dan terus meluas ke daerah Kharaj, ke utara dan selatan. Di bagian utara sampai ke perbatasan Syam, di bagian selatan sampai di perbatasan Yaman, dan di bagian timur dari Laut Merah hingga Teluk Arab. Seluruhnya dibawah kekuasaan Dir’iyyah, baik daerah kota maupun gurunnya.

Allah Subhanahu wa ta’ala melimpahkan kebaikan, rizki, kecukupan, dan kekayaan kepada penduduk Dir’iyyah. Maka berdirilan pusat perdagangan di sana, dan bersinarah negeri tersebut dengan ilmu dan kekuasaan sebagai berkah dari dakwah salafiyah yang merupakan dakwah para Rasul.

Sanjungan para ulama terhadap beliau

Para ulama betul-betul mengenal Imam ini dan memberikan pujian kepadanya, bahkan mereka sampai menulis biografi tentangnya. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Husain bin Ghanam. Beliau banyak menulis tentang Asy-Syaikh, memujinya dan menyebutkan kisah perjalanan hidupnya dalam kitab Raudhatul Anzhar wal Afham.

Di antara mereka juga asy-Syaikh Utsman bin Bisyr, yang memujinya dalam kitab ‘Unwan al-Majdi fi Tarikhi Majdin, dan asy-Syaikh Mas’ud an-Nadqi menulis tentang beliau dalam kitab yang diberi judul al-Mushlih al-Mazhlum.

Di antara yang memuji beliau juga orang alimnya Yaman yaitu Muhammad bin Isma’il Al-Amir ash-Shan’ani dalam sebuah qoshidah panjang yang awalnya,

“Salam bagi Najd dan orang yang tinggal di Najd
Meskipun salamku dari kejauhan ini tiada berguna
Sungguh aku telah mendatangkan siraman kehidupan dari kaki bukit Shan’a
Dia didik dan dia hidupkan dengan tertawanya guntur
Aku berjalan seperti orang yang digerakkan mencari angin, jika kuberjalan
Wahai putera Najd kapan engkau akan beranjak dari Najd
Perjalananmu dan para penduduk Najd mengingatkanku akan Najd
Sungguh sepak terjangmu menjadikanku semakin cinta
Selamanya, dan bertanyalah kepadaku tentang seorang alim yang singgah di negeri Najd
Dengannya terpetunjuk orang yang dulunya sesat dari jalan yang lurus
Muhammad yang memberikan petunjuk kepada sunnah Ahmad
Alangkah indahnya yang memberi petunjuk dan alangkah indahnya yang diberi petunjuk.”

Sampai beliau berkata,

“Sungguh telah datang berita darinya bahwa dia
mengembalikan kepada kita syariat yang mulia
dengan apa yang ditampakkannya
Dan dia sebarkan secara terang-terangan apa
yang disembunyikan oleh setiap orang bodoh
Dan ahli bid’ah, sehingga sesuailah dengan apa yang aku punya
Dia dirikan tiang-tiang syari’at yang dulunya roboh
Monumen-monumen yang padanya manusia tersesat dari petunjuk
Dengannya mereka mengembalikan makna Suwa dan yang semisalnya
Yaghuts dan Wadd, betapa jelek Wadd itu
Sungguh mereka menyebut-nyebut namanya ketika terjadi kesusahan
Sebagaimana seorang yang terpepet memanggil Dzat
tempat bergantung lagi Maha Esa
Betapa banyak sembelihan yang mereka persembahkan di pelatarannya
disembelih untuk selain Allah secara terang-terangan disengaja
betapa banyak orang yang thawaf di sekitar kubur sambil mencium
dan mengusap pojok-pojoknya dengan tangan”

(Diwan ash-Shan’aniy, halaman 128-129)

Di antara ulama yang memuji beliau juga al-‘Allamah Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani tokoh hakim di wilayah Yaman sebagaimana dalam kitabnya al-Badru ath-Thali’ tentang biografi Ghalib bin Musa’id sang amir Mekkah. Beliau berkata dalam komentarnya terhadap sebagian risalah asy-Syaikh,

“Itu merupakan risalah-risalah yang bagus yang memuat dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah menunjukkan bahwa yang menjawabnya merupakan ulama peneliti yang benar-benar paham terhadap al-Kitab dan as-Sunnah.”

