السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Rabu, 15 Agustus 2012

SUDAHKAN ANDA MEMBAYAR ZAKAT FITHRAH DENGAN BENAR??


MEMBAYAR ZAKAT FITHRAH DENGAN UANG?

 بسم الله الرحمن الرحيم

                Zakat fithrah/ fithri adalah zakat yang wajib ditunaikan menjelang usainya puasa pada bulan Ramadlan.

عن ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, yang muda maupun yang tua. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘ied”. [1]
 
Kewajiban ini sudah menjadi hal yang biasa dan menyenangkan bagi sebahagian besar kaum muslimin, yakni ketika menjelang lebaran sejak sepekan sebelumnya sampai mendekati waktu lebaran mereka berlomba-lomba mendatangi masjid untuk membayar zakat fithrah untuk dirinya dan keluarganya.

Dan sudah menjadi tradisi dan kebiasaan pula bagi sebahagian besar kaum Muslimin ketika menunaikan pembayaran zakat fithri/ fithrah itu dengan menggunakan uang seukuran dengan harga bahan makanan pokok tersebut.

            Misalnya di negara kita Indonesia ini, sebahagian besar makanan pokok rakyatnya adalah nasi yang berbahan dasar beras. Maka ketika mereka hendak membayar zakat fithrah, mereka segera mengeluarkan kewajiban mereka itu tetapi kebanyakan mereka dalam bentuk uang sesuai dengan harga beras yang biasa mereka makan. Kalau mereka biasa makan dari beras yang berharga Rp. 8.000,- maka uang yang harus mereka keluarkan 3,5 liter x Rp. 8.000,- = Rp. 28.000,- lalu dikalikan dengan jumlah jiwa dalam keluarga tersebut.

            Bahkan yang lebih miris lagi adalah jika ada anggota keluarganya itu bersekolah di satu sekolah, aktif dalam kegiatan masyarakat maka masing-masing mereka diminta zakat fithrahnya. Maka orang tuanya bisa membayar 1 anggota keluarganya dengan 3 zakat fithrah atau lebih, padahal boleh jadi ia termasuk dari keluarga yang hidupnya pas-pasan. Seakan sekolah atau komunitas tersebut ingin menunjukkan jati dirinya dengan mampu mengumpulkan uang sekian-sekian dari zakat fithrah siswa-siswa sekolahnya atau anggota komunitasnya.

            Namun membayar zakat fithrah dengan menggunakan uang tidak dengan makanan pokok itu, apakah pernah dilakukan di masa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?.  Dan bolehkan membayarnya dengan mata uang seukuran dengan harga dari makanan pokok tersebut?.

Berikut akan disampaikan fatwa Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pembimbingan Kerajaan Saudi Arabia (Ro’is al-‘Aam li idarot Al Buhuts al-‘Ilmiyah wa al- Ifta’ wa ad-Da’wah wa a- Irsyad) mengenai Zakat Fithri/ fithrah dengan uang. Semoga dapat bermanfaat bagi kaum muslimin.

Alhamdulillahi Robbil ‘alamin wa shollallahu wa sallam ‘ala ‘abdihi wa rosulihi Muhammad wa ‘ala alihi wa ash-habihi ajma’in.

Wa ba’du, Beberapa saudara kami pernah menanyakan kepada kami mengenai hukum membayar zakat fithri/ fithrah dengan uang.


Jawaban

Tidak diragukan lagi bagi setiap muslim yang diberi pengetahuan bahwa rukun Islam yang paling penting dari agama yang hanif (lurus) ini adalah syahadat ‘Laa ilaha illallah wa anna Muhammad Rasulullah’. Konsekuensi dari syahadat laa ilaha illallah ini adalah seseorang harus menyembah Allah semata. Konsekuensi dari syahadat ‘Muhammad adalah Rasul-Nya’ yaitu seseorang hendaklah menyembah Allah hanya dengan menggunakan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Telah kita ketahui bersama) bahwa zakat fithri adalah ibadah berdasarkan ijmak (kesepakatan) kaum muslimin. Dan hukum asal ibadah adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Oleh karena itu, setiap orang hanya dibolehkan melaksanakan suatu ibadah dengan menggunakan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah mengatakan mengenai Nabi-Nya ini,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (alqur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [QS. An Najm / 53: 3-4].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat-buat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. [2]
 
Dalam riwayat Muslim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada syariatnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [3]
 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan mengenai penunaian zakat fithri –sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih- yaitu ditunaikan dengan 1 sha’ bahan makanan, kurma, gandum, kismis, atau keju. Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, yang muda maupun yang tua. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘ied”. 

