JENIS-JENIS PERBUATAN SYIRIK
بسم الله الرحمن الرحيم
Di masa sekarang ini segala bentuk
keburukan dan dosa tetap semakin berkibar dan tersebar. Dari yang paling kecilnya
sampai yang paling besarnya tetap eksis dan digemari oleh umat manusia. Bahkan
dari hari ke hari dan dari masa ke masa, keburukan itu semakin berkembang,
berevolusi dan kian beraneka bentuk menarik minat manusia.
Tak terkecuali perbuatan syirik,
ternyata di era modern (kata orang sok gaya) kemusyrikanpun tidak pernah
berkurang dan bahkan menggeliat semakin kuat. Masih banyak dari umat manusia
tak terkecuali umat Islamnya yang masih percaya dengan dukun-dukun yang dikemas
dengan nama modern, yaitu paranormal, parapsikolog dan sejenisnya. Atau juga
masih di antara mereka yang gemar nyekar ke kuburan para wali untuk sungkeman,
ngalap berkah, mencari wangsit, mencari syafaat dan sebagainya. Atau yang
berpenampilan menarik tapi masih menggunakan susuk, jimat, dibacakan/ membaca
matra-mantra sakti mandraguna untuk mendapatkan jodoh, rizki, disayang atasan
dan sebagainya.
Ini dibuktikan dengan tidak mudahnya
para ulama sunnah yang mendakwahkan tauhid dan memerangi kemusyrikan. Dimanapun
kaki berpijak untuk mengajak umat kembali kepada akidah tauhid yang hakiki dan menyeru
mereka untuk meninggalkan perbuatan syirik dan bid’ah, hasilnya adalah dengan
bantahan, cercaan, fitnah, penolakan dan bahkan permusuhan. Sebagaimana juga
dahulu para Rosul Alaihim as-Salam, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan
para ulama berdakwah tauhid dan menentang kemusyrikan. Padahal perbuatan syirik
ini adalah dosa besar yang paling besar yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam alqur’an dan
hadits-hadits nabi yang shahih.
Atau kita lihat dari banyaknya suguhan beberapa stasiun televisi atau radio yang menayangkan acara-acara yang bernuansakan hal-hal ghaib. Yang secara langsung atau tidak menjadikan umat Islam ini sangat mempercayainya. Terkadang acaranya bersifat informasi, namun akhirnya banyak umat Islam yang menjadi tahu bahwa di tempat itu ada tempat keramat, ada dukun/ paranormal yang hebat dan sebagainya. Atau ditempat itu ternyata ada penghuninya berupa makhluk ghaib yang gemar menakut-nakuti manusia, sehingga mereka akhirnya jadi bertambah takut jika melewati tempat tersebut. Bahkan ada koran atau majalah yang mengkhususkan diri menyebarkan berita-berita beraromakan kemusyrikan yang disebarluaskan untuk menjadi konsumsi umat Islam ini. Subhanallah amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.
Umat ini sudah lemah akidahnya, maka bertambah hancurlah akidah mereka dengan semuanya itu. Akhirnya jatuhlah mereka kepada kemusyrikan yang akan menghinakan mereka di dunia dan menyengsarakan mereka di akhirat kelak.
Atau kita lihat dari banyaknya suguhan beberapa stasiun televisi atau radio yang menayangkan acara-acara yang bernuansakan hal-hal ghaib. Yang secara langsung atau tidak menjadikan umat Islam ini sangat mempercayainya. Terkadang acaranya bersifat informasi, namun akhirnya banyak umat Islam yang menjadi tahu bahwa di tempat itu ada tempat keramat, ada dukun/ paranormal yang hebat dan sebagainya. Atau ditempat itu ternyata ada penghuninya berupa makhluk ghaib yang gemar menakut-nakuti manusia, sehingga mereka akhirnya jadi bertambah takut jika melewati tempat tersebut. Bahkan ada koran atau majalah yang mengkhususkan diri menyebarkan berita-berita beraromakan kemusyrikan yang disebarluaskan untuk menjadi konsumsi umat Islam ini. Subhanallah amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.
Umat ini sudah lemah akidahnya, maka bertambah hancurlah akidah mereka dengan semuanya itu. Akhirnya jatuhlah mereka kepada kemusyrikan yang akan menghinakan mereka di dunia dan menyengsarakan mereka di akhirat kelak.
Syirik yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah –jalla wa ‘alaa-, di dalam
macam-macam ibadah yang telah
disyariatkan oleh Allah ta’ala dan Rosulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
misalnya; doa, nadzar, kurban,
istighotsah, isti’anah, takut, khawatir dan lain sebagainya.
Syirik itu ada dua macam,
yaitu syirik akbar (besar) dan syirik ashghar (kecil). Syirik
besar itu dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, sedangkan syirik
kecil itu tidak mengeluarkannya dari Islam. [1] Akan tetapi syirik kecil
ini termasuk kaba’ir (dosa-dosa besar), dan menjadi sarana yang dapat membawa
kepada syirik besar.
Adapun syirik besar itu,
barangsiapa yang menjumpai Allah atasnya bahwasanya ia mati dalam keadaan
meyakininya dan belum bertaubat darinya maka sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuninya. Adapun syirik kecil maka barangsiapa menjumpai Allah dengan
membawanya maka ia di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, jika Allah mau Ia
akan mengampuninya dengan rahmat-Nya dan memasukkannya ke dalam surga, dan jika
Allah mau Ia akan mengadzabnya dengan keadilan-Nya di dalam neraka Jahannam
seukuran dengan dosa dan maksiatnya kemudian Allah mengidzikannya masuk ke
dalam surga.[2]
Syirik besar itu ada
beberapa macam, sebagaimana telah diungkapkan oleh beberapa ulama tauhid,[3]
yaitu,
1). Syirik doa (menyeru) yaitu menyeru atau berdoa
kepada Allah dan juga kepada selain-Nya diantara para nabi, para wali dan
orang-orang shalih untuk meminta rizki, menyembuhkan penyakit, menolak bala dan
lain sebagainya dari hak keistimewaan Allah –jalla dzikruhu-, dan bagaimana
keadaanya jika oran itu hanya menyeru kepada selain Allah saja?.
وَ لَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللهِ
مَا لَا يَنفَعُكَ وَ لَا يَضُرُّكَ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ
الظَّالِمِـينَ
Dan janganlah kamu menyeru
(berdoa) kepada apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula member
mudlorot kepadamu selain daripada Allah, sebab jika kamu berbuat (yang
demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang
zholim. [QS. Yunus/10: 106].
Berkata asy-Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu sesungguhnya kamu jika berdoa
kepadanya termasuk orang-orang musyrik lagi berbuat zholim kepada diri mereka”.[4]
وَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ إِن
تَدُعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَ لَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ
وَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَ لاَ يُنَبِّــئُكَ مِثْلُ
خَبِيــرٍ
Dan sembahan-sembahan
yang kalian seru selain Allah tiada
mempunyai sesuatu apapun walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru
mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian, dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permohonan kalian, dan di hari kiamat mereka
akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang dapat memberikan
keterangan kepada kalian seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. [QS.
Fathir/35: 13-14].
Berkata asy-Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Maka mereka kalau begitu merupakan
ujian bagi kalian, kalian memahat (membuat) mereka, menjaga dan mengibadahi
mereka, dan di hari kiamat mereka menjadi musuh dan penentang bagi kalian. Lalu
mereka akan berlepas diri dari perbuatan syirik kalian kepada mereka di dalam beribadah
kepada Allah, maka tegaklah hujjah atas kalian dengan sebab mereka. Kalau
begitu apakah perlunya terus menerus beribadah kepada mereka, memelihara dan
membela mereka?”.[5]
Berkata al-Imam
al-Baghowiy rahimahullah, “Mereka berlepas diri dari kalian dan dari
peribadatan kalian kepada mereka, mereka mengatakan, “Kalian tidaklah beribadah
kepada kami”.[6]
عن عبد الله بن مسعود قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم كَلِمَةً وَ
قُلْتُ أُخْرَى قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: مَنْ مَأتَ وَ هُوَ
يَدْعُوْ مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَل النَّارَ وَ قُلْتُ أَنَـا: مَنْ مَاتَ
وَ هُوَ لَا يَدْعُو لِلَّهِ نِدًّا دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Dari Abdullah bin Mas’ud,
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda dengan suatu kalimat sedangkan aku berkata dengan perkataan yang lain.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyeru
tandingan selain dari Allah maka ia akan masuk neraka”. Sedangkan aku
berkata, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyeru tandingan
bagi Allah, maka ia akan masuk surga”. [HR al-Bukhoriy: 4497, lafazh ini baginya
dan Ahmad: I/ 462, 464. Asy-Syaikh al-Albaniy menshahihkannya].[7]
Apalagi Rosulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri telah menerangkan bahwasanya doa itu
adalah ibadah, perbuatan yang paling mulia disisi Allah ta’ala dan bahkan jika
ada orang yang tidak mau berdoa kepada-Nya, Allah akan murka kepadanya. Dan
ibadah itu sebagaimana telah dipahami tidak boleh kepada selain Allah ta’ala
atau beribadah kepada selain-Nya bersama-Nya (mempersekutukan sesuatu dengan
Allah di dalam berdoa). Maka dari itu jika ada seorang muslim memohon kepada
Allah -Jalla dzikruhu- tetapi disamping itu ia senantiasa masih suka mendatangi
kuburan orang shalih atau semisalnya untuk berdoa kepada penghuninya untuk dikabulkan
keperluannya, maka ia telah berbuat syirik dan tanpa disadari telah gugurlah
keislamannya. Ma’adzallah.
عن النعمان بن بشير عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فِى قَوْلِهِ ((وَ
قَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ)) قَالَ: الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ
وَ قَرَأَ ((وَ قَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ)) إِلَى قَوْلِهِ
((دَاخِرِينَ))
Dari an-Nu’man bin
Basyir, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenai firman-Nya ((Dan telah berfirman
Rabb kalian, “Berdoalah kalian niscaya Kuperkenankan bagi kalian”)), Beliau
bersabda, “Doa itu adalah ibadah”, dan beliau membaca ((Dan telah berfirman
Rabb kalian, berdoalah kalian niscaya Kuperkenankan bagi kalian… dan
seterusnya. QS.Ghofir/40: 60)). [HR at-Turmudziy:
2969, 3247, 3372,
Abu Dawud: 1479, Ibnu Majah: 3828 dan Ahmad: IV/ 267, 271, 275. Berkata
Abu ‘Isa at-Turmudziy: Ini adalah hadits hasan shahih dan berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]. [8]
Berkata al-Haqq
al-‘Allamah Abu ath-Thayyib Syams al-Haqq al-‘Azhim Abadiy rahimahullah, “Yaitu
ibadah hakiki yang pantas dinamakan ibadah karena dalalahnya (dalilnya) berupa
menghadap Allah dan berpaling dari selain-Nya disaat tidak mengharap dan tidak
takut kecuali kepada-Nya.[9]
عن أبى هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَيْسَ
شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ
Dari Abu Hurairah
-radliyallahu ‘anhu- dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tidak
ada sesuatu yang lebih mulia disisi Allah ta’ala daripada doa”. [HR at-Turmudziy: 3370 dan lafazh ini baginya dan ia
berkata: ini adalah hadits hasan gharib, Ibnu Majah: 3829 dan Ahmad: II/ 362. Berkata asy-Syaikh Al-Albaniy: Hasan].[10]
Berkata al-Imam
al-Mubarokfuriy rahimahullah, ”Karena di dalam berdoa itu ada menampakkan
kefakiran (keperluan), kelemahan, merendahkan diri, mengakui kekuatan dan
kekuasaan Allah. [11]
عن أبى هريرة رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
مَنْ لَمْ يَدْعُ اللهَ سبحانه غَضِبَ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, “Barangsiapa yang tidak
berdoa kepada Allah -subhanahu-, Ia akan murka kepadanya”. [HR Ibnu Majah: 3827 dan lafazh ini baginya,
at-Turmudziy: 3373 dengan lafazh “Sesungguhnya barangsiapa yang tidak memohon
kepada Allah, Ia akan murka kepadanya” dan Ahmad: II/ 477. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Hasan].[12]
Berkata al-Imam
al-Mubarokfury rahimahullah, “Karena meninggalkan memohon (kepada Allah) adalah
sifat takabur (sombong) dan istighna’ (merasa cukup), dan ini tidak boleh bagi
seorang hamba.[13]
2). Syirik niat, keinginan
dan tujuan yaitu seseorang melakukan ibadah atau amal shalih tetapi mempunyai niat
atau tujuan dengan amalnya tersebut selain dari Allah ta’ala. Misalnya mengharapkan dengan amalnya tersebut kehidupan
dunia berupa; harta, pekerjaan, jodoh, kedudukan ataupun kemuliaan hidup di
dunia yang rendah ini.