Kemudian beliau melantunkan sajak-sajak kesedihan setelah wafatnya syaikh.
Al-‘Allamah Ibnu Badran berkata tentang beliau dalam kitabnya al-Madkhal halaman 447,
“Seorang alim yang komitmen terhadap atsar dan imam yang besar, Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau melakukan rihlah untuk menuntut ilmu dan para ahli hadits di masanya memberikan ijazah kepada beliau untuk meriwayatkan kitab-kitab hadits dan yang lainnya. Ketika kantong penyimpanannya telah penuh dari atsar dan ilmu sunnah, serta menguasai mazhab Ahmad, beliau mulai membela al-haq dan memerangi bid’ah, serta menentang ajaran yang disusupkan oleh orang-orang bodoh ke dalam agama ini.”

Adapun ulama masa kini yang memberikan sanjungan kepada beliau di antaranya asy-Syaikh Bin Baz, asy-Syaikh al-Albaniy, asy-Syaikh Utsaimin dan asy-Syaikh al-Wadi’iy rahimahumullah.
Dan di sini disebutkan sebagian pujian asy-Syaikh al-Wadi’i terhadap asy-Syaikh al-Imam Syaikh al-Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah ditanya -sebagaimana dalam al-Mushara’ah hal. 400- tentang dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka beliau berkata,
“Adapun dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sungguh merupakan dakwah yang diberkahi. Dan jika engkau membaca kitab beliau Kitab at-Tauhid, maka engkau akan dapati beliau berdalil dengan alqur’an dan hadits nabi. Sama saja apakah dalam bab menggantungkan jimat-jimat dan rajah-rajah, bab berdoa kepada selain Allah, ataupun dalam bab peringatan keras dari membangun kubur. Engkau dapati beliau berdalil dengan ayat alqur’an atau hadits nabi, sungguh Allah telah memberikan manfaat kepada Islam dan muslimin dengan sebab dakwah beliau…”.

Sampai beliau berkata,
“Maksudnya bahwa dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin. Betapa banyak kaum muslimin yang Allah selamatkan dari kesesatan, bid’ah dan khurafat dengan sebab kitab-kitab beliau rahimahullah”.

Beliau berkata pada halaman 402,
“Siapa yang ingin mengetahui dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab maka aku nasehatkan untuk membaca Ad-Durar As-Saniyah sehingga seakan ia duduk mendampingi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Kami nasihatkan sebelumnya untuk membaca kitab-kitab beliau dan setelah itu kami nasihatkan agar membaca Ad-Durar As-Saniyyah agar engkau ketahui risalah-risalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Sungguh beliau adalah seorang yang melakukan perbaikan, tetapi banyak difitnah.”

Beliau berkata pada halaman 410,
“Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah imam yang memberi petunjuk”.
Juga pada hal 412 beliau ditanya tentang penyebutan kata Syaikh al-Islam bagi asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab apakah itu berlebihan atau memang berhak beliau menyandangnya? Maka beliau menjawab,
“Nampaknya beliau memang berhak menyandangnya. Sungguh Allah telah memberikan manfaat kebaikan yang banyak dengan sebab dakwahnya. Allah berkahi dakwahnya dan kaum muslimin mengambil manfaat darinya. Wallah al-Musta’an.

Guru-guru beliau

1). Ayah beliau sendiri asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman.
2). Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman, paman beliau.
3). Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, yaitu ayah asy-Syaikh Ibrahim bin Abdullah.[1] Pengarang kitab al-‘Adzbu al-Faidh fi ‘Ilmi al-Faraidh.
4).  Asy-Syaikh Muhammad Hayah bin Ibrahim as-Sindiy al-Madaniy.
5). Asy-Syaikh Muhammad al-Majmu’i al-Bashriy.
6). Asy-Syaikh Musnid Abdullah bin Salim al-Bashriy al-Makkiy asy-Syafi’iy.
7). Asy-Syaikh Abdul Lathif al-Afaliqi al-Ahsa’iy.
8). Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Ajluni Asy-Syafi’i.
9). Asy- Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq al-Hanafi ad-Daghistaniy. [2]
10). Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi.
11). Asy- Syaikh Muhammad al-Burhaniy.
12). Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakriy.
13). Dan lain-lain.

