MEMBAYAR ZAKAT FITHRAH DENGAN UANG?
بسم الله الرحمن الرحيم
Zakat fithrah/ fithri adalah zakat yang wajib ditunaikan
menjelang usainya puasa pada bulan Ramadlan.
عن
ابن عمر رضي الله عنهما قَالَ: فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ
وَالأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا
أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Ibnu Umar
radliyallahu anhuma berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sha’ gandum bagi
setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, yang muda
maupun yang tua. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘ied”. [1]
Kewajiban ini
sudah menjadi hal yang biasa dan menyenangkan bagi sebahagian besar kaum
muslimin, yakni ketika menjelang lebaran sejak sepekan sebelumnya sampai
mendekati waktu lebaran mereka berlomba-lomba mendatangi masjid untuk membayar
zakat fithrah untuk dirinya dan keluarganya.
Dan sudah
menjadi tradisi dan kebiasaan pula bagi sebahagian besar kaum Muslimin ketika
menunaikan pembayaran zakat fithri/ fithrah itu dengan menggunakan uang
seukuran dengan harga bahan makanan pokok tersebut.
Misalnya
di negara kita Indonesia ini, sebahagian besar makanan pokok rakyatnya adalah
nasi yang berbahan dasar beras. Maka ketika mereka hendak membayar zakat
fithrah, mereka segera mengeluarkan kewajiban mereka itu tetapi kebanyakan
mereka dalam bentuk uang sesuai dengan harga beras yang biasa mereka makan.
Kalau mereka biasa makan dari beras yang berharga Rp. 8.000,- maka uang yang
harus mereka keluarkan 3,5 liter x Rp. 8.000,- = Rp. 28.000,- lalu dikalikan
dengan jumlah jiwa dalam keluarga tersebut.
Bahkan
yang lebih miris lagi adalah jika ada anggota keluarganya itu bersekolah di
satu sekolah, aktif dalam kegiatan masyarakat maka masing-masing mereka diminta
zakat fithrahnya. Maka orang tuanya bisa membayar 1 anggota keluarganya dengan
3 zakat fithrah atau lebih, padahal boleh jadi ia termasuk dari keluarga yang
hidupnya pas-pasan. Seakan sekolah atau komunitas tersebut ingin menunjukkan
jati dirinya dengan mampu mengumpulkan uang sekian-sekian dari zakat fithrah siswa-siswa
sekolahnya atau anggota komunitasnya.
Namun
membayar zakat fithrah dengan menggunakan uang tidak dengan makanan pokok itu, apakah
pernah dilakukan di masa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam?. Dan bolehkan membayarnya dengan mata uang
seukuran dengan harga dari makanan pokok tersebut?.
Berikut akan
disampaikan fatwa Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah selaku
Ketua Umum Dewan Pengurus Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pembimbingan Kerajaan
Saudi Arabia (Ro’is al-‘Aam li idarot Al Buhuts al-‘Ilmiyah wa al- Ifta’ wa ad-Da’wah
wa a- Irsyad) mengenai Zakat Fithri/ fithrah dengan uang. Semoga dapat bermanfaat
bagi kaum muslimin.
Alhamdulillahi
Robbil ‘alamin wa shollallahu wa sallam ‘ala ‘abdihi wa rosulihi Muhammad wa
‘ala alihi wa ash-habihi ajma’in.
Wa ba’du,
Beberapa saudara kami pernah menanyakan kepada kami mengenai hukum membayar
zakat fithri/ fithrah dengan uang.
Jawaban
Tidak diragukan lagi bagi setiap muslim yang diberi pengetahuan bahwa
rukun Islam yang paling penting dari agama yang hanif (lurus) ini adalah
syahadat ‘Laa ilaha illallah wa anna Muhammad Rasulullah’. Konsekuensi dari
syahadat laa ilaha illallah ini adalah seseorang harus menyembah Allah semata.