مَن كَانَ يُرِيدُ اْلحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَ زِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَ هُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ
لَهُمْ فِى اْلأَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَ حَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَ بَاطِلٌ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya,niscaya Kami berikan kepada mereka balasan perbuatan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh
di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [QS. Hud/11:
15-16].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy, “((Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya)) dari harta, anak, kemuliaan,
kekuasaan, membanggakan pakaian dan kemegahan. ((Kami akan berikan kepada
mereka balasan perbuatan mereka di dunia dengan sempurna)) yaitu Kami akan berikan kepada mereka hasil amal
perbuatan mereka di dunia secara sempurna, tidak dikurangi. Maka atas seukuran
kesungguhan dan usaha mereka di dunia, maka mereka akan diberikan (balasan) dan
Ia tidak akan mengurangi amal mereka lantaran kekafiran dan meninggalkannya
mereka (akan kampung akhirat), kemudian setelah itu jika mereka tidak bertaubat
kepada Rabb mereka, mereka akan binasa di dalam kekafiran yang tidak ada bagi
mereka (balasan) melainkan api neraka.[14]
مَن كَانَ يُرِيدُ اْلعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا
نَشَاءُ لِمَـن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا
مَّدْحُورًا
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan segera (dunia),
maka Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang
yang Kami inginkan dan Kami jadikan baginya neraka Jahannam yang ia akan
memasukinya dalam keadaan tercela lagi terusir. [QS. Al-Isra’/17: 18].
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ اْلأَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِى
حَرْثِهِ وَ مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِـهِ مِنْهَا وَ مَا لَهُ
فِى اْلأَخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
Barangsiapa yang menghendaki ladang (keuntungan) akhirat
akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan
dunia maka akan Kami berikan kepadanya sebahagian dari keuntungan dunia
tersebut dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. [QS.
Asy-Syura’/42: 20].
Berkata Qotadah, “Sesungguhnya Allah akan memberi atas
niat akhirat apa yang Ia kehendaki dari perkara dunia dan tidak akan memberi
atas niat dunia kecuali dunia”.[15]
عن
علقمة بن وقاص الليثي يَقُوْلُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه
يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنمَّاَ
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَةِ وَ إِنمَّاَ لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْــبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ
يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari ‘Alqomah bin Waqqosh al-Laytsiy berkata, Aku pernah
mendengar ‘Umar bin al-Khoththob -radliyallahu ‘anhu- berkata, Aku pernah
mendengar Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Hanyalah
amal-amal tergantung dengan niat. Dan hanyalah sesorang itu memperoleh apa yang
ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya maka
hijrahnya itu kepada Allah dan Rosul-Nya dan barangsiapa yang hijrahnya kepada
dunia yang diperolehnya atau kepada wanita yang dinikahinya maka hijrahnya itu
kepada apa-apa yang dia berhijrah kepadanya”. [HR al-Bukhoriy: 1, 54,
2529, 3898, 5070, 6689 dan lafazh ini baginya, 6953, Muslim: 1907, Abu Dawud:
2201, at-Turmudziy: 1647, an-Nasa’iy: I/ 58-60, Ibnu Majah: 4227,
Ahmad: I/ 25, al-Humaidiy: 28 dan
ad-Daruquthniy: 128. Berkata Abu ‘Isa at-Turmudziy: ini adalah hadits hasan
shahih dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[16]
Berkata Ibnu ‘Ajalan, “Tidak shalih amal itu kecuali karena tiga hal, yaitu; takwa kepada Allah, niat
yang baik dan (amal yang) benar/tepat”.[17]
Berkata Ibnu al-Mubarok, “Boleh jadi amal yang kecil itu
dibesarkan oleh niat dan boleh jadi amal yang besar itu dikecilkan oleh niat”.[18]
عمدة الدين عندنا كلمات
أربع من كلام خير البرية
اتق الشبهات و ازهد و دع ما ليس يعنيك و اعملن بنية
Artinya,
Tiangnya agama disisi kami ada empat
kalimat dari ucapan sebaik-baiknya makhluk
jagalah dari syubhat,
zuhudlah, tinggalkan apa
yang tidak berguna bagimu
dan beramallah dengan niat.
عن
سليمان بن يسار قَالَ: تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْ أبي هريرة رضي
الله عنه
فَقَالَ لَهُ نَاتِلُ أَهْلِ الشَّامِ: أَيُّهَا
الشَّيْخُ حَدِّثْنَا حَدِيْثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ: نَعَمْ سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ
يُقْضَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ
فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ:
قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتىَّ اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ
ِلأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ
أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلىَ وَجْهِهِ حَتىَّ أُلْقِيَ فىِ النَّارِ وَرَجُلٌ
تَعَلَّمَ اْلعِلْمَ وَ عَلَّمَهُ وَ قَرَأَ اْلقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ
نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ
اْلعِلْمَ وَ عَلَّمتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ
تَعَلَّمْتَ اْلعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ قَارِئٌ
فَقَدْ قِيْلَ ُثمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلىَ وَجْهِهِ حَتىَّ أُلْقِيَ فىِ
النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَ أَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ اْلمَالِ
كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ
فِيْهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ
أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ
جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلىَ وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فىِ النَّارِ
Dari Sulaiman bin Yasar berkata, manusia pernah kumpul berkelompok dari
sebab Abu Hurairah, lalu berkatalah kepadanya orang yang terdepan dari penduduk
Syam, “Wahai Syaikh ceritakanlah kepada kami suatu hadits yang pernah engkau
dengar dari Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-“. Abu Hurairah berkata, “Ya,
aku pernah mendengar Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya
manusia yang pertama-tama diputuskan (amalnya) pada hari kiamat adalah
seseorang yang mati syahid. Lalu ia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya
nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya dan iapun mengetahuinya (mengakuinya).
Kemudian Allah berfirman, “Apa yang telah engkau kerjakan padanya?”. Ia menjawab, “Aku telah berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid”. Allah berfirman, “Engkau dusta, sesungguhnya engkau berperang adalah agar
disebut pemberani (pejuang), dan hal itu telah diakui”. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu
atas wajahnya sehingga akhirnya ia dilemparkan ke dalam neraka. Seseorang yang
belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca alqur’an. Lalu ia dihadapkan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya dan iapun
mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang telah engkau kerjakan padanya?”. Ia
menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca alqur’an
karena-Mu”. Allah berfirman, “Engkau dusta, sesungguhnya engkau mempelajari
ilmu adalah agar engkau disebut ‘alim (orang berilmu) dan engkau membaca alqur’an
agar disebut qori’ (pembaca alqur’an) dan hal tersebut telah diakui”. Kemudian
Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu atas wajahnya sehingga akhirnya ia
dilemparkan ke dalam neraka. Dan seseorang yang telah dilapangkan (rizkinya)
oleh Allah dan telah dikaruniakan kepadanya berbagai macam kekayaan harta. Lalu
ia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan
kepadanya. Allah berfirman, “Apa yang telah engkau kerjakan padanya?”. Ia
menjawab, “Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk diinfakkan
padanya melainkan aku berinfak padanya karena-Mu”. Allah berfirman, “Engkau dusta, tetapi
sesungguhnya engkau berbuat (demikian) agar engkau disebut dia adalah seorang
dermawan, dan hal itu telah diakui. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret
orang itu atas wajahnya sehingga akhirnya ia dilemparkan ke dalam neraka. [HR Muslim: 1905, lafazh ini baginya, at-Turmudziy: 2382,
an-Nasa’iy: VI/ 23-24 dan Ahmad: II/ 322. Berkata at-Turmudziy: Ini hadits hasan gharib dan
berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[20]
Berkata al-Imam an-Nawawiy rahimahullah, “Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi
wa sallam- mengenai orang yang berperang, berilmu dan dermawan serta hukuman
mereka atas perbuatan mereka itu yang untuk selain Allah dan juga dimasukkannya
mereka ke dalam neraka merupakan dalil kerasnya pengharaman riya’ dan juga
merupakan dalil adanya motivasi (dorongan) akan wajibnya ikhlash di dalam
amal-amal”.[21]
عن
أبى أمامة رضي الله عنه قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلاً غَزَا يَلْتَمِسُ اْلأَجْرَ وَ الذِّكْرَ مَا
لَهُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ شَيْءَ لَهُ فَأَعَادَهَا
ثَلاَثَ مِرَارٍ وَ يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ شَيْءَ لَهُ ُثمَّ قَالَ:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ
مِنَ اْلعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللهِ
Dari Abu Umamah al-Bahiliy -radliyallahu ‘anhu- berkata, pernah datang seorang
laki-laki kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu ia berkata, “Bagaimanakah pandanganmu
terhadap seseorang yang berperang di dalam rangka mencari balasan dan
kemuliaan, apakah yang ia peroleh?”. Maka Rosulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Ia tidak mendapatkan sesuatu apapun. Lelaki itu mengulangi
(pertanyaannya) sampai tiga kali”. Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
tetap mengatakan, “Ia tidak mendapatkan sesuatu apapun”. Kemudian Beliau
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali selama
dikerjakan dalam keadaan ikhlash dan mencari wajah-Nya”. [HR an-Nasa’iy: VI/
25, lafazh ini baginya dan Abu Dawud: 2516 dan abu Hurairah dengan lafazh,
“mencari harta dari harta dunia” dan tambahan akhir, berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: hasan shahih].[22]
عن أبي هريرة قال قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عز و
جل لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ
عَرَفَ اْلجَنَّةِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ يَعْنى رِيْحَهَا
Dari Abu Huarairah berkata, telah bersabda Rosulullah -shallallahu ‘alaihi
wa sallam-, “Barangsiapa yang
mempelajari ilmu dari apa-apa yang dicari wajah Allah -‘azza wa jalla-
denganya, ia tidak mencari melainkan untuk memperoleh satu harta dari harta
dunia, maka ia tidak memperoleh bau harumnya surga pada hari kiamat”. [HR Abu Dawud: 3664 dan
lafazh hadits ini baginya, Ibnu Majah: 252 dan Ahmad: II/ 338. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[23]
عن كعب بن مالك قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم يَقُوْلُ: مَنْ طَلَبَ اْلعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ اْلعُلَمَاءَ
أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ
أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ
Dari Ka’b bin Malik berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk berjalan
bersama para ulama dengannya atau untuk mendebat orang-orang lemah akal (bodoh)
dengannya atau memalingkan wajah manusia dengannya kepadanya, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka”. [HR at-Turmudziy: 2654.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[24]
عن حذيفة قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لَا تَعَلَّمُوْا اْلعِلْمَ لِتُبَاهُوْا بِهِ
اْلعُلَمَاءَ أَوْ لِتُمَارُوْا بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِتَصْرِفُوْا وُجُوْهَ
النَّاسِ إِلَيْكُمْ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ فِى النَّارِ
Dari Hudzaifah (bin al-Yaman) berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Janganlah kalian mempelajari ilmu
itu untuk membangga-banggakan para ulama dengannya, atau mendebat orang-orang
bodoh denganya, atau memalingkan wajah manusia kepada kalian. Barangsiapa yang
berbuat demikian, maka dia di dalam neraka”. [HR Ibnu Majah: 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[25]
3). Syirik mahabbah yaitu mencintai
seseorang diantara para wali atau selainnya sama seperti cintanya kepad Allah
-tabaaroka wa ta’aala- atau bahkan cintanya kepada selain Allah itu melebihi
atau lebih diutamakan daripada cinta kepada Allah ta’ala.