Murid-murid beliau

a. Al-Imam Abdul Aziz bin Su’ud.
b. Al-Amir Su’ud bin Abdul Aziz bin Sulaiman.
c. Putra-putra beliau sendiri, asy-Syaikh Husain, asy-Syaikh Ali, asy-Syaikh Abdullah dan asy-Syaikh Ibrahim.
d. Cucu beliau asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan, penulis kitab Fat-h al-Majid Syar-h Kitab at-Tauhid.
e. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir bin Ma’mar.
f. Asy-Syaikh Abdullah al-Hushain.
g. Asy-Syaikh Husain bin Ghannam.


Karya-karya beliau

Beliau mempunyai banyak karya tulis yang dengannya Allah berikan manfaat kepada alam islami, di antaranya,
1). Kitab at-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid.
2). Ushul al-Iman.
3). Kasyfu asy-Syubuhat.
4). Tsalatsat al-Ushul.
5). Qowaid al-‘Arba’ah.
6). Mufid al-Mustafid fi Kufri Tarik at-Tauhid.
7). Mukhtashor Fat-h al-Bariy.
8). Mukhtashor Zad al-Ma’ad.
9). Masa’il al-Jahiliyyah.
10). Fadhail ash-Sholah.
11). Kitab al-Istimbath.
12). Mukhtasar Sirah Rasul.
13). Risalah ar-Radd ‘ala ar-Rafidhah.
14). Majmu’ah al-Hadits dan sebagian besarnya telah tercetak dalam kumpulan karya-karya asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1398 H di Riyadh di bawah pengawasan Jami’ah al-Imam Muhammad bin Su’ud.

SIAPA PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABIY?

Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interestmenggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ‘ulama` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qadhiyani (yaitu Ahmadiyah) dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam[Lihat, Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhih Khatha’ Tarikhiy Haula`l Wahhabiyyah, Riyadh; Darul Habib; 2000; halaman 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qadhiyani, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di IndiaOleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhab mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai ‘Wahhabi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak ‘Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.**

Catatan

1). W.W. Hunter dalam bukunya yang berjudul The Indian Musalmans” mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhabi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa, “There is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their authority.”[“Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhabi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat dengan atas nama jihad untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”] Lihat: W.W. Hunter, “The Indian Musalmans”, cet.1 di London: Trűbner and Co., 1871; Calcuta: Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi: Rupa & Co., 2002 Reprint

2). Di Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhabi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafi-Ahlul Hadits, seperti asy-Syaikh Ja’far Tsanisari, asy-Syaikh Yahya ‘Ali (1828-1868), asy-Syaikh Ahmad ‘Abdullah (1808-1881), asy-Syaikh Nadzir Husain ad-Dihlawiy dan masih banyak lagi lainnya. Untuk bacaan lebih lanjut, silakan lihat,
  • Mu’inud-din Ahmad Khan, A History if The Fara’idi Movement in Bengal (Karachi: Pakistan Historical Society, 1965).
  • Barbara Daly Metrcalf, Islamic Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1982), hal. 26-77.
  • Qiyamud-din Ahmad (Professor Sejarah di Universitas Patna), The Wahhabi Movement in India (Ner Delhi: Manohar, 1994, 2nd edition). Terutama pada bab tujuh “The British Campaigns Againts the Wahhabis on the North-Western Frontier” dan bab kedelapan “State Trials of Wahhabi Leaders, 183-65.”
  • Muhammad Ja’far, Tarikh al-‘Ajib dan Tarikh al-‘Ajib – History of Port Blair (Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition).
Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan ‘Utsmaniyyah (Ottomans), Ibrahim Basya (Pasha), anak angkat Muhammad ‘Ali Basya (Pasha), juga menggunakan istilah ‘Wahhabi, Khowarij dan Bid’ah (Heretics)’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab dan Negara Saudi [Lihat: ibid, halaman 70]. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrahim Basya memberontak dan menyerang khilafah ‘Utsmaniyyah dan hampir saja menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nashir Tuwaim mengatakan,

Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah ‘Wahhabiyyah, Wahhabiy, Wahhabis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan (menisbatkan) istilah ini kepada gerakan dan pengikut asy-Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut asy-Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab tidak menyandarkan diri mereka kepada istilah ini.