Konsekuensi dari syahadat ‘Muhammad adalah Rasul-Nya’ yaitu seseorang hendaklah
menyembah Allah hanya dengan menggunakan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Telah kita ketahui bersama) bahwa zakat fithri
adalah ibadah berdasarkan ijmak (kesepakatan) kaum muslimin. Dan hukum asal
ibadah adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Oleh karena
itu, setiap orang hanya dibolehkan melaksanakan suatu ibadah dengan menggunakan
syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah mengatakan mengenai
Nabi-Nya ini,
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (alqur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [QS. An
Najm / 53: 3-4].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ
أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
membuat-buat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya,
maka perkara tersebut tertolak”. [2]
Dalam riwayat
Muslim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang tidak ada syariatnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [3]
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan mengenai penunaian zakat
fithri –sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih- yaitu ditunaikan dengan
1 sha’ bahan makanan, kurma, gandum, kismis, atau keju. Imam al-Bukhari dan
Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata,
فَرَضَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ،
أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ،
وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma
atau satu sha’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki
maupun perempuan, yang muda maupun yang tua. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat
menunaikan shalat ‘ied”.
Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كُنَّا
نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ
طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ
زَبِيبٍ
“Dahulu di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1
sha’ bahan makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum atau 1 sha’ kismis”. [4]
Dalam satu riwayat
disebutkan,
أَوْ
صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
“Atau 1 sha’
keju”.
Inilah hadits
yang disepakati keshahihannya dan beginilah sunnah (ajaran) Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan zakat fithri. Telah kita ketahui
pula bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada
mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah
(tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat
fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri,
tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini.
Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para
sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak
mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar
zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling
mengetahui sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling
bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang
membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana
perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil
(sampai pada kita).
Allah Ta’ala
berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. [QS. Al Ahzab/ 33: 21].
Allah Ta’ala
juga berfirman,
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. [QS. At Taubah/ 9 : 100].
Dari
penjelasan kami di atas, maka jelaslah bagi orang yang mengenal kebenaran bahwa
menunaikan zakat fithri dengan uang tidak diperbolehkan dan tidak sah
karena hal ini telah menyelisihi berbagai dalil yang telah kami sebutkan. Aku
memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin
untuk memahami agamanya, agar tetap teguh dalam agama ini, dan waspada terhadap
berbagai perkara yang menyelisihi syari’at Islam. Sesungguhnya Allah Maha
Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya. [5]
Berkata
asy-Syaikh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah,
“Tidak boleh membayar (zakat fithrah) dengan harga makanan, karena hal itu
menyelisihi perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Telah tsabit dari
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak ada syariat dari kami, maka amalan tersebut
tertolak”. Di dalam suatu riwayat, “Barangsiapa membuat-buat suatu perkara baru
dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”.
Juga karena membayar dengan harga (makanan) itu menyelisishi amalan para
Shahabat radliyallahu anhum ketika mereka membayarnya dengan satu sha’ dari
makanan. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Wajib atas kalian berpegang dengan
sunnahku dan sunnahnya para khalifah yang benar lagi terbimbing sepeninggalku”.
[6] Zakat
fithrah itu adalah ibadah yang diwajibkan dari jenis tertentu, maka tidak boleh
menunaikannya dari selain jenis yang ditentukan itu sebagaimana tidak boleh
menunaikannya pada selain waktu yang ditentukan. [7]
Berkata DR. Abdul Azhim bin
al-Badawiy, “Tidak boleh membayar harganya, namun al-Imam Abu Hanifah
membolehkannya”. (Telah disebutkan oleh an-Nawawiy di dalam Syar-h Muslim: VII/
60). Aku katakan, “Pendapat al-Imam Abu Hanifah tersebut tertolak karena [Dan
tidaklah Rabb-mu itu lupa. QS. Maryam/ 19: 64]. Seandainya harganya itu
diperbolehkan, niscaya Allah dan Rosul-Nya telah menjelaskannya. Maka yang
wajib adalah diam di sisi lahiriyahnya nash-nash tanpa tahrif dan ta’wil. [8]
Berkata asy-Syaikh Shalih bin Abdul
Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, “Tidak boleh membayar harga makanan, karena
hal itu menyelisihi perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan juga
menyelisihi amalan para shahabat. Mereka membayar zakat fithrah itu dengan satu
sho’ makanan. Zakat fthri itu adalah ibadah yang diwajibkan dari jenis tertentu
yaitu makanan. Maka tidak boleh membayarnya dari selain jenis tertentu
tersebut”. [9]
Dari Ibnu
Abbas, Nabi bersabda, “Zakat fithri satu sha’ makanan, barangsiapa
membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt
(sejenis gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering
diterima, aku mengira beliau berkata, “Yang membawa adonan diterima”. [10]
Telah
ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri, ada yang
bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang
paling kuat lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk
hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh
para sahabat berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma, “Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan
satu sha’ makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka.
Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan
diterima, aku mengira beliau berkata, “Barangsiapa yang mengeluarkan berupa
tepung akan diterima, barangsiapa yang mengeluarkan berupa adonan, diterima”. [11]
Berkata Ibnu
Hajar al-Asqalani, "Sepertinya barang-barang yang disebutkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id,- di mana
takaran barang itu sama padahal harganya berbeda-beda ini menunjukkan bahwa
yang dimaksud adalah mengeluarkan barang-barang tersebut dari jenis apapun
(bukan harganya), dan tiada perbedaan antara gandum bagus dengan selainnya”. [12]
Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menetapkan kewajiban zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan
perkataan kotor serta sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa
yang menunaikannya sebelum sholat maka ia adalah zakat yang diterima, dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu hanyalah sedekah". [13]
Pernah ada
yang mengatakan kepada Imam Ahmad Rahimahullah, "Ada yang mengatakan bahwa
Umar bin Abdul Aziz (Tabi’in/Khalifah) mengambil uang dalam zakat fithri".
Maka Imam Ahmad berkomentar, "Mereka meninggalkan hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil mengatakan "kata si Fulan".
Padahal Ibnu Umar berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma atau satu sha' gandhum". [14]
Berkata Imam
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, "Saya mendengar bapakku, beliau membenci
untuk memberikan harga dalam zakat fithri, katanya, ‘Saya khawatir apabila
diganti harga tidak akan sepadan/mencukupinya”. [15]
Berkata Imam
Ibnu Qudamah, "Barangsiapa membayar zakat dengan harganya tidak akan
sepadan/mencukupinya”. [16]
Berkata
Imam an-Nawawi, "Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbagai
macam barang yang harganya bermacam-macam, dan beliau mewajibkan dari
setiap jenisnya satu sha’, maka ini menunjukkan bahwa yang teranggap/diakui
adalah sha’ bukan harganya". [17]
Berdasarkan
beberapa dalil dan penjelasan di atas, bahwa zakat fithrah itu wajib bagi
setiap muslim yang mempunyai kelebihan makanan pokok pada hari iedul- fithri
yang dikeluarkan sejak sehari atau dua hari sebelum sholat ied [18]
hingga sebelum ditunaikannya sholat ied dan akan diberikan kepada orang-orang miskin.
Zakat fithrah itu dikeluarkan sebesar satu sha’ yakni setara dengan dengan 3
kilogram kurang sedikit, [19]
dan tidak boleh dikeluarkan dengan harganya.
Kami
menghimbau kepada saudara-saudara kami selaku Badan Pengurus Zakat agar
betul-betul memperhatikan hal ini. Tidakkah kita merindukan syi’ar Islam
mengenai zakat ini nampak? Dahulu, di malam hari Idul Fithri, banyak kaum
muslimin berbondong-bondong datang ke masjid-masjid dengan menggotong beras.
Namun, syiar ini sudah hilang karena tergantikan dengan uang.
Begitu pula
kami menghimbau kepada sekolah-sekolah atau sejenisnya untuk tidak memungut
zakat-zakat fithrah dari siswa-siswa yang sedang belajar disana, biarlah
badan-badan amil zakat yang mengurusnya di masjid-masjid atau para penunai
zakat untuk menyerahkannya secara langung kepada para mustahiq. Janganlah
keinginan untuk mengeksiskan diri mengalahkan tersiarnya syariat secara benar
dan tepat.
[1]
HR al-Bukhoriy: 1503, 1504, 1511, 1512, Muslim:
984, 986, at-Turmudziy: 670, 671, Abu Dawud: 1611-1614, an-Nasa’iy: V/ 46-47,
47, 48, 49, 53, Ibnu Majah: 1825, 1826, Ibnu Khuzaimah: 2393, 2395, 2398, 2399
dan Ahmad: II/ 63. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan
Abi Dawud: 1422-1425, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1478, 1479, Shahih Sunan
at-Turmudziy: 542, 543, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2344-2348, 2356 dan Irwa’
al-Ghalil: 831, 832.
[2]
HR Muslim: 1718, al-Bukhoriy: 2697, Abu Dawud: 4606, Ibnu Majah:
14 dan Ahmad: VI/ 240, 270 dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 3850, Shahih Sunan Ibni
Majah: 14, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5970 dan Shahih at-Targhib wa
at-Tarhib: 47
[3]
HR al-Bukhoriy secara ta’liq lihat Fat-h al-Bariy: XIII/ 317,
Muslim: 1718 lafazh ini baginya, Ahmad: VI/ 146, 180, 256 dan ad-Daruquthniy:
4491 dari Aisyah radliyallahu anha. Berkata asy-Syaikh al-Albani: Shahih, lihat
Mukhtashor Shahih Muslim: 1237, Irwa’ al-Ghalil: 88, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 6398 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 47.
[4]
HR al-Bukhoriy: 1506, Muslim: 985, at-Turmudziy:
668, Abu Dawud: 1616, an-Nasa’iy: V/ 51, 52, 53, Ibnu Majah: 1829 dan Ibnu
Khuzaimah: 2408. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Lihat Shahih Sunan Abu
Dawud: 1426, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1482, Shahih Sunan at-Turmudziy: 541 dan
Shahih Sunan an-Nasa’iy: 2351-2355, 2357, 2358 dan Irwa’ al-Ghalil: 847.
[5]
Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, XIV/208-211.
[6]
HR Abu Dawud: 4607, Ibnu Majah: 42,
at-Turmudziy: 2676, Ahmad: IV/ 126, 127, al-Hakim: 333, 338 dan ad-Darimiy: I/
44-45. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih. Shahih Sunan Abi Dawud: 3851,
Shahih Sunan Ibni Majah: 40, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2157, Shahih al-Jami’
ash-Shaghir: 2549, Irwa’ al-Ghalil: 2455 dan Misykah al-Mashobih: 165
[7]
Majalis Syah-ri Ramadlan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin halaman 210.
[8]
Al-Wajiz halaman 271.
[9]
Kitab al-Fiq-hu
al-Muyassar fi dlow’i al-Kitab wa as-Sunnah halaman 144.
[10]
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah: 2417
(IV/ 89).
[11]
Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah: 2415
(IV/ 88), sanadnya shahih.
[12]
Fat-h al-Bariy: III/ 374.
[13]
HR Abu Dawud: 1609, Ibnu Majah: 1827, al-Hakim
dan al-Baihaqiy. Berkatas asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan. Lihat Shahih Sunan Abu
Dawud: 1420, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1480 dan Irwa’ al-Ghalil: 843.
[14]
Ibnu Taimiyah dalam al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah.
[15]
Masa’il Imam Ahmad halaman 171 masalah ke 647.
[16]
Al-Mughni: III/65.
[17]
Syarah Muslim VII/60.
[18]
Atsar ini diriwayatkan oleh al-Bukhoriy: 1511
dan Muslim: 986.
[19]
Hadits al-Masa’ oleh asy-Syaikh Bin Baz halaman
240.