وَ مِنَ النَّاسِ مَن يَّتَّخِذُ مِن دُونِ اللهِ أَندَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحَبِّ اللهِ وَ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan
tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
sangat cinta kepada Allah. [QS. Al-Baqarah/2: 165].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Allah ta’ala
menghabarkan bahwasanya disamping penjelasan dan keterangan ini dijumpai
sekelompok orang yang menjadikan berhala-berhala dan pemimpin-pemimpin sebagai
sembahan-sembahan (ilah), yang mereka mencintai sembahan-sembahan tersebut sama
seperti cintanya mereka kepada Allah ta’ala, yaitu menyamakan kecintaan kepada
sembahan-sembahan dan kecintaan kepada Allah ta’ala, sedangkan orang-orang yang
beriman diantara mereka sangat cinta kepada Allah ta’ala.[26]
Katanya lagi, “Termasuk dari perbuatan syirik adalah cinta (kepada
seseorang atau sesuatu) disamping Allah ta’ala dan termasuk tauhid adalah cinta
(kepada seseorang atau sesuatu) karena mencintai Allah -‘azza wa jalla-“.[27]
Berkata al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, “Allah mengkhabarkan bahwasanya
barangsiapa mencintai sesuatu selain dari Allah, sebagaimana ia mencintai Allah
ta’ala, maka ia adalah termasuk dari orang yang membuat tandingan-tandingan
selain dari Allah, dan ini adalah tandingan di dalam cinta bukan di dalam
penciptaan dan rububiyyah, berbeda dengan tandingan di dalam cinta, karena
sesungguhnya kebanyakan penduduk bumi sungguh-sungguh telah menjadikan
tandingan-tandingan selain dari Allah di dalam cinta dan pengagungan”.[28]
Berkata asy-Syaikh Muhammad at-Tamimiy, di dalam kitab
“at-Tauhid” bab “firman Allah ta’ala, ((Dan di antara manusia ada yang menjadikan
tandingan-tandingan selain dari Allah. QS. Al-Baqarah/2: 165)), di dalam fihi
masa’il , nomor ke sebelas; “Bahwasanya barangsiapa yang menjadikan tandingan
yang dipersamakan kecintaanya kepada tandingan tersebut dengan kecintaannya
kepada Allah maka perbuatan itu merupakan syirik akbar (besar)”.[29]
Cinta itu terbagi atas empat macam[30],
1). Mahabbah Syirkiyyah (Cinta yang mengandung
kemusyrikan) dan mereka itu adalah orang-orang yang Allah telah berfirman
tentang mereka, ((Dan sebahagian dari
manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah yang mereka
mencintai tandingan-tandingan tersebut sama seperti mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah dan seterusnya ayat.
QS. al-Baqarah/2: 165-167)).
2). Cinta kepada kebatilan
dan pelakunya, benci kepada kebenaran dan pelakunya dan ini adalah sifat orang-orang
munafik.
3). Mahabbah
thobi’iyyah (cinta alami) yaitu menyukai harta dan anak, apabila cinta tersebut tidak
menyibukkannya dari mentaati Allah dan tidak membantu atas melakukan yang
diharamkan Allah, maka ini adalah mubah (boleh).
4). Cinta kepada ahli
tauhid dan benci kepada ahli syirik, dan ini adalah sekuat-kuat tali iman dan
sebesar-besar apa yang seorang hamba beribadah kepada Rabbnya dengannya.
قُلْ إِن
كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَ أَبْنَاؤُكُمْ وَ إِخْوُانُكُمْ وَ أَزْوَاجُكُمْ وَ
عَشْيرَتَكُمْ وَ أَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَ تِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَ مَسَاكِنَ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ
جِهَادٍ فِى سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَ اللهُ
لَا يَهْدِى اْلقَوْمَ اْلفَاسِقِينَ
Katakanlah, Jika ada ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri dan
keluarga kalian, harta yang kalian kumpulkan, perniagaan yang kalian
khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai, semuanya itu
lebih kalian cintai daripada Allah, rosul-Nya dan berjihad pada galan-Nya maka tunggulah sehingga Allah akan mendatangkan
urusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik. [QS. Al-Baro’ah/9: 24].
Berkata al-Hafizh Ibnu katsir, “Yaitu
jika ada segala sesuatu itu lebih kalian cintai dari Allah, rosul-Nya dan
berjihad pada jalan-Nya, maka nantikanlah yaitu tunggulah apa yang akan turun
kepada kalian berupa adzab dan siksaan-Nya”. [31]
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan, “Allah telah menyuruh Nabi-Nya
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk mengancam orang yang mencintai istri,
harta, family, perniagaan dan tempat tinggalnya lalu pengaruh-pengaruh semuanya
itu atas sebahagiannya atas perbuatan yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya
dari amal-amal yang dicintai dan diridloi oleh Allah seperti hijrah, jihad dan
yang semisalnya”.[32]
Berkata asy-Syaikh Hamd bin ‘Ali bin ‘Atiq an-Najdiy, “Maka cinta kepada
Allah dan Rosul-Nya mengharuskannya memilih memusuhi orang-orang musyrik dan
memutuskan (hubungan) atas delapan perkara ini dan mendahulukan cinta kepada
Allah dan Rosul-Nya atas ke delapan perkara itu sebagaimana mencintai jihad
mengharuskannya memilih jihad tersebut atas kedelapan perkara itu”.[33]
عن أنس عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَك ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّا فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيْمَانِ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَ
رَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَ اَنْ يُحِبَّ اْلمــَرْءَ لَا
يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَ أَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى اْلكُفْرِ كَمَا
يَكْرَهَ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dari Anas dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Ada tiga perkara, yang
jika ketiganya itu ada di dalam diri seseorang dia akan mendapatkan manisnya
iman; Allah dan Rosul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya, dia
mencintai seseorang, yang tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah dan
dia benci kembali kepada kekafiran sebagaiman bencinya dicampakkan ke dalam api
(neraka)”. [HR al-Bukhooriy: 16, 21, 6041, 6941 dan lafazh ini baginya,
Muslim: 43, at-Turmudziy: 2624, Ibnu Majah: 4033, an-Nasa’iy: VIII/ 94-95, 96, 97 dan Ahmad: III/ 103, 172, 174, 230, 248, 275, 288. Berkata Abu ‘Isa
at-Turmudziy: ini adalah hadits hasan shahih dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
Shahih].[34]
قَالُوا
وَ هُمْ يَخْتَصِمُونَ تَاللهِ إِن كُنَّا لَفِى ضَلَالٍ مُّبِينٍ إِذْ
نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ اْلعَالَمِينَ
Mereka berkata sedangkan mereka bertengkar di dalam neraka, “Demi Allah,
sungguh kita dahulu (di dunia) di dalam kesesatan yang nyata, karena kita
mempersamakan kalian dengan Rabb semesta alam”. [QS. Asy-Syu’ara’/26: 96-98].
Berkata Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, “Dan telah diketahui bahwasanya
mereka tidak mempersamakan sembahan-sembahan dengan Rabb semesta alam di dalam
penciptaan dan rububiyyah, tetapi mereka itu hanyalah mempersamakan
sembahan-sembahan itu denagn-Nya di dalam cinta dan pengagungan”.[35]
4). Syirik tho’ah yaitu mentaati para
ulama, syaikh dan selainnya di dalam perbuatan maksiat disertai suatu keyakinan
tentang bolehnya melakukan hal tersebut. Syirik jenis ini biasanya berupa
mentaati seseorang di dalam menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya.
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَ رُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن
دُونِ اللهِ وَ اْلمــَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَ مَا أُمِرُوا إِلِّا لِيَعْبُدُوا
إِلَهًا وَّاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka (yaitu orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alim
mereka dan rahib-rahib mereka sebagai rabb (sembahan) selain dari Allah dan
(mereka juga mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka tidak
disuruh melainkan agar mereka menyembah Ilah Yang Maha Esa. Tidak ada ilah
(yang berhak disembah) melainkan Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
[QS. al-Baro’ah/9:31].
Berkata Hudzaifah bin al-Yaman dan
Ibnu ‘Abbas serta selain keduanya mengenai tafsir ayat tersebut, “Sesungguhnya
mereka mengikuti pendeta-pendeta mereka pada apa-apa yang mereka halalkan dan
yang mereka haramkan”.[36]
Berkata Abu al-Bukhturiy
rahimahullah, “Sesungguhnya mereka tidak sholat untuk pendeta-pendeta tersebut,
dan andaikata para pendeta itu menyuruuh untuk mengibadahi mereka selain dari
Allah, niscya mereka tidak akan mematuhinya. Tetapi para pendeta itu menyuruh
mereka, lalu menjadikan yang dihalalkan Allah menjadi haram dan menjadikan yang
diharamkan Allah menjadi halal, kemudian mereka mematuhinya, maka itulah
rububiyyah (menjadikan mereka sebagai rabb) tersebut”.[37]
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin
Hasan, “Adapun ibadahnya mereka kepada orang-orang alim dan ahli-ahli ibadah
mereka, sesungguhnya mereka mentaati pendeta-pendeta tersebut terhadap apa yang
halalkan dari yang haram untuk mereka dan mengaharamkan apa yang mereka
haramkan atas mereka dari yang halal”.[38]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Makna ayat tersebut,
bahwasanya mereka karena mentaati pendeta-pendeta mereka tersebut pada apa yang
mereka perintahkan dan yang mereka larang, maka mereka sama dengan kedudukan
orang-orang menadikan rabb (sembahan-sembahan)bagi mereka, karena mereka
mentaati pendeta-pendeta mereka tersebut sama sebagaimana ditaatinya rabb
(sembahan-sembahan)”.[39]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy rahimahullah, “Ayat ini
merupakan dalil lain atas kekufuran dan kemusyrikan mereka, karena mereka
menerima perkataan orang-orang alim dan ahli-ahli ibadah mereka, dan ikut serta
tunduk kepadanya. Sehingga tatkala mereka (orang alim dan ahli ibadah) itu
menghalalkan yang haram untuk mereka maka merekapun menghalalkan dan mengharamkan
atas mereka yang halal maka merekapun mengharamkannya, inilah kemusyrikan dan
kekafiran. Al-‘Iyaadzu billah”.[40]
و هل بدّل الدين إلا الملوك
و أحبار سوء و رهبانها
Artinya,
Tiada yang merubah agama
melainkan para penguasa,
para orang alim yang buruk dan para ahli ibadahnya.
عن عدي بن حاتم قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و
سلم وَ فِى عُنُقِى صَلِيْبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ: يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ
هَذَا اْلوَثَنَ وَ سَمِعْتُهُ يَقْرَاُ سُوْرَةَ بَرَاءَةٍ ((اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَ رُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللهِ)) قَالَ: أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ
يَكُوْنُوْا يَعْبُدُوْنَهُمْ وَ
لَكِنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا أَحَلُّوْا شَيْئًا اسْتَحَلُّوْا وَ إِذَا حَرَّمُوْا
شَيْئًا حَرَّمُوْهُ
Dari ‘Adiy bin Hatim berkata, aku pernah mendatangi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dan pada leherku ada sebuah kalung salib dari emas. Beliau bersabda, “Wahai
‘Adiy buanglah berhala ini dari lehermu!, dan aku mendengar beliau membaca
surat al-Baro’ah ayat 31 ((mereka menjadikan orang-orang alim (pendeta yahudi)
mereka dan rahib-rahib (pendeta nashrani) mereka menjadi sembahan-sembahan
selain daripada Allah)). Beliau bersabda, “adapun sesungguhnya mereka tidaklah
menyembahnya, tetapi mereka apabila pendeta-pendeta mereka menghalalkan sesuatu
kepada mereka merekapun menghalalkannya, dan apabila pendeta-pendeta itu
mengharamkan sesuatu merekapun mengharamkannya”. [HR at-Turmudziy: 3095. Berkata Abu ‘Isa at-Turmudziy: ini
adalah hadits gharib, dan berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan].[42]
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah, “Di dalam hadits ini
terdapat penjelasan bahwasanya barangsiapa yang mempersekutukan selain Allah
bersamaNya di dalam mengibadahi-Nya dan mentaati selain Allah di dalam
mendurhakai-Nya maka sungguh-sungguh ia telah menjadikannya sebagai rabb dan
sesembahan, dan ini adalah jelas, Alhamdulillah”.[43]
وَ لَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرَ اسْمَ اللهِ
عَلَيْهِ وَ إِنَّا لَفِسْقٌ وَ إِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى
أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَ إِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ
لَمُشْرِكُونَ
Dan janganlah kaliam memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu
kefasikan. Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kalian, dan jika kalian mentaati mereka sesungguhnya kalian tentulah
menjadi orang-orang musyrik. [QS. al-An’am/6: 121].
Berkata az-Zujaj, “Di dalamnya terdapat suatu dalil, bahwasanya barangsiapa
menghalalkan sesuatu dari apa yang telah diharamkan oleh Allah atau
mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah, maka dia adalah seorang
musyrik”.[44]
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Firman Allah ta’ala ((dan jika
kalian mentaati mereka sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang musyrik))
yaitu ketika kalian menyimpang dari perintah Allah bagi kalian, dan kalian
menyimpang dari syariat-Nya kepada perkataan selain-Nya lalu kalian
mendahulukan selain-Nya atas-Nya, maka ini adalah perbuatan syirik, sama
seperti firman Allah ta’ala ((mereka telah menjadikan orang-orang alim mereka
ahli-ahli ibadah mereka menjadi rabb (sesembahan) selain dari Allah: QS.
al-Baro’ah/9: 31)).[45]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Dan jika kalian mentaati
mereka)) pada apa yang mereka perintahkan kalian dengannya dan melarang kalian
darinya, ((sesungguhnya kalian tentulah menjadi orang-orang musyrik)) seperti
mereka.[46]
عن
علي رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم بَعَثَ جَيْشًا وَ أَمَرَ
عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَ قَالَ: ادْخُلُوْهَا فَأَرَادُوْا أَنْ
يَدْخُلُوْهَا وَ قَالَ آخَرُوْنَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوْا
لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ لِلَّذِيْنَ أَرَادُوْا أَنْ
يَدْخُلُوْهَا لَوْ دَخَلُوْهَا لَمْ يَزَالُوْا فِيْهَا إِلَى يَوْمِ
اْلقِيَامَةِ وَ قَالَ لِلْآخَرِيْنَ لَا
طَاعَةَ فِى اْلمـَعْصِيَّةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى اْلمـَعْرُوْفِ
Dari ‘Ali bin Abi Thalib -radliyallahu ‘anhu- berkata, Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengutus pasukan dan mengangkat seseorang. Lalu ia menyalakan api dan berkata, “Masuklah
kalian kedalamnya!”. Lalu mereka ingin masuk ke dalamnya, dan berkata yang
lainnya, “Sesungguhnya kami lari
menghindar darinya”. Kemudian mereka
menceritakan (hal tersebut) kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau
bersabda kepada orang-orang yang ingin masuk ke dalamnya, “Jika mereka masuk ke
dalamnya maka senantiasa mereka ada di dalam api itu sampai hari kiamat”. Dan beliau berkata kepada yang lainnya, “Tiada taat di dalam
perbuatan maksiat, hanyalah ketaatan itu di dalam perbuatan ma’ruf”. [HR al-Bukhoriy: 4340, 7145,
7257 dan lafazh ini baginya, Muslim:
1840, Abu Dawud: 2625, an-Nasa’iy: VII: 159-160 dan Ahmad: I/ 94. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[47]
Di dalam riwayat yang lain, dari ‘Ali -radliyallahu ‘anhu- berkata, Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-pernah mengutus pasukan perang dan mengangkat
seorang laki-laki dari golongan anshor menjadi pemimpin. Beliau menyuruh mereka
untuk mentaatinya. Beberapa waktu kemudian orang itu marah kepada
mereka dan berkata, “Bukankan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah
memerintahkan kalian untuk mentaatiku?”. Mereka menjawab, “Ya”.
Ia berkata, “Sungguh-sungguh aku telah
bertekad atas kalian agar kalian mengumpulkan kayu bakar lalu kalian nyalakan
api kemudian kalian masuk ke dalamnya”. Lalu merekapun
mengumpulkan kayu bakar lalu menyalakan api. Ketika mereka berkeinginan masuk
ke dalamnya, mereka berdiri, sebahagian mereka memandang kepada yang lainnya.
Berkata sebahagian mereka, “Kami hanyalah mentaati Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- lari menghindar dari api itu, maka mengapakah kami harus masuk ke
dalamnya?”. Ketika mereka dalam
keadaan itu tiba-tiba api itu padam. Maka kemarahannya itu tetap di dalam
dirinya. Lalu ia menceritakan (peristiwa tersebut) kepada Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Maka beliau bersabda, “Andaikan mereka memasukinya, mereka
tidak akan keluar dari api itu selama-lamanya, hanyalah ketaatan itu di dalam
perbuatan ma’ruf”. [HR al-Bukhoriy: 7145. Adapun riwayat Muslim, Abu Dawud
an-Nasa’iy dan Ahmad. Beliau bersabda, “Tiada taat di dalam mendurhakai Allah,
hanyalah taat itu di dalam perbuatan ma’ruf”].
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy, “Di dalam hadits ini terdapat banyak faidah,
yang paling penting adalah bahwasanya tidak boleh mentaati seseorang di dalam
menentang Allah Tabaaroka wa ta’aala sama saja apakah kepada para amir
(pemimpin), para ulama ataupun kepada para syaikh (kyai) di dalam hal tersebut”.[48]
عن علي عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: لَا طَاعَةَ
لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَّةِ اللهِ عز و جل
Dari ‘Ali, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tiada taat kepada makhluk
di dalam menentang Allah –‘azza wa jalla-“. [HR Ahmad: I/ 129, 131 dan lafazh ini
baginya, dan yang semisalnya; IV/ 432, V/ 66 dari al-Hakam bin’ Amr al-Ghifaariy dan IV/ 426, 427, 436 dari ‘Imroon bin Hushoin. Berkata
asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[49]
عن
أنس بن مالك حَدَّثَهُ أَنَّ مُعَاذًا
قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ لَا
يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِكَ وَ لَا يَأْخُذُوْنَ بِأَمْرِكَ فَمَا تَأْمُرُ فِى
أَمْرِهِمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لَا طَاعَةَ لِمَنْ لَمْ
يُطِعِ اللهَ عز و جل
Dari Anas bin Malik bercerita, bahwsanya Mu’adz berkata, “Wahai Rosulullah
bagaimanakah pandanganmu, jika ada beberapa amir (pemimpin) atas kami yang
mereka tidak mengerjakan sunnah sesuai dengan sunnahmu dan tidak mengambil
(berpegang) sesuai dengan perintahmu, maka apakah yang engkau perintahkan
(kepada kami) di dalam persoalan mereka tersebut?”. Maka Rosulullah
-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tiada taat kepada orang
yang tidak mentaati Allah –‘azza wa jalla-“. [HR Ahmad: III/ 213.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[50]
Berkenaan dengan syirik besar ini,
asy-syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menambahkan syirik di dalam sifat-sifat
Allah, syirik hulul, syirik tashorruf, syirik khouf dan syirik hakimiyyah. [51]
5). Syirik di dalam
sifat-sifat Allah yaitu misalnya meyakini (beritikad) bahwasanya para nabi atau para wali
mengetahui perkara-perkara ghaib, sama seperti Allah ta’ala mengetahuinya.
وَ عِندَهُ مَفَاتِحُ اْلغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا
هُوَ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci keghaiban, tiada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri. [QS. Al-An’am/6:
59].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy
rahimahullah, “Di dalam ayat yang mulia ini terdapat suatu yang menolak akan
kebatilan para dukun, ahli nujum, peramal dan selain mereka diantara
orang-orang yang mengaku-ngaku sesuatu yang bukan dari urusan mereka”.[52]
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَن فِى السَّمَوَاتِ وَ اْلأَرْضِ
اْلغَيْبَ إِلَّا اللهُ وَ مَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah, tiada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah. Dan mereka
tidak mengetahui kapankah mereka akan dibangkitkan. [QS. An-Naml/27: 65].
إِنَّ اللهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَ يُنَزِّلُ
اْلغَيْثَ وَ يَعْلَمُ مَا فِى اْلأَرْحَامِ وَ مَا تَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا
تَكْسِبُ غَدًا وَ مَا تَدْرِى بِأَيِّ اَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah ilmu tentang hari kiamat,
dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim.
Tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang ia akan kerjakan
esok dan tiada seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha waspada. [QS. Luqman/31: 34].
Berkata az-Zujaj, “Barangsiapa yang
mengaku-ngaku bahwasanya ia mengetahui sesuatu dari lima perkara ini maka
sungguh-sungguh ia telah kafir kepada alqur’an”.[53]
عن بريدة يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه و سلم يَقُوْلُ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ تعالى إِنَّ اللهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَ يُنَزِّلُ
اْلغَيْثَ وَ يَعْلَمُ مَا فِى اْلأَرْحَامِ وَ مَا تَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا
تَكْسِبُ غَدًا وَ مَا تَدْرِى بِأَيِّ اَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
Dari Buraidah berkata, aku pernah mendengar
Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Ada lima perkara, tidak
ada yang mengetahuinya kecualil Allah ta’ala. Sesungguhnya Allah, disisiNya
sajalah ilmu tentang hari kiamat, Dia-lah yang menurunkan hujan, Dia mengetahui
apa yang ada di dalam rahim, tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang akan
ia kerjakan esok dan tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan
mati. [HR Ahmad: V/ 353 lafazh ini baginya, al-Bukhoriy: 50, 4777 dan
Muslim: 9, 10 dari Abu Hurairah berupa hadits panjang. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih].[54]
عن
ابن عمر رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَفَاتِيْحُ
اْلغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللهُ لَا يَعْلَمُ مَا تَغِيْضُ
اْلأَرْحَامُ إِلَّا اللهُ وَ لَا يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ إِلَّا اللهُ وَ لَا
يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِى اْلمـَطَرُ إِلَّا اللهُ وَ لَا تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ
أَرْضٍ تَمُوْتُ إِلَّا اللهُ وَ لَا يَعْلَمُ مَتَى تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلَّا
اللهُ
Dari Ibnu ‘Umar -radliyallahu ‘anhuma- dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- bersabda, “Kunci-kunci keghaiban itu ada lima, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui apa yang dikandung oleh
rahim kecuali Allah, tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok kecuali
Allah, tidak ada yang mengetahui bilakah hujan akan turun kecuali Allah, tidak satu
jiwapun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati kecuali Allah dan tidak ada
seorangpun yang mengetahui kapankah tegaknya hari kiamat kecuali Allah. [HR al-Bukhoriy: 1039, 4627, 4697, 4778, 7379 lafazh ini
baginya dan Ahmad: II/ 24, 52, 58, 85-86, 122.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[55]
عَالِمُ اْلغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَ
مِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
Dia-lah Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seseorangpun tentang keghaibannya, kecuali kepada Rosul yang diridloi-Nya. Maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (yaitu para malaikat) di hadapan
dan di belakangnya. [QS. al-Jinn/72: 26-27].
Berkata al-Wahidiy, “Di dalam penjelasan ini terdapat dalil bahwasanya
barangsiapa yang mengaku-ngaku bahwa ilmu nujum (perbintangan) itu yang
menunjukkannya atas apa yang akan terjadi dari suatu peristiwa maka
sungguh-sungguh ia telah kafir kepada apa-apa yang di dalam alqur’an”.[56]
Berkata al-Imam al-Quthubiy rahimahullah, berkata ulama, “Ketika Allah -subhanahu-
memuji diri-Nya dengan mengetahui perkara ghaib dan menimbulkan pengaruh
dengannya di hadapan mahluk-Nya, di dalam hal ini terdapat suatu dalil
bahwasanya tidak ada seseorangpun yang mengetahui perkara ghaib selain
dari-Nya. Kemudian Allah memberi pengecualian kepada orang yang Ia ridloi
diantara para rosul, lalu meletakkan kepada mereka sesuatu yang Ia kehendaki
dengan jalan wahyu kepada mereka, dan menjadikannya sebagai mukjijat bagi
mereka dan bukti yang benar atas kenabian
mereka. Ahli nujum dan orang-orang yang menirunya dari orang yang
membuat-buat (ramalan) dengan kerikil, melihat (nasib atau peruntungan) pada
telapak tangan dan mencegah (petaka atau kesialan) dengan tanah, bukanlah
termasuk dari orang yang diridloi-Nya dari rosul, yang ditunjukkan kepadanya
apa yang Ia kehendaki dari perkara ghaib-Nya, maka ia (ahli nujum itu) kafir
kepada Allah dan mengada-ngadakan dusta atas-Nya dengan sangkaan, terkaan dan
kedustaannya”.[57]
Berdasarkan beberapa ayat, hadits dan penjelasan tersebut dapatlah dipahami
bahwasanya tidak ada seseorangpun dari mahluk Allah ta’ala, yang dapat
mengetahui perkara-perkara ghaib kecuali orang yang telah diridloi oleh Allah
-Jalla wa ‘Alaa- diantara para rosul-Nya. Oleh sebab itu barangsiapa ada
diantara mereka yang mengaku-ngaku mengetahui sebahagian darinya maka ia telah
menyelisihi alqur’an dan hadits tsabit
ini, mensejajarkan dirinya dengan Allah di dalam salah satu sifat dari
sifat-sifat-Nya, dan ini berarti ia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang
kekafiran dan kemusyrikan. Dan kaum muslimin dilarang dan diharamkan untuk
mendatangi, menanyakan dan membenarkan orang-orang yang mengaku-ngaku
mengetahui perkara-perkara ghaib ini, kecuali perkara-perkara ghaib yang telah
dijelaskan oleh para Rosul -‘alaihim as-Salam- dan Rosulullah -shallallahu
‘alaihi wa sallam-, yang mereka telah diridloi Allah ta’ala dan diperintahkan
untuk memberitakan kepada umat manusia beberapa perkara ghaib. Misalnya;
mengenai kisah umat-umat terdahulu, adzab dan nikmat kubur, tanda-tanda kiamat,
surga, neraka dan lain sebagainya, karena sudah menjadi kewajiban mereka untuk
mengimani dan membenarkan ucapan para rosul -‘alaihim as-Salam- tersebut, dan
khususnya Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Diantara beberapa dalil dilarangnya mendatangi dan membenarkan mereka adalah,
عن أبى هريرة قال قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه و سلم: مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى
الله عليه و سلم
Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah -shallallahu ‘alaihi
wa sallam-, “Barangsiapa yang mendatangi (mencampuri) wanita haidl atau
mendatangi (mencampuri) wanita dari duburnya atau mendatangi dukun lalu
membenarkannya dengan apa yang dikatakannya maka sungguh-sungguh ia telah kafir
kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-“. [HR
Ibnu Majah: 639 dan lafazh ini baginya, Abu Dawud: 3904 dengan lafazh “Maka
sungguh-sungguh ia telah terlepas diri dari apa yang telah Allah turunkan
kepada Muhammad”, at-Turmudziy: 135, Ahmad: II/ 406, 407 dan ad-Darimiy: I/
259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[58]
عن أبى هريرو و الحسن عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَ
يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم
Dari Abu Hurairah dan al-Hasan, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau arraf (‘orang pintar’),
lalu ia membenarkannya dengan apa yang diucapkannya, maka sungguh-sungguh ia
telah kafir kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad -shallallahu
‘alaihi wa sallam-. [HR Ahmad: II/ 429 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy:
shahih].[59]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “((Maka sungguh-sungguh ia
telah kafir)) zhohirnya bahwasanya ini adalah kufur hakiki (yang sebenarnya). Dikatakan,
ini adalah kufur majaziy (kiasan), dan dikatakan, “Barangsiapa yang beritikad
bahwasanya dukun dan “orang pintar” itu mengetahui perkara ghaib dan melihat
rahasia ilahi, maka ia adalah orang kafir dengan kekafiran hakiki sama seperti
seseorang yang beritikad berpengaruhnya bintang-bintang, dan apabila ia tidak
(beritikad seperti itu) maka ia tidak (kafir)”.[60]
عن صفية عن بعض أزواجِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه و سلم عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةُ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
Dari Shofiyyah, dari istri-istri Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dari
Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi
“orang pintar” lalu bertanya kepadanya mengenai sesuatu, maka tidak akan
diterima sholatnya selama empat puluh malam”. [HR Muslim: 2230, lafazh
hadits ini baginya dan Ahmad: IV/ 68, V/ 380. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih].[61]
6). Syirik Hulul yaitu meyakini bahwasanya
Allah bertempat pada mahluk-mahluk-Nya (atau Allah ta’ala manunggal dengan
mahluk-Nya). Ini adalah aqidah Ibnu ‘Arobiy seorang shufiy (tarekat) yang
dikubur di kota Damaskus, sampai-sampai ia berkata, [62]
الرَّبُّ عَبْدٌ وَ اْلعَبْدُ رَبٌّ يَا لَيْتَ شِعْرِى مَنِ اْلمـُكَلَّفُ
Artinya,
Rabb itu adalah hamba dan hamba itu adalah Rabb
duhai semoga aku tahu siapakah kiranya yang diberi beban
Seorang penyair shufiy (lain) yang beritikad hulul
berkata,
وَ مَا اَلكَلْبُ وَ اْلخِنْزِيْرُ إِلَّا إِلَهُنَا وَ مَا اللهُ إِلَّا رَاهِبٌ فِى
كَنِيْسَةٍ
Artinya,
Dan tiadalah anjing dan babi itu melainkan ilah kita
dan tiadalah Allah itu melainkan seorang paderi di sebuah
gereja.
Lihatlah betapa jahat dan kejinya itikad mereka itu yang
menyamakan Allah ta’ala dengan hamba-Nya, betapa bodohnya mereka yang
mempersamakan Pencipta dengan ciptaan-Nya dan betapa bingungnya mereka yang
tidak dapat membedakan sesembahan yang asli dengan yang palsu. Amat buruklah
apa yang mereka hukumkan. Akankah mereka mempersamakan kaki mereka dengan kaki
meja yang mereka buat atau akankah mereka mempersamakan diri mereka dengan
boneka buatan mereka, dan akankah timbul kebingungan mereka di dalam membedakan
Allah ta’ala sebagai sesembahan yang asli dengan selain-Nya yang palsu, yang
tidak dapat mendengar ketika mereka berdoa, dan kalaupun dapat
mendengar tidak akan dapat memperkenankan doa mereka.
Padahal telah jelas bagi seorang mukmin akan keberadaan
Allah yaitu di atas ‘arsy-Nya di langit, sebagaimana telah berlalu
penjelasannya di dalam bab macam-macam tauhid, fasal tauhid al-asma’ wa
ash-shifat, bukannya di bumi apalagi manunggal dengan makhluk-Nya atau
Allah ada dimana-mana atau bahkan tidak diketahui keberadaan-Nya. Kafirlah
orang yang mempunyai itikad demikian, semoga Allah –subhaanahu wa ta’ala-
menjauhkan kita dari itikad buruk ini, sejauh-jauhnya.
Dari Abu Muthi’ al-Hakam bin Abdullah al-Balkhiy berkata,
“Aku pernah bertanya kepada (al-Imam) Abu Hanifah mengenai orang yang berkata, “Aku
tidak mengetahui Rabb-ku itu ada di langit ataukah di bumi”. Maka ia (al-Imam
Abu Hanifah) berkata, “Sungguh-sungguh ia telah kafir, karena Allah ta’ala
berfirman, ((ar-Rahman, bersemayam di
atas arsy, QS. Thoha/20: 5)), dan arsy-Nya itu ada di
atas tujuh langit-Nya”. Aku (Abu Muthi’)
berkata, “Lalu jika ia (orang itu) berkata, “Ia di atas arsy”, tetapi ia
berkata, “Aku tidakk tahu apakah arsy itu ada di langit ataukah ada di bumi”.
Ia (al-Imam Abu Hanifah) berkata, “Ia adalah orang kafir, karena ia mengingkari
bahwasanya Allah ada di atas langit, maka barangsiapa yang mengingkari
bahwasanya Allah ada di atas langit maka sungguh-sungguh ia telah kafir”.[63]
Begitu pula itikad orang mukmin itu mampu membedakan
secara jelas anatara Allah ta’ala sebagai sesembahan dengan makhluk-Nya sebagai
para penyembah. Tidak seperti itikadnya orang-orang sesat yang
mempersamakan-Nya dengan makhluk-Nya dan bahkan mempunyai anggapan bahwasanya
Allah itu makhluk dan makhluk itu Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka
sifatkan. Padahal Allah –Jalla wa ‘Alaa- adalah ilah yang sebenar-benarnya
sedangkan selain-Nya adalah batil, palsu dan binasa.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ اْلحَقُّ وَ أَنَّ مَا يَدْعُونَ
مِن دُونِهِ اْلبَاطِلُ وَ أَنَّ اللهَ هُوَ اْلعَلِيُّ اْلكِبِيرُ
Demikianlah, bahwasanya Allah itu Dia-lah yang benar dan
apa yang mereka sembah selain-Nya adalah batil. Dan bahwasanya Allah itu Dia-lah
Yang Maha tinggi lagi Maha besar [QS. Luqman/31: 30].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu Allah
menampakkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kalian agar kalian mengambil bukti
dengannya bahwasanya Dia adalah Yang benar, yaitu benar-benar ada dan ilah
(sesembahan) yang sebenar-benarnya, dan bahwasanya segala sesuatu selain-Nya
adalah batil”. [64]
7). Syirik Tashorruf yaitu itikad atau keyakinan bahwasanya sebahagian para
wali mempunyai kemampuan merubah atau memindahkan suatu keadaan yang mereka
mengatur berbagai urusan-Nya.
Setiap mukmin
pasti meyakini bahwasanya Yang mengatur segala macam urusan itu adalah Allah
-subhanahu wa ta’ala-, bahkan diantara kaum musyrikinpun ada yang meyakininya
sebagai firman Allah ta’ala,
يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ
يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Dia mengatur
urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan itu) naik kepada-Nya dalam satu
hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian. [QS.
as-Sajadah/32: 5].
قُلْ مَن يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَ اْلأَرْضِ أَمَّن
يَمْلِكُ السَّمْعَ وَ اْلأَبْصَارَ وَ
مَن يُخْرِجُ اْلحَيَّ مِنَ اْلمَـَيِّتِ وَ يُخْرِجُ اْلمـَيِّتَ مِنَ اْلأحَيِّ
وَ مَن يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ قَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah, “Siapakah yang memberi rizki
kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?”. Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mengapa kalian tidak bertaqwa (kepada-Nya)?”. [QS.
Yunus/10: 31].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, ((Dan siapakah yang
mengatur segala urusan)) di langit dan di bumi seperti; saling berturutannya
malam dan siang, turunnya hujan, dan sepert; hidup, mati, kaya, fakir, perang,
damai, sehat, sakit hingga selain itu dari apa yang termasuk dari bentuk tadbir
(pengaturan) ilahi mengenai suatu keadaan. ((Maka mereka akan
menjawab, “Allah”)), ketika itu tiada jawaban bagi mereka kecuali (jawaban)
ini. Kalau begitu Allah senantiasa Dia-lah yang melakukan ini (yaitu mengatur)
dan berkuasa atasnya bukan selain-Nya, mengapa Dia -‘Azza wa Jalla- tidak ditakwakan
dengan mentauhidkan-Nya dan meniadakan perbuatan syirik kepada-Nya. Mengapakah
kalian tidak bertakwa kepada-Nya?.[65]
Berdasarkan
kepada ayat ini dan penjelasannya, maka perbuatan tadbir (mengatur) segala
urusan itu adalah hak Allah -Jalla wa ‘Alaa- saja, tidak sekutu bagi-Nya,
sebagaimana yang diyakini oleh kaum mukminin dan kaum musyrikin pada masa
dahulu. Maka alangkah mengherankan jika ada orang, bahkan dikalangan umat
manusia yang mengaku-ngaku kaum muslimin sekarang ini, yang mempunyai keyakinan
bahwasanya selain Allah diantara para wali dan orang-orang shalih ada yang
mempunyai kemampuan ikut campur mengatur beberapa urusan yang merupakan hak
mutlak bagi Allah ta’ala saja. Dan juga mempunyai kemampuan merubah dan
mengganti keadaan seseorang dari bernasib buruk menjadi baik, dari selalu
tertimpa sial menjadi terhindar darinya, sulit mendapatkan jodoh menjadi mudah
mendapatkannya, dibenci orang menjadi disukai oleh siapa saja, sering terkena
penyakit menjadi terhindar darinya dan lain sebagainya. Semua itikad atau
keyakinan ini jelas sesat dan menyesatkan, karena tidak ada yang dapat merubah
atau mengganti suatu keadaan pada seseorang itu melainkan Allah ta’ala saja,
Dia-lah Yang melapangkan dan menyempitkan rizki, menahan hujan dan
menurunkannya, menimbulkan peperangan dan menghentikannya, menimpakan penyakit
dan menyembuhkannya, menimbulkan bahaya dan melenyapkannya, memeberikan
kekuasaan dan mencabutnya, memuliakan dan memperhinakan, membuat sedih dan
memberikan kebahagiaan, memudahkan jodoh dan menyulitkannya dan lain
sebagainya. Apalagi jika ada diantara mereka mempunyai itikad bahwasanya wali
Allah atau orang shalih itu -harus- mempunyai kemampuan yang tidak
dimiliki orang lain di dalam mengatur alam dan menyalahi kebiasaan manusia
misalnya; berjalan di atas air, terbang di angkasa, mengetahui isi hati orang,
merubah batu menjadi emas, tidak terluka terkena senjata tajam atau senjata
api, menghilang dari pandangan orang, memberitakan barang yang hilang atau
dicuri kepada pemiliknya atau orang lain, dan lain sebagainya. Amat buruklah
apa yang mereka itikadkan itu.
وَ
إِن يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرِّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَ إِن يُرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ
بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ هُوَ اْلغَفُورُ الرَّحِيمُ
Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka
tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hambaNya dan Dia-lah Yang Maha
pengampun lagi Maha penyayang. [QS. Yunus/10: 107]
Berkata al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah, “Di dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwasanya
kebaikan dan keburukan, kemanfaatan dan kemudlorotan itu hanyalah kembali
kepada Allah ta’ala saja, tidak ada seseorangpun bersekutu di dalam hal yang
demikian itu. Maka Dia sajalah yang patut untuk disembah, tiada sekutu bagi-Nya”.[66]
Berkata asy-Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Tidak beriman seorang hamba
sehingga ia meyakini bahwasanya apa yang Allah kehendaki kebaikan atau
keburukan baginya, tidak ada seseorangpun yang dapat mencegahnya dan tidak pula
merubahnya dengan satu keadaan dari beberapa keadaan. Dan ini adalah makna
hadits, [67]
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَ مَا أَخْطَأَكَ
لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ
Artinya, “Apa yang menimpamu tidak
akan luput bagimu dan apa yang luput bagimu tidak akan menimpamu”.[68]
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِن دُونِهِ فَلَا
يَمْلِكُونَ كضشْفَ الضُّرِّ عَنكُم وَ لَا تَحْوِيلًا
Katakanlah, “Panggilah
mereka yang kalian anggap (sesembahan) selain dari-Nya, maka mereka tidak akan
memiliki kemampuan untuk menghilangkan mudlarat (bahaya) dari kalian dan tidak
pula memindahkannya”. [QS. al-Isra’/17: 56]
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن
يَشَاءُ وَ يَقْدِرُ إِنَّ فِى ذَلِكَ لَأَيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah mereka
tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rizki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rizki itu). Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang beriman. [QS. ar-Rum/30: 37].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-jaza’iriy hafizhohullah, “Jelasnya hikmah Allah dan pengaturan-Nya di dalam
rizki, melapangkan dan menyempitkan. Dan juga memberikan pemahaman yang
demikian itu khusus bagi kaum mukminin karena mereka hidup, melihat dan
memahami. Berbeda dengan orang-orang
kafir, karena mereka mati, tidak melihat dan tidak tidak ada pemberian
pemahaman bagi mereka”.[69]
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ اْلمـُلْكِ تُؤْتِى اْلمـُلْكَ مَن
تَشَاءُوَ تَنزِعُ اْلمـُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَ تُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَ تُذِلُّ
مَن تَشَاءُ بِيَدِكَ اْلخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Ya Allah, Yang memiliki kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebaikan, sesungguhnya
Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu. [QS. Ali Imron/3: 26].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah, “Yaitu Engkau-lah Yang mengatur (merubah-rubah keadaan)
makhluk-Mu, Yang berbuat apa yang dikehendaki sebagaimana Allah telah membantah
orang yang menyanggah-Nya di dalam urusan-Nya ketika Ia berfirman, ((Dan mereka
berkata, “Mengapa alqur’an ini tidak diturunkan kepada orang besar dari salah
satu dua negeri (yaitu Mekkah dan Tho’if) ini?. QS. Az-Zukhruf/43: 31)), lalu
Allah berfirman membantah mereka, “(Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat
Rabb-mu, Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia. QS. Az-Zukhruf/43: 32)), yaitu Kami-lah yang mengatur pada apa yang Kami
telah ciptakan sebagaimana Kami inginkan, tanpa ada yang menahan dan mencegah,
dan Kami mempunyai hikmah yang mantap dan hujjah yang sempurna.[70]
Dan berbagai macam hal lain yang
Allah ta’ala sendiri telah mengatur seluruhnya, bukan selain-Nya. Karena segala
sesuatu selain-Nya juga telah diatur oleh-Nya dari masalah lahir, tumbuh
berkembang, rizki, hidayah, kesehatan, sakit, sehat, bahagia, sengsara, jodoh, umur,
ajal dan lain sebagainya dari hal-hal yang menyangkut kehidupannya, karena
Dia-lah Yang Maha mengatur (al-Mudabbir). Oleh sebab itu jika ada orang yang
mempunyai itikad bahwa disamping Allah –Jalla dzikruhu- itu ada pengatur
(mudabbir) yang lain selain-Nya, maka ia telah musyrik di dalam perkara ini.
8). Syirik Khouf yaitu meyakini
bahwasanya sebahagian para wali yang telah mati atau yang ghaib dan selainnya
memiliki kemampuan merubah atau memindahkan suatu keadaan dan memberikan
kemudlorotan yang menyebabkan rasa takut dari mereka.
Setelah dipahami bahwa Alla ta’ala
saja yang dapat menimpakan marabahaya dan kesengsaraan dan hanya Dia pulalah
yang dapat melenyapkannya, maka mengapakah mesti takut atau khawatir terhadap
segala sesuatu selain Allah ta’ala?. Karena meskipun mereka berusaha untuk
menimpakan marabahaya dan kesengsaraan, tetapi jika Allah –Subhaanahu wa
ta’ala- tidak menghendakinya maka marabahaya dan kesengsaraan tersebut tidak
akan menimpanya. Begitu pula, jika telah dipahami bahwasanya hanya Allah ta’ala
saja yang dapat mendatangkan karunia dan kebaikan dan tidak ada sesuatupun yang
dapat menahannya, maka mengapakah harus takut atau khawatir kepada selain-Nya?.
Karena kendatipun mereka berusaha untuk menahan atau mencegah karunia dan
kebaikan, tetapi bila Allah -subhanahu wa ta’ala- menghendakinya maka karunia
dan kebaikan tersebut tentu akan tetap diperolehnya. Sebagaimana telah berlalu
sabda Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada Ibnu ‘Abbas
-radliyallahu ‘anhuma-,
وَ
اعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ
يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَ لَوِ اجْتَمَعُوْا
عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ
اللهُ عَلَيْكَ رُفِعَ اْلأَقْلاَمُ وَ جَفَّتِ الصُّحُفُ
Dan ketahuilah!
Bahwasanya andaikan umat ini berhimpun untuk memberi manfaat dengan sesuatu kepadamu, maka hal tersebut tidak
akan memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkannya bagimu. Dan andaikan mereka berhimpun untuk memberi mudlorot (bahaya) dengan sesuatu kepadamu, maka hal
tersebut tidak akan memberi mudlorot kepadamu
kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Karena telah diangkat
pena dan telah kering tinta (untuk menulis ketetapan takdir). [HR at-Tirmidziy: 2516 dan Ahmad: I/ 293, 303, 307-308.
Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih,
lihat].[71]
Dari sebab itu,
jika ada seseorang merasa takut atau khawatir terhadap segala sesuatu selain
dari Allah ta’ala itu akn menimpakan marabahaya dan kesengsaraan atau mencegah
karunia dan kebaikan, maka ia telah melakukan syirik khouf.
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخُوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ
فَلَا تَخَافُوهُمْ وَ خَافُونِ إِن كُنتُمْ مُؤْمِنِينَ
Sesungguhnya
mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti
(kalian) dan kawan-kawannya (kaum musyrikin quraisy), karena itu janganlah
kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar
orang yang beriman. [QS. al-‘Imron/3: 175].
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy terdapat penjelasan bahwasanya setan
itu menakut-nakuti orang yang beriman dari wali-walinya (kawan-kawannya), maka
wajib bagi kaum mukminin untuk tidak takut kecuali kepada Rabb mereka ta’ala di
dalam kehidupan lalu mereka mentaati-Nya, menyembah-Nya dan bertawakkal
kepada-Nya dan cukuplah Dia itu bagi mereka dan Dia adalah sebaik-baik
pelindung bagi mereka.[72]
أَلَيْسَ اللهُ بِكَـــافٍ عَبْدَهُ وَ يُخَوِّفُونَكَ
بِالَّذِينَ مِن دُونِهِ وَ مَن يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Bukankah Allah cukup melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka
menakut-nakutimu dengan (sembahan-sembahan) selain-Nya, dan siapa yang
disesatkan oleh Allah maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. [QS.