1). Margoliouth sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah ‘Wahhabiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup ‘pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah ‘Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [D.S. Margoliouth, Wahabiya, halaman 618, 108. Artikel karya Margoliouth yang berjudul ‘Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 (New York: E.J. Brill, 1987 Reprint) vol.8, hal.1087 karya M.T. Houtsma, T.W. Arnold, R. Basset, R. Hartman, A.J. Wensinck, H.A.R. Gibb, W. Heffening dan E. Levi-Provençal (ed) dan The Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden and London: E.J. Brill and Luzac & Co., 1960), halaman 619 karya H.A.R Gibb, J.H. Kramers dan E. Levi-Provençal (ed). Artikel ini juga dicetak ulang dalam :
  • Reading, UK: Ithaca Press, 1974
  • Leiden: Brill, 1997
  • Dan cetakan pertama, Leiden and London: E.J. Bril and Luzac & Co., dan New York: Cornel University Press, 1953.]
2). Thomas Patrick Hughes menggambarkan “Wahhabiyyah” sebagai gerakan reformis Islam yang didirikan oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” (Muhammadans), malahan, mereka menyebutnya sebagai ‘Wahhabiy’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, halaman 59].

3). George Rentz mengatakan bahwa istilah ‘Wahhabiy’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa asy-Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan ‘Wahhabiy’ ini beranggapan bahwa asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ‘ad-Da’wah ila’t Tauhid’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah ‘Muwahhidun’… [George Rentz dan AS.J. Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East: Three Religion in Concord and Conflict, Vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), halaman 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah ‘Wahhabiy’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi.

[Lihat: Nâshir ibn Ibrahim ibn ‘Abdullâh Tuwaim, asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab: Hayatuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`ya al-Istisyraqiyya: Dirosah Naqdiyyah (Riyadh, Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003) halaman 86-87. Buku ini juga dapat dilihat secara online di http://islamport.com/d/3/amm/1/100/2213.html] .

Biar bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini, baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya,

1). Mereka menyebut dakwah Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb sebagai ‘Wahhabiyyah’,walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh ‘Abdul Wahhab, namun oleh puteranya Muhammad.

2). Pada awalnya, ‘Abdul Wahhab tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya.

Musuh-musuh dakwah (tauhid), tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, ‘Abdul Wahhab, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan.
Istilah ‘Wahhabiy’, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) yang tidak mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan seruan (dakwah) untuk berpegang alqur`an dan as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allah semata serta memerintahkan untuk mentaati semua perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah. [Lihat: Qodhi Ahmad ibn Hajar Alu Abuthami (al-Buthami), Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab : His Salafî Creed and Reformist Movement, halaman 66]. Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan terang, yang Allah mengutus semua Nabi-Nya ‘alaihim as-Salam untuknya (untuk dakwah tauhid ini).
Menggunakan istilah ‘Wahhabiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imam Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan alqur`an dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu.

Perlu dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhid adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap alqur`an dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan (tashfiyah) dan mendidik (tarbiyah) bahwa peribadatan hanya milik Allah ta’ala semata serta memberikan respek terhadap para sahabat nabî dan para ulama Islam. Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafi bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhabiy” ini digunakan untuk para pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang, menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhabiyyah”.

Imam Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab rahimahullah berdakwah menyeru kepada jalan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik.

Bukti kebohongan tuduhan Wahhabiy tehadap dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah

Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan akidah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.

Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.

Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul ats-Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’iy, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’iy jika beliau tidak mencintai para imam madzhab yang empat atau hanya berpegang dengan madzhab Hambaliy saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.

Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata, “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)

Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India asy-Syaikh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak asy-Syaikh Muahmmad Syukri al-Alusy.

Asy-Syaikh Muhammad Syukri al-Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya, “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.” (al-Alusy, Tarikh Nejd, halaman 40)

Begitu pula asy-Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata, “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah penamaannya dengan wahhabiy, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahhabiy, sekalipun keduanya saling bertentangan.” [Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum, halaman 165].

Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tanggal 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Akidah Kami”, “Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahhabiy, mereka menamakan madzhab kami wahhabiy, dengan anggapan sebagai madzhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut madzhab dan akidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, akidah kami adalah akidah salafush shalih, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafush shalih. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’iy , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” [al-Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, halaman 216].

Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahhabiy. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin madzhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai madzhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.

1). Untuk mata kuliah Aqidah; kitab “Syar-h al-Aqidah ath-Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz al-Hanafiy, “Fat-h al-Majid” karangan Abdurahman bin Hasan al-Hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “al-Ibanah“ karangan Imam Abu Hasan al-Asy’ariy, “al-Hujjah” karangan al-Ashfahany asy-Syafi’i, “asy-Syari’ah” karangan al-Ajurry, Kitab “at-Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “at-Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.