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sha’ bahan makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum atau 1 sha’ kismis”. [4]
 
Dalam satu riwayat disebutkan,

أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ

“Atau 1 sha’ keju”. 

Inilah hadits yang disepakati keshahihannya dan beginilah sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan zakat fithri. Telah kita ketahui pula bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. [QS. Al Ahzab/ 33: 21].

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. [QS. At Taubah/ 9 : 100].

Dari penjelasan kami di atas, maka jelaslah bagi orang yang mengenal kebenaran bahwa menunaikan zakat fithri dengan uang tidak diperbolehkan dan tidak sah karena hal ini telah menyelisihi berbagai dalil yang telah kami sebutkan. Aku memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk memahami agamanya, agar tetap teguh dalam agama ini, dan waspada terhadap berbagai perkara yang menyelisihi syari’at Islam. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [5]
 
Berkata asy-Syaikh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Tidak boleh membayar (zakat fithrah) dengan harga makanan, karena hal itu menyelisihi perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Telah tsabit dari Beliau Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada syariat dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. Di dalam suatu riwayat, “Barangsiapa membuat-buat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”. Juga karena membayar dengan harga (makanan) itu menyelisishi amalan para Shahabat radliyallahu anhum ketika mereka membayarnya dengan satu sha’ dari makanan. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya para khalifah yang benar lagi terbimbing sepeninggalku”. [6] Zakat fithrah itu adalah ibadah yang diwajibkan dari jenis tertentu, maka tidak boleh menunaikannya dari selain jenis yang ditentukan itu sebagaimana tidak boleh menunaikannya pada selain waktu yang ditentukan. [7]  

Berkata DR. Abdul Azhim bin al-Badawiy, “Tidak boleh membayar harganya, namun al-Imam Abu Hanifah membolehkannya”. (Telah disebutkan oleh an-Nawawiy di dalam Syar-h Muslim: VII/ 60). Aku katakan, “Pendapat al-Imam Abu Hanifah tersebut tertolak karena [Dan tidaklah Rabb-mu itu lupa. QS. Maryam/ 19: 64]. Seandainya harganya itu diperbolehkan, niscaya Allah dan Rosul-Nya telah menjelaskannya. Maka yang wajib adalah diam di sisi lahiriyahnya nash-nash tanpa tahrif dan ta’wil. [8]

Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, “Tidak boleh membayar harga makanan, karena hal itu menyelisihi perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan juga menyelisihi amalan para shahabat. Mereka membayar zakat fithrah itu dengan satu sho’ makanan. Zakat fthri itu adalah ibadah yang diwajibkan dari jenis tertentu yaitu makanan. Maka tidak boleh membayarnya dari selain jenis tertentu tersebut”. [9]

Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Zakat fithri satu sha’ makanan, barangsiapa membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata, “Yang membawa adonan diterima”. [10]
 
Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri, ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma, “Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu sha’ makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, aku mengira beliau berkata, “Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang mengeluarkan berupa adonan, diterima”. [11]
 
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani, "Sepertinya barang-barang yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id,- di mana takaran barang itu sama padahal harganya berbeda-beda ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah mengeluarkan barang-barang tersebut dari jenis apapun (bukan harganya), dan tiada perbedaan antara gandum bagus dengan selainnya”. [12]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan kewajiban zakat fithri sebagai pembersih  bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan perkataan kotor serta sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat maka ia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu hanyalah sedekah". [13]
 
Pernah ada yang mengatakan kepada Imam Ahmad Rahimahullah, "Ada yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz (Tabi’in/Khalifah) mengambil uang dalam zakat fithri". Maka Imam Ahmad berkomentar, "Mereka meninggalkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil mengatakan "kata si Fulan". Padahal Ibnu Umar berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma atau satu sha' gandhum". [14]

Berkata Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, "Saya mendengar bapakku, beliau membenci untuk memberikan harga dalam zakat fithri, katanya, ‘Saya khawatir apabila diganti harga tidak akan sepadan/mencukupinya”. [15]

Berkata Imam Ibnu Qudamah, "Barangsiapa membayar zakat dengan harganya tidak akan sepadan/mencukupinya”. [16]

Berkata Imam an-Nawawi, "Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai macam barang yang harganya bermacam-macam, dan beliau mewajibkan dari setiap jenisnya satu sha’, maka ini menunjukkan bahwa yang teranggap/diakui adalah sha’ bukan harganya". [17]

Berdasarkan beberapa dalil dan penjelasan di atas, bahwa zakat fithrah itu wajib bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan makanan pokok pada hari iedul- fithri yang dikeluarkan sejak sehari atau dua hari sebelum sholat ied [18] hingga sebelum ditunaikannya sholat ied dan akan diberikan kepada orang-orang miskin. Zakat fithrah itu dikeluarkan sebesar satu sha’ yakni setara dengan dengan 3 kilogram kurang sedikit, [19] dan tidak boleh dikeluarkan dengan harganya.

Kami menghimbau kepada saudara-saudara kami selaku Badan Pengurus Zakat agar betul-betul memperhatikan hal ini. Tidakkah kita merindukan syi’ar Islam mengenai zakat ini nampak? Dahulu, di malam hari Idul Fithri, banyak kaum muslimin berbondong-bondong datang ke masjid-masjid dengan menggotong beras. Namun, syiar ini sudah hilang karena tergantikan dengan uang. 

Begitu pula kami menghimbau kepada sekolah-sekolah atau sejenisnya untuk tidak memungut zakat-zakat fithrah dari siswa-siswa yang sedang belajar disana, biarlah badan-badan amil zakat yang mengurusnya di masjid-masjid atau para penunai zakat untuk menyerahkannya secara langung kepada para mustahiq. Janganlah keinginan untuk mengeksiskan diri mengalahkan tersiarnya syariat secara benar dan tepat.


[1] HR al-Bukhoriy: 1503, 1504, 1511, 1512, Muslim: 984, 986, at-Turmudziy: 670, 671, Abu Dawud: 1611-1614, an-Nasa’iy: V/ 46-47, 47, 48, 49, 53, Ibnu Majah: 1825, 1826, Ibnu Khuzaimah: 2393, 2395, 2398, 2399 dan Ahmad: II/ 63. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 1422-1425, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1478, 1479, Shahih Sunan at-Turmudziy: 542, 543, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2344-2348, 2356 dan Irwa’ al-Ghalil: 831, 832.
[2] HR Muslim: 1718, al-Bukhoriy: 2697, Abu Dawud: 4606, Ibnu Majah: 14 dan Ahmad: VI/ 240, 270 dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3850, Shahih Sunan Ibni Majah: 14, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5970 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47
[3] HR al-Bukhoriy secara ta’liq lihat Fat-h al-Bariy: XIII/ 317, Muslim: 1718 lafazh ini baginya, Ahmad: VI/ 146, 180, 256 dan ad-Daruquthniy: 4491 dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albani: Shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 1237, Irwa’ al-Ghalil: 88, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6398 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[4] HR al-Bukhoriy: 1506, Muslim: 985, at-Turmudziy: 668, Abu Dawud: 1616, an-Nasa’iy: V/ 51, 52, 53, Ibnu Majah: 1829 dan Ibnu Khuzaimah: 2408. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 1426, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1482, Shahih Sunan at-Turmudziy: 541 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2351-2355, 2357, 2358 dan Irwa’ al-Ghalil: 847.
[5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, XIV/208-211.
[6] HR Abu Dawud: 4607, Ibnu Majah: 42, at-Turmudziy: 2676, Ahmad: IV/ 126, 127, al-Hakim: 333, 338 dan ad-Darimiy: I/ 44-45. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Shahih Sunan Abi Dawud: 3851, Shahih Sunan Ibni Majah: 40, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2157, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2549, Irwa’ al-Ghalil: 2455 dan Misykah al-Mashobih: 165
[7] Majalis Syah-ri Ramadlan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin halaman 210.
[8] Al-Wajiz halaman 271.
[9] Kitab al-Fiq-hu  al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab wa as-Sunnah halaman 144.
[10] Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah: 2417 (IV/ 89).
[11] Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah: 2415 (IV/ 88), sanadnya shahih.
[12] Fat-h al-Bariy: III/ 374.
[13] HR Abu Dawud: 1609, Ibnu Majah: 1827, al-Hakim dan al-Baihaqiy. Berkatas asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud: 1420, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1480 dan Irwa’ al-Ghalil: 843.
[14] Ibnu Taimiyah dalam al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah.
[15] Masa’il Imam Ahmad halaman 171 masalah ke 647.
[16] Al-Mughni: III/65.
[17] Syarah Muslim VII/60.
[18] Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 1511 dan Muslim: 986.
[19] Hadits al-Masa’ oleh asy-Syaikh Bin Baz halaman 240.