Az-Zumar/39: 36].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu wahai rosul Kami! Kaum musyrikin itu
menakut-nakutimu dengan apa yang mereka sembah selain Kami, dari patung-patung
dan berhala-berhala, bahwasanya berhala-berhala itu akan menimpakan kepadamu
kematian (dengan cara dibunuh) atau kebinasaan, maka janganlah yang demikian
itu menyusahkan hatimu, kerena sesungguhnya berhala-berhala itu tidak memberi
mudlorot (bahaya), tidak memberi manfaat, tidak menarik (manfaat) dan tidak
dapat menolak (kemudlorotan)”.[73]
Berkata al-Hafizh Ibnu katsir
rahimahullah, “((Dan mereka menakut-nakutimu dengan sembahan-sembahan
selain-Nya)) yaitu kaum musyrikin menakut-nakuti rosul -shallallahu ‘alaihi wa
sallam- dan mengancamnya dengan berhala-berhala dan ilah-ilah mereka, yang
mereka seru dari selain Allah karena kebodohan dan kesesatan yang ada dari diri
mereka”.[74]
وَ حَاجَّهُ قَوْمُهُ أَتُحَاجُّونِّى فِى اللهِ وَ قَدْ
هَدَانِ وَ لَا أَخَافُ مَا تُشْرِكُونَ بِهِ إِلَّا أَن يَشَاءُ رَبِّى شَيْئًا
وَسِعَ رَبِّى كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ وَ كَيْفَ أَخَافُ مَا
أَشْرَكْتُمْ بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ
اْلفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِاْلأَمْنِ إِن كُنتُم تَعْلَمُونَ
Dan dia (Ibrahim dibantah oleh kaumnya, ia berkata, “Apakah kalian hendak
membantahku tentang Allah, padahal sungguh-sungguh Ia telah memberi petunjuk
kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang
kalian persekutukan dengan Allah, kecuali dikala Rabbku menghendaki sesuatu
(dari malapetaka) itu. Pengetahuan Rabbku meliputi segala sesuatu, maka
tidakkah kalian mengambil pelajaran (darinya)?. Bagaimana aku takut kepada
sembahan-sembahan yang kalian persekutukan (dengan-Nya), padahal kalian sendiri
tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Ia sendiri
tidak menurunkan hujjah kepada kalian (untuk mempersekutukan-Nya). Maka manakah
diantara dua golongan itu yang lebih berhak mendapatkan rasa aman (dari
malapetaka), jika kalian mengetahui?. [QS. Al-An’am/ 6: 80-81].
Berkata al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu termasuk dari dalil atas kebatilan ucapan
kalian pada apa yang kalian mengarah kepadanya, bahwasanya ilah-ilah yang
kalian sembah ini tidak ada pengaruhnya sedikitpun dan aku tidak takut
kepadanya dan tidak pula memperdulikannya. Jika ilah-ilah itu mempunyai tipu
daya maka lakukanlah tipu daya itu dan janganlah menunda-nunda tetapi
segerakanlah terhadapku dengan yang demikian itu.[75]
Perhatikanlah,
bagaimana Khalilullah Ibrahim -‘alaihi
as-Salam- tidak merasa gentar, takut dan khawatir dengan penentangannya kepada berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya. Bahkan ia menghancurkan
sebahagian berhala itu tanpa ada rasa takut dan khawatir, bahwa berhala-berhala
itu akan dapat menimpakan bahaya dan kesengsaraan kepadanya atau
berhala-berhala itu akan menahan kebaikan dan karunia yang akan datang
kepadanya.
Dan juga ada diantara
manusia yang mempunyai rasa takut kepada mahluk Allah ta’ala yang lain yaitu
dari golongan jin, sebagaimana disebutkan di dalam ayat ini,
وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنسِ يَعُوذُونَ
بِرِجَالٍ مِن اْلجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Dan bahwasanya ada
beberapa orang dari golongan manusia meminta perlindungan kepada beberapa orang
dari golongan jin, maka jin-jin itu menambahkan dosa (rasa takut) bagi mereka.
[QS. al-Jinn/72: 6].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir, “Yaitu kami
(maksudnya; golongan jin) memandang bahwasanya kami mempunyai keutamaan
dibandingkan atas manusia, karena mereka meminta perlindungan kepada kami
ketika mereka singgah di lembah atau tempat yang liar (atau angker) dari tanah
yang luas/ lapang dan selainnya. Sebagaimana kebiasaan orang Arab di masa
jahiliyah yang meminta perlindungan kepada penguasa agung tempat tersebut dari
golongan Jin akan menimpakan kepada mereka sesuatu yang dapat menyusahkan
mereka. Sama seperti keadaan
seseorang diantara mereka yang masuk ke negeri musuh di dalam perlindungan
seorang pembesar, pengamanan dan pengawalannya. Ketika golongan jin melihat
bahwasanya manusia meminta perlindungan kepadanya karena rasa takut dari
mereka, maka jin-jin itu menambahkan dosa kepada mereka, yaitu rasa khawatir,
gentar dan takut, sehingga tetaplah ketakutan yang sangat (pada mereka) dan
banyaknya meminta perlindungan kepada mereka”.[76]
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Diharamkan meminta
pertolongan dan meminta perlindungan kepada golongan jin, karena yang demikian
itu serupa dengan beribadah kepada mereka”.[77]
1). Rasa takut yang
bersembunyi, yaitu takut dari selain Allah dari berhala, thoghut atau
tertimpa sesuatu yang ia tidak sukai, sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman
tentang Nabi Hud -‘alaihi as-Salam-, sesungguhnya mereka berkata kepadanya ((Kami
tidak mengatakan melainkan bahwa sebahagian sembahan kami telah menimpakan
penyakit gila atas dirimu. Hud menjawab, “Sesungguhnya aku jadikan Allah
sebagai saksiku dan saksikanlah oleh kalian bahwasanya aku berlepas dari diri
apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu daya
kalian semuanya terhadapku dan janganlah kalian member tangguh kepadaku. QS.
Hud/11:54-55)), dan firman Allah ta’ala
((Dan mereka menakut-nakuti
kalian dengan sembahan-sembahan yang selain-Nya. QS. Az-Zumar/39: 36)). Ini telah terjadi dari penyembah-penyembah kubur dan
yang semisalnya dari berhala-berhala yang mereka takut darinya, dan mereka
menakut-nakuti ahli tauhid dengannya ketika mereka mengingkari peribadatan
kepadanya dan mereka disuruh agar memurnikan ibadah bagi Allah. Dan (perbuatan
takut kepada berhala-berhala) ini menafikan (meniadakan) tauhid.
2). Meninggalkan manusia mengenai apa yang wajib baginya, karena rasa takut dari sebahagian manusia. Maka ini adalah diharamkan dan
ia termasuk dari satu macam perbuatan syirik kepada Allah yang meniadakan
kesempurnaan tauhid. Dan ini adalah penyebab turunnya ayat ini, sebagaimana
firman Allah ta’ala ((yaitu orang-orang (yang beriman), yang kepada mereka ada
orang-orang (munafik) yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia (yaitu kaum
musyrikin Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena
itu takutlah kalian kepada mereka”. Maka perkataan (orang-orang munafik) itu
menambah keimanan kepada mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi
Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia yang besar dari
Allah, mereka tidak mendapatkan keburukan (bencana) apa-apa, mereka mengikuti keridloan Allah. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan
yang menakut-nakuti kalian dengan kawan-kawannya, karena itu janganlah kalian
takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang
yang beriman. QS. Ali ‘Imran/3: 173-175)). Dan di dalam hadits,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ لِلْعَبْدِ يَوْمَ
اْلقِيَامَةِ: مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ اْلمـُنْكَرَ أَنْ لَا يُغَيِّرَهُ؟
فَيَقُوْلُ: رَبِّ خَشْيَةَ النَّاسِ فَيَقُوْلُ: إِيَّايَ كُنْتَ أَحَقَّ أَنْ
تَخْشَى
Artinya, “Sesungguhnya Allah
ta’aala berfirman kepada hamba pada hari kiamat, “Apakah yang mencegah
dirimu ketika engkau melihat kemungkaran, engkau tidak merubahnya?”. Ia
menjawab, “Wahai Rabbku, rasa takut(ku) kepada manusia. Lalu Allah berfirman,
“kepada-Ku sajalah, engkau lebih berhak merasa takut. [HR Ahmad: III/ 30, 47-48, 91-92 dan Ibnu Majah: 4008 dari Abu Sa’id
al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dlo’if].[79]
3). Rasa takut thobi’iyyah
(alami), yaitu rasa takut dari musuh, binatang buas atau selain dari itu, dan ini
tiada tercela. Sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman di dalam kisah Nabi
Musa ‘alaihi as-Salam, ((Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut
yang menyertai, ia berdoa, “Wahai Rabbku selamatkanlah dirimu dari orang-orang
yang zholim”. QS. al-Qoshosh/28: 21)).
9). Syirik Hakimiyyah yaitu memberlakukan
undang-undang yang menyelisihi islam dan membolehkannya, ata memandang tidak
baiknya hokum islam. Dan hal ini meliputi hakim (orang yang menerapkan hukum)
dan mahkum (orang yang dikenakan hukum), dan yang demikian itu apabila orang
yang dikenakan hukum itu meyakininya dan ridlo dengannya.
Yang paling
penting dipahami di sini adalah bahwasanya menetapkan hukum adalah milik Allah
ta’ala dan tidak ada campur tangan satupun mahluk di dunia dalam penetapan
hukum ini. Maka jika ada orang yang meyakini bahwasanya selain Allah -Jalla wa
‘Alaa- diperbolehkan membuat dan menetapkan hukum menurut kehendaknya sendiri lalu
mencampurkannya dengan hukum yang telah ditetapkan oleh-Nya dan bahkan
menyelisihi hukum Islam yang telah diberlakukan oleh-Nya maka berarti ia telah
melakukan syirik hakimiyyah, karena ia telah mempersekutukan atau menduakan
Allah ta’ala di dalam masalah penetapan hukum.
وَ لَا يُشْرِكُ فِى حُكْمِهِ أَحَدًا
Dan Dia tidak
mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya di dalam menetapkan hukum (keputusan).
[QS. al-Kahfi/18: 26].
Berkata al-Hafizh
Ibnu katsir rahimahullah, “Yaitu bahwasanya Allah ta’ala Dia adalah Yang
mempunyai hal penciptaan dan perintah, Yang tidak ada yang mengikuti bagi
hukum-Nya, tidak ada wakil penolong, sekutu dan tidak pula pemberi isyarat,
bagi-Nya Yang Maha tinggi Allah dan Maha suci.[80]
Berkata
asy-Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Karena cukupnya Dia dari
apa-apa selain-Nya dan karena tiadanya sekutu bagi-Nya di dalam satu keadaan
dari beberapa keadaan.[81]
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِنَ الدِّينِ مَا
لَمْ يَأْذَن بِهِ اللهُ وَ لَوْ لَا كَلِمَةُ اْلفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَ
إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diidzinkan Allah?. Sekiranya tak ada ketetapan
yang menentukan (dari Allah) tentulah telah ditetapkan kebinasaan di antara
mereka. Dan sesunggguhnya orang-orang yang zholim itu akan memperoleh adzab
yang sangat pedih. [QS. Asy-Syura’/42: 21].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Dan firman Allah ta’ala di dalam ayat ((Apakah
mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diidzinkan Allah?)). Allah berfirman, “Apakah orang-orang
musyrik dari golongan kafir Quraisy itu mempunyai sekutu-sekutu dari setan yang
mensyariatkan agama untuk mereka yaitu berupa kemusyrikan yang tidak diidzinkan
Allah. Ini adalah bentuk pengingkaran atas mereka dan bentuk pemberitahuan
adanya kemurkaan yang sangat keras dari sebab kemusyrikan mereka yang telah
dihiasi oleh para setan tersebut lalu memalingkan mereka dari agama yang hak
(benar) kepada agama yang batil. Oleh sebab itu Allah berfirman, ((Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan tentulah telah ditetapkan kebinasaan di
antara mereka)), yaitu sekiranya bukan sebab Allah ta’ala telah menentukan
penangguhan adzabnya pada hari kiamat tentulah Allah telah mengadzab dan
membinasakan mereka di dunia sebelu akhirat, yang demikian itu lantaran mereka
telah menjadikan agama yang tidak disyariatkan untuk mereka. Dan firman-Nya ta’ala,
((Dan sesungguhnya orang-orang zholim itu)) yaitu orang-orang musyrik, mereka
akan memperoleh adzab yang sangat pedih yaitu yang membuat rasa sakit, dan yang
demikian itu pada hari kiamat. Dan ini adalah ancaman bagi orang-orang musyrik
yang telah menjadikan kejahiliyahan, kemusyrikan dan penyembahan kepada berhala
sebagai agama dan berpaling dari agama Allah yang telah diwasiatkan kepada Nuh,
telah diwahyukannya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penutup para Rosul dan sebagaimana yang diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa ‘alaihim as-Salam.[82]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy
rahimahullah, Dan makna ((apa yang tidak diidzinkan Allah)) apa (yaitu agama)
yang tidak diidzinkan-Nya dari perbuatan syirik dan maksiat. ((Sekiranya tidak
ada ketetapan yang menentukan)) yaitu menangguhkan adzab mereka, sebagaimana Ia
telah berfirman, ((Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada
mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. QS. Al-Qomar/54: 46)). ((Tentulah telah ditetapkan
kebinasaan di antara mereka)) yaitu di dunia lalu
mereka disegerakan dengan siksaan. Dlomir (kata ganti) pada kata “baynahum”
(diantara mereka) kembali kepada kaum mukminin dan orang-orang kafir atau
kepada orang-orang kafir dan sekutu-sekutu mereka. ((Dan sesungguhnya
orang-orang zholim itu akan memperoleh adzab yang sangat pedih)) yaitu
orang-orang musyrik dan mendustakan itu akan memperoleh siksaan yang sangat
pedih di dunia dan akhirat.[83]
Demikian penjelasan singkat tentang
perbuatan syirik dan jenis-jenisnya sebagaimana telah dihimpun oleh para ulama
tauhid.
Hal ini, mudah-mudahan untuk memberi kemudahan
bagiku, keluarga, kerabat dan para shahabatku khususnya dan kaum muslimin
umumnya untuk menghindar dari berbagai kemusyrikan. Karena perbuatan syirik itu
adalah dosa yang paling besar dari berbagai jenis dosa besar yang kita wajib
jauhi dan tinggalkan.
Jika kita tidak mengetahuinya secara
utuh dan benar, maka boleh jadi kita berusaha menghindar dari satu kemusyrikan
namun kita bisa jatuh dan terperosok ke dalam kemusyrikan yang lain. Na’udzu
billah.
Wallahu a’lam bi ash-Sowab.
[3] Majmu’ah ar-Rosa’il at-Tawjihat
al-Islamiyyah halaman 188-189 dan Majmu’ah at-Tauhid halaman 7-8.
[6] Tafsir al-Baghowiy: III/ 568 dan lihat pula penjelasan asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan di dalam kitab Majmu’ah at-Tauhid: I: 394
[8] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2370, 2590, 2685,
Tuhfah al-Ahwadziy: VIII/ 260, IX/ 100, 253, Shahih Sunan Abi Dawud: 1312, ‘Aun
al-Ma’bud: IV/ 247, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3086, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir:
3407 dan Misykah al-Mashobiih:2230.
[10] Shaih
Sunan at-Turmudziy: 2682, Tuhfah al-Ahwadziy: IX/ 252, Shahiih Sunan Ibnu Majah:
3087, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5392 dan Misykah al-Mashobih: 2232.
[11]
Tuhfah al-Ahwadziy: IX/ 252.
[12]
Shahih Sunan Ibnu Majah: 3085, Shahih at-Turmudziy: 2686, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 2418 dan Misykah al-Mashobih: 2238.
[16] Fath
al-Bariy: I/ 9, 135, V/ 160, VII/ 226, IX/ 115, XII/ 327, Mukhtashor Shahih
al-Bukhoriy: 1, al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 48, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawiy:
XII/ 53-54, Mukhtashor Shahih Muslim: 1080, Shahih Sunan Abu Dawud: 1927, ‘Aun
al-Ma’bud: VI/ 203-204, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1344, Tuhfah al-Ahwadziy: V/
228-229, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 73, Shahih Sunan Ibnu Majah: 3405, Misykah
al-Mashobih: 1, Ahkam al-Jana’iz halaman 70, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 8,
Irwa al-Gholil: 22 dan untuk hadits tersebut dijelaskan oleh Ibnu Rajab
al-Hambaliy di dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam: I/ 1-49 hadits nomor 1.
[20]
Al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 47, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIII/
50-51, Mukhtashor Shahih Muslim: 1089, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1942, Tuhfah
al-Ahwadzy: VII/ 84-86, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2960, Shahih al-Jaami’
ash-Shaghir: 1713-2014, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 20, 100 dan Tahqiq
Riyadl ash-Shalihin: 1623.
[22]
Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2943, Shahih Sunan Abu Dawud: 2196, ‘Aun
al-Ma’bud: VII/ 138, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1856, Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 52, Shahh at-Targhib wa at-Tarhib: 6 dan Ahkam al-Jana’iz halaman
70-71.
[23] Shahih Sunan Abu Dawud: 3112, ‘Aun
al-Ma’bud: X/ 70, Shahih Sunan Ibnu Majah: 204, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6159,
Misykah al-Mashobih: 227 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 100.
[24] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2138, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 391, Shahih at-Targhib: wa at-Tarhib: 101,
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6383 dan Misykah al-Mashobihi: 225.
[25] Shahih Sunan Ibnu Majah: 208 dan Shahih
at-Targhib wa at-Tarhib: 103.
[33] Majmu’ah
at-Tauhid: I/ 330, yang dimaksud delapan perkara adalah ayah, anak, saudara, istri,
family, harta yang dikumpulkan, perniagaan yang dikhawatirkan rugi dan
tempat-tempat tinggal yang disukai.
[34] Fat-h al-Bariy: I/ 60, 72 , X/ 463, XII/
315, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: 13, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 48, Shahih
Muslim bi Syath an-Nawawiy: II/ 13, 14, Mukhtashor Shahih Muslim: 22, Shahih
Sunan at-Turmudziy: 2116, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 356-357, Shahih Sunan Ibnu
Majah: 3258, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4615, 4616, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir:
3044, dan Misykah al-Mashobih: 8.
[35]
Madarij as-Salikin: III/ 21-22, Fat-h al-Majid halaman 401 dan Taysir al-‘Aziz
al-Hamid halaman 412.
[40] Aysar
at-Tafasir: II/ 360-361.
[41] Tafsir
al-Baghowiy: II/ 286, Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah halaman 204 dan Syarh
al-‘Aqidah al-Wasithiyyah oleh al-‘Allamah Muhammad Kholil Harros halaman 305.
[47] Fat-h al-Bariy: VII/ 58, XIII/ 122, 233,
al-Jami’ ash-Shahih: VI/ 15, Shahih Muslim bi Syarh aan-Nawawiy: XII/ 227,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1225, Shahih Sunan Abu Dawud: 2285, ‘Aun al-Ma’bud:
VII/ 207-208, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3921, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7519,
7520, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 181 dan Misykah al-Mashobih: 3665.
[49]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7520, Silisilah al-Ahadits
ash-Shahihah: 179, 180 dan Misykah al-Mashobih: 3696.
[51]
Majmu’ah Rosa’il at-Tawjihat al-Islamiyyah halaman 189, dengan beberapa
tambahan penjelasan dari penyusun.
[54]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 3255, Fat-h al-Bariy: I/ 114, VIII/ 513, al-Jami’ ash-Shahih: I/ 30,31 dan Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy:
I/ 164, 165.
[55] Fat-h al-Bariy: I/ 524, VII/ 291, 375, 513, XIII/ 361, Mukhtashor Shahih al-Bukhoriy: I/ 250 hadits nomor 546, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5884 dan Misykah
al-Mashobih: 1514.
[58]
Shahih Sunan Ibnu Majah: 522, Shahih Sunan Abu Dawud: 3304, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 116, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5942, Misykah al-Mashobih: 551,
4599, Irwa’ al-ghalil: 2006 dan Adab az-Zifaf halaman 105, 120-121.
[59]
Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5399, Irwa’ al-Ghaill: VII/ 69, Syarh al-Aqidah ath-Thohawiyyah halaman
502 hadits nomor 767 dan Ghoyah al-Maram: 285.
[60] Nail
al-Awthor: VII/ 214.
[61]
Al-Jami’ ash-Shahih: VII/ 37, Muslim bi Syarh an-Nawawiy: XIV/ 227,
Mukhtashor Shahih Muslim: 1496, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5940, Misykah
al-Mashobih: 4595, Ghoyah al-Maram: 284, Syarh al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah
halaman 502, Riyadl ash-Shalihin: 1667 dan Tahqiq Riyadl ash-Shahlihin: 1678.
[63] Syar-h al-‘Aqidah ath-Thohawiyyah halaman 288,
Mukhtashor al-‘Uluw halaman 136 dan Majmu’ah Rosa’il at-Tawjihat al-Islamiyyah
halaman 169.
[67]
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud: 4699, Ibnu Majah: 77 dan Ahmad: V/
185, 189 dari Ibnu ad-Dailamiy ketika mendatangi Ubay bin Ka’b, Ibnu Mas’ud
Hudzaifah bin al-Yaman dan Zain bin Tsabit -radliyallahu ‘anhum- bertanya
masalah qodar. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih sebagaimana di dalam
kitabnya shahih Abi Dawud: 3932, Shahih Sunan Ibnu Majah: 62, Shahiih al-Jami’
ash-Shaghir: 5244 dan Misykah al-Mashobih: 115.
[71] Shahih Sunan at-Tirmidziy : 2043, Tuhfah al-Ahwadziy: VII/ 228-229, Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir: 7957, Misykah al-Mashobih: 5302, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam: 1500 dan Subul as-Salam
Syarh Bulugh al-Maram: IV/ 321
[79]
Dlo’if Sunan Ibnu Majah: 868 dan Dlo’ifah al-Jami’ ash-Shaghir: 6332.
Adapun riwayat yang shahihnya adalah,
إِنَّ اللهَ لَيَسْأَلُ اْلعَبْدَ يَوْمَ
اْلقِيَامَةِ حَتَّى يَقُوْلَ: مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَ اْلمـُنْكَرَ أَنْ
تُنْكِرَهُ؟ فَإِذَا لَقَّنَ اللهُ عَبْدًا حُجَّتَهُ قَالَ: يَا رَبِّ رَجَوْتُكَ
وَ فَرِقْتُ مِنَ النَّاسِ
Artinya, “Sesungguhnya Allah benar-benar akan bertanya kepada hamba
pada hari kiamat, hatta berfirman, “Apakah yang mencegahmu ketika melihat
kemungkaran untuk mengingkarinya?”. Maka apabila Allah telah mengajarkan kepada
hamba cara berhujjahnya, ia berkata, “Wahai Rabbku, aku mengharapkan-Mu dan
(tetapi) aku sangat takut kepada manusia”. [HR Ibnu Majah: 4017, Ahmad: III/ 27, 29, 77 dan al- Humaidiy: 739 dari Abu
Sa’id al-Khudriy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, sebagaimana di dalam
kitab Shahih Sunan Ibnu Majah: 3244, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1818 dan
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 929].