2). Untuk mata kuliyah Tafsir; Tafsir Ibnu Katsir asy-Syafi’iyTafsir asy-Syaukany. Ditambah sebagai penunjang; Tafsir ath-ThobaryTafsir al-Qurtuby al-MalikyTafsir al-Baghawy as-Syafi’iy, dan lainnya.

3). Untuk mata kuliyah Hadits; Kutub as-Sittah beserta Syarahnya seperti, “Fat-h al-Bary” karangan Ibnu Hajar al-Asqolaniy asy-Syafi’iy, “Syar-h Shahih Muslim” karangan Imam an-Nawawy asy-Syafi”iy, dll.

4). Untuk mata kuliyah fikih; “Bidayat al-Mujtahid” karangan Ibnu Rusy al-Maliky, “Subul as-Salam” karangan ash-Shan’any. Ditambah sebagai penunjang; “al-Majmu’” karangan Imam an-Nawawy asy-Syafi”iy, kitab “al-Mughny” karangan Ibnu Qudamah al-Hambaliy, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahhabiy.

Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kita,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.” [QS al-Hujurat/ 49: 6].

Karena buku-buku asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada madzhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya radliyallahu anhum serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

Fatwa al-Lakhmiy tentang Wahhabiy (yang lain)

Mengenai fatwa al-Lakhmiy, yaitu Bahwa beliau (asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam al-Lakhmiy telah berfatwa bahwa al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mu’rib Fi Fatawa Ahli al-Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad al-Wansyarisi, juz 11.

Maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H / Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad- abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. [3]

Lebih dari itu, sikap asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim, “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Tash- hihu Khatha`in Tarikhi Haula al-Wahhabiyyah, halaman 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.

Tuduhan dajjal atau setan

Begitu pula ada yang menuduh asy-Syaikh Muhammad bin Abdullawahhab rahimahullah sebagai setan dan dajjal. Tuduhan itu mereka lontarkan dengan penuh hawa nafsu dan kebencian kepada asy-Syaikh yang mulia.
Adapun dasar tuduhan mereka yang menyimpang lantaran kebodohan dan kejahilan terhadap apa yang dimaksud oleh dalil, yaitu,
Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan,

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى شَامِنَا اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى يَمَنِنَا

“Ya Allah berkahilah untuk kami negeri Syam kami. Ya Allah berkahilah untuk kami negeri Yaman kami”.

Mereka berkata, “Bagaimana dengan najed kami?. Beliau bersabda,

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى شَامِنَا اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى يَمَنِنَا

“Ya Allah berkahilah untuk kami negeri Syam kami. Ya Allah berkahilah untuk kami negeri Yaman kami”.
Mereka berkata lagi, “Bagaimana dengan Najed kami?”. Beliau bersabda pada yang ketiga kalinya,

هُنَاكَ الزَّلَازِلُ وَ اْلفِتَنُ وَ بِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

“Dari sana akan muncul berbagai guncangan dan fitnah dan di sana jugalah akan muncul tanduk setan”. [HR al-Bukhoriy: 1037, 7094, Muslim, at-Turmudziy: 3953 dan Ahmad: II/ 118. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Di dalam riwayat Ya’qub al-Fasawiy, al-Mukhollash, al-Jarjaniy, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah berkahilah untuk kami Mekkah kami, ya Allah berkahilah untuk kami Madinah kami, ya Allah berkahilah untuk kami Syam kami, berkahilah untuk kami di dalam sho’ kami dan berkahilah untuk kami di dalam mudd kami”. Seorang lelaki berkata, “Wahai Rosulullah, bagaimana dengan Iraq kami?”. Beliau berpaling darinya. Ia mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, semuanya itu dikatakan oleh lelaki itu, “Bagaimana dengan Iraq kami?”. Maka Beliau tetap berpaling darinya. Lalu Beliau bersabda, “Dari sana akan muncul berbagai guncangan dan fitnah dan di sana jugalah akan muncul tanduk setan”. [5]

Berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, “Aku menerangkan dengan panjang lebar tentang takhrij hadits shahih ini, menyebut jalan-jalannya dan sebahagian lafazhnya karena sebahagian ahli bid’ah yang memerangi sunnah dan menyimpang dari tauhid mereka mencela (memfitnah) al-Imam Muhammad bi Abdulwahhab seorang mujaddid dakwah tauhid di jazirah Arab. Dan mereka membawakan hadits ini dengan menyebutkan negeri Najed yang dikenal sekarang ini dengan nama tersebut. Mereka bodoh atau pura-pura bodoh, bahwa Najed yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Najed Iraq sebagaimana telah ditunjukkan oleh kebanyakan jalan-jalan hadits tersebut. Dan dengan perkataan itu pula, para Ulama terdahulu telah berkata, seperti al-Imam al-Khithobiy, Ibnu Hajar al-Asqolaniy dan selain mereka.

Mereka juga bodoh, bahwa keadaan seseorang yang berasal dari sebahagian negeri yang tercela tidak menetapkan bahwa ia tercela juga apabila ia adalah orang yang shalih, begitupun kebalikannya. Maka berapa banyak di Mekkah, Madinah dan Syam terdapat orang yang fasik lagi gemar berbuat dosa?. Dan (berapa banyak pula) di Iraq terdapat orang yang shalih?. Alangkah tepatnya ucapan Salman al-Farisiy radliyallahu anhu kepada Abu ad-Darda’ radliyallahu anhu ketika ia mengajaknya hijrah dari Iraq menuju Syam,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اْلأَرْضَ اْلمـُقَدَّسَةَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَ إِنَّمَا يُقَدِّسُ اْلإِنْسَانَ عَمَلُهُ

“Amma ba’d, sesungguhnya tempat yang suci itu tidak akan dapat mensucikan seseorang, yang dapat mensucikan seseorang itu hanyalah amalnya”. [6]

Dalil dan penjelasan di atas dengan jelas menerangkan bahwa Najed yang dimaksud oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah Najed yang berada di negara Iraq yang berada di arah timur. Karena di dalam hadits lainnya, Beliau secara langsung ditanya tentang Iraq, dan Beliau menjawab bahwa dari sana akan muncul berbagai guncangan dan fitnah. Dan itu sudah terbukti. Diantaranya dengan dibunuhnya cucu Beliau radliyallahu anhu. [7] Bukan Najed tempat kelahiran asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab yang berada di negara Arab Saudi.

Wafat Beliau

Asy-Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab rahimahullah telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahab rahimahullah berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najed). Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmatnya kepada beliau, meninggikan derajat dan kedudukannya di Jannah-Nya yang luas serta mengumpulkan beliau bersama orang-orang shalih dan para syuhada’. Aamiin Ya Robbal ‘Alamin.

Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Perlu diingat, bahwa siapapun orang yang telah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala maka tidak ada seorangpun yang dapat menghinakannya dan ia akan tetap mulia di sisi-Nya. Dan siapapun orang yang telah dihinakan oleh-Nya, maka tidak ada seorangpun yang dapat memuliakannya dan ia akan tetap hina di sisi-Nya.

Kebenaran pasti akan datang dan kebatilan niscaya akan lenyap, dan sesungguhnya kebatilan itu adalah sesuatu yang pasti akan lenyap. Wallahu a’lam bish showab.

Sumber;

Haqiqat Da’wah  al-Imam Muhammad bin Abdulwahhab oleh asy-Syaikh Abdurrahman bin Hammad al-Umr, Cet Pertama Dar al-Ashimah 1422H.



[1] Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih al-Bukhariy dengan sanadnya sampai kepada al-Imam al-Bukhariy serta syarah-syarahny a, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan at-Tirmidziy dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan an-Nasa’iy al-Kubra dengan sanadnya, Sunan ad-Darimiy dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah al-’Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku al-Imam An-Nawawiy, Alfiyah al-Iraqi, at-Targhib wa at-Tarhib, al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalaniy, buku-buku al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab al-Qamus dengan sanadnya, Musnad al-Imam asy-Syafi’i, Muwaththa’ al-Imam Malik, Musnad al-Imam Ahmad, Mu’jam ath-Thabrani, buku-buku as- Suyuthiy dsb.
[2] Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
[3] Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.
[4] Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 544, Shahih Sunan at-Turmudziy: 3098 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2246, 2494.
[5] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 302 hadits nomor 2246.
[6] Silislah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 305.
[7] Untuk lebih jelasnya silahkan baca Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: V/ 656.

3 komentar: